DISKREPANSI PELAKSANAAN KOMPETENSI SUPER. pdf

DISKREPANSI PELAKSANAAN KOMPETENSI SUPERVISI AKADEMIS
KEPALA SEKOLAH DITINJAU DARI PERMENDIKNAS RI NOMOR 13
DAN 41 TAHUN 2007 DI SD GUGUS 7 KECAMATAN KUBUTAMBAHAN
I Gede Artamayasa1, Anak Agung Gede Agung2, I Gusti Ketut Arya Sunu3
123
Program Studi Administrasi Pendidikan, Program Pascasarjana,
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
Pos-el: gede.artamayasa@pasca.undiksha.ac.id1, gede.agung@pasca.undiksha.ac.id2,
arya.sunu@pasca.undiksha.ac.id3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur diskrepansi pelaksanaan kompetensi supervisi
akademis kepala sekolah ditinjau dari Permendiknas RI No. 13 dan 41 tahun 2007 pada dimensi
perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut, dan keseluruhan akibat rendahnya kompetensi kepala sekolah.
Penelitian ini diadakan di SD Gugus 7 Kecamatan Kubutambahan menggunakan pendekatan ex-post
facto dan penelitian evaluatif dengan teknik purposive sampling, sehingga didapatkan sampel sejumlah
41 orang guru. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, kuesioner, dan wawancara. Analisis data
yang digunakan yaitu uji tanda Wilcoxon. Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) terjadi diskrepansi
kecil pada dimensi kompetensi perencanaan dengan skor 68,93% dan besar beda 31,07% bertanda
negatif (-), (2) terjadi diskrepansi kecil pada dimensi kompetensi pelaksanaan dengan skor 70,55% dan
besar beda 29,45% bertanda negatif (-), (3) terjadi diskrepansi kecil pada dimensi kompetensi tindak

lanjut dengan skor 67,02% dan besar beda 32,98% bertanda negatif (-), (4) terjadi diskrepansi kecil
pada keseluruhan dimensi kompetensi dengan skor 70,17% dan besar beda 29,83% bertanda negatif
(-), supervisi akademis kepala sekolah ditinjau dari Permendiknas RI No. 13 dan 41 Tahun 2007 di SD
Gugus 7 Kubutambahan.
Kata-kata kunci:

diskrepansi, kompetensi supervisi akademis kepala sekolah

DISCREPANCY OF HEADMASTER ACADEMIC COMPETENCY
IMPLEMENTATION VIEWED FROM PERMENDIKNAS RI NOMOR 13
DAN 41 TAHUN 2007 AT ELEMENTARY SCHOOLS OF GUGUS 7
KUBUTAMBAHAN DISTRICT
Abstract
The study aimed at finding out the value of discrepancy or gap occurred on the implementation
of headmaster academic supervision competency at planning, implementation, follow-up, all aspects of
dimension viewed from Permendiknas RI No. 13 and 41 Tahun 2017 as the consequence of the lower
headmaster competency. The study was conducted at elementary schools of Gugus 7 Kubutambahan
District by utilizing an ex-post facto and evaluative design with purposive sampling technique involving 41
teachers as the sample. All data were obtained by using observation, questionnaires, and interviews.
Wilcoxon Sign-test was used to analyze the data. The results of data analysis shown that (1) there was a

small category of discrepancy at headmaster academic supervision planning competency, the gain score
was 68.93% with 31.07% as the discrepancy that had negative (-) sign, (2) there was a small category of
discrepancy at headmaster academic supervision implementation competency, the gain score was
70.55% with 29.45% as the discrepancy that had negative (-) sign, (3) there was a small category of
discrepancy at headmaster academic supervision follow-up competency, the gain score was 67.02% with
32.98% as the discrepancy that had negative (-) sign, (4) there was a small category of discrepancy at
headmaster academic supervision competency, the gain score was 70.17% with 29.83% as the
discrepancy that had negative (-) sign, of the elementary schools at Gugus 7 Kubutambahan District.
Key-words: discrepancy, headmaster academic supervision competency

