Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT.SLB-E) Negeri Pembina Medan Dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran Keterampilan Bagi Penyandang Tuna Grahita

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah
Secara kodrat manusia selalu ingin menyempurnakan kehidupannya. Manusia

selalu mencoba menjangkau jauh dari kehidupannya yang bersifat naluriah, dan
dalam hal ini kehidupan manusia tentunya tidak terlepas dari adanya pendidikan.
Pendidikan dalam arti luas meliputi seluruh usaha manusia meningkatkan harkat
kemanusiannya. Pendidikan dalam arti yang terbatas adalah usaha mendewasakan
dan membimbing anak didik yang belum dewasa hingga menuju dewasa. Pendidikan
merupakan perangkat penting dalam meningkatkan kesejahteraan warga melalui
penguasaan pengetahuan informasi dan teknologi. Masalah pendidikan dari sekian
banyak yang dihadapi, salah satunya adalah mengenai pendidikan terhadap
penyandang cacat. Masalah penyandang cacat ini selanjutnya meluas menjadi
masalah sosial karena kodrat manusia yang tidak mungkin hidup secara menyendiri
tanpa bergaul dengan sesama manusia.
Pada masalah penyandang cacat diperlukan menghimbau kepada para orang
tua yang mempunyai anak-anak dengan kekurangan atau menyandang cacat apapun

diharapkan tidak menyembunyikan anak-anaknya. Anak-anak tersebut mulai saat dini
diharapkan segera diajak bersama anak-anak lain, agar bisa bersosialisasi secara
wajar. Kekurangan atau kelebihan yang ada padanya dapat dibantu dengan
pendampingan yang sifatnya mendorong kemandirian. Pendamping itu tidak boleh
1
Universitas Sumatera Utara

bersifat ketergantungan yang tidak wajar. Para penyandang cacat yang terhambat
pertumbuhannya dalam segi sosial, emosional, intelegensi, dan segi-segi lain dalam
fisik dan kejiwaan misalnya yang selalu ada dalam masyarakat tentunya perlu
mendapatkan perhatian khusus. Kelompok penyandang cacat ini perlu mendapatkan
bantuan bimbingan dan pendidikan agar mereka mampu berpartisipasi dan berpotensi
didalam kehidupan sosial dan bisa bersikap mandiri.
Menurut Purwandari menyatakan bahwa anak tuna grahita memerlukan
perhatian khusus dari orang tua berupa membantu anak tuna grahita agar timbul sikap
percaya diri, mandiri, menjadi manusia yang produktif, memiliki kehidupan yang
layak,

dan


aman

terlindungi

serta

bahagia

lahir

dan

batin.

(http://fpsi.mercubuanayogya.ac.id/wpcontent/uploads/2012/06/Agustus2010TrianaN
oor-Edwina.pdf, diakses 17 september 2013 pukul 07.00 wib)
Anak cacat mental/tuna grahita tersebut berhak untuk hidup sejahtera dan
tidak tergantung pada pertolongan orang lain. Namun mereka mempunyai hambatanhambatan yang disebabkan keadaan yang ada pada dirinya untuk mendapatkan
kesempatan yang luas dalam mengembangkan kemampuannya. Menangani
penyandang cacat itu dibutuhkan metode pelayananan sosial yang baik dan sistematik

agar mereka dapat dengan mudah mengadakan penyesuaian diri dalam kehidupan
karena penyandang cacat pada umumnya sangat perasa, yang kadang sangat
berlebihan seperti rendah diri dan kemudian menjadi terisolasi dari kehidupan
masyarakat.

2
Universitas Sumatera Utara

Pada kenyataannya memang menunjukkan kebanyakan anak cacat mental atau
tuna grahita sulit untuk dapat mandiri. Oleh sebab itu, latihan-latihan dan pendidikan
untuk mereka diselenggarakan secara khusus misalnya melalui diskusi, ceramah,
latihan bina gerak, latihan pekerjaan sehari-hari, dan latihan keterampilan.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15674/1/pkm-jan
apr2006%20%286%29.pdf diakses 17 September 2013 pukul 07.30 wib).
Menurut PBB, di dunia ini hingga tahun 2000 terdapat sekitar 500 juta
orang cacat. Total itu sekitar 80% hidup di negara-negara berkembang. Prefalensi
orang yang menderita cacat atau kelainan sekitar 2,3% dari total populasi, sedangkan
angka prefalensi anak berbakat sekitar 2%. Artinya, setiap 1.000 orang terdapat 23
orang yang menderita cacat, dan setiap 1.000 orang terdapat 20 anak berbakat.
Berkaitan dengan penderita cacat ini bila penduduk usia sekolah di Indonesia tahun

