Gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta yang diperoleh dari respon C.A.T - USD Repository

  

i

GAMBARAN KONSEP DIRI ANAK USIA SEKOLAH DI YOGYAKARTA

YANG DIPEROLEH DARI RESPON C.A.T

  

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh:

Ni Kadek Ayu Duwi Sawitri

NIM : 089114009

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013 ii

iii

  

iv

Tetaplah SETIA !!

“kerjakanlan bagian kita dengan setia...Dan

lihatlah, Tuhan akan mengerjakan

bagianNya sempurna” Karya ini ku persembahkan untuk: Ida Sang Hyang Widhi atas Kekuatannya sampai saat ini, Keluarga besar

  My Lovely Teman-teman Dan semua pihak atas bantuan dan suportnya Terima Kasih Banyak

  I Love U all v vi

  

GAMBARAN KONSEP DIRI ANAK USIA SEKOLAH DI YOGYAKARTA

YANG DIPEROLEH DARI RESPON C.A.T

Ni Kadek Ayu Duwi Sawitri

  

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta dengan menggunakan C.A.T. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode proyektif. Subjek dalam penelitian ini sebanyak 60 subjek yang berusia 6-11 tahun. Pemilihan subjek menggunakan purposive sampling, dengan karakteristik lahir dan berdomisili di Yogyakarta. Metode pengumpulan data menggunakan dokumen berupa laporan hasil praktikum tes C.A.T. Analisis data dilakukan dengan cara analisis tematik. Interpretasi awal yang dilakukan ialah mengidentifikasikan tema deskriptif, tema interpretif dan menentukan tema diagnostik. Dari pengkatagorian ragam konsep diri dan pengaktagorian agency dan communion, menunjukkan bahwa konsep diri yang paling banyak muncul terkait relasi keluarga mengenai kepatuhan. Selanjutnya terkait aspek kemampuan mengenai kemandirian. Kemudian, aspek sosial mengenai membantu dan menolong. Aspek fisik mengenai diri yang kuat dan aspek akademik mengenai diri yang pintar dan kemampuan memenangkan kompetisi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa gambaran diri anak usia sekolah di Yogyakarta cenderung pada kepatuhan dan kemandirian. Gambaran diri yang muncul saat ini kemungkinan adanya pergeseran gambaran diri dari tahun 60an, bahwa pada masa itu gambaran diri anak Jawa seperti patuh atau penurut, sopan, dan hormat, akan tetapi hasil penelitian ini menunjukan bahwa gambaran diri mengenai kemandirian baru terlihat, namun mengenai kepatuhan masih terlihat penting. Hal ini dapat dipngaruhi oleh pola asuh orang tua Jawa yang lebih mengarah pada pola asuh menorong. Gambaran diri menganai kepatuhan banyak muncul pada cerita C.A.T pada kartu no 10, 8, dan 7, sedangkan gambaran diri kemandirian terlihat pada kartu no 10, 6, 5 dan 7.

  Kata kunci: konsep diri, anak usia sekolah, budaya jawa

  

IMAGE OF SCHOOLCHILD SELF-CONCEPT IN YOGYAKARTA

FROM C.A.T RESPONS

Ni Kadek Ayu Duwi Sawitri

ABSTRACT

  This research purposed to see the image of school-age children in Yogyakarta with C.A.T.

This research used qualitative approach with interpretative phenomenology analyzes. Subject in

this research was 60 subjects aged 6-11 years old. Subject selection used purposive sampling, with

characteristic born and stays in Yogyakarta. Collecting data method used document as report of

practical C.A.T test result. Data analyze was conducted with thematic analyze. Initial

interpretation was identification descriptive theme, interpretive theme and determined diagnostic

theme. Based from self-concept and agency and communion categorization it is known that most

prominent self-concept due to family relation is obedience, follow by independent and aspect

social of help and assist. Physical aspects are related to strong and academic aspect concerning

smart-concept and skill to win particular competition. This indicates self-concepts hold by school-

age children, in Yogyakarta, incline on obedient and independent. These self-images may reflect

displacement on self-image in 60s, which self-images of Javanese children at given time were

obedient, courteousness and respectful. However, present research reveal that self-image

concerning independency is arise recently, which obedience remain significant. This is influence

by Javanese-parent nurturing style on help-style. Self-image related to obedience largely indicated

in C.A.T on card number 10, 8 and 7, while independency is indicated in C.A.T card number 10, 6,

5 and 7.

  Keywords: self-concept, school-age children, Javanese culture

  viii ix

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitianGambaran KonsepDiri Anak Usia Sekolah di Yogyakarta yang

  

Diperoleh Dari Respon C.A.T . Adapun penulisan ini dimaksudkan untuk

  memenuhi syarat dalam mendapatkan gelar sarjana psikologi. Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis,

  1. Ibu Agnes Indar Etikawati S.Psi, M.Si atas bimbingannya selama saya mengerjakan skripsi, dan untuk segala kesempatan yang pernah diberikan.

  2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen pembimbing akademik saya. Terimakasih bu tidak pernah bosan mengingatkan saya untuk segera lulus setiap awal semester. Terimakasih juga sudah menularkan semangat yang luar biasa.

  3. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi, M.si dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi, Psi, Pak Toni, dan Mbak Tia yang telah memberi kesempatan dan membimbing saya dalam mengaplikasikan ilmu saya di P2TKP.

