Gambaran Tingkat Stres, Ansietas dan Depresi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hemodialisa
2.1.1. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat
toksis lainnya melalui membran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan
cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser. Membran semipermiabel adalah
lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran poripori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea,
keratin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas
melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah
terlalu besar untuk melewati pori-pori membran(Wijaya, dkk., 2013).
Hemodialisa adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang
berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada hemodialisa, darah dipompa keluar dari
tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin dialiser darah dibersihkan
dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan
khusus untuk dialisis), lalu dialirkan kembali dalam tubuh. Proses hemodialisa
dilakukan 1-3 kali seminggu dirumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan
waktu sekitar 2-4 jam (Mahdiana, 2011).

2.1.2. Tujuan
Menurut Lumenta (2001), Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa
mempunyai tujuan :

8

Universitas Sumatera Utara

9

1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat.
2) Membuang kelebihan air.
3) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
5) Memperbaiki status kesehatan penderita.
2.1.3. Indikasi
Menurut Wijaya dkk, (2013) indikasi hemodialisa adalah sebagai berikut:
a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus < 5ml).
Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila

terdapat indikasi: Hiperkalemia (K+ darah > 6 mEq/l), asidosis, kegagalan
terapi konservatif, kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200
mg%, Kreatinin serum > 6 mEq/l), kelebihan cairan, mual dan muntah
hebat.
b. Intoksikasi obat dan zat kimia
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat
d. Sindrom hepatorenal dengan kriteria :
1) K+ pH darah < 7,10 → asidosis
2) Oliguria/anuria > 5 hari
3) GFR < 5 ml/I pada GGK
4) Ureum darah > 200 mg/dl

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.4. Kontra Indikasi
Menurut Wijaya, dkk (2013) menyebutkan kontra indikasi pasien yang
hemodialisa adalah sebagai berikut:
a. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).

b. Hipotensi (TD < 100 mmHg).
c. Adanya perdarahan hebat.
d. Demam tinggi.
2.1.5 Prinsip Hemodialisa
Menurut Muttaqin (2011), prinsip hemodialisa pada dasarnya sama seperti
pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisia, yaitu: difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi.
1. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan
kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat
2. Proses ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena
perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat. Luas permukaan dan
daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan air yang berpindah.
Pada saat dialisis, pasien, dialiser, dan rendaman dialisat memerlukan
pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang
dapat terjadi misal: emboli udara, ultrafiltrasi yang tidak adekuat atau
berlebihan, hipotensi, kram, muntah, perembesan darah, kontaminasi dan
komplikasi terbentuknya pirau atau fistula)

Universitas Sumatera Utara


11

2.1.6. Penatalaksanaan Hemodialisa pada pasien
Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal
atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat
membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan
sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat
menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa
dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Wijayakusuma, 2008).
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu
mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang
terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia
dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein akan
mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan
gejala (Smeltzer & Bare, 2001).
Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal
jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga

merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis
yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya
memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan protein, natrium,
kalium dan cairan (Smeltzer & Bare, 2001).

Universitas Sumatera Utara

12

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik,
antiaritmia dan antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar
kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa
menimbulkan akumulasi toksik (Smeltzer & Bare, 2001).
2.1.7. Komplikasi
MenurutSmeltzer & Bare (2002), Komplikasi dialisis sendiri dapat
mencakup hal-hal berikut:
a.

Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan


b.

Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi
jika udara memasuki sistem vaskuler pasien

c.

Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh

d.

Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit

e.

Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral


dan

muncul

sebagai

serangan

kejang.

Komplikasi

ini

kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat
f.

Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel


g.

Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi

Universitas Sumatera Utara

13

Komplikkasi atau dampak Hemodialisa terhadap fisik menjadikan klien
lemah dan lelah dalam menjalani kehidupan sehari- hari terumtama setelah
menjalani hemodialisis (Farida, 2010)
2.2. Konsep Stres

2.2.1 Pengertian Stres
Stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu yang
disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara kemampuan yang dimiliki
dengan tuntutan yang ada. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan
menghasilkan respons yang saling terkait, baik fisiologis, psikologis, maupun
perilaku pada individu yang mengalaminya. Mekanisme tersebut bersifat

individual yang sifatnya berbeda antar individu yang satu dengan yang lain (Nasir
& Muhith, 2011).

2.2.2 Penyebab Stres
Stresor

adalah

faktor-faktor

dalam

kehidupan

manusia

yang

mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai
sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada

situasi kerja, di rumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya
(Patel, 1996 dalam Nasir, 2011). Adapun sumber-sumber stres tersebut meliputi:
a.

Sumber Stres dari Individu.
Salah satu yang dapat menimbulkan stres dari pribadi sendiri adalah melalui
penyakit yang diderita oleh seseorang. Menjadi sakit menempatkan
demands pada sistem biologis dan psikologis, dan tingkatan stres yang

Universitas Sumatera Utara

14

dihasilkan oleh demands tersebut bergantung pada keseriusan penyakit dan
usia orang tersebut. Hal lain yang dapat menimbulkan stres individu sendiri
adalah melalui penilaian dari dorongan motivasi yang bertentangan, ketika
terjadi konflik dalam diri seseorang dan biasanya orang tersebut berada
dalam suatu kondisi dimana dia harus menentukan pilihan, dan pilihan
tersebut sama pentingnya
b.


Sumber Stres dalam Keluarga.
Perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari tiap anggota keluarga yang
mempunyai pengaruh dan berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya,
kadang menimbulkan gesekan.

c.

