FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SERANGAN (1)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SERANGAN BERULANG (RELAPS)
PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR
Rahmawati11), Nurlina2), A. Nur Anna AS3)
1
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Rahmawati 1)
email: [email protected]
2
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Nurlina 2)
email: [email protected]
3
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (A. Nur Anna AS 3)
email: [email protected]
Abstract
World Health Organization (WHO) has declared TB a "Global Emergency" since 1992. In
2009 there were 9.4 million new cases with 1.7 million deaths globally. Most of the deaths are in
developing countries. The prevalence of TB in Indonesia was ranked fourth highest in the world
which have an impact on reducing the productivity and quality of patients life .Pulmonary TB
patients who had been treated will heal with treatment and regular treatment, but the risk of relapse
after receiving Anti-TB Drugs (ATD).
The aim of research to determine the factors that influence recurrent attacks (relapses) in
patients with pulmonary tuberculosis in Makassar Labuang Baji hospital.
The study design was a qualitative sampling using purposive sampling on six (6)
participants. Data collection using in-depth interviews were taped, then transcribed verbatim and
analyzed with phenomenological method. The study was in May-June 2015.
The results showed factors that influence the recurrent attacks (relapses) in patients with
pulmonary tuberculosis is knowledge, smoking and exposure, nutritional, environmental,
economic, and other diseases. Recommended the need to increase patients' knowledge about the
care, treatment and prevention of diseases, nutritional improvement and preservation of the
environment by involving families and health workers
Keywords: Factors, recurrent attacks, relapses, pulmonary tuberculosis.
1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global
Emergency” sejak tahun 1992 (Lewis, et al,
2011). Pada tahun 2009 ada 9,4 juta kasus baru
dengan 1,7 juta kematian secara global.
Sebagian besar kematian terdapat pada negara
berkembang yang memiliki keterbatasan
sumber daya (Belay et al, 2011). Prevalensinya
penderita TB di Indonesia menempati
peringkat empat terbanyak di seluruh dunia
yang berdampak terhadap
penurunan
produktivitas dan kualitas hidup pasien.
Jumlah penderita TB paru di Indonesia adalah
kasus menular 236.954 jiwa, semua kasus
321.308 jiwa, BTA positif 197.797 jiwa dan
CDR (Case Detection Rate) 83,5%. Jumlah
penderita TB Paru di Sulawesi Selatan adalah
kasus menular 17.034 jiwa, semua kasus
11.052 jiwa, BTA positif 8.935 jiwa dan CDR
(Case Detection Rate) 52,5 % (Depkes RI,
2012). Data bina P2PL, jumlah penderita TB
paru di kota Makassar selama tahun 2012
adalah kasus baru sebanyak 1.951 jiwa, kasus
lama 127 jiwa, kasus baru + kasus lama
sebanyak 2.078 jiwa dan prevalensi sebanyak
15.172 jiwa (Dinkes, 2012). Hasil penelitian
Sianturi (2013) tentang analisis faktor yang
berhubungan dengan kekambuhan TB paru
yaitu pendidikan (p=0,046; OR = 3,889),
pengetahuan penderita (p=0,0001; OR =
17,250), sikap penderita (p=0,004; OR =
7,500), status gizi (p=0,001; OR = 9,048),
riwayat minum obat (p=0,001; OR = 9,450).
Peningkatan prevalensi TB paru berdampak
terhadap produktivitas. Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan
seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan
tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika
ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat.
Pasien TB paru yang mendapat
penanganan yang baik akan sembuh dengan
perawatan dan pengobatan teratur, namun
beresiko untuk kambuh kembali atau relaps
setelah mendapat Obat Anti TB (OAT). Oleh
karena itu, perlu diketahui secara mendalam
faktor-faktor yang mempengaruhi serangan
berulang (relaps) pada pasien Tuberkulosis
paru di RSUD Labung Baji Makassar,
sehingga dapat menjadi bahan informasi bagi
Pimpinan dalam membuat kebijakan terkait
dengan penanganan tuberkulosis paru,
sehingga seluruh tenaga kesehatan RS
khususnya tenaga perawat dapat melakukan
upaya-upaya dalam mencegah serangan
berulang pada pasien TB paru melalui
pemberian asuhan keperawatan.
mencakup latar belakang atas isu atau
permasalahan serta urgensi dan rasionalisasi
kegiatan (penelitian atau pengabdian). Tujuan
kegiatan dan rencana pemecahan masalah
disajikan dalam bagian ini. Tinjauan pustaka
yang relevan dan pengembangan hipotesis
(jika ada) dimasukkan dalam bagian ini.
[Times New Roman, 11, normal].
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS (JIKA
ADA)
Defenisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular
langsung
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman TB menyerang paru (80%), tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. (Depkes
RI, 2012)
Klasifikasi
Berdasarkan
berdasarkan
riwayat
pengobatan sebelumnya yaitu :
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan
lengkap,
kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
3. Kasus defaulted atau drop out berkompeten
Pasien yang telah menjalani pengobatan >
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai
4. Kasus gagal
Pasien BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA
masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2
dengan pengawasan yang baik.
6. Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga
negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi
meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologi
Etiologi
Tuberkulosis
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis, dimana
sebagian besar dinding kuman terdiri atas
lemak, peptidoglikan dan arabinomannan,
sehingga lebih tahan terhadap asam dan
gangguan kimia serta fisis. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 –
4 mm. Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini
bersifat dormant artinya tertidur selama
bertahun-tahun, sehingga dapat menjadi aktif
kembali dan bersifat aerob yaitu menyenangi
jaringan yang tinggi kadar oksigennya seperti
apikal paru-paru. (Sudoyo W. Aru, et all,
2009)
A. Faktor Resiko Penularan Tuberkulosis
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seorang
yang terpajan dengan kuman TB
menjadi terinfeksi, yaitu:
a. Konsentrasi droplet-infeksius di
udara. Ini dipengaruhi oleh jumlah
droplet-infeksius yang dikeluarkan
oleh pasien TB maupun keadaan
ventilasi di area pajanan dan
b. Lamanya pajanan tersebut terjadi.
Jika seorang hidup atau tidur
sekamar dengan pasien TB maka mereka
mempunyai risiko besar untuk menghirup
droplet yang infeksius. Hanya droplet
halus yang dapat mencapai alveoli paru.
Ada
beberapa
hal yang perlu
diperhatikan
sehubungan
dengan
meningkatnya risiko penularan pasien
TB:
a. Lokasi penyakitnya (di paru, saluran
napas atau laring)
b. Terdapatnya batuk atau tenaga yang
mendorong kuman tersebut keluar
c. Dahak BTA positif
d. Terdapatnya kavitas paru
e. Pasien tidak menutup mulut dan
hidung pada waktu batuk atau bersin.
Biasanya setelah pengobatan TB
dimulai, maka dalam waktu singkat
pasien TB menjadi tidak menular (sekitar
2 minggu). Jadi, seorang petugas
kesehatan
dapat
dikatakan
turut
berkontribusi pada penularan TB, bila:
a. Terlambat memulai pengobatan pada
pasien TB
b. Tidak memberi pengobatan TB
dengan paduan obat yang memadai
c. Melakukan prosedur yang dapat
merangsang
batuk
(misalnya
bronkoskopi atau induksi sputum)
tanpa memperhatikan pengamanan
perorangan.
Faktor-faktor lingkungan yang dapat
meningkatkan penularan, adalah:
a. Pajanan terjadi di ruangan yang relatif
kecil dan tertutup.
b. Kurangnya
ventilasi
untuk
mengalirkan udara, sehingga terjadi
pengenceran dan pembuangan droplet
infeksius.
Jadi, makin dekat dan makin lama
seorang kontak dengan pasien TB yang
menular (Pasien TB paru BTA positif
yang belum diobati), maka makin besar
risiko yang bersangkutan terinfeksi TB.
(Kemenkes RI, 2012)
B. Risiko Berkembangnya Penyakit
Setelah Infeksi
Menurut Kemenkes RI (2012),
tidak semua orang yang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis akan jadi
sakit TB. Hanya sekitar 10% saja yang
akan berkembang menjadi sakit TB aktif.
Biasanya risiko menjadi sakit TB ini
terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya
infeksi.
Ada beberapa faktor yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh, sehingga
yang bersangkutan mudah berkembang
menjadi sakit TB aktif, misalnya:
malnutrisi, kondisi yang menurunkan
sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes,
penggunaan kortikosteroid atau obatobat imunosupresif lain dalam jangkapanjang). Sekitar 60% ODHA yang
terinfeksi dengan kuman TB akan
menjadi sakit TB selama hidupnya.
Seperti telah dijelaskan di atas, maka
pada orang dengan HIV negatif, risiko ini
jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar
10%. Faktor risiko kejadian TB secara
ringkas digambarkan pada gambar
berikut ini.