  4. Semua dosen di fakultas psikologi, terutama yang pernah mengajar saya.

  Terimakasih untuk ilmu yang sudah diberikan dengan rela hati, pelajaran hidup, dan ketulusan dalam mendidik saya.

  5. Karyawan Fakultas Psikologi ( Mas Muji, Mas Doni, Mbak Nanik, Mas Gandung, dan Pak Gi) dan Pengurus Perpustakaan Universitas Sanata x

  Dharma. Terima Kasih atas bantuannya selama masa kuliah dan pengerjaan skripsi.

  6. Bapak, Ibu, Kak Sinta, Kak Joni, Kak Setia, Mita dan seluruh keluarga besar untuk semua dukungan dan doa nya, untuk suport, cinta dan kasih yang luar biasa.

  7. Bayu My Lovely makasih atas doa, kekuatan dan semangatnya. Makasih untuk kasih sayang yang tiada henti dan kesabarannya dalam menemani pembuatan skripsi ini.

  8. Teman-teman seperjuanganku Mila, Dewi, Puput, Vita, Winas, Aix, Vicke, Tiwi, Ingatsaat-saat kita galau bersama atau saat-saat saling menguatkan, menyemangati, saat-saat konyol kita. Makasih teman-teman ayo lanjutkan perjuangan kalian…

  9. Ce Lisa, Cen-cen, Mbak Rani, Ayu, Dayu, dan Made menjadi keluarga kedua di kost untuk berbagi suka dan duka bersama, selalu mengingatkan dan menasehati, selalu menolong dan tentunya selalu mensuport.

  10. Cory, Panji, Cahyadi, Febry sebagi teman yang selalu memberi suport untuk cepat lulus dan tempat mencurahkan keluh kesah selama ini .

  Terima kasih doa dan semangatnya kawan. Akhir kata, penulis hendak menyampaikan permintaan maaf sebesar- besarnya apabila dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna untuk siapapun yang membacanya.

  Penulis xi

  DAFTAR ISI Hal.

  

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING............................ ii

HALAMANPENGESAHAN......................................................................... iii

HALAMAN MOTTO .................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................

  v

  

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................. vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

ABSTRACT .................................................................................................... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............... ix

KATA PENGANTAR....................................................................................

  x

  

DAFTAR ISI................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

  1 A. Latar Belakang...................................................................................

  1 B. Rumusan Masalah ..............................................................................

  5 C. Tujuan Penelitian ...............................................................................

  5 D. Manfaat Penelitian .............................................................................

  6 1. Manfaat Teoritis..........................................................................

  6 2. Manfaat Praktis ...........................................................................

  6 xii

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................

  7 A. Konsep Diri........................................................................................

  7 1. Pengertian Konsep Diri..................................................................

  7 2. Dimensi atau Cakupan Konsep Diri ..............................................

  8 3. Jenis-jenis Konsep Diri ..................................................................

  11 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Konsep Diri ....

  13 B. Anak Usia Sekolah.............................................................................

  16 1. Pengertian Anak Usia Sekolah.......................................................

  16 2. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah ..........................

  16 C. Konsep Diri Anak Usia Sekolah ........................................................

  19 D. Pola Asuh Keluarga Jawa ..................................................................

  20 E. C.A.T (Children Apperception Test)..................................................

  23 F. Gambaran Konsep Diri Anak Jawa pada Usia Sekolah yang Diperoleh dari Respon C.A.T ...........................................................

  24 G. Pertanyaan Penelitian.........................................................................

  29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................

  30 A. Metode Penelitian ..............................................................................

  30 B. Fokus Penelitian.................................................................................

  30 C. Subjek Penelitian................................................................................

  32 D. Metode Pengumpulan Data................................................................

  32 1. Metode ...........................................................................................

  32 2. C.A.T..............................................................................................

  33 xiii

  E. Analisis Data ......................................................................................

  34 1. Tema Deskriptif ..........................................................................

  34 2. Tema Interpretif ..........................................................................

  35 3. Tema Diagnostik.........................................................................

  35 F. Keabsahan Data Penelitian .................................................................

  35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................

  36 A. Pelaksanaan Penelitian.......................................................................

  36 B. Hasil Penelitian ..................................................................................

  36 1. Ragam Konsep Diri ....................................................................

  36 2. Gambaran Diri Agency dan Communion ....................................

  39 C.Pembahasan.........................................................................................

  43 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................

  47 A. Kesimpulan ........................................................................................

  47 B. Saran...................................................................................................

  48 1. Orang Tua ...................................................................................

  48 2. Peneliti Selanjutnya ....................................................................

  48 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

  49 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................

  52 xiv

  xv

  

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Pengkategorian Ragam Konsep Diri...................................................

  37 Tabel 2.Gambaran Diri Agency dan Communion ............................................

  40

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terbentuknya identitas diri merupakan hal yang cukup mendapat perhatian dari para ahli (Santrock, 2002) dan masyarakat pada umumnya. Pembentukan identitas diri dimulai sejak kecil, sejak masa kanak-kanak. Pada masa kanak-kanak, anak mulai menyadari identitas atau siapa dirinya

  dari penilaian atau pandangan mengenai bagaimana dirinya dalam hal-hal tertentu. Penilaian atau pandangan ini disebut sebagai konsep diri.