Sumber Stres dalam Komunitas dan Lingkungan.
Jika kita terlepas dari stres akibat pekerjaan, sangatlah penting untuk
mengevaluasi gaya bekerja. Kepuasaan kerja dan kecocokan dengan atasan
dan bawahan, serta organisasi. Hubungan yang dibuat seseorang diluar
lingkungan keluarganya dapat menghasilkan banyak sumber stres. Salah
satunya adalah bahwa hampir semua orang pada suatu saat dalam
kehidupannya mengalami stres yang berhubungan dengan pekerjaannya.

2.2.3 Respon Stres
Hans Selye (1946 dalam Nasir, 2011) telah melakukan riset terhadap dua
respons fisiologis tubuh terhadap stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS)
dan General Adaptation Syndrome (GAS).
1.

Local Adaptation Syndrome (LAS)

Universitas Sumatera Utara

15

Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stres. Respons
setempat ini termasuk pembuluh darah dan penyembuhan luk, akomodasi
mata terhadap cahaya, dan sebagainya. Responsnya berjangka pendek.
Berikut ini adalah karakteristik LAS.

2.

a.

Respons yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem.

b.

Respons bersifat adaptif; diperlukan stresor untuk menstimulasikannnya.

c.

Respons bersifat jangka pendek dan tidak terus-menerus.

d.

Respons bersifat restoratif.

General Adaptation Syndrom (GAS)

Merupakan respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.
Respons yang terlibat di dalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem
endokrin. Pada beberapa buku teks GAS sering disamakan dengan sistem
neuroendokrin. GAS terbagi menjadi tiga tahap berikut ini.
a. Fase alarm (waspada)
Melibatkan pengarahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran
untuk menghadapi stresor. Tanda fisik: curah jantung meningkat,
peredaran darah cepat, serta darah di perifer dan gastrointestinal mengalir
ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stres
memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot, dan daya tahan tubuh
menurun. Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan tubuh
seperti pengaktifan hormon yang berakibat pada meningkatnya volume
darah, yang

pada akhirnya

menyiapkan individu untuk beraksi.

Universitas Sumatera Utara

16

Teraktivasinya epinefrin dan norefinefrin mengakibatkan denyut jantung
meningkat dan terjadi peningkatan aliran darah ke otot. Selain itu, juga
terjadi peningkatan ambilan O dan meningkatnya kewaspadaan mental.

Aktivitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan

“respon melawan atau menghindar”. Respon ini bisa berlangsung dari
menit sampai jam. Bila stressor masih menetap, maka individu akan
masuk ke dalam fase resistensi.
b. Fase Resistance (resistensi/ melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penangggulangan
psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh
berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya pada keadaan
normal, dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Bila
teratasi, gejala stres akan menurun dan tubuh kembali stabil, termasuk
hormon, denyut jantung, tekanan darah, dan curah jantung. Hal tersebut
terjadi karena individu tersebut berupaya beradapatasi terhadap stresor,
jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak. Bila gagal,
maka individu tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir dari GAS, yaitu
fase kehabisan tenaga.
c. Fase Exhaustion (kelelahan)
Merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat tertanggulangi
pada fase sebelumnya. Energi untuk penyesuaian telah terkuras.
Akibatnya, timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti

Universitas Sumatera Utara

17

sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, dan sebagainya.
Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan dapat
mengakibatkan kematian. Pada tahap ini cadangan energi telah menipis
atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres.
Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap stresor inilah
yang akan berdampak pada kematian individu tersebut.

2.2.4 Tingkatan Stres
Menurut Potter &Perry (2005) adapun tingkatan stres adalah sebagai
berikut:
a.

Stres Ringan
Stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti terlalu banyak
tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan. Situasi seperti ini biasanya
berlangsung beberapa menit atau jam. Bagi mereka sendiri, stressor ini bukan
risiko signifikan untuk timbulnya gejala. Namun, demikian, stressor ringan
yang banyak dalam waktu singkat meningkatkan risiko penyakit.

b.

Stres Sedang
Berlangsung lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari. Misalnya,
perselisihan yang tidak terselesaikan dengan rekan kerja, anak yang sakit,
atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga merupakan situasi stres
sedang.

c.

Stres Berat

Universitas Sumatera Utara

18

Situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa
tahun, seperti perselisihan perkawinan terus menerus, kesulitan finansial yang
berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan makin
lama situasi stres, makin tinggi risiko kesehatan yang ditimbulkan.
2.2.5. Tahapan Stres
Gambaran stres biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya
dan seringkali tidak disadari. Namun meskipun demikian dari pengalaman praktek
kesehatan jiwa, para ahli mencoba membagi stres tersebut dalam enam tahapan.
Setiap tahapan memperlihatkan sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh yang
bersangkutan, hal mana yang berguna bagi seseorang dalam rangka mengenali
gejala stres sebelum memeriksakannya ke tenaga pelayanan kesehatan. Menurut
Hawari (2008), bahwa tahapan stres adalah sebagai berikut:
1. Stres tahap pertama (paling ringan): Tahapan ini merupakan tingkat stres
yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan perasaan sebagai
berikut; Semangat bekerja besar, penglihatan tajam, tidak sebagaimana
biasanya, energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan
pekerjaan lebih dari biasanya. Tahapan ini biasanya menyenangkan dan
orang bertambah semangat tanpa disadari bahwa cadangan energinya
sedang menipis.
2. Stres tahap kedua: Dalam tahapan ini dampak stres yang menyenangkan
mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan
tidak

lagi

cukup

sepanjang hari.