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
dengan Kejadian TB Paru
a. Umur : Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
sekitar
75% penderita
Tuberkulosis adalah kelompok usia
produktif (15 – 50) tahun. Orangorang pada usia produktif biasanya
memiliki lebih banyak aktivitas yang
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
mengharuskan
bertemu
dengan
banyak orang sehingga kemungkinan
tertular dari penderita lain juga lebih
besar. Pada usia produktif tersebut,
biasanya juga banyak yang memiliki
kebiasaan merokok yang merupakan
salah satu faktor resiko kejadian
penyakit Tuberkulosis
Jenis kelamin : jumlah penderita lakilaki lebih besar dari pada penderita
perempuan hal ini dimungkinkan
karena kebiasaan merokok pada lakilaki dan istirahat yang tidak teratur.
Pendidikan : Pendidikan yang rendah
sangat
mempengaruhi
dalam
mendeteksi
penyakit
hal
ini
merupakan salah satu hambatan yang
menyebabkan
kegagalan
dalam
pengobatan
dan
pemberantasan
tuberkulosis.
Pekerjaan : Jenis pekerjaan dapat
berperan didalam timbulnya penyakit
melalui beberapa jalan, misalnya :
Adanya faktor lingkungan yang
langsung menimbulkan kesakitan
misal bahan kimia, gas beracun,
radiasi, situasi pekerjaan yang penuh
dengan stress, ada tidaknya gerak
badan didalam pekerjaan, berada
dalam suatu tempat yang sempit.
Ekonomi keluarga : Secara ekonomi,
penyebab utama berkembangnya
kuman-kuman
tuberculosis
di
Indonesia
disebabkan
masih
rendahnya pendapatan per kepala,
kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut
buruknya lingkungan.
Ventilasi : lubang penghawaan pada
ruangan agar sirkulasi udara dalam
ruangan menjadi baik, luas ventilasi
minimal 10% dari luas lantai
Pencahayaan matahari : Pencahayaan
matahari
yang
baik
adalah
pencahayaan
yang
memberikan
kesempatan cahaya matahari untuk
masuk ± 60 lux ke dalam dan tidak
menyilaukan
sehingga
cahaya
matahari mampu membunuh kumankuman patogen
Kebiasaan merokok : Kebiasaan
merokok menjadi faktor resiko karena
kebiasaan merokok akan merusak
mekanisme pertahanan paru yang
disebut muccociliary clearance.
Bagian ini berisi kajian literatur yang
dijadikan
sebagai
penunjang
konsep
penelitian. Kajian literatur tidak terbatas pada
teori saja, tetapi juga bukti-bukti empiris.
Hipotesis peneltiian (jika ada) harus dibangun
dari konsep teori dan didukung oleh kajian
empiris (penelitian sebelumnya). [Times New
Roman, 11, normal].
7. METODE PENELITIAN
Desain penelitian adalah kualitatif
dengan pengambilan sampel menggunakan
purposive sampling pada 6 (enam) partisipan.
Pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam
yang
direkam,
kemudian
ditranskrip verbatim dan dianalisis metode
fenomenologi yang dikembangkan Colaizzi
(1978).
Penelitian dilakukan di RSUD
Labuang Baji Makassar, pada bulan Mei-Juni
2015.
8. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis transkrip hasil wawancara dengan
pendekatan analisis collaizi’s, tema yang
teridentifikasi ada enam yaitu :
Pengetahuan
Merokok, dan
terpapar
Penyakit lain
Faktor
mempengaruhi
serangan ulang
Ekonomi
Gizi
Lingkungan
Gambar 1. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Serangan Berulang
(Relaps)TB Paru
1. Pengetahuan
Pengetahuan partisipan tentang penyakit
tuberkulosis paru adalah :
a. Tn. Y : awalnya muntah darah, batuk 4
minggu kayaknya, penyakit menular.
b. Tn. P : penyakit menular, menularnya
melalui udara saat batuk harus menutup
mulut, alat makan juga harus dipisah,
meriang, panas, berkeringat malam,
batuk-batuk, nafsu makan berkurang,
lemas,
berat
badan
turun.
Pencegahannya
makan
makanan
bergizi, istrahat cukup, berobat teratur.
Penyakit mematikan
c. Ny. He : sakit kepala, sakit badanbadan, batuk, sesak nafas, ngilu kalau
berdiri. Setelah sembuh tidak boleh
kerja, makan makanan bergizi, istirahat
yang cukup
d. Ny. Ha
: penyakit menular,
menurunkan berat badan, nafsu makan,
sakit dada, nyeri dada, nyeri pada
tenggorokan, sakit kepala, ngilu tulangtulang, ituji yang kurasakan, keringat
dingin pada malam hari. Pencegahan
pake masker. Setelah sembuh minum
vitamin, makan yang teratur, istirahat
yang cukup
e. Ny. K : penyakit menular, membuat
daya tahan tubuh menurun, berat badan
menurun, penyakit mematikan, bisa
dikucilkan dari masyarakat, seharusnya
minum vitamin dan susu tapi saya tidak
mampu beli, olahraga kalau pagi.
f. Tn. J : banyak sebenarnya cuma
penyakit tidak mau sembuh.
Berdasarkan data tersebut di atas,
mayoritas partisipan memiliki pengetahuan
tentang tanda dan gejala penyakit TB paru,
penularan, pencegahan dan dampak yang
ditimbulkan. Namun partisipan tidak
mengaplikasikan pengetahuannya dalam
bentuk perilaku. Sesuai hasil pengamatan
dan wawancara menunjukkan partisipan
belum mampu melakukan upaya perawatan
dan pencegahan secara kontinyu. Misalnya
dalam penggunaan masker, tidak semua
penderita menggunakan secara kontinyu
dengan alasan tidak nyaman dan sesak,
sehingga beresiko menularkan kepada oang
lain.
Penelitian di Bangladesh ditemukan
sebagian besar (99%) dari peserta telah
mendengar tentang TB, dan hampir semua
tahu bahwa TB adalah penyakit menular
yang belum dapat disembuhkan. Lebih dari
setengah (53%) dari Key Community
Members (KCMs) memiliki pengetahuan
yang baik mengenai TB, tetapi pekerja
Bangladesh
Rural
Advancement
Committee (BRAC) yang ditemukan lebih
luas dibandingkan dengan KCMs lainnya.
Namun, kesenjangan pengetahuan yang
cukup diamati antara BRAC petugas
kesehatan masyarakat. Hasil kualitatif
mengungkapkan bahwa sebagian besar
KCMs menyadari tentang tanda-tanda,
gejala dan jalur transmisi TB dan percaya
bahwa merokok dan kecanduan adalah
penyebab
utama
penularan
TB.
Pengetahuan tentang TB anak miskin
bahkan di antara petugas kesehatan BRAC.
Stigma yang terkait dengan TB tidak
jarang.
Hampir
semua
responden
menyatakan bahwa gadis-gadis muda yang
didiagnosis dengan TB. Temuan studi ini
telah mengungkapkan berbagai tingkat
pengetahuan dan sikap tentang TB di antara
KCMs. Hal ini juga memberikan wawasan
tentang pengetahuan mengenai TB anak
miskin dan menunjukkan bahwa meskipun
signifikan stigma keberhasilan program TB
belum lazim di masyarakat. Kegiatan
Advocacy
Communication
Social
Mobilization (ACSM) masa depan harus
melibatkan anggota masyarakat terhadap
stigma dan mempromosikan informasi
yang terkait TB anak untuk perbaikan lebih
lanjut Pengendalian Program TB dari
BRAC (Paul et al., 2015).
Hasil penelitian Raynes (2013)
tentang perbedaan budaya pada penyedia
pelayanan kesehatan terkait pengetahuan,
sikap dan praktek untuk mengobati
tuberkulosis. Bahwa budaya kesadaran
secara bermakna dikaitkan dengan
kemungkinan peningkatan mengenali
manifestasi dari tuberkulosis, manajemen
penyakit tidak terkait dengan budaya
kesadaran dan budaya kesadaran antara
penyedia pelayanan akan menjadi faktor
sangat penting untuk pengenalan diagnosis
dan manajemen TBC.
2. Merokok dan terpapar
Partisipan mengungkapkan bahwa :
a. Tn. Y : selalu kontak dengan perokok
b. Tn. P : saya merokok, 2 bungkus sehari,
minuman keras
c. Ny. He : di rumah ada yang merokok,
mahasiswa. Kalau bapak merokok tapi
di luar
d. Ny. Ha : terpapar asap rokok dari
lingkungan kerja dan suamiku perokok
berat. terpapar dengan asap rokok 3
Tahun
e. Ny. K : dari muda memang saya
merokok, satu bungkusji, saya lama,
dari umur 18 tahun mulai merokok,
tidak ada yang merokok di rumah,
paling tetangga-tetangga, tapi kalau
ada yang merokok pakai masker aja
Berdasarkan data tersebut di atas,
sebagian partisipan memiliki kebiasaan
merokok dan sebagian terpapar dengan
asap rokok dari lingkungannya. Padahal
perilaku merokok dapat
merusak
makrofag paru-paru, sehingga kuman
TB Paru resisten terhadap pengobatan
yang dilakukan oleh pasien.
