Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

(1)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

EKSISTENSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

JANUARI SIHOTANG

NIM. 040200118

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih, anugerah dan bimbingan-Nya yang senantiasa menyertai penulis dalam setiap langkah hidup penulis, terutama saat penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun skripsi ini berjudul ”Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran, waktu dan kerja keras dalam menyusun skripsi ini.

Didalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1) Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2) Bapak Armansyah, SH. MH. Selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan serta bantuan buku-buku dalam penyelesaian penulisan skripsi ini;


(3)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

3) Bapak Edy Murya, SH.,, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bantuan dan bimbingan serta arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini;

4) Ibu Rafiqoh Lubis, SH. MHum., , selaku Dosen Wali dan seluruh dosen serta staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5) Kedua orang tuaku yang tercinta Bapak St. M. Sihotang dan Mama D. Br. Lumbanraja yang telah memberikan doa, kasih sayang, semangat dan dukungan baik moril maupun spiritual. Terima kasih atas semua jerih payah dan pengorbanan yang telah Bapak dan Mama berikan.

6) Kakandaku yang terkasih (K’Mince) dan Lae G. Pardede yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan motivasi. Semoga tetap menjadi keluarga yang bahagia.

7) Terkhusus buat sahabat terdekatku Maeka Yusnita Hutagaol, SH yang telah memberikan banyak bantuan dan bimbingan mulai dari pencarian topik skripsi sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini. Terima kasih untuk doa, kasih sayang, waktu, semangat dan dukungan yang diberikan.

8) Buat sahabat-sahabatku di Fakultas Hukum USU terutama Adwan, Rapael, Luhut, Alexander. Para Penghuni Paten 22 terutama Dolin, Arito, K’Wasti, Belfrid dan Eva. Terimakasih untuk pengertiannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.


(4)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

9) Terimakasih yang tak terhingga juga buat para redaktur-redaktur koran di Sumatera Utara dan Jakarta terutama Pak Idris Pasaribu, Bang Kwa Tjen Siung, Bang Anthoni Limtan (Harian Analisa), Bang Nasib TS, Bang Teja Purnama (Harian Global), dan yang lainnya yang telah memberi kesempatan kepada tulisan-tulisan penulis untuk nongkrong di rubrik yang beliau-beliau asuh. Walaupun sebenarnya tulisan saya belumlah seberapa ampuh dan tajam. 10) Terimakasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Abang Janpatar

Simamora, SH (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen) atas segala saran, motivasi dan bantuan buku-bukunya dalam penulisan skripsi ini. Tak lupa juga motivasi beliau yang besar manfaatnya dalam melecut semangat penulis dalam menulis artikel-artikel

Didalam penulisan sripsi ini, penulis menyadari masih memiliki banyak kekurangan dan masih jauh dari sempuran. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2008

(Januari Sihotang)


(5)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………. i

Daftar Isi……… iv

Abstraksi………... viI BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah……… 6

C. Tujuan Penulisan……… 7

D. Manfaat Penulisan………. 7

E. Keaslian Penulisan………. 8

F. Tinjauan Kepustakaan……… 9

1. Pengertian Demokrasi………. 9

2. Perwakilan Rakyat………....……….………. 10

3. Sistem Ketatanegaraan Indonesia……….. 14

G. Metode Penelitian………. 17

H. Sistematika Kepenulisan……….. 18

BAB II MAJELIS PERUBAHAN RAKYAT SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 ……… 21


(6)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

B. Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Majelis

Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang

Dasar 1945……… 27

C. Beberapa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Badan Perwakilan Rakyat di Negara Lain ………. 36

BAB III PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

1945……… 42

A. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945. 42 B. Alasan-Alasan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945….. 46 C. Prosedur dan sistem Perubahan Undang-Undang Dasar…... 52 D. Perubahan Dalam Undang-Undang Dasar 1945………. 56

BAB IV MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG

DASAR 1945 ………... 60

A. Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang Majelis

Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan Undang-Undang

Dasar 1945 ………... 60

B. Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ………….. 70 C. Hal-Hal yang Timbul dalam Praktek tentang Kedudukan


(7)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ……… 78

BAB V PENUTUP ………. 84

A. Kesimpulan ……… 84

B. Saran ………. 88


(8)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

ABSTRAKSI

EKSISTENSI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA SETELAH

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Januari Sihotang1

Armansyah, SH.MH.** Edy Murya, SHi

*Mahasiswa Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai susunan, kedudukan, tugas dan wewenang tertentu oleh Undang-Undang Dasar 1945 asli. Dengan kekuasaannya yang tidak terbatas, MPR juga didaulat sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Alasannya karena MPR dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).

Dalam perjalanannya Undang-Undang Dasar 1945 telah diganti oleh beberapa konstitusi dan kemudian kembali lagi kepada Undang-Undang Dasar 1945. Setelah tahun 1999 terjadi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama, kemudian disusul yang kedua tahun 2000, ketiga tahun 2001 dan keempat tahun 2002. Pada Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat dicabut kekuasaannya untuk melaksanakan kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945) kemudian susunan, kedudukan, tugas dan wewenangnya pun berubah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat 1,2,3 Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Pada Perubahan Keempat akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat diubah komposisinya menjadi anggota 2 lembaga negara yaitu:Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (pasal 2 ayat (1)).

Perubahan susunan, kedudukan, tugas dan wewenang tersebut mengubah struktur dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. MPR berubah menjadi Lembaga Negara yang sama dengan lembaga negara lainnya seperti DPR, DPD, MA, BPK dan Mahkamah Konstitusi.

Dengan dipertahankannya keberadaan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mempunyai tugas dan wewenang tersendiri, menimbulkan perdebatan mengenai sistem perwakilan yang dianut Indonesia. selain itu ada juga pendapat agar MPR sebaiknya dijadikan hanya sebagai forum pertemuan antara DPR dan DPD saja. Bukan sebagai lembaga negara yang mempunyai susunan organisasi tersendiri.


(9)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum mengalami perubahan, di dalam penjelasan umumnya antara lain menyebutkan bahwa, UUD 1945 adalah UUD yang singkat, supel, dan rigid. Singkat; karena tidak banyak pasal dan ayatnya; supel, karena hanya memuat aturan-aturan yang pokok-pokok saja dan sekaligus terkandung sifat rigid di dalamnya, yaitu sulit diubah secara formal.

Sebelum diubah, materi muatan UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh yang memuat 16 bab dan 37 pasal, 4 aturan peralihan serta 1 (satu) aturan tambahan. Kemudian pasal-pasal tersebut dilengkapi dengan penjelasan yang berfungsi untuk menginterpretasikan isi dari batang tubuh tersebut.

Adapun materi muatan yang terdapat dalam UUD 1945, beberapa di antaranya adalah mengatur kedudukan dan kekuasaan lembaga-lembaga negara, secara keseluruhan seperti: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Dari lembaga-lembaga negara tersebut, menurut Jimly Ashiddiqie2

2

Jimly Ashiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 37-38.

, hanya MPR saja bersifat khas Indonesia. Lima lainnya berasal dari cetak biru kelembagaan yang dicontoh dari zaman Hindia Belanda. DPR dapat dikaitkan


(10)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

dengan sejarah ‘Volksraad’ (Dewan Rakyat), Presiden adalah pengganti dari lembaga negara ‘Gavernuur General’ , Mahkamah Agung sendiri berkaitan dengan ‘Landraat’ dan ‘Raad van Justice’ di Hindia Belanda, serta ‘Hogeraad’ yang ada di Negeri Belanda. Sedangkan BPK berasal dari ‘Raad van Rakenkamer’ dan DPA berasal dari ‘Raad van NederlendscheIndie’ yang ada di Batavia atau ‘Raad van State’ yang ada di Negeri Belanda3

Susunan keanggotaan MPR sendiri terdiri dari anggota-anggota DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Untuk pengisian anggota DPR dilakukan melalui suatu Pemilihan Umum (Pemilu) dan pengangkatan. Untuk pengisian , sedangkan MPR tidak ada contoh sebelumnya, kecuali yang ada di lingkungan negara-negara komunis yang menerapkan sistem partai tunggal, dimana kedaulatan rakyat disalurkan ke dalam pelembagaan Majelis Rakyat yang tertinggi (Supreme People’s Council) seperti di Uni Soviyet dan RRC.