Keluhan-keluhan

yang sering

Universitas Sumatera Utara

19

dikemukakan adalah sebagai berikut; Merasa letih sewaktu bangun pagi,
merasa lelah setelah makan siang, merasa lelah menjelang sore hari,
terkadang mengalami gangguan pada saluran cerna (gangguan usus, perut
kembang), kadang-kadang jantung berdebar-debar, perasaan tegang pada
otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher). perasaan tidak bisa
santai.
3. Stres pada tahap ketiga: Pada tahapan ini keluhan-keluhan keletihan
semakin nampak disertai gejala-gejala; gangguan usus lebih terasa (sakit
perut, mulas, sering ingin ke belakang), otot-otot terasa lebih tegang,
perasaan tegang yang semakin meningkat, gangguan tidur (susah tidur,
sering terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau bangun terlalu
pagi), badan terasa loyo, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh
pingsan).
4. Stres tahap Keempat: Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih
buruk yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut; untuk bisa bertahan
sepanjang hari terasa sangat sulit, kegiatan-kegiatan yang semula
menyenangkan

kini

terasa

sulit,

kehilangan

kemampuan

untuk

menganggapi situasi, pergaulan sosial dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya
terasa berat, tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan
seringkali terbangun dini hari, perasaan negativistik, kemampuan
berkonsentrasi menurun tajam, perasaan takut yang tidak bisa dijelaskan.
5. Stres tahap Kelima: Tahapan ini merupakan tahapan yang lebih mendalam
dari tahap 4 di atas, yaitu; keletihan yang mendalam (physical and

Universitas Sumatera Utara

20

psychological exhaustionI), untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana

saja terasa kurang mampu, gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan
usus) lebih sering, sukar buang air besar atau sebaliknya feses encer dan
sering ke belakang, perasaan takut dan semakin menjadi, mirip panik.
6. Stres tahap Keenam (paling berat): Tahapan ini merupakan tahapan
puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Gejala-gejala pada tahap
ini cukup mengerikan, yaitu; debaran jantung terasa amat keras, hal ini
disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan, karena stres tersebut cukup
tinggi dalam peredaran darah, napas sesak dan megap-megap, badan
gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran, tenaga untuk hal-hal yang
ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan.

2.2.6. Manajemen Stres
Ada beberapa tips untuk mengelola stres yang efektif menutu Hans Selye
(1946) yang dikutip oleh Sumiati, dkk (2010), adalah sebagai berikut:
1. Lakukan sesuatu yang membutuhkan kekuatan fisik yang dapat
menimbulkan suatu semangat yang positif, misalnya melakukan suatu
semangat yang positif, melakukan aktivitas untuk menyalurkan hobi,
membuat artikel, bercocok tanam, beternak dan sebagainya.
2. Lakukan aktivitas yang disenangi, seperti: pergi menikmati hiburan,
melaksanakan kegiatan yang disukai. Kegiatan ini dapat mengurangi
dampak negatif dari stres.
3. Melakukan sesuatu yang sesuai dengan minat dan kemampuan.

Universitas Sumatera Utara

21

4. Keluarkan perasaan secara supportif: Apabila dalam kondisi tekanan yang
menyebabkan stres, bisa membicarakan perasaan pada orang yang dapat
dipercaya. Jika tidak ada orang lain yang sekiranya dapat dipercaya, dapat
mengeksplorasi perasaan melalui tulisan dalam buku harian atau kertas
apapun sampai perasaan tenang kembali.
5. Beri batas waktu untuk bersedih: Kesedihan yang berlarut –larut akan
mengganggu kesehatan mental, oleh karena itu kesedihan perlu dibatasi.
Lakukanlah aktivitas ini, Menangis apabila memang ingin menangis
sepuasnya. Berteriak dan menjerit di alam terbuka, seperti: pantai, gunung
dan lain-lain.
6. Meditasi dan berbicara pada diri sendiri: Meditasi dapat menyingkirkan
stres yang dirasakan dengan memfokuskan pikiran pada sesuatu yang tidak
menimbulkan stres, tetapi pada gagasan yang mendatangkan ilham dan
doa. Visualisasikan suatu adegan yang anda rasakan indah, gunakan musik
untuk mengukuhkan efeknya dalam terapi stres yang efektif.
7. Mengendalikan

kondisi

yang

menyebabkan

stres

dengan

jalan:

Kemampuan menyadari, kemampuan untuk menerima, kemampuan untuk
menghadapi, dan kemampuan untuk bertindak.
8. Mengembangkan pergaulan yang sehat. Sebagai pribadi individu
memerlukan orang lain untuk dapat berbagi pikiran dan perasaan dengan
seseorang yang dapat dipercaya, perbanyak bergaul dan jangan menarik
diri. Bila tidak ada orang yang dipercaya, dapat berbicara dengan ahli di
bidang ini, misalnya psikiater, psikolog atau konselor.

Universitas Sumatera Utara

22

9. Mendekatkan diri kepada Tuhan. Usahakan sediakan waktu untuk mencari
ketenangan melalui berdoa dan sholat sesuai dengan keyakinan yang
dimiliki. Beragama sebaiknya tidak hanya ritual, tetapi perlu penghayatan
dan pengalaman, sehingga meningkatkan keyakinan/keimanan.
2.3. KonsepAnsietas
2.3.1 PengertianAnsietas

Ansietas (cemas) merupakanresponemosionaldanpenilaianindividu yang
subjektifdandipengaruhiolehalambawahsadardanbelumdiketahuisecarakhususfakt
or penyebabnya.Ansietas merupakan pengalaman emosi dan subjektif tanpa ada
objek yang spesifik sehingga orang merasakan suatu perasaan was-was (khawatir)
seolah-olah ada sesuatu yang buruk akan terjadi dan pada umumnya disertai
gejala-gejala otonomik yang berlangsung beberapa waktu.Kecemasan merupakan
keadaan perasaan efektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi
fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaaan
yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjukkan dengan tepat,
tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Lestari, 2015)
2.3.2 Tanda dan Gejala Ansietas

Menurut Hawari (2008), keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh
orang yang mengalami ansietas antara lain:
a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah
tersinggung.
b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut.

