Hubungan FIB-4 Index Dengan Derajat Fibrosis Hati Pada Hepatitis B Kronik Berdasarkan Fibroscan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit hati kronik dan Fibrosis Hati
Penyakit hati kronik adalah suatu penyakit nekroinflamasi hati yang
berlanjut dan tanpa perbaikan paling sedikit selama 6 bulan. Penyakit ini dapat
asimtomatik atau disertai gejala - gejala seperti mudah lelah, malaise dan nafsu
makan berkurang. Serum aminotransferase dapat meningkat secara sementara atau
menetap. Ikterus sering tidak ditemukan, kecuali pada kasus - kasus stadium
lanjut. Keadaan ini dapat disertai splenomegali, limfadenopati, penurunan berat
badan, dan demam (Akbar, 2007).
Fibrosis hati adalah suatu respon penyembuhan luka yang ditutupi oleh
MES atau parut. Fibrosis hati bukan merupakan suatu penyakit, tetapi sebagai
akibat dari kerusakan hati kronik oleh karena beberapa penyebab termasuk
hepatitis B dan C, minum alkohol yang berlebihan, NASH dan kelebihan besi.
Kerusakan hati menyebabkan sel stellata hati menjadi hiperaktif dan memicu
peningkatan sintesis MES. Konsumsi alkohol (ethanol) yang berlebihan
merupakan penyebab utama fibrosis hati di Amerika. Stres oksidatif sangat kuat
hubungannya dengan ethanol-induced liver fibrosis. Efek fibrogenik ethanol
melalui reactive oxygen intermediates (ROIs) berperan penting terhadap
terjadinya peningkatan produksi MES. NASH menyebabkan fibrosis hati

karakteristik dengan terjadinya inflamasi neutrofil, ballooning dan degenerasi dari
hepatosit, dan meningkatnya kadar serum Alanine Aminotransferase (ALT) dan
Aspartate Aminotransferase (AST). Beberapa pasien NASH menunjukkan gejala
mudah lelah, nyeri abdomen dan nyeri di kuadran kanan atas (Tsukada, 2006),
(Sembiring, 2009).
Pengetahuan mengenai fibrosis hati berkembang pesat dalam 25 tahun
terakhir, yang semula hanya berupa penelitian di laboratorium, akhirnya menjadi
fokus para klinikus dalam penatalaksanaan pasien. Evolusi ini menunjukkan
bahwa fibrosis tidak lagi sekedar masalah molekular, tetapi sudah berkembang

Universitas Sumatera Utara

mencapai tahap untuk mendapatkan gambaran perjalanan penyakit dan alat
deteksinya pada pasien dengan penyakit hati kronik. Lebih jauh lagi, kemajuan
pengetahuan mengenai fibrosis hati telah merombak keyakinan yang selama ini
dianut kalangan medis bahwa sirosis bersifat progresif dan irreversibel. Ternyata
fibrosis lanjut yang menjadi sirosis hati masih dapat diperbaiki (reversibel),
sehingga memicu para peneliti untuk berlomba - lomba mencari obat anti fibrosis
(Wolber, 2002), (Hasan, 2009).


2.2 Patogenesis Fibrosis Hati
Fibrosis hati adalah jaringan parut yang terbentuk karena akumulasi
protein matriks ekstraselular (MES) yang berlebihan akibat jejas hati akut maupun
kronik. Fibrosis hati akan berlanjut menyebabkan kerusakan arsitektur hati,
gangguan fungsi hati dan pembentukan nodul dengan proses akhir sebagai sirosis
hati. Di Amerika Serikat prevalensinya mencapai 360.000 kasus per tahun. Di
Indonesia, pada penelitian oleh Tarigan dkk, diperoleh angka kejadian sirosis hati
sebesar 72,7 % dari seluruh kasus penyakit hati yang dirawat inap. Perbandingan
jumlah kasus antara pria dan wanita sebesar 2,2 : 1 dan kasus terbanyak terjadi
pada usia dekade kelima (Amiruddin, 2007).
Patogenesis fibrosis hati merupakan proses yang sangat kompleks yang
diakibatkan oleh respon penyembuhan setelah timbulnya penyakit hati akut dan
merupakan proses lanjut penyakit hati kronis. Patogenesis fibrosis hati melibatkan
Hepatic Stellate Cells (HSC) sebagai sel utama, sel Kupffer, bermacam – macam
mediator, sitokin, growth factor dan inhibitornya serta berbagai jenis kolagen.
Proses fibrosis hati dikaitkan dengan respon inflamasi terhadap Hepatic Stellate
Cells dan adanya akumulasi matriks ekstraseluler (Amiruddin, 2007). Fibrosis hati
dimulai dengan aktivasi Hepatic Stellate Cells yang meliputi 3 fase yaitu
initiation phase, perpetuation phase dan resolution phase, sampai terjadinya
akumulasi jaringan ikat patologis. Prosesnya meliputi interaksi antara Hepatic

