Peran Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Upaya Menyetkan Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
“Sekalipun langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan”, merupakan salah

satu adagium hukum yang cukup dikenal terutama dalam kalangan ahli hukum.
Adagium tersebut seolah memberi harapan yang sangat kuat bagi setiap manusia
bahwa tidak ada yang bisa menghalangi tegaknya hukum didunia ini. Pertanyaan
paling mendasar adalah, mengapa harus ada hukum? Atau mengapa harus hukum
yang mengatur manusia dalam kehidupannya? Bukankah hukum diciptakan oleh
manusia itu sendiri? Berarti, manusia menciptakan sesuatu yang mana sesuatu itu
justru mengatur dirinya sendiri.
Menurut J van Aperdoorn, semua manusia mengetahui dan menyadari
bahwa hukum itu tidak sembarang ada (lahir). Hukum berangkat dari apa yang
hidup dan diakui oleh masyarakat tersebut. Hukum sudah lama hidup sebagai asas
ataupun nilai dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh seperti apa yang
pernah terjadi pada bangsa Jerman (Germania). Bangsa-bangsa Germania di
Eropa pada mulanya hanya hidup menurut hukum Germanianya sendiri.
Perundang-undangannya belum mereka ketahui dan dengan demikian hukum

tumbuh semata-mata karena kebiasaan rakyat dan peradilan rakyat. Peradilan
merupakan faktor yang penting mengenai pembentukan hukum, pada masa waktu
perundang-undangan belum memegang peranan, hukum merupakan faktor yang
terpenting. Peradilan Germania adalah peradilan rakyat, pengadilan Germania

Universitas Sumatera Utara

adalah pengadilan rakyat, pada mana semua orang sebangsa harus ikut serta.
Sebagaimana bangsa itu mempunyai bahasa sendiri, demikian juga mereka
melakukan peradilannya, bangsa itu membentuk hukumnya sendiri yang
kemudian menjadi darah dagingnya. 4
Pada saat itu, hukum lahir karena kehendak rakyat yang membutuhkannya,
dan hukum dirancang memang untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Seperti
sebuah budaya, hukum bukan sekedar kata-kata yang terukir indah dalam kitabkitab, tetapi menjadi tolak ukur perilaku manusia (berakar pada nilai) agar dapat
diterima di masyarakat untuk mencapai perdamaian sebagai cita-cita masyarakat.
Lebih lanjut, Van Apeldoorn dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum”,
menyampaikan bahwa perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan,
jiwa, harta benda, dan sebagainya, terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari
perorangan dan kepentingan dari manusia selalu bertentangan satu sama lain.

Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian, bahkan
peperangan antara semua orang melawan semua orang, jika hukum tidak
bertindak sebagai upaya mempertahankan perdamaian. Hukum memandang
perdamaian dengan melihat kepentingan-kepentingan yang bertentangan secara
teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat
mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju
peraturan yang adil, artinya peraturan yang mana terdapat suatu keseimbangan

4

L. J van Aperdoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita,1981), hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh
sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. 5
Jadi, tidak dapat dipungkiri penegakan hukum 6 sebagai salah satu kunci
untuk mencapai perdamaian dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam
masyarakat. Masalah selanjutnya adalah, bagaimana seharusnya penegakan
hukum itu karena pada faktanya dengan melihat, mengetahui dan menyadari

sangat sulitlah menegakan hukum itu, bak mendirikan tiang di tengah laut yang
sedang mengamuk.
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan”, sulit untuk mencari
pedoman pelaksanaan tugas penegakan ketertiban dan kepastian hukum, terutama
disebabkan faktor transisi nilai kesadaran yang sedang kita alami. Faktor kedua,
disamping perubahan nilai-nilai, simpang siurnya perundang-undangan, dan
masih banyaknya peraturan peraturan positif yang masih berasal dari kodifikasi
jaman kolonial. Diantara semua faktor-faktor tersebut, yang salah satunya adalah
penegakan hukum yang tegas. Tegas dalam arti hukum itu tidak dipermainkan
atau diperjual-belikan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi pejabat penegak
hukum, seperti yang selalu didengar ungkapan bersayap KUHP: Kalau ada Uang
5

Ibid, hal. 23.
Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014), hal 265-266, mengemukakan bahwa, “penegakan hukum dalam
pengertian law enforcement seperti yang secara praktis selama ini dikenal hanyalah merupakan
bagian dalam penegakan hukum dalam arti yang luas dan umum. Oleh karena itu, konsep law
enforcement dapat dikatakan dan diterjemahkan sebagai penegakan hukum dalam arti sempit.

Meskipun demikian, penegakan hukum dalam pengertian yang sempit itu dapat digunakan sebagai
salah satu tolak ukur untuk menentukan penegakan supremasi hukum. Artinya penegakan hukum
adalah gambaran awal untuk menentukan ukuran dan penilaian tentang apakah hukum itu
berdaulat atau tidak. Penegakan hukum dapat pula dipahami dan digambarkan sebagai sebuah
proses yang melibatkan berbagai institusi penegak hukum (law enforcement officers) sebagai
komponen, yaitu, polisi, jaksa, dan hakim termasuk penasihat hukum.
6

Universitas Sumatera Utara

Habis Perkara, atau hukum itu diperlakukan berbeda-beda kepada masyarakat. Hal
tersebut seperti ungkapan dari Oliver Goldsmith : Law grind the poor, and rich
men rule the law (hukum hanya menggilas orang miskin, sebaliknya orang kaya
menguasai hukum). 7
Chaerudin dalam bukunya “Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi”, bahwa masalah penegakan hukum menjadi salah satu
agenda dari sejumlah masalah dalam Pembangunan nasional sebagaimana
dinyatakan dalam Bab I Sub A Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Rencana