PENDAHULUAN
Amanat Undang-Undang RI Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) menyatakan bahwa
pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana dalam proses pembelajaran aktif
agar peserta didik memiliki kompetensi
spiritual, kepribadian, pengetahuan, sosial
dan keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat,

bangsa,
dan
negara.
Ditambahkan pula bahwa pendidikan
berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Pelaksanaan pendidikan diharapkan
mampu memberikan kontribusi positif
terhadap kemajuan bangsa dan negara
yang tumbuh mulai dari individu setiap

peserta didik yang terlibat dalam proses
pendidikan itu sendiri. Peserta didik yang
telah mampu mengembangkan kompetensi
seperti tersebut di atas tentu akan memiliki
kecerdasan insani yang komprehensif dan
siap menghadapi segala tantangan masa
depan.
Pemerintah selalu mengupayakan
pelaksanaan pendidikan bisa berjalan
sesuai rencana yang telah digariskan.
Melalui
Undang-Undang
Sisdiknas
dipaparkan arah kebijakan pemerintah
dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia
meliputi: (1) mengupayakan perluasan dan
pemerataan
kesempatan
memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi bagi

seluruh
rakyat
Indonesia
menuju
terciptanya manusia Indonesia berkualitas
tinggi dengan peningkatan anggaran
pendidikan, (2) meningkatkan kemampuan
akademik
dan
profesional
serta
meningkatkan
jaminan
kesejahteraan
tenaga kependidikan sehingga tenaga
pendidik mampu berfungsi secara optimal
terutama dalam peningkatan pendidikan
watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan
tenaga kependidikan, (3) melakukan

pembaharuan kurikulum, berupa

diversifikasi kurikulum untuk melayani
keberagaman peserta didik, penyusunan
kurikulum yang berlaku nasional dan lokal
sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara
profesional, (4) memberdayakan lembaga
pendidikan baik sekolah maupun luar
sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap,
dan
kemampuan,
serta
meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung oleh sarana dan
prasarana
memadai,
(5)
melakukan

pembaharuan dan pemantapan sistem
pendidikan nasional berdasarkan prinsip
desentralisasi, otonomi keilmuan dan
manajemen, (6) meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang diselenggarakan
baik oleh masyarakat maupun pemerintah
untuk menetapkan sistem pendidikan yang
efektif dan efisien dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni, dan (7) mengembangkan kualitas
sumber daya manusia sedini mungkin
secara terarah, dan menyeluruh melalui
berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh
seluruh komponen bangsa agar generasi
muda dapat berkembang secara optimal
disertai dengan dukungan dan sesuai
dengan potensinya.
Peran guru dalam pelaksanaan
pendidikan nasional sangatlah krusial. Guru
berinteraksi langsung dengan peserta didik

dalam proses pembelajaran di kelas dan di
luar kelas. Guru secara profesional
berusaha
melaksanakan
dan
mengembangkan proses pendidikan pada
unit terkecil di suatu satuan pendidikan.
Mulai dari penyusunan perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, refleksi dan tindak
lanjut pembelajaran di kelas. Semua
perencanaan dan hasil capaian prestasi
guru dalam melaksanakan tugas dan fungsi
pokok guru disarikan dalam bentuk kinerja
guru.
Kinerja guru hanya tercapai jika
guru dimaksud memiliki kualifikasi dan
kompetensi tertentu, seperti yang tercantum
dalam Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru menyatakan bahwa

setiap guru wajib memenuhi standar
kualifikasi akademik dan kompetensi guru
yang berlaku secara nasional.

Kompetensi
kepribadian
pada
dasarnya adalah sikap kepribadian yang
mantap, pantas diteladani dan mampu
melaksanakan kepemimpinan sehingga
menjadi sumber intensifikasi bagi subjek/
siswa (Agung dkk, 2011:42). Ditambahkan
pula
oleh
Suparno
(2004)
bahwa
kompetensi kepribadian atau personal
mencakup aktualisasi diri, kepribadian utuh,
berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman,

bermoral,
peka,
objektif,
luwes,
berwawasan luas, kreatif, kritis, reflektif,
belajar
sepanjang
hayat,
mengikuti
perubahan, komitmen tinggi, disiplin,
berpenampilan menarik, dan sebagai sosok
guru yang menjadi teladan siswa dan
masyarakat.
Kompetensi
sosial
adalah
kemampuan guru dalam berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efesien
dengan peserta didik, sesama guru, orang
tua/wali peserta didik, dan masyarakat

