makalah sejarah peradaban islam edit.d

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ada satu ciri yang menarik dari sebuah negara berkembang, yakni
penduduknya mayoritas muslim. Indonesia adalah salah satu negara berkembang
sehingga termasuk dalam bagian itu. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan
oleh Deliar Noer bahwa negara-negara berkembang rata-rata memiliki penganut
mayoritas ber-agama islam, negara-negara berkembang seperti Indonesia ini
memiliki persoalan yang umumnya sama dengan negara-negara berkembang
lainnya

yaitu

persoalan-persoalan

antara

lain

ledakan


penduduk,

dan

meningkatnya tuntutan keperluan dari penduduk. Disamping itu juga usaha
pemecahan masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan orang-orang
Islam tersebut banyak sedikitnya memerlukan kemantapan didalam negeri masing
masing dan itu perlu suatu penempatan kedudukan agama yang jelas.1
Dalam kasus Islam dan Indonesia (Nusantara), maka dalam suatu
konjungtur sejarah tertentu dalam masyarakat kita, ia pernah menempati posisi
hegemonik

dalam

menentukan

tatanan

masyarakat.


Posisi

demikian,

memungkinkan Islam dijadikan sebagai dasar legitimasi sistem kemasyarakatan,
termasuk politik, yang sedang berlaku. Ini terjadi setelah Islam menggeser posisi
yang ditempati oleh agama-agama Hindu dan Budha yang juga pernah menempati
posisi hegemonik pada abad-abad sebelumnya. 2
Dalam periode sejarah berikutnya, posisi Islam sebagai sebuah agama
yang hegemonik di Indonesia (Nusantara) mulai bergeser seiring dengan
datangnya kekuatan peradaban baru yang berasal dari Barat yang dibawa oleh
kolonial. Pada aras politik dan ekonomi, Islam menempatkan posisi dirinya berada
pada posisi defensif melawan hegemonik kekuatan ekonomi kapitalis yang sedang

1982)

1Deliar Noer, Gerakan modern Islam di Indonesia 1900-1942. (Jakarta: LP3Es,

2 Muhammad A.S. Hikam, Islam Demokratisasi & Pemberdayaan Civil Society.

(Jakarta : Erlangga,2000), hlm. 39.

berkembang. Hal ini mengimbas pula pada aras sosial dan kultural dimana Islam
dipaksa menempati posisi subordinan dan periferal vis a vis peradaban modern
yang mulai berkembang saat itu.3
Posisi ini mulai berubah tatkala bertiup wacana global tentang
dekolonisasi di awal abad kedua puluhan. Hal ini kemudian seolah-olah dijadikan
momentum penting oleh sebagian kalangan umat Islam

di Indonesia untuk

memulai kiprah barunya dalam upaya mengembalikan posisi hegemonik yang
sempat hilang melalui keterlibatan dalam pergerakan nasional yang semarak saat
itu. Pada tingkatan tertentu Islam menjadi salah satu pionir gerakan nasionalisme
modern dalam melawan kolonial.
Dalam kenyataan sejarahnya pertumbuhan dan perkembangan gerakan
Islam di Indonesia mengalamiberbagai macam kesukaran dan hambatan. Dari
pihak Belanda,sikap Belandaterhadap Islam di Indonesia tidak tetap. Di satu pihak
Islam dilihat sebagai agama,dan katanya pemerintah netral terhadap ini. Tetapi
sebaliknya, pemerintahBelanda pun mengambil sikap diskriminatif dengan

memberi kelonggaran kepadakalangan missionaris Kristen lebih banyak, termasuk
bantuan uang. Pemerintahjuga melarang banyak kegiatan missionaris Islam
didaerah animisme, sedangkanmissionaris kristen leluasa masuk.
Salah satu cara yang dipergunakan oleh pihakBelanda untuk mengawasi
Islam di Indonesia ialah peraturan yang dikeluarkandalam tahun 1905 tentang
pendidikan agama Islam. Peraturan ini mengharuskanadanya izin tertulis dari
bupati atau pejabat yang sama kedudukannya tentangpendidikan agama Islam.
Izin ini mengemukakan secara terperinci sifat daripendidikan itu. Guru agama
yang bersangkutan harus membuat daftar dari murid-muridnyamenurut bentuk
tertentu yang harus dikirimkan secara periodik kepadakepala daerah bersangkutan.
Bupati atau pejabat yang sama kedudukannyahendaklah mengawasi dan
mengecek apakah guru agama tersebut bertindak sesuaidengan izin yang
diberikan. Peraturan ini mudah dijalankan bagi sekolah yangmemiliki organisasi
yang baik, tetapi tidak demikian halnya dengan pesantrenyang tidak memiliki
3Ibid.