Pembangunan

Jangka

Menengah

Nasional

Tahun

2004-2009,

menyatakan sebagai berikut :
“...masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum
mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan
terhadap hak asasi manusia, masih besarnya tumpang tindih peraturan
perundangan di tingkat pusat dan daerah dan menghambat iklim usaha dan
pada gilirannya menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat,
belum ditegakkannya hukum secara tegas, adil dan tidak diskriminatif,
serta memihak kepada rakyat kecil serta belum dirasakan putusan hukum

oleh masyarakat sebagai putusan yang adil dan tidak memihak melalui
proses yang transparan.”
Perpres Nomor 7 Tahun 2005 diatas mengadopsi pemikiran Friedman
mengenai sistem hukum yang dituangkan didalam Bab 9 Tentang Pembenahan
Sistem dan Politik Hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan
budaya hukum. Ketiga hal ini dapat pula digunakan sebagai kajian untuk melihat
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Chaeruddin juga mengutip
pendapat Friedman, bahwa substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola
perilaku manusia yang ada dalam sistem. Substansi juga berarti produk yang
7

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan (1), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

berupa atau aturan (peraturan perundang-undangan) dihasilkan oleh orang-orang
yang berada dalam sistem tersebut. 8
Meskipun telah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat, akan
tetapi masyarakat menilai undang-undang yang ada tidak berpihak atau

melindungi kepentingan mereka, sehingga undang-undang yang dibuat belum
mencerminkan efektivitasnya sama sekali, karena substansinya terlalu simbolik
tanpa tujuan instrumental. Efektivitas keberlakuan melalui peraturan perundangundangan sangat tergantung pada pemahaman masyarakat tentang hukum itu
sendiri. 9
Faktor struktur hukum (legal structure), meliputi : struktur institusi
penegakan hukum (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) termasuk aparataparatnya (polisi, jaksa, dan hakim), dan hierarki lembaga peradilan 10 yang
bermuara pada Mahkamah Agung. Apabila dikaitkan dengan program
pembangunan hukum dewasa ini, kedua unsur di atas merupakan bagian dari
reformasi dibidang hukum, yaitu enforcement apparatus reform (reformasi
penegakan dan aparat penegak hukum) dan judicial reform (reformasi badan
peradilan). 11
Faktor kebudayaan (legal culture), pada dasarnya mencakup nilai-nilai
yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsep abstrak
8

Chaerudin, dan kawan-kawan , Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak
Pidana Korupsi, (Bandung: PT Refika Aditama,2008), hal.59
9
Ibid, hal. 60
10

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada pasal 24
ayat (1) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggara-kan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; ayat (2) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan lembaga peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
11
Chaerudin, dan kawan-kawan, op.cit, hal. 62.

Universitas Sumatera Utara

mengenai apa yang baik dan buruk. Faktor ini sangat kuat pengaruhnya dalam
masyarakat terhadap upaya penegakan hukum. Apabila hukum dirasakan telah
diresponsif dan aspiratif, para pemimpin negara telah pula memberikan teladan
menaati dan menghargai hukum, memberikan saluran keadilan yang dapat
memuaskan masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat akan lebih
menghargai hukum. Faktor-faktor inilah yang akan memberi sumbangan besar
dalam membentuk budaya hukum masyarakat. 12
Hukum dilihat sebagai pedang bermata dua, tajam ke bawah tetapi tumpul
ke atas. Mungkin istilah ini dapat menggambarkan keadaan hukum dinegara kita
saat ini. Banyak sekali yang mengeluarkan pemikiran pesimis terhadap penegakan

hukum di Indonesia pada saat ini. Memang tidak dapat kita berdalih dalam
masalah ini. Para pelaku tindak kriminal yang berasal dari masyarakat bawah atau
masyarakat biasa, dijatuhi hukuman yang cukup berat dengan tindak pidana biasa.
Seperti pencurian sendal, atau beberapa potongan kayu atau beberapa ons biji
cokelat, atau kasus lainnya yang tuntutan atau putusannya mengandung
kontroversi dalam masyarakat yang menuntut keadilan berimbang. Tuntutan
masyarakat tersebut dilatarbelakangi karena kasus seperti itu dihukum dengan
sangat berat, tetapi pada kasus-kasus besar yang menyangkut para pejabat atau
penyelenggara negara tidaklah demikian. Perbedaan cara penegak hukum dalam
menangani kasus demikian menjadi pertanyaan besar masyarakat, masihkah
negara memihak rakyat? Atau rakyat dibutuhkan hanya sebagai syarat berdirinya
suatu negara, agar Indonesia diakui keberadaannya dimata dunia.

12

Ibid, hal. 73

Universitas Sumatera Utara

Berangkat dari masalah di atas, jika melihat pada dewasa ini tindak pidana

yang dari dulu hingga saat ini sangat hangat serta gencar diberitakan tidak hanya
dalam lingkup nasional, tetapi merambah kancah internasional salah satunya
adalah tindak pidana korupsi, yang sudah tidak asing lagi bagi seluruh lapisan
masyarakat. Terkait dengan tindak pidana tersebut, defenisi korupsi itu sendiri
beraneka ragam karena sudah sangat banyak ahli yang menerjemahkannya sesuai
dengan keadaan dan situasi yang berbeda.
Black’s Law Dictionary yang dikutip oleh Chaerudin, bahwa korupsi
adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan
untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hakhak dari pihak lain. 13
Suyatno dalam bukunya “Korupsi Kolusi dan Nepotisme”, memberi
pandangan bahwa korupsi merupakan salah satu dari penyakit birokrasi yang
mengganggu sistem pembangunan. Keberadaannya tidak bisa dipungkiri, namun
sulit untuk dibuktikan atau untuk diberantas. Korupsi bisa berkaitan dengan
norma hukum, sosial, ekonomi, psikologis, bahkan spiritual. Lebih lanjut lagi,
Suyatno berpendapat korupsi hampir identik dengan gejala masyarakat serba
‘instan’. Mereka menghendaki semua cita-cita dan impiannya tercapai dalam
waktu singkat, tanpa banyak biaya, tenaga dan keahlian. Korupsi bisa dimaknai
pula sebagai penggunaan kekuasaan dan/atau kewenangan yang melebihi batas


