Menyingkap lapis trauma sekunder: studi tentang pengalaman traumatis para pendamping korban perkosaan massal Mei 1998 - USD Repository

MENYINGKAP LAPIS TRAUMA SEKUNDER

  

Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban

Perkosaan Massal Mei 1998

Tesis

  

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir

Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Religi dan Budaya

Yustina Dian Rachmawati NIM: 0562322011

  

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

  Persetujuan Ujian Tesis Menyingkap Lapis Trauma Sekunder

  Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998

  Oleh Yustina Dian Rachmawati

  NIM: 056322011 Dr. Budiawan

  ……………………… Pembimbing I Dr. Christina Siwi Handayani ……………………… Pembimbing II

  

Pernyataan Keaslian Karya

  Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Menyingkap Lapis Trauma Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998 merupakan hasil karya dan peneliian saya sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memproses gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk kepentingan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 16 Juli 2009 Yustina Dian Rachmawati

  

Kata Pengantar

Akuilah Ia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan JalanMu (Amsal 3:6)

  Rasanya hampir tidak mungkin saya dapat menyelesaiakan tesis ini mengingat banyaknya kendala yang saya hadapi selama mengerjakannya. Salah satunya dalah keterbatasan kemampuan yang saya miliki. Keterbatasan ini saya sudah merasakannya dari awal mula penelitian dengan wujud ketidak yakinan atas topik yang saya pilih. Ketidak yakinan tersebut bermuara pada persoalan rendah diri yang saya miliki atas kemampuan pribadi saya mengingat prestasi teman-teman yang lain. Sampai akhirnya salah satu pengajar IRB menasehati saya untuk tidak menyamakan kemampuan pribadi saya dengan orang lain, karena menurutnya hal tersebut tidaklah fair. Ia mencoba meyakinkan saya, bahwa saya pasti bisa melewati tesis ini dengan kemampuan pribadi saya dengan mengajak saya menoleh kebelakang, yakni kemampuan sebelum saya masuk di jurusan dan setelah mengikuti perkuliahanannya. Dari situlah, saya mencoba mengumpulkan keping kepercayaan diri untuk tetap setia mengerjakan tesis ini hingga selesai. Kemampuan yang saya miliki serta ketekunan yang ada dalam diri saya ternyata bukanlah faktor utama terselesaikannya tesis ini. satu hal yang terpenting adalah pertolongan dari Tuhan. Meskipun terlalu naif, tapi saya sangat merasakan pelukan Tuhan di saat-saat terendah dalam proses penulisan tesis ini. Tanpa kekuatan yang Tuhan berikan tidak mungkin saya dapat menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, puji syukur kepada Tuhan atas hikmat yang telah Ia berikan tersebut.

  Tesis ini juga tidak akan pernah terwujud tana bantuan dan kesabaran dari para dosen pembimbing, yakni Dr. Budiawan dan Dr. Christina Siwi Handayani. Dr. Budiawan, merupakan seorang yang “memprovokasi” saya untuk memasuki wilayah kajian ini. menjadi mahasiswa bimbingannya adalah salah satu peng alaman hidup terbaik bagi saya. Begitu pula dengan pengalaman bersama dengan Dr. Christina Handayani. Meskipun hanya beberapa bulan kami mengenal namun, banyak hal saya dapatkan dari beliau yang membuat saya berpikir, mengapa baru saat terakhir saya mengenalnya. Maka dari itu terima kasih yang tulus saya ucapkan kepada kedua pembombing saya. Hanyalah Tuhan yang dapat membalas segala usaha mereka membimbing saya menyelesaiakan tesis ini.