  Menurut Santrock (2002), konsep diri adalah pandangan mengenai diri sendiri terkait dalam beberapa domain atau aspek khusus, dapat meliputi aspek fisik, sosial, psikologis, dan akademik yang diperoleh melalui pengalaman individu saat berinteraksi dengan orang lain. Anak membentuk konsep dirinya berdasarkan interaksi dengan lingkungan (Centi, 1993) dan dari apa yang dapat dikuasainya (Erikson dalam Santrock,1995). Pada usia sekolah, konsep diri sudah terbentuk secara akurat. Konsep diri ini nantinya akan turut menentukan pola perilaku atau kepribadian individu (Rogers dalam Burns 1993).

  Proses terbentuknya perilaku dan kepribadian dipengaruhi oleh tiga dimensi konsep diri yaitu, pengetahuan mengenai dirinya seperti watak, peran, sikap, dan kemampuan. Individu yang sudah mengetahui tentang dirinya, akan memiliki haparan yang merupakan dimensi kedua. Harapan

  2 berupa cita-cita, ispirasi, dan dambaan ingin menjadi apa dirinya nanti. Kemudian pada dimensi ketiga yaitu penilaian, individu memiliki peran sebagai penilai terhadap dirinya, seperti menilai apakah dirinya bertentangan antara harapan dan strandar yang ditetapkan bagi dirinya sendiri. Apabila individu hidup dengan standar dan harapan yang seimbang lalu individu menyukai dirinya akan memiliki rasa harga diri yang tinggi dan sebaliknya.

  Beberapa sumber mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri yang positif akan lebih mengharagai dirinya, lebih yakin pada diri dan kemampuannya, tidak mengalami hambatan dalam bersosialisasi, dan pada akhirnya ia dapat berkembang secara lebih optimal. Sebaliknya, individu yang memiliki konsep diri negatif akan merasa ragu, tidak percaya diri dan menumbuhkan penyesuain diri yang kurang optimal (Jacinta F, 2002; Centi, 1993; Rakhmat, 2001).

  Terbentuknya konsep diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengasuhan orang tua, orang-orang terdekat, pengalaman, lingkungan, masyarakat dan budaya (Centi, 1993; Jacinta, 2002; Papalia, Old, dan Felman 2009). Cara orang tua dalam mengasuh anak menjadi peranan yang penting bagi perkembangan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan setiap respon dan sikap orang tua terhadap anak akan memberikan informasi bagi anak untuk menilai dirinya. Penilain dari orang tua dan orang-orang terdekat kepada anak sebagian besar menjadi penilaian yang anak pegang tentang dirinya. Harapan orang tua terhadap

  3 anak akan digunakan sebagai patokan anak untuk menilai kemampuannya dalam berprestasi.

  Budaya juga mempengaruhi terbentuknya konsep diri anak. Melalui orang tua, secara tidak langsung dalam percakapan dengan anaknya akan menularkan ide dan nilai-nilai maupun keyakinan budaya mengenai bagaimana mendefinisikan diri. Seperti, orang tua di Cina lebih mendorong berperilaku yang santun, kepatuhan terhadap otoritas, dan rasa memiliki terhadap masyarakat. Pada orang tua Eropa-Amerika mendorong mandiri dari diri seperti, individualitas, ekspresi diri, dan harga diri (Papalia, Old, dan Felman 2009).

  Penelitian komparatif Wang (dalam Papalia, dkk, 2009) terhadap 180 anak prasekolah, TK, dan kelas 2, kulit putih dan keturunan Cina, menemukan bahwa anak menyerap gaya budaya yang berbeda mulai umur 3 atau 4 tahun dan semakin terlihat dengan meningkatnya usia. Anak yang keturuana Cina lebih banyak bicara tentang kategori dan hubungan sosial, sedangkan anak yang berkulit putih cenderung menggambarkan diri mereka dalam bentuk atribut dan keyakinan pribadi.

  Hasil penelitan di atas menunjukkan bahwa budaya yang berbeda memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap anak dalam mempersepsikan dirinya, sehingga peneliti ingin melihat dalam budaya Jawa dan peneliti memilih kota Yogyakarta karena sebagian besar, tercatat 96,8% masyarakatnya berbudaya Jawa. Hal tersebut terlihat dari masyarakat Yogyakarta masih mempraktekkan tata nilai budaya Jawa dan

  4 dalam hubungan sosial sehari-hari menggunakan bahasa Jawa Dyah Respati dan Syarifah Nazir (dalam Tarakanita dan Widiarti, 2002).

  Seperti telah diketahui bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai atau adat istiadat dan unggah-ungguh yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Budaya Jawa memiliki tiga ciri khas pola asuh yakni pola asuh mendorong, menghambat dan membiarkankan. Pola asuh yang mendorong seperti, membelokkan dari tujuan yang tidak diinginkan, menunda kebutuhan sesaat, mengajarkan kesopanan dan kepatuhan, memberi perintah yang terperinci tanpa emosional, dan memberi hadiah merupakan pola asuh yang dapat membentuk anak menjadi lebih baik dalam hal kemampuan umum maupun akademik (Idrus, 2011). Pola asuh menghambat seperti, menakut- nakuti melalui ancaman tentang nasibnya, memberi hukuman, dan memusuhi. Pola asuh demikian akan membentuk anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, menarik diri dan cemas. Pola asuh membiarkan seperti membebaskan anak untuk bermain dengan temannya dan membiarkan anak untuk melakukan sesuatu. Pola asuh ini akan membuat anak manja dan kurang percaya diri. Untuk itu, peneliti ingin melihat konsep diri anak usia sekolah yang dipengaruhi oleh faktor pola asuh dari budaya jawa.

