Status Periodontal Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Dan Non-Hemodialisa Di Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan

16

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Istilah gagal ginjal merupakan suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.1
2.1.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar laju filtrasi glomerulus
(LFG), yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:1
(140-umur) x berat badan
2

LFG (ml/mnt/1,73m ) =
72x kreatinin plasma (mg/dl)
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar stadium penyakit.1

Stadium
1

LFG (ml/mnt/1,73m2)
≥ 90

Keterangan
Kerusakan ginjal dengan LFG normal
atau meningkat.

2

60-80

Kerusakan ginjal dengan LFG
meningkat ringan

3

30-59


Kerusakan ginjal dengan LFG
meningkat sedang

4

15-29

Kerusakan ginjal dengan LFG
meningkat berat

5

< 15 atau dialisis

Gagal ginjal

Universitas Sumatera Utara

17


2.1.2 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:1
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid
condition)
3. Memperlambat memburuknya fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
6. Terapi pengganti ginjal berupa hemodialisa, peritoneal dialisis, atau
transplantasi ginjal.
Tabel 2. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan stadiumnya.1
Stadium

LFG (ml/mnt/1,73m2)

1

≥ 90


Rencana tatalaksana
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular.

2

60-80

Menghambat pemburukan fungsi ginjal.

3

30-59

Evaluasi dan terapi komplikasi.

4

15-29


Persiapan untuk terapi pengganti ginjal.

5

< 15 atau dialisis

Terapi pengganti ginjal dapat berupa
hemodialisa, peritoneal dialisis, dan
transplantasi ginjal.

2.2 Hemodialisa
Hemodialisa dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan komposisi
solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) yang mengandalkan prinsip-prinsip
diffusi zat terlarut menembus membran semipermeabel. Saat ini terdapat berbagai
definisi hemodialisa, tetapi pada prinsipnya hemodialisa adalah suatu proses
pemisahan,

penyaringan


atau

pembersihan

darah

melalui

suatumembran

Universitas Sumatera Utara

18

semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik
kronik maupun akut.
Hemodialisa (HD) masih merupakan terapi pengganti ginjal utama disamping
peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar negara di dunia.Terdapat
lebih dari 2 juta pasien yang saat ini menjalani HD di seluruh dunia. Hemodialisa
terbanyak dilakukan di Amerika Serikat yang mencapai sekitar 350.000 orang,

Jepang 300.000 orang, sedangkan di Indonesia mendekati 15.000 orang. Lama hidup
pasien yang menjalani hemodialisa di Jepang paling panjang dan mortalitas karena
Komplikasi Kardiovaskular (KV) rendah, sedangkan di Indonesia mortalitas karena
Komplikasi Kardiovaskular (KV) masih tinggi.13
2.2.1 Indikasi dan Kontraindikasi Dilakukan Hemodialisa
2.2.1.1 Indikasi
Panduan dari Kidney Disease Outcome Quality Intiative (KDOQI) tahun 2006
merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat dan risiko memulai terapi
pengganti ginjal (TPG) pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus (LFG)
kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 (PGK tahap 5). Akan tetapi terdapat bukti-bukti
penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara yang memulai dialisis
dini dengan yang terlambat memulai dialisis (early versus late dialysis).Olehkarena
itu pada PGK tahap 5, inisiasi HD dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut:
1. Hiperkalemia terhadap restriksi diet dan terapi farmakologis.
2. Asidosis metabolik terhadap pemberian terapi bikarbonat.
3. Hiperfosfatemia terhadap restriksi diet dan terapi pengikat fosfat.
4. Anemia terhadap pemberian eritroprotein dan besi.
5. Adanya penurunan kapasitas fungsional tanpa penyebab yang jelas.
6. Gangguan neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan psikiatri),
pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta diathesis

hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.
7. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama disertai gejala mual dan
muntah.