13

Ibid, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

yang diijinkan. Disamping itu, korupsi berkaitan pula dengan pelanggaran hak
atas orang lain secara melawan hukum. 14 Untuk lebih jelasnya bagaimana korupsi
itu dalam hukum positif di Indonesia akan di bahas pada bagian tinjauan pustaka
dalam skripsi ini.
Secara konseptual, Suyatno memandang hukum diyakini sebagai alat
pengontrol dan sekaligus penegak keadilan. Kemampuan hukum bukan hanya
terletak pada pasal-pasal yang tertulis dalam kitab undang-undang, namun juga
terletak pada kemampuan penegak hukum untuk memanfaatkannya. Seberapa
jauhkah komitmen aparat penegak hukum, merupakan pertanyaan yang perlu
dijawab dalam rangka sumbangannya terhadap pemberantasan tindak pidana
korupsi. 15
Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, Suyatno berpandangan
bahwa pengawal peraturan perundang-undangan seperti polisi, hakim, inspektur,
jaksa, dan pembela ikut menentukan sukses atau tidaknya pemberantasan korupsi.
Apabila didalam penegakan hukum itu masih terjadi mercenary corruption 16,
maka yang terjadi ialah terbentuknya multiplier effect (efek penggandaan)
korupsi. Nampaknya peranan lembaga peradilan merupakan kunci terakhir untuk
menyelesaikan masalah korupsi dan nepotisme. Jika itu yang dimaksud, maka
kemungkinan terjadinya korupsi tidak bisa dibendung, mana kala lembaga
peradilan tidak dapat berbuat adil. Dalam hal ini, unsur manusia memegang
14

Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal.

15-16.
15

Ibid, hal. 127.
Ibid, hal. 18. Suyatno mengutip defenisi korupsi yang dikemukakan oleh Benveniste
(1991) dalam bukunya “Birokrasi”. Salah satu defenisi korupsi adalah mercenary corruption, yaitu
jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
16

Universitas Sumatera Utara

peranan penting dan menentukan. Untuk itu, didalam lembaga peradilan, orangorangnya harus dipilih dari mereka yang memiliki integritas yang tidak diragukan.
Seleksi untuk menguji integritas ini tidak bisa dilakukan oleh orang lain, selain
oleh pribadi masing-masing. 17
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa menurut Chairuman Harahap dalam
bukunya “Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum” telah
merugikan suatu bangsa, menurunkan derajat pemerintahnya sendiri, dan
menghambat perkembangan perekonomian rakyat. Bisa dikatakan kejahatan
dalam bentuk korupsi ini korbannya adalah negara, tidak lagi individu atau pun
badan hukum saja. Bahkan tidak lagi pada tingkat nasional, tetapi sampai lintas
batas negara. Kompleksitas masalah KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme),
khususnya korupsi di Indonesia telah merasuk ke dalam budaya dan telah
berlangsung demikian lama. Oleh karena itu upaya pemberantasan –terlebih yang
menyangkut pada instansi pemerintah – adalah sesuatu yang amat sulit, kalau
bukan mustahil. Pesimisme ini bukannya tidak berdasar, karena instansi
pemerintah sebagai leading sector dalam total kehidupan bernegara dan berbangsa
terutama dinegara berkembang. Kaum birokrasi yang mengendalikan pemerintah
ini mendapat legitimasi dan kewenangan yang besar dalam melakukan apa saja,
termasuk untuk menentukan retorika politik mengenai masalah KKN. 18
Chairuman

Harahap

mengutip

dalam

Tap.

MPR

Nomor

VIII/MPR/2001,MPR, yang menjadi rekomendasi arah kebijakan pemberantasan

17

Ibid, hal. 21.
H. Chairuman Harahap, Merajut Kolektivitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum,
(Bandung: Citra Pustaka Media, 2003), hal. 132.
18

Universitas Sumatera Utara

dan pencegahan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Dalam konsideran
ketetapan ini dikonstantir bahwa KKN adalah permasalahan yang sudah sangat
serius dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bertolak dari kenyataan dan pemikiran itu
maka dalam ketetapan ini juga ditegaskan bahwa pembaruan komitmen
dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah KKN memerlukan
langkah-langkah percepatan dengan arah kebijakan yang antara lain sebagai
berikut : 19
a.

Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah, terutama aparat
penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek
KKN, serta terhadapnya dapat dilakukan tindakan administratif untuk
memperlancar proses hukum;

b.

Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap
semua kasus KKN yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang
telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya;

c.

Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan
kepada pihak yang berwenang, berbagai dugaan praktek KKN yang
dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota
masyarakat;

d.

Mencabut, mengubah dan mengganti semua peraturan perundang-undangan,
serta keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau
memungkinkan terjadinya KKN;

19

Ibid, hal. 123-124.

Universitas Sumatera Utara

e.