Selama diberlakukannya UUD 1945, ada yang menarik dengan struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, yaitu tentang keberadaan MPR. Dimana dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dikatakan:

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”

Ketentuan tersebut secara otomatis menempatkan MPR sebagai satu-satunya lembaga pemegang kedaulatan rakyat atau dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, berbeda dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Dengan kata lain, MPR RI didaulat sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

3

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media, Bandung, 2007, hlm 19-20.


(11)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Utusan Golongan diangkat oleh Presiden dan Utusan Daerah diangkat oleh DPRD Tingkat I.

Kekuasaan yang dimiliki oleh MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945, adalah:

1. menetapkan UUD 2. menetapkan GBHN

3. memilih presiden dan wakil presiden 4. mengubah UUD

Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, MPR dipandang sebagai lembaga negara yang memiliki otoritas untuk menafsirkan konstitusi (UUD 1945) dan membagi-bagikan kekuasaan negara yang diamanatkan rakyat melalui pemilihan umum kepada lembaga tinggi negara lain yang ada di bawahnya.

Namun dalam perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, seringkali UUD 1945 tidak ditaati terutama oleh pemerintah. Berbagai penyimpangan muncul seperti pembagian kekuasaan yang tumpang tindih, bahkan bias dikatakan kacau-balau karena dominannya peran pemerintah dalam melakukan intervensi, bahkan mengambilalih tugas, wewenang dan fungsi lembaga-lembaga lainnya. Azas lex superior derogate legi inferiori dalam pembuatan perundang-undangan seringkali tidak diindahkan, sehingga terjadi tumpang-tindih peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi.

Walaupun pada Pasal 37 UUD 1945 memberi peluang untuk mengubah (amandemen) UUD 1945, namun pemerintah Orde Baru terkesan mengesampingkan hal tersebut dengan alasan melaksanakan UUD 1945 secara


(12)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

murni dan konsekuen. Dengan pengertian bahwa UUD 1945 adalah amanat para pendiri bangsa yang harus dijaga dan dihormati (disakralkan) sehingga tidak boleh dikutak-katik. Hal ini dapat dilihat dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983.

Namun setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, 21 Mei 1998, dan bergulirnya Era Reformasi, berbagai elemen masyarakat menuntut adanya perubahan terhadap UUD 1945. Tuntutan itu muncul sebagai reaksi atas dominannya kekuasaan eksekutif (executive heavy) dalam bingkai UUD 1945, tidak adanya check and balances antarlembaga negara serta beragamnya tafsir terhadap bunyi pasal dalam UUD 1945. Selain itu, banyak persoalan ketatanegaraan Indonesia yang tidak ditemukan jawabannya karena desain UUD 1945 sangat simpel.

MPR merespon tuntutan masyarakat tersebut dan melakukan perubahan UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali pada tahun 1999-2002. UUD 1945 yang semula terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 49 ayat menjadi 21 bab, 73 pasal dan 170 ayat. Meskipun perubahan terhadap materi muatan hampir 50% tetapi masih terdapat inkonsistensi substansi teoritik maupun yuridis. Strukturisasi atau sistemisasi pasal-pasal tambahan yang tidak konsisten tersebut melahirkan inovasi politik dan hukum4

Perubahan UUD 1945 pun menimbulkan perubahan dalam sistem ketatanegaraan, dimana hal ini juga menimbulkan perubahan dalam badan perwakilan di Indonesia.

.

4

Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004, hlm. 299.


(13)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Sistem perwakilan di Indonesia setelah perubahan UUD 1945 memiliki badan perwakilan yang terdiri dari DPR (merupakan representasi dari kepentingan politik) dan DPD (representasi kepentingan daerah). Masing-masing lembaga negara tersebut, dalam pengisian keanggotaannya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, selain itu ada juga MPR yang mempunyai lingkungan jabatan dan wewenang tersendiri. Keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan DPD. Sehingga di Indonesia, badan perwakilannya terdiri dari DPR, DPD dan MPR. Sedangkan bila direlevansikan dengan sistem perwakilan yang ada di dunia yaitu unikameral dan bikameral, maka Indonesia tidak menganut keduanya.

Menyangkut kedudukan MPR RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terjadi pergeseran dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga Negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Hal ini dimaksudkan supaya masing-masing lembaga negara dapat saling mengawasi dan mengimbangi.

Perubahan yang menyangkut khusus tentang MPR, berimplikasi pula pada berkurangnya kewenangan lembaga tersebut, di antaranya adalah kewenangan dalam hal memilih presiden dan wakil presiden. Menurut Pasal 3 UUD 1945, MPR hanya berwenang:

1. mengubah dan menetapkan UUD

2. melantik presiden dan/ atau wakil presiden

3. memberhentikan presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.


(14)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Mengingat kecilnya peran MPR, muncul berbagai pemikiran untuk tidak melembagakan MPR sebagai organisasi tersendiri. Dengan demikian, MPR hanya sebagai sidang gabungan (joint session) antara DPD dan DPR. Dengan demikian, MPR tidak akan mempunyai pimpinan tersendiri dan lembaga ini tidak ada bila tidak ada gabungan tersebut5

B. Rumusan Masalah

.

Keberadaan MPR berdasarkan perubahan UUD 1945 sebagai sebuah lembaga negara kemudian dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi tidak jelas. Hal tersebut memunculkan berbagai perdebatan tentang sistem badan perwakilan yang dianut Indonesia yaitu, unikameral, bikameral atau trikameral. Sedangkan menyangkut keberadaannya sebagai sebuah lembaga Negara yang berdiri sendiri juga patut diperdebatkan.

Oleh karena itu penulis mencoba membahas masalah ini dengan mengangkat judul: “Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.”

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan UUD 1945?

2. Bagaimanakah susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945?

5


(15)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

3. Hal-hal apakah yang timbul dengan dipertahankannya MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia?

C, Tujuan Penulisan

Sehubungan dengan perumusan masalah di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebelum perubahan UUD 1945.

2. Mengetahui susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945.

3. Mengetahui hal-hal yang timbul dengan dipertahankannya MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Manfaat Teoritis.

a. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan pengetahuan dan pemikiran sebagai salah satu referensi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Hukum Tata Negara;

b. Bagi penulis sendiri, tulisan ini bermanfaat dalam memenuhi persyaratan guna menyelesaikan studi dan meraih gelar kesarjanaan program strata


(16)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

satu (S-1) di Depatemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan pemikiran penulis yang berkaitan dengan susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945;

b. Tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945 serta mencoba membahas bagaimana masa depan MPR.

E. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan dan penelusuran penulis di lingkungan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, “Eksistensi Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945” yang diangkat menjadi judul

dalam skripsi ini belum pernah diangkat dan ditulis sebagai sebuah judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyusunnya melalui berbagai referensi seperti buku-buku, media cetak dan elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak yang dapat menunjang kelengkapan dari skripsi ini.


(17)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Dengan demikian, penulis mempunyai keyakinan dan harapan bahwa keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan sebagian besar negara-negara di dunia.

Istilah demokrasi sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari kata ‘demos’ yang artinya rakyat, dan kata ‘cratia/ cratein’ yang artinya pemerintahan atau memerintah. Dengan demikian, demokrasi dapat diartikan pemerintahan oleh rakyat, yaitu pemerintah yang dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat6

Sedangkan secara epistemologis, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh beberapa tokoh dengan berbagai sudut pandang masing-masing. H. L. Mencken menyebutkan, “demokrasi adalah sebuah teori yang mana rakyat tahu apa yang mereka butuhkan dan pantas dapatkan sangat berat.”

.

Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merumuskan:

“Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat, dan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama semua warga negara.”