Stellate Cells dengan sel – sel pertahanan tubuh seperti leukosit dan sel Kupffer,
pelepasan berbagai mediator inflamasi, sitokin dan growth factors terutama TGFb1, berbagai oksidan dan peroksida lipid, perubahan komposisi matriks

Universitas Sumatera Utara

ekstraselular dan degradasinya, dan diakhiri inaktivasi Hepatic Stellate Cells serta
apoptosis (Amiruddin, 2007), (Kun, 2010).
Diagnosis fibrosis hati didasarkan pada diagnosis penyakit dasar, aktivasi
Hepatic Stellate Cells dengan berbagai penandanya, pemeriksaan degradasi
matriks ekstraselular dan enzim yang berperan, serta adanya fibrosis yang dapat
dinilai secara pasti dengan biopsi hati (Amiruddin, 2007). Adapun gambaran
histopatologik hepatitis B kronik dapat berupa infiltrasi sel radang pada segitiga
portal, terutama limfosit dan sel plasma, dapat terjadi fibrosis yang semakin
meningkat sesuai dengan derajat keparahan penyakit. Sel radang dapat masuk ke
dalam lobulus sehingga terjadi erosi limitting plate, sel – sel hati dapat mengalami
degenerasi balloning dan dapat terbentuk badan asidofil (acidophilic bodies)
(Soemohardjo dan Gunawan, 2009).
Untuk menilai derajat keparahan hepatitis serta untuk menentukan
prognosis, dahulu gambaran histopatologik hepatitis kronik dibagi menjadi 3
kelompok yaitu hepatitis kronik persisten, hepatitis kronik aktif dan hepatitis

kronik lobular. Klasifikasi di atas telah dipakai berpuluh – puluh tahun oleh para
ahli di seluruh dunia tetapi ternyata kemudian tidak bisa dipertahankan lagi karena
terlalu kasar dan hasilnya sering overlapping (Soemohardjo dan Gunawan, 2009).
2.3 Penentuan Stadium Fibrosis Hati
2.3.1 Metode Invasif
Biopsi hati merupakan metode invasif untuk menilai, mendeteksi dan
memonitoring fibrosis hati, merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis
derajat fibrosis. Namun, karena begitu banyak hambatan – hambatan yang dialami
dengan metode invasif ini, banyak penelitian yang mencoba mendiagnosis derajat
fibrosis dengan metode non invasif. Banyak studi yang kuat menunjukkan bahwa
akibat keterbatasan dan risiko dari biopsi, biomarker non invasif telah
memberikan kemajuan dalam diagnosis. Biopsi hati tidak boleh lebih lama lagi
dianggap sebagai lini pertama penilaian fibrosis pada sebagian besar penyakit hati
kronik (Poynard, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Grading aktivitas penyakit hati dapat dievaluasi dari gejala klinis, serologi
serum aminotrasferase dan histopatologi biopsi hati. Secara histologis, patolog
dapat melihat : inflamasi, kerusakan interlobular dan nekrosis. Dalam praktek

