Peran Kepolisian Republik Indonesia Dalam Mendukung Penegakan Syariat Islam Di Propinsi Aceh

(1)

PERAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM

MENDUKUNG PENEGAKAN SYARIAT ISLAM

DI PROPINSI ACEH

T E S I S

Oleh

SYARIFAH NAYLA

087005037/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM

MENDUKUNG PENEGAKAN SYARIAT ISLAM

DI PROPINSI ACEH

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYARIFAH NAYLA

087005037/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : PERAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MENDUKUNG PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DI PROPINSI ACEH

Nama Mahasiswa : Syarifah Nayla Nomor Pokok : 087005037 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Chainur Arrasjid, SH) Ketua

(Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,DFM) Anggota

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)

D e k a n

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

ABSTRAK

Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (POLDA NAD) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakkan syariat Islam. peranan Polri dalam penegakan syariat Islam mempunyai ciri tersendiri yang membutuhkan kajian yang mendalam karena adanya sistem hukum Islam yang berdampingan dengan sistem hukum nasional secara umum yang berlaku. Keberlakuan syariat Islam yang baru dilaksanakan di Provinsi Aceh, perangkat peraturan prundang undangan (Qanun) yang masih dalam tahap awal pembangunan konstrksi hukum berdasarkan syariat Islam di Provinsi Aceh dan secara keseluruhan Struktur hukum yang harus secara bertahap di bangun berkaitan dengan penerapan syariat Islam, menyebabkan kajian terhadap peranan Polri dalam penegakan syariat Islam di NAD sangat penting untuk dijadikan pembahasan dalam tesis ini. Untuk itu penulis memilih judul dalam penelitian tesisnya adalah Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Mendukung Penegakkan Syariat Islam di Provinsi Aceh. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : (1) Bagaimana keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan Hukum Pidana Nasional; (2) Bagaimanakah kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam penegakan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh.

Penelitian mengenai Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang penegakkan syariat Islam di NAD yang dapat memberikan ketegasan kewenangan penegakan syariat Islam yang dilakukan oleh Polri

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan hukum pidana Nasional adalah hukum syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam pemberlakuan hukum pidana di Provinsi Aceh terdapat dua jenis hukum pidana yang diterapkan yakni hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana Islam yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di Provinsi Aceh. Pemberlakuan hukum pidana Islam yang ada di Provinsi Aceh itu menganut asas personalitas keislaman, artinya, qanun-qanun syari`at hanya berlaku bagi umat Islam saja. Kewenangan Kepolisian Republik meliputi Melakukan penyelidikan untuk penegakan syariat Islam sepanjang mengenai jinayah, Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci : Kepolisian Republik Indonesia, Penegakan, Syariat Islam, Provinsi Aceh


(5)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, yang telah memberikan taufiq, rahmat, hidayah dan petunjuk serta bimbingan-Nya kepada penulis sehingga tersusunlah tesis ini yang berjudul Peran Kepolisian Republik

Indonesia dalam Mendukung Penegakan Syariat Islam di Propinsi Aceh.

Penulisan tesis ini merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan program Strata-2 dan memperoleh gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan seluruh pihak secara langsung maupun tidak langsung yang selalu membantu dan membimbing penulis dalam penyelesaiannya, dengan memberikan dukungan dan sumbangsih sepenuhnya. Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini dengan segala hormat dan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTMH&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Chainur Arrasjid, SH., Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH., DFM., dan Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum., selaku pembimbing yang tanpa pamrih telah banyak membimbing, mengarahkan dan memberi motivasi serta nasihatnya yang terus-menerus kepada penulis secara materil dan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Prof. Dr. Suwarto, SH., MH., dan Dr. Utary Maharani Barus, SH., M.Hum., selaku penguji yang telah banyak memberi masukan dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.

6. Andar Perdana Widiastono, SH., MH., Asisten Intelijen pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara selaku atasan penulis yang telah memberikan waktu luang, kesempatan dan motivasi kepada penulis untuk dapat merampungkan tesis ini.

7. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Sayed Muchtar, BcTT dan ibunda Syarifah Zubaidah yang telah mencurahkan kasih sayang, doa dan dukungan yang tiada hentinya kepada penulis sehingga penulis dapat mempersembahkan tesis ini ke pangkuan mereka sebagai bingkisan kecil dari jerih payah mereka mengantarkan penulis sampai pada tingkat ini.

8. Saudara-saudara kandungku terkasih, kakanda Syarifah Tifany SH,.Mkn., abangda Sayed Reza, SE., adinda Syarifah Tiqris dan adinda Syarifah Nargis,


(7)

yang telah memberi dukungan, doa dan tenaga dalam membantu menyelesaikan tesis ini.

9. Keluarga di Palembang, Bapak H. Adam idris, SE., ibu Hj. Dra. Rusmala dewi, M.Hum., M. Reza Kurniawan, SH., dan Amalia Hasanah yang telah membantu doa dan memberi dukungan.

10. M. Taufik Akbar, SH, yang setiap saat memberikan semangat dan motivasi, masukan yang bermanfaat, dukungan moril serta doa, semoga tesis ini dapat memicu semangat beliau untuk juga dapat menyelesaikan Strata-2 nya.

11.Civitas Akademika Universitas sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis dalam proses belajar-mengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas segala bantuan yang telah diberikan, semoga Allah swt membalasnya, Amin. Dan demi kesempurnaan penulisan tesis ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.

Medan, Februari 2011 Penulis,


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Syarifah Nayla

Tempat/Tgl. Lahir : Binjai/10 Agustus 1983 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Kawin

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Pendidikan :

- Sekolah Dasar (SD) Negeri No 5, Aceh Pidie (Lulus Tahun 1996).

- Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri No 1, Aceh Pidie (Lulus Tahun 1999).

- Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Negeri No 1, Aceh Pidie (Lulus Tahun 2002).

- Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (Lulus Tahun 2007).

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (Lulus Tahun 2011).


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 11

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Landasan Konsepsional ... 21

G. Metode Penelitian ... 25


(10)

2. Metode Pendekatan ... 27

3. Lokasi ... 27

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data... 28

5. Analisis Data ... 29

BAB II : KETERKAITAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI PROVINSI ACEH DENGAN HUKUM PIDANA NASIONAL ... 31

A. Kedudukan Syariat Islam di Provinsi Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional ... 31

B. Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh ... 41

C. Kebijakan Hukum Pidana di Provinsi Aceh ... 49

BAB III : KEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA ISLAM DI PROVINSI ACEH ... 60

A. Tugas dan Kedudukan Polri Dalam Sistem Kekuasaan Negara... 60

B. Penegakkan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh ... 73

C. Dasar Hukum Pelaksanaan Peranan Polda Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam... 88

D. Peran Wilayatul Hisbah dalam Penegakkan Syariat Islam di Provinsi Aceh ... 100

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 112

A. Kesimpulan... 112

B. Saran ... 113


(11)

DAFTAR

 

ISTILAH

 

1. Pemerintahan Aceh : Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem Negara Kesatuan  Republik Indonesia berdasarkan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh  Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan  fungsi dan kewenangan masing‐masing. 