7

6

Max Boboy, DPR RI dalam Prespektif Sejarah dan Tatanegara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 81

7

Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 35


(18)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Tentang demokrasi, Soekarno berpendapat bahwa, “demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Cara pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk memerintah.”

Muhammad Hatta mengartikan, “kedemokrasian adalah keadilan keyakinan segenap bangsa Indonesia. keyakinan ini mesti menjadi semboyan segala partai di Indonesia dan mesti menjadi dasar susunan Indonesia merdeka di masa yang akan dating.”

Berdasarkan pengertian-pengertian demokrasi di atas, maka ada dua pendekatan yang lazim digunakan apabila hendak menjelaskan konsep demokrasi yaitu pendekatan klasik normatif dan pendekatan empiris minimalis.

Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan sedangkan pendekatan empiris minimalis lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun8

2. Perwakilan Rakyat

.

Rosseau pernah berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung (direct democracy) sebagaimana pelaksanaannya yang berlaku pada zaman Yunani Kuno. Namun pada kenyataannya hal tersebut sangat susah diterapkan lagi karena berbagai faktor antara lain luasnya wilayah negara, pertambahan populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah sosial, politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

8


(19)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Sebagai ganti dari gagasan dan pandangan Rosseau ini, maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui perwakilan rakyat atau yang terkenal dengan parlemen9

Sedangkan Arbi Sanit mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagai hubungan antara dua pihak antara wakil dan yang terwakili, dimana wakil memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan yang terwakili

.

Logeman sendiri menggunakan kata perwakilan dalam arti hukum perdata orang yang menduduki atau mengemban suatu jabatan adalah perwakilan dari jabatan itu.

10

Kata perwakilan (representation) adalah konsep seorang atau suatu kelompok mempunyai kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation)

.

11

Namun, dengan hanya menyertakan perwakilan politik, hal ini dirasakan sebagai pengabaian terhadap kepentingan-kepentingan golongan nonpartai politik yang patut dilindungi. Oleh karena itu, beberapa negara di dunia mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan mengikutsertakan wakil-wakil dari golongan yang dianggap perlu mendapat perlindungan khusus

.

12

9

Max Boboy, op. cit, hlm. 17 10

Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 1 11

Abdy Yuhana, loc. cit 12

Ibid, hlm. 55


(20)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Dalam hubungan wakil dan yang diwakili, Riswanda Imawan mengemukakan adanya empat tipe hubungan yang bisa terjadi yaitu:13

1) Wakil sebagai wakil; wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya.

2) Wakil sebagai utusan; wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili, sesuai dengan mandate yang diberikannya

3) Wakil sebagai politico; wakil kadang-kadang bertindak sebagai wakil dan sebagai utusan.

4) Wakil sebagai partisan; wakil bertindak sesuai dengan program partai/ organisasinya.

Berbicara tentang lembaga perwakilan, maka di dunia dikenal 3 (tiga) sistem perwakilan yaitu sebagai berikut:

a. sistem perwakilan satu kamar (unikameral)

Dalam struktur parlemen dengan tipe unikameral hanya dikenal satu badan legislatif tertinggi. Dalam badan ini tidak dikenal adanya dua badan terpisah seperti adanya Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat atau Majelis Tinggi dan Majelis Rendah14

13

Ibid, hlm. 56 14

Sistem unikameral ini biasanya dianut oleh negara-negara kecil seperti Vietnam, Singapura, Laos, Lebanon, Syria, Kuwait. Selain itu, negara-negara kesatuan Sosialis lebih banyak menganut system unikameral.

. Walaupun fungsi dan tugas parlemen unikameral ini bervariasi antara negara yang satu dengan nsegara lain, tapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan, fungsi legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.


(21)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

b. sistem perwakilan dua kamar (bikameral)

Ada banyak alasan negara-negara menganut sistem perwakilan dua kamar antara lain, pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and balances), dua, untuk menampung aspirasi atau kepentingan golongan tertentu yang tidak cukup terwakili melalui majelis pertama15

Sistem perwakilan bikameral ini biasanya dianut negara-negara yang berbentuk kerajaan dan federal, walau sebagian kecil negara kesatuan juga menganutnya seperti Perancis

.

16

c. Sistem perwakilan tiga kamar (trikameral) .

Sistem perwakilan trikameral (tiga kamar) adalah suatu system dimana struktur organisasi yang ada di badan perwakilan rakyat terdiri dari tiga badan ataupun kamar dengan fungsinya masing-masing dan sama-sama memiliki posisi dan fungsi yang setara. Dalam praktek, sistem ini nyaris tak ditemui.

Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, bentuk lembaga perwakilan mengarah kepada bentuk sistem trikameralisme. Hal ini tampak dengan adanya tiga bentuk lembaga perwakilan (DPR, DPD dan MPR) yang masing-masing memiliki tugas, wewenang, dan fungsi masing-masing. Menurut Jimly Asshidiqie, walaupun setelah perubahan UUD 1945 MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi, namun keberadaannya tetap ada

15

Penamaan untuk kamar kedua di beberapa Negara seperti House of Lord (Inggris), Bundesrat (Jerman), Dewan Negara (Malaysia), Senate (Amerika Serikat)

16


(22)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

sehingga Indonesia tidak dapat disebut menganut sistem unikameral atau bikameral melainkan trikameral dengan alasan bahwa MPR tetap sebagai sebuah lembaga perwakilan yang mempunyai susunan, kedudukan, fungsi dan wewenang tersendiri sama seperti DPR dan DPD17

3. Sistem Ketatanegaraan Indonesia

.

Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata ‘sistem’ dan ‘ketatanegaraan’. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi dan sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat yang lebih kecil. Selanjutnya, jika pengertian sistem ini dikaitkan dengan istilah sistem ketatanegaraan, maka sistem ketatanegaraan dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi negara, baik menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara maupun yang berkaitan dengan tugas dan wewenang masing-masing maupun hubungan satu sama lain18

17

Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional yang diadakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hlm. 7-9

18

Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 67

.

Selanjutnya apabila sistem ketatanegaraan ini dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia, maka dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan Indonesia yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi Republik Indonesia baik yang menyangkut susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain menurut UUD 1945.


(23)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Jika dicermati menurut UUD 1945, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia tidak menganut suatu sistem negara manapun tetapi adalah suatu sistem yang khas menurut kepribadian bangsa Indonesia19

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat

.

Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu:

2. Presiden

3. Dewan Pertimbangan Agung 4. Dewan Perwakilan Rakyat 5. Badan Pemeriksa Keuangan 6. Mahkamah Agung

Jika diklasifikasikan, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sedangkan lembaga kenegaraanan lainnya disebut sebagai lembaga tinggi negara.

Sementara itu menurut hasil Perubahan UUD 1945, maka lembaga-lembaga negara adalah sebagai berikut:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat 2. Presiden

3. Dewan Perwakilan Rakyat 4. Dewan Perwakilan Daerah 5. Mahkamah Agung

6. Badan Pemeriksa Keuangan 7. Mahkamah Konstitusi, dan

19


(24)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

8. Komisi Yudisial

Berbeda dengan sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945, hasil perubahan tidak mengenal lembaga tertinggi negara karena lembaga-lembaga negara tersebut mempunyai posisi yang sama atau sebanding antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya.

Munculnya gagasan perubahan tentang kelembagaan negara tersebut tak lain adalah demi terciptanya sistem dan mekanisme check and balances di dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia20

Sehubungan dengan check and balances itu pulalah ada perubahan terhadap sistem parlemen dari supremasi MPR yang terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah) menjadi parlemen sistem bicameral

.

Hal ini penting karena selama Orde Baru, sebelumnya dapat dikatakan bahwa check and balances itu tidak ada. Misalnya dalam hal pembuatan undang-undang, seluruhnya didominasi eksekutif. Dominasi eksekutif dalam membuat, melaksanakan, dan menafsirkan undang-undang menjadi begitu kuat di dalam sistem politik yang executive heavy karena tidak ada lembaga yang dapat membatalkan undang-undang. Waktu itu, tidak ada peluang untuk pengujian atas undang-undang oleh lembaga yudisial dalam apa yang dikenal sebagai judicial review atau constitutional review seperti yang dilakukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sekarang ini.

