Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ritual Tiris Sopi dalam Perkawinan Adat di Desa Romkisar T2 752015010 BAB II

BAB II
KAJIAN TEORITIS

Manusia secara individu maupun kelompok tidak pernah terlepas dari aspek
budaya dalam hal ini adat. Adat merupakan makna hidup dan menjadi identitas suatu
masyarakat, untuk mengetahui dengan jelas bentuk dan sistem perkawinan dalam
suatu masyarakat tentu perlu dibahas mengenai hubungan antara individu yang
terbentuk melalui sebuah budaya yang ada, yang kemudian membentuk sistem
masyarakat pada suatu daerah tertentu. Dalam bab ini, penulis akan membahas lebih
mendalam mengenai ritual tiris sopi dalam perkawinan adat yang merupakan sebuah
sistem budaya di Romkisar. Di mana landasan teori yang digunakan adalah teori
perkawinan dan ritus.
2.1. Dasar Perkawinan
2.1.1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar
khidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan
manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena
manusia adalah hewan berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang
beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan
masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit
dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju,

luas dan terbuka. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu
masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan

lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia
dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang
dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.1 Oleh sebab itu dapat disimpulkan
bahwa, perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dan tidak pernah
terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina
keluarga bahagia.
2.1.2. Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu aktivitas dari sepasang manusia untuk hidup
bersama.2 Begitu pentingnya momen sebuah perkawinan, sehingga setiap orang
umumnya menginginkan merayakan momen itu dalam sebuah upacara yang sakral
dan meria, dengan melibatkan para kerabat dan unsur masyarakat lainnya. Menurut
penulis momen tersebut penting karena perkawinan sendiri adalah suatu hubungan
yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun
dari segi adat. Karena itu perkawinan bukan saja suatu momen yang penting tetapi
juga memiliki nilai yang sakral. Sebab melalui perkawinan, seseorang akan
melepaskan dirinya dari lingkungan keluarganya untuk mulai membentuk keluarga
yang baru.

Perkawinan menurut hukum agama yaitu, perbuatan yang suci (sakramen,
samskara) dalam artian bahwa suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi
perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan
berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran
1

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), 1.
2
Walgito Bimo, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta:Andi, 2002), 11

16

agama masing-masing.3 Menurut hukum Kristen dan Katolik, perkawinan adalah
persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total
dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.4
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan bukan saja
berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus
merupakan perikatan kekerabatan dan keketanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan
perkawinan juga menyangkun hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan,

kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat
dan keagamaan. Ter Haar menyatakan bahwa, upacara perkawinan itu adalah urusan
kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi,
satu sama lain dalam hubungannya yang berbeda-beda.5 Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa penting sekali suatu hukum dalam mengatur, dan mengarahkan
manusia untuk berada di jalur yang benar.
Perkawinan merupakan sebuah tradisi yang ada dalam sejarah manusia
sehingga perkawinan juga memiliki tujuan-tujuan. Pertama, tujuan menurut
perundangan dalam pasal 1 UU no. 1-1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan
perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga).
Karena itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan

3

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Bandar Maju, 2003),

190
4


AL. Budyapermata, Membangun Keluarga Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1968), 14
Ter Haar Ben, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat: Terjemahan Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pradnja Paramita, 1985), 158.
5

17

spiritual dan material. Pembentukan keluarga itu pula erat dengan keturunan, di mana
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.6
Hukum agama berbeda antara agama satu dengan agama yang lain. Menurut
hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk menegakan ajaran agama yaitu
memperoleh keturunan yang sah.7 Menurut agama Kristen dan Katolik, perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan persekutuan hidup antara pria dan wanita berdasarkan
cinta kasih. Menurut agama Hindu, perkawinan bertujuan selain untuk mendapatkan
keturunan, juga untuk menebus dosa orangtua dengan menurunkan seorang putera.8
Apabila tujuan-tujuan perkawinan ini dihubungkan, maka akan ada kaitan satu
dengan yang lain sehingga membentuk satu tujuan yakni, menjalankan mandat untuk
hidup bersatu dalam cinta kasih membentuk keluarga yang bahagia dan memperoleh
keturunan.
Tujuan


perkawinan

menurut

hukum

adat

adalah

pertama,

untuk

mempertahankan dan menentukan keturunan menurut garis keturunan bapak dan
garis keturunan ibu. Kedua, untuk kebahagian rumah tangga keluarga dan kerabat.
Ketiga, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian. Keempat, untuk
mempertahankan kewarisan. Oleh karena itu tujuan perkawinan adat bagi masyarakat
adat boleh dikatakan berbeda-beda antara suku yang satu dan suku yang lain,

maupun daerah yang satu dengan daerah yang lain.

