Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyetkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi

BAB II
KONSEP KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DAN PEREKONOMIAN
NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 J.O
UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Sebelum melangkah lebih jauh mengenai konsep kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi, akan diuraikan terlebih dahulu sebab-sebab terjadinya
tindak pidana korupsi. Surachmin dan Suhandi Cahaya, dalam buku “Strategi Dan
Teknik Korupsi”, mengungkapkan beberapa sebab korupsi diantaranya: 76
1.

Sifat tamak dan keserakahan;

2.

Ketimpangan penghasilan sesama Pegawai Negeri Pejabat Negara;

3.

Gaya hidup konsumtif;


4.

Penghasilan yang tidak memadai;

5.

Kurang adanya keteladanan dari pimpinan;

6.

Tidak adanya kultur organisasi yang benar;

7.

Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai;

8.

Kelemahan sistem pengendalian manajemen yang terdiri atas:

a. Struktur organisasi
b. Kebijakan
c. Perencanaan harus realistis
d. Prosedur yang sederhana
e. Pencatatan harus lengkap dan informatif
f. Pelaporan
76

Surachmin, dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi (Mengetahui dan
Mencegah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 91-109.

Universitas Sumatera Utara

g. Penerimaan dan pemberhentian
h. Supervisi dan review intern.
9.

Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam organisasi;

10.


Nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyrakat;

11.

Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi
adalah masyarakat itu sendiri;

12.

Moral yang lemah;

13.

Kebutuhan yang mendesak;

14.

Malas atau tidak mau bekerja keras;


15.

Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar;

16.

Lemahnya penegakan hukum mencakup beberapa aspek:
a. Bisa tidak adanya tindakan hukum sama sekali terhadap pelaku korupsi;
b. Tindakan ada tetapi penanganan di ulur-ulur dan sanksinya ringan;
c. Tidak dilakukan pemindahan sama sekali, karena si pelaku mendapat
backing dari jajaran tertentu atau tindak pidana korupsinya bermotifkan
kepentingan untuk kelompok tertentu atau partai tertentu.

17.

Sanksi yang tidak setimpal dengan hasil korupsi;

18.

Kurang atau tidak adanya pengendalian


19.

Pendapat pakar lain penyebab korupsi
Pendapat lain tentang penyebab korupsi diantaranya dari Klitgaar, Hamzah,

Lopa, World Bank, dalam Surachmin menyatakan bahwa penyebab korupsi
adalah:
a. Diskresi pegawai publik yang terlalu besar;

Universitas Sumatera Utara

b. Rendahnya akuntabilitas publik;
c. Lemahnya kepemimpinan;
d. Gaji pegawai publik dibawah kebutuhan hidup;
e. Kemiskinan;
f. Moral rendah atau disiplin rendah;
g. Sifat konsumtif;
h. Pengawasan dalam organisasi kurang;
i. Atasan memberi contoh;

j. Kesempatan yang tersedia;
k. Pengawasan ekstern yang lemah;
l. Lembaga legislatif lemah;
m. Budaya memberi upeti;
n. Permisif (serba membolehkan);
o. Tidak mau tahu;
p. Keserakahan;
q. Dan lemahnya penegakan hukum.
Disisi lain juga dipengaruhi probabilitas ditangkap dan dihukum lebih
rendah daripada keuntungan yang diperoleh, orang yang di lahan “basah” mesti
menghidupi pegawai di atas dan di bawahnya, untuk duduk di tempat “basah”
atau mendapat jabatan pegawai harus membayar (korupsi untuk cost recovery),
lingkungan tidak kondusif, para pegawai publik harus menjadi sumber dana
organisasi, kondisi masyarakat yang lemah, tidak terorganisasi untuk melawan
korupsi.

Universitas Sumatera Utara

Masyarakat Transparansi Internasional (MTI) yang dikutip Surachmin,
menemukan sepuluh pilar penyebab korupsi di Indonesia yaitu sebagai berikut:

a. Absennya kemauan politik pemerintah;
b. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah;
c. Dominannya peranan militer dalam bidang politik;
d. Politisasi birokrasi;
e. Tidak independennya lembaga pengawas;
f. Kurang berfungsinya parlemen;
g. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil;
h. Kurang bebasnya media massa;
i. Oportunitas sektor swasta.
Adapun Ilham Gunawan yang dikutip oleh Surachmin, menyatakan bahwa
korupsi dapat terjadi karena berbagai faktor antara lain :
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang
mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang
menjinakkan korupsi;
b. Kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika;
c. Akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak
menggugah

kesetiaan


dan

kepatuhan

yang

diperlukan

untuk

membendung korupsi;
d. Kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan;
e. Kemiskinan yang bersifat struktural;
f. Sanksi hukum yang lemah;

Universitas Sumatera Utara

g. Kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi;
h. Struktur pemerintahan yang lunak;
i. Perubahan radikal sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika

suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai
suatu penyakit tradisional;
j. Kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa
memberikan cerminan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
20.

Faktor politik;

21.

Budaya organisasi pemerintah

A.