administrasi seperti ini, tidak mencatat nama dari seluruhsantri mereka ataupun
staf pengajar mereka. Banyak dari para guru agama itutidak dapat membaca dan
menulis huruf latin.4
Dari sini muncullah kemudian gerakan modernis Islam yang di awali dari

daerah Sumatera Barat (Minangkabau)yang kemudian berimbas ke daerah-daerah
lainnya yang ada di Nusantara.Dalam konteks sejarah bangsa Indonesia, awal
abad ke-20 adalah periode yang sering dikenal dengan zaman “pergerakan
nasional”. Pada masa ini muncul berbagai organisasi perjuangan yang berbasis
Islam,

yang

dapat

dikategorikan

modern,

misalnya,

Sarekat

Islam,


Muhammadiyah, Jamiat Khair, Al-Irsyad, dan Nahdatul Ulama.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dirumuskan beberapa masalah diantaranya
adalah :
1. Apa dan bagaimana asal-usul gerakan modernis Islam di indonesia ?
2. Bagaimana bentuk –bentuk gerakan modernis Islam di Indonesia ?
3. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan gerakan modernis di
Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Memahami asal-usul gerakan modernis Islam di Indonesia.
2. Memahami bentuk-bentuk gerakan modernis Islam di Indonesia.
3. Memahami pertumbuhan dan perkembangan gerakan modernis Islam di
Indonesia.

4 Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: LkiS,
2007),hlm. 269.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal –Usul Gerakan Modernis Islam di Indonesia
Kata modern sangat dekat dengan kata tajdid dalam bahasa Arab. Dalam
masyarakat Arab modernisasi mengandung arti pikiran,aliran,gerakan, dan usaha
untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, dan institusi-institusi lama untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditibulkan oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.5 Dalam konteks Islam modernisasi adalah upaya yang
sungguh-sungguh

untuk

melakukan

re-interpretasi

terhadap

pemahaman,

pemikiran, dan pendapat tentang masalah keislaman yang dilakukan oleh pemikir
terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam konteks ini

yang

diperbaharui

adalah

hasil

pemikiran

atau

pendapat,

dan

bukan

memperbaharui apa yang terdapat di Al Qur’an dan Hadits.6
Kemunculan gerakan modernis Islam di dunia merujuk pada polarisasi

model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian abad ke- 19.
Islam modern berasal dari gerakan sosial politik keagamaan yang diprakarsai oleh
Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha di Mesir. Mereka
melakukan modernisasi terhadap Islam karena mereka ingin membebaskan ummat
Islam dari penjajahan Barat. Kemudian, untuk meneruskan cita-cita Jamaluddin
Al Afghani Abduh melakukan reformasi terhadap paham keagamaan yang telah
dipraktikkan oleh mayoritas muslim. Sedangkan Rasyid Ridha menjabarkan
kedua gagasan para pendahulunya itu ke dalam praksis keagamaan seperti
pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
Dalam kasus Indonesia, gerakan modernisasi bermula ketika kalangan
santri belajar memperdalam Islam di Mekkah. Mereka diantaranya adalah Syekh
Muhammad Jambek, Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Syekh Sulaiman
Rasul, Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan Hasyim Asy’ari (pendiri
5 Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan,(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 9.
6 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008),
hlm. 155.

NU). Mereka belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang saat itu
dipercaya sebagai Imam besar Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram, Mekkah.

Para santri Syekh Ahmad Khatib diberi kebebasan untuk membaca tulisantulisan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, dan para pembaharu lainnya,
seperti Tafsir Al Manaar dan lainnya. Konon, dengan harapan para santri bisa
memahami pemikiran baru dan bisa menentangnya. Namun yang terjadi justru
malah sebaliknya. Syekh Jambek, Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, dan
Ahmad Dahlan justru menjadi pendukung pembaharu tersebut. Sedangkan
sebagian muridnya yang lain seperti Syekh Sulaiman Rasul dan Hasyim Asy’ari
tetap setia berpegang pada mazhab Syafi’i.
Menurut Taufik Abdullah (dalam Yudhi Andhoni), sejak awal abad ke-20
munculnya gerakan modernis Islam yang digagas oleh Jamaluddin, Abduh, dan
Rasyid Ridha begitu cepat menyebar di Sumatera Barat. Keberadaan ulama muda
seperti Abdullah Ahmad, Haji Rasul, dan Thaher Djalaludin menjadi pioner
gerakan kaum muda. Mereka mempraktikkan sistem pendidikan modern dengan
memadukan pengetahuan umum dan agama, sementara disisi lain menyerang
praktik-praktik tradisi yang dianggap ketinggalan zaman dan pembodohan.7
Abdullah Ahmad menyebarkan gagasan modernisasinya melalui majalah
Al Munir yang bertujuan untuk “ memimpin dan memajukan anak bangsa
kita...pada agama yang lurus dan pada i’tikad yang betul”. Wawasan keislaman
tokoh ini diakui oleh ulama Timur Tengah dan pada sauatu konferensi khilafat di
Cairo pada 1926, dia bersama Haji Rasul menerima gelar kehormatan Doktor
dalam bidang agama. 8

Lokus gerakan modernisme Islam saat itu lahir seiring sejalan dengan
gegap gempitanya kesadaran kalangan terpelajar (didikan sekolah Belanda) akan
nasionalisme dan antikolonialisme. Sedikit banyaknya mewarnai karakteristik
gerakan modernis Islam di Indonesia.

