Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, kehidupan
bernegara mengalami banyak perubahan, termasuk mengenai konsep negara.
Konsep bernegara yang pada awalnya merupakan negara yang berdasarkan pada
kekuasan beralih pada konsep negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat).
Para ahli sepakat bahwa salah satu ciri dari sebuah negara hukum adalah adanya
konsep pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan menjadi syarat mutlak
sebuah negara hukum yang demokratis. Adanya pembatasan kekuasaan tersebut
merupakan perwujudan prinsip konstitusionalisme yang melindungi hak-hak
rakyat.
Konsep pemisahan kekuasaan lahir dari keinginan membatasi kekuasaan
para raja yang bersifat absolut di Eropa. Ide mengenai pembatasan kekuasaan ini
dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu. Melalui bukunya yang berjudul
“Two Treaties of Goverment”, John Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam
negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang
berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka
harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam
kekuasaan,yaitu: Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang), Kekuasaan
Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan Kekuasaaan Federatif (melakukan

hubungan diplomatik dengan negara-negara lain). Pendapat John Locke inilah
yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk
menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

Universitas Sumatera Utara

Sementara

itu,

Montesquieu,

seorang

pemikir

berkebangsaan

Perancis


mengemukakan teorinya yang disebut Trias Politica (Tri berarti Tiga; As berarti
Pusat atau Poros; Politica berarti Kekuasaan). Melalui bukunya yang berjudul
“L’esprit des Lois” pada tahun 1748, Montesquieu menawarkan alternatif yang
agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya
negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ,
yaitu : Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang), Kekuasaan Eksekutif
(melaksanakan undang-undang), Kekuasaaan Yudikatif (mengadili bila terjadi
pelanggaran atas undang-undang).1
Pada kenyataannya, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian
kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu yang lebih diterima oleh
berbagai negara. Konsep trias politika ini kemudian diterapkan di berbagai
negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, konsep trias politika ini diadopsi dan dijadikan sebagai dasar untuk
menjalankan kekuasaan negara. Cabang-cabang kekuasaan di Indonesia
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kekuasaan Legislatif, yakni kekuasaan untuk membuat peraturan perundangundangan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD
(Dewan Perwakilan Daerah);
2. Kekuasaan Eksekutif, yakni kekuasaan untuk menjalankan peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada Presiden;


                                                            

1

 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Cetakan Kedua, Rineka Cipta, 
Jakarta, 2001, hlm 73. 

Universitas Sumatera Utara

3. Kekuasaan Yudikatif, yakni kekuasaan untuk mengawasi dan mengadili
apabila terjadi pelanggaran terhadap undang-undang diserahkan kepada
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Di

Indonesia,

kekuasaan

eksekutif


atau

kekuasaan

untuk

menyelenggarakan pemerintahan berada pada Presiden. Pasal 4 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Sebagai
seorang kepala pemerintahan, presiden memiliki kewenangan penuh untuk
menjalankan pemerintahan di Indonesia. Salah satu kewenangan yang dimiliki
Presiden sebagai kepala pemerintahan adalah kekuasaan untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri-menteri.
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa menteri
merupakan pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan. Oleh karena itu,
Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri-menterinya.
Menteri-menteri ini pada kenyataannya memiliki kedudukan yang sangat
strategis dalam pemerintahan. Kedudukan menteri-menteri ini dapat dikatakan
bukanlah sebagai pegawai tinggi biasa, oleh karena menteri-menterilah yang
menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executive) dalam prakteknya.