sehari – hari, laporan yang adekuat mencakup estimasi yang akurat berupa lesi
minimal, mild, moderate atau severe. Namun untuk perbandingan biopsi pre dan
post tretment dan untuk mengevaluasi trial terapeutik, maka digunakan scoring
systems (Brunt, 2000). Berbagai jenis sistem skoring telah dipakai untuk menilai
stadium fibrosis hati dari hasil biopsi. Salah satu klasifikasi histologik untuk
menilai aktivitas peradangan yang terkenal adalah Histological Activity Index
(HAI), yang ditemukan oleh Knodell pada tahun 1981, yang dapat dilihat pada
tabel 2.1. Hubungan antara skor HAI dengan derajat hepatitis kronik dapat dilihat
pada tabel 2.2 (Soemohardjo dan Gunawan, 2009), (Franciscus, 2010).
Tabel 2.1 Indeks Aktivitas Histologik (HAI) (Soemohardjo dan Gunawan, 2009)
Komponen

Skor

Nekrosis periportal dengan atau tanpa bridging necrosis

0-10

Regenerasi intralobular dan nekrosis fokal


0-4

Inflamasi portal

0-4

Tabel 2.2 Hubungan antara Skor HAI dengan Derajat Hepatitis Kronik dengan
Menyingkirkan Fibrosis (Soemohardjo dan Gunawan, 2009)
HAI

Diagnosis

1-3

Minimal

4-8

Ringan


9-12

Sedang

13-18

Berat

Belakangan dibuat suatu pembagian baru berdasarkan skor yang
menunjukkan intensitas nekrosis (grade) dan progresi struktural penyakit hati
(stage) yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif yang lebih sederhana dan lebih
sering dipakai. Berikut ini rincian dari sistem skor tersebut :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Aktivitas Peradangan Portal dan Lobular (Amiruddin, 2007),
(Soemohardjo dan Gunawan, 2009), (Franciscus, 2010)
Grade

Patologi


0

Tidak ada peradangan portal atau peradangan portal minimal

1

Peradangan portal tanpa nekrosis atau peradangan lobular tanpa
nekrosis

2

Limitting plate necrosis ringan (Interface Hepatitis ringan) dengan atau
nekrosis lobular yang bersifat fokal

3

Limitting plate necrosis sedang (Interface Hepatitis sedang) dan atau
nekrosis fokal berat (Confluent necrosis)


4

Limitting plate necrosis berat (Interface Hepatitis berat) dan atau
bridging necrosis

Tabel

2.4

Fibrosis

(Sistem

Skoring

METAVIR)

(Amiruddin,

2007),


(Soemohardjo dan Gunawan, 2009), (Franciscus, 2010)
Stage

Patologi

0

Tidak ada fibrosis

1

Fibrosis terbatas pada zona portal yang melebar

2

Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal dengan arsitektur
yang masih utuh

3


Distorsi arsitektur (Fibrosis septa bridging) tanpa sirosis yang jelas

4

Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Metode Non invasif
2.3.2.1 FibroScan
Karena keterbatasan dari biopsi hati, penggunaannya untuk mengevaluasi
fibrosis hati pada pasien – pasien hepatitis kronik secara rutin tidak dianjurkan,
maka kepentingan penggunaan Transient Elastography (TE) sebagai metode non
invasif semakin meningkat. Idealnya, TE digunakan untuk skrining populasi
umum untuk mendeteksi pasien – pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
penyakit hati, untuk mengidentifikasi pasien dengan significant fibrosis yang
mendapat manfaat dari inisiasi terapi antiviral, untuk mengidentifikasi pasien
dengan sirosis dan menyeleksi pasien dengan sirosis yang berisiko tinggi terhadap
berkembangnya HCC (Kim, 2010).
FibroScan merupakan suatu teknologi elastography yang mampu
menentukan stadium fibrosis hati lebih sensitif dengan mengukur rerata kekakuan
hati dimana kekakuan hati dihubungkan dengan derajat fibrosis. Keuntungan
FibroScan ialah non invasif, cepat, tidak ada rasa sakit dan kesalahan interpretasi
lebih sedikit dibandingkan dengan biopsi hati (Grigorescu, 2010), (Al-Ghamdi,
2010).
Karena TE pertama sekali berkembang di Perancis, sebagian besar studi
mengenai manfaatnya dipelajari di negara – negara Eropa dimana prevalensi
hepatitis C kronik lebih tinggi. Sedangkan studi tentang manfaat TE untuk
populasi Asia dimana prevalensi hepatitis B kronik yang lebih tinggi masih
terbatas. Beberapa studi meta analisis terkini tentang peran klinis TE dalam
mengkaji fibrosis hati pada pasien hepatitis C kronis melaporkan bahwa TE
adalah suatu alat non invasif yang dapat dipercaya untuk mendeteksi advanced
fibrosis dan sirosis hati (Kim, 2010).
Beberapa penelitian yang luas baru – baru ini, telah menunjukkan bahwa
pengukuran pengerasan hati dengan FibroScan merupakan alternatif yang baik
dari pada biopsi hati. Derajat fibrosis hati dapat diukur dengan mudah dan andal
pada lebih dari 95 % pasien. Pada pasien sirosis hati, pengukuran kekakuan hati
berkisar antara 12,5 – 75,5 kPa. Namun, relevansi klinis dari nilai – nilai ini
belum diketahui. Berdossa dkk tahun 1996 menyatakan nilai FibroScan berkisar