Merevisi semua peraturan perundangan yang berkenaan dengan korupsi,
sehingga sinkron dan konsisten antara satu dengan yang lainnya;

f.

Membentuk undang-undang serta peraturan pelaksananya untuk membantu
percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan
korupsi, yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Perlindungan Saksi dan Korban, Kejahatan Terorganisasi,
Kebebasan Mendapatkan Informasi, Etika Pemerintahan, Kejahatan
Pencucian Uang, dan Ombudsman;

g.

Perlu segera membentuk undang-undang guna mencegah terjadinya
perbuatan-perbuatan yang secara langsung atau tidak langsung menjadi daya
dorong dan/atau pembukaan untuk tindak pidana korupsi.
Untuk mengantisipasi berkembang biaknya kejahatan yang merugikan

halayak banyak ini, segala usaha dilakukan pemerintah baik dalam membentuk
peraturan dan badan/institusi/lembaga yang secara khusus menangani kejahatan
ini. Di Indonesia kita mengenal suatu badan atau lembaga anti korupsi yang
independen, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan payung hukum
lembaganya

Undang-Undang

Nomor

30

Tahun

2002

tentang

Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau selanjutnya disebut dengan UU KPK.
Dalam salah satu poin menimbang UU KPK adalah :
“Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi
yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.
Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah
merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat
pembangunan nasional.”

Universitas Sumatera Utara

Marwan Effendy, dalam bukunya “Korupsi dan Strategi Nasional
Pencegahan serta Pemberantasannya”, apabila melihat kebelakang, sejarah
panjang mencatat bahwa berbagai upaya telah ditempuh pemerintah dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, seperti pembentukan
badan/tim/komisi untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, antara lain: 20
a.

Pada permulaan tahun 1967 dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK).
Tahun 1967 sampai dengan 1982 dikendalikan oleh Jaksa Agung, ketika itu
diketuai oleh Jaksa Agung Sugiharto;

b.

Komisi Empat (K4) Januari-Mei 1970 diketuai Wilopo;

c.

Komisi Anti-Korupsi (KAK) Juni-Agustus 1970 beranggotakan Angkatan
66 seperti Akbar Tanjung, dan kawan-kawan;

d.

Operasi Penertiban (berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1977 Tentang
Operasi Tertib) beranggotakan Menpan (Menteri Penertiban Aparatur
Negara),

Pangkopkamtib

(Panglima

Komando

Operasi

Pemulihan

Keamanan Dan Ketertiban) dan Jaksa Agung dibantu pejabat di daerah dan
Kapolri;
e.

Tim Pemberantasan Korupsi (tahun 1982) diketuai M.A Mudjono;

f.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang diketuai Andi
Handoyo;

20

Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya
(1), (Jakarta: GP Press Group, 2013), hal 5-6.

Universitas Sumatera Utara

g.

Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang
diketuai Yusuf Syakir, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi Dan Nepotisme;

h.

Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di ketuai Hendarman Supanji
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggal 25 Mei
2005;

i.

Selain badan tersebut, ada juga lembaga atau institusi pengawasan keuangan
dan pemerintah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
atau undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang dikeluarkan
pemerintah

seperti

Badan

Pemeriksa

Keuangan

(BPK) 21,

Menko

EkuinWasbang, BPKP, Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Non
Departemen, Bawasda Propinsi dan Bawasda Kabupaten/Kota;
j.

Disamping itu, lembaga sosial masyarakat yang peduli terhadap korupsi
seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), Masyarakat Transparansi
Indonesia (MTI), KONSTAN, PUKAT dan lain sebagainya, turut juga
mendorong kiprah institusi penegak hukum yang diberi wewenang oleh
undang-undang mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi di negara
ini.
21

Undang-Undang Dasar 1945, op.cit, pada Pasal 23E ayat (1) untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa
Keuangan yang bebas dan mandiri; ayat (2) hasil pemeriksaan keuangan diserahkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sesuai dengan kewenangannya; ayat (3) hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Selanjutnya pasal 23F ayat (1) anggota
Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden, ayat (2) Pimpinan Badan
Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.

Universitas Sumatera Utara

Upaya tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil, walaupun di era orde
reformasi upaya pemberantasan korupsi begitu gencar dimana jumlah perkara
korupsi yang ditangani jauh berlipat kali dibandingkan di era orde sebelumnya,
justru sebaliknya malah tetap saja hujatan demi hujatan dilayangkan kepada
Pemerintah khususnya penegak hukum karena dipandang tidak mampu merespon
kebutuhan masyarakat. 22
Pada tanggal 27 Desember 2002, untuk pertama kalinya UU KPK
disahkan dan diundangkan, juga telah dilakukan pemilihan pimpinannya oleh
DPR diakhir tahun 2003 yang terdiri dari Taufiqurrahman Ruki sebagai ketua dan
Erry Riyana Harjapamekas, Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul dan Tumpak
Hatorangan Panggabean sebagai wakil ketua. 23
Denny Indrayana, dalam bukunya “Indonesia Optimis” 24, bahwa pada
level undang-undang, tentu undang-undang antikorupsi adalah induk dari semua
aturan korupsi. Setelah mencabut undang-undang antikorupsi yang lama 25,