2000 diperkirakan sebesar 76.478.249 maka penderita cacat atau kelainan adalah
sekitar 1.759.000 orang dan terdapat anak berbakat sebanyak 1.529.565 siswa.
Kini, 210 juta jiwa penduduk telah mendiami negara Indonesia. Mereka
tersebar di ribuan pulau dalam beragam etnis, budaya, dan agama. Sementara dari 210
juta jiwa penduduk tersebut lima persennya kalangan cacat. Mereka adalah para
penyandang cacat tuna netra, tuna runggu, tuna daksa, dan cacat mental/tuna grahita.
Saat ini di Indonesia, penyandang cacat mental/tuna grahita menduduki jumlah paling
banyak

di

antara

penyandang

cacat

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31904/3/chapter%20II.pdf,

lainnya

diakses

14 Agustus 2013 pukul 07.30 wib).
3
Universitas Sumatera Utara

Hasil pendataan jumlah penyandang cacat yang dilakukan oleh Pusat Data dan
Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI pada tahun 2010 adalah
2.126.785 jiwa. Tunanetra 778.084 jiwa, tuna rungu wicara 267.974 jiwa, tuna daksa
733.740 jiwa, dan tuna grahita 345.815 jiwa. Provinsi Sumatera Utara sendiri,
terdapat jumlah penyandang cacat pada tahun 2010 adalah 118.603 jiwa, terdiri dari
penyandang tuna netra 43.390 jiwa, tuna rungu wicara 14.943 jiwa, tuna daksa
40.918

jiwa,

dan

tuna


grahita

19.284

jiwa

(http://database.depsos.go.id/modules.php?name=pmks, diakses 01 September 2013
pukul 10.05 wib). Jumalah penyandang disabilitas di Indonesia relatif banyak,
menurut data Kementerian Kesehatan (2012) tercatat sebanyak 6,7 juta jiwa atau 3,11
% penduduk Indonesia sebagai penyandang disabilitas. Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, disabilitas terbagi
dua kelompok. Pertama disabilitas fisik, dan kedua disabilitas mental. (Suyono. 2013:
139)
Keterbatasan (disabilitas) tersebut sesungguhnya merupakan pribadi yang
utuh. Seperti individu pada umumnya, mereka memiliki potensi, bakat, minat dan
cita-cita untuk berkembang. Mereka memiliki kemampuan dalam

melakukan

berbagai aktivitas dan pekerjaan sesuai dengan potensinya masing-masing. Kondisi

ini sudah dibuktikan, misalnya dalam bidang olahraga kaum disabilitas dapat
mengharumkan nama Indonesia dikancah Internasional pada tahun 2011.
Tahun 2011 Indonesia meraih medali 15 emas, 13 perak, dan 11
perunggu

dalam

ajang

Olimpiade

Tunagrahita

(disabilitas
4

Universitas Sumatera Utara

intelektual) yang digelar di Athena, Yunani. Dalam bidang seni,
penyandang tuna netra piawai bermain musik, dan reputasi lain

dalam berbagai bidang. (Suyono, 2013: 139)
Namun saat ini masih banyak perusahaan yang enggan mempekerjakan kaum
difabel, entah dengan alasan demi efesiensi dan efektifitas, karena itulah sebagian
besar pengangguran didominasi oleh kaum difabel. Berdasarkan Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS, 2007), diketahui bahwa dari 20 Juta penyandang
cacat di Indonesia, sebanyak 80% atau 16 juta orang tercatat tidak memiliki
pekerjaan. Sementara itu, menurut Hesti Armiwulan (2010), penyandang cacat yang
kebetulan bergabung dengan perusahaan, umumnya digaji lebih rendah daripada
pekerja lainnya. Alasan keterbatasan fisik, buruh difabel semakin tersisihkan dari
buruh lain. Apalagi, keberadaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan justru lebih melemahkan buruh dibandingkan
pengusaha.