sekitar (UU No. 14 Tahun 2005). Agung dkk
(2011:74) menyatakan bahwa kompetensi
sosial sebagai kemampuan seorang guru
dalam berkomunikasi, bergaul, bekerja
sama, dan melayani orang lain. Agung dkk
(2011) juga menjelaskan ada lima indikator
kompetensi sosial guru meliputi: 1) interaksi
guru dengan siswa, 2) interaksi guru
dengan kepala sekolah, 3) interaksi guru
dengan rekan kerja/ guru lain, 4) interaksi
guru dengan orang tua, 5) interaksi guru
dengan masyarakat.
Kompetensi profesional seorang
guru diartikan sebagai kemampuan guru
dalam
melaksanakan
tugas
profesi
keguruan dengan penuh tanggung jawab
dan dedikasi tinggi dengan sarana
penunjang berupa bekal pengetahuan yang
dimilikinya (Agung dkk, 2011:62).
Keempat kompetensi guru tersebut
terintegrasi dalam kinerja guru. semakin
baik kualitas kompetensi guru ditinjau dari
keempat kompetensi guru tersebut, maka
akan semakin baik pula mutu dari kinerja
guru.
Sehingga
diperlukan
program
pembinaan dan pengembangan guru sejak
perekrutan calon guru secara kontinu dan
konsisten.
Guru
dengan
kompetensinya
merupakan aktor utama semua proses
pembelajaran tersebut. Oleh karenanya,
diperlukan upaya mengkondisikan agar

guru dapat melaksanakan beban tugas
yang melekat dengan baik, sesuai rencana,
dan bertanggung jawab.
Selanjutnya Pasal 1 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
dinyatakan bahwa “guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah”. Terkait beban kerja
guru, dalam Bab IV pasal 35 dalam UU
Guru dan Dosen, dinyatakan bahwa “beban
kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu
merencanakan
pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, membimbing dan melatih
peserta didik, serta melaksanakan tugas
tambahan”. Diisyratkan juga oleh UndangUndang ini bahwa tugas pokok dan tugas
tambahan guru melekat pada pribadi
masing-masing, sehingga diperlukan usaha
sebaik-baiknya, bertanggung jawab, dan
profesional dalam melaksanakan semua
tugas tersebut.
Salah satu tugas tambahan seorang
guru adalah menjadi kepala sekolah.
Seorang kepala sekolah pada mulanya
berasal dari guru atau pendidik yang
diberikan tugas tambahan sesuai dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) RI Nomor 13 Tahun 2007
tentang standar kepala sekolah/madrasah
dengan persyaratan sebagai berikut: (1)
memiliki kualifikasi akademik Sarjana (S-1)
atau Diploma Empat (D-IV) kependidikan
atau non-kependidikan pada perguruan
tinggi yang telah diakreditasi, (2) berusia
setinggi-tingginya 56 tahun sejak diangkat
menjadi kepala sekolah, (3) pernah
mengajar sekurang-kurangnya 5 tahun
menurut jenjang sekolah masing-masing,
kecuali di Taman Kanak-Kanak/Raudhatul
Athfal (TK/RA) pernah mengajar sekurangkurangnya 3 tahun, 4) pangkat/golongan
serendah-rendahnya Penata, III/c bagi
pegawai negeri sipil, bagi nonpegawai
negeri sipil pangkat disetarakan oleh
yayasan atau lembaga berwenang.
Permendiknas RI Nomor 13 Tahun
2007 juga mengisyaratkan bahwa seorang
calon/kepala sekolah wajib menguasai lima