Delik Kerugian Keuangan Negara Dalam Undang Nomor 31 Tahun
1999 JO Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Yunus Husein, dalam hasil penelitian “Penerapan Unsur Merugikan

Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi” oleh Emerson Yuntho,

dan kawan-kawan, yang menyebutkan ada beberapa cara terjadinya kerugian
negara, yaitu kerugian negara yang terkait dengan berbagai transaksi: 77
1.

Transaksi barang dan jasa;

2.

Transaksi yang terkait dengan utang- piutang;

3.

Transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan.

77

Emerson Yuntho, dan kawan-kawan, Indonesia Corruption Watch, Hasil Penelitian
Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi, (diakses
dari http://www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.org/files/doc/Kajian/policypaperkeuangannegara.
pdf, pada 28 Januari 2016, pukul 19:23 WIB).


Universitas Sumatera Utara

Masih menurut Yunus Husein, dalam penelitian itu juga, bahwa tiga cara
terjadinya kerugian negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan
peristiwa yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara: 78
1.

Pengadaan barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas harga
pasar;

2.

Harga pengadaan barang dan jasa wajar namun tidak sesuai dengan
spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan;

3.

Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar;

4.

Piutang negara berkurang secara tidak wajar;

5.

Aset negara berkurang karena dijual dengan harga yang murah atau
dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta atau
perorangan (ruilslag);

6.

Memperbesar biaya instansi atau perusahaan. Hal ini dapat terjadi baik
karena pemborosan maupun dengan cara lain;

7.

Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan
sebenarnya.
Pandangan lain mengenai terjadinya kerugian negara juga disampaikan

Soeharto dari BPKP, dalam hasil penelitian itu juga, Soeharto menyebutkan
terjadinya kerugian negara disebabkan karena: 79
1.

Pengeluaran atas suatu sumber kekayaan negara atau daerah, atau atas
pendapatan negara atau daerah berupa uang, barang, atau bentuk lainnya
yang seharusnya tidak (dapat) dikeluarkan, tetapi dikeluarkan;
78
79

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

2.

Pengeluaran atas suatu sumber atau kekayaan negara atau daerah, atau atas
pendapatan negara atau daerah yang lebih besar dari yang seharusnya;

3.

Berkurang atau hilangnya sumber kekayaan negara atau daerah, atau
pendapatan (atau pemasukan) negara atau daerah yang seharusnya diterima;

4.

Berkurangnya hak atas suatu negara atau daerah dari yang seharusnya
didapat.
Eddy Mulyadi Soepardi, dalam ceramah ilmiah yang berjudul “Memahami

Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Unsur Tindak Pidana
Korupsi”, bahwa masih ada faktor lain yang dapat menyebabkan kerugian
keuangan negara selain faktor diatas yang dapat ditinjau dari: 80
1.

Sisi pelaku

a.

Perbuatan

bendaharawan

yang

dapat

menimbulkan

kekurangan

perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran, pemberian
atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak, pertanggungjawaban
/laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak pidana
korupsi, dan kecurian karena kelalaian;
b.

Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan negara
dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak
pidana korupsi, dan menaikkan harga atau merubah mutu barang;

80

Eddy Mulyadi Soepardi, Dalam Ceramah Ilmiah, Memahami Kerugian Keuangan
Negara Sebagai Salah Satu Faktor Unsur Tindak Pidana Korupsi (diakses dari
http://www.feunpak.web.id/icfile/ceramah-fh.pdf, pada tanggal 05 Februari 2016, pukul 19:22
WIB).

Universitas Sumatera Utara

c.

Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan cara
antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat yang
berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi).

2.

Sisi sebab

a.

Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang disengaja, dan tidak disengaja,
karena kelalaian, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan
terhadap penggunaan keuangan negara yang tidak memadai;

b.

Kejadian alam, seperti bencana alam, dan proses alamiah seperti membusuk,
menguap, menyusut, dan sebagainya;

c.

Peraturan perundang-undangan dan situasi moneter/perekonomian, yakni
kerugian keuangan karena adanya pengguntingan uang (sanering), gejolak
moneter yang mengakibatkan turunnya nilai uang sehingga menaikkan
jumlah kewajiban negara dan sebagainya.
Setelah menguraikan sebab-sebab terjadinya korupsi diatas, baik secara

umum maupun yang langsung berkaitan dengan kerugian keuangan negara,
selanjutnya dapat dilihat konsep kerugian keuangan dan atau perekonomian
negara. Berbicara tentang kerugian keuangan negara dan perekonomian negara,
tampaknya tidak hanya masuk dalam ranah hukum pidana. Di dalamnya terdapat
unsur ilmu ekonomi, dan ilmu lain yang berkaitan. Namun, berdasarkan batasan
sub judul di atas, maka yang akan di bahas adalah delik yang menimbulkan
kerugian keuangan negara dan perekonomian negara kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Universitas Sumatera Utara

Adami Chazawi, memberi pandangan bahwa dalam undang-undang ini
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana korupsi dapat
dikelompokkan

berdasarkan

dapat-tidaknya

merugikan

keuangan

atau

perekonomian negara, dibagi dalam dua bagian, yaitu: 81
1.

Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dan;

2.

Tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi pada bagian pertama merupakan tindak pidana

formil (delik formil), yang artinya terjadinya tindak pidana secara sempurna tidak
perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut
akal sehat bahwa suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian bagi negara, maka
perbuatan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang terdapat unsur/syarat dapat merugikan keuangan dan
atau perekonomian negara terdapat dalam Pasal 2, 3, dan 15 jo Pasal 2 dan 3
(sepanjang percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat itu dilakukan dalam
rangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam
Pasal 2 dan 3). Demikian juga dalam Pasal 16 diisyaratkan dapat menimbulkan
kerugian negara sepanjang orang yang berada di luar wilayah hukum Republik
Indonesia itu memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 dan

81

Adami Chazawi, op.cit, hal.30-31.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 3. Terhadap bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam
pasal-pasal berikutnya pada bagian kedua tidak memerlukan unsur atau syarat
dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian negara.
Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001:
“Pasal 2
1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
“Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Apabila ditelaah lebih lanjut, perbuatan yang memenuhi unsur-unsur
penting yang terdapat dalam Pasal 2 agar dapat dikatakan sebagai tindak pidana
korupsi, menurut Marwan Effendy, dalam bukunya “Tipologi Kejahatan
Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana”, diantaranya: 82

82

Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana (4),
(Sumber Ilmu Jaya, 2005), hal. 91.

Universitas Sumatera Utara

1.

Setiap orang
Pengertian setiap orang dalam pasal ini, siapa saja yang dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum, baik dalam kapasitasnya sebagai pegawai
negeri atau pihak swasta.
Menurut Elwi Danil, bahwa pada dasarnya yang dapat melakukan tindak
pidana adalah manusia (natururlijke persoon). Hal ini dapat disimpulkan dari
rumusan tindak pidana dalam undang-undang yang selalu dimulai dengan kata
“barang siapa” yang tidak dapat diartikan lagi selain orang / manusia. Disamping
itu yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana adalah manusia. Hal
itu disebabkan karena kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan
merupakan sikap dalam batin manusia. Atas dasar pemikiran itu pulalah maka
dalam penjelasan KUHP (Memorie van Toelichting),yaitu penjelasan atas Pasal 59
KUHP ditegaskan bahwa, suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
manusia. Akan tetapi, di dalam perkembangan pemikiran hukum pidana, ajaran
seperti itu sudah ditinggalkan. 83
Martiman Prodjohamidjojo, memberi pendapat istilah yang lazim dalam
perundang-undangan pidana ataupun KUHP memakai kata “barang siapa”.
Pengertian “setiap orang” atau “barang siapa” ialah orang atau orang-orang yang
apabila orang atau orang-orang tersebut terbukti memenuhi unsur-unsur delik
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka orang atau orang-orang itu
disebut sebagai si pelaku atau si pembuat dari delik tersebut. Adalah sangat jarang

83

Elwi Danil, op.cit, hal. 104.

Universitas Sumatera Utara

delik korupsi dilakukan oleh seseorang saja, dan sangat dimungkinkan delik
korupsi dilakukan oleh beberapa orang lainnya. Jika hal itu dilakukan secara
bersama-sama dengan orang lain, baik dalam bentuk “mededaderschap” atau
“turut serta” (Pasal 55 ayat (1) KUHP) atau juga dalam bentuk “uitloking” atau
“menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu delik” (Pasal 55 ayat (2)
KUHP), maupun dalam bentuk “medeplichtigheid” atau “membantu melakukan”
(Pasal 56 KUHP). 84
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan
bahwa setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi
menurut Pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut adalah kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
Mengenai korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana korupsi,
menurut Komariah Emong Sapardjaja yang dikutip oleh Elwi Danil, pada
mulanya sulit diterima badan hukum dapat melakukan tindak pidana, karena
badan hukum bukanlah subjek hukum dalam hukum pidana. Bertolak dari
ketentuan yang ada dalam KUHP, sejak KUHP dibuat sudah terlihat bahwa subjek
hukum pidana hanyalah orang pribadi. Hal tersebut tidak saja disebabkan karena
seluruh rumusan tindak pidana dalam KUHP selalu diawali dengan perkataan
“barang siapa”, melainkan juga bunyi Pasal 59 KUHP yang membatasi kepada
pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris secara
pribadi. Akan tetapi jika dikaitkan dengan laju perkembangan ekonomi dan

84

Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 52-55.