Universitas Sumatera Utara

19

2.2.1.2 Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut untuk dilakukan hemodialisa adalah apabila tidak
didapatkannya akses vaskular.Kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukan adanya
kesulitan akses vaskular. Fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan koagulopati.13
2.2.2 Komponen Hemodialisa
Terdapat lima komponen esensial pada hemodialisa yaitu: Mesin hemodialisa,
dialyzer, dialisat, akses vaskular dan sistem penyaluran darah.11,13-17
1. Mesin hemodialisa
Mesin

hemodialisa


merupakan

mesin

yang

dibuat

dengan

sistem

komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting untuk
mencapai adekuasi hemodialisa.Mesin hemodialisa terdiri dari pompa darah, sistem
penyaluran dialisis, dan berbagai monitor pengaman.
2. Dialyzer
Dialyzer terdiri atas suatu alat plastik dengan fasilitas untuk mengalirkan darah
dan mendialisis kembali. Proses ini berupa pembilasan berulang kompartemen darah
dan dialisat dengan air, pembersihan dengan bahan kimiawi disertai reverse
infiltrationdari kompartemen dialisat ke kompartemen darah, menguji patensi

dialyzer, dan yang terakhir, disinfeksi dialyzer.
3.Dialisat

Konsentrasi

kalium

dalam

dialisat

mungkin bervariasi dari 0 sampai 4 mmol bergantung pada konsentrasi kalium
plasma sebelum dialisis. Konsentrasi kalsium dialisat dipusat-pusat dialisis AS
biasanya adalah 1,25 mmol meskipun mungkin diperlukan modifikasi pada situasisituasi tertentu. Konsentrasi natrium dialisat yang lazim adalah 140 mmol/L.
konsentrasi natrium dialisat yang lebih rendah lebih berkaitan dengan peningkatan
frekuensi hipotensi, kram, mual, muntah, lesu, dan pusing. Pada pasien yang sering
mengalami hipotensi, selama proses dialisis, sering digunakan sodium modelinguntuk
mengimbangi gradient osmolar akibat urea.

4. Akses vaskular


Universitas Sumatera Utara

20

Hemodialisa idealnya membutuhkan dua titik akses ke sirkulasi: satu untuk
mengeluarkan darah dan satu untuk mengembalikannya dari mesin dialisis kedalam
tubuh.17 Akses vaskular dialisis diperlukan untuk memperoleh aliran darah yang
cukup besar. Akses ini dapat berupa fistula (arteri-vena) graft maupun kateter
intravena yang berfungsi untuk mengalirkan darah saat hemodialisa. Fistula dibuat
dengan melakukan anastomosis arteri ke vena (misalnya fistula brescia-cimino
dimana dibuat anastomosis end ti side dari vena sefalika dan arteri radialis) sehingga
terbentuk suatu arterialisasi dari vena. Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya
penusukan jarum yang besar kedalam sirkulasi sehingga dapat mengalirkan darah
sampai lebih dari 300 ml/menit fistula memiliki patensi jangka panjang paling lama
diantara semua pilihan akses dialisis. Di Amerika Serikat bayak pasien dipasang graft
arteriovenosus (yaitu interposisi bahan prostetik, biasanya politetraflouroetilen,
diantara arteri dan vena).
5. Sistem Penyaluran Darah
Sistem penyaluran darah terdiri dari sirkuit ekstrakorporeal didalam mesin
dan akses dialisis.Pompa darah mengalirkan darah dari tempat akses, melalui
dialyzer, dan kembali ke pasien.Kecepatan aliran darah dapat berkisar dari 250-500
mL/menit, terutama bergantung pada jenis dan integritas akses vaskular.Tekanan
hidrostatik negatif di sisi dialisat dapat dimanipulasi untuk memperoleh ultrafiltrasi
atau pengeluaran cairan sesuai keinginan.Membran dialisis memiliki berbagai
koefisien ultrafiltrasi sehingga bersama dengan perubahan hidrostatik, pengeluaran
cairan dapat diubah-ubah.Sistem penyalur larutan dialisis mengencerkan dialisat
pekat dengan air dan memantau suhu sifat hantaran, dan aliran dialisat.
2.2.3 Proses Hemodialisa
Dalam proses hemodialisa, proses difusi dan filtrasi berjalan secara bersamaan
serta dapat diprogram sesuai dengan keadaan klinis pasien. Proses dialisis
memerlukan cairan dialisat yang mengalir dengan arah berlawanan terhadap darah
(countercurrent) sehingga tetap mempertahankan kecepatan difusi optimal.