Kesadaran untuk merapihkan gerakan

7Yudi Andhoni, “Sekulerisme vs Modernisme Islam : Konflik Pemikiran
Kaum Cendikiawan Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat
1930-1942”, Jurnal Analisis Sejarah, Vol. 5, No. 1, 2014. hlm. 84.
8Deliar Noer, opcit.,hlm. 47.

pembaharuan Islam dalam suatu naungan organisasi yang efektif dan efisien
menjadi ciri tersendiri.
Munculnya Gerakan politik kebangsaan diawali oleh kemunculan SDI
(Syarikat Dagang Islam) yang dipelopori oleh Haji Samanhoedi di Solo.
Meskipun pada awalnya SDI bertujuan untuk menciptakan daya saing yang kuat
di kalangan pengusaha pribumi melawan dominasi China dalam industri batik
yang dibekingi oleh pemerintah kolonial Belanda. Tujuan SDI dengan cepat
mendapat respon dari kalangan pribumi yang memiliki fanatisme Islam yang kuat.
Bukan saja perasaan anti China yang timbul melainkan pula perasaaan anti
kolonial yang sudah lama menyengsarakan rakyat dan berlaku tidak adil. Atas
usul Tjokro Aminoto, agar SDI jangan dibatasi hanya golongan pedagang, tetapi
diperluas sehingga kata dagang saat penyusunan anggaran dasar dapat dihapus
diganti dengan nama Syarikat Islam. Dengan demikian, pergerakan Syarikat Islam
yang semula sekedar memajukan perdagangan kalangan pribumi Islam, saling
membantu terbinanya jasmani dan rohani, dan memajukan masyarakat Islam, pada
tahun 1917 berkembang menjadi pergerakan politik yang menggunakan Islam
sebagai dasar perjuangan dan mencita-citakan kemerdekaan.
B. Bentuk- bentuk Gerakan Modernis Islam di Indonesia
Pengaruh modernisasi atas paham keagamaan yang terjadi di Timur
Tengah sebagai sebuah upaya untuk menjawab kolonialisme yang melanda negerinegeri yang berpenduduk mayoritas Islam menyebar hampir di seluruh belahan
bumi Islam, termasuk diantaranya di Indonesia. Adapun bentuk-bentuk gerakan
modernis yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah :
a)

Gerakan Puritanisme
Gerakan ini pertama kali diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahhab

di Nejd. Gerakan puritanisme ini masuk ke Indonesia melalui tiga orang yang
baru pulang dari haji ditanah suci, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji
Piobang. Mereka melakukan penentangan terhadap praktek kehidupan beragama

masyarakat Minangkabau yang telah banyak terpengaruh oleh unsur-unsur
takhayul, khurafat dan bid’ah.
Karena aktifitas mereka di anggap cukup membahayakan keberadaan
kaum tua atau kaum adat, maka kaum tua meminta bantuan Belanda. Pada tahun
1821-1837 M terjadilah Perang Paderi. Dalam pertempuran yang tak seimbang itu
kaum ulama mengalami kekalahan. Kekalahan ulama dalam Perang Paderi dalam
menghadapi Belanda tidaklah membuat patah semangat para tokoh pejuang
pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin hebat. Gerakan pembaharuan itu tidak
lagi bersifat politik agama, tetapi di alihkan ke dalam gerakan pembaharuan
pendidikan.
b)

Gerakan Reformisme
Gerakan reformis adalah suatu gerakan pembaharuan yang dilakukan

untuk kembali kepada dasar Islam yang asli. Kelompok ini berusaha menerapkan
sistem ajaran Islam seperti yang ada pada zaman Nabi SAW.
c)

Gerakan Radikalisme
Gerakan ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para

pembaharu Islam untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat Islam,
sehingga mereka akan menjadi masyarakat yang maju. Namun sebelum itu, unsurunsur yang terdapat dalam ajaran Islam yang tercemar oleh takhayul, bid’ah dan
khurafat harus dibersihkan terlebih dahulu. Dalam tatanan pelaksanaan
pembaharuan seperti ini, biasanya cara yang ditempuh melalui bentuk-bentuk
radikal yang tak jarang dengan menggunakan kekerasan. Pada umumnya, gerakan
ini menentang kekuasaan Barat yang kafir.
d)