Universitas Sumatera Utara

teknologi, dan dengan melihat pada pertumbuhan dan peran badan hukum, maka
penempatan badan hukum sebagai subyek hukum pidana secara umum dalam
kehidupan hukum pidana di Indonesia sudah merupakan sesuatu yang mendesak.
Dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, tidak ditentukan adanya ketentuan secara khusus untuk mengatur
kualifikasi si pembuat (pelaku) sebagai subjek tindak pidana korupsi. Menurut
Elwi Danil, artinya bahwa rumusan tindak pidana korupsi sejak semula tidak
pernah menentukan subjek dengan kualifikasi tertentu. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam merumuskan
tindak pidana korupsi selalu diawali dengan kata “barang siapa”. Demikian
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengawali rumsan dengan
kata “setiap orang” yang berarti siapa saja. 85
Elwi Danil berpendapat, dalam menyikapi pertumbuhan perilaku yang
koruptif, pembuat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menempuh kebijakan
yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pembuat Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971, khususnya menyangkut subyek hukum pidana tentang korupsi.
Meskipun sama-sama melakukan perluasan mengenai pengertian pegawai negeri,
namun dalam soal subyek hukum pidana pembuat undang-undang korupsi yang
baru tampak lebih maju daripada undang-undang korupsi sebelumnya. Hal
tersebut terbukti dengan adanya kebijakan melakukan perluasan subyek hukum

85

Elwi Danil, op.cit, hal. 105.

Universitas Sumatera Utara

tentang korupsi, yang tidak saja berupa orang perorangan melainkan juga
korporasi. 86
Selain alasan diatas, Martiman Prodjohamidjojo juga memberikan
pandangan bahwa delik korupsi telah merayap dan menyelinap sehingga
menggerogoti keuangan negara, perekonomian negara dan merugikan kepentingan
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang perlu memperluas subyek delik korupsi,
meliputi korporasi yang dikenai sanksi, perluasan pengertian pegawai negeri dari
Pasal 92 KUHP maupun Undang-Undang Nomor 8 tahun 1961. 87
Dapat dikenakannya sanksi pidana terhadap korporasi dalam tindak pidana
korupsi menurut Elwi Danil cukup beralasan pula dalam menampung beberapa
rekomendasi Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The
Treatments of Offenders, diantaranya : 88
a.

Dalam rekomendasi Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 antara lain ditegaskan
agar ada tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam
perkara korupsi (take appropriate mesures against enterprise involved in
corruption);

b.

Dalam dokumen Kongres PBB ke-9 di Kairo antara lain ditegaskan sebagai
berikut: bahwa korporasi, asosiasi kriminal atau individu terlibat dalam
penyuapan para pejabat untuk alasan yang tidak semua bersifat ekonomis.
Namun dalam banyak kasus masih ada penyuapan digunakan untuk
mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya adalah membujuk para pejabat
untuk memberikan berbagai perlakuan khusus dan istimewa.
86
87
88

Ibid, hal. 107
Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 110.
Elwi Danil, op.cit, hal. 109

Universitas Sumatera Utara

Dalam kaitan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subyek tindak
pidana korupsi, penentuan kesalahan korporasi menurut Elwi Danil dilakukan
dengan cara mengidentifikasikannya dengan sikap batin pengurus korporasi.
Untuk itu harus dibuktikan bahwa pelaksanaan tindak pidana tersebut merupakan
business policy yang diputuskan oleh mereka yang berwenang dalam korporasi
tersebut, dan keputusan itu diterima sebagai kebijakan korporasi. 89
2.

Secara melawan hukum
Andi

Hamzah,

dalam

bukunya

“Asas-Asas

Hukum

Pidana”,

mengemukakan bahwa, pengertian “melawan hukum” itu sendiri bermacammacam. Ada yang mengartikan sebagai tanpa hak sendiri (Zonder eigen recht),
bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht), bertentangan
dengan hukum obyektif (tegen het objective recht). Andi Hamzah mengutip
pendapat Noyon-Langemeyer, bahwa karena bermacam-macamnya pengertian
melawan hukum itu, ada baiknya fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan
setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya. 90
Mohammad Ekaputra, dalam buku “Dasar-Dasar Hukum Pidana”,
menyatakan bahwa salah satu unsur penting dari suatu tindak pidana adalah unsur
melawan hukum (wederrechtelijk), unsur ini merupakan suatu penilaian objektif
yang diberikan terhadap suatu perbuatan/tindakan. Menurut Simon yang dikutip
oleh Mohammad Ekaputra pengertian dari sifat melawan hukum adalah
bertentangan dengan hukum pada umumnya, tetapi dalam hubungan sifat
melawan hukum sebagai salah satu unsur delik ditegaskannya, supaya selalu
89
90

Ibid, hal. 113
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (1), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal.

131-132.

Universitas Sumatera Utara

berpegang kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang
hukum pidana. Juga mengutip pendapat dari Sudarto, suatu perbuatan dikatakan
melawan hukum, jika perbuatan itu telah sesuai dengan rumusan delik
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Namun perbuatan yang telah
memenuhi rumusan delik itu tidak selalu bersifat melawan hukum, sebab mungkin
ada sebab yang menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan. 91
Perbuatan melawan hukum dalam ilmu hukum dibedakan atas dua,
melawan hukum secara formil dan melawan hukum secara materiil. Menurut Andi
Hamzah, melawan hukum formil adalah perbuatan yang bertentangan dengan
undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka
biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formil. Melawan hukum materiil
harus berarti hanya dalam arti negatif, artinya kalau tidak ada melawan hukum
(materiil) maka merupakan dasar hukum pembenar. Dalam penjatuhan pidana
harus dipakai hanya melawan hukum formil, artinya yang bertentangan dengan
hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta
yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. 92
H. Zamhari Abidin, dalam bukunya “Pengertian dan Asas Hukum Pidana”,
bahwa ajaran melawan hukum formil (formele wederrechttelijkheid) yang dianut
salah satunya oleh Simons, berpendapat bahwa, “wederrechtelijk is in strijd met
het recht in het algemene” (melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum
dalam arti umum). Unsur melawan hukum bukan merupakan unsur daripada delik
dan karena itu tidak harus dibuktikan, kecuali bilamana dengan tegas-tegas
91

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013), hal.