2. Kepolisian  Daerah  Nanggroe  Aceh  Darussalam  :  Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia yang bertugas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 

3. Wilayatul Hisbah : Lembaga pembantu tugas Kepolisian yang bertugas membina,  melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan  dapat berfungsi sebagai Polsus dan PPNS. 

4. Mahkamah  Syariat    Aceh  dan  Mahkamah  Syariat  Kabupaten/Kota  :  pengadilan  selaku  pelaksana  kekuasaan  kehakiman  dalam  lingkungan  peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.  5. Mahkamah : Mahkamah Syariat , Mahkamah Syariat Aceh dan Mahkamah 

Agung. 

6. Jarimah : perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam qanun  jinayat diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta’zir. 

7. Uqubat  :  hukuman  yang  dijatuhkan  oleh  hakim  terhadap  pelanggaran  jarimah. 


(12)

8. Muhtasib : anggota polisi Wilayatul Hisbah yang diangkat dan diberi wewenang  untuk melaksanakan fungsi‐fungsi polisi Wilayatul Hisbah

9. Khamar : minuman keras yang mengandung zat memabukkan. 

10. Maisir :  setiap  permainan  yang  mengandung  unsur  taruhan,  unsur  untung‐ untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, pihak yang menang akan  mendapat keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung atau  tidak langsung. 

11. Khalwat : perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua)  orang  yang  berlainan  jenis  kelamin  yang  bukan  muhrim  dan  tanpa  ikatan  perkawinan dengan maksud bersunyi‐sunyi.  

12. Ikhtilath : perbuatan bermesraan antara laki‐laki dan perempuan yang bukan suami  isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka. 

13. Zina : persetubuhan antara seorang laki‐laki dan seorang perempuan tanpa ikatan  perkawinan yang sah dengan kerelaan kedua belah pihak. 


(13)

ABSTRAK

Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (POLDA NAD) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakkan syariat Islam. peranan Polri dalam penegakan syariat Islam mempunyai ciri tersendiri yang membutuhkan kajian yang mendalam karena adanya sistem hukum Islam yang berdampingan dengan sistem hukum nasional secara umum yang berlaku. Keberlakuan syariat Islam yang baru dilaksanakan di Provinsi Aceh, perangkat peraturan prundang undangan (Qanun) yang masih dalam tahap awal pembangunan konstrksi hukum berdasarkan syariat Islam di Provinsi Aceh dan secara keseluruhan Struktur hukum yang harus secara bertahap di bangun berkaitan dengan penerapan syariat Islam, menyebabkan kajian terhadap peranan Polri dalam penegakan syariat Islam di NAD sangat penting untuk dijadikan pembahasan dalam tesis ini. Untuk itu penulis memilih judul dalam penelitian tesisnya adalah Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Mendukung Penegakkan Syariat Islam di Provinsi Aceh. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : (1) Bagaimana keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan Hukum Pidana Nasional; (2) Bagaimanakah kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam penegakan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh.

Penelitian mengenai Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang penegakkan syariat Islam di NAD yang dapat memberikan ketegasan kewenangan penegakan syariat Islam yang dilakukan oleh Polri

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan hukum pidana Nasional adalah hukum syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam pemberlakuan hukum pidana di Provinsi Aceh terdapat dua jenis hukum pidana yang diterapkan yakni hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana Islam yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di Provinsi Aceh. Pemberlakuan hukum pidana Islam yang ada di Provinsi Aceh itu menganut asas personalitas keislaman, artinya, qanun-qanun syari`at hanya berlaku bagi umat Islam saja. Kewenangan Kepolisian Republik meliputi Melakukan penyelidikan untuk penegakan syariat Islam sepanjang mengenai jinayah, Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci : Kepolisian Republik Indonesia, Penegakan, Syariat Islam, Provinsi Aceh


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terdapat falsafah dalam masyarakat Islam Aceh bahkan sampai saat ini masih tetap juga diyakini landasan kehidupan kesehariannya yang berbunyi : Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Adat ngon Hukom lagee Zat ngon Sifeut. Artinya, Adat adalah dalam masyarakat Islam Aceh yang berkembang sekarang ini adalah adat dengan syariat tidak mungkin untuk dipisah bagaikan benda senyawa yang tidak mungkin dipisahkan menjadi dua bagian.

Maksud dari falsafah di atas untuk menyatakan bahwa, dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak masa lalu yang berpedoman pada hukum, adat dan resam. Hukum adat memainkan peranan penting dalam pembentukan watak, pola fikiran dalam membuat sebuah perubahan struktur sosial dalam masyarakat Aceh. Hukum juga memberikan sebagai kontribusi ataupun penekanan pada etika moral dalam nilai-nilai Islami kehidupan seharian yang sebenar seperti salah satu cara bertarekat, agar dapat membersihkan jiwa yang telah dikotori dengan dosa pada masa lalu dan sementara aliran-aliran kebatinan.

Ada banyak sekali penelitian terhadap sejarah Hukum Islam yang sangat rumit di Aceh, tetapi versi yang disederhanakan adalah sebagai berikut. Sejak abad ketujuhbelas hingga ke masa pembentukan pengawasan administratif oleh pemerintahan penjajah Belanda pada abad kesembilanbelas akhir, pengadilan formal


(15)

dilaksanakan oleh hakim Islam (qadi), yang diangkat oleh sultan dan pejabat-pejabat lain.1 Sama seperti di belahan negeri Muslim lainnya, hukum yang berlaku

merupakan campuran dari syariat dan adat yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem menggunakan para qadi yang diangkat secara lokal terus dipakai, namun wewenang mereka secara bertahap dikurangi, dan pada waktu itu secara formal tidak ada pengadilan agama – atau setidaknya tak ada pengadilan agama yang diakui oleh pemerintahan koloni. Peradilan pidana berada di bawah wewenang pengadilan kolonial, dan Belanda berusaha untuk memindahkan penanganan kasus-kasus lain seperti persoalan tanah dan warisan, menjadi tanggung jawab dewan adat.2

Pelaksanaan hukum adat3 Aceh yang diamalkan dalam kalangan masyarakat

setempat sekarang ini, merupakan satu kesinambungan kepada hukum dan Qanun Aceh yang telah diterapkan pada masa kegemilangan kerajaan Aceh sebagai sebutan Serambi Mekah, baik adat tersebut yang berdasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan Hadist ataupun hanya berupa hukum adat yang seakan-akan bertentangan dengan syariat Islam yang disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

1

Para scholar, yang hasil kerjanya telah membawa akibat atau pengaruh berarti bagi kebijakan-kebijakan dari pemerintah koloni Belanda, yaitu Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) dan Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Spesialisasi Snouck adalah mengenai Aceh, van Vollenhoven mengenai adat. Lihat T. Lindsey, M.B. Hooker, R. Clarke, dan J. Kingsley, “Shari’a Revival in Aceh”, dalam M. Feener and M.Cammack, Law Reform in Indonesia (forthcoming, 2006).