  Bagi saya tesis ini merupakan sebuah pencapaian yang cukup besar jika dilihat dari kemampuan yang saya miliki dan merupakan suatu kebanggaan bagi saya bila tesis ini cukup bermanfaat bagi banyak orang. Terutama dalam membuka wacana baru mengenai lapis-lapis truama yang ditimbulkan oleh peristiwa kekerasaan pada umumnya, dan peristiwa perkosaan massal pada khususnya. Meskipun begitu, tesis ini tidaklah luput dari kekurangan, kesalahan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk perbaikan dalam Yogyakarta, 23 Desember 2009 Yustina Dian Rachmawati

  

ABSTRAK

  Yustina Dian Rachmawati. 2009. Menyingkap Lapis Trauma Sekunder: Studi

  

tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei

1998 . Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

  Peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 meninggalkan dampak trauma yang mendalam, tidak hanya bagi korban namun juga bagi pihak di luar korban. Salah satu yang mengalaminya adalah pendamping korban perkosaan. Trauma yang dialaminya karena bias pengalaman perkosaan dari korban ke dalam diri mereka. Trauma yang mereka alami inilah yang disebut sebagai trauma lapis sekunder. Trauma lapis sekunder dari perkosaan ini merupakan torehan atas peristiwa perkosaan yang tidak pernah meninggalkan jejak. Tesis ini merupakan sebuah diskripsi tentang trauma lapis kedua, yang bertujuan membuka celah narasi ingatan akan peristiwa ini supaya berada pada posisi yang sehat dan tepat.

  Penelitian kualitatif ini meneliti tentang bagaimana trauma lapis kedua terbentuk dalam diri pendamping serta menguraikan kerumitan trauma yang dialami oleh diri pendamping. Selain itu, penelitian ini juga berusaha menguraikan artikulasi trauma para pendamping serta perbedaan pandangan mengenai peristiwa ini. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakanlah metode wawancara dan pengumpulan artikel dan kliping mengenai pemberitaan seputar kasus Mei 1998.

  Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa trauma sekunder yang terjadi dalam diri para pendamping perkosaan tidak melulu karena bias trauma namun juga akibat dari tekanan pihak di luar dirinya. pihak-pihak itu anatara lain; korban, masyarakat maupun militer. antara korban dan pendamping bagaikan sebuah cermin, yang saling terkait satu sama lain. Trauma korban tidak hanya membias pada diri pendamping namun juga sebaliknya yakni berimbasnya ketakutan pendamping pada pandangan korban terhadap mereka. begitu pula dengan masyarakat yang telah dipengaruhi oleh berbagai hal dalam memandang peristiwa ini. masyarakat menjadi apatis baik terhadap korban, penyelesaian peristiwa ini karena mereka melhat ketidakberdayaan pendamping saat berhadapan dengan korban dan trauma peristiwa itu. Kerumitan yang terjalin karena trauma perkosaan tersebut semakin melegitimasi ketakberdayaan masyarakat ketika menghadapi peristiwa ini, berikut dampaknya.

  

ABSTRACT

Yustina Dian Rachmawati. 2009. Unveiling Layers of Secondary Trauma: A Study

of May 1998 Mass Rape Victims’ Counselors’ Traumatic Experience . Yogyakarta:

Ilmu Religi dan Budaya, Sanata Dharma University.

  

May 1998 mass rape incident left deep trauma to the victims and those around

them, such as the counselors. Ravishment became refraction within the counselors

because of their close relationship with the victims and because of several

intimidations. Their trauma is secondary trauma. This secondary trauma is a mark

of ravishment that never left clear and accurate evidences. Thus, this study tries to

open the gab for the memory of May 1998 Mass Rape through the victims’

counselors’ traumatic narration

The qualitative work studies how the secondary trauma was shaped within the

counselors and unties the complication. Besides, the study tries to reveal the

articulation of the counselors and different point of view of the incident. In order

to reach the goal, the writer interviewed former counselors, and gathered stories

about the incident published in media.

  

Based on the result, it can be said that secondary trauma happening within the

counselors is not always caused by the refraction of trauma, but can be also

derived by the ‘agents’ outside them. The agents can be the victims, society, and

military. Counselors and victims are like mirror, they are tied together.

Counselors’ trauma can be refraction within the victims and vice versa. Effect of

the counselors’ trauma to the victims is fear of the counselors that results in

pessimism of the victims and their family. The fear is the reaction of inability of

the counselors in facing the victims and difficulty in finishing the case formally.

Fear, pessimism, and apathy also indirectly become refraction within public area.

This complication then legitimates the inability of the society in facing the

problem, and its effect.