Universitas Sumatera Utara

23

Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.

c. Gangguan pola tidur dan mimpi-mimpi yang menegangkan.
d. Gangguan kosentrasi dan daya ingat.
e. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran

berdengung,

berdebar-debar,

sesak

nafas,

gangguan

pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala.
2.3.3 Tingkatan Ansietas

Menurut Pieter, dkk (2011) yang menjadi tingkatan ansietas adalah
sebagai berikut :
a. Ansietas Ringan
Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan peristiwa kehidupan
sehari hari. Lapangan persepsi melebar dan orang akan bersikap hati-hati dan
waspada. Orang yang mengalami ansietas ringan akan terdorong untuk
menghasilkan kreativitas. Respons fisiologis orang yang mengalami ansietas
ringan adalah sesekali mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi,
muka berkerut, bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung. Respon
kognitif biasanya lapang persepsi melebar, dapat menerima ransangan yang
kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah secara
efektif. Adapun respons perilaku dan emosi adalah tidak dapat duduk tenang,
tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi.
b. Ansietas Sedang
Ansietas sedang tingkat lapangan persepsi pada lingkungan menurun dan
memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu juga dan menyampingkan hal-hal

Universitas Sumatera Utara

24

lain. Respons fisiologis dari orang yang mengalami ansietas sedang adalah sering
napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare,
konstipasi, dan gelisah. Respons kognitif biasanya lapang persepsi yang
menyempit, ransangan luar sulit diterima, berfokus terhadap apa yang menjadi
perhatian. Adapun respons perilaku dan emosi adalah gerakan yang tersentaksentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman.
c. Ansietas Berat
Pada Ansietas berat tingkat lapangan persepsinya menjadi sangat sempit,
individu cenderung memikirkan hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal
lain. Individu sulit berpikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan untuk
memusatkan perhatian pada area lain. Respons fisiologis ansietas berat adalah
napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, banyak berkeringat, rasa sakit kepala.
penglihatan kabur, dan mengalami ketegangan. Respons kognitif biasanya
lapangan persepsi yang sangat sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan
masalah. Adapun respons perilaku dan emosi terlihat dari perasaan tidak aman,
verbalisasi yang cepat, blocking.
d. Panik
Pada tingkatan panik lapangan persepsi seseorang sudah sangat sempit dan
sudah mengalami gangguan sehingga tidak bisa mengendalikan diri lagi dan sulit
melakukan apapun walaupun dia sudah diberikan pengarahan. Respons fisiologis
panik adalah napas pendek, rasa tercekit, sakit dada, pucat, hipotensi, dan
koordinasi motorik yang sangat rendah. Sementara respons kognitif panik adalah

Universitas Sumatera Utara

25

lapangan persepsi yang sangat sempit sekali dan tidak mampu berpikir logis.
Adapun respons perilaku dan emosi terlihat agitasi, mengamuk dan marah-marah,
ketakutan, berteriak-teriak, blocking, kehilangan kontrol diri dan memiliki
persepsi yang kacau.
2.3.4

Faktor yang Mempengaruhi Ansietas.

Menurut Lestari (2015), faktor-faktor yang mempengaruhi ansietas adalah
sebagai berikut:
a. Umur
Bahwa umur yang lebih muda lebih mudah menderita cemas daripada
umur tua.
b. Keadaan fisik
Penyakit adalah salah satu faktor yang menyebabkan ansietas. Seseorang
yang sedang menderita penyakit akan lebih mudah mengalami ansietas
dibandingkan dengan orang yang tidak sedang menderita penyakit.
c. Sosial budaya
Cara hidup orang dimasyarakat juga sangat memungkinkan timbulnya
ansietas. Individu yang mempunyai cara hidup teratur akan mempunyai
filsafat hidup yang jelas sehingga umumnya lebih sukar mengalami
ansietas. Demikian juga seorang yang keyakinan agamanya rendah.
d. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon
terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Orang
yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih

Universitas Sumatera Utara

26

rasional dibandingkan mereka yang bependidikan lebih rendah atau
mereka yang tidak mempunyai pendidikan.
e. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang mudah mengalami
ansietas. Ketidaktahuan terhadap suatu hal dianggap sebagai tekanan yang
dapat mengakibatkan krisis dan dapat menimbulkan ansietas. Ansietas
dapat terjadi pada individu dengan tingkat pengetahuan yang rendah,
disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh.
2.3.5. Faktor-Faktor Penyebab Ansietas
Faktor-faktor penyebab ansietas adalah adanya perasaan takut tidak
diterima dalam lingkungan tertentu, adanya pengalaman traumatis, seperti trauma
perpisahan, kehilangan atau bencana alam, adanya frustasi akibat kegagalan dalam
mencapai tujuan, adanya ancaman pada integritas diri, yakni meliputi kegagalan
memenuhi kebutuhan fisiologis (kebutuhan dasar) dan adanya ancaman pada
konsep diri.
2.3.6. Penatalaksanaan Ansietas
Menurut Hawari (2008) mengatakan bahwa penatalaksanaan ansietas pada
tahap pencegahan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat
holistik, yang mencakup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial
dan psikoreligius. Selengkapnya sebagai berikut:
a. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stres dengan cara:
1) Makan makanan yang begizi dan seimbang.