(http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/memanusiakan-kaum-

difabel-30606.html, diakses 08 September 2013 pukul 20.00 wib).
Lain halnya dengan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID)
Sumut Zahrin Piliang menuturkan, jumlah anak disabilitas atau penyandang cacat di
Sumatera Utara (Sumut) diperkirakan mencapai 3.000 orang. Anak-anak disabilitas
memiliki hak yang sama dengan anak-anak normal lainnya, termasuk untuk

mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang layak. Namun, kenyataannya
pemerintah tidak memberikan perhatian yang khusus kepada anak-anak berkebutuhan
khusus ini. Berdasarkan data yang ada, hanya ada 16 sekolah Sekolah Dasar Luar
5
Universitas Sumatera Utara

Biasa (SDLB) di Sumut, hanya ada 10 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa
(SMPLB) dan mungkin hanya 2 Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Itu
tidak seimbang dengan jumlah anak disabilitas yang mencapai 3.000 anak dan pada
dasarnya anak-anak disabilitas memang memiliki keterbatasan. Namun, mereka tetap
memiliki

potensi

yang

bisa

dikembangkan


(http://www.koran-

sindo.com/node/297803, diakses 10 desember 2013 pukul 11.18 wib).
Sungguh ironis bila melihat data penyandang cacat yang semakin lama
semakin meningkat, sedangkan hak asasi mereka pun banyak yang terabaikan.
Banyak sekali penyandang cacat yang tidak mengenyam bangku pendidikan karena
kondisi ekonomi orang tua mereka tidak mampu, bahkan ada yang sengaja
disembunyikan oleh orang tua mereka lantaran malu punya anak yang menyandang
disabilitas baik fisik maupun mental, hal ini menyebabkan munculnya Penyandang
Masalah Kesejahtraan Sosial (PMKS), yang juga merupakan akibat dari terbatasnya
sumber daya manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi
di sekitarnya sehingga ia tertinggal dan tidak memiliki kemampuan dan keterampilan
dalam pengembangan diri. PMKS dapat didefinisikan sebagai seorang keluarga atau
kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak
melaksanakan fungsi sosialnya dan karenanya tidak dapat menjalin hubungan yang
serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan
hidupnya baik jasmani, rohani, dan sosial disebut pendidikan luar biasa
Hal senada dalam salah satu wawancara di radio, menghimbau kepada orang
tua yang mempunyai anak-anak dengan kekurangan atau penyandang cacat apapun
6

Universitas Sumatera Utara

diharapakan tidak menyembunyikan anak-anaknya. Anak-anak itu diharapkan segera
diajak bersama anak-anak lain agar bisa bersosialisasi secara wajar. Kekurangan dan
kelebihan yang ada padanya dapat dibantu dengan pendampingnya yang sifatnya
mendorong kemandirian. Pendampingan itu tidak boleh bersifat ketergantungan yang
tidak wajar (http://www.dniks.org/index.php?optionpenyandang-tuna-grahita, diakses
13 Juli 2013 pukul 11.00 wib).
Upaya untuk mempersiapkan dan memperoleh pendidikan serta mencerdaskan
anak didik tanpa terkecuali anak tunagrahita merupakan hak semua warga Negara
Indonesia yang pada dasarnya untuk mendapatkan pendidikan telah ditegaskan dalam
UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut “ tiap – tiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan”. Pemerintah maupun suatu lembaga yang dikelola
masyarakat penyelenggara pendidikan formal dan non formal baik untuk anak normal
ataupun diperuntukkan untuk anak berkebutuhan khusus yang disejajarkan dengan
anak normal pada umumnya.
Orang tua tentunya mempunyai keinginan untuk membekali anaknya
dengan pendidikan budi pekerti dan keterampilan – keterampilan tertentu agar
anaknya dapat mengatasi segala permasalahan yang ada pada dirinya sehingga
mampu terjun di masyarakat. Tanpa disadari kadang orang tua mempunyai perhatian
yang berlebihan terhadap anaknya apalagi anak tersebut menyandang tuna grahita
ringan dengan segala keterbatasan yang dimiliki anak tersebut, dengan perlakuan
orang tua yang akibatnya anak menjadi manja, minder dan merasa ketakutan dalam
mengalami perubahan - perubahan oleh dirinya yang mengakibatkan anak mengalami
7
Universitas Sumatera Utara