kompetensi pokok sebagai dasar dalam
melaksanakan tugas tambahan tersebut.
Lima kompetensi kepala sekolah yang
dikenal dengan lima dimensi kompetensi
kepala
sekolah
yaitu:
(1)
dimensi
kompetensi kepribadian, (2) dimensi
kompetensi
manajerial,
(3)
dimensi
kompetensi kewirausahaan, (4) dimensi
kompetensi supervisi, dan (5) dimensi
kompetensi sosial. Dengan lain kata,
kompetensi kepala sekolah merupakan
kompetensi pendidik dengan lima aspek
kompetensi yang holistik, mulai dari
kepemilikan
kepribadian
yang
kuat,
kemampuan
kepemimpinan,
kewirausahaan, pengawasan handal dan
mampu
bersosialisasi
dengan
lingkungannya.
Penguasaan kelima kompetensi
kepala sekolah sangat mempengaruhi
jalannya pendidikan di sekolah tersebut
menuju tujuan yang diharapkan. Idealnya,
kelima kompetensi kepala sekolah ini
diberdayakan dalam menjalankan program
pendidikan di sekolah, tentu dengan
mengedepankan prinsip-prinsip seperti
keterbukaan, kekeluargaan, skala prioritas,
berdampak positif bagi perkembangan dan
kemajuan siswa, serta konsistensi. Dengan
demikian, tujuan sekolah pasti tercapai
sejalan dengan usaha yang dilakukan
warga sekolah dan pihak terkait atas
kepemimpinan kepala sekolah.
Proses pendidikan pada unit terkecil
yaitu di kelas ketika guru mengadakan
pembelajaran dan sekaligus kelangsungan
proses pendidikan sangat memerlukan
pengawasan yang mengiringinya sebagai
sistem kontrol usaha-usaha yang dilakukan.
Pengawasan dimaksud dikenal dengan
istilah
supervisi.
Sagala
(2010:89)
menyatakan bahwa supervisi mempunyai
arti khusus yaitu “membantu” dan turut
serta dalam usaha perbaikan dan
meningkatkan mutu baik personel maupun
lembaga. Berdasarkan sasaran yang
disupervisi, ada dua jenis supervisi yaitu
supervisi
akademis
dan
manajerial.
Supervisi akademik adalah serangkaian
kegiatan membantu guru mengembangkan
kemampuannya
mengelola
proses
pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran (Daresh, 1989; Glickman, et
al; 2007 dalam Kemdikbud, 2015:15).

Dalam teori, supervisi dilakukan oleh
pengawas dan/ atau penilik, dan/ atau
kepala sekolah. Setiap pengawas memiliki
kapasitas yang berbeda dalam melakukan
supervisi menurut tugas dan fungsi
pokoknya. Pembelajaran di kelas perlu
pengawasan/supervisi
yang
utamanya
dilakukan oleh kepala sekolah. Kemudian
supervisi manajerial ditujukan pada objek
sekolah
baik
administrasi
maupun
kepemimpinan kepala sekolah dilakukan
oleh dinas pendidikan melalui pengawas/
penilik sekolah yang bertugas di wilayah
kerjanya. Supervisi dilakukan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan
tindaklanjut dari aspek-aspek supervisi
sesuai jenis supervisi yang dilakukan.
Adapun tujuan supervisi adalah adanya
perbaikan,
penyembuhan,
dan
penyempurnaan terhadap kemampuan guru
yang disupervisi, bukan mencari-cari
kesalahan pihak terkait dalam menjalankan
program pembelajaran di kelas dan juga
program sekolah.
Fenomena di lapangan sangat
berbeda dengan segala idealisme yang
tertuang dalam suatu harapan, teori
maupun aturan-aturan yang mengatur
keberlangsungan proses pendidikan di
Indonesia pada umumnya.
Kenyataannya, rata-rata sekolah
hanya berjalan biasa tanpa ada perubahan
signifikan terhadap kinerja guru yang akan
memberi perubahan positif kepada prestasi
belajar siswa dan sekolah. Program
sekolah
cenderung
berjalan
secara
administratif saja dan tentu kualitas dari
program-program seperti pembelajaran di
kelas tidak terlalu diperhitungkan. Prestasi
siswa pun tercapai dalam persentase
rendah seperti pada kompetisi porsenijar
dan lomba-lomba akademis. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh sistem pengawasan
program sekolah/pembelajaran yang tidak
optimal yang berdampak terhadap kinerja
guru
rendah.
Terkadang
terjadi
tidak
pengawasan
sementara
atau
berkesinambungan, yang tentu akan
memperburuk citra pengawasan itu sendiri.
Fenomena ini terjadi di sekolah
dasar
Gugus
7
Kubutambahan,
diantaranya: (1) kompetensi supervisi
kepala sekolah masih rendah, (2) program
supervisi belum berjalan dalam tatanan