Gerakan Neo-sufisme
Gerakan ini merupakan kelanjutan dari gerakan yang dilakukan para

pembaharu dari kelompok tarekat atau tasawuf dengan mengambil bentuk baru.
Bentuk baru itu adalah aktifisme. Bentuk aktifisme dalam gerakan ini membuat
masyarakat menjadi dinamis. Bahkan dengan gerakan ini masyarakat dapat

mengembangkan diri tanpa banyak bergantung kepada uluran kelompok atau
bangsa lain.
Di antara unsur aktifisme adalah jihad. Melalui kata kunci inilah umat
Islam melakukan pembaharuan, terutama menentang segala bentuk penjajahan
dan keterbelakangan. Gerakan ini banyak mewarnai berbagai pemberontakan
Islam di tanah air dalam masa-masa penjajahan, misalnya pemberontakan petani
Banten pada tahun 1888 M.9

C. Pertumbuhan Dan Perkembangan Gerakan Modernis Islam Di Indonesia.
1. Gerakan Politik Islam Di Indonesia
Di antara beberapa partai Islam yang pernah hadir di tengah-tengah
masyarakat Islam Indonesia yang cukup menonjol, tercatat antara lain adalah :
a. Partai Serikat Islam Indonesia
Cikal bakal gerakan politik Islam di Indonesia diawali dengan berdirinya
Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudhi dan kawan-kawan
para pedagang batik di Kota Solo pada tanggal 16 Oktober 1905, 3 tahun sebelum
lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908. Pada saat SDI dibentuk gerakannya tidak
diarahkan pada bidang politik praktis, melainkan diarahkan untuk:
1). Pertama untuk menghimpun kekuatan para pedagang baik guna melawan
pedagang Cina yang memonopoli perdagangan bumbu batik dengan memainkan
harga seenaknya sendiri.
2). Kedua untuk menghadapi sikap superioritas orang-orang Cina terhadap
orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina pada tahun
1991.

9 Murodi MA , Sejarah kebudayaan Islam, (Semarang : Karya Toha, tt). hlm.
196-198.

b.

Partai Islam Masjumi
Sesungguhnya Partai Masjumi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan

politik oraganisasi-organisasi Islam pada akhir zaman penjajahan Belanda yang
dikenal dngan nama MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia). MIAI adalah suatu
wadah federasi dari semua organisasi Islam, baik yang bergerak dalam bidang
politik praktis maupun yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan yang
didirikan pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya atas inisiatif KH. Mas
Mansyur (Muhammadiyah), KH. Wahab Hasbullah (NU) dan Wondo Amisero
(Sarekat Islam). Kemudian pada masa Pendudukan Jepang gabungan gerakan
Islam yang juga bersyifat federasi semacam MIAI ini dinamakan Majlis Syura
Muslimin Indonesia.

2.

Gerakan Sosial Kemasyarakatan Islam Di Indonesia
Beberapa oraganisasi Islam yang bergerak dalam bidang pembinaan

kehidupan masyarakat (infra struktur), lewat gerakan dakwah Islam amar ma’ruf
nahi munkar yang dalam ajarannya secara konsisten berpegang pada tiga prinsip,
yaitu :
1) Mengajak kepada umat untuk kembali pada ajaran al-Qur’an dan asSunnah secara murni.
2) Membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya kepada siapapunyang telah
berhak memeluknya.
3) Mengamalkan ajaran Islam secara konsisten, bersih dari berbagai gejala
kemusyrikan, khurafat, bid’ah, dan taqlid.
Organisasi yang beridentitas seperti diatas antara lain adalah Gerakan AlIslah wal Irsyad, Persatuan Islam, Muhammadiyah dan Persatuan Umat Islam
a.

Al-Irsyad

Al-Irsyad adalah organisasi Islam

nasional.

Perhimpunan

Al-Irsyad

mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran,
serta social dan dakwah bertingkat nasional.
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam'iyat al-Islah wal Irsyad alIslamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu
mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama,
di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial
Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-'Alamah Syeikh Ahmad Bin
Muhammad Assoorkaty Al-Anshary, seorang ulama besar Mekkah yang berasal
dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan
perkumpulan Jami'at Khair yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari
orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.
Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya: Syeikh
Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh Muhammad bin Abdulhamid alSudani. Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam
lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh Ahmad Surkati diangkat sebagai
Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami'at Khair di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun
sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya
bertahan tiga tahun di Jami'at Kheir, karena perbedaan faham yang cukup prinsipil
dengan para penguasa Jami'at Kheir, yang umumnya keturunan Arab sayyid
(alawiyin).
Sekalipun Jami'at Kheir tergolong organisasi yang memiliki cara dan
fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut
persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami'at
Kheir dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad Surkati tentang kafaah
(persamaan derajat). Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur
dari Jami'at Kheir, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan dihari itu
juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-Alawi

mendirikan

Madrasah

Al-Irsyad

Al-Islamiyyah,

serta

organisasi

untuk

menaunginya: Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama
Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).10
Pada perkembangannya, Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah
mengalami beberapa pergantian nama. Hingga pada tahun 2007, perhimpunan ini
secara resmi mengganti nama dengan Perhimpunan Al-Irsyad (Jam'iyat AlIrsyad).
Perhimpunan Al-Irsyad memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen
anggota masing-masing yaitu :
·