21

20

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007, hlm. 65 21

Sistem parlemen Indonesia tidak bisa dikatakan murni sebagai sistem parlemen bikameral karena selain DPR dan DPD terdapat juga MPR yang mempunyai struktur organisasi dan kewenangan tersendiri.


(25)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

dalam hubungan check and balances dengan lembaga negara lain, khususnya dengan lembaga eksekutif dan yudikatif.

Gagasan parlemen bikameral juga menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga perwakilan politik yakni DPR dan lembaga perwakilan territorial yakni DPD22

Secara institusional, lembaga negara-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri dimana yang satu bukan merupakan bagian yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga negara yang satu tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan dalam arti materi (separation of power), melainkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal

.

23

G. Metode Penelitian

. Dengan kata lain, UUD 1945 menganut azas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur di dalamnya serta hubungan kekuasaan di antara badan-badan kenegaraan yang ada.

Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mencapai suatu tujuan untuk menunjang usaha penyusunan dan pembahasan skripsi ini.

Maka untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dipergunakan

22

Ibid, hlm. 66. 23


(26)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

metode penelitian yuridis normatif. 24

H. Sistematika Penulisan

Dikatakan demikian karena yang menjadi dasar dalam penulisan skripsi ini adalah gagasan atau konsep yang mencakup azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan lain-lain. Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif yang menjadi titik berat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana susunan, kedudukan, tugas dan wewenang MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah perubahan UUD 1945. pendekatan yang bersifat yuridis normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer dan sekunder.

Adapun bahan hukum primer yang diteliti adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksana yang dianggap menunjang penulisan skripsi ini. Bahan hukum sekunder yang diteliti adalah berupa karya ilmiah seperti bahan pustaka, dokumen-dokumen, buku-buku dan sebagainya.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini yang dibahas adalah dasar-dasar pemikiran penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta berisi hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang pemilihan

24


(27)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

judul, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBELUM

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Pada bab ini yang dibahas adalah sejarah lahirnya MPR RI dan penjelasan secara terperinci tentang MPR sebelum perubahan UUD 1945 dan perbandingannya dengan badan perwakilan di negara lain.

BAB III PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Pada bab ini penulis berusaha membahas mengenai perubahan UUD 1945 dengan membahas latar belakang pembentukan dan alasan perubahan UUD 1945. dalam bab ini juga dibahas mengenai prosedur dan sistem perubahan UUD dan perubahan-perubahan dalam UUD 1945.

BAB IV MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SETELAH

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Pada bab ini merupakan pokok utama dari kajian penelitian skripsi penulis, yaitu membahas tentang susunan, kedudukan, tugas serta wewenang MPR setelah perubahan UUD 1945 dan status hukum Ketetapan MPR setelah perubahan UUD 1945.


(28)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari pembahasan Bab I, II, III, dan IV serta saran yang penulis dapatkan berdasarkan pemikiran penulis.


(29)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

BAB II

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. Sejarah Lahirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dalam merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, para anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) memberikan perhatian besar terhadap kedaulatan rakyat dan sistem permusyawaratan yang akan dianut konstitusi, termasuk di dalamnya adalah mengenai lembaga kedaulatan rakyat yang mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat25

Keinginan untuk menjelmakan aspirasi rakyat di dalam bentuk yang berupa perwakilan ialah Majelis Permusayawaratan Rakyat yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno dalam pidato yang brsejarah pada 1 Juni 1945 dalam pembahasan BPUPKI. Satu prinsip yang mendasari sistem permusyawaratan rakyat itu ialah sila ke empat, tentang mufakat atau demokrasi. Di dalamnya terkandung prinsip kebersamaan di dalam negara

.

26

1. Permusyawaratan

.

Sejalan dengan konsepsi Soekarno tersebut, M.Yamin juga mengemukakan prinsip yang mendasari sistem permusyawaratan itu ialah peri-kerakyatan yang terdiri dari:

25

A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi, Membangun Demokrasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 33

26


(30)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

2. Perwakilan

Konsepsi mengenai MPR oleh M. Yamin berbunyi sebagai berikut27

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari atas anggauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan dari Daerah-Daerah dan Golongan-Golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

:

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

3. Seluruh pemerintah bersama-sama dengan Presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

4. Segala putusan Majelis Permusywaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak.

Sedangkan Soepomo tidak mengemukakan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah ‘Badan Permusyawaratan’. Indonesia yang akan berdiri tidak bersistem individualisme seperti di negara-negara Barat tetapi berdasar kepada kekeluargaan.

Soepomo tidak menjelaskan secara rinci tentang keberadaan Badan Permusyawaratan tersebut, tetapi dari ungkapan yang disampaikan tersebut, fungsi badan tersebut adalah28

1. Sebagai badan permusyawaratan dari rakyat yang akan menetapkan garis-garis kebijaksanaan pemerintahan di samping kepala negara.

:

27

Riri Nazriyah, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hlm 50-51.

28


(31)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

2. Sebagai pengawas dalam arti pasangan kepala negara di dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Dalam pembahasan selanjutnya tentang MPR di dalam BPUPKI tersebut, oleh Sukirman ditambahkan agar dipertegas perbedaan kedudukan antara DPR dan MPR29

Namun pada prinsipnya yang dimaksudkan oleh BPUPKI mengenai MPR adalah seperti yang disebutkan dalam Rancangan UUD 1945 Bab V yang berbunyi

. Untuk anggota MPR sebaiknya dipilih langsung oleh rakyat. Kedudukan DPR lebih rendah dari MPR.

30

1. Badan Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan oleh undang-undang.

: Pasal 18.

2. Badan Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

Pasal 19.

Badan Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.

Setelah hasil rancangan UUD disempurnakan, dibawa ke dalam sidang tanggal 14, 15, 16 Juli 1945 di dalam pengajuan konsepsi dari lembaga Badan Permusyawaratan itu sudah berubah namanya menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat.

29

Samsul Wahidin, op.cit, hlm.76. 30


(32)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Hingga pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan UUD 1945 maka ketentuan mengenai MPR diatur dalam Pasal 2 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut31

1. Majelis Permusyawaratan terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan Daerah dan golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

:

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

3. Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

Namun pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga negara yang ada pada saat itu baru Presiden dan Wakil Presiden (Lembaga Kepresidenan) yang dibantu oleh sebuah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sebelum lembaga-lembaga negara lain terbentuk, segala kekuasaannya sepenuhnya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal IV Aturan Peralihan UUD 194532

Semasa UUD 1945 periode pertama yang berlaku sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949, saat berubahnya status Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Serikat atau disebut Republik Indonesia Serikat (RIS), MPR hanya dikenal dalam teori ketatanegaraan sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Sedangkan di dalam parakteknya MPR tersebut belum terbentuk sebagai lembaga kenegaraan RI. Oleh karena lembaga

.

31

Riri Nazruyah, op.cit, hlm. 54. 32


(33)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

tertinggi negara (MPR) ini belum terwujud sebagaimana dimaksudkan oleh UUD maka tugas dan wewenangnya masih dilaksanakan oleh Presiden dan KNIP33

Demikian pula halnya pada masa UUD RIS 1949 yang berlaku sejak 27 Desember sampai dengan 17 Agustus 1950, dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu negara bagian RIS, begitu juga dalam masa UUDS 1950 yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950-5 Juli 1959, kesemuanya tidak mengenal Lembaga MPR. Akan tetapi lembaga semacam MPR dikenal Konstituante yang tugas dan wewenangnya hampir sama dengan MPR dalam UUD 1945

. Pada tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor 10 yang antara lain disebutkan bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi tugas legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara.

34

Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang isinya antara lain membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan kekuatan hukum berupa Penetapan Presiden yakn

.

35

1. Pembentukan MPRS dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959. i:

2. Pembentukan DPRS dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1959.

33

H. Muhammad Ridhwan Indra, MPR Selayang Pandang, CV Haji Masagung, Jakarta, 1991, hlm. 3.

34

Budiman B Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 30.