Sebagai pemimpin departemen, menterilah yang paling mengetahui hal-hal
mengenai lingkungan pekerjaannya. Oleh karena itu, menteri memiliki pengaruh

Universitas Sumatera Utara

besar terhadap presiden dalam menentukan politik negara mengenai departemen
yang dipimpinnya.2
Berkaitan dengan pemilihan menteri-menteri dan penyusunan kabinet,
banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan oleh seorang Presiden yaitu; partai
politik pendukung, apakah merupakan partai politik tunggal ataupun gabungan
daripada beberapa partai politik; stabilitas roda pemerintahan ke depan; kemajuan
negara; dan lain-lain, kesemuanya itu bersifat politis dan sepenuhnya menjadi hak
mutlak Presiden tentang hal siapa yang bisa menjadi anggota kabinet. Akan tetapi
di sisi lain ada ketentuan yang menyebutkan bahwa seseorang yang akan diangkat
menjadi menteri dan masuk dalam kabinet haruslah memiliki integritas dan
kepribadian yang baik selama perjalanan karirnya.3
Oleh karena itu seorang presiden harus mampu mempertimbangkan
kesemua aspek tersebut dalam penyusunan kabinetnya, apakah yang dinginkan
selama lima tahun perjalanan roda pemerintahan ke depan ialah stabilitas kabinet
dengan cara memasukkan orang-orang dari partai pendukung atau gabungan partai

pendukung, atau menginginkan kemajuan pemerintahan dengan menempatkan
orang-orang profesional dalam kabinet sesuai dengan keahlian yang dimiliki.
Apabila

dalam

pembentukan

dan

penyusunan

kabinet

presiden

lebih

mengedepankan kemajuan dan perkembangan negara, maka selayaknya orangorang profesional dan beberapa orang dari partai pendukung presiden yang harus
ditempatkan di dalam kabinet, dengan kata lain orang yang akan memimpin suatu

kementerian haruslah orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut, sesuai
                                                            

2

3

 Penjelasan Umum Undang‐Undang Dasar Tahun 1945. 
 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36067/3/Chapter%20I.pdf, diakses pada 
tanggal 28 Februari 2013 

Universitas Sumatera Utara

dengan tugas, fungsi dan keahliannya. Akan tetapi, pola seperti ini dapat
menyebabkan presiden dan kabinet akan mendapat kesulitan dalam menjalin
hubungan dengan parlemen, juga dalam menentukan kebijakan pemerintah.
Apalagi kalau partai pendukung presiden tersebut bukan sebagai partai pemenang
pemilu yang notabene pasti mempunyai suara minoritas di parlemen. Sebaliknya,
jika stabilitas pemerintahan yang dikehendaki, maka presiden harus menempatkan
orang-orang dari partai politik pendukung ataupun dari gabungan partai politik

pendukung di dalam kabinetnya, maka kepentingan gabungan partai politik
pendukung akan terakomodir. Akan muncullah hubungan yang sangat harmonis
antara presiden sebagai kepala eksekutif dengan parlemen, dalam hal ini fungsi
checks and balances tersebut tidak akan berjalan, karena presiden dan kabinetnya
telah didukung oleh mayoritas suara di parlemen.4
Walaupun pengangkatan menteri dan penyusunan kabinet merupakan hak
prerogatif presiden, tetapi sebagai negara yang berdasarkan hukum (reschstaat),
tentu saja ada batasan-batasan untuk presiden dalam menjalankan kewenangan
tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir)
oleh presiden. Oleh karena itu, dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara, yang merupakan pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan Pasal 17 UUD NRI Tahun 1945. UU No. 39 Tahun 2008 ini mengatur
mengenai Kementerian Negara secara lebih terperinci sehingga jelas mengenai
kedudukan, tugas, fungsi dan susunan organisasi kementerian negara tersebut.

                                                            
4

 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas 
Media Nusantara, Jakarta, 2008, hlm 215. 


Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 ini juga mengatur bahwa dapat
diangkat seorang wakil menteri apabila dalam suatu kementerian terdapat beban
kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus.5 Pasal ini menimbulkan
kontroversi di masyarakat, karena UUD NRI Tahun 1945 hanya menyebutkan
jabatan menteri, tidak ada jabatan wakil menteri. Selain itu, ketentuan dalam
penjelasan pasal 10 UU tersebut juga menimbulkan perdebatan, karena dikatakan
bahwa wakil menteri merupakan pejabat karir dan bukan merupakan anggota
kabinet. Kontroversi yang terjadi di masyarakat ini berujung pada diajukannya
permohonan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan adapun perumusan
masalah yang diangkat adalah :
1. Bagaimanakah kedudukan dan kewenangan Kementerian Negara berdasarkan
Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia ?
2. Bagaimanakah pengaturan serta kedudukan Kementerian Negara berdasarkan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah
perubahan ?
3. Bagaimanakah pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terkait
kedudukan Wakil Menteri berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 Tentang Kementerian Negara ?
                                                            
5

 Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara 

Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan Kementerian Negara
berdasarkan Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.
2. Untuk memahami pengaturan serta kedudukan Kementerian Negara
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
setelah perubahan.

3. Untuk mengetahui pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terkait
kedudukan Wakil Menteri berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2008 Tentang Kementerian Negara.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi karya
ilmiah

serta

memberikan

kontribusi

pemikiran

terhadap

persoalan

Kementerian Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah
perubahan UUD NRI TAHUN 1945.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk
peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbangan pemikian
ilmiah hukum positif.  Penelitian ini juga dapat bermanfaat terhadap segenap

Universitas Sumatera Utara

pimpinan partai politik dan kadernya yang memilki keinginan untuk menjadi
menteri, serta terhadap setiap orang yang ingin menjadi calon presiden, agar
mengetahui bagaimana

kedudukan dan kewenangan Kementerian Negara

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD NRI Tahun
1945.

E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi
ini berjudul “Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi
orang lain. Kemudian, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini
merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Semua ini merupakan implikasi
etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ada skripsi yang
sama, maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan
1. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah, yaitu “sistem”
dan “pemerintahan”. Menurut Carl J. Friedrich, sistem adalah suatu keseluruhan,

Universitas Sumatera Utara

terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara
bagian-bagian maupun hubungan fungsionil terhadap keseluruhannya, sehingga
hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang
akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi
keseluruhannya itu.6
Sedangkan pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang
dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan
kepentingan negara sendiri, jadi tidak diartikan sebagai pemerintah yang
menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya
termasuk legislatif dan yudikatif. Karena itu membicarakan sistem pemerintahan
adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara
lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara itu, dalam rangka
menyelenggarakan kepentingan rakyat.7
Sri Soemantri memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan
hubungan antara eksekutif dan legislatif. Adanya dan tidak adanya hubungan
antara eksekutif dan legislatif ini melahirkan adanya sistem pemerintahan
parlementer (cabinet government system) dan sistem pemerintahan presidensial
(presidential government system atau the fixed executive system).8
Menurut Mahfud MD, cara bekerja dan berhubungan ketiga poros
kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dapat disebut sebagai sistem
pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud dengan sistem
                                                            

 Carl J. Friedrich dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, 
Sinar Bakti, Jakarta, 1983, hlm. 171. 
7
 Ibid. 
8
 Sri Soemantri dalam Titi Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca 
Amandemen UUD NRI TAHUN 1945, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 148 

6

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembagalembaga negara.9
Secara umum, dikenal adanya dua sistem pemerintahan yakni sistem
pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Selain itu ada
pula sistem pemerintahan yang merupakan campuran dari kedua sistem itu, yang
mengandung beberapa unsur dari sistem pemerintahan presidensial dan juga
parlementer.
Pada garis besarnya, sistem pemerintahan yang dilakukan pada negaranegara demokrasi menganut sistem parlementer atau sistem presidensial. Tentu
saja di antara kedua sistem tersebut masih terdapat beberapa variasi yang
disebabkan oleh situasi dan kondisi yang berbeda yang melahirkan bentuk-bentuk
semua (quasi), karena jika dilihat dari salah satu sistem di atas, dia bukan
merupakan bentuk yang sebenarnya, misalnya quasi parlementer atau quasi
presidensial.10
Menurut Mahfud MD, di dalam studi ilmu negara dan ilmu politik dikenal
adanya tiga sistem pemerintahan negara, yaitu :
a) Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem Pemerintahan Parlementer merupakan sistem pemerintahan di
mana hubungan antara badan eksekutif dan badan legislatif sangat erat. Hal ini
disebabkan karena adanya pertanggungjawaban para menteri terhadap parlemen.
                                                            