Menurut Setiarni., Sutomo.,
Hariyono (2013)
ada hubungan
bermakna antara kebiasaan merokok
dengan kejadian tuberkulosis paru pada
orang dewasa (p=0,011) dengan nilai
RR=2,407 artinya responden yang
memiliki kebiasaan merokok berisiko
untuk terkena penyakit TB paru sebesar
2,407 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang tidak merokok.
Sejalan dengan hasil penelitian
Maksalmina (2013) bahwa sebagian
besar penderita TB paru mempunyai
kebiasaan merokok. Sedangkan hasil
penelitian Haris., Thaha., Abdullah
(2014) menunjukkan umur merokok di
usia muda dan lama merokok 10 tahun
merupakan faktor risiko yang tidak
bermakna terhadap kejadian tidak
konversi. Jumlah batang rokok yang
dihisap merupakan faktor risiko yang
bermakna terhadap kejadian konversi.
Direkomendasikan agar menghindari
dan tidak melakukan aktivitas merokok,
khususnya pada pasien yang menjalani
pengobatan.
Hal
yang
berbeda
diungkapkan oleh Sejati dan Sofiana
(2015) bahwa tidak ada hubungan
antara kebiasaan merokok dengan
tuberkulosis (p=1,000).
3. Gizi
Penghasilan yang didapatkan partisipan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari :
a. Tn. Y : seperti nasi, sayur, ikan.
b. Tn. P : untuk kebutuhan keluarga,
perbaiki gizi.
c. Ny. He : jenis makanan bergizi yang ibu
makan? sayur bayam, sayur bening,
telur rebus
d. Ny. Ha mengatakan malas makan,
faktor menunya yang kurang karena
ekonomi
e. Menurut Ny. K makanan yang sayur,
sayur bening, tempe, ikan, telur, tapi
sekarang jarang dapatkan yang begitu.
seharusnya minum vitamin dan susu
tapi saya tidak mampu beli
f. Tn. J mengatakan bahwa itu makan
yang tidak enak sejak awal minum obat.
Saya minum itu obat makanku tidak
enak, tidak ada saya rasa, yang enak
saja cuma indomie
Mayoritas
partisipan
dapat
memberikan penjelasan tentang zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh, namun mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan zat gizi
tersebut setiap hari karena keterbatasan
ekonomi. Selain itu, penyakit lain yang
diderita pasien dapat mempengaruhi daya
tahan tubuh, sehingga beresiko mengalami
kekambuhan.
Hasil penelitian Maksalmina (2013)
menunjukkan sebagian besar laki-laki
dengan TB paru mempunyai status gizi
rendah.
Setelah
terpapar
dengan
M.Tuberculosis, sekitar 5% orang yang
terinfeksi akan berlanjut menjadi TB aktif
dalam 1 tahun, sisanya infeksi laten selama
beberapa tahun dan kemudian aktif kembali
dan menyebar. (Robinson, J. M, et all,
2014).
4. Lingkungan
a. Tn. Y beresiko menularkan ke keluarga,
anak
dan
isteri,
tinggal
di
perkampungan.
b. Tn. P Berisko menularkan ke ibu,
ponakan, ada yang menderita sakit
batuk yang tinggal serumah dengan
bapak yang dulu? ada dulu, waktu
masih koska di Lombok, yang batuk
adalah yang punya rumah, kayaknya
terkena TB baru dia tidak tahu, mungkin
dari situ tertularka dari sana di
Lombok. Tempat tinggal? kalau padat
tidak terlalu, mungkin polusi karena
tengah kota. Pernahki konsumsi obat
terlarang? Pernah sabu, cimen, ganja.
c. Ny. He mengatakan tempat tinggalnya
padat. ada orang yang sakit juga disitu?
ada anak kos, kuliah. Tinggal bersama?
anak dan suaminya.
d. Ny. Ha tinggal serumah berapa orang?
7 orang. Tertular dari kakak ada tapi
sudah meninggal terkena TBC kelenjar,
waktu itu saya yang rawat, tidak pakai
masker. Beresiko menularkan ke anak
dan keluarga yang lain.
e. Menurut Ny. K ngak, saya di ruang
tamuka bikin untuk tidur, terus saya
sama anak saya yang kecil 11 tahun
sama 9 tahun di dalem. Iyya anaknya
teman kerja tapi yang enam bulan dia
sembuh sekarang, dibanding saya,
karena saya seorang perokok dulu.
f. Tn. J mengatakan bahwa bapaknya
menderita TB dan tinggal serumah,
kerja di pabrik gula, pake maskerki?
Tidak karena ruang terbuka
Berdasarkan
hasil
wawancara,
beberapa partisipan mengatakan bahwa
lingkungan tempat tinggal ataupun tempat
kerja mereka ada yang menderita penyakit
TB Paru, sehingga penyakit yang diderita
karena tertular dari keluarga ataupun orang
lain. Selain itu, ada beberapa penderita
yang tinggal di rumah kontrakan dengan
ukuran kamar yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuninya, lingkungan rumahnya
padat, serta sering terpapar dengan asap
rokok dari keluarga dan tetangga yang
merokok. Keadaan ini akan memudahkan
penularan penyakit TB paru.
Analisis sensitivitas menunjukkan
bahwa PCF (passive case finding) + ACF
(Active Case Finding) akan efektif biaya
apabila prevalensi batuk kronis disaring
oleh ACF. Pelaksanaan investigasi pada
rumah tangga sebagai bagian yang
direkomendasikan
untuk
strategi
pengendalian TB harus diprioritaskan
(Sekandi et al., 2015).
Seratus empat puluh dan 80 kontrol,
penggunaan bus 44.9%, pada kelompok TB
25.7% tidak memliki kontak baru TB
rumah tangga, 13% dilaporkan memilki
kontak dengan penderita TB, dan tidak
kontrol 3,8% dan 4,1%. Dalam analisis
multivariat didapatkan usia, pendapatan
rumah tangga, kontak rumah tangga, dan
menggunakan bus / minibus untuk pulangpergi ketempat kerja secara independen
terikat
dengan
TB.
Penggunaan
bus/minibus diduga faktor resiko kejadian
TB yang tinggi (Zamudio et al, 2015).
Studi pada insiden HCA-TB di mana
kemungkinan pasien dan rekan kerja yang
terdeteksi tertular. Pada diagnosis TB aktif
0.05% bayi, 0.57% anak-anak, 0.03% pada
dewasa dan petugas kesehatan. Pada kasus
TB aktif yang komplikasi antara individu
yang terpapar adalah 0.57% bayi, 0.09%
pada anak-anak, 4.32% pada dewasa dan
2.62% untuk petugas kesehatan yang
beresiko (Schepisi et al., 2015).
5. Ekonomi
a. Tn. Y mengatakan penghasilannya tidak
tahu, tidak pasti, biasa dua ratus, biasa
juga tiga ratus, pedagang keliling
b. Tn. P memperoleh penghasilan 2 juta
sebulan di restoran bagian miuman,
sejak sakit nda kerja.
c. Ny. He rata-rata penghasilan satu juta
perbulan, tukang sapu di citra land,
tapi berhenti kerja karena sakit
d. Ny. Ha mengatakan tidak bekerja dan
hanya tinggal bersama saudaranya
selama sakit.
e. Ny. K pekerjaan tukang urut, saya tidak
bekerja selama saya sakit.
f. Tn. J kerja di pabrik gula
Rata-rata partisipan mengungkapkan
penghasilannya kurang mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
karena penghasilan yang diperoleh setiap
bulan digunakan untuk kebutuhan makan,
kontrakan rumah dan biaya lainnya.
Sebagian partisipan memiliki latar
belakang pekerjaan sebagai tukang sapu,
tukang pijat, pedagang keliling dan
restoran. Saat dinyatakan sakit sudah tidak
dipekerjakan lagi. Hal ini akan
mempengaruhi status gizi yang berdampak
pada penurunan daya tahan tubuh sehingga
beresiko menimbulkan kekambuhan. Hal
yang berbeda diungkapkan oleh Sejati dan
Sofiana (2015) dan Setiarni., Sutomo.,
Hariyono (2013)
bahwa tidak ada
hubungan antara kejadian TB paru dengan
status ekonomi.
Kondisi parah epidemi tuberkulosis
didokumentasikan di Asia, pencegahan
tuberkulosis paru dan kontrol adalah
prioritas utama bagi kesehatan masyarakat.
Tuberkulosis dapat menyebabkan masalah
besar pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Pada tahun 2012 diperkirakan sekitar 8,6
juta kasus TB baru dan 1,3 juta meninggal
karena TB. Dari 22 negara yang
mempunyai beban tinggi karena TB, yang
menyumbang kasus sekitar 80 % dari kasus
TB di dunia.