2

Daniel Lev, Islamic Courts in Indonesia (1985), hal. 10; Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh (2003), hal. 48.

3

Hukum Adat, adalah kebiasaan, aturan dan lembaga hukum atau adat nenek moyang yang turun temurun oleh orang-orang Aceh, adat juga memperlakukan hukum agama untuk mengatur


(16)

Tiga argumentasi utama telah digunakan baik oleh orang-orang Aceh maupun non Aceh sebagai pembenaran atas pemberian hak untuk menerapkan hukum Islam secara penuh kepada Aceh, dan bukannya ke daerah lain di Indonesia yang Islamnya juga kuat, yaitu : Islam adalah identitas utama masyarakat dan kebudayaan Aceh; syariat pernah diterapkan di Aceh pada masa kesultanan, jadi ada preseden historis; Penerapan syariat telah jadi sebuah tuntutan politis dari rakyat Aceh sejak masa penjajahan, dan penolakan untuk memberikan hak menerapkan syariat kepada rakyat Aceh akan menjamin pemberontakan di Aceh akan terus berlanjut.4

Hasilnya adalah diadopsinya UU No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh – untuk yang pertama kali sejak status daerah istimewa ini diberikan tahun 1959. UU ini menghendaki diterapkannya syariat bagi pemeluk Islam, tetapi juga perlindungan bagi hubungan antar agama. UU ini mendefinisikan syariat sebagai “tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan” dan memberi wewenang kepada pejabat pemerintah setempat untuk menentukan kebijakan tentang kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama, baik melalui peraturan daerah atau keputusan gubernur.

Para pejabat Aceh yang bertanggung jawab menerapkan syariat sangat percaya bahwa jika standar moral dipulihkan dan rakyat Aceh menjadi Muslim yang

masyarakat. Ratno Lukito, Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia, Tesis M.A. Universiti McGill. 1997.

.

4

International Crisis Group Asia Report, Syariat Islam dan Peradilan Pidana di Aceh (Banda Acceh : Asia Report n°117 – 31 Juli 2006), hal. 2.


(17)

lebih baik, maka mewujudkan tujuan yang lain seperti perdamaian, rekonstruksi dan rekonsiliasi akan lebih mudah. Mereka percaya bahwa kegagalan untuk menegakkan syariat di masa lalu telah menyebabkan rakyat Aceh mengalami konflik dan bahwa konflik telah menimbulkan berbagai penyakit sosial yang mana kepatuhan yang lebih ketat terhadap Islam akan dapat membantu menyembuhkan hal itu. Mereka juga menganggap bahwa Aceh dapat menemukan jalan untuk melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai rakyat Aceh.5

Selanjutnya karena telah menerima pelaksanaan Syari`at (fiqih) di dalam bingkai negara bangsa, maka para ulama tentu harus menyusun fiqih dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan meletakkannya dalam kerangka hirarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sekarang. Lebih tegas lagi secara formal yuridis, syari`at Islam di Aceh akan dilaksanakan melalui Qanun Aceh yang oleh undang-undang ditetapkan berada langsung di bawah undang-undang.6

Dengan kata lain pemberlakuan Syari`at di Aceh sekarang ini adalah dalam kerangka pelaksanaan UUD 1945, dan hirarkis perundang-undangan Indonesia, bukan semata-mata karena perintah Allah atau perintah agama. Dengan demikian Al-qur’an dan Sunnah sebagai dalil syara’ dan di bawah itu ijtihad para ulama sebagai dasar dan landasan penulisan qanun, diletakkan di bawah undang-undang dasar,

5

Ibid, hal. 18.

6

Al Yasa` Abubakar, Islam, Hukum dan Masyarakat di Aceh Tajdid Syari`at Dalam Negara Bangsa makalah dalam First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies (NAD : Dinas Syariat Islam, 2007) , hal. 4.


(18)

setingkat dengan undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.7

Selanjutnya harus juga disebutkan, karena mengikuti hirarki tertib peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka terhadap Qanun Aceh yang memuat syari`at Islam ini dapat dilakukan uji materil oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dapat membatalkan isi sebuah qanun kalau dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian ijtihad para ulama Aceh yang telah dituangkan ke dalam Qanun Aceh dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung sekiranya mereka anggap bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Undang-Undang Dasar.8

Pada saat ini, pelaksanaan syari`at Islam di Aceh adalah amanat dan perintah paling kurang dari tiga undang-undang, yaitu :

1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh;

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan

7

Ibid. hal. 5.

8


(19)

Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.9

Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ada tiga bab yang berkaitan dengan pelaksanaan Syari`at Islam yang diletakkan secara berurutan yaitu Bab XVII Syari`at Islam dan Pelaksanaannya, Bab XVIII Mahkamah Syar`iyah, dan Bab XIX Majelis Permusyawaratan Ulama.

Mengenai keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah, serta hukum materil dan formil yang akan digunakannya ditemukan uraian (1) Peradilan Syari`at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. (2) Mahkamah Syar`iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. (3) Mahkamah Syar`iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari`at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.10

9

Penjelasan Raqan (Rancangan Qanun) tentang Jinayat bagian penjelasan umum.

10


(20)

Mengenai asas personal atau teritorial dari pemberlakukan Syari`at Islam di Aceh, ditemukan uraian, (1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah. (2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlaku hukum Jinayah. (3) Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.11

Mengenai hukum formil dalam penegakkan syariat Islam di Aceh diuraikan sebagai berikut : (1) Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar`iyah adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. (2) Sebelum Qanun Aceh tentang hukum acara pada ayat (1) dibentuk : a. hukum acara yang berlaku pada Mahkmah Syar`iyah sepanjang mengenai ahwal al syakhsiyah dan mu`amalah adalah Hukum Acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-Undang ini. b. hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar`iyah sepanjang mengenai jinayah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali diatur secara khusus dalam Uundang-undang ini.12

11

Pasal 129 UU No. 11 Tahun 2006

12


(21)

Mengenai tugas penyelidikan dan penyidikan, disebutkan, Tugas penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syari`at Islam yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar`iyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.13

Sedang mengenai manajemen organisasi dan pengembangan sumber daya manusia disebutkan, (1) Perencanaan, pengadaan, pendidikan dan pelatihan serta pembinaan teknis terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 difasilitasi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan, persyaratan dan pendidikan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.14

Mengenai pembentukan instansi penegak hukum maka Gubernur, Bupati/Walikota dalam menengakkan qanun dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dapat membentuk Satuan Polisi Pamong Praja. (2) Gubernur, Bupati/Walikota dalam menegakkan qanun syar`iyah dalam pelaksanaan syari`at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana

13

Pasal 133 UU No. 11 Tahun 2006 

14


(22)

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.15

Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas qanun dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.16