Wanita Al-Irsyad

·

Pemuda Al-Irsyad

·

Puteri Al-Irsyad

·

Pelajar Al-Irsyad.
Peran masing-masing organisasi yang tengah menuju otonomisasi ini

(sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad
misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen
bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang
ikut aktif melahirkan KAPPI(Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Di luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki
majelis-majelis dan lembaga, yaitu :
·

Majelis Pendidikan & Pengajaran

·

Majelis Dakwah & Fatwa

·

Majelis Sosial dan Ekonomi

·

Majelis Wakaf dan Yayasan

·

Majelis Hubungan Luar Negeri.

·

Organisasi Pengkaderan

·

Lembaga Istisyariyah, yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad

dan kalangan ahli.
10 Soegijanto Padmo, 2007, “Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia
Dari Masa Ke Masa”, Jurnal Humaniora UGM Vol.19 No.2, Yogyakarta, 2007.,
Hal. 151-160.

b.

Persatuan Islam (Persis)

Persatuan Islam (Persis) didirikan Oleh KH. Zamzam, seorang alim dari
Palembang pada tanggal 17 September 1923 di kota Bandung. Persis bertujuan
mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah SAW. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut Persis melakukan
berbagai usaha, antara lain mendirikan berbagai madrasah, pesantren, kegiatan
tabligh, menerbitkan majalah maupun buku-buku agama. Di antara majalah yang
sangat populer di tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia, bahkan sampai
juga di Malaisia adalah majalah ‘Pembela Islam’ dan majalah ‘Al-Muslimun’.
c. Muhamammadiyah
Menurut bahasa , nama Muhammadiyah berasal dari kata Muhammad
yang berarti nama Rasul terakhir. Kemudian diberi tambahan ya nisbah dan ta’
marbutoh yang mennunjukkan penyifatan. Dengan demikian , Muhammadiyah
berarti gerakan gerakan yang mempunyai sifat Nabi Muhammad SAW atau
pengikut Muhammad. Organisasi Muhammadiyah didirikan di Kauman
Yogyakarta oleh KH Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H / 18
November 1912 M.11
Muhammadiyah lahir atas keinginan KH. Ahmad Dahlan untuk
mengembalikan masyarakat pada pemahaman Al Quran dan sunnah secara murni.
Pada saat itu kehidupan keagamaan masyarakat sudah mulai dipengaruhi budaya
barat yang dibawa penjajah Belanda. Usaha yang mula-mula, disamping dalam
bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah Muhammadiyah, lebih banyak
ditekankan pada pemurnian taukhid dan ibadah dalam islam.
Secara garis besar perkembangan Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi:
1). Perkembangan secara vertikal

11 Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam,
(Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2006), hal. 38.

Yaitu perkembangan dan perluasan gerakan Muhammadiyah ke seluruh penjuru
tanah air, berupa berdirinya wilayah-wilayah di tiap-tiap provinsi, daerah-daerah
di tiap kabupaten/ kotamadya, cabang-cabang dan ranting-ranting serta jumlah
anggota yang bertebaran dimana-mana.
2). Perkembangan secara horizontal
Yaitu perkembangan dan perluasan amal usaha Muhammadiyah , yang meliputi
berbagai bidang kehidupan berupa majelis-majelis dan badan-badan.
Disamping majellis dan lembaga, terdapat organisasi otonom yaitu organisasi
yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan masih tetap memiliki
kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam Persyarikatan
Muhammadiyah, organisasi ortonom ada beberapa buah yaitu
a) ‘Aisyiyah
b) Nasyiatul ‘Aisyiyah
c) Pemuda Muhammadiyah
d) Ikatan Remaja Muhammadiyah (IMR)
e) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
f) Tapak Suci Putra Muhammadiyah
g) Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan.
Organisasi otonom di atas selain ‘Aisyiyah itu termasuk Angkatan Muda
Muhammadiyah (AMM), dimana keenam organisasi otonom ini berkewajiban
mengemban fungsi sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha
Muhammadiyah.
d. Persatuan Umat Islam (PUI)
Ormas Persatuan Umat Islam merupakan gabungan atau fusi dari PUI
Majalengka dan PUII Sukabumi. PUI majalengka singkatan dari