Universitas Sumatera Utara

2,4 – 75,4 kPa dengan nilai cut-off adalah 7,1 kPa untuk F ≥ 2; 9,5 kPa untuk F ≥
3; dan 12,5 kPa untuk F=4 (Al-Ghamdi, 2010).
Gomez Dominguez dkk tahun 2006 meneliti bahwa FibroScan memiliki
nilai sensitifitas 85 % untuk menilai fibrosis hati dengan nilai cut-off 4,0 kPa.
AUROC 0,80 ( 95% CI: 0,75 – 0,84) untuk pasien dengan significant fibrosis
(F>2); 0,90 (0,80 – 0,93) untuk pasien dengan advanced fibrosis (F3) dan 0,96
(0,94 – 0,98) untuk pasien dengan sirosis (F4). Dengan menggunakan nilai cut-off
17,6 kPa, pasien dengan sirosis terdeteksi dengan nilai prediksi positif (PPV) dan
nilai prediksi negatif (NPV) sebesar 90 % (Al-Ghamdi, 2010).
Ziol dkk membandingkan akurasi FibroScan dengan hasil pemeriksaan
biopsi hati pada 251 pasien hepatitis C kronik. Mereka menemukan bahwa
pengukuran pengerasan hati dan gradasi fibrosis berkorelasi dengan baik, dengan
nilai cut-off optimal yang ditentukan pada 8,7 dan 14,5 kPa untuk F ≥2 dan F = 4
(Ziol, 2005).
Amellal dkk mendapatkan adanya hubungan antara FibroScan dengan
biopsi hati pada 125 pasien HCV. Studi ini memperlihatkan bahwa biopsi hati dan
FibroScan sejalan dalam mendeteksi fibrosis pada HCV. Angka rata – rata
kesesuaian antara FibroScan dan biopsi hati dalam mendeteksi fibrosis minimal
(F0-1) adalah 89,9 % (kappa = 0,68; p < 0,001). Mereka juga mendapatkan angka
rata – rata kesesuaian dalam mendeteksi significant fibrosis (F2) yaitu 78,8 %
(Kappa = 0,40; p < 0,001), sebaik dalam mendeteksi severe fibrosis (F3, F4)
yaitu 77,5% (Kappa = 0,68; p < 0,001) (Amellal, 2009).
Marcellin dkk juga meneliti akurasi FibroScan pada 173 pasien hepatitis B
kronik yang dilakukan biopsi hati. Mereka mendapatkan adanya korelasi yang
baik antara pengukuran kekakuan hati (kPa) dengan biopsi, dengan nilai cut-off
optimal yang ditentukan 7,2 dan 11 kPa untuk F ≥ 2 dan F = 4. FibroScan bisa
diandalkan untuk mendeteksi fibrosis dan sirosis pada pasien HBV dengan
sensitifitas 70 % dan spesifisitas 83 % untuk F ≥ 2 dan sensitifitas 93 % serta
spesifisitas 87 % untuk F = 4 (Marcellin, 2009).
Pada penelitian ini, cut-off yang dipergunakan sesuai dengan cut-off dari
Ledinghen dan Vergniol (Gambar 2.1), dengan nilai cut-off yang memang sesuai

Universitas Sumatera Utara

dengan penelitian yang telah dipublikasikan sebelumnya, dengan F0-1 = 0-7,1
kPa; F2 = >7,1-9,3 kPa; F3 = >9,3-14,5 kPa; F4 = >14,5 kPa.