hambatan-hambatan. Hambatan sebagai contoh adalah hambatan dalam kemandirian,
percaya diri, berwirausaha, bersosialisasi berkomunikasi dengan keluarga khususnya
dan pada masyarakat pada umumnya.
Penanganan disabilitas saat ini masih terkesan diskriminatif, misalnya dalam
mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, dan layanan umum lainnya. Dalam
lingkungan keluarga, masih ada keluarga yang menganggap anak disabilitas sebagai
“aib” atau “kutukan” sehingga anak tersebut disembunyikan dan kehilangan hakhaknya terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. (Suyono,
2013: 140)
Adapun tindakan pemerintah dalam menjalankan Undang-undang No.20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dapat dilihat dari sikap pemerintah
dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sekolah Luar Biasa-dalam
tingkatan E (SLB-E) ditiap masing-masing provinsi di Indonesia, salah satunya UPT
SLB-E Negeri Pembina Medan. Ada berbagai macam pendekatann yang dapat
diberikan kepada penyandang tuna grahita, seperti: terapi gerak, terapi bermain, life
skill, dan vokasional (http://ppcisulsel.blogspot.com/2009/12/informasi-pelayananpendidikan-bagi.html, diakses 3 September 2013 pukul 20.10 wib).
Melalui upaya itu akan dicapai kondisi ilmiah, mental sosial, serta
meningkatnya pengetahuan dan keterampilan sebagai modal dasarnya sehingga
nantinya penyandang cacat tidak lagi sebagai objek, tetapi dijadikan subjek dalam
pembangunan. Disamping itu yang tak kalah penting, mereka harus mendapat
dukungan lingkungan serta tersedianya aksesibilitas fisik maupun nonfisik.
8
Universitas Sumatera Utara

Aksesibilitas nonfisik yang sangat utama adalah penerimaan masyarakat yang sampai
saat ini masih kurang kondusif.
Tuna Grahita merupakan salah satu klasifikasi penyandang cacat yang
memiliki kecerdasan mental dibawah normal. Menurut data dari Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Sosial yang ada, penyandang Tuna Grahita 777.761 Jiwa. Deputi Bidang
Pelindungan Perempuan KPP-PA, Nimas mengatakan kalau penyandang cacat Tuna
Grahita akan terus meningkat mengingat struktur umur penduduk semakin menua,
epidemologi

ke

arah

kronik

degeneratif,

kecelakaan

dan

bencana

alam

(http://rehsos.depsos.go.id, diakses 28 Agustus 2013 pukul 18.15 wib).
Terkait dengan penyandang cacat tuna grahita salah satu kasus antara lain;
menurut Prof. Dr. Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) mengisahkan
sekolah inklusi (SD. Muhammdiyah di Gunung Kidul) sekolah ini punya murid 120
anak. 2 anak laki-laki diantaranya adalah Tuna Grahita, dua anak ini dimasukkan oleh
kedua ibunya ke kelas 1 karena mau masuk SLBC lokasinya jauh dari tempat
tinggalnya yang di pegunungan. Keluarga ini tergolong keluarga miskin oleh sebab
itu mereka memasukkan anak-anaknya ke SD. Muhammadiyah. Perasaan mereka
sangat bahagia dan bangga bahwa kenyataannya anak mereka diterima di sekolah.
Satu anak tampak berdiam diri dan cuek, sedang satu lagi tampak ceria dan gembira,
bahkan ia menyukai tari dan musik, juga ia ramah dan bermain dengan teman
sekolahnya yang tidak cacat. Gurunya menyukai mereka, mengajar dan mendidik
mereka dengan menggunakan modifikasi kurikulum untuk setiap pelajaran
disesuaikan dengan kemampuan mereka. Hal yang sangat penting disini berkaitan
9
Universitas Sumatera Utara

dengan guru adalah anak Tuna Grahita dapat menyesuaikan diri dengan baik, bahagia
dan senang di sekolah. Ini merupakan potret anak Tuna Grahita di tengah-tengah
teman yang sedang belajar (http://getmyhope.wordpress.com/2010/04/23/anakberkebutuhan-khusus-di-indonesia, diakses 4 Juli 2013 pukul 11.00 wib).
Gambaran kisah anak-anak tunagrahita dengan latar belakang keluarga miskin
serta akses pendidikan yang jauh dari tempat tinggal serta tidak mengurangi
keinginan yang terpadu antara orang tua, anak, sekolah yang mengedepankan masa
depan anak dalam keterbatasan. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 32 disebutkan bahwa: pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial. Ketetapan
dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 tersebut bagi penyandang kelainan sangat
berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa penyandang cacat perlu
memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat
normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran (Efendi, 2006 : 1).
Pemerintah telah memberikan pendidikan secara khusus yaitu melalui sekolah
luar biasa bagi anak tunagrahita ataupun penyandang cacat lainnya.. Pendidikan dan
pengajaran luar biasa yang dimaksud adalah suatu bentuk sekolah khusus yang
berbeda dengan sekolah pada umumnya. Sekolah luar biasa ini tidak hanya untuk
para penyandang cacat mental saja. Sekolah luar biasa di Indonesia terdiri dari
berbagai jenis, yang semuanya telah disesuaikan dengan kebutuhan dari siswa.