22

Marwan Effendy (1), op.cit.
Ibid, hal. 7.
24
Denny Indrayana, Indonesia Optimis (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer, 2011), hal. 152
25
Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (1) (Bandung: Mandar
Maju, 2010), hal. 32-34, menyatakan bahwa : “Keberadaan tindak pidana korupsi sebenarnya telah
lama ada dalam hukum positif di Indonesia, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Wetboek van Strafrecht) pada 1 Januari 1918 dengan Staatsblad 1915 Nomor 752, tanggal
15 Oktober 1915. Pasca kemerdekaan, dimana masih dalam keadaan perang berdasarkan UndangUndang Nomor 74 Tahun 1957 juncto Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1957, yang mana dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterbitkan peraturan tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi untuk yang pertama kali, yaitu Peraturan Penguasa Militer tanggal 09 April
1957 Nomor Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957, dan tanggal 1 Juli
1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Berdasarkan pasal 96 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara
1950, diterbitkanlah Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang
kemudian ditetapkan menjadi undang-undang dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961 menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ternyata dalam penerapan dan pelaksanaannya UndangUndang Nomor Prp 24 Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan, sehingga
11 tahun kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
23

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Selanjutnya, Indonesia telah pula
meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against
Corruption) 26 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nations Conventions Against Corupption 2003. Undang-undang
antikorupsi dilengkapi dengan UU KPK, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),
undang-undang Pengadilan Tipikor 27 dengan payung hukum yaitu UndangUndang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dengan payung hukum yaitu
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik,

26

Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum (2) (Jakarta: Timpani Publishing,
2010), hal. 54, menyatakan bahwa : “ Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam beberapa waktu
tahun terakhir, telah menyetujui dan menetapkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan upaya
meningkatkan kejahatan, yaitu United Nations Convention Against Illicit Trafiic in Narcotic Drugs
and Phychotropic Substance pada tahun 1988 dan United Nations Convention On Transnational
Organized Crime (UNTOC) pada tahun 2000 serta United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) pada tahun 2003. Salah satu bagian penting dalam konvensi-konvensi PBB tersebut
adalah adanya pengaturan yang berkaitan dengan penelusuran penyitaan dan perampasan hasil dan
instrumen tindak pidana termasuk kerja sama internasional dan rangka pengembalian hasil dan
instrumen tindak pidana antar negara.
27
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia (Malang:
Bayumedia Publishing, 2005), hal. 426, menyatakan bahwa disamping sebagai landasan untuk
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 juga
sebagai landasan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (Pasal 53). Pengadilan tindak pidana korupsi ini berada dilingkungan
peradilan umum yang untuk pertama kali dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yng
wilayahnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia (pasal 54).

Universitas Sumatera Utara

dan lain-lain. Keberadaan beberapa regulasi itu menghadirkan sistem bernegara
yang lebih transparan dan akuntabel. Misalnya, UU KPK menegaskan perlunya
pelaporan harta kekayaan pejabat negara. Mekanisme yang sebelumnya
dikerjakan oleh KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara)
akhirnya dilakukan oleh KPK, setelah KPKPN “dilikuidasi” melalui perubahan
undang-undang. Mekanisme pelaporan ini, meski masih menyimpan beberapa
persoalan misalnya, terkait ketiadaan sanksi tegas jika tidak melaporkan, tetapi
diharapkan menggunakan sistem antikorupsi yang lebih baik.
Marwan Effendy mengemukakan bahwa KPK makin menunjukkan
gregetnya didalam penanganan tindak pidana korupsi tersebut pada saat pimpinan
KPK jilid II yang komisionernya terdiri dari Antasari Azhar, Haryono Umar,
Mochammad Jasin, Chandra M. Hamzah, Bibid Samad Rianto, cukup banyak
tokoh-tokoh nasional yang menjadi penyelenggara negara dan juga penegak
hukum serta pejabat yang duduk dipusat kekuasaan diseret ke pengadilan,
meskipun Antasari Azhar berhenti ditengah jalan karena harus berurusan dengan
kasus pidana. KPK terus memberantas korupsi dengan bergabungnya kembali
Tumpak Hatorangan Panggabean yang kemudian digantikan oleh Busyro M.
Muqoddas untuk menggantikan Antasari Azhar paruh waktu sebagai Komisioner
KPK periode tahun 2007 sampai dengan 2011. Setelah itu Komisioner KPK jilid
III terdiri dari Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Zulkarnain, M. Busyro
Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja periode tahun 2011 sampai dengan 2015. 28

28

Marwan Effendy (1), op.cit, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

Langkah-langkah yang dilakukan KPK tersebut nampaknya akan didukung
sepenuhnya oleh segenap komponen bangsa asal tetap berada dikoridor hukum
dan seyogianya diikuti oleh pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan, apalagi selama
ini perkara tindak pidana korupsi yang ditangani kedua institusi penegak hukum
ini jauh lebih banyak secara kuantitatif dibandingkan KPK, meskipun
pemberitaannya tidak sehiruk pikuk perkara tindak pidana korupsi yang ditangani
oleh KPK yang sebagian besar diperoleh melalui operasi tertangkap tangan yang
begitu fantastis. 29
Menurut Denny Indrayana, KPK telah terbukti merupakan garda depan
dalam upaya menjerat koruptor. Kewenangan khusus 30 yang mereka miliki
berdasarkan UU KPK membuat upaya pemberantasan korupsi berjalan tidak
dengan cara normal, tetapi dengan cara yang lebih luar biasa. 31 Hal
menggembirakan juga terlihat dari penyelamatan keuangan negara (asset
recovery), dari tahun 2005-2010, nilainya terus meningkat baik dari hasil
gratifikasi maupun dari hal korupsi. 32 Seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1 : Data Keuangan Negara Yang Berhasil Dikembalikan 33
Tahun

