Fungsi Fisik Pasien Nyeri Kronis Kanker Payudara di RSUP. H. Adam Malik Medan

6

BAB
TINJAUAN PUSTAKA

1. Kanker Payudara
1.1 Pengertian Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan tumor (kanker) ganas yang bermula dari sel-sel
payudara (Gary dkk, 2009). Kebanyakan kanker payudara bermula dalam sel-sel
yang ada pada pembuluh-pembuluh atau duct (kanker duktal), meski sebagian juga
bermula pada lobula-lobula (kanker lobula), dan sejumlah kecil bermula pada
jaringan yang lain (Pamungkas, 2011). Menurut Gengatharan (2014) kanker
payudara adalah tumor ganas yang dimulai pada sel-sel payudara dan sel-sel
kanker yang dapat tumbuh menjadi invasif jaring sekitar atau bermetastasis ke
daerah yang jauh dari tubuh. Menurut

Mulyani dan Nuryani (2013) kanker

payudara merupakan keganasan yang berasal dari kelenjar, saluran kelenjar, dan
jaringan penunjang tidak termasuk kulit payudara.
Kanker payudara adalah tumor ganas yang merupakan salah satu penyakit

yang menyerang kelenjar kulit yang berada diluar rongga dada (Jong, 2005).
Kebanyakan kanker payudara terjadi pada kaum wanita, namun pria juga bisa
menderita penyakit tersebut (American cancer society, 2014 dalam Gengatharan,
2014).

6
Universitas Sumatera Utara

7

1.2 Gejala Klinis Nyeri Kronis Kanker Payudara
Gejala

umum kanker payudara ini memang tidak khas dan bisa berupa

benjolan pada payudara yang tidak terasa nyeri pada salah satu bagian payudara
(Purba, 2004). Benjolan pada payudara mula-mula kecil, semakin lama akan
semakin besar, lalu melengket pada kulit atau menimbulkan perubahan pada kulit
atau pada puting susu (Kardiyudiani, 2012).
Perubahan pada kulit menyebabkan puting payudara tertarik kedalam

(retraksi), serta berwarna merah mudah atau kecoklatan sampai edema, sehingga
terlihat seperti kulit jeruk, mengerut, atau timbul borok pada payudara, bentuk atau
arah puting dapat berubah, misalnya puting payudara tertekan kedalam. Selain
gejala itu, gejala lainnya timbul nyeri kronis (Handayani, 2011)..
Gejala nyeri kronis ini terjadi akibat terkenanya struktur otot dan tulang akibat
metastasis. Sindrom nyeri yang paling sering ditemukan adalah metastasis ke
tulang. Hal ini disebabkan serabut eferen yang bermielin dan tidak bermielin
terdapat pada tulang terutama pada periosteum. Neuron yang berada pada tulang
mengeluarkan neuropeptid seperti serotonin, bradikinin, prostaglandin E1,
prostaglandin E2, prostaglandin F3, kalsitonin dan substansi P yang mana zat
tersebut berperan dalam modulasi nyeri dan metabolisme tulang. Prostaglandin F2
mengakibatkan nosiseptor lebih peka dan akan menimbulkan hiperalgesia dan
alodinia. Metastasis ke tulang dapat terjadi melalui hematogen dengan lokasi yang
tersering adalah kolumna vertebralis, pelvis, tulang iga, skapula, humerus dan
femur (Usman, 2009).

Universitas Sumatera Utara

8


1.3 Klasifikasi Kanker Payudara
Kanker payudara diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu kanker payudara
invasif dan kanker payudara non-invasif sebagai berikut:
1.3.1 Kanker payudara invasif
Ariestine (2010) menyatakan 80% kanker payudara merupakan invasive
ductal carcinoma. Invasive ductal carcinoma adalah kanker payudara invasif
yang merupakan sel kanker yang merusak saluran dan dinding kelenjar susu,
serta menyerang lemak dan jaringan konektif payudara disekitarnya
(Suprianto, 2010).
1.3.2 Kanker payudara non-invasif
Kanker payudara non-invasive merupakan sel kanker yang terkunci
dalam saluran susu, serta tidak menyerang lemak dan jaringan konektif
payudara disekitarnya. Kanker payudara non-invasive ada dua yaitu
intraduktal dan lobular carsinoma in situ. Ductal Carcinoma in situ
merupakan kanker payudara non-invasif yang paling sering terjadi (90%)
(Suprianto, 2010). Lesi resiko tinggi yang diketahui bisa muncul menjadi
kanker payudara adalah Atypical ductal hyperplasia (ADH) dan Lobular
carsinoma in situ (Ariestine, 2010).
1.4 Tipe Kanker Payudara
1.4.1 Lobular Carcinoma In Situ (LCIS)

lobular carcinoma in situ (LCIS) merupakan kondisi yang bermula dari
kelenjar-kelenjar yang berperan dalam memproduksi susu, tapi tidak melalui