92

Andi Hamzah (1), op.cit, hal 133.

127.

Universitas Sumatera Utara

dinyatakan sebagai unsur (seperti dalam Pasal 167, 333 dan 406 KUHP), maka
haruslah dibuktikan. Istilah-istilah dalam KUHP misalnya, “dengan tanpa hak”
(Pasal 303, 548, 549 KUHP), “dengan melampaui kekuasaannya” (Pasal 430, 429
KUHP), “dengan melawan hukum” (Pasal 179, 180 KUHP). Ajaran melawan
hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid), merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan asas-asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum.
penganutnya seperti van Hamel yang sepakat dengan pendapat Hoge Raad
(Mahkamah Agung Belanda) dengan salah satu arrestnya, “Zonder eigen recht of
zonder eigen bevoegdheid” (tanpa ada haknya atau tanpa ada wewenangnya).
Unsur melawan hukum adalah unsur daripada setiap delik, dan karena itu haruslah
dibuktikan. 93
Mohammad Ekaputra berpendapat bahwa sifat melawan hukum formal
mengandung arti semua bagian atau unsur-unsur dari rumusan delik telah
terpenuhi. Sifat melawan hukum formal terjadi karena suatu perbuatan itu telah
memenuhi rumusan delik dari undang-undang. Sifat melawan hukum formal
merupakan syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan yang bersumber dari
asas legalitas. Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum
perbuatan itu dapat hapus hanya berdasarkan ketentuan undang-undang, dengan
kata lain alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh di ambil
diluar hukum positif. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan
melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). Menurut
ajaran melawan hukum materiil, yang disebut dengan melawan hukum tidaklah
93

H. Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana (Dalam Schema atau Bagan
dan Synopsis atau Catatan Singkat), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal 18.

Universitas Sumatera Utara

hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga bertentangan
dengan hukum tidak tertulis. Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, sifat
melawan hukum suatu perbuatan yang nyata-nyata masuk ke dalam rumusan
suatu delik, dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga
berdasarkan aturan yang tidak tertulis. Jadi, menurut ajaran ini melawan hukum
sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis), dan juga
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis, misalnya bertentangan dengan
tata susila dan sebagainya. 94
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang dimaksud perbuatan
melawan hukum pada Pasal 1, dalam penjelasannya bahwa:
“Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu
perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah
sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu "memperkaya
diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan."
Pengertian melawan hukum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun, berdasarkan Penjelasan Umum, yaitu :
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini
mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam
ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau
perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.”
Penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil dengan fungsi positif seperti
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, dikalangan
94

Mohammad Ekaputra, op.cit, hal. 132-133.

Universitas Sumatera Utara

para ahli hukum dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga ia
merupakan suatu pelanggaran terhadap asas legalitas. Oleh karena itu, fungsi
positif dari ajaran sifat melawan hukum materiil tidak mungkin diterapkan. 95
Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan karakteristik undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu undang-undang pidana
khusus, maka penerapan fungsi positif dalam ajaran sifat melawan hukum materiil
menurut Elwi Danil patut dipertimbangkan sebagai suatu yang eksepsional
sifatnya. Kerangka berpikir seperti itu akan menjadi semakin penting bila
dikaitkan karakteristik tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crima, maka
penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiil dapat diposisikan
sebagai extra ordinary instrument. Elwi Danil mengaitkan dengan kenyataan
yang berkembang dewasa ini , apabila pemberantasan tindak pidana korupsi
hanya bersandar pada sifat melawan hukum formil saja, maka banyak pelaku
perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat bersifat koruptif
dan merugikan keuangan negara dalam skala yang sangat besar tidak mampu
dijangkau oleh ketentuan undang-undang yang ada. Akibatnya para pelaku
perbuatan yang dipandang koruptif dan tercela itu menjadi tidak dapat dijatuhi
pidana. Penerapan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materiil dalam
kebijakan legislasi, akan memperlihatkan relevansinya kaitannya dengan
perkembangan jenis kejahatan yang sering tidak terdeteksi dan terantisipasi oleh
pembuat undang-undang. Disamping itu , perlu juga dipahami bahwa tujuan untuk
menempatkan asas ajaran melawan hukum materiil sebagai instrumen khusus

95

Elwi Danil, op.cit, hal. 152

Universitas Sumatera Utara

adalah untuk mempermudah proses pembuktian tindak pidana korupsi
dipersidangan. 96
Namun, penjelasan ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor: 003/PUU-IV/2006,
dalam poin mengadili, bahwa perbuatan melawan hukum materiil dalam Pasal 2
dan 3 undang-undang tersebut adalah ”bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan dinyatakan “tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat”. Dengan demikian, maka perbuatan melawan hukum
yang dirumuskan dalam Pasal 2 adalah perbuatan melawan hukum formil saja.
3.

Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi.
Beberapa pengertian dari unsur ketiga ini diantaranya:

a.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memperkaya artinya menjadikan

lebih kaya 97;
b.

Martiman Prodjohamidjojo, bahwa yang dimaksud dengan “memperkaya”

diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, menurut ketentuan ini, ialah selalu dan
terus menerus tanpa henti menambah harta kekayaan dengan jalan melawan
hukum, hingga kekayaan yang diperoleh sebagai tambahan itu tidak seimbang
dengan sumber atau penghasilan kekayaan yang ia miliki. Tetapi pengertian
memperkaya diri sendiri itu sifatnya adalah relatif, artinya perbuatan atau kegiatan
yang menjadikan suatu kondisi objektif, tingkat kemampuan materiil tertentu
dijadikan lebih meningkatkan lagi dalam pengertian yang tetap relatif, walaupun
96
97

Ibid, hal. 153-154.
KBBI, op.cit.

Universitas Sumatera Utara

secara subjektif orang yang bersangkutan mungkin merasa belum kaya.
Pengadilan Negeri Purwokerto yang dikutip Martiman Prodjohamidjojo, dalam
memberikan tafsiran kata “memperkaya diri sendiri, harus ditafsirkan membuat
kaya orang kaya tanpa melihat sudah kaya/tidak/belum kaya, dengan jalan
melawan hukum” 98;
c.

Berbeda dengan pendapat Sudarto yang dikutip oleh Marwan Effendy,

bahwa perbuatan memperkaya artinya berbuat apa saja, misalnya mengambil,
memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya sehingga si pembuat
bertambah kaya 99;
d.

Marwan

Effendy dalam

pendapatnya,

bahwa

ada

tidaknya

hal

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan itu, dilihat dari
penghasilannya. Apakah penghasilannya memungkinkan adanya penambahan
kekayaan yang bersangkutan. Dibandingkan antara kekayaan yang ada dengan
penghasilannya. Bila kekayaan menunjukkan lebih besar dari penghasilan, perlu
diteliti jauh dan terdakwa harus menjelaskan dari mana asal usul kekayaannya itu.
Jika penjelasannya tidak masuk akal, maka ada petunjuk bahwa ia telah
melakukan tindak pidana korupsi. Mengingat bahwa yang diperkaya itu,
disamping terdakwa mungkin juga orang lain dari terdakwa atau suatu korporasi,
maka harus juga diperiksa kekayaan dari orang lain atau suatu korporasi itu yang
diduga memperoleh hasil dari korupsi. Disamping itu, menurut putusan
Mahkamah Agung Nomor: 951K/Pid/1982 tanggal 10 Agustus 1982 dan Nomor:

98
99

Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 65.
Marwan Effendy, (4),op.cit. hal. 103.

Universitas Sumatera Utara

275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983, kata ‘memperkaya’, dapat juga
diartikan memperoleh hasil korupsi, walau hanya sebagian 100;
e.

Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan dalam sebuah e-book

yang berjudul “ Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum
Terpadu”, menurut Sukardi bahwa pengertian dari memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi adalah upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang
tidak setara dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan dari sumber yang
tidak sah; 101
f.

Topo Santoso, dan kawan-kawan juga mengutip dari Wiyono tentang

pengertian lain dari memperkaya adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi
lebih kaya, sedangkan berdasarkan putusan pengadilan negeri Tangerang tanggal
13 Mei 1992 No. 18/Pid/B-1992/PN/ TNG memperkaya adalah menjadikan orang
yang belum kaya menjadi kaya atau yang sudah kaya bertambah kaya 102;
g.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, dalam penjelasan Pasal 1 bahwa:
“Perkataan "memperkaya diri sendiri" 103atau "orang lain" atau "suatu
badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2), yang
100

Ibid, hal. 104.
Topo Santoso, Rosalita Chandra, dan kawan-kawan, e-book Panduan Investigasi dan
Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu (diakses dari http://www.cifor.org/publications/
pdf_files/ Books/BSinaga1101.pdf, pada 23 Maret 2016, pukul 01:46 WIB).
102
Ibid.
103
Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan, “Pemahaman Unsur
Memperkaya, Dan Atau Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi”, mengutip pendapat
Oemar Seno Adji yang telah menulis penafsiran sendiri mengenai pengertian tentang perbuatan
“Memperkaya diri “, yang sering terlihat dalam beberapa perkara dengan melepaskan
hubungannya dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pada hakikatnya adalah
diluar konteks perundang-undangan dan penjelasan resminya. Dari pendapat Oemar Seno Adji,
tidak mempermasalahkan kemungkinan timbulnya kasus korupsi yang pada saat disidik harta
kekayaan yang ratusan juta rupiah telah habis dipakai berjudi atau berfoya-foya oleh tersangka,
kalau terjadi hal seperti itu dengan berpegang pada pendapat Oemar Seno Adji, apakah unsur
“Memperkaya diri. “ masih dapat dibuktikan ? Dalam kaitan antara unsur “memperkaya ”, diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971,
penjelasan dan undang-undang itu sendiri, menggunakan kata “ dapat dihubungkan “ berarti tidak
mesti selalu harus dihubungkan, jadi bila terdapat cukup bukti bahwa tersangka/terdakwa atau
101