Universitas Sumatera Utara

27

2) Tidur yang cukup.
3) Cukup olahraga.
4) Tidak merokok.
5) Tidak meminum minuman keras.
b. Terapi psikofarmaka
Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk ansietas dengan
memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan
neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf) disusunan saraf pusat otak
(limbic system). Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti
ansietas (anxiolytic), yaitu seperti diazepam, clobazam, bromazepam,
lorazepam, buspirone HCl, meprobamate dan alprazolam.
c. Terapi somatik
Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala ikutan
atau akibat dari ansietas yang berkepajangan. Untuk menghilangkan
keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang
ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan.
d. Psikoterapi
Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain:
1) Pskioterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan
dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan
diberikan keyakian serta percaya diri.
2) Pskioterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila
dinilai bahwa ketidakmampuan mengatasi anisetas.

Universitas Sumatera Utara

28

3) Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki kembali
(re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat
stressor .

4) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu
kemampuan untuk berpikir secara rasional, kosentrasi dan daya ingat.
5) psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang tidak
mampu menghadapi stressor psikososial sehingga mengalami ansietas.
6) Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar
faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga
dapat dijadikan sebagai faktor pendukung.
e. Terapi psikoreligius
Untuk menigkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya dengan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan
yang merupakan stresor psikososial.
2.4 Konsep Depresi
2.4.1. Pengertian Depresi
Depresi adalah gangguan alam perasaan yang disertai oleh komponen
psikologis dan komponen somati yang terjadi akibat kesedihan yang panjang
(Prabowo, 2014). Sedangkan menurut Lestari (2015) mengatakan bahwa depresi
timbul akibat adanya dorongan negatif dari super ego yang direpresi dan lambat
laun akan tertimbun di alam bawah sadar. Sehingga depresi seperti penderitaan
emosional.

Kekecewaan

ataupun

ketidakpuasan

secara

emosional

yang

Universitas Sumatera Utara

29

direpresikan tidak secara otomatis akan hilang, melainkan sewaktu waktu akan
muncul.
2.4.2. Gejala-gejala Depresi
Menurut Pieter, dkk (2011) adapaun yang menjadi gejala-gejala depresi
adalah sebagai berikut :
a. Gejala Fisik.
Pada gejala fisik dari orang yang mengalami depresi akan terjadi keluhan fisik
(somatic), seperti sakit kepala atau pusing, rasa nyeri lambung, dan mual
bahkan muntah-muntah, nyeri dada, dan sesak napas, gangguan tidur (sulit
tidur), penurunan libido dan agitasi, jantung berdebar-debar, retardasi
psikomotor, tidak nafsu makan atau makan berlebihan, diare, lesu dan kurang
bergairah, gerakan lambat dan berat badan turun, dan terjadinya gangguan
menstruasi, atau impotensi dan tidak respons pada hubungan seks.
b. Gejala Psikis.
Gejala-gejala

gangguan

kognitif

pada

klien

depresi

terlihat

dari

ketidakmampuan berpikir logis, berkurangnya konsentrasi, hilangnya daya
ingat, dan disorientasi. Adapun gejala-gejala gangguan afektif meliputi mudah
marah dan gampang tersinggung, malu, cemas, bersalah disertai dengan
perasaan terbebani, hilangnnya percaya diri, karena mereka selalu menilai dari
sisi pribadinya, seperti menilai orang lain sukses, kaya, dan pandai, sementara
diri saya tidak ada apa-apa (merasa tidak berguna) dan merasa diri terasing

Universitas Sumatera Utara

30

dalam lingkungan dan putus asa. Gejala-gejala gangguan perilaku pada klien
depresi terlihat dari rasa kecemasan yang berlebihan dan tidak dapat
mengontrol tingkah laku, seperti berjalan mondar-mandir tanpa tujuan, bingung
karena tidak bisa mengambil keputusan dan melakukan aktivitas, sedih yang
mendalam, wajah tampak murung, pandangan mata kosong(melamun), merasa
tidak ada lagi orang lain yang mau menyayanginya atau mempedulikan
sehingga ada pemikiran untuk bunuh diri. Hal ini disertai halusinasi yang
mengatakan dirinya tidak berguna dan tidak ada perhatian pada kebersihan diri.
c. Gejala Sosial.
Gejala-gejala gangguan sosial pada klien depresi terlihat dari keinginan untuk
menyendiri dan tak mau bergaul, merasa malu dan bersalah apabila
berkomunikasi dengan orang yang dianggap lebih berhasil, sukses, cantik, dan
pandai. Klien merasa minder, kurang percaya diri untuk membina relasi sosial
sekalipun pada anggota keluarganya dan tidak memedulikan pada situasi.
2.4.3. Faktor-faktor Penyebab Depresi
Pada umumnya, depresi dicetuskan oleh peristiwa hidup tertentu meskipun
pada kenyataan peristiwa hidup itu tidak selalu menyebabkan depresi. Sangat
jarang sekali jika depresi diakibatkan oleh satu faktor saja, tetapi bersifat
multifaktor sehingga dapat menciptakan suatu kondisi yang berpengaruh terhadap
tinggi atau rendahnya frekuensi depresi.
a. Faktor Internal