Di negara-negara berkembang,
seperempat dari populasi hidup termiskin
di dunia. Negara-negara tersebut adalah
Afrika Selatan, Bangladesh, Pakistan,
Indonesia, China, Republik Demokratik
Kongo, Mozambik, Nigeria, Ethiopia,
Filipina, dan Myanmar. Asia Tenggara dan
wilayah pasifik barat menyumbang sekitar
58% dari kasus TB yang ada di dunia pada
tahun 2012, India dan China memiliki
jumlah terbesar (masing-masing 26% dan
12% dari total data global) (Cai., Wang.,
Ma., Wang., Han., dan Li. 2015).
6. Penyakit lain
a. Tn. Y mengatakan menderita penyakit
gula
b. Tn. P mengatakan menderita hepatitis
c. Ny. He mengatakan menderita penyakit
maag.
d. Ny. K sakit maag
e. Tn. J mengatakan menderita penyakit
gula
Semua partisipan
memiliki
penyakit yang pernah diderita sebelumnya
seperti penyakit gula (diabetes mellitus),
penyakit kuning (Hepatitis), dan penyakit
maag (gastritis). Kondisi ini akan
mempengaruhi daya tahan tubuh, akan
tetapi berdasarkan hasil wawancara faktor
penyakit bukan merupakan hal yang paling
berpengaruh terjadinya penyakit TB Paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Miller,
et all (2015) bahwa pasien tuberkulosis
yang sudah melakukan pengobatan
mempunyai resiko kematian yang cukup
besar, diperkirakan sekitar 1000 orang
pertahun. Kematian pada pasien yang
sudah melakukan pengobatan dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti HIV, ras,
penyakit lain dan tempat kelahiran.
Perawatan pada pasien Tuberkulosis
merupakan salah satu yang dilakukan
sebagai bentuk modifikasi resiko setelah
melakukan pengobatan dan pencegahan.
Wu., Lo., Yang., Chu., dan Chou
(2015) melakukan penelitian dengan hasil
bahwa lansia (OR 2,68-8,09), tinggal di
bagian Timur (OR 2.01), positif dahak
bakteriologi (OR 2.54), normal X-ray dada
(OR 2.28), dan komorbiditas dengan
penyakit ginjal kronis (OR 2.35), stroke
(OR 1,74) atau penyakit hati kronis (OR
1,29) yang paling mungkin menjadi
penyebab kematian TB tertentu, sedangkan
kanker (OR 0,79) kurang mungkin. Untuk
kematian non-TB spesifik pada pasien yang
lebih muda dari 65 tahun, jenis kelamin
laki-laki (OR 2.04) dan komorbiditas
dengan HIV (OR 5.92), penyakit ginjal
kronis (OR 8.02), stroke (OR 3,75), kanker
(OR 9,79), penyakit hati kronis (OR 2.71)
atau diabetes mellitus (OR 1,38)
merupakan faktor risiko. Faktor yang
berbeda berkorelasi dengan kematian-TB
spesifik dibandingkan dengan kematiannon-TB tertentu, dan dampak dari
komorbiditas secara bertahap menurun
pada peningkatan usia. Untuk mengurangi
kematian pada pasien TB, pertimbangan
khusus untuk pasien TB dengan usia tua,
tinggal di wilayah Timur, positif sputum
bakteriologi dan komorbiditas dengan
penyakit ginjal kronis atau stroke sangat
penting. Secara khusus, tinggal diwilayah
Timur meningkatkan risiko kematian pada
pasien TB di semua kelompok umur.
Dalam hal kematian akibat TB di antara
pasien yang lebih muda dari 65 tahun,
pasien dengan HIV, penyakit ginjal kronis
atau kanker memiliki 6-10 kali peningkatan
risiko kematian non-TB spesifik.
[Times New Roman, 11, normal].
9. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi serangan
berulang (relaps) pada pasien tuberkulosis
paru adalah pengetahuan, merokok dan
terpapar, gizi, lingkungan, ekonomi, dan
penyakit lain.
10.
REFERENSI
Belay M, Bjune G, Ameni G, Abebe M.
(2011). Serodiagnostic Performance of
Resat-6-CFP-10 in the Diagnosis of
Pulmonary Tuberculosis in Ethiopia.
http://dx.doi.org/10.4172/2161-
1068.1000103.pdf, diakses 25 April
2014
Cai, J., Wang, X., Ma, A., Wang, Q., Han,
X., & Li, Y. (2015). Factors associated
with patient and provider delays for
tuberculosis diagnosis and treatment in
asia: A systematic review and metaanalysis.
PLoS
One,
10(3)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0120088 , diakses 25 Juli 2015
Kemenkes, RI (2012). Profil Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2012. Makassar, www.depkes.go.id/,
diakses 2 April 2014
Haris, D., R., S., Thaha. I., L., M., &
Abdullah, A., Z. (2014). Pasien TB
Paru di Rumah Sakit Dan Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Kota
Makassar.
Retrieved
from
http://repository.unhas.ac.id.pdf,
diakses 25 Juli 2015
Lewis L Sharon., Dirksen SR., Heitkemper,
Bucher, Camera. (2011). Medikal
Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clical Problems.
Saunders Elsevier : St. Louis, Missouri
USA
Maksalmina, Z. (2013). Faktor-Faktor yang
Menyebabkan
Kejadian
TB
(Tuberkulosis) Paru Pada Laki-Laki
Di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Kedungwuni Kabupaten Pekalongan.
www.digilib.stikesmuh-pkj.ac.id/
diakses 30 Juli 2015
Miller, Thaddeus L,DrP.H., M.P.H., Wilson,
F. A., PhD., Pang, Jenny W,M.D.,
M.P.H., Beavers, S., M.D., Hoger, S.,
DrP.H., Sharnprapai, S., M.P.H., Weis,
S. E., D.O. (2015). Mortality Hazard
and Survival After Tuberculosis
Treatment. American Journal of Public
Health, 105(5), 930-937. Retrieved
from
http://search.proquest.com
,
diakses 30 Juli 2015
Paul, S., Akter, R., Aftab, A., Khan, A. M.,
Barua, M., Islam, S., Sarker, M. (2015).
Knowledge and Attitude of Key
Community
Members
Towards
Tuberculosis: Mixed Method Study
From Brac TB Control Areas in
Bangladesh. BMC Public Health, 15
doi:http://dx.doi.org/10.1186/s12889015-1390-5, diakses 30 Juli 2015
Raynes., E. A. (2013). Cultural Differences
in Healthcare Providers’ Knowledge,
Attitudes, and Practices in Treating
Tuberculosis. Walden University.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/,
diakses 30 Juli 2015
Robinson, J. M., Saputra, L. (2014). Buku
Ajar Visual Nursing Medikal Bedah.
Binarupa
Aksara
:
Pamulang,
Tanggerang Selatan
Sianturi R. (2013). Analisis Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kekambuhan
Tb Paru. Jurnal diterbitkan. Semarang:
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri
Semarang,
journal.unnes.ac.id/sju/,
diakses
tanggal 4 April 2014
Schepisi, M. S., Sotgiu, G., Contini, S., Puro,
V., Ippolito, G., & Girardi, E. (2015).
Tuberculosis
Transmission
from
Healthcare Workers to Patients and
Co-Workers: A Systematic Literature
Review and Meta-Analysis. PLoS One,
10(4)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0121639, diakses 30 Juli 2015
Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). FaktorFaktor
Terjadinya
Tuberculosis.
Retrieved
from
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php
/kemas, diakses 30 Juli 2015
Sekandi, J. N., Dobbin, K., Oloya, J.,
Okwera, A., Whalen, C. C., & Corso, P.
S. (2015). Cost-effectiveness Analysis
of Community Active Case Finding
and Household Contact Investigation
for Tuberculosis Case Detection in
Urban Africa. PLoS One, 10(2)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0117009, diakses 30 Juli 2015
Setiarni, S., M., Sutomo, A., H., & Hariyono,
W. (2013). Hubungan Antara Tingkat
Pengetahuan, Status Ekonomi dan
Kebiasaan Merokok gengan Kejadian
Tuberculosis Paru pada Orang
Dewasa di Wilayah Kerja Puskesmas
Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang
Kalimantan Barat. Retrieved from
www.journal.uad.ac.id/index.php/Kes
Mas, diakses 30 Juli 2015
Wu, Y., Lo, H., Yang, S., Chu, D., & Chou,
P. (2015). Comparing The Factors
Correlated With Tuberculosis-Specific
and Non-Tuberculosis-Specific Deaths
In Different Age Groups Among
Tuberculosis-Related
Deaths
In
Taiwan.
PLoS
One,
10(3)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0118929, diakses 30 Juli 2015
Zamudio, C., Krapp, F., Choi, H. W., Shah,
L., Ciampi, A., Gotuzzo, E., Brewer, T.