Universitas Sumatera Utara

9

dinding lobula dan wanita yang mengalami hal ini akan mendapat resiko
kanker payudara dikemudian hari (Pamungkas, 2011).
1.4.2 Ductal Carcinoma In Situ (DCIS)
Ductal carcinoma in situ (DCIS) merupakan tipe kanker non-invasif dan
pengobatan yang paling umum dilakukan adalah mastektomi dengan angka
kesembuhan 98% atau 99% (Brunner & Suddarth, 2002).
1.4.3 Invasive Lobular Carcinoma (ILC)
Invasive lobular carcinoma (ILC) mulai terjadi didalam kelenjar susu
(lobules) pada payudara, tetapi sering menyebar kebagian tubuh lain. Terjadi
10-15% dari seluruh kejadian kanker payudara (Suprianto, 2010).
1.4.4 invasive ductal carcinoma (IDC)
Invasive ductal carcinoma (IDC) merupakan tipe kanker payudara yang
paling umum terjadi, sekitar 80% kasus IDC dari seluruh diagnosis kanker

payudara yang terjadi didalam saluran susu pada payudara (Mulyani dan
Nuryani, 2013)
1.5 Stadium Kanker Payudara
1.5.1 Stadium 0
Stadium 0 disebut Ductal carsinoma in situ atau non-invasive cancer
yaitu kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh/saluran payudara dan
kelenjar-kelenjar (lobules) susu pada payudara (Mulyani & Nuryani, 2013).

Universitas Sumatera Utara

10

1.5.2 Stadium I
Stadium I tumor masih sangat kecil dan tidak menyebar serta tidak ada
titik pada pembuluh getah bening (Brunner & Suddarth, 2002).
1.5.3 Stadium IIA
Stadium IIA diameter tumor lebih kecil atau sama dengan 2cm dan telah
ditemukan pada titik-titik pada saluran getah bening di ketiak (axillary limph
nodes) dan diameter tumor antara 2-5cm tidak lebih dari 5cm tapi belum
menyebar (Ariestine, 2010).

1.5.4 Stadium IIIA
Stadium IIIA diameter tumor 5 cm dan telah menyebar pada titik-titik
pada pembuluh getah bening ketiak, ke dinding dada atau menyebabkan
pembengkakan bisa juga luka bernanah di payudara dapat didiagnosis sebagai
inflammatory breast cancer dan tumor telah menyebar lebih dari 10 titik
disaluran getah bening dibawah tulang selangka (Mulyani & Nuryani, 2013).
1.5.5 Stadium IV
Stadium IV sel kanker sudah bermetastasis ke lokasi yang jauh atau
menyebar ke organ lain seperti tulang, paru-paru, liver atau tulang rusuk
(Handayani, 2011).

Universitas Sumatera Utara

11

1.6 Penatalaksanaan Kanker Payudara
1.6.1 Pembedahan
Tumor primer biasanya dihilangkan dengan pembedahan dan
pembedahan dapat dilakukan dengan lumpektomi dimana tindakan
pembedahan dengan mengangkat tumor (benjolan) bersama jaringan

normal payudara disekitarnya dan prosedur penyelamatan payudara dapat
dilakukan dengan anestesis (bius) lokal ataupun total (Pamungkas, 2011).
30% pasien dengan kelenjar limfe aksila negatif melakukan tindakan
diseksi menunjukkan hasil positif secara histologi (Ariestine, 2010).
1.6.2 Kemoterapi
Kemoterapi adalah salah satu bagian dari penanganan penderita
kanker dengan menggunakan suatu agen kimia yang dapat menghentikan
atau menghambat pertumbuhan sel-sel kanker tersebut (Pamungkas, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian Kardiyudiani, (2012) lebih dari 50% penderita
kanker mendapat tindakan pengobatan dengan kemoterapi dan efeknya
bagi banyak penderita sangat efektif. Cara kerja obat kemoterapi adalah
dengan membunuh sel-sel kanker, pemberiannya dapat dilakukan dengan
injeksi/infus, atau oral dalam bentuk pil (Mulyani & Nuryani, 2013).