Pemberian kewenangan kepada PPNS dan SATPOL PP yang agak luas ini didasari oleh dua hal, pertama, ada keizinan dalam berbagai undang-undang bahwa penegakan hukum di luar bidang pidana umum akan dilakukan oleh polisi khusus (termasuk SATPOL PP) dan PPNS. Alasan kedua, ada prediksi dikalangan kepolisian bahwa hukum yang akan berlaku di Aceh berbeda banyak dengan aturan yang ada dalam hukum pidana yang sekarang dipakai secara nasional.17

Dalam pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh, Polri berwenang untuk menegakkan hukum beserta instansi terkait lainnya dalam rangka penerapan syariat Islam secara khafah, khususnya dalam upaya penegakkan hukumnya. Hal ini selaras dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 dan 14 UU Nomor 2 Tahun 2002Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Adapun kewenangan Polri dalam pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai penegak hukum terhadap pelaggaran syariat islam dan sebagai Koordinator

15

Pasal 244 UU No. 11 Tahun 2006

16

Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006

17


(23)

dan Pengawasan (Korwas) terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang menangani kasus pelanggaran syariat islam.18

Kewenangan Penyidik Polri terhadap PPNS adalah melakukan koordinasi dan pengawasan (Korwas) yang dalam kegiatan sehari hari dilaksanakan dalam bentuk pembinaan teknis, bantuan penyidikan dan menyelenggarakan hubungan tata cara kerja agar terjalin kerjasama yang serasi. Keberadaan PPNS sangat membantu tugas tugas kepolisian, dan keberadaan PPNS sendiri diakui secara tegas dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa : Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : (a) kepolisian khusus, (b) penyidik pegawai negeri sipil, dan (c) bentuk bentuk pengamanan swakarsa.

Ketentuan tersebut di atas juga diperkuat oleh ketentuan pasal 6 ayat (1) UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa : “Penyidik adalah (a) Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus dalam undang-undang ini.”

Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (POLDA NAD) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakkan syariat Islam. Kewenangan dan tugas penegakan syariat Islam disebutkan secara tegas dalam pasal 133 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menyatakan “Tugas Kewenangan untuk

18

Surat Keputusan Kapolri No.Pol:Skep/1205/IX/2000 tentang Buku Petunjuk Lapangan tentang Kordinasi dan Pengawasan serta Pembinaan teknis Penyidik Polri Terhadap Penyidik Pegawai


(24)

melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran syariat Islam dapat saja dilakukan oleh PPNS, karena pada akhirnya PPNS akan menyerahkan berkas perkara tersebut melalui Polri untuk dapat diteruskan ke tahap penuntutan.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 107 ayat (3) UU Nomor 8 tahun 1981 yang menyatakan bahwa : “dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyelidikan kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a.”

Berdasarkan uraian di atas, peranan Polri dalam penegakan syariat Islam mempunyai ciri tersendiri yang membutuhkan kajian yang mendalam karena adanya sistem hukum Islam yang berdampingan dengan sistem hukum nasional secara umum yang berlaku. Keberlakuan syariat Islam yang baru dilaksanakan di Provinsi Aceh, perangkat peraturan prundang undangan (Qanun) yang masih dalam tahap awal pembangunan konstrksi hukum berdasarkan syariat Islam di Provinsi Aceh dan secara keseluruhan Struktur hukum yang harus secara bertahap di bangun berkaitan dengan penerapan syariat Islam, menyebabkan kajian terhadap peranan Polri dalam penegakan syariat Islam di NAD sangat penting untuk dijadikan pembahasan dalam tesis ini. Untuk itu penulis memilih judul dalam penelitian tesisnya adalah Peran


(25)

Kepolisian Republik Indonesia dalam Mendukung Penegakkan Syariat Islam di Provinsi Aceh.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Bagaimana keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan Hukum Pidana Nasional?

2. Bagaimanakah kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam penegakan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan Hukum Pidana Nasional?

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam penegakan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh?


(26)

Ada dua kegunaan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini yaitu bersifat teoritis dan bersifat praktis.

1. Bersifat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang berkaitan peranan kepolisian dalam penegakan hukum syariat Islam yang diberlakukan di Provinsi Aceh.

2 Bersifat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan/diterapkan oleh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum syariat Islam di Provinsi Aceh, terutama dapat berguna bagi POLRI NAD dalam rangka melaksanakan tugas dalam penegakkan syariat Islam di Provinsi Aceh.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai masalah Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi Penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas asas keilmuan yaitu, jujur, rasional dan objektif serta terbuka.


(27)

1. Kerangka Teori

Penelitian ini memilih Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory karena pertimbangan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum (rechtsstaat) sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga juga karena teori negara hukum mengedepankan kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu. Hal ini merupakan sesuatu yang harus dilakukan (conditio sine quanon) mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah penguasa tidak boleh bertindak secara sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus dibatasi.19 Oleh karena itu dalam suatu negara hukum selain

terdapat persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batasan kekuasaan ini juga berubah-ubah, tergantung kepada keadaan. Namun sarana yang dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan negara senantiasa terdapat keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum.20

19

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 83.

20


(28)

Secara teoritis Konsepsi Negara Hukum yang dianut Indonesia tidak dari dimensi formal, melainkan dalam arti materil atau lazim dipergunakan terminologi Negara Kesejahteraan (welfare state) atau Negara kemakmuran.

Oleh karena itu tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun materil berdasarkan Pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki karakteristik mandiri yaitu Negara Hukum berdasarkan Pancasila.21

Pada dasarnya konsep Negara Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari doktrin Rule of law dimana dari beberapa doktrin dapat disimpulkan bahwa semua tindakan Pemerintah harus berdasarkan atas hukum dan adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia antara lain Asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan Asas Legalitas (principle of legality). Asas praduga tidak bersalah dan asas legalitas merupakan bagian dari Hukum Pidana Formil dan Hukum Pidana Materil yang merupakan Sub sistem dari Sistem Hukum Pidana. Marc Ancel menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.22 Asas

Sistem Hukum Pidana memiliki empat elemen substantif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principles), adanya

21

Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, (Bandung:Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1996), hal. 109.

22

Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London, Routledge & Kegan Paul, 1965), hal. 4-5.


(29)

norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules) dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem hukum tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini tersusun dalam rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida, bagian atas adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat.23

Walau sistem hukum pidana masih harus diciptakan, bukan berarti hal ini tidak dapat didefinisikan. Marc Ancel memberi pengertian sistem hukum pidana dalam tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :

(a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya. (b) suatu prosedur hukum pidana, dan

(c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).24

A. Mulder25 dengan tolok ukur pengertian Marc Ancel tersebut di atas juga

memberikan dimensi sistem hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk menentukan :

(a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbaharui.

(b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

(c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

23

Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 22.

24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hal 28


(30)

Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka dikenal adanya pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen) sedangkan Hukum Privat mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen). Apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi Hukum Pidana Materil (materieel

strafrecht) dan Hukum Pidana Formal (formeel strafrecht/strafprocesrecht).26

Selanjutnya ketentuan hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum (ius comune) dan Hukum Pidana Khusus (ius singulare, ius speciale atau

bijzonder strafrecht).27 Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara

umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subyeknya dan perbuatan yang khusus (bijzonderlijk feiten).