9

 Moh. Mahfud MD, Dasar…Op.cit., hlm. 74 
 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim. Pengantar…,loc.cit 

10

 
 
 
 

Universitas Sumatera Utara

Di dalam sistem pemerintahan ini, parlemen memiliki peranan yang sangat
penting dalam pemerintahan karena parlemen memiliki wewenang dalam
mengangkat perdana menteri, dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan
yakni dengan mengeluarkan mosi tidak percaya. Karena pentingnya peranan
parlemen dalam pemerintahan, maka setiap kabinet atau pemerintahan yang
dibentuk harus memperoleh dukungan kepercayaan dengan suara terbanyak dari
parlemen. Dengan demikian kebijakan pemerintah atau kabinet tidak boleh
menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen. Adapun ciri-ciri umum
dari sistem pemerintahan parlementer antara lain :
1) Kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (eksekutif)
karena ia lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa). Oleh karena itu
kepala negara tidak bertanggung jawab atas segala kebijaksanaan yang
diambil oleh kabinet;
2) Pemerintahan dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh perdana
menteri dibentuk oleh atau atas dasar kekuatan dan/atau kekuatan yang
menguasai parlemen;
3) Seluruh anggota kabinet mungkin saja merupakan anggota parlemen, atau
mungkin saja tidak seluruhnya anggota parlemen, dan mungkin pula
seluruhnya bukan anggota parlemen;
4) Kabinet, melalui ketuanya (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen
(legislatif). Apabila kabinet atau seseorang atau beberapa orang anggotanya
mendapatkan mosi tidak percaya dari parlemen, maka kabinet atau seseorang

Universitas Sumatera Utara

atau beberapa orang anggota kabinet harus mengembalikan mandatnya kepada
kepala negara atau dengan kata lain ia harus mengundurkan diri;
5) Sebagai imbangan dapat dijatuhkannya kabinet, maka kepala negara dapat
membubarkan parlemen dengan saran atau nasihat dari perdana menteri;
6) Parlemen dipilih melalui pemilihan umum yang waktunya bervariasi,
ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari perdana menteri;
7) Kekuasaan Kehakiman pada dasarnya tidak digantungkan kepada lembaga
eksekutif dan legislatif, hal ini untuk mencegah intimidasi dan intervensi
lembaga lain.
Pada dasarnya, sistem pemerintahan parlementer dapat dijalankan baik
pada negara yang berbentuk republik maupun kerajaan. Singapura, India,
Pakistan, Bangladesh, dan Israel merupakan beberapa negara berbentuk republik
yang menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Sedangkan, Malaysia,
Jepang, Belanda, Inggris, Belgia, dan Swedia merupakan beberapa negara yang
berbentuk kerajaan yang menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Selai itu
ada pula beberapa negara yang menerapkan sistem pemerintahan parlementer
yang tidak secara resmi berbentuk kerajaan atau republik, seperti Australia,
Kanada, dan Selandia Baru. Ketiga negara ini merupakan bagian dari sistem
commonwealth dengan Inggris sebagai negara induk.11
b) Sistem Pemerintahan Presidensial
Sistem pemerintahan presidensial adalah suatu sistem pemerintahan
dimana kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab terhadap parlemen (badan
                                                            

11

 

  Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm 15 

Universitas Sumatera Utara

perwakilan rakyat), dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada di luar
pengawasan langsung parlemen (badan perwakilan rakyat). Adapun ciri-ciri
umum dari sistem pemerintahan presidensial antara lain :
1) Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, yang
masa jabatannya telah ditentukan dengan pasti oleh Undang-Undang Dasar;
2) Presiden merupakan kepala pemerintahan (eksekutif) yang memimpin kabinet.
Semua anggota kabinet diangkat, diberhentikan serta bertanggung jawab
kepada presiden;
3) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumah pemilih
(dipilih langsung oleh rakyat). Sehingga ia bukan merupakan bagian dari
anggota legislatif seperti pada sistem pemerintahan parlementer;
4) Presiden tidak bertanggung jawab pada badan legislatif, dan tidak dapat pula
dijatuhkan oleh badan legislatif, kecuali melalui mekanisme pemakzulan atau
impeachment;
5) Sebagai imbangannya, presiden juga tidak dapat atau tidak memiliki
kewenangan untuk membubarkan badan legislatif;
6) Kedudukan badan legisltaif dan eksekutif sejajar dan sama-sama kuat.
Sistem pemerintahan presidensial hanya mengenal adanya satu macam
eksekutif. Fungsi kepala pemerintahan (chief executive) dan kepala negara (head
of state) ada paa satu tangan dan tunggal (single executive). Pemegang kekuasaan
eksekutif tunggal dalam sistem presidensial tidak bertanggung jawab kepada
badan perwakilan rakyat (legislatif), tetapi langsung kepada rakyat pemilih karena
dipilih langsung atau dipilih melalui badan pemilih (electoral college). Sistem

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan presidensial dapat dikatakan sebagai subsistem pemerintahan
republik, karena hanya dijalankan dalam negara yang berbentuk republik (sesuai
dengan sebutannya sebagai

sistem presidensial atau sistem pemerintahan

kepresidenan).12
c) Sistem Pemerintahan Quasi
Sistem pemerintahan quasi pada dasarnya merupakan bentuk variasi dari
sistem pemerintahan parlementer dan presidensial. Hal ini disebabkan karena
situasi dan kondisi yang berbeda sehingga melahirkan bentuk-bentuk semuanya.
Dalam sistem quasi ini dikenal adanya bentuk quasi parlementer dan quasi
presidensial.
Pada sistem pemerintahan quasi presidensial, presiden merupakan kepala
pemerintahan dengan dibantu oleh kabinet (ciri presidensial), tetapi ia bertanggng
jawab kepada lembaga dimana dia bertanggung jawab, sehingga lembaga ini
(legislatif) dapat menjatuhkan presiden/eksekutif (ciri sistem parlementer).13
d) Sistem Pemerintahan Referendum
Sistem pemerintahan referendum merupakan bentuk variasi dari sistem
quasi (quasi presidensial) dan sistem presidensial murni. Di dalam sistem ini,
badan eksekutif merupakan bagian dari badan legislatif. Badan eksekutif yang
merupakan bagian dari badan legislatif adalah badan pekerja legislatif. Jadi, dalam
sistem ini badan legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana

                                                            

12
13

  Ibid, hlm 14 
  Titik Triwulan Tutik, Konstruksi… Op.cit, hlm 153 

Universitas Sumatera Utara

tugas pemerintah. Pengawasan terhadap badan legislatif dilakukan langsung oleh
rakyat yang mempunyai hak pilih yang dilakukan dalam bentuk referendum.
Berkenaan dengan pengawasan rakyat dalam bentuk referendum, dikenal
adanya dua macam mekanisme, yakni :
1) Referendum Obligatoir, yakni referendum untuk menentukan apakah rakyat
menyetujui atau tidak berlakunya suatu peraturan atau undang-undang yang
mengikat rakyat seluruhnya. Referendum ini bersifat mutlak atau wajib
diberikan oleh rakyat karena peraturan atau undang-undang tersebut sangat
penting. Contohnya persetujuan yang diberikan rakyat terhadap pembuatan
Undang-Undang Dasar.
2) Referendum Fakultatif, yakni referendum untuk menentukan apakah suatu
peraturan atau undang-undang yang telah ada dapat terus diberlakukan
ataukah harus dicabut. Referendum ini merupakan referendum yang tidak
wajib karena diberikan terhadap undang-undang biasa yang kurang pentingnya
yang dilakukan setelah suatu undang-undang itu diumumkan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan.