Universitas Sumatera Utara

31

1. Stres
Stres adalah kondisi atau peristiwa yang memiliki persamaan dengan
pengalaman traumatik pada seseorang pada masa lalu. Pengalaman
traumatik masa lalu dianggap sangat bertanggung jawab kuat terhadap
sikap-sikap negatif. Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan stres antar
lain: a) situasi yang menurunkan harga diri (gagal cinta, gagal ujian,
dipecat dari pekerjaan), b) situasi yang menghambat tujuan penting atau
menghadapi dilema yang sulit dipecahkan, seperti cita-cita ingin jadi
tentara tatapi orang tua mengharuskannya masuk sekolah teknik, c)
penyakit atau gangguan fisik atau abnormalitas yang menyebabkan adanya
ide-ide negatif pada kemunduran fisiknya, misalnya seorang wanita yang
didiagnosis dokter mengalami sakit kanker nasopharin, dia merasa tidak
ada lagi harapan untuk hidup dan merasa dia menjadi beban bagi orang
lain dan d) rangkaian stres yang bertubi-tubi sehingga mematahkan
toleransi terhadap stres (Beck, 1985 dalam Pieter, dkk, 2011)
2. Faktor Usia dan Jenis Kelamin.
Berdasarkan laporan penelitian menunjukkan orang-orang muda, yakni
remaja dan orang dewasa (usia 18-44 tahun) cenderung lebih mudah
terserang depresi. Perempuan pada umumnya lebih banyak memiliki risiko
terkena depresi daripada laki-laki. Data dari World Bank mengatakan
bahwa sekitar 30% perempuan mengalami depresi dan 12,6% pria
mengalami depresi. Tingkat perbedaan terserang depresi antara pria dan

Universitas Sumatera Utara

32

wanita ditentukan oleh: (a) faktor biologi, seperti perubahan hormonal dan
reproduksi dan (b) faktor lingkungan, seperti perubahan peran sosial yang
menimbulkan konflik dan kondisi yang menimbulkan stres (Klerman dan
Weissman, 1989 dalam Pieter,dkk, 2011).
3. Kepribadian.
Aspek-aspek kepribadian sangat berperan dalam penentuan tinggi
rendahnya dan kerentanan pada depresi seseorang. Bagi individu yang
rentan terkena depresi adalah individu yang memiliki konsep diri dan pola
pikir yang negatif, pesimis, dan kepribadian introvert. Sementara Beck
(1985 dalam Pieter,dkk, 2011) menambahkan bahwa penyebab depresi
adalah cara berpikir seseorang yang suka menyalahkan diri sendiri,
mengevaluasi diri secara negatif dan menginterpretasikan hal-hal yang
terjadi pada dirinya secara negatif.
4. Faktor Biologis.
Selama orang mengalami depresi, maka dia memiliki ketidakseimbangan
dalam pelepasan neurotransmiter serotin mayor, norepinefrin, dopamin,
asetilkolin, dan asam gama aminobutrik. Selama tahap depresi seseorang

akan

mengalami

defisiensi

dalam

neurotransmiter

dasar

yang

memengaruhi enzim yang mengatur dan memproduksi bahan-bahan kimia.
Selain itu, juga aksis hipotalamus hipofisis adrenalin yang mengatur
pelepasan kortisol tidak berfungsi dengan baik.
5. Faktor Psikologis.

Universitas Sumatera Utara

33

Penyebab depresi adalah perasaan bersalah dan dukacita yang mendalam,
berkepanjangan, mengingkari, hubungan ambivalen, perasaan tidak aman,
perasaan negatif atas diri sendiri, perasaan tidak mampu memikul
tanggung jawab, hubungan pribadi yang sangat terbatas, kesulitan bergaul,
kondisi emosional yang labil, dan merasa tidak berdaya (putus asa).
b. Faktor Eksternal.
Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan depresi antara lain:
1. Faktor keluarga, meliputi kedekatan, interaksi, dan komunikasi antar
anggota keluarga, dukungan emosional dari pasangan, dan suasana rumah
tangga.
2. Faktor lingkungan, meliputi relasi, peran sosial, dukungan sosial, status
sosioekonomi, dan latar belakang pendidikan.
3. Faktor tekanan hidup, yakni berbagai peristiwa hidup yang dapat
menyebabkan stres dan trauma bagi seseorang.
2.4.4. Episode Depresi
Menurut DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual Disorders, 5th ed.
Washington, American Psychiatric Assocoation, 2013), diagnosis depresi dapat

ditegakkan sebagai berikut:
A. Lima ( atau lebih) gejala berikut telah hadir dalam satu periode selama 2
minggu dan merupakan perubahan dari fungsi sebelumnya: setidaknya satu

Universitas Sumatera Utara

34

gejala dari dua gejala berikut ini yaitu (1) Mood depresi atau (2) Kehilangan
minat atau kesenangan.
1.

Mood depresi hampir sepanjang hari , hampir setiap hari, dikeluhkan
(misalnya, merasa sedih, kosong, putus asa) atau pengamatan yang dibuat
oleh orang lain ( misalnya, muncul menangis).

2.

Berkurangnya minat atau kesenangan secara nyata dalam semua hal
sepanjang hari, hampir setiap hari.

3.

Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet ( misalnya,
perubahan lebih dari 5 % dari berat badan dalam satu bulan), atau
penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.

4.

Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

5.

Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (diamati oleh orang
lain, tidak hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau sedang
melambat).

6.

Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.

7.

Perasaan tidak berharga atau bersalah yang berlebihan atau tidak pantas
(yang mungkin delusi) hampir setiap hari (tidak hanya menyalahkan diri
sendiri atau rasa bersalah tentang menjadi sakit).

8.

Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsetrasi, atau
keraguan, hampir setiap hari.

9.