10
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan landasan tersebut dikemukakan bahwa pemerintah dan
masyarakat mempunyai tanggung jawab yang sama dalam melakukan pembinaan
demi kesejahteraan penyandang cacat. Pemerintah dalam menjalankan tugas tersebut,
dan

masyarakat

diberikan

kesempatan

seluas-luasnya

untuk

bersama-sama

pemerintah atau oleh masyarakat itu sendiri melakukan kegiatan peningkatan
kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat. Sebagai wujud dari upaya masyarakat
terhadap peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, berbagai kegiatan
pemberdayaan yang bersumberdaya masyarakat terhadap penyandang cacat telah
dilakukan diberbagai wilayah di Indonesia.
Kekurangan yang dialami anak tunagrahita yaitu pada keterampilan adaptif,
antara lain kemampuan berkomunikasi, menolong diri, keterampilan sosial,
pengarahan diri, keamanan diri, dan akademik. Jadi karakteristik yang dimiliki anak
tunagrahita ringan seperti terlambat dalam perkembangan mental dan sosial, kesulitan
dalam mengingat apa yang dilihat, didengar secara sekilas, mengalami masalah
persepsi yang menyebabkan salah satunya tunagrahita ringan mengalami kesulitan
dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception), keterlambatan atau
keterbelakangan mental yang dialami anak tunagrahita ringan akan berpengaruh pada
perkembangan perilaku, sehingga perilaku yang muncul pada anak-anak tunagrahita
tidak sesuai dengan perilaku seusianya.
UPT SLB-E Negeri Pembina Medan menjalankan salah satu pendekatan yang
diberikan kepada penyandang Tuna Grahita yaitu pendekatan life skill atau
pendekatan keterampilan. Pendekatan ini dimaksud untuk mendidik para penyandang
11
Universitas Sumatera Utara

cacat khususnya tuna grahita bisa mendapatkan pendidikan yang sama dan bisa
memperoleh penghidupan yang lebih layak ditengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dengan dasar inilah penulis tertarik untuk
meneliti bagaimana peranan Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT SLB-E)
Negeri Pembina Medan dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi
penyandang tuna grahita sebagai judul penelitian saya yang hasilnya akan dituangkan
ke dalam skripsi dengan judul “Peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa
(UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam Memberikan Kegiatan Pembelajaran
Keterampilan bagi Penyandang Tuna Grahita”.
1.2

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat

dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Unit Pelakasana Teknis Sekolah
Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan dalam memberikan kegiatan
pembelajaran keterampilan bagi penyandang tuna grahita?”.
1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1

Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana peranan Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri
Pembina Medan dalam memberikan pendidikan keterampilan bagi penyandang tuna
grahita, juga untuk mengetahui dan menganalisis manfaat yang diperoleh penyandang
tuna grahita setelah masuk ke dalam sekolah Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar
Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan.
12
Universitas Sumatera Utara

1.3.2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam
rangka pengembangan konsep dan teori terutama dalam rangka perolehan manfaat
yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran keterampilan terhadap penyandang
tunagrahita di Unit Pelaksana Teknis Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri
Pembina Medan, untuk kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat.
1.4

Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab,

dengan urutan sebagai berikut:
BAB I

: PENDAHULUAN
Berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II

: TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan tentang teori-teori yang mendukung dalam penelitian,
kerangaka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III

: METODE PENELITIAN
Berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian,
teknik pengumpulan data, serta teknik analisa data.

BAB IV

: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Berisikan tentang sejarah singkat berdirinya Unit Pelaksana Teknis
Sekolah Luar Biasa (UPT. SLB-E) Negeri Pembina Medan, dan

13
Universitas Sumatera Utara

gambaran umum lokasi penelitian dandata-data lain yang turut
memperkaya karya ilmiah ini.
BAB V

: ANALISA DATA
Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian
beserta analisis pembahasannya.

BAB VI

: PENUTUP
Berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan
penelitian yang dilakukan.

14
Universitas Sumatera Utara