Universitas Sumatera Utara

21

Pada hemofiltrasi yang paling sederhana, darah diberikan tekanan melewati
satu sisi dari membran yang permeabilitasnya tinggi, sehingga air dan zat yang
terlarut dapat keluar melalui membran dengan aliran konveksi, besarannya tergantung
pada tipe membran dan permeabilitasnya. Selama hemofiltrasi, filtrat akan dibuang
dan pasien menerimacairan pengganti, baik itu sebelum (predilusi) atau setelah
(pascadilusi) dialyzer. Kecepatan pembuangan cairan dan substitusi cairan infus
disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Terdapat berbagai teknik hemofiltrasi antara
lain SCHF (Slow Continous Hemofiltration) yang digunakan pada keadaan gangguan
ginjal akut sehingga dapat mempertahankan keseimbangan cairan yang optimal.
Proses hemofiltrasi ini tidak memerlukan cairan dialisat. Apabila dilakukan dengan
mesin khusus cara ini disebut dengan CRRT (Continous Renal Replacement
Treatment), yang sering dipakai pada pasien perawatan intensif. Apabila
menggunakan mesin hemodialisa yang konvensional, tanpa dialisat, proses ini disebut
juga sebagai CVVH(Continous VenoVenous Hemofiltration).13
2.2.4 Dosis Hemodialisa
Sampai tahun 1970-an para dokter spesialis dalam bidang ginjal menentukan
dosis hemodialisa atas dasar pertimbangan klinis saja, bahkan lebih memperhatikan
pengeluaran air dibandingkan usaha untuk mengeluarkan sisa metabolisme. Efisiensi
dialisis ditentukan oleh laju aliran darah dan dialisat melalui dialyzer yang sesuai
dengan karakteristik dialyzer.
Panduan hemodialisa dari Inggris menyatakan hemodialisa minimal adalah 3
kali seminggu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hemodialisa yang semakin
sering lebih efektif dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas.13
2.2.5Manfaat Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti ginjal, hemodialisa mempunyai manfaat:16
1. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
2. Membuang kelebihan air.
3. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

Universitas Sumatera Utara

22

5. Memperbaiki status kesehatan penderita.
6. Membuang urea, kreatinin, dan asam urat.
2.2.6 Efek Samping Hemodialisa
Efek samping dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat
dilakukan terapi adalah:1,3-16
1. Hipotensi
Hipotensi disebabkan oleh ultrafiltrasi dengan jumlah besar disertai
mekanisme kompensasi pengisian vaskular yang tidak adekuat, gangguan respon
vasoaktif atau otonom, osmolar shift, pemberian antihipertensi yang berlebihan dan
menurunnya kemampuan pompa jantung.
2. Kram otot
Kram otot disebakan oleh gangguan perfusi otot karena pengambilan cairan
yang agresif dan pemakaian dialisat rendah sodium. Beberapa strategi yang dipakai
untuk mencegah kram otot adalah mengurangi jumlah volume cairan yang diambil
saat hemodialisa, melakukan profiling ultrafiltrasi, dan pemakaian dialisat yang
mengandung kadar natrium tinggi atau modeling natrium.
3. Mual dan Muntah
Mual

dan muntah pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa disebabkan oleh penurunan kadar asam amino dan ketidakseimbangan
cairan. Kedua hal tersebut akan menyebabkan pasien mengalami penurunan nafsu
makan dan asupan nutrisi akan berkurang. Kurangnya asupan nutrisi khususnya
protein akan berdampak langsung dengan proses sintesa IgA. Hal ini akan
mempengaruhi kualitas saliva sebagai alat mekanisme pertahanan rongga mulut
sehingga memudahkan bakteri untuk berkolonisasi dan terjadinya penyakit
periodontal.
4. Reaksi hipersensitif
Reaksi hipersensitif terhadap dialyzer, terutama pada pemakaian pertama,
sering dilaporkan terjadi pada membran biokompatibel yang mengandung selulosa.
Reaksi terhadap dialyzer dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu A dan B. pada reaksi