2. Lembaga Kepresidenan di Indonesia
Lembaga Kepresidenan (presidential institution) merupakan istilah yang
sering digunakan dalam berbagai arti, dalam bahasa Indonesia, perkataan presiden
dipergunakan dalam dua arti; yaitu lingkungan jabatan (ambt) dan pejabat
(ambtsdrager). Sedangkan dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, untuk
lingkungan jabatan digunakan istilah presidency atau jika sebagai ajektif

Universitas Sumatera Utara

dipergunakan istilah presidential, sedangkan sebagai pejabat digunakan istilah
president.14
Sebagai suatu negara yang berbentuk republik, Indonesia dipimpin oleh
oleh seorang kepala ngara yang disebut dengan Presiden. Ketentuan mengenai
presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini dikarenakan, di Indonesia sendiri sebagai negara yang berbentuk republik
dan menerapkan sistem presidensial, jabatan presiden merupakan suatu jabatan
yang sangat penting yakni sebagai kepala negara (head of state) dan kepala
pemerintahan (chief exeutive). Sebagai suatu jabatan yang sangat penting maka
masalah pengisian jabatan (ambtsbezetting), pengaturan kewenangan dan
mekanisme pemakzulan (impeachment) juga merupakan hal yang sangat penting
sehingga harus diatur dalam hukum dasar atau dalam Undang-Undang Dasar.
Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa presiden
memegang

kekuasaan

pemerintahan

menurut

UUD.

Artinya,

presiden

berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (chief executive). Hal ini ditegaskan
kembali dalam bagian penjelasan UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Presiden merupakan kepala kekuasaan eksekuif dalam negara. Selain itu juga di
bagian

penjelasan

umum bagian

IV

dikatakan

bahwa

Presiden

ialah

penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah majelis.
Selain sebagai kepala pemerintahan, di Indonesia Presiden juga
berkedudukan sebagai kepala negara. Tetapi di dalam batang tubuh UUD NRI
Tahun 1945 tidak ada satu pasal yang menyebutkan dan menerangkan hal
                                                            
14

 Bagir Manan, Lembaga… Op.cit, hlm 1‐2 

Universitas Sumatera Utara

tersebut. Tetapi dasar konstitusional yang mendukung hal tersebut dapat
ditemukan dalam penjelasan pasal 10 yang menyatakan bahwa kekuasaankekuasaan Presiden dalam pasal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan
Presiden sebagai kepala negara. Selain itu dalam penjelasan tentang MPR juga
disebutkan bahwa majelis mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala
negara (wakil presiden).15
Sebelum adanya amandemen UUD NRI Tahun 1945, Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh MPR, tetapi setelah amandem, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (pemilu). Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan Wakil Presiden
sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik
oleh ketua MPR dalam sidang MPR. Setelah dilantik, Presiden dan Wakil
Presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan
sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan, Presiden dan Wakil Presiden tidak
boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Presiden dan Wakil Presiden
menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 menempatkan kedudukan presiden pada posisi
yang sangat penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni sebagai
kepala pemerintahan (chief executive) dan sebagai kepala negara (head of state).
Oleh karena itu kekuasaan yang dimiliki oleh presiden menembus area kekuasaan                                                            
15