Jumlah Pengembalian Uang Negara (Dalam Rp)
Dari Kasus Korupsi
Dari Gratifikasi

29

Ibid, hal. 11.
Arry Anggadha, Purborini, Mahkamah Agung: Pencekalan, kewenangan Spesial KPK,
11 September 2009, ( http://politik.news.viva.co.id/news/read/89678ma_pencekalan_kewenangan_
spesial_kpk, pada tanggal 22 November 2015,pukul 21:34 WIB) bahwa Pasal 12 ayat (1) UU KPK
berisi mengenai kewenangan KPK dalam menyelidiki, menyidik, dan penuntutan. Diantara
kewenangan spesial itu adalah menyadap dan mencekal. Adapun kewenangan Komisi diatur dalam
Pasl 6 huruf c, antara lain KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dan
memerintahkan kepada seseorang bepergian ke luar negeri. KPK juga dapat melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani.
31
Denny Indrayana, op.cit, hal. 156.
32
Ibid, hal. 161.
33
Ibid.
30

Universitas Sumatera Utara

2005
2006
2007
2008
2009
2010

6.943.820.000,00
12.771.271.205,00
42.367.181.017,00
407.890.880.495,00
132.698.259.00,00
151.296.672.531,00

15.346.167,00
219.250.985,00
2.891.593.968,00
3.909.252.922,00
1.288.339.128,00
1.798.049.921,00

Denny Indrayana mengungkapkan bahwa perbaikan regulasi antikorupsi
bukan berarti aturan antikoruptor kita sudah sempurna. Tidak ada sistem ataupun
hukum yang sempurna. Selalu saja ada kekurangan dan karenanya upaya
perbaikan harus terus menerus dilakukan. Termasuk dalam regulasi antikorupsi,
disamping soal pengaturan tentang perampasan aset yang masih belum ada, dan
karenanya diperlukan. 34
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang senyatanya telah merugikan
keuangan negara, menghambat pembangunan, menurunkan kualitas bangsa
Indonesia dimata dunia tidaklah lagi dapat dianggap sepele dan ditindaklanjuti
sebagaimana adanya saja tanpa ada perkembangan. Dunia pada dewasa ini telah
memiliki sejumlah teknis dan prosedur yang semakin berkembang mengikuti
dinamisnya tindak pidana dalam hal ini korupsi agar dapat memberantas dan
menanggulanginya. Pemerintah tidak bisa hanya menghukum para pelaku korupsi,
tetapi harus dapat mengembalikan sejumlah kerugian yang ditimbulkan dari
tindak pidana korupsi melalui mekanisme yang diatur dalam perundangundangan. Sebab, jika hanya dengan menghukum badani kepada para pelaku
korupsi, tidak akan bisa mengembalikan keadaan perekonimian bangsa yang
sudah diserap oleh oknum-oknum tersebut. Pengembalian keuangan negara

34

Ibid, hal. 155.

Universitas Sumatera Utara

memang bukanlah hal mudah. Bahkan mungkin akan adanya pengenyampinganpengenyampingan dari aturan yang berlaku agar dapat ditelusuri aliran dan
dirampas serta dikembalikan kepada negara sebagai pemegang yang berhak.
Marwan Effendy, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi dan Good
Governance”, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah juga telah merancang
kebijakan-kebijakan yang dapat membantu lembaga independen ini untuk
memberantas korupsi baik segi nasional maupun internasional. Tidak hanya dalam
penyelidikan, penyidikan, penuntutan saja lembaga ini dibutuhkan. Tujuan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya tidak semata-mata hanya
menghukum para pelakunya saja, tetapi juga bagaimana mengembalikan
keuangan negara tersebut. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dalam rangka mengamankan aset guna pengembalian keuangan
negara yang telah diselewengkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi adalah
dengan melakukan penyitaan atas berbagai aset atau harta kekayaan milik para
pelaku tersebut. Baik berupa barang bergerak maupun tidak bergerak yang diduga
berasal dari hasil korupsi maupun yang bukan dari hasil korupsi yang dipandang
perlu untuk dilakukan penyitaan guna pengembalian keuangan. 35 Sebab, apa yang
menjadi milik negara, haruslah dikembalikan, agar dapat menjaga keseimbangan
yang sempat goyah akibat kejahatan itu, dan selayaknyalah sudah menjadi tugas
peraturan untuk memayungi setiap kebijakan yang dibuat untuk mengembalikan
keseimbangan dalam masyarakat tadi, lembaga yng dimaksud dapat leluasa
melaksanakan hak dan kewajibannya yang sudah dilindungi oleh aturan tadi.
35

Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance (3), (Jakarta: PT.
Timpani Publishing, 2010), hal.86-87.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian singkat latar belakang diatas, maka penulis memilih
untuk mengambil dan mendalami isi dari judul skripsi ini, yaitu Peran Komisi
Pemberantasan Korupsi Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari
Tindak Pidana Korupsi.
B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dirangkum diatas, maka skripsi ini

berusaha menyederhanakan permasalahan dalam pembahasannya. Permasalahan
yang menjadi topik utama diantaranya :
1.

Bagaimana konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan tindak
pidana korupsi?

2.

Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
pengembalian keuangan negara dari tindak pidana korupsi ?

C.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disajikan

diatas, maka tujuan penulisan skripsi ini diantaranya :
a.

Untuk mengetahui konsep kerugian keuangan negara kaitannya dengan
tindak pidana korupsi;

b.

Untuk mengetahui kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam mengembalikan kerugian keuangan negara, dimana selaku lembaga
independen yang langsung bertanggung jawab kepada masyarakat, tetapi
bukan berarti kewenangan KPK adalah absolut dan tanpa batas.

D.