6

Hilman. Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1977), 25.
Mahmud. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Muhmudiah, 1960), 1.
8
G. Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang diresepir ke dalam hukum adat di bali dan Lombok
(Jakarta: CV Junussco, 1977), 9.
7

18

2.2. PerkawinanAdat
Perkawinan memiliki beragam tata cara diberbagai tempat dengan latar
belakang budaya adat yang berbeda. Semuanya dipengaruhi oleh sistem masyarakat
yang ada di tiap-tiap daerah. Pakar konsep struktur sosial seperti Radclife Brown
yang dikutip oleh Hans Daeng berpendapat bahwa, orang harus mempelajari
susunan-susunan hubungan antara individu-individu yang menimbulkan adanya
bentuk dan sistem masyarakat.9

Perkawinan adat adalah salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat
adat. Pengaruh adat masih terasa seperti adat perkawinanan. Romkisar salah satu
desa atau negeri adat di Kabupaten Maluku Barat Daya yang masih mempraktekan
adat perkawinan tersebut.
2.2.1. Adat
Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.
Pendapat lain mengemukakan kata adat berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri
dalam dua suku kata yaitu”a” (berarti bukan) dan “dato” (berarti sifat kebendaan).
Jika demikian maka adat merupakan sifat yang memiliki sebuah nilai wujud dari
suatu benda, di mana adat dapat dilihat sebagai suatu bentuk material yang ada
kaitannya dengan sistem kepercayaan setempat.10
Kamus Besar Bahasa Indonesia11 memberikan batasan adat dalam berbagai
ragam pengertian adalah sebagai berikut:

9

Hans J.Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),

106.
10


Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2012),

11

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 6.

70.

19

a. Adat sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak
dahulu kala.
b. Adat sebagai kebiasaan; cara kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan.
c. Adat sebagai cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan).
d. Adat sebagai wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma hukum dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya
berkaitan menjadi suatu sistem.
Adat menurut Surojo Widnjodipuro adalah:
Pencerminan dari kepribadian suatu bangsa dan merupakan salah satu

penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Oleh sebab itu maka setiap bangsa di dunia memiliki adat masing-masing
yang berbeda satu dengan yang lain.12
Selain itu Koentjaraningrat berpendapat:
Adat merupakan suatu sistem nilai dan kaidah-kaidah sosial yang
tumbuh bersama, dengan tumbuhnya pengalaman hidup suatu
masyarakat dan juga merupakan suatu unsur kebudayaan yang berakar
kuat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pada hakekatnya adat
merupakan suatu yang menyangkut kebiasaan dalam masyarakat yang
berhubungan dengan sistem kepercayaan dan sistem hukum yang ada
dalam masyarakat.13
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat simpulkan bahwa adat merupakan
tata kelakuan yang dimaksudkan untuk mengatur, mengendalikan dan memberi arah
kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam hubungan masyarakat. Adat yang
berlaku dalam masyarakat selalu berdasar pada caraberpikir, pandangan hidup dan
kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Koentjaraningrat berpendapat bahwa, adat
merupakan wujud ideal dari kebudayaan, secara lengkap wujud itu disebut sebagai

12


Surojo. Widnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1983),

13

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalis dan Pembangunan, (Jakrta: Gramedia, 1974), 10-11.

13.

20

adat tata kelakuan, secara singkat disebut adat dan dalam bentuk jamaknya disebut
adat-istiadat.14
Realitas kehidupan adat istiadat di Indonesia pada umunya dibagi menjadi
empat bagian yaitu:15
1. Adat yang sebenarnya adat ini merupakan undang-undang alam. Dimana dan
kapanpun akan tetap sama, antara lain adat air membasahi, adat api membakar
dan sebagainya.
2. Adat istiadat, ini adalah peraturan pedoman hidup seluruh daerah dan diwariskan
oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat kokoh
berdirinya.