  Konsep diri dalam penelitian ini dilihat menggunakan metode proyektif, yaitu metode yang diharapkan dapat menggali aspek psikologis yang ada di dalam diri subjek. Dibandingkan dengan metode yang lain,

  5 tehnik proyektif lebih mempermudah seorang peneliti untuk menggali informasi dari anak-anak. Tehnik proyektif membuat anak-anak tidak merasa terancam dibandingkan jika harus mengutarakan perasaan secara langsung seperti yang ada pada metode wawancara (Wenar & Kerig, 2000). Metode proyektif yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes C.A.T. Respon yang dimunculkan dari cerita C.A.T dapat melihat konsep diri subjek yang dilihat dari tokoh utama dalam cerita. Biasanya tokoh utama dalam cerita memunculkan konsep fisik, peran sosialnya dan pemikirannya sebagai seseorang, yang terkait dengan aspek konsep diri.

  Berdasarkan berbagai uraian di atas, maka peneliti ingin mengetahui gambaran konsep diri anak yang tinggal di Yogyakarta, dimana masyarakatnya berbudaya Jawa. Gambaran konsep diri akan digali dengan C.A.T, salah satu tes dengan metode proyektif.

  B. Rumusan Masalah

  Bagaimana gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta yang diperoleh dari CAT?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri anak usia sekolah di Yogyakarta dengan menggunakan CAT.

  6

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan informasi dalam bidang psikologi perkembangan anak secara umum dan secara khusus dalam mengetahui gambaran konsep diri anak usia sekolah.

  2. Manfaat Praktis

  a. Orang tua khususnya orang tua di Yogyakarta Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai konsep diri anak di Yogyakarta, sehingga para orang tua dapat memahami perkembangan konsep diri pada anak.

  b. Psikolog Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan referensi kepada para calon psikolog maupun psikolog dalam melakukan assesmen dan pendampingan pada anak-anak usia sekolah, khususnya anak-anak di Yogyakarta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

  Setiap individu memiliki pengalaman dari kecil. Sejarah hidupnya dapat memunculkan gambaran atau pandangan lebih buruk maupun lebih negatif dari kenyataan yang sebenarnya (Centi 1993). Konsep diri merupakan hal yang sangat penting dalam kepribadian individu, karena konsep diri sebagai penentu individu untuk bertindak dalam situasi (Calhoun & Acocella, 1990). Individu yang berfikir akan berhasil maka akan memunculkan dorongan yang akan membuat individu sukses.

  Sebaliknya, jika individu berfikir akan gagal, maka individu menyiapkan kegagalannya.

  Konsep diri juga merupakan gambaran yang dimiliki individu mengenai dirinya, gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi (Hurlock, 1990). Hal ini juga didukung oleh Santrock (2002) bahwa konsep diri adalah evaluasi domain spesifik seperti, akademis, olahraga, penampilan fisik, dan lainnya yang dilakukan individu terhadap dirinya. Papalia, Old, dan Felman (2009) mendefinisikan konsep diri sebagai perasaan terhadap diri, gambaran deskriptif dan evaluatif mengenai kemampuan-kemampuan dan trait-trait seseorang. Menurut Rogers, konsep diri akan mempengaruhi bagaimana

  7

  8 seseorang menghargai diri sendiri dan lingkungannya. Konsep diri secara luas dapat diartikan sebagai persepsi kita terhadap diri sendiri. Lalu persepsi ini dibentuk selama hidupnya melalui penghargaan yang bersifat menguatkan (reward) dan hukuman (punishment) dari orang yang ada disekitarnya, terutama orang yang lebih dewasa. Persepsi ini meliputi persepsi fisik, jenis kelamin, kognisi, sosial, pekerjaan, motivasi, tujuan dan emosi Grinder (dalam Susanti, 2005).

  Berdasarkan pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan gambaran, pandangan, persepsi dan penilaian individu mengenai dirinya sendiri, yang meliputi karakteristi fisik, akademik, sosial, psikologis, emosi yang diperoleh melalui pendapat dari orang lain maupun pengalaman dan peristiwa di masa lalu.

  Konsep diri juga terbentuk dari bagaimana kita melihat diri sebagai pribadi, bagaiman kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan. Hal ini merupakan dimensi atau cakupan dari konsep diri.

2. Dimensi atau Cakupan Konsep Diri

  Beberapa ahli menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi konsep diri, walaupun menggunakan istilah yang berbeda. Paul J. Centi (1993) misalnya menyebutkan ketiga dimensi konsep diri dengan istilah: dimensi gambaran diri (self-image), dimensi penilaian diri (self-evaluation), dan dimensi cita-cita diri (self-ideal). Lalu Calhoun dan Acocella (1990),

  9 menyebutkan istilah dimensi konsep diri yang pertama adalah dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan, dan dimensi penilaian. Sebagain ahli menyebutkan dengan istilah: citra diri, harga diri, dan diri ideal. Kemudian Desmita (2009) menyimpulkan bahwa konsep diri terdiri dari tiga dimensi dengan istilah yaitu:

a. Pengetahuan Tentang Diri

  Dimensi pertama dalam konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri atau penjelasan dari “siapa saya” yang akan memberi penjelasan mengenai gambaran tentang diri. Gambaran diri tersebut akan membentuk citra diri. gambaran diri merupakan kesimpulan dari pandangan kita dalam berbagai peran yang kita pegang, seperti anak, orang tua, mahasiswa, istri, suami, dan sebagainya. Selanjutnya, pandangan kita tentang watak yang kita rasakan pada diri sendiri, seperti bersahabat, jujur, pemalas, dan sebagainya. Kemudian, pandangan kita tentang sikap yang ada pada diri kita, seperti kemampuan yang kita miliki.