35


(34)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

3. Pembentukan DPAS dengan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1959. Khusus untuk DPR, yang semula adalah hasil Pemilu 1955 dan terus berlangsung keanggotaannya setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. akan tetapi DPR tersebut kemudian dibubarkan oleh Presiden pada tanggal 5 Maret 1960 berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3 Tahun 1960. Dengan demikian, lembaga DPR pun menjadi kosong dalam pemerintahan RI36

Yang menjadi permasalahan adalah, pada saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembali kepada UUD 1945, undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR belum ada. Namun hal itu sudah terjawab berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi, ”Segala badan

.

Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah utusan-utusan dari daerah dan golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Kemudian keluarlah Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPRS. Dalam Pasal I ayat (1) Penpres tersebut dikatakan bahwa, “Sebelum tersusun Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, maka dibentuk MPRS yang terdiri atas anggota-anggota DPR yang dimaksud dalam Penpres Nomor 1 Tahun 1959 ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan menurut aturan-aturan perundang-undangan”.

36


(35)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”

Namun karena pembentukan MPRS harus diselenggarakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya seperti yang dimaksudkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka RUU mengenai MPRS dating dari Presiden dan diajukan kepada DPR sehingga dalam waktu yang relatif singkat akan dapat disetujui oleh DPR yang kemudian disahkan Presiden menjadi undang-undang.”

Dengan demikian, pembentukan MPRS yang harus menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, telah dapat memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Berarti pula bahwa pembentukan MPRS telah sesuai dengan UUD 1945.

B. Susunan, Kedudukan, Tugas Dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

1. Sususnan MPR

Dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 Sebelum Perubahan dikatakan bahwa, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Yang selanjutnya dalam penjelasan UUD 1945 mengenai sistem pemerintahan negara dikatakan bahwa MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia


(36)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

maksudnya ialah seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah mempunyai wakil dalam MPR37

Sesungguhnya mengenai susunan MPR ini terjadi perdebatan sejak BPUPKI tahun 1945. Dr. Sukiman mengusulkan supaya anggota MPR secara langsung dipilih oleh rakyat. Muh.Hatta menolak usul ini dan mengatakan bahwa kalau organis tidak langsung oleh karena itu jadilah rumusan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (10 uud 1945

.

38

Keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah urusan daerah dan utusan golongan, sehingga keseluruhan anggota-anggota MPR itu benar-benar diharapkan mencerminkan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. unsur anggota DPR mencerminkan prinsip demokrasi politik (political democracy) yang didasarkan atas prosedur perwakilan politik (political representation) dalam rangka menyalurkan aspirasi dan kepentingan seluruh bangsa dan negara, sedangkan utusan golongan mencerminkan prinsip demokrasi ekonomi (economic democracy) yang didasarkan atas dasar prosdur perwakilan fungsional (functional representation)

.

39

Sistem perwakilan fungsional itu dimaksudkan untuk mengatasi sistem perwakilan politik. Sementara itu, jika DPR berorientasi nasional dan untuk kepentingan bangsa dan negara, maka Utusan Daerah diharapkan untuk menjamin tidak terabaikannya kepentingan daerah-daerah. Dengan demikian, keberadaan

.

37

A.S.S. Ta,bunan, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1981, hlm. 40.

38

A.S.S. Tambunan, loc.cit. 39


(37)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

para anggota MPR ini benar-benar mencerminkan seluruh lapisan dan golongan rakyat, sehingga tepat diberi kedudukan yang tertinggi40

Untuk mengetahui perkembangan keanggotaan MPR, kita harus melihat komposisi anggota MPR sejak tahun 1945. pada awal kemerdekaan sebelum MPR dibentuk dimana fungsinya dijalankan oleh KNIP berdasarkan Presiden, dapat dilihat bahwa anggota KNIP belum jelas hal ini disebabkan karena belum adanya pengaturan mengenai KNIP tersebut. Namun pada saat anggotanya dilantik, jumlahnya 139 orang

.

41

Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1949, jumlah anggota KNIP ditambah menjadi 536 orang yang terdiri dari wakil partai politik 251 orang, wakil daerah 88 orang, wakil golongan 78 orang, wakil minoritas 10 orang dan orang ‘bebas’ sejumlah 109 orang

.

Setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1946, jumlah anggota KNIP ditegaskan sebanyak 200 orang. Hal ini terdiri dari 110 orang ditetapkan melalui Pemilu yang bertingkat, 60 orang hasil penunjukan partai politik dan 30 orang ditunjuk oleh Presiden.

42

Setelah kembali ke UUD 1945, susunan MPR pun dibenahi walaupun saat itu masih bernama MPRS. Jumlah anggota MPRS pertama adalah 566 orang terdiri dari anggota DPR hasil Pemilu 1955 272 orang, Utusan Daerah 94 orang,

.

40

Riri Nazruyah, loc.cit. 41

Ibid, hlm. 85. 42


(38)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

dan Utusan Golongan 200 orang. Namun, dengan dibentuknya DPR GR dengan anggota 283 orang, maka anggota MPRS menjadi 616 orang43

No

.

Selanjutnya, setelah Orde Baru berkuasa maka susunan keanggotaan MPR adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Susunan MPRS Menurut Unsur

Unsur 1960/1996 1966 1967 1968

1 DPR GR 281 242 350 414

2 Utusan Daerah 90 110 117 117

3 Utusan Golongan 239 190 195 297

Jumlah MPRS 616 542 663 828

Tabel II

Susunan MPR RI 1972-1977

No Unsur Banyak Wakil

1 DPR

A, Dengan pemilihan B. Dengan pengangkatan

360 kursi 100 kursi 2 Utusan dari daerah-daerah (termasuk 26

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I) 130 kursi

3 Utusan Golongan 330 kursi

Jumlah Seluruh Anggota MPR RI 920 kursi

Tabel III

Susunan MPR RI 1977-1982

DPR Tambahan

Golkar 232 PPP 99 PDI 29 Golongan Karya ABRI 75 Golongan Karya Non ABRI 25

Utusan Daerah I 34 Utusan Golongan 48 PPP 55 ABRI 31 Golkar 76

43


(39)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

PDI 10 Jumlah 460 Jumlah 460

Jumlah Seluruh Anggota MPR 920

Tabel IV

Susunan MPR RI 1982-1987

DPR Tambahan

Golkar 242 PPP 94 PDI 24 Golongan Karya ABRI 75 Golongan Karya Non ABRI 25

Utusan Daerah I 140 Utusan Golongan 52 PPP 155 ABRI 76 Golkar 29 PDI 8 Jumlah 460 Jumlah 460

Jumlah Seluruh Anggota MPR 920

Tabel V

Susunan MPR RI 1987-1992

DPR Tambahan

Golkar 299 PPP 61 PDI 40 ABRI 100

Utusan Daerah I 147 Utusan Golongan 100 PPP 51 ABRI 151 Golkar 31 PDI 20 Jumlah 500 Jumlah 500

Jumlah Seluruh Anggota MPR 1000

Tabel VI

Susunan MPR RI 1992-1997

DPR Tambahan

Golkar 282 PPP 62 PDI 56 ABRI 100

Utusan Daerah I 149 Utusan Golongan 100 PPP 50 ABRI 142 Golkar 31


(40)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

PDI 28 Jumlah 500 Jumlah 500

Jumlah Seluruh Anggota MPR 1000 2. Kedudukan MPR

Istilah kedudukan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai arti tempat pegawai (pengurus perkumpulan dan sebagainya) tinggal untuk melakukan pekerjaan dan jabatannya.