3. Adat nan terdapat, ini adalah kebiasaan setempat. Dapat ditambah dan dikurangi
menurut tempat dan waktu.
4. Adat yang diadatkan, ini adalah adat yang dipakai setempat. Seperti dalam suatu
daerah adat menyambut mempelai dalam perkawinan harus menggunakan
pakaian kebesaran, kalau tidak ada helat maka itu tidak akan terjadi; tetapi pada
waktu sekarang karena sukar mencari pakaian kebesaran, maka pakaian biasa
saja dapat dipakai.
Sejalan dengan hal tersebut maka, Soepomo menekankan bahwa untuk
memahami adat setiap masyarakat, maka kita harus menyelami dasar-dasar alam
pemikiran yang hidup dalam masyarakat tersebut.16 Dari realitas kehidupan adat itu

14

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalis, 5-6.
Taneko, Hukumu Adat Indonesia,71-73.
16
Soepomo menekankan bahwa sendi-sendi dasar-dasar hukum adat Indonesia, bagi Soepomo
untuk memahami budaya bangsa kita, maka kita harus benar-benar masuk ke dalam budaya bangsa
Indonesia. Bagi Soepomo adat di Indonesia berbeda dari adat di barat, perbedaan itu dapat dilihat
dalam Hukum Adat (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), 6-7.
15

21

maka, dapat disimpulkan bahwa adat yang dimiliki setiap suku bangsa adalah
warisan leluhur dari generasi ke generasi sehingga memiliki ikatan dan pengaruh
yang kuat dalam integrasi pola perilaku masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka,
untuk memahami adat suatu tempat, kita tidak dapat menggunakan ukuran adat
tempat lain, hal ini disebabkan setiap suku bangsa memiliki adat yang berdeda-beda.
Adat yang berlaku dalam suatu masyarakat, tidak semuanya merupakan hukum
adat. Ada perbedaan antara adat istiadat biasa dan hukum adat. Hanya adat yang
bersanksi yang dapat disebut sebagai hukum adat. Sanksi adalah berupa reaksi dari
masyarakat hukum yang bersangkutan.17 Untuk menjelaskan bagaimana sebuah
peraturan adat-istiadat yang ada dalam suatu masyarakat dapat diakui sebagai hukum
adat maka, kita dapat menyimak apa yang dikemukan oleh Van Vollenhoven dan Ter
Haar yang dikutip oleh Suriyaman18 adalah sebagai berikut:
Van Vallenhoven berpendapat bahwa,
Apabila ada peraturan-peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah laku) yang
oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk, serta ada
perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus
dipertahankan oleh para kepala adat, maka peraturan-peraturan adat itu
bersifat hukum.
Ter Haar berpendapat bahwa,
Adat dapat bersifat hukum apabila ada penetapan-penetapan dari kepala adat,
rapat adat, perangkat desa sebagaimana yang dinyatakan di dalam atau di
luar persengketaan. Penetapan-penetapan yang diambil berdasarkan nilainilai hidup masyarakat setempat.
Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat dikatakan hukum adat merupakan
suatu yang kompleks dari norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan
rakyat, meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari17

Suriyaman. Mustari Pide, Hukum Adat: Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014), 5-6.
18
Pide, Hukum Adat, 7-8.