Manfaat Penulisan

Universitas Sumatera Utara

Secara teoritis,

dengan mengkaji berbagai batasan permasalahan diatas

dapat memberikan sedikit masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terfokus pada pengembalian kerugian
keuangan negara yang saat ini sedang gencar dibicarakan para ahli hukum, agar
secara nyata penegakan hukum tindak pidana korupsi itu dapat mengembalikan
stabilitas perekonomian bangsa yang sempat merosot akibat tindak pidana
tersebut. Selain itu, apa yang dituangkan dalam skripsi ini yang juga diambil dari
sumber-sumber lain, yang dapat membantu dalam pemahaman lebih dalam
mengenai pengembalian kerugian keuangan negara.
Secara praktis, manfaat dari skripsi ini kiranya dapat memberikan
informasi mengenai upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh lembaga
KPK kepada semua kalangan, melalui uraian konsep kerugian keuangan negara
kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Selain dari itu, juga memberikan sedikit
uraian mengenai kewenangan-kewenangan KPK dalam upaya pengembalian
kerugian keuangan negara, termasuk pada hubungan kerja sama KPK dengan
lembaga dalam dan luar negeri. Skripsi ini memang tidaklah mungkin dapat
dengan sempurna diselesaikan dan dirampungkan dengan baik. Oleh karena itu,
kiranya apa yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini baik secara teoritis
maupun praktis dapat tersampaikan walaupun dengan berbagai kelemahan dan
kekurangan dalam kelengkapannya.
E.

Keaslian Penulisan
Dalam membuktikan keaslian penulisan ini, dengan mengajukannya

terlebih dahulu ke Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

Universitas Sumatera Utara

yang mana setelah melalui beberapa tahapan pemeriksaan dinyatakan melalui
surat tertanggal 08 Januari 2016 bahwa tidak ada judul skripsi yang sama dengan
judul

skripsi

ini

yaitu

Peran

Komisi

Pemberantasan

Korupsi

Dalam

Pengembalikan Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi. Selain
itu, dengan memeriksa dan menelusuri melalui media elektronik dalam hal ini
internet untuk memastikan lebih lanjut keaslian penulisan skripsi ini, apakah ada
yang sama secara substansi dan segala pembahasannya. Setelah melihat bahwa
tidak ada yang sama, maka dengan mengambil judul dan membahasnya melalui
permasalahan yang dirangkum sendiri melalui pemikiran dan diskusi yang
dilakukan. Pembahasan yang dituangkan dalam skripsi ini juga tidak terlepas dari
teori-teori dan sumber-sumber yang telah ada sebelumnya yang secara valid
menjelaskan lebih dalam lagi mengenai permasalahannya.
F.

Tinjauan Kepustakaan

1.

Tindak Pidana Korupsi
Badan Eksekutif Bank Dunia menyetujui strategi antikorupsi pada bulan

September 1997 36, yang mendefinisikan korupsi sebagai “pemanfaatan fasilitas
publik untuk keuntungan pribadi.” 37

36

Asian Development Bank, Anti Korupsi Dan Integritas, (diakses dari
http://www.adb.org/sites/default/files/institutional-document/33272/files/anticorruption-andintegrity-id.pdf, pada tanggal 7 Desember 2015, pukul 22:07 WIB), bahwa Pendekatan Bank
Dunia mendambakan suatu strategi yang seimbang untuk memerangi korupsi yang bertumpu pada
empat tonggak: (i) mencegah penipuan dan korupsi dalam proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank
Dunia; (ii) membantu negara-negara yang meminta bantuan Bank Dunia dalam upaya mereka
untuk mengurangi korupsi; (iii) mempertimbangkan korupsi secara lebih eksplisit dalam strategi
bantuan negara, dialog tentang kebijakan, analisa, serta pemilihan dan perancangan proyek; serta
(iv) lebih menyuarakan dan mendukung untuk upaya-upaya internasional untuk mengurangi
korupsi.
37
Jonathan R. Pincus, Jeffrey A. Winters, Membongkar Bank Dunia (Reinventing the
World Bank), (Jakarta: Cornell University Press, Ithaca and London, Djambatan), hal.222.

Universitas Sumatera Utara

Fockema Andreae yang dikutip oleh Jur Andi Hamzah dalam bukunya
“Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional”,
kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya
disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata
Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa
seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption, dan Belanda,
yaitu corruptie (korruptie). Arti harafiah dari kata ini ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat
dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary tahun 1978: 38
“corruption (L, corruptio (n-)), The act corrupting or the state of being corrupt;
putrefactive decomposition; putrid matter; moral perversion; depravity,
perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion
from a state of purity; debasement, as of a language; a debased from a world
(korupsi, dalam bahasa Latin, korupsi –kata benda-, perbuatan merusak atau
negara yang menjadi korup; keadaan yang semakin membusuk; masalah yang
buruk; perbuatan moral yang tak wajar; bejad moral; berlawanan dengan
integritas; buruk atau cara kerja yang tidak jujur; penyuapan; perbuatan yang tak
wajar dari apa yang menjadi dasar negara; kehinaan, dalam suatu istilah;
perbuatan yang dipandang rendah oleh dunia).” Istilah korupsi yang telah
diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh
Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip oleh Jur
38

Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 4-6.

Universitas Sumatera Utara

Andi Hamzah, bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Pengertian KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dimuat dalam Pasal 1
butir 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Dalam
pasal 1 butir 3 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut :
“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi.”
Ermansjah Djaja, mengutip beberapa defenisi korupsi dari para ahli
seperti: 39
a.

Menurut Wijowasito sebagai penyusun Kamus Umum Belanda Indonesia,

corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam Bahasa Belanda
mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.
b.