Perikatan

Ummat Islam (PUI) atau Perikatan Oemat Islam (POI) Majalengka didirikan oleh
K.H. Abdul Halim di Majalengka yang sebelumnya bernama Majlisul Ilmi (1911).
MI tumbuh dan berkembang melalui proses perjuangan yang penuh tantangan dan

rintangan dari penjajah Kolonial Belanda masa itu. Bahkan organisasi ini terpaksa
harus mengalami beberapa kali penyempurnaan dan pergantian nama.12
Penyempurnaan dimaksudkan untuk mendewasakan organisasi agar tahan
uji terhadap tempaan zaman dan ujian hidup. Sedangkan pergantian nama
dimaksudkan di samping untuk menyesuaikan diri terhadap misi dan beban
tanggung jawab yang harus dipikul, juga untuk menghindarkan diri dari intaian
dan ancaman pemerintah kolonial Belanda.
Tahun 1912 Majlisul Ilmi (MI) mengubah nama menjadi Hayatul Qulub
(HQ) yang berarti “menghidupkan hati”. Setelah peristiwa aksi pemogokan buruh
pabrik gula di Majalengka dalam rangka melawan penindasan penguasa Belanda,
HQ makin diawasi dan dicurigai Belanda. Lalu, atas anjuran banyak pihak, antara
lain dari tokoh pergerakan kemerdekaan HOS Cokroaminoto, HQ berubah nama
menjadi Persyarikatan Oelama (PO) tahun 1916.
PO pun mendapat rongrongan dari pihak penjajah, bahkan dari teman
seiring K.H. Abdul Halim sendiri yang telah terkena hasutan dan pengaruh aparat
pemerintah Belanda. Mereka memfitnah bahwa lembaga pendidikan (sekolah)
yang didirikan PO itu adalah “sekolah kafir” karena bentuk dan sistemnya seperti
sekolah Belanda, yaitu pendidikan dengan sistem kelas, duduk di bangku dan
menghadap meja serta papan tulis.
Tidak hanya itu, mereka yang tidak senang terhadap perkembangan PO juga
menyebarkan isu, bahwa PO itu bukan untuk dan milik rakyat awam, tetapi
khusus untuk dan milik para ulama.Disebarkan kabar, yang bukan ulama tidak
pantas dan tidak perlu masuk PO. Mereka pun menghasut masyarakat agar tidak
masuk PO. Terhadap fitnah tersebut, KH. Abdul Halim bergeming. Ia tetap pada
keyakinannya dan menerukan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam.
Pada masa awal pendudukan Jepang, organisasi-organisasi pergerakan
yang tahun 1938 bergabung dalam MIAI (PO, AII, Muhamadiyah, dan NU)
dibubarkan oleh penguasa kolonial Jepang. Para ulama atau pimpinan organisasi

12 Dartum Sukarsa, Potret KH. Abdul Halim, , (Bandung: Sarana Panca Karya,
2007), hal.28

tersebut kemudian mendesak penguasa Jepang agar organisasi-organisasi mereka
dibolehkan bergerak lagi.
Beberapa bulan kemudian, organisasi-organisasi tersebut diizinkan oleh penguasa
Jepang untuk melakukan kembali kegiatan-kegiatannya. Federasi MIAI pun
diizinkan bergerak lagi dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi).
Saat itulah PO berganti nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI).
Dengan perubahan Ejaan Bahasa Indonesia sistem Soewandi (1974), nama itu
menjadi Perikatan Ummat Islam (PUI).
Sedangkan PUII SUKABUMI merupakan singkatan dari Persatuan
Ummat Islam Indonesia (PUII) didirikan oleh KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi,
Jawa Barat. Pada awalnya, PUII bernama Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII).
Pada masa pendudukan Jepang, AII sebagai anggota MIAI mengalami proses
yang sama seperti PO. Pada saat itulah AII berganti nama menjadi Persatuan
Oemmat Islam Indonesia (POII) tahun 1942 dan berubah nama lagi tahun 1947
menurut Ejaan Soewandi menjadi PUII.
Perjuangan PUII Sukabumi sejak awal secara prinsip sama dengan PUI
Majalengka. Faktor utamanya, karena kedua pendiri organisasi itu, yakni KH.
Ahmad Sanusi dan KH. Abdul Halim, adalah sahabat karib yang sama-sama
menimba ilmi di Mekah, Arab Saudi, antara tahun 1908-1911 M. Istilahnya,
keduanya “saguru saeilmu”, satu guru satu ilmu. Keduanya bersahabat sangat
baik. Mereka pun sering saling bertukar pikiran, baik di bidang pendalaman ilmu
maupun pengalaman ilmunya kelak setelah kembali ke tanah air.
Waktu di Mekah, mereka juga bertemu dan menjalin persahabatan karib
dengan tokoh-tokoh pejuang Islam Indonesia lainnya, seperti KH. Mas Mansyur
(Muhammadiyah) dan KH.Abdul Wahab (Nahdlatul Ulama). Sekembalinya di
tanah air, persahabatan mereka berlanjut. Mereka saling berkunjung untuk lebih
memantapkan cita-cita yang telah terukir dan digalang sejak di perantauan, yaitu
cita-cita untuk menggalang persatuan dan kesatuan ummat Islam Indonesia. Bagi
mereka, persatuan umat Islam merupakan tulang punggung wawasan persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia.