Universitas Sumatera Utara

23

tipe A terjadi reaksi hipersensitivitas intermediate yang diperantarai ole IgE terhadap
etilen oksida yag dipakai untuk sterilisasi dialyzer yang baru. Reaksi tipe B terdiri
atas kumpulan gejala dari nyeri dada dan punggung yang tidak spesifik yang mungkin
disebabkan oleh aktivasi komplemen dan pelepasan sitokin.
2.3 Faktor yang Menyebabkan Penyakit Periodontal pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa.
Beberapa penelitian telah dipublikasikan dalam jurnal, dan memberikan bukti
bahwa adanya peningkatan prevalensi penyakit periodontal pada pasien yang
menjalani hemodialisa.Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: penurunan
fungsi limfosit, perubahan homeostasis kalsium dan sindrom uremik.12
2.3.1 Penurunan Fungsi Limfosit
Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa terbukti
adanya penurunan respon imun tubuh terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan pada
pasien penyakit ginjal kronikakan mengalami keadaan uremia. Infeksi pada pasien
dengan uremia disebabkan beberapa hal yaitu akibat kadar urea yang tinggi dan
bersifat toksik. Pada keadaan uremia penurunan respon imun disebabkan penurunan
fungsi fagositos leukosit polimorfonuklear (PMN) dan gangguan fungsi limfosit T
dan B, serta monofosit dan makrofag, sehingga menyebabkan penurunan respon imun
terhadap mikroorganisme gram negatif yang pada subgingiva. Selain penurunan
respon imun disebabkan penekanan cell mediated immunity yang disebabkan
memendeknya umur limfosit,limfopenia, hambatan pada transformasi limfosit, dan
penekanan aktifitas limfosit T.
Pada penyakit periodontal, plak yang terbentuk akan melekat pada permukaan
gigi dekat dengan gingiva, dan akan memicu sekresi sitokin proinflamasiseperti TNF,
1L-1β, IFN, dan PGE2 serta mediator inflamasi lainnya, hal ini dikarenakan adanya
enzim bakteri, endotoksin dan eksotoksin, dan sisa hasil metabolisme dari plak yang
melekat pada permukaan gigi. Akibat adanya tanda inflamasi, respon imun dengan
kedua komponen humoral dan cell mediated immunity akan aktif. Namun, pada

Universitas Sumatera Utara

24

pasien penyakit ginjal kronik terjadi penurunan sistem imun akibat adanya penurunan
respon leukosit pada daerah inflamasi.11
2.3.2 Perubahan Hemeostasis Kalsium
Pasien penyakit ginjal kronik menunjukkan abnormalitas yang paling sering
diantaranya adalah anemia dan masalah homeostasis. Masalah homeostasis yang
diteliti akan menyebabkan perlekatan dan penyatuan platelet yang abnormal
(kerusakan faktor Von Willebrand).
Hamid dkk dalam penelitiannya mengemukakan bahwa penderita penyakit
ginjal kronik metabolisme fosfat dan vitamin D mengalami kerusakan.Berkurangnya
atau hilangnya kalsium dari tulang diakibatkan karena meningkatnya produksi
parathormon (PTH). Demineralisasi tulang yang terjadi dapat memicu destruksi
tulang yang cepat dan periodontitis.14
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perubahan homeostasis kalsium adalah
meningkatnya konsentasi fosfor dan protein. Fosfor dalam jumlah yang sesuai akan
memperkuat tulang. Namun kadar fosfor yang berlebih akan melemahkan tulang,
karena fosfor merupakan magnet bagi kalsium. Bila kadar fosfor didalam darah
terlalu banyak akan menarik kalsium dari tulang dan kekuatan tulang akan berkurang.
Ketika kadar kalsium dan fosfor di dalam tubuh sudah tidak seimbang, kelenjar
paratiroid akan mengeluarkan hormon paratiroid (PTH). Hormon paratiroid yang
berlebih menyebabkan semakin banyak kalsium yang ditarik dari tulang, sehingga
mempermudah terjadinya demineralisasi tulang dan diperparah oleh metabolisme
fosfat dan vitamin D yang mengalami kerusakan, sehingga dapat memicu destruksi
tulang yang cepat dan periodontitis.14,21Selain itu, konsentrasi urea dan fosfor yang
tinggi dapat mempengaruhi pH saliva. Tingginya pH salivapada pasien penyakit
ginjal kronikdikarenakan hasil dari hidrolisis urea dalam saliva menghasilkan
ammonia, sehingga pH saliva yang meningkat tersebut dapat mengakibatkan
peningkatan deposit plak kalkulus dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya
periodontitis.14