  Persepsi mengenai diri kita seringkali tidak sama dengan kenyataan yang sebenarnya. Bagaimana kita melihat tentang diri merupakan definisi atau versi subjektif pribadi kita tentang diri kita. Penglihatan itu, dapat sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan diri yang sesungguhanya, begitu juga dengan gambaran diri. Hal ini disebabkan karena dihadapan orang lain atau masyarakat kita sering

  10 kali berusaha untuk menyembunyikan segi-segi tertentu dari diri kita untuk menciptakan kesan yang baik.

  b. Harapan Terhadap Diri

  Harapan atau diri yang dicita-citakan di masa depan merupakan dimensi kedua dari konsep diri. Ketika setiap individu memiliki beberapa pandangan mengenai siapa dirinya, pada saat yang bersamaan kita juga akan memiliki sejumlah pandangan lain mengenai kemungkinan menjadi apa kita dimasa mendatang. Pengharapan ini sering disebut sebagai diri-ideal (self-ideal) atau diri yang dicita- citakan. Cita-cita diri terdiri atas dambaan, aspirasi, keinginana bagi diri kita, harapan, dan seterusnya. Akan tetapi, perlu untuk diperhatikan bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai dengan kenyataan yang ada dalam diri kita. Walaupun demikian, hal ini menjadi faktor penting dalam pembentukan konsep diri dalam menentukan perilaku. Harapan dan cita-cita yang kita miliki akan membangkitkan kekuatan yang mendorong kita menuju masa depan dan akan memandu aktivitas kita dalam perjalanan hidup. Oleh karena itu, dalam menetapkan standar diri yang ideal harus disesuaikan dengan kemampuan yang kita miliki.

  c. Penilaian Terhadap Diri

  Dimensi ketiga yaitu penilaian terhadap diri kita. Penilaian diri sendiri merupakan pandangan tentang harga atau kewajaran kita sebagai pribadi. Setiap hari kita berperan sebagai penilai terhadap diri

  11 kita, seperti menilai apakah diri kita bertentangan : pengharapan bagi diri sendiri (saya dapat menjadi apa) dan standar yang kita tetapkan bagi diri kita sendiri (saya seharusnya menjadi apa). Kemudian hasil dari penilaian tersebut akan membentuk rasa harga diri, yakni seberapa besar kita menyukai diri kita. Orang yang hidup dengan standar dan harapan-harapan untuk dirinya sendiri serta menyukai dirinya akan memiliki rasa harga diri yang tinggi dan sebaliknya.

3. Jenis-jenis Konsep Diri Individu bisa mengembangkan konsep diri positif dan negatif.

  Konsep diri positif dan negatif menurut Jacinta, 2002; Centi, 1993; Rakhmat, 2001 adalah:

a. Konsep Diri Positif

  Konsep diri positif, biasanya mengenal dirinya sendiri dengan baik, menyukai dirinya, menyukai pekerjaan dan segala sesuatu yang ada dalam hidupnya dinilai menyenangkan. Selain itu, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya, lebih optimis, percaya diri, selalu bersikap positif dengan memandang kegagalan sebagai suatu penemuan dan pelajaran yang berharga untuk kedepannya bukan sebagai kematian, merasa setara dengan orang lain, dan mampu memperbaiki diri.

  12

  b. Konsep Diri Negatif

  Konsep diri negatif adalah keyakinan atau pandangan seseorang mengenai diri sendiri yang negatif dan cenderung tidak menyenangkan. Merasa tidak mampu terhadap diri sendiri, selalu merasa rendah diri, harga diri yang rendah, peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, cenderung merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan, pesimis, dan lain sebagainya.

  Selain dari segi positif dan negatif, konsep diri menurut Shavelson, Hubner dan Stanto (dalam Zahra.A.T, Arif.M.A, Muhammad.Y.I, 2010) juga digolongkan berdasarkan aspek-aspek berikut:

  a. Aspek Fisik

  Aspek fisik persepsi seseorang terhadap keadaan kesehatan, penampilan diri dan gerakan motoriknya seperti merasa cantik, taman, kurus, gemuk, kuat, dan lain sebagainya.

  b. Aspek Akademik

  Merupakan penilaian yang berkaitan dengan ketrampilan dan prestasi akademik, biasanya digambarkan seperti pandangan bahwa dirinya pandai, rajin, cermat, bodoh, dan lain sebagainya.

  c. Aspek Sosial

  Aspek sosial merupakan pandangan individu mengenai kemampuannya dalam berhubungan dengan dunia luar diri serta perasaan mampu dan berharga dalam lingkup interaksi sosial dengan

  13 orang lain secara umum. Biasanya merasa diri ramah atau ketus, periang atau pendiam, dan ekstrovert atau intrivert.

d. Aspek Emosi

  Lebih mengarah pada kondisi emosional tertentu seperti merasa sedih, bahagia, kecewa, marah, dan lain sebagainya.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Konsep Diri

  Menurut Centi (1993) faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah orang tua, orang terdekat, budaya dalam masyarakat dan pengalaman. Ahli lain yaitu Jacinta F. (2002) menyatakan bahwa konsep diri dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, pengalaman dan kritik diri sendiri. Selanjutnya menurut Calhoun & Acocella (1990), konsep diri dipengaruhi oleh orang tua, kawan sebaya, masyarakat, dan proses belajar.