F. (2015). Public Transportation and
Tuberculosis Transmission In A High
Incidence Setting. PLoS One, 10(2)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0115230, diakses 30 Juli 2015
PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR
Rahmawati11), Nurlina2), A. Nur Anna AS3)
1
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Rahmawati 1)
email: [email protected]
2
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Nurlina 2)
email: [email protected]
3
Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (A. Nur Anna AS 3)
email: [email protected]
Abstract
World Health Organization (WHO) has declared TB a "Global Emergency" since 1992. In
2009 there were 9.4 million new cases with 1.7 million deaths globally. Most of the deaths are in
developing countries. The prevalence of TB in Indonesia was ranked fourth highest in the world
which have an impact on reducing the productivity and quality of patients life .Pulmonary TB
patients who had been treated will heal with treatment and regular treatment, but the risk of relapse
after receiving Anti-TB Drugs (ATD).
The aim of research to determine the factors that influence recurrent attacks (relapses) in
patients with pulmonary tuberculosis in Makassar Labuang Baji hospital.
The study design was a qualitative sampling using purposive sampling on six (6)
participants. Data collection using in-depth interviews were taped, then transcribed verbatim and
analyzed with phenomenological method. The study was in May-June 2015.
The results showed factors that influence the recurrent attacks (relapses) in patients with
pulmonary tuberculosis is knowledge, smoking and exposure, nutritional, environmental,
economic, and other diseases. Recommended the need to increase patients' knowledge about the
care, treatment and prevention of diseases, nutritional improvement and preservation of the
environment by involving families and health workers
Keywords: Factors, recurrent attacks, relapses, pulmonary tuberculosis.
1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global
Emergency” sejak tahun 1992 (Lewis, et al,
2011). Pada tahun 2009 ada 9,4 juta kasus baru
dengan 1,7 juta kematian secara global.
Sebagian besar kematian terdapat pada negara
berkembang yang memiliki keterbatasan
sumber daya (Belay et al, 2011). Prevalensinya
penderita TB di Indonesia menempati
peringkat empat terbanyak di seluruh dunia
yang berdampak terhadap
penurunan
produktivitas dan kualitas hidup pasien.
Jumlah penderita TB paru di Indonesia adalah
kasus menular 236.954 jiwa, semua kasus
321.308 jiwa, BTA positif 197.797 jiwa dan
CDR (Case Detection Rate) 83,5%. Jumlah
penderita TB Paru di Sulawesi Selatan adalah
kasus menular 17.034 jiwa, semua kasus
11.052 jiwa, BTA positif 8.935 jiwa dan CDR
(Case Detection Rate) 52,5 % (Depkes RI,
2012). Data bina P2PL, jumlah penderita TB
paru di kota Makassar selama tahun 2012
adalah kasus baru sebanyak 1.951 jiwa, kasus
lama 127 jiwa, kasus baru + kasus lama
sebanyak 2.078 jiwa dan prevalensi sebanyak
15.172 jiwa (Dinkes, 2012). Hasil penelitian
Sianturi (2013) tentang analisis faktor yang
berhubungan dengan kekambuhan TB paru
yaitu pendidikan (p=0,046; OR = 3,889),
pengetahuan penderita (p=0,0001; OR =
17,250), sikap penderita (p=0,004; OR =
7,500), status gizi (p=0,001; OR = 9,048),
riwayat minum obat (p=0,001; OR = 9,450).
Peningkatan prevalensi TB paru berdampak
terhadap produktivitas. Sekitar 75% pasien TB
adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan
seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan
tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika
ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh
masyarakat.
Pasien TB paru yang mendapat
penanganan yang baik akan sembuh dengan
perawatan dan pengobatan teratur, namun
beresiko untuk kambuh kembali atau relaps
setelah mendapat Obat Anti TB (OAT). Oleh
karena itu, perlu diketahui secara mendalam
faktor-faktor yang mempengaruhi serangan
berulang (relaps) pada pasien Tuberkulosis
paru di RSUD Labung Baji Makassar,
sehingga dapat menjadi bahan informasi bagi
Pimpinan dalam membuat kebijakan terkait
dengan penanganan tuberkulosis paru,
sehingga seluruh tenaga kesehatan RS
khususnya tenaga perawat dapat melakukan
upaya-upaya dalam mencegah serangan
berulang pada pasien TB paru melalui
pemberian asuhan keperawatan.
mencakup latar belakang atas isu atau
permasalahan serta urgensi dan rasionalisasi
kegiatan (penelitian atau pengabdian). Tujuan
kegiatan dan rencana pemecahan masalah
disajikan dalam bagian ini. Tinjauan pustaka
yang relevan dan pengembangan hipotesis
(jika ada) dimasukkan dalam bagian ini.
[Times New Roman, 11, normal].
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS (JIKA
ADA)
Defenisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular
langsung
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman TB menyerang paru (80%), tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya. (Depkes
RI, 2012)
Klasifikasi
Berdasarkan
berdasarkan
riwayat
pengobatan sebelumnya yaitu :
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan
lengkap,
kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
3. Kasus defaulted atau drop out berkompeten
Pasien yang telah menjalani pengobatan >
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai
4. Kasus gagal
Pasien BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
5. Kasus kronik
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA
masih positif setelah selesai pengobatan
ulang dengan pengobatan kategori 2
dengan pengawasan yang baik.
6. Kasus Bekas TB:
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga
negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru
menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung
- Pada kasus dengan gambaran radiologi
meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologi
Etiologi
Tuberkulosis
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis, dimana
sebagian besar dinding kuman terdiri atas
lemak, peptidoglikan dan arabinomannan,
sehingga lebih tahan terhadap asam dan
gangguan kimia serta fisis. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 –
4 mm. Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini
bersifat dormant artinya tertidur selama
bertahun-tahun, sehingga dapat menjadi aktif
kembali dan bersifat aerob yaitu menyenangi
jaringan yang tinggi kadar oksigennya seperti
apikal paru-paru. (Sudoyo W. Aru, et all,
2009)
A. Faktor Resiko Penularan Tuberkulosis
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seorang
yang terpajan dengan kuman TB
menjadi terinfeksi, yaitu:
a. Konsentrasi droplet-infeksius di
udara. Ini dipengaruhi oleh jumlah
droplet-infeksius yang dikeluarkan
oleh pasien TB maupun keadaan
ventilasi di area pajanan dan
b. Lamanya pajanan tersebut terjadi.
Jika seorang hidup atau tidur
sekamar dengan pasien TB maka mereka
mempunyai risiko besar untuk menghirup
droplet yang infeksius. Hanya droplet
halus yang dapat mencapai alveoli paru.
Ada
beberapa
hal yang perlu
diperhatikan
sehubungan
dengan
meningkatnya risiko penularan pasien
TB:
a. Lokasi penyakitnya (di paru, saluran
napas atau laring)
b. Terdapatnya batuk atau tenaga yang
mendorong kuman tersebut keluar
c. Dahak BTA positif
d. Terdapatnya kavitas paru
e. Pasien tidak menutup mulut dan
hidung pada waktu batuk atau bersin.
Biasanya setelah pengobatan TB
dimulai, maka dalam waktu singkat
pasien TB menjadi tidak menular (sekitar
2 minggu). Jadi, seorang petugas
kesehatan
dapat
dikatakan
turut
berkontribusi pada penularan TB, bila:
a. Terlambat memulai pengobatan pada
pasien TB
b. Tidak memberi pengobatan TB
dengan paduan obat yang memadai
c. Melakukan prosedur yang dapat
merangsang
batuk
(misalnya
bronkoskopi atau induksi sputum)
tanpa memperhatikan pengamanan
perorangan.
Faktor-faktor lingkungan yang dapat
meningkatkan penularan, adalah:
a. Pajanan terjadi di ruangan yang relatif
kecil dan tertutup.
b. Kurangnya
ventilasi
untuk
mengalirkan udara, sehingga terjadi
pengenceran dan pembuangan droplet
infeksius.
Jadi, makin dekat dan makin lama
seorang kontak dengan pasien TB yang
menular (Pasien TB paru BTA positif
yang belum diobati), maka makin besar
risiko yang bersangkutan terinfeksi TB.
(Kemenkes RI, 2012)
B. Risiko Berkembangnya Penyakit
Setelah Infeksi
Menurut Kemenkes RI (2012),
tidak semua orang yang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis akan jadi
sakit TB. Hanya sekitar 10% saja yang
akan berkembang menjadi sakit TB aktif.
Biasanya risiko menjadi sakit TB ini
terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya
infeksi.
Ada beberapa faktor yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh, sehingga
yang bersangkutan mudah berkembang
menjadi sakit TB aktif, misalnya:
malnutrisi, kondisi yang menurunkan
sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes,
penggunaan kortikosteroid atau obatobat imunosupresif lain dalam jangkapanjang). Sekitar 60% ODHA yang
terinfeksi dengan kuman TB akan
menjadi sakit TB selama hidupnya.
Seperti telah dijelaskan di atas, maka
pada orang dengan HIV negatif, risiko ini
jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar
10%. Faktor risiko kejadian TB secara
ringkas digambarkan pada gambar
berikut ini.