Ketika kata kedudukan dikaitkan dengan kata Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai sebuah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, maka mempunyai arti posisi MPR dengan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melakukan pekerjaan atau jabatannya.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sesungguhnya sudah jelas mencantumkan kedudukan MPR baik dalam UUD 1945 maupun penjelasan umumnya. MPR didaulat sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai supremasi. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan Penjelasan UUD 1945 bahwa kekuasaan negara tertinggi berada di tangan MPR. Hal ini dapat disimpulkan karena pada Pasal 1 ayat (2) tersebut dinyatakan:

“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Dalam Penjelasan UUD 1945 juga dikatakan:

“Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama, ‘Majelis Permusyawaratan Rakyat’, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des willens derstaatsvaolkes). Majelis Permusyawaratan Rakyat ini menetapkan Undang-Undang Dasar, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan mengangkat Kepala Negara (Presiden dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden)”.


(41)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Dari ketentuan di atas, maka MPR mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Sehingga MPR dapat membagi-bagikan sebagian kekuasaannya kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan distribution of power. Setelah MPR mendelegasikan kekuasaannya, bukan berarti MPR tak mempunyai kekuasaan lagi44

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru semua anggota MPRS diangkat Presiden. Bahkan menurut Penjelasan Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1959 menyatakan bahwa MPRS hanya berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Ini berarti bahwa Presiden telah mencampuri bahkan membatasi wewenang MPRS. Hal ini berarti, bahwa pada masa MPRS 1960-1965 bukanlah Lembaga Tertinggi Negara, tetapi suatu majelis yang berkedudukan di bawah Presiden

.

45

Menyadari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 oleh lembaga kenegaraan seperti di atas, maka MPRS masa Orde Baru telah mulai menempatkan MPRS sebagai suatu lembaga negara yang tertinggi, dengan kewenangan-kewenangan yang dapat dilaksanakan pada saat itu. MPRS telah mengangkat Pejabat Presiden seperti yang ditetapkan dengan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, mengangkat Presiden berdasarkan TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968, mencabut kekuasaan pemerintahan/ memberhentikan Sukarno dari jabatan Presiden (TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967) tentu setelah MPRS terlebih dahulu menilai pertanggungjawaban Presiden

.

46

44

Budiman B Sagala, op. cit, hlm. 80. 45

Ibid, hlm. 77. 46

Riri Nazriyah, op. cit, hlm. 79-80.


(42)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara di bawah MPRS, namun belum murni. Dikatakan tidak murni karena seluruh anggota MPRS adalah hasil pengangkatan/penunjukan Presiden sendiri. Di samping itu, DPR GR Orde Baru pernah Infuctie, tidak berfungsi karena beku, selama waktu hampir setahun.

Sedangkan dari dua kali pemilihan umum yang telah diselenggarakan di bawah UUD 1945, boleh dikatakan bahwa MPR RI (periode 1972-1977 dan periode 1977-1982) diproses dan dibentuk oleh pemilihan umum. Memang secara yuridis, MPR RI adalah hasil pemilihan umum, namun perlu diketahui bahwa hingga Pemilu 1999 masih ada anggota MPR RI hasil pengangkatan dan penunjukan Presiden. Dalam praktik ketatanegaraan masa itu pun, MPR masih merupakan lembaga yang lemah dibanding lembaga eksekutif yang posisinya lebih kuat. Karena saat itu belum pernah MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden yang diangkat, padahal MPR berwenang untuk itu47

47

Ibid, hlm. 81.

.

Dalam perjalanan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia selanjutnya, sejalan dengan keinginan untuk menjadikan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, dimana MPR RI merupakan lembaga yang superbody yang mempunyai kekuasaan tak terbatas sesuai dengan Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan:

“Oleh karena MPR memegang kedaulatan negara maka kekuasaannya tidak terbatas”.


(43)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Untuk menjalankan hal tersebut, TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara telah menentukan dan menempatkan kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara48

a. Menetapkan Undang-Undang Dasar

.

3. Tugas dan Wewenang MPR

MPR menurut UUD 1945 merupakan pemegang kekuasaan tertinggi negara. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 1 ayat (2) yang secara eksplisit menyebutkan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat.

Dalam rangka menjalankan kedaulatan rakyat tersebut, MPR mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas MPR diatur dalam Pasal 3 dan Pasal % UUD 1945 serta Pasal 3 Tap MPR No. I/MPR/1983 sebagai berikut:

b. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara

c. Memilih (dan mengangkat) Presiden dan Wakil Presiden)

Sementara itu, wewenang yang dimiliki oleh MPR menurut UUD 1945 hanya mengatur satu wewenang saja yaitu kewenangan dalam mengubah UUD yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.

Sedangkan menurut TAP MPR No. I/MPR/1983 wewenang MPR meliputi sembilan macam, yaitu49

1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden /Mandataris.

:

48

Ibid, hlm. 82. 49


(44)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan majelis.

3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.

4. Meminta Pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.

5. Mencabut mandate dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan atau Undang-Undang Dasar.

6. Mengubah Undang-Undang Dasar. 7. Menetapkan peraturan tata tertib majelis.

8. Menetapkan pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.

9. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggotanya.

C. Beberapa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Badan Perwakilan Rakyat di Negara Lain.

Sebagai bahan perbandingan, dalam kedudukan, susunan, tugas dan wewenang MPR, berikut ini penulis akan nenaparkan perbandingan MPR di Indonesia dengan badan/lembaga perwakilan yang berlaku di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina.


(45)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Amerik Serikat merupakan negara republic yang federal dengan limapuluh negara bagian. Amerika Serikat mempunyai Undang-Undang Dasar yang merupakan hukum tertulis tertua di dunia dan sering menjadi contoh bagi Undang-Undang Dasar lainnya di berbagai negara. Kekuatan UUD Amerik Serikat tersebut terletak pada sifatnya yang sederhana dan luwes. Hanya dengan 27 kali amandemen sejak abad XVIII kini UUD tersebut mampu melayani kebutuhan lebih dari 270 juta warga Amerika Serikat.

Dari segi demokrasi, Amerika Serikat dianggap sebagai negara yang paling demokratis di dunia. Sehingga negara ini juga sering dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan demokrasi. Badan legislatifnya dinamakan Konggress dan terdiri dari dua kamar yaitu Senat dan House of Representative.

Senat Amerika merupakan senat yang terdapat di dalam negara yang berbentuk federal dengan sistem presidensial dengan beranggotakan 100 orang yang berasal dari lima puluh negara bagian dimana tiap negara bagian diwakili oleh dua senator dengan pemilihan yang dilakukan secara langsung.

Sedangkan keanggotaan House of Representative (DPR-nya Amerika Serikat) juga dipilih langsung berdasarkan jumlah penduduk dari tiap negara bagian. Saat ini DPR Amerika beranggotakan 435 orang50

Menurut Arend Liphart, sebagaimana dikutip oleh Reni Dwi Purnomowati51

50

Ibid, hlm. 96-97. 51

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Raja Grafindo Presada, Jakarta, 2005, hlm. 58.

bahwa Amerika Serikat dikategorikan sebagai strongbicameralism. Dikatakan demikian karena mempunyai symmetrical


(46)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

chambers dimana kamar pertama dan kamar kedua mempunyai kekuasaan yang sama. Dan masing-masing kamar tersebut juga mempunyai legitimasi demokratis karena dipilih secara langsung. Dalam hal ini, House of Representative merupakan perwakilan politik dan Senat merupakan perwakilan negara bagian.

Jika dilihat dari segi jumlah, Senat yang hanya terdiri dari 100 orang jauh lebih kecil dari House of Representative yang berkisar 435 orang. Namun dalam hal tertentu, Senat dapat dikatakan sebagai benteng terakhir dari konstitusi. Karena Komisi Senat membawahi masalah impeach Presiden, masalah pertahanan, dan masalah yang menentukan ekonomi negara seperti Bank Sentral52

Dalam parlemen Amerika Serikat, Senat mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari House of Representative. Hal tersebut dilihat karena walaupun secara umum Senat merupakan legislatif tetapi kadang-kadang dapat menjadi badan eksekutif maupun badan yudikatif.

.

53

52

Abdy Yuhana, op. cit, hlm. 98. 53

Abdy Yuhana, loc. Cit.

Dalam bidang eksekutif, Senat dapat mengambil bagian dalam pemerintahan di negara bagian sedangkan dalam bidang yudikatif, Senat dapat mengambil bagian dalam mengadili kejahatan politik khusus dan memutus kasus-kasus sipil yang khusus.