Menurut Friedman,28 ada 4 (empat) fungsi sistem hukum :

1. Fungsi Kontrol Sosial (social control) 2. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial.

25

Ibid

26

Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, (Bandung : PT. Alumni, 2007, hal. 1.

27

Ibid.

28

Lihat Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 69-70.


(31)

3. Fungsi Pemeliharaan Sosial 4. Fungsi Yuridis

Untuk dapat berfungsi sistem hukum menurut gagasan Parsons, maka ada 4 (empat) yang diselesaikan lebih dahulu, yaitu :29

1. Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan)

2. Masalah Intepretasi, (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subjek, melalui proses penerapan aturan tertentu)

3. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya)

4. Masalah yurisdiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu)

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegak hukum adalah mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame works) yang ditetapkan oleh suatu undang undang atau hukum.30

Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau disebut sarana terakhir dalam rangka menentukan perbuatan apa saja yang akan

29

H.R. Otje Salaman, Anthon F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2007), hal. 149-150.

30


(32)

dikriminilisasi dijadikan delik atau perbuatan yang apabila dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan). Sedangkan langkah kriminilasasi sendiri termasuk dalam teori kebijakan kriminal (criminal policy), yang salah satu pendapat pakar Peter G Hoefnagels mengartikan sebagai criminal policy is the rational organization of the control of crime by society yang diartikan sebagai upaya rasional dari suatu negara untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kebijakan kriminal tersebut selanjutnya diuraikan bahwa criminal policy sebagai ascince of responses, science of crime prevention, policy of designating human behavior as a crime dan rational total of responses to crime. Selain terdapat persyaratan bahwa menentukan perbuatan mana yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa perbuatan itu tercela, merugikan dan mendapat pengakuan secara kemasyarakatan bahwa ada kesepakatan untuk mengkriminalisasi dan mempertimbangkan cost and benefit principle, tetapi juga harus dipikirkan jangan sampai terjadi over criminilazation.31

Ultimum Remedium juga akan bersinggung langsung dengan tujuan pemidanaan dan antara lain menurut Cesare Beccaria Bonesana dikatakan ada dua hal yaitu untuk tujuan prevensi khusus dan prevensi umum tujuan pemidanaan hanyalah supaya si pelanggar tidak merugikan sekali lagi kepada masyarakat dan untuk membuat efek jera agar orang lain jangan melakukan hal itu. Menurut Beccaria yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat. Keyakinan bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya diterima. Namun Beccaria

31

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung : Alumni, 1984), hal. 32-32.


(33)

mengigatkan sekali lagi bahwa segala kekerasan yang melampui batas tidak perlu karena itu berarti kelainan.

Dalam menjawab hubungan antara Polda Aceh dan lembaga lainnya dalam penegakan syariat Islam di Aceh maka aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan Pidana dan harus mampu bekerjasama dalam suatu Integrated

Administration of Criminilal Justice System sehingga terjadi koordinasi yang baik.32

Sistem peradilan pidana ini mempunyai empat komponen, sebagaimana yang lazim dikenal dalam ilmu kebijakan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini biasa disebut sebagai aparat penegak hukum. Dalam perkembangannya Advokad dimasukan dalam sistem peradilan pidana.33

Romli Atmasasmita menyatakan bahwa sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan normatif, pendekatan administratif, dan pendekatan sosial.34

Institusi penegak hukum sebagai Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dapat berjalan sebagai sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan

32

Norval Morris , Introduction, dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for an Integrated Approach, (Tokyo : Seminar UNAFEI,1882), hal. 5.

33

Lihat Mahmud Mulyadi, Penanggulanagan Kejahatan Kekerasan di Indonesia, disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, hal. 48.


(34)

pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana, di samping itu adalah hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk menanggulangi kejahatannya.35

Dari uraian di atas dapat dirinci bahwa tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut :

1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2. menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyarakat merasa puas;

3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.36

Tujuan sistem peradilan pidana menurut Davies antara lain :

1. Menjaga masyarakat dengan mencegah kejahatan yang akan terjadi, dengan merehabilitasi terpidana atau orang-orang yang diperkirakan mampu melakukan kejahatan;

2. Menegakkan hukum dan respek kepada hukum dengan memastikan pembinaan yang baik kepada tersangka, terdakwa atau terpidana, mengeksekusi terpidana dan mencegah masyarakat tidak bersalah dari tuntutan hukum;

34

Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung : Bina Cipta, hal. 7-8.

35

Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Medan : USU Press, 2009), hal. 39.

36


(35)

3. Menjaga hukum dan ketertiban;

4. Menghukum pelanggar kejahatan sesuai dengan prinsip keadilan. 5. Membantu korban kejahatan.37

Fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Sebagai usaha pemberian perlindungan kepada masyarakat, maka polisi melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian informasi yang luas tentang kejahatan di lingkungan tempat tinggal masyarakat, melakukan pendidikan tentang tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pencegahan kejahatan dan pemberian informasi terkini tentang upaya penanggulangan kejahatan dengan melakukan pengamanan swadaya masyarakat. Selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku kejahatan dnegan mengajukannya ke proses penuntutan di pengadilan.38

2. Landasan Konsepsional

a. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara RI atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenagan khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan.39

b. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya

37

Ibid.

38

Ibid, hal. 41.

39


(36)

ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.40 Sebagai sistem hukum, ia memiliki beberapa istilah

kunci yang perlu untuk dipahami terlebih dahulu yaitu : 1) Hukum

Peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.

2) Hukum dan ahkam

Hukum artinya norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di lapangan muamalah yaitu jaiz atau mubah, sunnat, makruh, wajib dan haram.

3) Syariah atau syariat

40

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 38.


(37)

Secara harfiah syariat yaitu jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup muslim. Syariat memuat ketetapan Allah dan ketentuan rasulnya baik berupa larangan maupun berupa suruhan meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.

c. Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang

diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari hadd = batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.

d. Penegakan hukum (law enforcemen Menurut Black’s Law Dictionary), diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or command”. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process).


(38)

Selain itu dalam Black’s Law Dictionary, dengan editor Bryan A. Garner menerjemahkan penegakan hukum sebagai pertama; The detection and punishment of violations of the law. The term is not limited to the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of Information Act contains an exemption for law-enforcement purposes and furnished in confidence. That exemption is valid for the enforcement of a variety of noncriminal laws (such as national-security laws) as well as criminal laws. Kedua; Criminal justice. Ketiga; Police officers and other members of the executive branch of government charged with carrying out and enforcing the criminal law.

Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan

hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.

Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut.


(39)

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.41

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi penegakan hukum, adalah : 1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

41


(40)

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian mengenai Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif meliputi :

(1) Penelitian terhadap asas-asas hukum (2) Penelitian terhadap sistematik hukum

(3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal (4) Perbandingan hukum

(5) Sejarah hukum.42

Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang penegakkan syariat Islam di NAD yang dapat memberikan ketegasan kewenangan penegakan syariat Islam yang dilakukan oleh Polri.

Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer.

Data sekunder yang diteliti terdiri atas :

42

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hal. 14.


(41)

1. Bahan hukum primer43 yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain

berupa :

(a) Peraturan Perundang-undangan atau Qanun yang berhubungan dengan kewenangan Polri dalam penegakan syariat Islam di Provinsi Aceh .

(b) Putusan-putusan pengadilan atau yurisprudensi

(c) Bahan hukum yang hingga kini masih berlaku seperti KUHPidana, KUHPerdata.

2. Badan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa :

(a) Tulisan atau pendapat pakar hukum pidana mengenai kewenagan penyidikan dari Polri

(b) Tulisan atau pendapat pakar hukum pidana mengenai pelaksanaan syariat Islam dan kebijakan Polri dalam penyidikan tindak pidana yang diatur dalam syariat Islam (Jinayat)

3. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai badan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti :

(a) Kamus besar bahasa Indonesia (b) Ensiklopedi Indonesia

(c) Berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan syariat Islam.44

43

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1984), hal. 52.

44


(42)

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan yuridis normative, karena mengutamakan tinjauan dari segi peraturan hukum yang menyangkut peranan Polri dalam penegakkan hukum. Metode pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan pertimbangan titik tolak penelitian adalah analisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kewenangan Polri dalam penyidikan pelanggaran syariat Islam di NAD.

3. Lokasi

Wilayah penelitian Provinsi Aceh, namun di fokuskan pada lembaga penegak hukum POLRI.

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka dilakukan penelitian kepustakaan.

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, baik yang berupa badan hukum primer, badan hukum sekunder maupun badan hukum tertier. Sesuai dengan tipologi penelitian hukum normatif, data sekunder dengan bahan hukum dimaksud merupakan bahan utama dalam penelitian ini.


(43)

Penelitian yang berkaitan dengan pendekatan yuridis normatif dimulai langkah awal adalah melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan qanun di bidang ketentuan syariat Islam di Provinsi Aceh serta peraturan-peraturan lainnya.

Usaha untuk memperoleh peraturan perundang-undangan dan qanun dalam pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Aceh bahan hukum primer tersebut didukung dengan penelaahan terlebih dahulu terhadap bahan hukum sekunder, berupa tulisan para ahli mengenai masalah syariat Islam di Provinsi Aceh. Cara tersebut ditunjang pula dengan bahan hukum tertier.

Setelah inventarisasi peraturan perundang-undangan selesai dilakukan, kemudian dibuat intisari dari setiap peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Hal ini untuk mempermudah analisis serta pembuatan laporan penelitian.

5. Analisis Data

Analisa data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.45

Analisa data yang akan dilakukan secara kualitatif.46 Kegiatan ini diharapkan

45

Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. Lexy Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280.

46


(44)

akan dapat memudahkan penulis dalam menganalisa permasalahan yang diajukan, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis dengan cara kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan dan Qanun dalam penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh. Data tersebut kemudian dianalisis secara juridis, historis dan komparatif untuk memperoleh gambaran mengenai peraturan perundang-undangan dan Qanun yang akan menjelaskan kewenangan dan peran Polri dalam penegakan syariat Islam di Provinsi Aceh.


(45)

BAB II

KETERKAITAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM

DI PROVINSI ACEH DENGAN HUKUM PIDANA NASIONAL

A. Kedudukan Syariat Islam Di Provinsi Aceh dalam Sistem Hukum Nasional Dalam perspektif teori sistem hukum menyangkut tiga elemen, yaitu substansi hukum, struktur dan budaya hukum (sistem hukum/legal system), Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).

Aspek struktur (structure) oleh Friedman dirumuskan sebagai berikut :

“The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts; their yurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what procedures the police department

follows, and so on.”47

Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance). Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut :

“By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system.This is, first of all, “the law” in the popular sense of the term – the fact that

47

Lawrence M. Friedman, American Law, (New York, London : WW Norton Company, 1984), hal. 5.


(46)

the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that ‘by

law’ a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar.”48

Friedman mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai “hukum” itulah substansi hukum.

Selanjutnya, Friedman mengartikan budaya hukum sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan, serta harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisannya, Friedman merumuskannya sebagai berikut :

“By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system their beliefs, values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture which concerns the legal system.”

Untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut, Friedman dengan jelas sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem hukum sebagai suatu “proses produksi” dengan menempatkan mesin sebagai “struktur”, kemudian produk yang dihasilkan sebagai “substansi hukum”, sedangkan bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen “budaya hukum”.

Dalam bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut sebagai berikut :

48


(47)

“Another way to visualize the three elements of law is to imagine legal “structure” as a kind of machine. “Substance” is what the machine manufactures or does. The “legal culture” is whatever or whoever decides to turn the machine on and off, and

determines how it will be used.”49

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat satu kesatuan sistem hukum yang jenis dan hierarkinya dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Jenis dan hirarkhi yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.

Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan daerah meliputi peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, dan peraturan desa/peraturan setingkat. Ketentuan lain yang berkaitan dengan hirarki peraturan perundang-undangan adalah ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang menyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini mengandung makna susunan norma yang ada mengikuti

49


(48)

teori Hans Kelsen yang dikenal dengan Stufenbau theorie. Stufenbau theorie mengatakan bahwa norma dalam suatu negara sesungguhnya berjenjang, norma yang di bawah bersumber kepada norma yang di atas dan norma yang di atas bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang tidak bersumber lagi.50

Susunan norma yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga menggambarkan adanya peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Peraturan tingkat pusat seperti undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden. Peraturan perundang-undangan tingkat pusat pada dasarnya mengatur kehidupan rakyat dalam konteks nasional, yang berlaku untuk seluruh warga negara Republik Indonesia. Sedangkan peraturan perundang-undangan tingkat daerah, seperti peraturan daerah, substansinya mengatur kehidupan rakyat pada daerah yang bersangkutan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip adanya kesatuan sistem hukum.

Walaupun sudah ada norma hukum dan mempunyai sifat memaksa, namun belum ada jaminan bahwa norma hukum tersebut ditaati oleh masyarakat. Agar norma-norma tersebut ditaati diadakan ancaman hukuman, yaitu hukuman perdata, hukuman administrasi, dan/atau hukuman pidana untuk norma-norma hukum yang bersangkutan.

50

Hans Kelsen dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 25.


(49)

Pelaku (subyek) dan tingkah laku yang dirumuskan (norma) serta ancaman hukuman (sanksi) disebut sebagai hukum materiil. Sedangkan untuk dapat melaksanakan ancaman hukuman, diadakan ketentuan yang mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum materiil yang disebut sebagai hukum formil.51 Norma hukum formil bukan mengatur

tingkah laku yang terlarang/diharuskan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan peradilan dan acaranya.

Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Mahaesa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap memberikan tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan ajaran agama.52 Dengan demikian

pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh terhadap Hukum

51

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni Ahaem – Petehaem, 1989), hal. 10-11.

52

Bagi pengamat semisal Boland (1982), ia mencermati bahwa Indonesia adalah sebagai negara yang unik, Indonesia ditempatkan sebagai suatu negara yang bukan sekuler, dan bukan pula negara teokrasi, tetapi menciptakan konfergensi, di mana Indonesia dinyatakan sebagai Negara Demokrasi Pancasila., Bagi Fachry Ali dan Bahtiar Efendi memandang bahwa ini adalah bentuk kekalahan kelompok Islamis yang mereka nilai sebagai kurang mampu meyakinkan pihak Nasionalis., Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik ORBA, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), hal. 156-157.


(50)

Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen bangsa dimana pun mereka berada dengan tanpa kecuali.

Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dalam penyelenggaraan pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kebijakan desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah diatur dalam pasal 18 A ayat (1) dan (2) sebagai berikut :

1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.


(51)

2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut :

1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan dapat melaksanakan dengan :

a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui asas dekonsentrasi;

b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui asas desentralisasi;

c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa meialui asas tugas pembantuan; dan

d. melaksanakan sendiri.

2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh perangkat daerah. Anggota DPRD dipilih melalui proses pemilihan umum, dan kepala daerah dipilih melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kedua lembaga tersebut diberi mandat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.


(52)

3. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah memiliki hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dengan pemerintah pusat.

4. Dalam melaksanakan hubungan tersebut Pemerintah melaksanakan fungsi pembinaan yang salah satu wujudnya dengan menetapkan norma, standar, kriteria dan prosedur; fasilitasi; supervisi; serta monitoring dan evaluasi agar otonomi daerah senantiasa dilaksanakan oleh pemerintahan daerah sesuai dengan tujuannya. Sebaliknya pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta melaksanakan otonomi daerah berdasarkan standar, norma, kriteria, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal ini maka pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan sub-ordinasi Pemerintah.

5. Kesimpulannya, walaupun Pemerintah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah, pemerintahan daerah tetap merupakan sub-ordinasi Pemerintah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Republik Indonesia.

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa


(53)

terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiiiki ketahanan yang tinggi.

Berlakunya syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara kaffah merupakan dambaan masyarakat Aceh sejak lama dan telah diperjuangkan selama puluhan tahun ke Pemerintah Pusat di Jakarta, namun hal ini secara formil baru terlaksana dan diakui oleh Negara sejak disahkannya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999.53 Selanjutnya Disahkan pula UU No. 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini mengamanatkan pelaksanaan syariat islam di bumi Aceh secara kaffah. Oleh karena itu keberadaan kedua undang-undang ini juga merupakan momen penting dalam rangka menjadikan hukum islam sebagai hukum positif yang hidup dalam masyarakat Aceh secara menyeluruh.54

Penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pelaksanaan syariat Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang telah diatur melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, dalam Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat. Daerah mengembangkan dan mengatur

53

Ibrahim, Armia, Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, (Banda Aceh : Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2009) hal.45.


(54)

penyelenggaraan kehidupan beragama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang melahirkan Qanun sebagai produk hukum daerah yang sama dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia yang dapat melahirkan Peraturan Daerah. Ini merupakan bagian dari Keistimewaan Aceh dan juga sebagai pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan.

Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi Penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam dilakukan secara menyeluruh secara kaffah. Artinya seluruh dimensi kehidupan masyarakat mendapat pengaturan dari hukum syariat Islam. Maka hukum yang di berlakukan di Aceh adalah hukum yang bersumber pada ajaran agama Islam yaitu ajaran syariat Islam yang selanjutnya di implementasikan dalam Qanun.

Penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum dapat terlaksana dengan baik. Terjadi bencana

alam gempa bumi dan tsunami di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah

Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh berkelanjutan dan

54

Syahrizal Abbas, Kontekstualitas Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh : Arraniry Press, 2003), hal. X.


(55)

bermartabat dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.55 Berdasarkan

kesepakatai damai antar pihak GAM dengan Pemerintahan Republik Indonesia maka lahirlah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.

Kerukunan antar umat beragama bagi non muslim yang tinggal Aceh tetap dihormati dan dilindungi sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 19945 bahwa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Kata menjamin jelas bermakna imperative. Artinya Negara berkewajiban melakukan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan Negara disini adalah memberikan jaminan bagaimana penduduk dapat memeluk dan menjalankan agamanya.56

Negara dan pemerintahan daerah sangat berperan untuk terlaksananya syariat Islam di Aceh. Berdasarkan konstitusi UUD 1945 yang mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Salah satu keistimewaan Aceh adalah pelaksanaan syariat Islam yang merupakan pandangan hidup masyarakat Aceh dikenal sebagai komunitas yang taat dan fanatis terhadap

55

Konsideran Menimbang Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

56

Hartono Mardjono,”Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Bandung : Mizan. 1997), hal. 29.


(56)

syariat Islam dan telah menjadikan norma agama sebagai standar untuk mengukur apakah suatu perbuatan sesuai atau tidak sesuai dengan syariat.

B. Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh .

Syahrizal Abbas mengungkapkan dalam membuat sebuah qanun syariat Islam yang bersifat responsif maka dibutuhkan beberapa langkah nyata yaitu Materi qanun yang dirumuskan bukan hanya memiliki akses terhadap teks eksplisit alquran dan assunnah, namun perlu diselami secara lebih mendalam hakikat keberadaan teks tersebut bagi manusia. Pemahaman terhadap hakikat keberadaan teks akan menemukan ruh syariah (nilai filosofis);

a. Penemuan ruh syariah bukan hanya membutuhkan kajian filsafat hukum islam, tetapi juga membutuhkan kajian sosiologis dimana pemahaman pemahaman terhadap kondisi masyarakat ketika teks lahir akan sangat berarti;

b. Pendekatan tematis bukan hanya bertumpu pada ayat atau hadis yang berbicara tentang tema yang sama, tetapi perlu juga dilihat pemahaman tema tersebut;

c. Semangat sosiologis yang dibangun alquran dalam hukumnya perlu mendapat perenungan. Karena banyak praktek dan tradisi telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat;

d. Kerangka di atas akan bekerja bila tingkat pendidikan masyarakat dan sosialisasi qanun dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik sehingga keberadaan qanun syariat islam benar-benar dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.57

57

Abbas dalam buku Aceh Madani Dalam Wacana, Format Ideal Implementasi Syariat Islam di Aceh, editor: Saifuddin Bantasyam dan Muhammad Siddiq, (Banda Aceh : Aceh Justice Resource Centre, 2009), hal. 64.