  Selain itu, budaya juga dapat mempengaruhi terbentuknya konsep diri (Papalia, Old, dan Felman, 2009). Dari para ahli di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri yaitu:

a. Orang lain yang berpengaruh (Significant others)

  Orang yang berpengaruh adalah individu yang sangat penting keberadaannya. Seperti saudara kandung, teman sebaya, pacar atau yang dekat dengan individu. Mereka sangat berpengaruh dan pendapat- pendapat mereka, penilaian dan perlakuan dari orang-orang terdekat sangat berarti. Pengaruh yang mereka bawa sangat tergantung dari

  14 tingkat keterlibatan dan keintiman, dukungan yang diberikan serta kekuatan dan otoritas yang diberikan kepadanya.

  b. Pengasuhan Orang tua

  Orang tua yang secara tulus dan konsisten menunjukkan cinta dan sayangnya kepada anak, maka anak akan dibantu untuk memandang bahwa mereka pantas untuk dicintai, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Sebaliknya, jika orang tua tidak mampu memberikan kehangatan, penerimaan dan cinta kepada anak, seorang anak akan tumbuh dengan rasa ragu mengenai pantas atau tidaknya untuk diterima dan dicintai. Penilaian orangtua kepada anak, sebagain besar menjadi penilaian yang dipegang tentang diri oleh anak. Dengan banyak cara orang tua memberitahu tentang siapa diri anak tersebut. Pemberitahuan inilah yang akan mempengaruhi tentang apa yang dipikirkan oleh seorang anak. Hal ini juga didukung oleh Burns (1993), yang menyatakan banyak figur yang bermakna bagi individu yang pada intinya memberikan pengaruh pada dirinya, baik melalui umpan balik ataupun melalui perilaku yang kemudian diinternalisasikan dalam diri individu. Figur-figur tersebut memberi pengaruh yang sangat terasa dalam pembentukan dan perkembangan konsep diri.

  c. Masyarakat

  Masyarakat tidak hanya menetapkan bagaimana seseorang harus bertindak, tetapi juga bagaimana seseorang harus tampil dan tampak.

  Dalam masyarakat tersebut terdapat norma-norma yang berlaku dan

  15 merupakan cita-cita diri seseorang sekaligus cita-cita masyarakat.

  Mampu tidaknya seseorang memenuhi norma tersebut, penerimaan masyarakan terhadap diri seseorang dan kecocokan cita-cita diri seseorang dengan cita-cita masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan gambaran diri seseorang.

d. Pengalaman

  Pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, dipengruhi juga oleh pengalaman keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.

  Keberhasilan umumnya dapat mengembangkan harga diri seseorang, sebaliknya kegagalan dapat menghambat perkembangan gambaran diri ke arah yang positif. Pengalaman keberhasilan dan kegagalan sudah mulai diperoleh dari masa kecil dan akan tetap terjadi sepanjang rentan kehidupan seseorang. Dari pengalaman yang diperoleh dapat terjadinya proses belajar. Proses belajar ini terjadi setiap hari dan pada umumnya tidak disadari oleh individu. Belajar di sini bisa diartikan dalam perubahan psikologis yang relatif permanen yang terjadi sebagai konsekuensi dari pengalaman (Hilgard dan Bower dalam Calhoun, 1990). Misalnya seorang anak yang pendek, melalui pengalamannya dipanggil “udang” oleh teman-temannya, anak tersebut akan tahu bahwa pendek bukanlah sifat yang dihargai terutama untuk anak laki- laki, sehingga dapat meragukan harga diri individu.

  16

e. Budaya

  Budaya juga mempengaruhi terbentuknya konsep diri melalui keluarga. Melalui orang tua, anak akan belajar mengenal nilai-nilai, norma-norma, perilaku sosial, dan harapan sosial sebagai panduan hidup. Orang tua dengan cara tidak langsung melalui percakapan menularkan ide maupun keyakinan budaya mengenai bagaimana mendefinisikan diri (Papalia, Old, dan Felman 2009).

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsep diri dapat dipengaruhi oleh pengasuhan orang tua, orang lain yang berpengaruh, masyarakat, pengalaman, dan budaya.

B. Anak Usia Sekolah

  1. Pengertian Anak Usia Sekolah

  Anak usia sekolah berkisar dari umur 6 sampai 11 tahun (Berk, L.E, 2008). Dalam tahap perkembangan, usia ini disebut juga masa-masa sekolah dasar. Pada usia ini anak menerima peran yang baru, berinteraksi dan menggembangkan hubungan dengan orang-orang baru, mengadopsi kelompok acuan baru dan mengembangkan standar-standar baru untuk menilai diri mereka sendiri (Santrock, 2002)

  2. Karakteristik Perkembangan Anak Usia Sekolah

  Menurut Papalia, Old dan Feldman (2008) ada empat aspek dalam karekteristik perkembangan anak usia sekolah, yaitu:

  17

  a. Aspek fisik motorik

  Pertumbuhan pada masa ini danggap lambat. Rata-rata anak perempuan mempertahankan lapisan lemak lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, mereka menghabiskan lebih sedikit waktu dalam beraktivitas yang bebas dan tidak terstruktur, seperti bermain gulat-gulatan, permainan informal, dan lebih banyak waktu dalam olahraga yang terorganisir Hofferth & Sanberg (dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008).

  b. Aspek kognitif

  Piaget (dalam Papalia, Old dan Feldman, 2008), menyatakan bahwa pada usia 7 tahun, seorang anak akan memasuki tahap opeasional konkret. Dinamakan demikian karena pada saat ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah konkret (aktual). Anak dapat berpikir lebih logis ketimbang sebelumnya karena pada saat ini mereka dapat mengambil berbagai aspek dari situasi ke dalam pertimbangan. Walaupun demikian mereka masih dibatasi untuk berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada saat itu saja. Pernyataan di atas juga didukung oleh Nuryanti (2008) yang menyatakan bahwa pada tahap ini anak mengalami perkembangan yang sangat cepat dalam keterampilan mentalnya. Kemampuan anak bertambah dalam hal mendeskripsikan pengalaman dan mengutarakan apa yang anak pikirkan dan rasakan.