Sementara itu, kongres diberi dominasi dan kekuasaan yang cukup besar dalam menentukan kebijakan publik bahkan lebih besar dari kekuasaan Presiden walaupun negara tersebut menganut sistem pemerintahan presidensil.


(47)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Menurut Pasal 1 Konstitusi Amerika Serikat, adapun rincian kekuasaan kongres adalah:54

a. Mengesahkan rancangan undang-undang; b. Menetapkan besar pemungutan pajak dan cukai;

c. Memberi pinjaman uang sebagai bantuan pinjaman luar negeri;

d. Mengatur perdagangan dengan luar negeri dan antara beberapa negara dan dengan suku Indian;

e. Menetpakan peraturan tentang naturalisasi; f. Mengatur pencetakan uang;

g. Menghukum pemalsuan atas jaminan uang dari negara; h. Mendirikan kantor pos beserta jaringannya;

i. Meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kesenian; j. Mendirikan pengadilan-pengadilan di bawah Mahkamah Agung;

k. Menentukan dan menghukum pembajak dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan di laut bebas, dan pelanggaran terhadap hukum bangsa-bangsa; l. Menyatakan perang, mengeluarkan surat sita jaminan dan pembalasan, serta

membuat peraturan penangkapan di darat dan di laut;

m. Membangun dan membantu angkatan perang, mengatur wilayah militer, dan menetapkan semua hukum yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan segala kekuasaannya yang telah dilimpahkan oleh konstitusi.

2. Republik Rakyat Cina

54


(48)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Repbulik Rakyat Cina adalah negara demokrasi yang menganut asas sentralisme, dan pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah melalui perwakilan yang keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum.

Menurut Pasal 57 Konstitusi RRC Tahun 1982, bahwa pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat dan juga sebagai Lembaga Tertinggi Negara adalah Kongres Rakyat Nasional.

Kongres Rakyat Nasional terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh provinsi-provinsi, daerah otonom, kotamdya yang langsung tunduk pada pemerintah pusat dan angkatan bersenjata.

Peranan Kongres Nasional dalam bentuk tugas dan kewenangan antara lain55

a. Mengubah UUD/Konstitusi. :

b. Mengawasi pelaksanaan Konstitusi.

c. Menyusun dan merevisi atau meninjau kembali undang-undang pokok tentang kejahatan, perdata sipil, susunan kenegaraan dan lain-lain.

d. Memilih presiden dan wakil presiden RRC.

e. Memutuskan pemilihan perdana menteri atas calon yang diajukan oleh Presiden RRC, memutuskan pemilihan wakil perdana menteri, dewan negara, menteri-menteri, pimpinan dalam lembaga, kepala pemeriksaan keuangan negara, sekretaris jenderal dewan negara, atas pencalonan dari perdana menteri.

55


(49)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

f. Memilih pimpinan dari angkatan perang pusat atas pencalonannya untuk anggota angkatan perang pusat.

g. Memilih Ketua Mahkamah Agung. h. Memilih Ketua Kejaksaan Agung.

i. Menilai dan menyetujui anggaran belanja negara dan laporan pelaksanaannya.

j. Menilai dan menyetujui rencana-rencana pembangunan bidang ekonomi dan sosial dan laporan pelaksanaannya.

k. Mengubah atau mencocokkan keputusan-keputusan dari Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional.

l. Menyetujui pembentukan propinsi-propinsi, daerah otonom dan kotamadya yang langsung di bawah pemerintah pusat.

m. Menentukan pembentukan Daerah Administrasi Khusus dan menentukan peraturannya (sistem) yang diterapkan.

n. Menyatakan keadaan perang dan damai, dan

o. Menjalankan tugas dan wewenang lainnya yang dianggap perlu oleh lembaga Tertinggi Negara.


(50)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

BAB III

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

A. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945

Keinginan Bangsa Indonesia untuk merdeka sebenarnya sudah ada jauh sebelum 17 Agustus 1945. Keinginan ini semakin menguat setelah usainya Perang Dunia I namun kondisi politik dunia saat itu belum stabil karena meletusnya kembali Perang Dunia II. Sementara itu, imperialisme Jepang yang dulunya dianggap sebagai saudara tua yang akan membebaskan Indonesia ternyata malah menjajah dan mengeksploitasi Indonesia.


(51)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Sekitar tahun 1945, Tentara Jepang semakin terdesak dalam Perang Asia Timur Raya. Untuk mendapat simpati dan dukungan Indonesia, kembali Jepang meluncurkan beberapa strategi misalnya lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan, Bendera Merah Putih boleh dikibarkan di samping Bendera Hinomaru Jepang, pemakaian Bahasa Indonesia dan janii akan kemerdekaan yang akan diberikan pada Bangsa Indonesia kelak. Namun politik seperti ini sebenarnya tidak tulus dari Jepang. Hal tersebut tak lain hanya untuk memobilisasi penduduk Indonesia dalam menyokong tujuan-tujuan pemerintah Jepang56

Sejalan dengan janii kemerdekaan Jepang tersebut, dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang di dalam Bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai. Salah satu tugas dari badan ini adalah untuk merumuskan rancangan undang-undang dasar untuk Indonesia Merdeka nantinya

.

57

Sebenarnya sejak awal pembuatannya, UUD 1945 sudah dimaksudkan sebagai UUD sementara untuk segera mengantarkan Indonesia ke pintu kemerdekaan. UUD 1945 dibuat karena adanya peluang untuk merdeka yang harus direbut dengan cepat dan untuk itu harus pula segera ditetapkan UUD bagi negara yang digagas sebagai negara konstitusional dan demokratis. UUD diperlukan bagi negara yang dimerdekakan itu karena para pendiri negara (founding people) Indonesia telah bersepakat untuk mendirikan negara di atas prinsip demokrasi dan hukum yang mengakui dan melindungi hak-hak azasi

.

56

Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 57-58.

57


(52)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

manusia (HAM). Pilihan seperti menuntut adanya aturan main politik yang dituangkan di dalam konstitusi sebagai kontrak sosial dan politik berdirinya negara. Maka, dibuatlah UUD 1945 melalui perdebatan BPUPKI dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang kemudian mensahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Karena dikepung oleh situasi politik yang muncul akibat berkobarnya Perang Pasifik, perdebatan tentang materi UUD belum menghasilkan kesepakatan final tentang beberapa masalah mendasar ketika harus disahkan. Namun para pendiri itu menyepakati untuk mensahkan lebih dahulu UUD 1945 sebagai UUD sementara untuk kemudian, setelah merdeka kelak, segera dibuat UUD yang lebih permanent dan bagus.

Dengan demikian, tak dapat dibantah bahwa UUD 1945 itu sejak semula memang dimaksudkan sebagai UUD interin (sementara) untuk pada waktunya harus diperbaharui oleh MPR hasil pemilu. Bahwa UUD 1945 sejak semula memang dimaksudkan untuk sementara dapat ditelusuri dari sejarah pembahasan maupun isi UUD itu sendiri yang kemudian dikonfirmasi oleh kenyataan-kenyataan politik yang menyusulnya.

Setelah tak dapat diputuskan dengan suara bulat karena banyak bagian isinya yang masih diperdebatkan pada siding PPKI, 18 Agustus 1945, Soekarno PPKI mensahkan dulu UUD 1945 sebagai UUD Sementara untuk pada saatnya diperbaiki lagi setelah keadaan memungkinkan. Bung Karno yang pada tanggal 18 Agustus 1945 sudah menjadi Ketua PPKI mengatakan:

“…Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara., …ini adalah Undang-Undang-Undang-Undang Dasar Kilat.


(53)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna.”

Dari cuplikan sejarah itu jelas bahwa UUD sejak semula memang dipadang belum baik dan masih harus diperbaiki setelah keadaan memungkinkan.