Gambar 2.1 Transient elastography (FibroScan) (Ledinghen dan Vergniol, 2008)
2.3.2.2 Petanda (marker) biokimia
Serum marker dapat digunakan untuk fibrosis hati. Serum marker untuk
fibrosis hati dibagi atas 2 kelompok yaitu petanda langsung dan tidak langsung
(Grigorescu, 2009), (Amiruddin, 2007) :
A. Petanda tidak langsung (indirect marker)
Studi - studi sebelumnya telah mengevaluasi petanda non invasif
untuk memprediksi keberadaan fibrosis atau sirosis pada penderita
hepatitis kronis, seperti :
1. Rasio AST/ALT ( indeks AAR) : Rasio AST/ALT lebih besar dari 1
dengan kuat menyarankan sirosis dengan sensitivitas 78% dan
spesifisitas 97%.

Universitas Sumatera Utara

2. Skor PGA: Kombinasi pengukuran indeks protrombin, GGT dan
apolipoprotein A1 (PGA).
3. Fibrotest, pemeriksaan melibatkan alfa-2 makroglobulin, alfa2
globulin, gamma globulin, apolipoprotein A1, GGT, dan bilirubin
total.
4. Acti Test, pemeriksaan memodifikasi Fibrotest dengan menyertakan
ALT.
5. Skor Forns ( indeks Forns), berdasarkan 4 variabel umum dijumpai di
klinik meliputi jumlah trombosit, umur, level kolesterol, dan GGT.
6. Rasio AST/trombosit (indeks APRI), model ini konsisten dan objektif
pada laboratorium rutin pasien - pasien dengan penyakit hati kronis.
7. Fibroindex menggunakan variabel trombosit, AST dan γ Globulin.
8. FIB-4 index menggunakan variabel umur, AST, ALT dan trombosit.
9. Kombinasi AST,INR, trombosit ( indeks GUCI).
B. Petanda langsung (direct marker)
Penanda langsung seperti : Laminin, Procollagen tipe III N-peptide
(PIIINP), Kolagen tipe I, Kolagen tipe IV dan Asam Hialuronat (HA).

2.3.2.3 FIB-4 Index
FIB-4 index adalah suatu pemeriksaan non invasif sebagai petanda awal
fibrosis hati dengan menggunakan variabel umur pasien, AST, ALT dan jumlah
trombosit. Pertama kali diperkenalkan dalam APRICOT Study (AIDS Pegasys
Ribavirin International Coinfection Trial) yaitu sebuah penelitian yang
mengevaluasi efikasi terapi pegylated interferon dan ribavirin pada pasien
koinfeksi HIV dan Hepatitis C kronik (Torriani, 2004).
Rumus untuk menghitung index adalah :

FIB-4 =

Umur [tahun]

x AST [U/L]