22

hari di masyarakat. Hukum adat sebagaian besar tidak tertulis tetapi senantiasa ditaati
dan dihormati sebab memiliki akibat hukum atau sanksi. Hukum adat sama seperti
hukum pada umunya di mana terkandung unsur-unsur peraturan dan larangan yang
dilihat sebagai pinata kehidupan sosial, ekonomi dan moral masyarakat. Hukum adat
berfungsi sebagai control sosial (social control) yang mempertegas masyarakat
dalam keamanan tata hidup.
Hukum adat lahir dari keputusan-keputusan warga masyarakat, terutama
keputusan berwibawa dari kepala-kepala adat yang bertugas mengadili sengketa.
Keputusan yang diambil dalam menyelesaikan hukum adat adalah keputusan
berdasarkan keyakinan pemimpin yang dipengaruhi tatanan kehidupan masyarakat
setempat.19 Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam masyarakat yang memberlakukan
hukum adat ada orang-orang tertentu yang mempunyai tugas menentukan,
melaksanakan, mempertahankan dan memberlakukan aturan-aturan dalam kehidupan
bersama. Mereka yang memiliki tugas demikian lazim disebut sebagai “penguasa.”20
Jadi dapat dikatakan bahwa keputusan yang berlaku dalam hukum adat adalah
keputusan sepihak berdasarkan pertimbangan pribadi dari para pemimpin adat.
Keputusan-keputusan dibuat kemudian menjadi

kebenaran

yang mendapat

pengakuan umum masyarakat. Hukum adat dalam masyarakat kebanyakan tidak
secara tertulis, bersifat paksaan dan mempunyai akibat hukum.21
Istilah hukum adat dikalangan masyarakat umum sangat jarang dijumpai sebab,
masyarakat cenderung memakai istilah “adat”, penyebutan ini mengarah pada suatu
kebiasaan yaitu rangkaian perbuatan yang umumnya berlaku dalam struktur
19

Imam. Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat: Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2010), 6-7.
Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, 15.
21
Sudiyat, Asas-Asas Hukum, 18.
20

23

masyarakat. Adat yang dimiliki setiap suku bangsa merupakan pencerminan dari
kepribadian masyarakat yang berbeda dan unik satu sama lainnya. Kebudayaan yang
dimiliki setiap bangsa merupakan warisan turun temurun yang dengannya manusia
berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Kebudayaan selalu ada sebagai
upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai dan mengelolahnya bagi pemenuhan
kebutuhan manusia.
Adat dan budaya yang dimiliki oleh semua suku bangsa selalu berkaitan
dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat setempat. Nilai-nilai yang terkandung
dalam adat selalu dipertahankan untuk menjaga perilaku manusia supaya tetap ada
pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Untuk menjaga sistem nilai yang
ada dalam masyarakat itu maka, ada hukum adat yang mendasari semua tindakan.
Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran masyarakatnya, yang tidak
sama dengan alam pikiran yang menguasai hukum adat di tempat lain.22
Dari uraian diatas maka, dapat disimpulkan bahwa masyarakat itu hidup tanpa
terlepas dari adat. Sistem nilai yang terkandung dalam adat mengajarkan masyarakat
untuk bagaimana mengatur kehidupan sosial budayanya dengan lingkungan di
sekitar, maupun dengan sesamanya, yang dilakukan pada masa kini, sekarang
maupun yang akan datang. Suatu nilai adat yang perlu dimiliki oleh lebih banyak
manusia dari lapisan masyarakat adalah nilai adat dan budaya yang berorintasi ke
masa depan. Suatu nilai adat atau budaya semacam itu akan mendorong manusia

22

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalis dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 2002), 5-6.

24

untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih saksama dan teliti,
dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup lebih berhati-hati.
Hukum
penyimpangan

adat

bertujuan

maka

mewujudkan

akandiberikan

sanksi

kebaikan
sesuai

bersama,
adat

jika

istiadat

terjadi

setempat

Koentjaraningrat melihat bahwa adat adalah wujud ideal dari kebudayaan yang
sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, dan hanya ada di dalam pikiran yang
dituangkan kedalam cerita, tulisan (karangan-karangan) untuk diwariskan kepada
generasi berikutnya dimana kebudayaan itu hidup, dan juga merupakan rasa cinta,
hormat dan bukti adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan berbagai
perbuatan yang bertujuan ancaman dengan dunia gaib.23
2.2.2. Asas-asas Perkawinan Adat
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur
tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan
putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan diberbagai
daerah di Indonesia berbeda-beda, dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat,
agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda. Di samping itu dikarenakan
kemajuan zaman, selain adat perkawinan itu di sana-sini sudah terjadi pergeseranpergeseran, telah banyak juga terjadi perkawinan campuran antara suku, adat istiadat
dan agama yang berlainan.24 Jadi walaupun sudah berlaku undang-undnag
perkawinan yang bersifat nasional, yang berlaku untuk seluruh Indonesia namun, di
sana-sini di berbagai daerah dan berbagai golongan masyarakat masih berlaku
23

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2003), 76.
Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), 132.