(57)

Pasal 125 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 merinci ruang lingkup qanun syariah yang terdiri dari :

1. Bidang ibadah;

2. Bidang akhwal al-syakhshiyah (Hukum Keluarga); 3. Bidang muamalah (Hukum Perdata);

4. Bidang jinayah (Hukum Pidana); 5. Bidang qadla’ (Peradilan); 6. Bidang tarbiyah (Pendidikan);

7. Bidang dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.

Sampai saat in telah diatur beberapa Qanun tentang penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh. Berikut inventarisasi Qanun Provinsi Aceh dalam rangka penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh , yaitu :

1. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam;

2. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam;

3. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam;

4. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya;


(58)

5. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian);

6. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum);

7. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat;

8. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun 9. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal;

10. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat;

11. Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.

Pada tanggal 14 September 2009 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan 5 (lima) Rancangan Qanun Aceh :

1. Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat. 2. Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat. 3. Qanun Aceh tentang Penanaman Modal. 4. Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe, dan 5. Qanun Aceh tentang Perlindungan Perempuan.

Namun sampai saat ini qanun jinayat dan hukum acara jinayat masih belum disahkan oleh Pemerintah Provinsi Aceh, karena itu ketentuan qanun jinayat dan


(1)

masyarakat, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Abbas, Aceh Madani Dalam Wacana, Format Ideal Imlementasi Syariat Islam di Aceh, Banda Aceh : Justice Resource Centre, 2009.

Abbas, Syahrizal, Kontekstualitas Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh : Arraniry Press, 2003.

Abidin Ahmad, Zainal, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Al-Ghazali, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

Abubakar, Al Yasa, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam), Banda Aceh : Dinas Syariat Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, 2005.

Abubakar, Al Yasa, Islam, Hukum dan Masyarakat di Aceh Tajdid Syari`at Dalam Negara Bangsa makalah dalam First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies Dinas Syariat Islam NAD, 2007

Abubakar, Al Yasa, Syari`at Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Paradigma Kebijakan dan Kegiatan, Banda Aceh : Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, 2005.

Amanwinata, Rukmana, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996.

Amir, Abdul Aziz, Al-Ta`zir fi al-Syari`at al-Islamiyah, Kairo : Dar al-Fikri al-`Arabi, 1976.

Ancel, Marc, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, London : Routledge & Kegan Paul, 1965.

Armia, Ibrahim, Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Banda Aceh : Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nad, 2009.

Asshiddiqie, Jimly, Judul : Hukum Islam diantara Agenda Reformasi Hukum Nasional, dalam Departemen Agama RI., Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta : Al Hikmah & Ditbinbapera Islam Depag RI., 2001.


(3)

Blue Print Kepolisian NAD 2008, Kepolisian Daerah NAD, 2008 Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1991.

Bungin, Burhan, Analisis Data Penelitian Kualitatif ; Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta : Rajawali Pers, 2003.

Cambell Black, Henry, Black’s Law Dictionary with the Pronounciation, fith edition, USA : West Publishing & Co, 1979.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan dan Penerapan KUHAP Jilid 1, Jakarta : Pustaka Kartini, 1988.

Hardi, Daerah Istimewa Aceh, Latar Belakang Politik dan Masa Depannya, Jakarta : PT Cita Panca Serangkai, 1993.

International Crisis Group Asia Report Syariat Islam dan Peradilan Pidana di Aceh Asia Report No. 117 – 31 Juli 2006.

Iqbal, Muhammad, Sisayah, Fiqh : Konstektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001

Kelana, Momo, Hukum Kepolisian (Perkembangan di Indonesia) Suatu Studi Historis Komparatif, Jakarta : PTIK, 1972.

Kelana, Momo, Hukum Kepolisian, Edisi ketiga, Jakarta : PTIK, 1984.

Kelsen, Hans dalam Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Suatu Pengantar, Yogyakarta : Kanisius, 1997.

Lev, Daniel, Islamic Courts in Indonesia, 1985.

Lukito, Ratno. Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia.” Tesis M.A. Universiti McGill. 1997.

M. Friedman, Lawrence, American Law, WW Norton Company, New York, London, 1984.

M. Hadjon, Philipus, Seri Hukum Kepolisian Polri dan Good Governance, Surabaya : Laksbang Mediatama, 2008.

Mardjono, Hartono, ”Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan”, Bandung : Mizan, 1997.


(4)

Meliala, Adrianus, Jakarta : Partnership, 2005.

Moh, MD, Mahfud, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta : Gama Media, 1999.

Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.

Mulyadi, Lilik, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Bandung : PT. Alumni, 2007.

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Bandung : PT Alumni, 2007.

Mulyadi, Mahmud, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, Medan : USU Pres, 2009.

Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Jakarta : Penerbit Kristen, 1967.

Projodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat, 1989.

Projodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat, 1989.

Qardhawi, Yusuf, Masyarakat Berbasis Syariat Islam, Hukum, Perekonomian, Perempuan, alih Bahasa : Abbus salam Masykur, Solo : Era Intermedia, 2003.

R. Tambunan Pr, Frietz, dalam, Dinas Syari`at Islam Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Syari`at di Wilayah Syari`at Pernik-Pernik Islam di Nangroe Aceh Darussalam, Fairus M. Nur Ibr. (Ed.), Banda Aceh : Yayasan Ulul Arham, 2002

Reksodipoetro, Mardjono, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-batas Toleransi”, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993.


(5)

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Penerbit Alumni Ahaem – Petehaem, 1989.

Sadjono, Seri hukum Kepolisian Polri dan Good Governace, Surabaya : Laksbang Mediatama, 2008.

Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta : Universitas Indonesia, 1976.

Soemantri M, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni, 1992.

Soemantri M, Sri, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta : Sinar Harapan, 1993.

Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004

Sunaryo, Sidik, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang : UMM Press, 2004.

T. Lindsey, M.B. Hooker, R. Clarke, dan J. Kingsley, “Shari’a Revival in Aceh”, dalam M. Feener and M.Cammack, Law Reform in Indonesia, Forthcoming, 2006.

Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik ORBA, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.

Thaib, Dahlan, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, Edisi Revisi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Balai Pustaka, Jakarta, Edisi Kedua, 1991.

Tohjiwa, Gde Yasa, Catatan Kritis, Jakarta : Gramedia, 1996.

Untung S Rajab, Kedudukan dan Fungsi Polisi RI dalam Sistem Ketatanegaraan, Bandung : CV. Utomo, 2003.

Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung : FMPM Unpad, 1960


(6)

136

Wahid, Abdul, Hukum, Suksesi dan Arogansi kekuasaan, Bandung : Tarsito, 1994.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04.UM.01.06 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara.

Peraturan Gubernur Provinsi Nanggore Aceh Darusalam Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Uqubat Cambuk.

Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (Perjudian).

Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat (Musum).

Surat Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Acah Darussalam Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayahtul Hisbah. Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/1205/IX/2000 tentang Buku Petunjuk

Lapangan tentang Kordinasi dan Pengawasan serta Pembinaan Teknis Penyidik Polri Terhadap Penidik Pegawai Negeri Sipil.

Rancangan Qanun Aceh Tentang Kompilasi Hukum Jinayah Aceh Tahun 2008.

C. INTERNET

http://www.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2027069-pengertian-sistem peradilan-pidana/