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
dengan Kejadian TB Paru
a. Umur : Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
sekitar
75% penderita
Tuberkulosis adalah kelompok usia
produktif (15 – 50) tahun. Orangorang pada usia produktif biasanya
memiliki lebih banyak aktivitas yang
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
mengharuskan
bertemu
dengan
banyak orang sehingga kemungkinan
tertular dari penderita lain juga lebih
besar. Pada usia produktif tersebut,
biasanya juga banyak yang memiliki
kebiasaan merokok yang merupakan
salah satu faktor resiko kejadian
penyakit Tuberkulosis
Jenis kelamin : jumlah penderita lakilaki lebih besar dari pada penderita
perempuan hal ini dimungkinkan
karena kebiasaan merokok pada lakilaki dan istirahat yang tidak teratur.
Pendidikan : Pendidikan yang rendah
sangat
mempengaruhi
dalam
mendeteksi
penyakit
hal
ini
merupakan salah satu hambatan yang
menyebabkan
kegagalan
dalam
pengobatan
dan
pemberantasan
tuberkulosis.
Pekerjaan : Jenis pekerjaan dapat
berperan didalam timbulnya penyakit
melalui beberapa jalan, misalnya :
Adanya faktor lingkungan yang
langsung menimbulkan kesakitan
misal bahan kimia, gas beracun,
radiasi, situasi pekerjaan yang penuh
dengan stress, ada tidaknya gerak
badan didalam pekerjaan, berada
dalam suatu tempat yang sempit.
Ekonomi keluarga : Secara ekonomi,
penyebab utama berkembangnya
kuman-kuman
tuberculosis
di
Indonesia
disebabkan
masih
rendahnya pendapatan per kepala,
kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi
serta hal-hal lain yang menyangkut
buruknya lingkungan.
Ventilasi : lubang penghawaan pada
ruangan agar sirkulasi udara dalam
ruangan menjadi baik, luas ventilasi
minimal 10% dari luas lantai
Pencahayaan matahari : Pencahayaan
matahari
yang
baik
adalah
pencahayaan
yang
memberikan
kesempatan cahaya matahari untuk
masuk ± 60 lux ke dalam dan tidak
menyilaukan
sehingga
cahaya
matahari mampu membunuh kumankuman patogen
Kebiasaan merokok : Kebiasaan
merokok menjadi faktor resiko karena
kebiasaan merokok akan merusak
mekanisme pertahanan paru yang
disebut muccociliary clearance.
Bagian ini berisi kajian literatur yang
dijadikan
sebagai
penunjang
konsep
penelitian. Kajian literatur tidak terbatas pada
teori saja, tetapi juga bukti-bukti empiris.
Hipotesis peneltiian (jika ada) harus dibangun
dari konsep teori dan didukung oleh kajian
empiris (penelitian sebelumnya). [Times New
Roman, 11, normal].
7. METODE PENELITIAN
Desain penelitian adalah kualitatif
dengan pengambilan sampel menggunakan
purposive sampling pada 6 (enam) partisipan.
Pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam
yang
direkam,
kemudian
ditranskrip verbatim dan dianalisis metode
fenomenologi yang dikembangkan Colaizzi
(1978).
Penelitian dilakukan di RSUD
Labuang Baji Makassar, pada bulan Mei-Juni
2015.
8. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis transkrip hasil wawancara dengan
pendekatan analisis collaizi’s, tema yang
teridentifikasi ada enam yaitu :
Pengetahuan
Merokok, dan
terpapar
Penyakit lain
Faktor
mempengaruhi
serangan ulang
Ekonomi
Gizi
Lingkungan
Gambar 1. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Serangan Berulang
(Relaps)TB Paru
1. Pengetahuan
Pengetahuan partisipan tentang penyakit
tuberkulosis paru adalah :
a. Tn. Y : awalnya muntah darah, batuk 4
minggu kayaknya, penyakit menular.
b. Tn. P : penyakit menular, menularnya
melalui udara saat batuk harus menutup
mulut, alat makan juga harus dipisah,
meriang, panas, berkeringat malam,
batuk-batuk, nafsu makan berkurang,
lemas,
berat
badan
turun.
Pencegahannya
makan
makanan
bergizi, istrahat cukup, berobat teratur.
Penyakit mematikan
c. Ny. He : sakit kepala, sakit badanbadan, batuk, sesak nafas, ngilu kalau
berdiri. Setelah sembuh tidak boleh
kerja, makan makanan bergizi, istirahat
yang cukup
d. Ny. Ha
: penyakit menular,
menurunkan berat badan, nafsu makan,
sakit dada, nyeri dada, nyeri pada
tenggorokan, sakit kepala, ngilu tulangtulang, ituji yang kurasakan, keringat
dingin pada malam hari. Pencegahan
pake masker. Setelah sembuh minum
vitamin, makan yang teratur, istirahat
yang cukup
e. Ny. K : penyakit menular, membuat
daya tahan tubuh menurun, berat badan
menurun, penyakit mematikan, bisa
dikucilkan dari masyarakat, seharusnya
minum vitamin dan susu tapi saya tidak
mampu beli, olahraga kalau pagi.
f. Tn. J : banyak sebenarnya cuma
penyakit tidak mau sembuh.
Berdasarkan data tersebut di atas,
mayoritas partisipan memiliki pengetahuan
tentang tanda dan gejala penyakit TB paru,
penularan, pencegahan dan dampak yang
ditimbulkan. Namun partisipan tidak
mengaplikasikan pengetahuannya dalam
bentuk perilaku. Sesuai hasil pengamatan
dan wawancara menunjukkan partisipan
belum mampu melakukan upaya perawatan
dan pencegahan secara kontinyu. Misalnya
dalam penggunaan masker, tidak semua
penderita menggunakan secara kontinyu
dengan alasan tidak nyaman dan sesak,
sehingga beresiko menularkan kepada oang
lain.
Penelitian di Bangladesh ditemukan
sebagian besar (99%) dari peserta telah
mendengar tentang TB, dan hampir semua
tahu bahwa TB adalah penyakit menular
yang belum dapat disembuhkan. Lebih dari
setengah (53%) dari Key Community
Members (KCMs) memiliki pengetahuan
yang baik mengenai TB, tetapi pekerja
Bangladesh
Rural
Advancement
Committee (BRAC) yang ditemukan lebih
luas dibandingkan dengan KCMs lainnya.
Namun, kesenjangan pengetahuan yang
cukup diamati antara BRAC petugas
kesehatan masyarakat. Hasil kualitatif
mengungkapkan bahwa sebagian besar
KCMs menyadari tentang tanda-tanda,
gejala dan jalur transmisi TB dan percaya
bahwa merokok dan kecanduan adalah
penyebab
utama
penularan
TB.
Pengetahuan tentang TB anak miskin
bahkan di antara petugas kesehatan BRAC.
Stigma yang terkait dengan TB tidak
jarang.
Hampir
semua
responden
menyatakan bahwa gadis-gadis muda yang
didiagnosis dengan TB. Temuan studi ini
telah mengungkapkan berbagai tingkat
pengetahuan dan sikap tentang TB di antara
KCMs. Hal ini juga memberikan wawasan
tentang pengetahuan mengenai TB anak
miskin dan menunjukkan bahwa meskipun
signifikan stigma keberhasilan program TB
belum lazim di masyarakat. Kegiatan
Advocacy
Communication
Social
Mobilization (ACSM) masa depan harus
melibatkan anggota masyarakat terhadap
stigma dan mempromosikan informasi
yang terkait TB anak untuk perbaikan lebih
lanjut Pengendalian Program TB dari
BRAC (Paul et al., 2015).
Hasil penelitian Raynes (2013)
tentang perbedaan budaya pada penyedia
pelayanan kesehatan terkait pengetahuan,
sikap dan praktek untuk mengobati
tuberkulosis. Bahwa budaya kesadaran
secara bermakna dikaitkan dengan
kemungkinan peningkatan mengenali
manifestasi dari tuberkulosis, manajemen
penyakit tidak terkait dengan budaya
kesadaran dan budaya kesadaran antara
penyedia pelayanan akan menjadi faktor
sangat penting untuk pengenalan diagnosis
dan manajemen TBC.
2. Merokok dan terpapar
Partisipan mengungkapkan bahwa :
a. Tn. Y : selalu kontak dengan perokok
b. Tn. P : saya merokok, 2 bungkus sehari,
minuman keras
c. Ny. He : di rumah ada yang merokok,
mahasiswa. Kalau bapak merokok tapi
di luar
d. Ny. Ha : terpapar asap rokok dari
lingkungan kerja dan suamiku perokok
berat. terpapar dengan asap rokok 3
Tahun
e. Ny. K : dari muda memang saya
merokok, satu bungkusji, saya lama,
dari umur 18 tahun mulai merokok,
tidak ada yang merokok di rumah,
paling tetangga-tetangga, tapi kalau
ada yang merokok pakai masker aja
Berdasarkan data tersebut di atas,
sebagian partisipan memiliki kebiasaan
merokok dan sebagian terpapar dengan
asap rokok dari lingkungannya. Padahal
perilaku merokok dapat
merusak
makrofag paru-paru, sehingga kuman
TB Paru resisten terhadap pengobatan
yang dilakukan oleh pasien.