 Ibid, hlm 113‐114 

Universitas Sumatera Utara

kekuasaan yang lain seperti kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Sebagai
seorang kepala negara, menurut UUD NRI Tahun 1945, Presiden mempunyai
wewenang sebagai berikut :
a. Membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (pasal 11);
b. Mengangkat duta dan konsul (pasal 13 ayat (1)). Duta adalah perwakilan
negara Indonesia di negara sahabat. Duta bertugas di kedutaan besar yang
ditempatkan di ibu kota negara sahabat itu. Sedangkan konsul adalah lembaga
yang mewakili negara Indonesia di kota tertentu di bawah kedutaan besar kita;
c. Menerima duta dari negara lain (pasal 13 ayat (3));
d. Memberi gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya kepada warga
negara Indonesia atau warga negara asing yang telah berjasa mengharumkan
nama baik Indonesia (pasal 15).
Sebagai seorang kepala pemerintahan, presiden mempunyai kekuasaan
tertinggi untuk menyelenggarakan pemerintahan negara Indonesia. Wewenang,
hak dan kewajiban Presiden sebagai kepala pemerintahan yang telah diatur dalam
UUD NRI Tahun 1945, diantaranya:
a. Memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar (pasal 4);
b. Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR serta
berhak menetapkan peraturan pemerintah (pasal 5);
c. Wajib memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
Undang- Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada Nusa dan Bangsa;

Universitas Sumatera Utara

d. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. (pasal 14 ayat (1)). Grasi adalah pengampunan yang
diberikan oleh kepala negara kepada orang yang dijatuhi hukuman. Sedangkan
rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau kehormatan seseorang yang
telah dituduh secara tidak sah atau dilanggar kehormatannya;
e. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
(pasal 14 ayat (2)). Amnesti adalah pengampunan atau pengurangan hukuman
yang diberikan oleh negara kepada tahanan-tahanan, terutama tahanan politik.
Sedangkan abolisi adalah pembatalan tuntutan pidana.
Selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seorang presiden
juga merupakan panglima tertinggi angkatan perang. Dalam kedudukannya seperti
ini, menurut UUD NRI Tahun 1945, presiden mempunyai wewenang sebagai
berikut:
a. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain dengan persetujuan DPR (pasal 11 ayat (1));
b. Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR (pasal 11
ayat (2));
c. Menyatakan keadaan bahaya (pasal 12).

3. Lembaga Kementerian Negara
Menteri berasal dari bahasa Inggris yakni minister. Istilah minister ini
merupakan suatu frasa Bahasa Inggris pertengahan, diturunkan dari Bahasa
Perancis tua yakni minister, berasal dari bahasa Latin minister, yang artinya

Universitas Sumatera Utara

melayani atau pemberi pelayanan. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat,
Inggris, HongKong, dan Filipina, seorang menteri disebut sekretaris (secretary).16
Menteri adalah

jabatan politik yang memegang suatu jabatan publik

dalam suatu pemerintah. Menteri biasanya memimpin suatu departemen atau
kementerian dan dapat merupakan anggota dari suatu kabinet.
Kementerian yang dalam bahasa Inggris disebut Ministry adalah suatu
organisasi khusus yang bertanggung jawab untuk sebuah bidang administrasi
umum pemerintahan. Kementerian dipimpin oleh seorang menteri yang dapat
memiliki tanggung jawab untuk satu atau lebih dalam menjalankan fungsi dan
tugas kementerian, pejabat senior pelayanan publik, badan, biro, komisi, atau
badan eksekutif lainnya yang lebih kecil, penasihat, manajerial atau organisasi
administratif. Kementerian biasanya berada dalam suatu kabinet yang dipimpin
oleh perdana menteri, presiden, atau kanselir. Suatu pemerintahan biasanya
memiliki banyak kementerian, masing-masing menangani urusan pemerintahan
tertentu. Kementerian sangat bervariasi antar negara, beberapa yang umum antara
lain Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan,
dan Kementerian Kesehatan.17
Dewan menteri atau kabinet merupakan suatu alat pemerintahan yang
timbulnya berdasarkan konvensi ketatanegaraan. Menurut Ismal Sunny, meskipun
kabinet adalah pemegang kekuasaan eksekutif yang sesungguhnya, menterimenteri itu tidak mempunyai kedudukan hukum sebagai anggota kabinet dan