Universitas Sumatera Utara

memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang
sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak
seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut,
dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa
telah melakukan tindak pidana korupsi.”
h.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001, pengertian “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi” dapat dikaitkan dengan Pasal 37A 104 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001;
i.

Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 44/PUU-XI/2013, mengenai unsur

memperkaya:
“Adapun perbuatan yang dilakukan menurut unsur “memperkaya” diri
sendiri atau orang lain atau korporasi adalah:
1) Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan perbuatan melawan
hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda
miliknya sendiri;
2) Memperkaya orang lain, artinya akibat perbuatan melawan hukum dari
pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau
bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku
langsung;
3) Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan
dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu
korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”
orang lain atau suatu Badan “telah memperoleh” harta (uang/ barang) dan hasil perbuatan
tersangka/terdakwa yang melawan hukum, maka pembuktian unsur ini sudah cukup; Kata-kata
telah memperoleh diberi tanda kutip, sebab hasil korupsi tersebut oleh Pasal 1 ayat (1) tidak hanya
dari hasil “ Mengambil/Menggelapkan” tetapi juga dari sumber lain misalnya “menerima hasil dari
suatu pertanggungjawaban fiktif (diakses dari http://www.pnkayuagung.go.id/images/pnkag
/Dokumen/PEMAHAMANUNSURMEMPERKAYA.pdf , pada 22 Maret 2016, pukul 23:59
WIB).
104
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, bahwa dalam Pasal 37 A ayat(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan; ayat (2) Dalam hal terdakwa
tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana korupsi.

Universitas Sumatera Utara

j.

Sebuah artikel yang berjudul “Pemahaman Unsur Memperkaya, Dan Atau

Menguntungkan Pada Tindak Pidana Korupsi”, oleh Tim IT dari Pengadilan
Negeri Kayugung, Sumatera Selatan dalam pertimbangan hukum putusan pidana
kasus korupsi Pengadilan Negeri Sukabumi No.31/Pid.B/2008/PN.Smi atas nama
terpidana DRS. Endin Samsudin, MM., tertanggal 03 Juli 2008, halaman 385,
yang

dikuatkan

oleh

Putusan

Pengadilan

Tinggi

Bandung

No.334/Pid/2008/PT.Bdg, tertanggal 01 September 2008 Majelis Hakim dalam
kesempatan tersebut telah memberikan batasan kerugian negara senilai
Rp.100.000.000.-(seratus juta rupiah), untuk dapat memudahkan kategori/ukuran
nilai ”memperkaya” sebagai suatu kriteria dalam menentukan batas dan tolok ukur
yang membedakan antara kriteria unsur ”memperkaya” dengan kriteria unsur
”menguntungkan”. Dengan perkataan lain memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi tidak harus berarti terdakwa menjadi kaya atau bertambah
kekayaannya atas perolehan keuangan negara tersebut.

Selanjutnya, dalam

pengertian kaya yang harus diperhatikan bukan saja si pelaku menjadi bertambah
kekayaannya di luar apa yang semestinya ia dapatkan secara sah/resmi, akan
tetapi juga menyangkut nilai / substansi dari jumlah uang yang ia terima sehingga
dapat dikatakan si pelaku tersebut karenanya menjadi kaya. 105

4.

Dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pada Pasal 1 ayat (1) huruf a:

105

Tim IT dari Pengadilan Negeri Kayagung, Sumatera Selatan, op.cit.

Universitas Sumatera Utara

“Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara,
atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971:
“Yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan
perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang
kewenangannya seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No.
XXIII/MPRS/1966.”
Sebelum frasa merugikan keuangan negara terdapat kata “dapat” yang
menjadikan pasal ini masuk ke dalam delik formil sesuai penjelasan Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999:
“...Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan
atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat.”
Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Marwan Effendy, dengan
dicantumkannya kata dapat didepan unsur merugikan keuangan negara pada Pasal
2 dan 3, merubah delik tersebut menjadi delik formil. Lebih lanjut menurut
Marwan Effendy jika perubahan tersebut mengacu kepada pengertian delik formil,
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 362 106 atau 372 107 KUHP, maka
akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa tidak perlu dibuktikan.