  18 Anak-anak juga mengalami perubahan kemampuan berpikir, dari yang sebelumnya lebih berpusat pada diri sendiri menjadi mampu untuk berpikir tentang hal lain di luar dirinya. Selain itu, anak juga mulai mampu memahami hubungan sebab akibat.

  c. Aspek Emosional

  Pada aspek emosional, anak usia sekolah sudah mampu menginternalisasi rasa malu dan bangga serta dapat memahami dan mengontrol emosi negatif lebih baik. Selain itu, perilaku prososial meninggkat, anak lebih berempati dan perilaku menolong semakin berkembang. Pertumbuhan emosional anak dipengaruhi oleh reaksi orang tua terhadap penampakan emosi negatif. Menurut Nuryanti (2008), anak-anak pada masa ini semakin menyadari tentang perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Anak-anak juga semakin mampu mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan mampu mereaksi kondisi stres yang dialami orang lain.

  d. Aspek relasi dalam keluarga

  Pada aspek ini, anak usia sekolah menghabiskan lebih sedikit waktu dan jauh dari oang tua, tetapi hubungan dengan orang tua tetap penting. Budaya juga mempengaruhi relasi dan peran keluarga. Selain itu, perkembangan koregulasi juga dapat mempengaruhi cara keluarga mengatasi konflik dan disiplin.

  19 Jadi karakteristik perkembangan anak usia sekolah terdiri dari empat aspek yaitu, aspek fisik motorik, aspek kognitif, aspek emosional, aspek relasi dalam keluarga.

C. Konsep Diri Anak Usia Sekolah

  Konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan yang dipelajari dan tumbuh dari pengalaman, pola asuh dan penilain orang lain dalam berhubungan dengan orang lain. Ketika individu berinteraksi, semua individu akan menerima tanggapan dari orang laian. Tanggapan tersebut digunakan sebagai cermin oleh individu untuk memandang dirinya, terutama tanggapan dari orang-orang terdekat seperti, orang tua, saudara, teman sebaya.

  Jadi konsep diri ini terbentuk dan berkembang karena umpan balik dari orang- orang disekitarnya. Apabila individu memperoleh tanggapan yang penuh dengan cinta kasih atau penerimaan dari orang tua dan orang di sekitarnya, maka anak akan menyukai dirinya dan cenderung memunculkan penilaian yang positif terhadap dirinya dan sebaliknya (Desmita, 2009).

  Menurut Hurlock (dalam Ferdiansyah, 2010), individu belum mampu membedakan antara diri dengan yang bukan diri saat masih bayi. Pada usia 6-8 bulan individu sampai pada tahap mampu membedakan antara dunia luar dengan dirinya, ketika berusia 3-5 tahun individu mulai mampu mengidentifikasikan dirinya dalam berbagai dimensi kategori, seperti umur, ukuran tubuh, jenis kelamin, kepemilikan benda, warna kulit, dan sebagainya.

  20 Kemudian, individu mulai punya kemampuan untuk memandang ke dunia di luar dirinya dan mulai belajar merespon orang lain. Bisa dikatakan bahwa konsep diri fisik muncul lebih dahulu pada usia 5 dan 7 tahun dibandingkan konsep diri psikologis. Konsep diri fisik berubah seiring dengan pertumbuhan tubuh. Pada usia 7 atau 8 tahun perkembangan selanjutnya konsep diri psikologis terbentuk ketika individu mulai menyadari kemampuan dan ketidak mampuannya, tanggung jawab, peran, keinginan dan kebutuhannya, serta aspirasinya.

D. Pola Asuh Keluarga Jawa Keluarga merupakan jembatan antara individu dengan budayanya.

  Keluarga terdekat mapun keluarga jauh bagi masing-masing individu akan memberikan gambaran dasar bagi hubungan sosial dengan seisi dunia.

  Terutama pada pengalaman masa anak-anak yang diberi bentuk fundamental oleh bangunan kelembagaan di dalam keluarga, melalui pengalaman tersebut individu memperoleh pengertian, perlengkapan emosional, dan ikatan-ikatan moral yang memungkinkan baginya sebagai seorang dewasa yang bertindak selaku seorang dewasa sebenar-benarnya dalam masyarakat. Geertz (1983), mengemukakan bahwa anak akan diberi label njawani oleh masyarakat sekitar apabila anak Jawa yang berhasil dalam berinteraksi dengan lingkungannya, sebaliknya masyarakat akan memberikan label durung njawani kepada mereka yang belum secara baik menjalankan nilai-nilai atau aturan-aturan yang ada di masyarakat. Para orang tua Jawa akan melakukan berbagai hal untuk