24

25

hukum perkawinan adat. Apalagi undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal
pokok saja dan tidak mengatur hal-hal yang bersifat khusus setempat.
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan
keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi
juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari
pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan
kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan
yang rukun dan damai. Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari
perkawinan itu didapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua
dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu ataupun garis orangtua. Adanya
silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah
merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.25
Sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974,
maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:26
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai atau kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau
kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai
istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat
setempatnya.
25

Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, 70.
Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, 71.

26

26

4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat.
Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui
masyarakat adat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau
masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus
berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang bolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara
suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua belak
pihak.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri-istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah
tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.
2.2.3. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat
Manusia tidak akan dapat berkembang tanpa adanya perkawinan, karena
perkawinan menyebabkan adanya keturunan, dan keturunan menimbulkan keluarga
yang berkembang menjadi kerabat dan masyarakat. Jadi perkawinan merupakan
unsur tali temali yang meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat.
Oleh sebab itu dalam membentuk suatu ikatan perkawinan adat maka, yang
paling utama dilihat adalah persiapan ke-arah perkawinannya. Dengan demikian,
maka perkawinan adat itu sendiri terbagi atas dua yaitu, melalui peminangan dan
juga bisa melewati jalur kawin lari. Peminangan atau yang dikenal dengan pelamaran
adalah, hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua-tua pihak pria dengan
orang tua-tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan. Apabila

27

pinangan atau lamaran diterima, maka diadakan pertungan lebih dulu sebagai janji
kedua belak pihak untuk melangsungkan suatu perkawinan tertentu. 27 Kawin lari
merupakan tindakan melarikan seorang wanita tanpa izin, yang bertujuan untuk
hidup bersama maupun menikah. Dapat juga berarti penculikan gadis di bawah umur
atas persetujuannya, namun tak disukai oleh orang tuanya. Ini bisa diartikan dengan
menculik pengantin wanita, baik dengan taktik, paksaan, maupun ancaman.28
Di Maluku Barat Daya adat perkawinan secara umum diselenggarakan melalui
tiga tahap yaitu tahap pertama, masuk minta calon istri sekaligus menentukan waktu
pernikahan yang akan dilaksanakan. Tahap kedua, pemenuhan kewajiaban yang ada
kaitannya dengan pembayaran harta buang dari keluarga pengantin laki-laki kepada
pengantin perempuan, ketika dikemudian hari ada terjadinya perceraian. Tahap
ketiga, proses perkawinan adat.
2.3. Ritus
2.3.1. Pengertian Ritus
Ritus adalah suatu bentuk dari tindakan-tindakan yang tertata secara teratur
yang meliputi sejumlah gerakan-gerakan, kata-kata, dan objek-objek yang dilakukan
di tempat tertentu dan didesain untuk mempengaruhi entiti-entiti yang bersifat alamih
atau untuk mempengaruhi kekuatan-kekuatan yang ditujuh.29 Konsep ritual yang
digunakan pada zaman sekarang ini dalam berbagai ilmu pengetahuan dan bahasa
sehari-hari yaitu, menurut Van Gennep yang dikutip oleh Rubin bahwa, kehidupan

27

Iman. Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1978), 128.
Ter Haar Ben, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat: Terjemahan Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pradnja Paramita, 1960), 163.
29
Victor. T, Symbol in African Ritual dalam Symbolic Anthropology A Reader in the study of
symbols and meanings. (ed) Janet. L. Dolgin, et al. (New York: Colombia University press, 1997), 183-184
28