Pandangan Soekarno bahwa UUD 1945 perlu diterima untuk sementara, dan itu tak dibantah sedikitpun oleh anggota-anggota PPKI yang lain, tertuang juga di dalam UUD 1945 itu sendiri yakni di dalam Aturan Tambahan. Aturan Tambahan itu jelas memuat sikap PPKI bahwa UUD 1945 adalah UUD Interin dan karenanya PPKI memerintahkan agar setelah Perang Pasifik UUD itu dibicarakan lagi untuk kemudian ditetapkan oleh MPR. Isi Aturan Tambahan itu adalah sebagai berikut:

1. Dalam enam bulan setelah berakhirnya Peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.

2. Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

Ayat (1) Aturan Tambahan memerintahkan kepada Presiden untuk, dalam waktu enam bulan setelah Perang Pasifik, membentuk lembaga-lembaga negara dan instrument kenegaraan lainnya sesuai dengan ketentuan UUD, termasuk membentuk MPR dan DPR melalui pemilihan umum sesuai dengan prinsip demokrasi. Tafsir yang paling logisd atas perintah “menyelenggarakan segala hal” dalam ayat tersebut yang paling utama adalah menyelenggarakan pemilu sesuai


(54)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

dengan prinsip demokrasi dan semangat yang terkandung di dalam perdebatan di BPUPKI dan PPKI. Alasannya jelas, yakni ketika itu semua lembaga negara belum dapat dibentuk melalui ketentuan konstitusi sehingga harus ditetapkan secara khusus pula. Itulah sebabnya Aturan Peralihan Pasal 4 memberi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden dengan menentukan bahwa “sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasiona.” Kekuasaan yang begitu besar dan tidak normal itu menurut Aturan Tambahan ayat (1) harus diakhiri dalam waktu tertentu disertai langkah pembentukan alat-alat negara sesuai dengan ketentuan UUD.

Selanjutnya ayat (2) Aturan Tambahan secara spesifik memerintahkan agar sesudah MPR terbentuk berdasarkan pelaksanaan perintah ayat (1) maka MPR bersidang untuk menetapkan UUD. Memang “menetapkan” UUD di sini dapat saja diartikan menetapkan kembali apa yang telah diputuskan oleh PPKI, tetapi yang lebih masuk akal adalah memperbaharui. Ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, karena secara histories UUD itu diputuskan oleh PPKI dengan maksud sementara seperti yang dinyatakan oleh Soekarno tanpa bantahan dari anggota lain. Kedua, kata ‘menetapkan’ tersebut lebih tepat diartikan membahas kembali dan memperbaikinya sesuai dengan tugas dan wewenang MPR yang dicantumkan dalam Pasal 3 UUD itu sendiri yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.”


(1)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945).

b. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I Aturan Tambahan Perubahan ke IV UUD 1945).

(4) Wewenang MPR

Adapun wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam UUD 1945 bisa disimpulkan sebagai berikut:

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945.

b. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD

c. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.

3. Hal-hal yang timbul dengan dipertahankannya MPR dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

(1) Sistem Parlemen Indonesia

Dengan adanya perubahan UUD 1945, konsep kedaulatan rakyat telah mengalami perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR bukan lagi lembaga yang menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat, melainkan


(2)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

hanya sebagai lembaga negara yang terdiri dari Anggota DPR dan Anggota DPD yang semuanya dipilih melalui pemilihan umum.

Dengan ditetapkannya MPR sebagai lembaga negara menimbulkan berbagai perdebatan mengenai sistem parlemen Indonesia apakah bikameral atau trikameral.

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Institusi Tetap (Permanen).

MPR dapat dikategorikan sebagai lembaga atau institusi negara yang bersifat permanen. Alasannya adalah:

a. MPR mempunyai alat kelengkapan tersendiri yaitu pimpinan, panitia ad hoc dan badan kehormatan.

b. Masa jabatan MPR adalah lima tahun.

c. MPR memiliki tugas dan wewenang yang bersifat permanen dan rutin sekali lima tahun yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih melalui pemilihan umum presiden.

(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Sidang Bersama (Gabungan) DPR dan DPD.

Jika dilihat dari latar belakang keanggotaannya, banyak para pakar Hukum Tata Negara menyarankan agar MPR dijadikan sebagai lembaga negara non permanen. Keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota MPR dan anggota DPD tersebut dianggap tidak efisien. Karena DPR dan DPD merupakan lembaga permanen yang memiliki tugas dan kewenangannya masing-masing. Sehingga MPR yang juga bersifat permanen ini menjadi tidak efektif. Karena anggota DPR


(3)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

maupun anggota DPD memiliki kesibukan yang rutin berkenaan dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.

B. Saran.

Adapun yang menjadi saran penulis adalah:

1. Perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan tugas dan wewenang MPR yang diatur dalam Undang-Undang Dasar dan undang-undang tentang susunan dan kedudukan secara jelas. Sehingga tidak terjadi interpretasi yang berbeda-beda.

2. Seharusnya Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak menjadi lembaga yang tetap. Karena tugas dan wewenangnya telah direduksi menjadi tugas yang formal belaka. Dan wewenangnya hanya digunakan dalam beberapa kondisi tertentu yang kemungkinan terjadi hanya akibat beberapa hal tak terduga. Kecuali dalam melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sehingga nantinya anggaran yang dikeluarkan oleh negara untuk kesekretariatan Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti banyaknya pegawai yang diperlukan untuk melaksanakan tugas keseharian Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak diperlukan lagi. Karena lembaga ini berubah menjadi forum yang hanya bersidang dan melaksanakan tugas dan wewenangnya yang dilakukan pada saat tertentu.. Hal ini bisa jadi pertimbangan untuk Perubahan UUD 1945 ke depan


(4)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

KELOMPOK BUKU

Asshidiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga NegaraPasca Reformasi, Sekjen dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006.

Ashiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2004.

Boboy, Max, DPR RI dalam Perspektif Sejarah dan TatanegaraI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

Farwa, A.M, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Harahap, Krisna, Konstitusi Republik Indonesia sejak Proklamasi hingga Reformasi, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2004.

Indra, Muhammad Ridhwan, MPR Selayang Pandang, CV Haji Masagung, Jakarta, 1991..

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1984.

KC Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003. Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekjend MK RI, Jakarta, 2003,

Manan, H. Bagir, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Ypgyakarta, 2003.

Malian, Sobirin, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001

MD, Moh. Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007. Napitupulu, Paimin, Menuju Pemerintahan Perwakilan, PT Alumni, Bandung, 2007

Nazriyah, Riri, MPR RI Kajian Terhadap Produk Hukum dalam Prospek di Masa Depan, FH UII Press, Yogyakarta, 2007.


(5)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Purnomowati, Reni Dwi, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005.

Sagala, Budiman B, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghalia Indonesia, 1981.

Sanit, Arbi, Perwakilan Politik di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985. Soekanto, Sorejono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta. 1998. Soemantri M, Sri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, 1998. Sunggono, Bambang,, Metodologi Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Syahuri, Taufiqurohman Hukum Konstitusi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

Tambunan, A.S.S, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya, Pustaka Sinar Harapan, 1991

Thaib, Dahlan, Djazin Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.

Wahidin, Samsul, MPR RI dari Masa ke Masa, Bina Aksara, Jakarta, 1986.

Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media, Bandung, 2007.

KELOMPOK MAKALAH

Jimly Asshidiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah disampaikan pada Simposium Nasional yang diadakan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003.

KELOMPOK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945


(6)

Januari Sihotang : Eksistensi Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, 2008.

USU Repository © 2009

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.

KELOMPOK SURAT KABAR Harian Kompas, 11 Agustus 2004.


Dokumen yang terkait

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA MENURUT UNDANG UNDANG DASAR NEGARA RI TAHUN 1945

0 7 30

MEKANISME PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN OLEH MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

0 5 1

IMPLIKASI KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

0 10 63

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011)

0 7 104

HALAMAN JUDUL SKRIPSI Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

0 5 13

PENDAHULUAN Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

0 7 15

DAFTAR PUSTAKA Buku: Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

0 6 4

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 8

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 1

Kementerian Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79 PUU-IX 2011)

0 0 23