Menurut Setiarni., Sutomo.,
Hariyono (2013)
ada hubungan
bermakna antara kebiasaan merokok
dengan kejadian tuberkulosis paru pada
orang dewasa (p=0,011) dengan nilai
RR=2,407 artinya responden yang
memiliki kebiasaan merokok berisiko
untuk terkena penyakit TB paru sebesar
2,407 kali lebih besar dibandingkan
dengan responden yang tidak merokok.
Sejalan dengan hasil penelitian
Maksalmina (2013) bahwa sebagian
besar penderita TB paru mempunyai
kebiasaan merokok. Sedangkan hasil
penelitian Haris., Thaha., Abdullah
(2014) menunjukkan umur merokok di
usia muda dan lama merokok 10 tahun
merupakan faktor risiko yang tidak
bermakna terhadap kejadian tidak
konversi. Jumlah batang rokok yang
dihisap merupakan faktor risiko yang
bermakna terhadap kejadian konversi.
Direkomendasikan agar menghindari
dan tidak melakukan aktivitas merokok,
khususnya pada pasien yang menjalani
pengobatan.
Hal
yang
berbeda
diungkapkan oleh Sejati dan Sofiana
(2015) bahwa tidak ada hubungan
antara kebiasaan merokok dengan
tuberkulosis (p=1,000).
3. Gizi
Penghasilan yang didapatkan partisipan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari :
a. Tn. Y : seperti nasi, sayur, ikan.
b. Tn. P : untuk kebutuhan keluarga,
perbaiki gizi.
c. Ny. He : jenis makanan bergizi yang ibu
makan? sayur bayam, sayur bening,
telur rebus
d. Ny. Ha mengatakan malas makan,
faktor menunya yang kurang karena
ekonomi
e. Menurut Ny. K makanan yang sayur,
sayur bening, tempe, ikan, telur, tapi
sekarang jarang dapatkan yang begitu.
seharusnya minum vitamin dan susu
tapi saya tidak mampu beli
f. Tn. J mengatakan bahwa itu makan
yang tidak enak sejak awal minum obat.
Saya minum itu obat makanku tidak
enak, tidak ada saya rasa, yang enak
saja cuma indomie
Mayoritas
partisipan
dapat
memberikan penjelasan tentang zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh, namun mereka
tidak mampu memenuhi kebutuhan zat gizi
tersebut setiap hari karena keterbatasan
ekonomi. Selain itu, penyakit lain yang
diderita pasien dapat mempengaruhi daya
tahan tubuh, sehingga beresiko mengalami
kekambuhan.
Hasil penelitian Maksalmina (2013)
menunjukkan sebagian besar laki-laki
dengan TB paru mempunyai status gizi
rendah.
Setelah
terpapar
dengan
M.Tuberculosis, sekitar 5% orang yang
terinfeksi akan berlanjut menjadi TB aktif
dalam 1 tahun, sisanya infeksi laten selama
beberapa tahun dan kemudian aktif kembali
dan menyebar. (Robinson, J. M, et all,
2014).
4. Lingkungan
a. Tn. Y beresiko menularkan ke keluarga,
anak
dan
isteri,
tinggal
di
perkampungan.
b. Tn. P Berisko menularkan ke ibu,
ponakan, ada yang menderita sakit
batuk yang tinggal serumah dengan
bapak yang dulu? ada dulu, waktu
masih koska di Lombok, yang batuk
adalah yang punya rumah, kayaknya
terkena TB baru dia tidak tahu, mungkin
dari situ tertularka dari sana di
Lombok. Tempat tinggal? kalau padat
tidak terlalu, mungkin polusi karena
tengah kota. Pernahki konsumsi obat
terlarang? Pernah sabu, cimen, ganja.
c. Ny. He mengatakan tempat tinggalnya
padat. ada orang yang sakit juga disitu?
ada anak kos, kuliah. Tinggal bersama?
anak dan suaminya.
d. Ny. Ha tinggal serumah berapa orang?
7 orang. Tertular dari kakak ada tapi
sudah meninggal terkena TBC kelenjar,
waktu itu saya yang rawat, tidak pakai
masker. Beresiko menularkan ke anak
dan keluarga yang lain.
e. Menurut Ny. K ngak, saya di ruang
tamuka bikin untuk tidur, terus saya
sama anak saya yang kecil 11 tahun
sama 9 tahun di dalem. Iyya anaknya
teman kerja tapi yang enam bulan dia
sembuh sekarang, dibanding saya,
karena saya seorang perokok dulu.
f. Tn. J mengatakan bahwa bapaknya
menderita TB dan tinggal serumah,
kerja di pabrik gula, pake maskerki?
Tidak karena ruang terbuka
Berdasarkan
hasil
wawancara,
beberapa partisipan mengatakan bahwa
lingkungan tempat tinggal ataupun tempat
kerja mereka ada yang menderita penyakit
TB Paru, sehingga penyakit yang diderita
karena tertular dari keluarga ataupun orang
lain. Selain itu, ada beberapa penderita
yang tinggal di rumah kontrakan dengan
ukuran kamar yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuninya, lingkungan rumahnya
padat, serta sering terpapar dengan asap
rokok dari keluarga dan tetangga yang
merokok. Keadaan ini akan memudahkan
penularan penyakit TB paru.
Analisis sensitivitas menunjukkan
bahwa PCF (passive case finding) + ACF
(Active Case Finding) akan efektif biaya
apabila prevalensi batuk kronis disaring
oleh ACF. Pelaksanaan investigasi pada
rumah tangga sebagai bagian yang
direkomendasikan
untuk
strategi
pengendalian TB harus diprioritaskan
(Sekandi et al., 2015).
Seratus empat puluh dan 80 kontrol,
penggunaan bus 44.9%, pada kelompok TB
25.7% tidak memliki kontak baru TB
rumah tangga, 13% dilaporkan memilki
kontak dengan penderita TB, dan tidak
kontrol 3,8% dan 4,1%. Dalam analisis
multivariat didapatkan usia, pendapatan
rumah tangga, kontak rumah tangga, dan
menggunakan bus / minibus untuk pulangpergi ketempat kerja secara independen
terikat
dengan
TB.
Penggunaan
bus/minibus diduga faktor resiko kejadian
TB yang tinggi (Zamudio et al, 2015).
Studi pada insiden HCA-TB di mana
kemungkinan pasien dan rekan kerja yang
terdeteksi tertular. Pada diagnosis TB aktif
0.05% bayi, 0.57% anak-anak, 0.03% pada
dewasa dan petugas kesehatan. Pada kasus
TB aktif yang komplikasi antara individu
yang terpapar adalah 0.57% bayi, 0.09%
pada anak-anak, 4.32% pada dewasa dan
2.62% untuk petugas kesehatan yang
beresiko (Schepisi et al., 2015).
5. Ekonomi
a. Tn. Y mengatakan penghasilannya tidak
tahu, tidak pasti, biasa dua ratus, biasa
juga tiga ratus, pedagang keliling
b. Tn. P memperoleh penghasilan 2 juta
sebulan di restoran bagian miuman,
sejak sakit nda kerja.
c. Ny. He rata-rata penghasilan satu juta
perbulan, tukang sapu di citra land,
tapi berhenti kerja karena sakit
d. Ny. Ha mengatakan tidak bekerja dan
hanya tinggal bersama saudaranya
selama sakit.
e. Ny. K pekerjaan tukang urut, saya tidak
bekerja selama saya sakit.
f. Tn. J kerja di pabrik gula
Rata-rata partisipan mengungkapkan
penghasilannya kurang mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
karena penghasilan yang diperoleh setiap
bulan digunakan untuk kebutuhan makan,
kontrakan rumah dan biaya lainnya.
Sebagian partisipan memiliki latar
belakang pekerjaan sebagai tukang sapu,
tukang pijat, pedagang keliling dan
restoran. Saat dinyatakan sakit sudah tidak
dipekerjakan lagi. Hal ini akan
mempengaruhi status gizi yang berdampak
pada penurunan daya tahan tubuh sehingga
beresiko menimbulkan kekambuhan. Hal
yang berbeda diungkapkan oleh Sejati dan
Sofiana (2015) dan Setiarni., Sutomo.,
Hariyono (2013)
bahwa tidak ada
hubungan antara kejadian TB paru dengan
status ekonomi.
Kondisi parah epidemi tuberkulosis
didokumentasikan di Asia, pencegahan
tuberkulosis paru dan kontrol adalah
prioritas utama bagi kesehatan masyarakat.
Tuberkulosis dapat menyebabkan masalah
besar pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Pada tahun 2012 diperkirakan sekitar 8,6
juta kasus TB baru dan 1,3 juta meninggal
karena TB. Dari 22 negara yang
mempunyai beban tinggi karena TB, yang
menyumbang kasus sekitar 80 % dari kasus
TB di dunia.