                                                            

16
17

 http://id.wikipedia.org/wiki/Menteri diakses pada 14 Maret 2013 
 http://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian diakses pada 14 Maret 2013 

Universitas Sumatera Utara

dalam teori hukum (legal theory) mereka hanyalah “servant of the crown”, kepada
siapa kekuasaan eksekutif dibebankan.18
Di Indonesia sendiri, sebagai suatu negara yang menganut sistem
presidensial,

menteri

berkedudukan

sebagai

pembantu

presiden

dalam

menjalankan pemerintahan. Menteri-menteri ini diangkat,diberhentikan serta
bertanggung jawab kepada presiden. Para menteri ini membidangi urusan-urusan
tertentu dalam pemerintahan, kecuali menteri koordinator yang bertugas
melakukan sinkronisasi dan koordinasi urusan menteri-menteri yang berada di
dalam lingkup tugasnya.
Kedudukan menteri-menteri ini dapat dikatakan bukanlah sebagai pegawai
tinggi biasa, oleh karena menteri-menterilah yang menjalankan kekuasaan
pemerintahan (pouvoir executive) dalam prakteknya. Sebagai pemimpin
departemen, menterilah yang paling mengetahui hal-hal mengenai lingkungan
pekerjaannya. Oleh karena

itu, menteri memiliki pengaruh besar terhadap

presiden dalam menentukan politik negara mengenai departemen yang
dipimpinnya.

G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di
dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputus oleh
                                                            

18

 Ismail Sunny dalam Titik Triwulan Tutik, Konstruksi…Op.cit., hlm 209  

Universitas Sumatera Utara

hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial
process).19
Data-data yang disajikan dalam skripsi ini diambil dari data sekunder.
Adapun data sekunder yang dimaksud ialah:
a) Bahan hukum primer .Yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang
mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer
dalam tulisan ini diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang
Kementerian Negara, serta peraturan perundang-undangan lain yang masih
berlaku di Indonesia.
b) Bahan hukum sekunder . Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi,
atau kajian yang berkaitan dengan kementerian negara, seperti: seminarseminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis
ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di
atas.
c) Bahan hukum tersier. Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan yang mendukung bahan hukukm primer dan bahan hukum
sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
peneletian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder.
Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain
                                                            

 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 
118 

19

Universitas Sumatera Utara

berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikelartikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen
pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

H. Sistematika Penulisan
Bab I :

Bab ini merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas
mengenai

latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan

penelitian,

manfaat

penelitian,

keaslian

penulisan,

tinjauan

kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II :

Dalam bab ini akan dibahas mengenai kedudukan dan kewenangan
kementerian negara berdasarkan konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia dan konstitusi negara-negara lain.

Bab III:

Dalam bab ini akan dibahas mengenai kedudukan dan kewenangan
kementerian negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara, serta jabatan wakil menteri di Indonesia.

Bab IV:

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pendapat Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia terhadap kedudukan dan kewenangan
Kementerian Negara.

Bab V :

Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran
mengenai pembahasan yang telah dikemukakan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Partisipasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Dalam Perubahan Orde Lama – Orde Baru

6 97 112

Peran Kepolisian Republik Indonesia Dalam Mendukung Penegakan Syariat Islam Di Propinsi Aceh

6 49 137

Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

1 74 100

Tinjauan Yuridis Pergantian Antarwaktu Pejabat Badan Pemeriksaan Keuangan (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xi/2013)

0 39 201

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011)

0 7 104

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 8

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 1

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 33

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 4

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi: Studi Terhadap Putusan Nomor 92/PUU-X/2012

0 0 21