28

individu disetiap masyarakat sebagai rangkaian peristiwa yang berurutan dari satu
usia ke usia yang lain.30 Selain itu Van Gennep juga menjelaskan bahwa, ritus
merupakan transisi (peralihan) individu dari situasi ke situasi yang lain, sehingga
kehidupan masyarakat dapat diidentifikasi dalam ritual siklus kehidupan mereka.31
Ritus yang diadakan secara kolektif berfungsi agar masyarakat disegarkan dan
dikembalikan akan pengetahuan dan makna-makna kolektif, terkhusus makna realitas
dalam masyarakat (makna sosial).32 Makna dari ritus ini yang akan membentuk
identitas masyarakat adat dalam kehidupan sosialnya.
Ritus merupakan bagian dari kehidupan sosial kelompok yang terorganisasi,
yang di dalamnya orang dilahirkan. Setiap orang menunaikan kewajiban
keagamaannya menurut wataknya, artinya dengan lebih atau kurang bergairah, tetapi
tidak ada seorang pun yang tidakberagama, sebab pelaksanaan ritual adalah
kewajiban sosial. Oleh sebab itu religi itu tidaklah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa,
tetapi untuk pelestarian dan kesejahteraan masyarakat.33
Menurut Malinowski yang dikutip oleh Van Baal bahwa, magi dan religi
kedua-duanya termasuk dalam bidang sakral, suatu kategori yang tidak diberi definisi
lebih lanjut, tetapi menurut pemikiran Malinowski mungkin paling baik dapat
diterangkan dengan istilah supranatural. Magi harus dibedakan dari religi, karena
magi diarahkan pada tujuan-tujuan yang kongkret dan jelas uraiannya. Sedangkan

Miri. Rubi , Introduction: Rites of passage, “in Rites of Passage: Cultures of Transition in the
Fourteenth Century,(U iversity of York’s: York Medieval Press, 2004), 1.
31
Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee
(Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 13.
32
Joha es “upriyo o, Paradig a Kultural Masyarakat Durkhei ia , in Teori-Teori
Kebudayaan, ed. Mudji Sutrisno and Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 96-97.
33
J. Van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Jilid 1, (Jakarta: Gramedia,
1987), 105.
30

29

religi dalam hal ini urainnya menjadi tidak memuaskan, mengejar tujuan-tujuan yang
samar-samar, religi adalah badan mandiri dari sebuah tindakan untuk menjadi diri
sendiri dalam pemenuhan tujuan dari religi yang lebih bersifat abstrak.
Ritus inisiasi adalah ekspresi ritual dan dramatis dari kekuasaan tertinggi dan
nilai dari tradisi dalam masyarakat primitif, di mana mereka juga turut melayani dan
mengesankan kekuatan dan nilai pada benak setiap generasi, dan mereka pada saat
yang sama, dan cara yang sangat efisiendapat menularkan pengetahuan suku,
mengasuransikan kontinuitas dalam tradisi dan mempertahankan keadaan suku.34
Ritus inisiasi berfungsi sebagaisebuah tradisi yang sakral.35 Jadi sebagaimana dapat
dikatakan oleh Malinowski bahwa, kekuatan yang terkandung dalam ritus tersebut
dapat membuat sekelompok orang atau masyarakat agar senantiasa patuh terhadap
apa yang diyakini dari generasi ke generasi, sebab ritus itu sendiri mengandung nilainilai sakral atau yang dapat disebut sebagai supranatural.
2.3.2. Bentuk-Bentuk Ritus
Secara teoritis, ada empat kategori ritus atau seremoni yaitu:36
1.

Ritus pencerminan, misalkan ritus yang berkaitan dengan masa orientasi
kepada seseorang sebelum ia melakukan tugasnya dalam sebuah persekutuan.

2.

Ritus penguatan, misalkan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan untuk
memperteguh identitas sosial sesorang.

34

J. Van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Jilid 2, (Jakarta: Gramedia,

1988), 70.
35

Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan, 71.
Xaverius Wonmut, Ritual Kematian Marind Anim, (Salatiga: Widya Sari Press, 2008), 47.

36

30

3.

Ritus pembaharuan, misalkan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
seseorang.

4.