Universitas Sumatera Utara

12

Macam kemoterapi menurut Rahmawati (2009) yaitu:
a. Zat alkilasi

Berkhasiat kuat terhadap sel-sel yang sedang membelah akibat
gugus alkilnya yang reaktif, sehingga dapat merintangi penggandaan
DNA dan pembelahan sel, misal : klorambusil dan siklofosfamid.
b. Antimetabolit
Mengganggu sintesis DNA dengan jalan antagonisme saingan,
misal : merkaptopurin.
c. Antimitotika
Zat ini menghindari pembelahan sel pada tingkat metafase, jadi
merintangi pembelahan inti, misal : paklitaksel dan vinblastin.
d. Antibiotika
Beberapa jenis antibiotika dari jenis jamur Streptomyces juga
berkhasiat sitotoksik disamping kerja antibakterinya, misal :
doksorubisin, bleomisin dan daunorubisin.
e. Imunomodulansia
Zat ini berdaya mempengaruhi secara positif reaksi biologis dari
tubuh terhadap tumor, misal : sitokin atau limfokin dan siklosporin.
f. Hormon dan antihormon
Misalnya : kortikosteroid yang berkhasit melarutkan limfosit
sehingga berguna untuk pengobatan leukimia, zat-zat estrogen yang
digunakan pada kanker prostat.


Universitas Sumatera Utara

13

1.6.3 Radioterapi
Terapi radiasi dengan sinar-X dengan intensitas tinggi untuk
membunuh sel kanker yang tidak terangkat saat pembedahan dan bertujuan
untuk menyembuhkan atau mengecilkan kanker pada stadium dini
(Ariestine, 2010). Hasil penelitian Wulandari (2012) yang dilakukan pada
34 pasien kanker payudara yang menjalani terapi, di dapat hasil angka
harapan hidup dua tahun pasien kanker payudara sebesar 64,7%.
Pasien kanker payudara dapat mengalami nyeri kronis yang
disebabkan lamanya nyeri yang dialami lebih dari enam bulan dan menetap
sepanjang periode tertentu.

Universitas Sumatera Utara

14


2 Nyeri Kronis
2.1 Pengertian Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung
lebih dari enam bulan (Saragih, 2011). Defenis standar nyeri kronis didukung oleh
Asosiasi International untuk Studi Pain menyatakan bahwa nyeri kronis yang terus
berlanjut dan berlangsung selama 6 bulan (Apkarian, Baliki, dan Geha, 2010).
Nyeri kronik dapat mempengaruhi fungsi pada berbagai dimensi (Potter & Perry,
2010).
Pada kondisi tertentu, seseorang dapat dikatakan mengalami nyeri kronik
meskipun keluhan nyeri belum mencapai masa 6 bulan, tetapi nyeri kronik dapat
ditetapkan pada suatu keadaan saat seseorang merasakan nyeri yang lebih dari
waktu 6 bulan (Usman, 2009). Nyeri kronis bisa berasal dari nyeri akut yang tidak
tertangani dengan baik, namun seringkali dengan penyebab yang tidak jelas atau
tidak terdeteksi dan nyeri kronik memerlukan penatalaksanaan khusus yang
bersifat multidispliner (Moeliono, 2008).
Nyeri kronis biasanya bagian dari situasi yang lebih kompleks dan dapat
muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab
neurologis, dan biasanya dibedakan menjadi nyeri maligna (kanker atau
keganasan) dan nyeri non-maligna (jinak) (Rospond, 2008). Penderita nyeri kronis

biasanya akan memiliki kecemasan yang tinggi dan cenderung mengembangkan
perasaan putus asa dan tidak berdaya, hal ini karena ia merasa berbagai