Universitas Sumatera Utara

25

2.3.3 Sindrom Uremik
Tanda dan gejala pada pasien penyakit ginjal kronik disebut dengan sindrom
uremik.Istilah sindrom uremik mengacu pada istilah yang menunjukkan adanya urea
di dalam darah.Sindrom uremik pada dasarnya terjadi akibat akumulasi berbagai solut
dan cairan tubuh dengan konsentrasi cukup tinggi, sehingga menyebabkan toksisitas
terhadap tubuh.Solut-solut ini dalam keadaan normal dikeluarkan oleh ginjal. Pada
tahun 1829, pertama kali dilaporkan bahwa terdapat peningkatan kadar urea darah
pada pasien yang mengalami penyakit degenerasi ginjal. Penemuan ini ditafsirkan
bahwa urea merupakan toksin utama pada keadaan uremia.
Penurunan fungsi ginjal disertai meningkatnya level urea dalam darah juga
saliva, akan menyebabkan pasien menderita halitosis (uremic fector), yang biasanya
terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisa. Hemodialisa yang dijalani
berpengaruh terhadap persepsi rasa yang tidak menyenangkan, yaitu rasa metalik.15
Mayoritas hasil penelitian mengemukakan bahwa pada pasien penyakit ginjal
kronik terjadi peningkatan insiden penyakit periodontal, kehilangan tulang, resesi
gingiva, dan poket periodontal yang dalam.Kebersihan mulut pada pasien penyakit
ginjal kronik biasanya buruk, banyak deposit kalkulus, dan meningkatnya
pembentukan plak. Selain itu, pasien penyakit ginjal kronik tidak begitu peduli
dengan kebersihan rongga mulut, sehingga
bertambah parah.

menyebabkan kondisi rongga mulut

15

2.4 Penyakit Periodontal pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisa
Penyakit periodontal pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa dapat disebabkan oleh kadar urea yang tinggi didalam darah. Menurut
beberapa penelitian, hidrolisis urea akan menghasilkan konsentrasi ammonia yang
tinggi dan mengubah pH saliva menjadi basa. Tingginya pH salivapada pasien
penyakit ginjal kronik dapat mengakibatkanpeningkatan deposit plak dan kalkulus
sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya periodontitis.14

Universitas Sumatera Utara

26

Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi juga berkaitan erat dengan
gangguan homeostasis kalsium-fosfor. Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong
oleh pH yang buruk pada pasien yang menjalani hemodialisa karena hidrolisis urea
saliva menjadi ammonia, dimana ammonia berperan dalam menyebabkan pH menjadi
basa. Secara langsung, retensi urea akan memfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan
meningkatkan pembentukan kalkulus terutama pada penderita yang menjalani
hemodialisa. Selain itu, penderita yang menjalani hemodialisa memiliki jumlah
magnesium saliva yang sangat rendah. Pada kalkulus penderita yang menjalani
hemodialisa mengandung oksalat, dan pada kondisi uremia turut menyebabkan
retensi oksalat.18
2.5 Faktor Risiko Penyakit Periodontal pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik yang Menjalani Hemodialisa
Beberapa faktor telah diduga sebagai faktor risiko terjadinya penyakit gingiva
dan periodontal antara lain: oral higiene, nutrisi dan penyakit sistemik.
2.5.1

Oral Higiene

Berdasarkan observasinya terhadap penyakit periodontal di Amerika Serikat,
Russel menyatakan bahwa penyakit gingiva dan periodontal jarang sekali dijumpai
pada keadaan tidak adanya plak dan kalkulus.Analisis terhadap data-data hasil survei
NHANES I menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara frekuensi
penyikatan gigi dengan keparahan penyakit periodontal. Meskipun gingivitis dan
pembentukan saku (berdasarkan indeks periodontal) meningkat sejalan dengan
peningkatan usia, kehilangan gigi tidaklah terjadi selama oral higiene yang baik dapat
dipertahankan. Burt dkk menghipotesakan bahwa skor indeks kalkulus dimodifikasi
berkisar 0,1-0,2 adalah rentangan skor pada individu yang bebas dari penyakit
periodontal. Skor indeks oral higiene dimodifikasi yang berkisar 0,7-1,3 dengan skor
indeks kalkulus dimodifikasi berkisar 0,3-0,6 yang merupakan rentangan skor pada
individu dengan penyakit periodontal ringan sampai sedang masih memungkinkan
dipertahankannya gigi geligi.