Di negara-negara berkembang,
seperempat dari populasi hidup termiskin
di dunia. Negara-negara tersebut adalah
Afrika Selatan, Bangladesh, Pakistan,
Indonesia, China, Republik Demokratik
Kongo, Mozambik, Nigeria, Ethiopia,
Filipina, dan Myanmar. Asia Tenggara dan
wilayah pasifik barat menyumbang sekitar
58% dari kasus TB yang ada di dunia pada
tahun 2012, India dan China memiliki
jumlah terbesar (masing-masing 26% dan
12% dari total data global) (Cai., Wang.,
Ma., Wang., Han., dan Li. 2015).
6. Penyakit lain
a. Tn. Y mengatakan menderita penyakit
gula
b. Tn. P mengatakan menderita hepatitis
c. Ny. He mengatakan menderita penyakit
maag.
d. Ny. K sakit maag
e. Tn. J mengatakan menderita penyakit
gula
Semua partisipan
memiliki
penyakit yang pernah diderita sebelumnya
seperti penyakit gula (diabetes mellitus),
penyakit kuning (Hepatitis), dan penyakit
maag (gastritis). Kondisi ini akan
mempengaruhi daya tahan tubuh, akan
tetapi berdasarkan hasil wawancara faktor
penyakit bukan merupakan hal yang paling
berpengaruh terjadinya penyakit TB Paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Miller,
et all (2015) bahwa pasien tuberkulosis
yang sudah melakukan pengobatan
mempunyai resiko kematian yang cukup
besar, diperkirakan sekitar 1000 orang
pertahun. Kematian pada pasien yang
sudah melakukan pengobatan dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti HIV, ras,
penyakit lain dan tempat kelahiran.
Perawatan pada pasien Tuberkulosis
merupakan salah satu yang dilakukan
sebagai bentuk modifikasi resiko setelah
melakukan pengobatan dan pencegahan.
Wu., Lo., Yang., Chu., dan Chou
(2015) melakukan penelitian dengan hasil
bahwa lansia (OR 2,68-8,09), tinggal di
bagian Timur (OR 2.01), positif dahak
bakteriologi (OR 2.54), normal X-ray dada
(OR 2.28), dan komorbiditas dengan
penyakit ginjal kronis (OR 2.35), stroke
(OR 1,74) atau penyakit hati kronis (OR
1,29) yang paling mungkin menjadi
penyebab kematian TB tertentu, sedangkan
kanker (OR 0,79) kurang mungkin. Untuk
kematian non-TB spesifik pada pasien yang
lebih muda dari 65 tahun, jenis kelamin
laki-laki (OR 2.04) dan komorbiditas
dengan HIV (OR 5.92), penyakit ginjal
kronis (OR 8.02), stroke (OR 3,75), kanker
(OR 9,79), penyakit hati kronis (OR 2.71)
atau diabetes mellitus (OR 1,38)
merupakan faktor risiko. Faktor yang
berbeda berkorelasi dengan kematian-TB
spesifik dibandingkan dengan kematiannon-TB tertentu, dan dampak dari
komorbiditas secara bertahap menurun
pada peningkatan usia. Untuk mengurangi
kematian pada pasien TB, pertimbangan
khusus untuk pasien TB dengan usia tua,
tinggal di wilayah Timur, positif sputum
bakteriologi dan komorbiditas dengan
penyakit ginjal kronis atau stroke sangat
penting. Secara khusus, tinggal diwilayah
Timur meningkatkan risiko kematian pada
pasien TB di semua kelompok umur.
Dalam hal kematian akibat TB di antara
pasien yang lebih muda dari 65 tahun,
pasien dengan HIV, penyakit ginjal kronis
atau kanker memiliki 6-10 kali peningkatan
risiko kematian non-TB spesifik.
[Times New Roman, 11, normal].
9. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi serangan
berulang (relaps) pada pasien tuberkulosis
paru adalah pengetahuan, merokok dan
terpapar, gizi, lingkungan, ekonomi, dan
penyakit lain.
10.
REFERENSI
Belay M, Bjune G, Ameni G, Abebe M.
(2011). Serodiagnostic Performance of
Resat-6-CFP-10 in the Diagnosis of
Pulmonary Tuberculosis in Ethiopia.
http://dx.doi.org/10.4172/2161-
1068.1000103.pdf, diakses 25 April
2014
Cai, J., Wang, X., Ma, A., Wang, Q., Han,
X., & Li, Y. (2015). Factors associated
with patient and provider delays for
tuberculosis diagnosis and treatment in
asia: A systematic review and metaanalysis.
PLoS
One,
10(3)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0120088 , diakses 25 Juli 2015
Kemenkes, RI (2012). Profil Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2012. Makassar, www.depkes.go.id/,
diakses 2 April 2014
Haris, D., R., S., Thaha. I., L., M., &
Abdullah, A., Z. (2014). Pasien TB
Paru di Rumah Sakit Dan Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Kota
Makassar.
Retrieved
from
http://repository.unhas.ac.id.pdf,
diakses 25 Juli 2015
Lewis L Sharon., Dirksen SR., Heitkemper,
Bucher, Camera. (2011). Medikal
Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clical Problems.
Saunders Elsevier : St. Louis, Missouri
USA
Maksalmina, Z. (2013). Faktor-Faktor yang
Menyebabkan
Kejadian
TB
(Tuberkulosis) Paru Pada Laki-Laki
Di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Kedungwuni Kabupaten Pekalongan.
www.digilib.stikesmuh-pkj.ac.id/
diakses 30 Juli 2015
Miller, Thaddeus L,DrP.H., M.P.H., Wilson,
F. A., PhD., Pang, Jenny W,M.D.,
M.P.H., Beavers, S., M.D., Hoger, S.,
DrP.H., Sharnprapai, S., M.P.H., Weis,
S. E., D.O. (2015). Mortality Hazard
and Survival After Tuberculosis
Treatment. American Journal of Public
Health, 105(5), 930-937. Retrieved
from
http://search.proquest.com
,
diakses 30 Juli 2015
Paul, S., Akter, R., Aftab, A., Khan, A. M.,
Barua, M., Islam, S., Sarker, M. (2015).
Knowledge and Attitude of Key
Community
Members
Towards
Tuberculosis: Mixed Method Study
From Brac TB Control Areas in
Bangladesh. BMC Public Health, 15
doi:http://dx.doi.org/10.1186/s12889015-1390-5, diakses 30 Juli 2015
Raynes., E. A. (2013). Cultural Differences
in Healthcare Providers’ Knowledge,
Attitudes, and Practices in Treating
Tuberculosis. Walden University.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/,
diakses 30 Juli 2015
Robinson, J. M., Saputra, L. (2014). Buku
Ajar Visual Nursing Medikal Bedah.
Binarupa
Aksara
:
Pamulang,
Tanggerang Selatan
Sianturi R. (2013). Analisis Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kekambuhan
Tb Paru. Jurnal diterbitkan. Semarang:
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri
Semarang,
journal.unnes.ac.id/sju/,
diakses
tanggal 4 April 2014
Schepisi, M. S., Sotgiu, G., Contini, S., Puro,
V., Ippolito, G., & Girardi, E. (2015).
Tuberculosis
Transmission
from
Healthcare Workers to Patients and
Co-Workers: A Systematic Literature
Review and Meta-Analysis. PLoS One,
10(4)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0121639, diakses 30 Juli 2015
Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). FaktorFaktor
Terjadinya
Tuberculosis.
Retrieved
from
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php
/kemas, diakses 30 Juli 2015
Sekandi, J. N., Dobbin, K., Oloya, J.,
Okwera, A., Whalen, C. C., & Corso, P.
S. (2015). Cost-effectiveness Analysis
of Community Active Case Finding
and Household Contact Investigation
for Tuberculosis Case Detection in
Urban Africa. PLoS One, 10(2)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0117009, diakses 30 Juli 2015
Setiarni, S., M., Sutomo, A., H., & Hariyono,
W. (2013). Hubungan Antara Tingkat
Pengetahuan, Status Ekonomi dan
Kebiasaan Merokok gengan Kejadian
Tuberculosis Paru pada Orang
Dewasa di Wilayah Kerja Puskesmas
Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang
Kalimantan Barat. Retrieved from
www.journal.uad.ac.id/index.php/Kes
Mas, diakses 30 Juli 2015
Wu, Y., Lo, H., Yang, S., Chu, D., & Chou,
P. (2015). Comparing The Factors
Correlated With Tuberculosis-Specific
and Non-Tuberculosis-Specific Deaths
In Different Age Groups Among
Tuberculosis-Related
Deaths
In
Taiwan.
PLoS
One,
10(3)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0118929, diakses 30 Juli 2015
Zamudio, C., Krapp, F., Choi, H. W., Shah,
L., Ciampi, A., Gotuzzo, E., Brewer, T.
F. (2015). Public Transportation and
Tuberculosis Transmission In A High
Incidence Setting. PLoS One, 10(2)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po
ne.0115230, diakses 30 Juli 2015