Universitas Sumatera Utara

15

pengobatan yang dijalani tidak dapat menurunkan intensitas nyeri yang dirasakan
(Sarafino & Smith, 2011 dalam Hanum, 2012).
2.2 Nyeri Kronis Kanker Payudara
Nyeri Kronis kanker payudara merupakan kombinasi dari beberapa komponen
nyeri akut, intermiten (berselang/hilang-muncul/sementara), kronis dan nyeri
kronis kanker dapat muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat
akspansi tumor, penekanan/kompresi saraf atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi
maligna, atau infeksi pada ulkus maligna (Rospond, 2008).
Bishop (2005 dalam Putri & Sukmarini, 2013) melaporkan bahwa 90% pasien
kanker payudara mengeluhkan gejala utamanya adalah nyeri kanker. Usman
(2009) mengatakan bahwa pasien kanker payudara yang mengalami nyeri kronik
dapat disebabkan oleh perkembangan dari sel tumor, dan kecemasan dan rasa
tidak berdaya yang dialami oleh pasien dapat menjadi penyebab nyeri dan
memperberat rasa nyeri.
Nyeri kanker memiliki beberapa karakteristik yang membedakan dengan nyeri
kronis non-kanker, karakteristik nyeri kronis antara lain intensitas bersifat tidak
tetap, durasinya dapat bertahan lama hingga lebih enam bulan, lokasi dan
kualitasnya

sering berubah-ubah

sejalan

dengan

proses

penyakit

dan

pengobatannya (Strong & Bennett, 2002 dalam Putri & Sukmarini, 2013). Pasien
kanker payudara akan mengalami nyeri nosiseptif (nyeri akut) atau nyeri
neuropatik (nyeri kronis) maupun keduanya (Putri & Sukmarini, 2013). Menurut
Allen (1998) dan Attal (2000) dalam Usman (2009) nyeri neuropatik terjadi

Universitas Sumatera Utara

16

sebagai akibat dari kompresi saraf oleh tumor, trauma yang ditimbulkan dari
tindakan diagnostik, pembedahan cedera pada sistem saraf yang diakibatkan oleh
pengobatan.
2.3 Penanganan Nyeri Kronis Kanker Payudara
Penanganan nyeri kronis mencakup pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan
pasien secara individu (Brunner & Suddarth, 2002).
2.3.1 Farmakologi
Penggunaan farmakologi merupakan cara yang paling sering
digunakan untuk mengatasi nyeri kronis (Hanum, 2012). Pengobatan yang
umum digunakan untuk mengobati nyeri dengan kategori ringan hingga
sedang pada sistem muskuloskeletal adalah acetaminophen dan nonsteroidal
anti-inflamamatory drugs (NSAIDs), apabila nyeri kronis yang dialami
tergolong kedalam kategori sedang hingga parah diatasi dengan obat opioid
analgesic, seperti morphine sulfate atau oxycodone (Hanum, 2012).
2.3.2 Non-Farmakologi
a. Stimulasi dan Massage Kutaneus
Massage adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering
dipusatkan pada pinggang dan bahu dengan memberikan sentuhan atau
massage juga membuat pasien lebih nyaman karena membuat relaksasi
otot dan hasil penelitian oleh Anggriawan (2013) terhadap 10 responden

Universitas Sumatera Utara

17

dilakukan massage didapat hasil dengan menggunakan uji Wilconxon
Signed Test p ≤0,05.
b. Terapi Es
Terapi es (dingin) dapat merupakan strategi untuk meredakan nyeri
dan bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-reseptor). Hasil
penelitian Rosyid dan Putra, (2010) dengan menggunakan uji Wilconxon
Signed Test didapat nilai P=0,07 dengan 6 responden dilakukan terapi es
dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor
nyeri dan subkutan lain dengan menghambat proses inflamasi.
c. Terapi Stimulasi Saraf Elekris Transkutan
Stimulasi Saraf Elekris Transkutan (TENS) menggunakan unit yang
memakai baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk
menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area
nyeri.
Hasil penelitian Rosyid dan Putra, (2010) menyatakan bahwa terapi
TENS dapat menghilangkan nyeri kronik dan menurunkan nyeri dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-reseptor) pada 6 responden didapat
nilai dengan menggunakan uji Wilconxon Signed Test p=0,02.
d. Distraksi
Distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi
sistem kontrol desenden, mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak.

Universitas Sumatera Utara

18

Rampengan, Rondonuwu dan

Onibala, (2014) melakukan

penelitian terhadap 15 responden setelah dilakukan teknik distraksi tidak
terdapat pasien yang mengalami nyeri dengan menggunakan uji Wicoxon
pada tingkat kemaknaan 95% (α=0,05), dengan nilai P sebesar 0,001 atau
dengan kata lain nilai P