Universitas Sumatera Utara

27

Meskipun oral higiene buruk, tidak semua pada individu dengan oral
higineburuk terjangkit penyakit periodontal.Hanya mereka yang rentan yang
terjangkit penyakit periodontal. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
oral higiene adalah faktor risiko yang penting pada individu yang sangat rentan
terhadap penyakit periodontal.18
2.5.2

Nutrisi

Meskipun kaitan antara defisiensi vitamin A, B kompleks, C, serta kalsium
dan fosfor dengan penyakit periodontal terbukti jelas pada binatang percobaan, tidak
demikian halnya pada manusia. Survei yang dilakukan oleh Interdepartmental
Committee on Nutrition for National Defense (ICNND) maupun Ten State Nutrition
Survey di Amerika Serikat hanya menemukan adanya korelasi yang rendah antara
defisiensi vitamin A dengan skor indeks periodontal. Dengan demikian nutrisi
hanyalah dalam etiologi penyakit periodontal.20
Dalam menjalani hemodialisa,akan terdapat banyak efek samping, salah
satunya yaitu timbulnya kurang gizi. Pasien yang menderita penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa sangat dianjurkan untuk mendapatkan asupan makanan
yang cukup untuk mempertahankan status gizi agar tetap baik. Penilaian status gizi
dapat dilihat salah satunya dari indeks masa tubuh pasien.3
Malnutrisi lebih banyak dijumpai pada penderita penyakit ginjal kronik
khususnya yang menjalani hemodialisa dibandingkan malnutrisi pada populasi
umum. Malnutrisi adalah suatu kondisi dimana terjadi kehilangan otot dan cadangan
protein visceral karena asupan nutrisi yang tidak adekuat.15 Pada pasien yang
menjalani hemodialisa juga akan terjadi penurunan kadar asam amino dan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Kedua hal tersebut akan menyebabkan
penurunan nafsu makan, sehingga asupan makanan pasien akan berkurang.
Selanjutnya tubuh akan kehilangan massa otot dan lemak yang ada di subkutan dan
pada akhirnya

imunitas pasien akan semakin menurun dalam melawan infeksi

khususnya pada rongga mulut.Kurangnya asupan nutrisi khususnya protein akan
berdampak langsung dengan proses sintesa IgA. Hal ini akan mempengaruhi saliva

Universitas Sumatera Utara

28

sebagai alat mekanisme pertahanan rongga mulut dan penurunan kualitas saliva yang
dihasilkan oleh kelenjar liur sehingga memudahkan bakteri untuk berkolonisasi dan
menyebabkan penyakit periodontal.3
2.5.3

Pada

Penyakit Sistemik

pasien

penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, terdapat berbagai teori mengenai
hubungan antara efek dari penyakit ginjal kronik terhadap pembentukan plak dan
kalkulus. Menurut Reeves dalam penelitiannya, ESRD induced xerostomia akan
meningkatkan predisposisi penderita terhadap karies karena retensi produk urea serta
pengaliran dan produksi saliva yang sedikit.
Pembentukan kalkulus pada jaringan keras gigi berkaitan erat dengan
gangguan homeostasis kalsium-fosfor.Presipitasi kalsium dan fosfor yang didorong
oleh pH yang buruk karena hidrolisis urea saliva menjadi ammonia, dimana ammonia
berperan dalam menyebabkan pH menjadi basa. Secara langsung, retensi urea akan
memfasilitasi alkanisasi plak gigi, dan meningkatkan pembentukan kalkulus
terutamanya pada penderita yang menjalani hemodialisa. Selain itu, penderita yang
menjalani hemodialisa memiliki nilai magnesium saliva yang sangat rendah. Peneliti
menemukan bahwa pada kalkulus penderita yang menjalani hemodialisa mengandung
oksalat, dan pada kondisi uremia turut menyebabkan retensi oksalat.18
2.6 Indeks-indeks Kerusakan Periodontal
Untuk dapat mengukur prevalensi penyakit, keparahannya serta kaitannya
dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya diperlukan suatu alat ukur yang
dikenal sebagai indeks.Indeks tersebut merupakan alat ukur yang objektif terhadap
gambaran spesifik dari penyakit atau hal-hal yang berkaitan dengannya pada
seseorang atau kelompok orang sehingga dapat dibandingkan dengan orang atau
kelompok orang lainnya.
Terdapat beberapa indeks periodontal yang telah dikembangkan untuk
pengungkapan masalah periodontal, antara lain indeks periodontal (PI) ( Russel,
1956) dan indeks penyakit periodontal (PDI) (Ramfjord, 1959).20