Setelah masing-masing memimpin PO dan AII, frekuensi pertemuan
mereka makin tinggi dan efektif. Sejak KH. Abdul Halim (PO) diundang oleh KH.
Ahmad Sanusi untuk memberikan ceramah pada Muktamar AII di Sukabumi,
pada Maret 1935, rencana realisasi cita-cita tentang terciptanya persatuan dan
kesatuan ummat Islam Indonesia semakin konkret. Kedua ulama beserta seluruh
anggota masing-masing bertekad bulat untuk melebur organisasi mereka, guna
mewujudkan cita-cita bersama, dalam ikatan organisasi baru bernama Persatuan
Ummat Islam (PUI) .
Pada berbagai kesempatan, betapapun sibuknya mereka sebagai wakilwakil rakyat dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Choosakai, mereka menyempatkan
diri untuk menyusun rencana teknis pelaksanaan fusi kedua organisasi mereka.
Rencana mengenai nama bentuk organisasi hasil fusi, yaitu Persatuan
Ummat Islam, rancangan (konsep) kepengurusan, waktu serta tempat diadakan
fusi, dan lain-lain telah disepakati bersama.Tetapi takdir Allah tidak dapat
dielakkan. Sebelum upacara fusi dilaksanakan, KH. Ahmad Sanusi dipanggil oleh
Allah SWT. Beliau wafat tahun 1950.
Sesuai dengan wasiatnya kepada keluarga dan pengurus PUII agar pelaksanaan
fusi secepatnya direalisasi, maka tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan 9 Rajab
1371 H, PUI dan PUII resmi berfusi menjadi Persatuan Ummat Islam
(PUI).Tanggal 5 April pun dinyatakan sebagai “Hari Fusi PUI”.
Dalam beramal, PUI berpedoman pada Ishlahuts Tsamaniyah atau
Perbaikan Delapan bidang, yaitu: Perbaikan Keyakinan (Ishlah ‘Aqidah),
Perbaikan Ibadah (Ishlah Ibadah), Perbaikan Pendidikan (Ishlah Tarbiyah),
Perbaikan Keluarga (Ishlah ‘Ailah), Perbaikan Tradisi (Ishlah ‘Adah), Perbaikan
Ummat (Ishlah Ummah), dan Perbaikan Masyarakat secara keseluruhan (Ishlah
Muj’tama).
Para pendiri PUI, yaitu KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, dan Mr.
Syamsuddin,

berkat

jasanya

dalam

perjuangan

kemerdekaan

Indonesia,

dianugerahi Bintang Maha Putera Utama, berdasarkan No. 048/TK/Tahun 1992

tanggal 12 Agustus 1992. KH. Abdul Halim bahkan dianugerahi gelar Pahlawan
Nasional pada November 2008.
Saat ini, PUI memiliki jutaan kader.Anggota dan jaringan struktur terbesar
ada di Jawa Barat –jumlahnya ditaksir lebih dari 10 juta anggota. PUI memiliki
ribuan madrasah mulai tingkat Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI)
dan yang sederajat, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau SLTP, dan Madrasah Aliyah
(MA) atau SLTA sampai tingkat Perguruan Tinggi. Anggotanya beragam, tersebar
di daerah-daerah tingkat I (propinsi), yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur DI. Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh,
Riau, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan dan Bali.
Harus diakui, “bendera” PUI jarang atau tidak berkibar seperti bendera
ormas Islam lain, seperti NU dan Muhammadiyah. Popularitas PUI pun cukup
jauh di bawah kedua ormas tersebut. Akibatnya, kehadiran PUI kurang dirasakan
atau kurang dikenal di masyarakat.Penyebab utamanya, seperti dikemukakan
Anggota Penasihat PP PUI Prof. Dr. H. Hasan Mu’arif Ambary, MA., kegiatan
PUI di berbagai wilayah cenderung tidak menampilkan kehadiran organisasi PUI
itu sendiri. “Penyelenggaraan kegiatan yang semestinya menunjukkan organisasi
induk (PUI), sering dilakukan dengan mempergunakan lembaga lokal, misalnya
yayasan, sehingga kehadiran PUI kurang dikenal masyarakat,” tegasnya.
Popularitas PUI tidak sebesar nama-nama pengurusnya. Di tingpat pusat
(PB PUI), sejumlah tokoh tercantum sebagai pengurus PB PUI. Sebagai contoh
saja, KH. Cholid Fadhlullah (Ketua Penasihat), HM. Ahmad Rifa’I (Ketua Dewan
Pembina), KH. Anwar Saleh (Pembina), Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin (Dewan
Pakar), Sunmanjaya Rukmandis, dan banyak lagi. Kini popularitas PUI
“mencuat”, menyusul terpilihnya H. Ahmad Heryawan (Ketua Umum PB PUI)
sebagai Guburnur Jawa Barat periode 2008-2013 dalam Pilkada Jabar 2008.
Kegiatan PUI dewasa ini meliputi tiga bidang pokok, yakni pendidikan
formal (TK s.d. Perguruan Tinggi), Pendidikan Nonformal (Dakwah) seperti
Majelis Ta’lim, dan Kegiatan Sosial-Ekonomi seperti koperasi dan pendidikan
keterampilan