Pikiran berulang tentang kematian ( tidak hanya takut mati), keinginan
bunuh diri berulang tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau
rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.

Universitas Sumatera Utara

35

B. Gejala menyebabkan distres klinis yang signifikan atau penurunan pada
kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang penting lainnya yang
berfungsi.
C. Episode tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi
medis yang lain.
D. Terjadinya episode depresi mayor tidak lebih baik di jelaskan oleh gangguang
schizoaffective, Skizofrenia, gangguan delusi, atau

spesifikasi lainnya

spektrum skizofrenia atau yang tidak terspesifikasi dan gangguan psikotik
lainnya.
E. Tidak pernah terjadi episode manik atau episode hypomanik.
Keparahan didasarkan pada sejumlah gejala kriteria, tingkat keparahan gejalagejala, dan derajat kecacatan fungsional.
Ringan

: Sedikit, jika ada, gejala lebih dari yang dibutuhkan untuk membuat
diagnosis, intensitas gejala yang menyulitkan tetapi dapat dikelola,
dan gejala yang mengakibatkan gangguan kecil dalam fungsi sosial
atau pekerjaan.

Sedang

: Jumlah gejala, intensitas gejala, dan/ atau gangguan fungsional
adalah antara mereka ditetapkan untuk “ringan” dan “berat.”

Berat

: Jumlah gejala secara substansial lebih dari yang diperlukan untuk
membuat diagnosis, intensitas gejala yang serius menyulitkan dan
tidak terkendali, dan gejala nyata menggangu fungsi sosial dan
pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

36

1. Dengan ciri psikotik : adanya Delusi dan/ atau halusinasi
2. Dengan ciri psikotik mood-kongruen: isi semua delusi dan halusinasi
konsisten dengan tema tipikal depresif pada kekurangan pribadi, rasa
bersalah, penyakit, kematian, nihilisme atau hukuman yang layak.
3. Dengan ciri psikotik mood-inkongruen: isi dari delusi atau halusinasi tidak
melibatkan tema tipikal depresif pada kekurangan pribadi, rasa bersalah,
penyakit, kematian, nihilisme atau hukuman yang layak atau konten
campuran mood-kongruen dan tema mood- komgruen.
4. Dengan remisi sebagian : gejala episode mayor sebelumnya hadir segera,
tetapi kriteria penuh tidak tepenuhi, atau ada periode yang berlangsung
kurang dari 2 bulan tanpa gejala yang signifikan dari episode depresi
mayor yang diikuti sampai akhir episode tersebut.
5. Dengan remisi penuh : selama 2 bulan terakhir tidak ada tanda-tanda
gejala yang signifikan dari gangguan yang hadir.

2.4.5. Terapi Pada Depresi.
Menurut Pieter, dkk, (2011) terapi pada depresi adalah sebagai berikut :
a. Terapi Individu.
Terapi individu yaitu dengan mengeksplorasi perasaan yang menyebabkan
depresi akibat kehilangan orang-orang yang dicintai klien. Mendiskusikan
perilaku pengalahan diri, harapan yang tidak realistis, dan kemungkinan distorsi
dari realita. Mendorong klien untuk mengungkapkan rasa frustasi, marah, dan

Universitas Sumatera Utara

37

putus asa. Mengupayakan klien agar dapat mengubah pola berpikir negatif
otomatif tentang diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan masa depan.
Memberikan kesempatan pada klien untuk menyelesaikan masalah-masalah
interpersonal.
b. Terapi Keluarga
Meminta informasi dari masing-masing anggota keluarga tentang situasi
keluarga saat ini. Terapis bekerja sama dengan keluarga dalam menelusuri
bagaimana konflik-konflik atau krisis yang ditangani dan mengevaluasi tentang
dukungan anggota keluarga pada penyembuhan klien. Kaji tentang ketertutupan
dan ketidakpedulian dari setiap anggota keluarga. Ajarkan kepada keluarga klien
tentang keterampilan komunikasi yang persuasif, penyelesaian masalah,
pengelolaan (manajemen) stres, dan ekspresi perasaan yang konstruktif.
Mengajarkan keluarga klien dalam mengatasi secara efektif segala aspek yang
mengancam diri klien. Mengkaji perasaan bersalah dan menyalahkan diri akibat
pandangan yang tidak realistis pada situasi krisis.

c. Terapi Kelompok
Meningkatkan harga diri dan mengakui kekuatan dari setiap anggota
kelompok. Mengajarkan klien tentang cara membentuk dan mempertahankan
hubungan interpersonal, terutama setelah klien mengalami kehilangan. Membantu
klien untuk mengembangkan strategi untuk memperoleh dukungan sosial,
mengurangi rasa kesepian, mendapatkan umpan balik dari orang lain, dan

Universitas Sumatera Utara

38

mengatasi stresor. Mengajarkan klien untuk memperoleh dukungan dan bantuan
teman sebaya dan mengajarkan dia untuk menurunkan dan menghilangkan distorsi
kognitifnya.
d. Terapi Obat-obatan
Memberikan obat-obatan yang disesuaikan dengan tingkat dan gejalagejala depresi. Dalam fase akut, gejalanya ditangani denganmemberikan obat pada
dosis tertentu yang disesuaikan untuk mencegah efek samping yang merugikan
klien. Akan tetapi, pada fase ringan atau tidak memiliki risiko tinggi, maka
sebaiknya penanganan depresi dilakukan dengan memberikan bimbingan dan
penyuluhan psikologis. Adapun jenis-jenis obat yang digunakan untuk mengatasi
depresi adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRis), antipsikotik
(depresi berat), dan benzodiazepin (untuk gangguan tidur).
2.5. Hubungan stres, ansietas dan depresi terhadap hemodialisa yang dijalani
pasien gagal ginjal kronik.
Respon atau reaksi seseorang terhadap stressor psikososial yang
dialaminya berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang menunjukkan gejalagejala stres, ada juga yang menunjukkan gejala-gejala kecemasan dan atau
depresi. Tidak jarang ketiga gejala tersebut juga saling tumpang tindih, sebab
dalam pengalaman klinis jarang ditemukan ketiga gejala tersebut masing-masing
berdiri sendiri. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi
oleh keluhan-keluhan somatik (fisik) tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan
psikis. Pada gejala ansietas, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh

Universitas Sumatera Utara

39

keluhan-keluhan psikis (ketakutan dan kekhawatiran), tetapi dapat pula disertai
keluhan-keluhan somatik (fisik). Pada depresi, gejala yang dikeluhkan penderita
didominasi oleh keluhan psikis (kemurungan dan kesedihan), tetapi dapat pula
disertai keluhan-keluhan somatik (Hawari, 2013).
Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan baik, maka
semua organ pada dasarnya akan berpengaruh. Pasien yang mengalami perubahan
eliminasi urin juga dapat menderita secara emosional akibat perubahan citra
tubuhnya (Potter & Perry, 2006).
Pada saat stres hipotalamus memberi sinyal kepada kelenjar adrenalin
untuk memproduksi lebih banyak hormon adrenalin dan kortisol untuk dilepas
kedalam pembuluh darah. Hormon ini meningkatkan kerja jantung, nafas cepat,
tekanan darah dan metabolisme dan pada saat stres sekresi renin akan meningkat
ke ginjal yang menyebabkan ginjal harus bekerja lebih berat.
Hemodialisis adalah suatu prosedur yang menyokong hidup untuk
pengobatan pada pasien penyakit ginjal kronik. Terapi dialisis jangka panjang,
bagaimanapun membutuhkan waktu yang banyak, mahal, dan membutuhkan
kepatuhan terhadap regimen terapi, seperti pembatasan cairan dan makanan. Hal
ini juga berpengaruh terhadap hilangnya kebebasan, ketergantungan pada
pengasuh, mengganggu hubungan perkawinan, keluarga dan kehidupan sosial,
mengurangi atau kehilangan pendapatan (Lai KN, 2009).
Pasien hemodialisis tidak hanya menghadapi stresor yang berhubungan
dengan pengobatan, tetapi juga harus bisa mengubah konsep atas diri dan

Universitas Sumatera Utara

40

kepercayaan diri, perubahan aturan dalam keluarga dan kehilangan martabat.
Ansietas adalah salah satu respons emosi terhadap kondisi yang dialami
ini(Bayhakki, 2012).
Mesin hemodialisis adalah penting pada pasien yang menjalani terapi
hemodialisis. Pasien merasa bahwa mereka tidak bisa bepergian kemana-mana
untuk waktu yang lama, karena mereka harus ke rumah sakit atau pusat
hemodialisis untuk pengobatan (Bayhakki, 2012).
Depresi merupakan kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak
ditemukan pada populasi pasien gagal ginjal kronik. Prevalensi pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 59%
(Battistella, 2012).
Depresi merupakan kondisi yang umum pada pasien yang menjalani
hemodialisis, depresi dapat berdampak pada emosional, kesehatan mental, fungsi
sosial yang dapat memperburuk kondisi kesehatan pasien (Cruz, Fleck
&Polanczyk, 2010). Kondisi depresi dapat mempengaruhi motivasi pasien untuk
melakukan aktivitas sehari-hari sehingga berdampak pada penurunan kesehatan
fisik dan mental yang akan memperberat penyakit dan meningkatkan kematian
(hedayati, et al, 2008)
Cichocki (2009) juga mengatakan bahwa keadaan depresi akan membuat
pasien pesimis akan masa depan, memandang dirinya tidak berharga, tidak
berguna, cenderung mengurung diri dan tidak ingin bergaul dengan orang lain, hal
ini akan mempengaruhi secara keseluruhan aspek-aspek dalam kehidupan pasien.

Universitas Sumatera Utara

41

Peneliti kurella, et al (2005) juga mengatakan bahwa pasien gagal ginjal
tahap akhir kehilangan kemampuan fisik dan kognitif yang akhirnya membawa
pasien pada kesedihan dan keputusasaan sehingga menyebabkan pemutusan
dialisis, perilaku ini dianggap sebagai pemikiran bunuh diri, bunuh diri dipacu
akibat kegagalan mengatasi stres dialisis. Oleh karena itu dipandang perlu untuk
pasien hemodialisa harus berada dibawah evaluasi dari psikiatri (Keskin & Engin,
2011).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Gambaran Tingkat Stres, Ansietas dan Depresi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

5 28 151

Status Periodontal Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dan Non-Hemodialisa Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 9

Status Periodontal Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dan Non-Hemodialisa Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 2

Status Periodontal Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dan Non-Hemodialisa Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 1 6

Status Periodontal Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dan Non-Hemodialisa Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 16

Gambaran Tingkat Stres, Ansietas dan Depresi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 10

Gambaran Tingkat Stres, Ansietas dan Depresi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 2

Gambaran Tingkat Stres, Ansietas dan Depresi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 7

Gambaran Tingkat Stres, Ansietas dan Depresi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 0 5

Gambaran Tingkat Stres, Ansietas dan Depresi pada Pasien yang Menjalani Hemodialisa di Klinik Spesialis Ginjal dan Hipertensi Rasyida Medan

0 1 67