Universitas Sumatera Utara

29

2.6.1 Indeks Periodontal (PI) ( Russel, 1956).
Indeks yang dikembangkan oleh Russel ini berguna untuk mengukur
keparahan inflamasi gingiva dan kerusakan jaringan periodontal bahkan sampai
kehilangan tulang pendukung gigi (bone loss). Dengan indeks periodontal Russel
(PI), jaringan periodontal setiap gigi diperiksa dengan menggunakan kaca mulut dan
prob periodontal dan diberi skor sebagai berikut:20
0. Negatif: tidak ada inflamasi pada jaringan pendukung maupun gangguan
fungsi karena kerusakan jaringan pendukung.
1. Gingivitis ringan: terlihat daerah inflamasi ringan pada tepi bebas gingiva,
tetapi daerah ini tidak sampai mengelilingi gigi.
2. Gingivitis: inflamasi mengelilingi gigi, tetapi tidak terlihat adanya
kerusakan daerah perlekatan gingiva.
6. Gingivitis dengan pembentukan poket: perlekatan epitel rusak dan terlihat
adanya poket (tidak hanya merupakan pendalaman leher gingiva karena
pembengkakan didaerah gingiva bebas). Tidak terlihat adanya gangguan fungsi
mastikasi normal.Gigi melekat kuat didalam soketnya dan tidak bergeser.
8. Kerusakan tahap lanjut disertai dengan hilangnya fungsi mastikasi: gigi
goyang, kadang-kadang bergeser, nyeri pada perkusi dengan alat logam.
Berdasarkan skor indeks periodontal dapat ditetapkan kondisi klinis dan
stadium penyakit dari individu, sebagai berikut:
Tabel 3. Hubungan kondisi klinis dan kisaran skor periodontal Russel (PI)20
Kondisi klinis

Rentangan skor IP

Normal
Gingivitis ringan
Kerusakan jaringan periodontal ringan
Kerusakan jaringan periodontal berat
Stadium lanjut penyakit periodontal

0,0-0,2
0,3-0,9
0,7-1,9
1,6-5,0
3,8-8,0

2.6.2 Indeks Penyakit Periodontal (PDI) (Ramfjord, 1959).
Indeks penyakit periodontal yang diperkenalkan oleh Ramfjord adalah
merupakan perluasan dari indeks Russel.Indeks Ramfjord didesain terutama untuk

Universitas Sumatera Utara

30

menentukan luas pendalaman poket dibawah pertautan semento-enamel. Skornya
adalah sebagai berikut:20
0. Tidak ada peradangan.
1. Gingivitis ringan tetapi tidak meluas mengelilingi gigi.
2. Gingivitis sedang meluas mengelilingi gigi.
3. Gingivitis parah ditandai dengan kemerahan, kemungkinan telah ada
pendarahan spontan dan ulserasi.
4. Kedalaman saku periodontal kurang dari 3mm.
5. Kedalaman saku periodontal 3-6 mm.
6. Kedalaman saku periodontal lebih dari 6mm.
Indeks yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks penyakit
periodontal yang dikembangkan oleh Ramfjord yang mengukur keadaan gingiva dan
kedalaman saku periodontal. Pemeriksaan dilakukan hanya pada enam gigi saja yaitu
gigi 16,21,24,36,41,dan 44 (dinamakan gigi indeks Ramfjord). Pengukuran dilakukan
dengan menggunakan kaca mulut dan prob periodontal yang mempunyai kalibrasi
dalam millimeter dan mempunyai batas warna hitam 3-6 milimeter.Skor indeks
periodontal Ramfjord dihitung dengan membagi jumlah skor periodontal dengan
jumlah gigi yang diperiksa. Pada Penelitian ini, indeks yang dipilih adalah indeks
periodontal Ramfjord karena:20
1. Indeks ini dapat digunakan sebagai ukuran keadaan serta keparahan
penyakit periodontal.
2. Indeks ini dapat digunakan untuk merumuskan penilaian terhadap status
penyakit periodontal secara umum.
3. Indeks ini lebih sederhana karena hanya mengukur enam gigi saja sehingga
waktu yang dibutuhkan lebih sedikit.

Gambar 2.1: Prob periodontal

Universitas Sumatera Utara

31

2.7 KERANGKA KONSEP

Hemodialisa
(Kasus)

Penyakit
Ginjal
Kronik

Lama
Menjalani
Hemodialisa

Status
Periodontal
(Indeks
Ramfjord)

NonHemodialisa
(Kontrol)

Universitas Sumatera Utara