Jumlah trombosit[109/L] x ALT[U/L]1/2

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian Mallet dkk dinyatakan cut-off value dari FIB-4 index
adalah ≤ 1,45 merupakan fibrosis ringan-sedang (mild-moderate fibrosis) dan >
1,45 merupakan fibrosis berat-sirosis (severe fibrosis-cirrhosis).
Hasil penelitian Mallet dkk tentang akurasi FIB-4 index pada hepatitis B
kronik, yang membandingkan FIB-4 index dengan biopsi hati adalah dengan nilai
cut-off ≤ 1,45 FIB-4 index dapat membedakan mild-moderate fibrosis dari severe
fibrosis dengan sensitivitas 71,1 %, spesifisitas 73,1 %, PPV 86 %, NPV 52 %
dan AUROC 0,81 (p < 0,001) (Mallet, 2009).
Umur sebagai petanda fibrosis karena progresifitas fibrosis tergantung
umur. Umur terinfeksi menunjukkan dan mempengaruhi outcome penderita
hepatitis dan pasien - pasien terinfeksi setelah dekade ke-4 memiliki resiko
progresifitas penyakit lebih tinggi. Hal ini membuktikan bahwa durasi terinfeksi
hepatitis akan lebih tepat sebagai indikator fibrosis daripada umur, namun secara
umum populasi penderita tidak mengetahui kapan awal terinfeksi, sehingga lama
infeksi sulit ditentukan. Hui dkk terhadap 235 penderita hepatitis B kronik
melaporkan ada hubungan jumlah umur (tahun) dengan fibrosis hati ( Hui, 2005).
Nilai prognosis jumlah trombosit rendah sebagai petanda fibrosis telah
dilaporkan. Wai dkk terhadap 218 penderita hepatitis B melaporkan jumlah
trombosit secara independen berhubungan dengan fibrosis dan sirosis, trombosit
cenderung menurun dengan meningkatnya fibrosis (Wai, 2006).
Trombositopenia merupakan suatu gangguan hematologi yang paling
sering terjadi pada pasien - pasien dengan penyakit hati kronik. Mekanisme
patogenesis yang menyebabkan gangguan ini masih belum sempurna diketahui.
Berdasarkan beberapa literatur, hal ini dihubungkan dengan sekuestrasi dan
penghancuran trombosit dalam limpa yang terjadi akibat ketidakmampuan
sumsum tulang mengompensasi peningkatan produksi trombosit. Hipersplenisme
terjadi pada pasien - pasien penyakit hati lanjut dengan suatu gambaran yang
bervariasi dan merupakan komplikasi yang umum dari hipertensi portal.
Pembelokan aliran darah portal ke limpa menyebabkan suatu keadaan
perpindahan yang berlebihan (hyper-inflow) yang kemudian dapat menyebabkan
peningkatan konsentrasi trombosit limpa (Kajihara, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Perpindahan trombosit dari sirkulasi perifer ke limpa tersebut dapat
menyebabkan trombositopenia meskipun masa hidup trombosit normal, total
massa tubuh normal, dan produksi trombosit tidak terganggu. Usaha untuk
melakukan koreksi trombosit yang rendah dengan pintasan portosistemik dan
splenektomi belum memberikan hasil yang baik. Demikian juga prosedur
dekompresi portal telah gagal memperbaiki jumlah trombosit secara konsisten
dalam jangka waktu yang lama meskipun tekanan portal berkurang. Hipotesis lain
menyebutkan, bahwa peningkatan trombosit yang dihubungkan dengan immunoglobulin terjadi pada pasien - pasien dengan hepatitis kronik dan kemungkinan
mekanisme ini juga terlibat. Walaupun kadar trombosit dihubungkan dengan
immunoglobulin, hubungannya dengan trombositopenia belum begitu jelas karena
peningkatan kadar ini mungkin ditemukan pada pasien hepatitis kronik dengan
jumlah trombosit yang normal (Kajihara, 2003).
Ada faktor lain di samping splenomegali dan destruksi yang diperantarai
sistem imun, yang mungkin berperan dalam patogenesis trombositopenia pada
penyakit hati kronik yaitu trombopoietin (TPO). Pada hepatitis C kronik
terjadinya trombositopenia masih belum jelas, diduga karena terjadinya fibrosis
hati di daerah sentral. Prevalensi trombositopenia meningkat 9 kali lebih tinggi
pada

infeksi

HCV kronik

daripada

penyakit

hati

kronik yang lain.

Trombositopenia pada HCV kronik, diduga terjadi karena gangguan fungsi hati
dan beratnya fibrosis sehingga mempengaruhi pembentukan trombopoietin yang
didominasi oleh sitokin yang mengontrol pembentukan megakariosit dan
trombosit. Hal ini menunjukkan bahwa trombositopenia pada HCV kronik sangat
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan progresivitas jangka panjang
(Kajihara, 2003).

Universitas Sumatera Utara