  21 membantu anak-anak mereka supaya menjadi njawani, yaitu anak yang berperilaku sesuai etika keJawaan. Upaya orang tua Jawa untuk mejadikan anak mereka disebut sebagai orang yang njawani, pastinya tidak lepas dari peranan pola pengasuhan yang mereka terapkan kepada anak. Pola asuh orang tua memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan pribadi anak seperti yang diharapkan oleh setiap orang tua. Idrus (dalam Idrus 2004) membedakan tiga macam cara pola pengasuhan orang tua Jawa, yaitu meliputi:

1. Pola asuh yang mendorong, dengan ciri-ciri:

  a. Orang tua Jawa mengalihkan perhatian anaknya dari tujuan yang tidak diinginkan seperti, hal-hal yang belum pantas untuk dilihat.

  b. Orang tua Jawa biasanya menunda untuk memenuhi kebutuhan terhadap keinginan anak yang belum saatnya untuk dipenuhi.

  c. Orang tua Jawa sudah mengajarkan dan mengenalkan kepada anak mengenai nilai-nilai yang harus dipatuhi sejak bayi.

  d. Mengajarkan anak mengenai kesopanan yang diberlakukan untuk orang tua, orang yang lebih tua dari anak, maupun bagi orang lain sejak anak masih bayi, misalnya mengambil sesuatu dari orang lain dengan tangan kanan. Walaupun anak belum paham sepenuhnya mengenai kata-kata dan perilaku orang disekitarnya.

  e. Memberi perintah terperinci tanpa emosional dan tanpa ancaman hukuman jika perintah orang tua tidak dilakukan oleh anak.

  f. Pemberian hadiah kepada anak agar membiasakan munculnya perilaku yang diharapkan oleh orang tua dan orang disekitar.

  22

  2. Pola asuh yang menghambat, dengan ciri-ciri:

  a. Orang tua Jawa menakut-nakuti anaknya dengan ancaman tentang nasibnya yang mengerikan di tangan orang lain atau makhluk halus.

  Dengan tujuan agar anaknya selalu berbuat baik sehingga orang asing tidak akan berbuat jahat terhadapnya.

  b. Orang tua Jawa memberi hukuman pada anaknya apabila anak sudah melakukan kesalahan yang berulang-ulang dan benar-benar membuat orang tua marah. Hukuman yang diberikan tidak selamanya fisik, ataupun ungkapan verbal yang kasar, dan jarang menghilangkan kasih sayang. Melainkan hukuman yang diberikan dengan tidak mengajak berbicara yang biasa disebut disatru.

  c. Memarahi atau dimusuhi dengan cara tidak diajak bicara yang biasa disebut dengan menyatru.

  3. Pola asuh yang membiarkan, dengan ciri-ciri:

  a. Orang tua Jawa yang membebaskan atau membiarkan anak untuk bermain dengan temannya, yang biasa disebut mengumbar.

  b. Ngelulu , adalah orang tua Jawa membiarkan anaknya untuk melakukan sesuatu yang diinginkan dengan tujuan memberikan kesadaran bahwa hal yang dilakukan tidak dihendaki atau tidak disenangi oleh orang yang memberi ijin.

  23 E. C.A.T (Children Apperception Test) C.A.T (Children Apperception Test) merupakan sebuah bentuk tes proyektif yang dirancang untuk memahami dinamika anak-anak dalam menghadapi masalah-masalah dalam perkembangannya. C.A.T merupakan penurunan langsung dari T.A.T, yang digunakan untuk anak usia 3-10 tahun (Bellak & Abrams, 1997). Gambar-gambar C.A.T dirancang untuk memunculkan respon yang terkait dengan:

  1. Masalah makan secara khusus dan masalah oral secara umum.

  2. Masalah persaingan antar saudara.

  3. Sikap, relasi anak dengan figur orang tua dan bagaimana mempersepsikan figur tersebut.

  4. Fantasi tentang agresi

  5. Penerimaan terhadap dunia orang dewasa

  6. Mengenai ketakutan berada sendirian dimalam hari (kemungkinan berhubungan dengan mengompol dan masturbasi).

  7. Masalah perilaku toilet.

  Dalam penelitian ini, aspek yang akan di ungkap adalah konsep diri. Konsep diri terlihat dari hasil interpretasi yang diperoleh dari bagian cerita mengenai tokoh utama. Tokoh utama dalam suatu cerita bisa saja lebih dari satu. Dalam memilih tokoh utama disuatu cerita dilihat dari seringnya tokoh tersebut diceritakan dan menyerupai subjek dalam usia, jenis kelamin, dan sudut pandang dari peristiwa yang terlihat dalam cerita tersebut. Terkadang tokoh utama memunculkan sikap yang secara sadar seperti, kepentingan,

  24 keinginan, kekurangan, karunia dan kemampuan yang tokoh utama ceritakan merupakan bagian yang ingin dimiliki oleh subjek. Ini akan menjadi penting untuk mengamati kemampuan tokoh utama dalam menangani situasi dengan cara yang memadai di masyarakat dimana tempat dia berada.

  Selain itu, tokoh utama dalam cerita juga cenderung untuk memunculkan konsep tubuhnya, peran sosialnya, dan pemikiran tokoh utama sebagai seseorang yang berbahaya, kotor, jahat dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan bahwa gambaran diri subjek muncul dalam cerita tersebut yang terlihat dari tokoh utama dalam cerita. Hal ini menunjukkan bahwa cerita yang diperoleh dari subjek merupkan sebuah refleksi dari dirinya sendiri (Bellak & Abrams, 1997).