Secara teologis, sosiologis dan politis kehadiran Perikatan Ummat Islam
dan Persatuan Umat Islam Indonesia memiliki arti penting bagi kaum muslimin di
Indonesia, Keduanya dapat dikelompokkan sebagai kaum modernis.13
Pemikiran dan aktivitas PUI memiliki cirri-ciri:
1. Ajaran Islam yang dikembangkan PUI mengacu pada upaya kembali kepada Al
Quran dan Hadits, pintu ijtihad masih terbuka dan menolak taqlid.
2. dalam hal ijtihad, PUI memberi penghormatan kepada pendapat bukan kepada
orang. Sekalipun eksistensi kiayi masih digunakan, namun tidak lagi dipandang
ma’sum.
3. Pembicaraan Islam dalam PUI tidak terbatas pada pengelolaan pesantren dan
masjid, tetapi meluas pada pendirian dan pengelolaan madrasah, penerbitan buku,
bulletin dan sejenisnya.
4. Dalam hal pemanfaatan ilmu pengetahuan, PUI menerima sumber ilmu
pengetahuan dari barat selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
5. Gerakan yang diperjuangkan PUI dapat dipandang berhasil dalam menghambat
keterasingan kalangan yang mendapat pendidikan barat dari ajaran Islam.
6. Pada awalnya PUI memiliki fokus pada masalah agama, namun berangsur ke
ranah sosial dan politik. AlQuran dan Hadits bukan hanya sumber agama,
melainkan juga sumber cita pikiran politik dan social.

13 Wawan Hernawan, Seabad Persatuan Umat Islam (1911-2011) ,
(Bandung : Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia-Jawa Barat, 2014),hlm. 438

BAB III
KESIMPULAN
Kemunculan gerakan modernis Islam di dunia merujuk pada polarisasi
model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian abad ke- 19.
Islam modern berasal dari gerakan sosial politik keagamaan yang diprakarsai oleh
Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha di Mesir. Mereka
melakukan modernisasi terhadap Islam karena mereka ingin membebaskan ummat
Islam dari penjajahan BaratKemunculan gerakan modernis Islam di dunia
merujuk pada polarisasi model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada
pergantian abad ke- 19. Islam modern berasal dari gerakan sosial politik
keagamaan yang diprakarsai oleh Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh,
dan Rasyid Ridha di Mesir. Mereka melakukan modernisasi terhadap Islam karena
mereka ingin membebaskan ummat Islam dari penjajahan Barat.
Dalam kasus Indonesia, gerakan modernisasi bermula ketika kalangan
santri belajar memperdalam Islam di Mekkah. Mereka diantaranya adalah Syekh
Muhammad Jambek, Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad, Syekh Sulaiman
Rasul, Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan Hasyim Asy’ari (pendiri
NU). Mereka belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang saat itu
dipercaya sebagai Imam besar Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram, Mekkah.
Adapun bentuk-bentuk gerakan modernis yang terjadi di Indonesia
diantaranya

adalah:

gerakan

puritanisme,

gerakan

radikalisme,

gerakan

reformisme dan gerakan neo-sufisme.
Perkembangan dan pertumbuhan gerakan modernisme di Indonesia dapat
dilacak dari sejarah dan perkembangan berbagai organisasi Islam seperti: Al
Irsyad, Muhammadiyah, Persis dan PUI.

DAFTAR PUSTAKA
Andhoni, Yudi,. “Sekulerisme vs Modernisme Islam : Konflik Pemikiran Kaum
Cendikiawan Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat 19301942”, Jurnal Analisis Sejarah, Vol. 5, No. 1, 2014.
Hernawan, Wawan,. Seabad Persatuan Umat Islam (1911-2011) , Yayasan
Masyarakat Sejarah Indonesia-Jawa Barat, Bandung, 2014.
Hikam, Muhammad A.S., Islam Demokratisasi & Pemberdayaan Civil Society.
Erlangga, Jakarta, 2000.
Nasution, Harun,. Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Bulan Bintang, Jakarta, 1975.
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Karya Toha, Semarang, tt.
Nata, Abudin,. Metodologi Studi Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2008.
Noer, Deliar,. Gerakan modern Islam di Indonesia 1900-1942., LP3Es, Jakarta,
1982.
Padmo, Soegijanto ,.” Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia Dari Masa Ke
Masa”, Jurnal Humaniora UGM Vol.19 No.2, Yogyakarta, 2007.
Putuhena, Shaleh,. Historiografi Haji Indonesia, LkiS, Yogyakarta, 2007.
Sukarsa, Dartum ,.Potret KH. Abdul Halim, , Sarana Panca Karya, Bandung,
2007.
Wahid, Abbas,. Suratno,. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam, Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, Solo, 2006.