pelaksanaan hanya administratif, (3) belum
ada tindak lanjut yang signifikan mengarah
pada perubahan cara pembelajaran, cara
penanganan
masalah
dan
prosedur
kegiatan di sekolah lainnya, (4) belum ada
penghargaan khusus bagi warga sekolah/
terkhusus guru yang memiliki prestasi kerja,
(5) bimbingan dari pengawas/ penilik
sekolah hanya bersifat teknis administratif.
Berdasarkan permasalahan yang
terjadi pada Sekolah Dasar di Gugus 7
Kecamatan Kubutambahan perlu diadakan
evaluasi untuk mengetahui diskrepansi
kompetensi supervisi kepala sekolah
ditinjau dari Permendiknas RI No. 13 tahun
2007
tentang
standar
kepala
sekolah/madrasah dan 41 tahun 2007
tentang standar proses untuk satuan
pendidikan dasar dan menengah.
Berdasarkan uraian masalah di atas,
maka dirumuskan masalah dalam penelitian
ini sebagai berikut. (1) Seberapa besar
diskrepansi
pelaksanaan
dimensi
kompetensi
perencanaan
supervisi
akademis kepala sekolah ditinjau dari
Permendiknas RI No. 13 dan 41 Tahun
2007? (2) Seberapa besar diskrepansi
pelaksanaan
dimensi
kompetensi
pelaksanaan supervisi akademis kepala
sekolah ditinjau dari Permendiknas RI No.
13 dan 41 Tahun 2007? (3) Seberapa besar
diskrepansi
pelaksanaan
dimensi
kompetensi tidak lanjut supervisi akademis
kepala sekolah ditinjau dari Permendiknas
RI No. 13 dan 41 Tahun 2007? (4)
Seberapa besar diskrepansi pelaksanaan
dimensi kompetensi supervisi akademis
kepala sekolah ditinjau dari Permendiknas
RI No. 13 dan 41 tahun 2007? (5) Kendalakendala apa saja yang ditemukan kepala
sekolah dalam melaksanakan dimensi
kompetensi supervisi
akademis
dan
bagaimana
alternatif
pemecahan
masalahnya?
METODE PENELITIAN

Penelitian
ini
adalah
sebuah
penelitian ex-post facto. Agung (2014:56)
menyatakan ”penelitian ex-post facto
adalah penelitian yang menggunakan suatu
pendekatan dimana gejala (objek) yang
diteliti telah ada secara wajar tanpa
memunculkannya”. Selanjutnya, Agung
(2014:27) juga memberikan ulasan tentang

penelitian evaluatif yaitu ”penelitian yang
bertujuan menilai pelaksanaan suatu
kegiatan yang sedang berjalan yaitu
pencarian umpan balik untuk perbaikan
sistem”. Pada penelitian ini, dianalisis
kesenjangan program dengan variabelvariabel
dalam
acuan
Descrepancy
Evaluation
Model
(Model
evaluasi
kesenjangan)
dengan
mengkonfirmasi
target sasaran yang merupakan acuan
(standar) suatu program. Evaluasi terhadap
diskrepansi atau kesenjangan dimaksudkan
untuk mengetahui tingkat kesesuaian
antara standar yang ditentukan dalam
program dengan penampilan aktual dari
program tersebut (Marhaeni, 2012: 152).
Teknik
purposive
sampling
digunakan dalam penelitian ini. Agung
(2014:77) menyatakan bahwa dalam
purposive sampling, sampel diambil dengan
maksud dan tujuan tertentu. Pada
penelitian ini terdapat 43 guru dijadikan
populasi penelitian seperti pada tabel di
atas. Namun, terkait sampel penelitian
hanya 41 guru dijadikan responden
penelitian karena 2 guru yang bertugas di
SDN 2 Bontihing menggunakan kurikulum
2013. Penelitian ini fokus pada diskrepansi
pelaksanaan
kompetensi
supervisi
akademis yang berdasarkan tinjauan dari
Permendiknas RI No. 13 dan 41 tahun
2007.
Variabel penelitian ini adalah
supervisi akademis kepala sekolah yang
dianalisis
kesenjangan/diskrepansi
pelaksanaannya ditinjau dari Permendiknas
RI Nomor 13 dan 41 Tahun 2007. Terdapat
tiga dimensi yaitu dimensi kompetensi
perencanaan supervisi memiliki 7 indikator,
pelaksanaan supervisi tercantum 38 butir
indikator, dan tindak lanjut hasil supervisi
dengan 4 indikator penilaian.
Data dikumpulkan melalui angket
tentang pelaksanaan supervisi akademis
kepala sekolah ditinjau dari Permendiknas
RI
Nomor
13
Tahun
2007
dan
Permendiknas RI Nomor 41 Tahun 2007
disesuaikan dengan kondisi dan maksud
tujuan penelitian. Data dikumpulkan dengan
menggunakan pola instrumen tertutup dan
instrumen terbuka. Pola instrumen tertutup
digunakan melalui instrumen berupa angket
atau kuesioner. Sedangkan pola instrumen
terbuka digunakan melalui pemanfataatan