Ritus integrasi yang bertujuan untuk menciptakan iklim dan perasaan serta
kebersamaan diantara kelompok masyarakat dan meningkatkan komitmen
terhadap sebuah tradisi.
Dari bentuk-bentuk ritus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ritus

merupakan suatu aturan khusus dalam ruang dan waktu. Dalam hal ini ritus adalah
sebagian tindakan yang secara luas dapat dikenal oleh masyarakat yang berbudaya
demi sebuah relasi dengan diri sendiri, dunia, dan yang Ilahi. Dengan sebuah
pemahaman tentang perasaan secara sadar yang diwujudkan dengan melakukan
sesuatu. Misalnya ritus yang ada dalam sebuah kepercayaan adat yang senantiasa
dipatuh dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat dalam ruang dan waktu yang
berbeda dan dapat diwujudkan dalam tingkah laku setiap hari.
2.3.3. Ritus-Ritus Keagamaan
Ritus keagamaan terdiri dari tindakan-tindakan simbolis untuk mengungkapkan
makna-makna religius. Kepercayaan-kepercayaan religius merupakan ekspresi dari
aspek kognitif dari agama (mengetahui dan percaya), maka ritus-ritus keagamaan
merupakan perwujudan makna-makna keagamaan. Kepercayaan-kepercayaan dan
ritus-ritus mempunyai hubungan yang sangat erat. Ritus-ritus merupakan salah satu
bentuk ungkapan dari kepercayaan-kepercayaan. Arti dan bentuk dari ritus-ritus itu
berbeda dari satu agama ke agama yang lain. Kepercayaan dan ritus-ritus merupakan
simbol-simbol

yang

mempersatukan

kelompok

serentak

berfungsi

untuk

meningkatkan kesatuan di dalam kelompok itu. Dengan melakukan tindakan-

31

tindakan ritual tertentu, kelompok secara bersama mengingat kembali makna
bersama yang mereka hayati dan memperkuat kesadaran akan kebersamaan itu.
Sebuah tindakan disebut ritus keagamaan bukan karena isi dari tindakan itu
melainkan karena arti atau makna yang diberikan oleh kelompok agama
bersangkutan.37
Dapat disimpulkan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi yang dapat
memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas
kehidupan disekelilingnya. Sering kali praktek-praktek keagamaan pada suatu
masyarakat dikembangkan dari ajaran-ajaran budaya di lingkungan sekitarnya. Oleh
sebab itu, demi mewujudkan budaya ritus agama sebagai sebuah sistem kepercayaan
masyarakat adat, maka perlu memposisikan ritus agama sebagai sebuah tindakan
simbolis keagamaan yang merupakan basik utama guna mengatualisasikan nilai-nilai
budaya rituskeagamaan ke dalam wujud kehidupan riel masyarakat adat dalam
kehidupannya sehari-hari. Sebagai bukti dari hal tersebut adalah nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, seperti nilai kekeluargaan maupun nilai agama yang
membuat masyarakat patuh terhadap budaya ritus tersebut.
Dalam hidup religius seseorang, ritus-ritus inisiasi menandai permulaan
kematangan kedewasaannya dalam soal-soal religius. Inisiasi itu sendiri memberikan
kepadanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk berpartisipasi secara penuh
dalam hidup religius di masyarakat. Menurut Van Gennep yang dikutip oleh
Mariasusai bahwa, ritus penerimaan menunjuk pada dua tipe ritus. Tipe pertama
menandai penerimaan seorang individu dari suatu status sosial yang satu ke yang lain
37

Bernard Raho, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta: Obor, 2013), 13.

32

dalam perjalanan hidupnya. Tipe kedua menandai saat-saat penting yang dikenal
dalam kelangsungan waktu seperti tahun baru, bulan baru, titik balik matahari. Para
sejarawan religius mengartikan istilah tersebut yaitu pertama, bahwa ritus-ritus
tersebut yang berkenaan dengan kelahiran, kedewasaan, perkawinan, dan kematian
disebut ritus penerimaan.38
Jadi melalui dua tipe ritus di atas, maka dapat dikatakan bahwa ritus
merupakan tingkah laku manusia yang di dalamnya didasarkan pada akal rasional
maupun logika, mengenai peranjakan status seseorang dalam kehidupan sosial, baik
dari tingkah laku keagamaan, maupun budaya dari kelahiran hingga kematian.Begitu
pula, inisiasi juga merupakan tingkah laku manusia yang menyadari akan hal-hal
yang harus ia lakukan dan hak yang ia miliki dalam hal religi ditengah masyarakat.

38

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 189.

33