106

KUHP, op.cit, Pasal 362, Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya
atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.
107
Ibid, Pasal 372 , Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Universitas Sumatera Utara

Permasalahannya apakah pengertian delik formil yang dimaksudkan pada Pasal 2
dan 3 sama dengan pengertian delik dalam Pasal 362 atau 372 KUHP. Dalam
Pasal 362 atau 372 KUHP , wujud barang sesuatu yang diambil atau dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa adalah nyata dan nilainya telah ditetapkan lebih dari Rp
250,- (dalam Pasal 364 KUHP) sehingga tidak perlu lagi dibuktikan apakah akibat
perbuatan terdakwa/tersangka tersebut, korban dirugikan atau tidak. Berbeda
dengan Pasal 2 dan 3 undang-undang korupsi, menurut Marwan Effendy jika
keuangan negara tersebut berwujud barang sesuatu yang nyata, seperti rumah,
mobil, perhiasan dan sebagainya, tidak menimbulkan permasalahan dalam
memformulasikan ke dalam berkas perkara dan surat dakwaan, tetapi jika
sebaliknya maka kata dapat dari rumusan Pasal 2 dan 3 harulah dikaji terlebih
dulu. 108
Marwan Effendy, mengacu pada pengertian delik formil diatas, berarti
kata “dapat” didalam rumusan kedua pasal ini, tidak dapat ditafsikan secara
sempit, mengingat kata “dapat” padanannya adalah kata “bisa”, atau dengan kata
lain “potensi”, bukan “mungkin”. Jadi kata “dapat” mengandung adanya suatu
kepastian dan terukur, tidak bersifat abstrak. Untuk menentukan dapat tidaknya
atau bisa tidaknya keuangan negara perlu diketahui berapa potensi dari kerugian
tersebut (potential loss). Artinya perkiraan besar potential loss yang ditimbulkan
oleh perbuatan tersangka atau terdakwa terukur. Untuk mendapatkan ukuran
potential loss tentunya diperlukan audit terlebih dahulu. 109

108
109

Marwan Effendy, (4), Op.cit. hal. 107.
Ibid, hal. 108.

Universitas Sumatera Utara

Pendapat hakim Mahkamah Konstitusi dalam poin konsideran Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, yang antara lain:
“Menimbang ...... bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan,
bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat”
menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss,
jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan
ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya
menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan
bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan
dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya
akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1)
sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam
tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk
dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian
rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian
diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian
telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan yang
didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi
kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu
mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan
bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan
adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah
dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur
dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan cara melawan hukum ( wederrechtelijk ) telah terbukti.
Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo
sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi
digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus
telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat
perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata
“dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang
mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam
Pasal 387 110 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur
110

KUHP,op.cit, Pasal 387 ayat(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun seorang pemborong atau ahli bangunan atau penjual bahan-bahan bangunan, yang pada
waktu membuat bangunan atau pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan, melakukan

Universitas Sumatera Utara

perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus
telah nyata terjadi.”
Pada bab sebelumnya telah diuraikan pengertian keuangan negara baik
dari para pendapat ahli maupun dari hukum positif di Indonesia. Secara khusus,
pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
dalam penjelasannya bahwa:
“Keuangan negara seperti yang dimaksud oleh Undang-undang ini meliputi
juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan
modal atau kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat dengan
dana-dana yang diperoleh dari masyarakat tersebut untuk kepentingan
sosial, kemanusiaan dan lain-lain. Tidak termasuk "keuangan negara" dalam
undang-undang ini ialah keuangan dari badan/badan hukum yang
seluruhnya modal diperoleh dari swasta misalnya P.T., Firma, CV. dan lainlain.”
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, pada penjelasan umum, yaitu:
“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam
bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena :
1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat.”
sesuatu perhuatan curang yang dapat membahayakan amanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang; ayat(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa yang
bertugas mengawasi pemhangunan atau penyerahan barang-barang itu, sengaja membiarkan
perbuatan yang curang itu.

Universitas Sumatera Utara

Marwan Effendy melihat penafsiran autentik tentang pengertian keuangan
negara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dibandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 lebih luas. Perbedaannya terletak pada
suatu badan hukum yang mempergunakan kelonggaran-kelonggaran dari
masyarakat, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tidak dicantumkan lagi. Sehingga dalam hal ini menurut
Marwan bagi bank yang menyelewengkan atau menyalahgunakan dana yang
dihimpun dari nasabah atau masyarkat tidak dapat dijerat lagi dengan undangundang tindak pidana korupsi, hanya dijerat oleh delik-delik yang dirumuskan
dalam Undang-Undang Perbankan. 111
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, dapat
dilihat frasa kekayaan “yang dipisahkan” atau “yang tidak dipisahkan”. Pengertian
kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak dipisahkan

mengalami benturan

dalam dua peraturan perundang-undangan. Diantaranya dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (untuk selanjutnya
disebut dengan Undang-Undang BUMN) dan UUKN.
Undang-Undang BUMN, mensyaratkan keuangan negara yang dipisahkan
dalam Pasal 1 angka 10, bahwa:
“Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan
penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan
terbatas lainnya.”

111

Marwan Effendy (4),op.cit. hal. 106.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang BUMN, yang
dimaksud dengan dipisahkan adalah:
“Pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
untuk dijadikan penyertaan modal negara