instrumen observasi atau dokumentasi
maupun wawancara.
Konsepsi instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pola Likert
dengan 5 (lima) gradasi, yaitu setiap
pernyataan dalam kuesioner tersedia 5
alternatif jawaban dari responden terhadap
masing-masing
pernyataan.
Adapun
ketentuan dari masing-masing pola adalah
sebagai berikut: (1) jika responden memilih
alternatif Sangat Memuaskan (SM), maka
diberikan skor 5 untuk pernyataan positif,
(2) jika responden memilih alternatif
Memuaskan (M), maka diberikan skor 4
untuk pernyataan positif, (3) jika responden
memilih alternatif Cukup Memuaskan (CM),
maka diberikan skor 3 untuk pernyataan
positif, (4) bila responden memilih alternatif
Kurang Memuaskan (KM), maka diberikan
skor 2 untuk pernyataan positif, dan (5) jika
responden memilih alternatif Sangat Tidak
Memuaskan (STM), maka diberikan skor 1
untuk pernyataan positif.
Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis statistik
nonparametrik dengan teknik Uji Tanda
Wilcoxon. Agung (2016:143) menyatakan
bahwa “Uji tanda digunakan untuk
mengalisis data yang bersifat ordinal atau
berjenjang.” Uji Tanda Wilcoxon bertujuan
untuk
mengetahui
apakah
terdapat
kesenjangan (diskrepansi) antara standar
acuan
yang
ditetapkan
dengan
pelaksanaan supervisi akademis kepala
sekolah. Prosedur uji tanda didasarkan
pada tanda negatif atau positif dari
perbedaan antara pasangan data ordinal
dan besarnya beda antara acuan dengan
program yang sedang berjalan (Dantes,
1983: 11).
Tabel 1. Kategori Data Hasil Pengukuran
Pelaksanaan Supervisi Akademis
Kepala
Sekolah
Ditinjau
dari
Permendiknas RI No. 13 dan 41
tahun 2007
Persentase Data
Kategori
Hasil Pengukuran (
81% - 100%
Sangat Memuaskan (SM)
61% - 80%
Memuaskan (M)
41% - 60%
Cukup Memuaskan (CM)
21% - 40%
Tidak Memuaskan (TM)
0% - 20%
Sangat
Tidak
Memuaskan (STM)
(Adaptasi dari Sugiyono, 2006:107-108)

Tabel 2. Kriteria Tingkat Diskrepansi
Pelaksanaan
Supervisi
Akademis
Kepala Sekolah Ditinjau dari
Permendiknas RI No. 13 dan 41
tahun 2007
Besar Beda (
Kategori Diskrepansi
dengan Standar (Y)
Tidak
Ada
0%
Kesenjangan (TS)
Sangat Kecil (SK)
0% < ≤ 20%
Kecil (K)
21% < ≤ 40%
Cukup Besar (CB)
41% < ≤ 60%
Besar (B)
61% < ≤ 80%
Sangat Besar (SB)
81% < ≤ 100%
(Adaptasi dari Guilford dalam Dantes, 1983)

Wawancara
dilakukan
sebagai
pelengkap dan konfirmasi dari jawaban
angket yang telah diberikan. Observasi
langsung
dilakukan
dalam
rangka
menjaring data kualitatif maupun data
kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan rumusan masalah
terdapat hasil penelitian berupa data
kuantitatif yaitu pengujian hipotesis pada
empat
dimensi
yaitu
perencanaan,
pelaksanaan,
tindak
lanjut,
dan
keseluruhan.
Hasil analisis pelaksanaan dimensi
kompetensi
perencanaan
supervisi
akademis kepala sekolah diperoleh skor
rata-rata yaitu 68,93% dengan besar beda
senilai 31,07% dan tanda beda negatif (-).
Berdasarkan taraf signifikansi 5% dan n =
41 diperoleh harga “h” tabel adalah 13,
sedangkan harga “h” observasi adalah 18.
Ini berarti 13 < 18 (t-tab