Menurut Gurnar Mydral yaitu :

“To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and
influence attached to a public office or the special position one occupies in the
public life but also the activity of the bribers (korupsi tersebut meliputi kegiatankegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas
pemerintah, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak
patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan)”.
c.

Menurut Helbert Edelherz dalam bukunya yang berjudul “The Investigation

of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies”, yang dikutip
juga oleh Ermansjah Djaja, bahwa perbuatan korupsi disebutkan sebagai berikut :
39

Ermansjah Djaja, (1), Op.cit, hal. 23-25.

Universitas Sumatera Utara

“White collar crime : an illegal act or service of illegal acts commited by
nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property, to avoid
business or personal advantage (kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau
serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang tidak dilakukan secara fisik, tetapi
dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta
menghindari

pembayaran/pengeluaran

uang

atau

kekayaan

atau

untuk

mendapatkan bisnis keuntungan pribadi)”.
d.

Dalam hukum positif khususnya dalam Pasal 1 butir 1 Bab I Ketentuan

Umum UU KPK disebutkan pengertian tindak pidana korupsi :
“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Dengan demikian dapat dijabarkan
mengenai pengertian dari “Tindak Pidana Korupsi” adalah semua ketentuan
umum materiil yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang
diatur dalam pasal-pasal 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,12A,12B,13,14,15,16,21,22,23
dan 24.
Ermansjah Djaja mengungkapkan bahwa pada dasarnya pengertian korupsi
sangat beraneka ragam, karena tergantung pada situasi dan kondisi terjadinya
tindak pidana tersebut. Ada yang menyamakannya dengan penyuapan, atau
menggolongkan penyuapan sebagai bentuk tindak pidana korupsi, ada pula yang

Universitas Sumatera Utara

memasukkan gratifikasi sebagai salah satu bentuknya juga. Selain itu,
penyalahgunaan jabatan dan penyelewengan kekuasaan juga bisa dikatakan
sebagai perbuatan korupsi apabila terbukti telah merugikan keuangan negara.
Variasi defenisi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan kejahatan
yang dinamis, berkembang pesat dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah: 40
a.

Merugikan keuangan negara (Pasal 2, Pasal 3);

b.

Penyuapan (Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1)
huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d,Pasal
13;

c.

Penggelapan dalam jabatan ( Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, b, dan c);

d.

Pemerasan (Pasal 12 huruf e, g, f);

e.

Perbuatan curang (Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c dan d, Pasal 7 ayat (2), Pasal
12 huruf h;

f.

Benturan kepentingan dalam pengadaan (Pasal 12 huruf i);

g.

Gratifikasi (Pasal 12B j.o Pasal 12C).
Disamping itu istilah korupsi, oleh Sudarto dalam buku “Tindak Pidana

Korupsi Di Indonesia”, yang dikutip oleh Martiman Prodjohamnido dalam
bukunya “Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi”, bahwa
dibeberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang
busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang

40

Ibid, hal. 54-55.

Universitas Sumatera Utara

keuangan. Banyak istilah dibeberapa negara, ‘gin moung’ (Muangthai), yang
berarti ‘makan bangsa’; ‘tanwu’ (Cina), yang berarti ‘keserakahan’, ‘bernoda’;
‘oshoku’ (Jepang), yang berarti ‘kerja kotor’. Selain itu, Martiman Prodjohamnido
juga mengutip pendapat para ahli dan membagikannya dalam beberapa sudut
pandang, yakni : 41
a.

Rumusan dari sudut pandang teori pasar
Jacob van Klaveren yang mengatakan bahwa seorang pengabdi negara

(pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai
perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal
mungkin;
b.

Rumusan yang menitikberatkan jabatan pemerintah :

1)

L. Bayley, perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang
berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat
adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan
pribadi.

2)

M. Mc Mullan, menyebutkan seorang pejabat pemerintahan dikatakan
‘korup’ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk
melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya pada hal ia
selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian.
Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan
yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum yang
menyalahgunakan kesewenangan dan kekuasaan.
41

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi
(Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 7-12.

Universitas Sumatera Utara

3)

J.S Nye, korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajibankewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan
pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan
gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari
pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu mencakup tindakan seperti
penyuapan (memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan
seseorang dalam keadaan pada jabatan dinasnya); nepotisme (kedudukan
sanak saudaranya sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan
atau memberikan perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan
bukannya berdasarkan pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara
tidak

sah

menggunakan

sumber

penghasilan

negara

untuk

kepentingan/keperluan pribadi).
c.

Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum
Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada

apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan halhal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau
semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang;
membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang
menyediakan

hadiah

dan

dengan

demikian

benar-benar membahayakan

kepentingan umum.
d.

Rumusan korupsi dari sisi pandang politik
Mubyarto mengutip pendapat, Theodore M. Smith, dalam tulisannya

“Corruption Tradition and Change”, yang kembali dikutip oleh Martiman

Universitas Sumatera Utara

Prodjohamnido yang menyatakan bahwa, secara keseluruhan korupsi di Indonesia
muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia
menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite
terdidik dan pegawai pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada
pemerintah dari kelompok elite di tingkat propinsi dan kabupaten. Rumusanrumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna pada korupsi
dalam hukum positif. Karena itu, maka rumusan pengertian korupsi tidak ada
yang sama pada setiap negara, tergantung pada tekanan atau titik beratnya yang
diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan pengertian korupsi
sebagai tercermin di atas bahwa korupsi menyangkut segi moral, sifat dan
keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan,
penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta
penempatan keluarga, klik golongan ke dalam dinas di bawah kekuasaan
jabatannya.
e.

Rumusan korupsi dari sisi sosiologi
Pengkaji