BAB I Pendahuluan A. Pengantar Saat Tragedi Mei 1998 terjadi di Jakarta dan Surakarta, dilaporkan lebih dari

  1

  seratus perempuan etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan. Namun, berita yang beredar saat itu lebih banyak tentang aksi pembakaran dan “penjarahan” toko-toko serta rumah-rumah milik etnis Tionghoa, serta mengenai demonstrasi dan penembakan mahasiswa yang terjadi beberapa hari setelah Tragedi Mei 1998.

  Pemberitaan mengenai perkosaan massal sangat terbatas. Itupun baru mulai

  2

  bergulir pada bulan berikutnya, yakni setelah Tim Gabungan Pencari Fakta

  3 1 mempublikasikan temuannya.

  

Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), Sujud di Hadapan Korban (Jakarta: Divisi Data Tim

Relawan, 1998), hlm. 13-24. Komnas Perempuan, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta

Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2002) cetakan kedua,

2 hlm. 62-67.

  

Untuk selanjutnya disingkat TGPF. Hingga akhir masa kerjanya, hasil temuan TGPF tidak

mendapatkan rekomendasi pemerintah. Dalam temuannya, TGPF menyebutkan terdapat 152

korban perkosaan pada Tragedi Mei 1998. Hampir semua korban perkosaan adalah perempuan

etnis Tionghoa. Selanjutnya, hasil temuan TGPF menjadi satu-satunya data tentang korban

perkosaan. Lihat Esther Indahyani Jusuf dan Raymond R. Simanjorang (ed) Kerusuhan Mei

1998: Fakta, Data dan Analisa: Menyingkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan terhadap

Kemanusiaan (Jakarta: SBN & Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, 2007), Komnas

3 Perempuan. ibid. Hal.21-23.

  

Berdasarkan pengamatan penulis, berita mengenai perkosaan mulai muncul pada minggu

pertama bulan Juni, meskipun tidak secara tegas menyebutnya sebagai perkosaan namun sexual

abuse. Ketika itu Mitra Perempuan menyatakan ada lebih dari 20 kasus perkosaan yang terjadi

dari tanggal 13-15 Mei 1998 dan beberapa laporan perkosaan (yang belum terverivikasi) di

daerah Glodok. Lihat “Sexual abuse victims to report to police” dalam Jakarta Post (6 Juni

1998). James T Siegel pernah menyatakan dalam penelitiannya, bahwa berita mengenai

perkosaan muncul pertama kali dalam harian berbahasa Inggris Jakarta Post. Lihat James T

Siegel. “Pikiran-pikiran Awal Tentang Kekerasan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta”, dalam Budi

Susanto S. J (ed) Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, LSR, 2008).

Artikel ini aslinya berjudul “Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta”,

Jurnal Indonesia, Vol. 66, 1998. hlm 74-108.

  Peristiwa kekerasan terhadap perempuan itu kemudian disebut Perkosaan Massal Mei 1998 oleh media, setelah istilah perkosaan digunakan oleh TGPF

  4

  dalam menyebut peristiwa ini. Menurut temuan TGPF, perkosaan ini bukanlah tindak kriminal biasa, dalam arti bukanlah sebuah kejahatan antar individu, namun merupakan kejahatan yang melibatkan aparat keamanan negara. Keterlibatan aparat keamanan tersebut tampak pada sikap mereka yang membiarkan aksi-aksi kekerasan, terutama aksi perkosaan, berlangsung. Menurut keterangan beberapa informan, pada hari-hari sebelumnya aparat tentara dan kepolisian terlihat di berbagai sudut kota Jakarta, namun pada tanggal 13-15 Mei Jakarta sepi oleh

  5

  aparat. Kesemuanya itu diduga sebagai sebuah kesengajaan, sehingga aksi-aksi kekerasan pun merebak di berbagai sudut kota.

  Selain terlihat adanya keterlibatan aparat negara, peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 dapat juga dilihat sebagai media penyebar kekacauan dan ketakutan yang lebih dahsyat. Sasarannya tidak hanya perempuan etnis Tionghoa, namun meluas hingga siapa saja yang mendengar cerita perkosaan ini. Tubuh korban bukanlah akhir dari kejahatan ini, namun merupakan media bagi awal

4 Istilah perkosaan mulai dipakai dan muncul dalam media massa seperti pada Jakarta Post

  “TGPF

Confirms 66 Rapes in Riots” (4 November 1998). Pemakaian istilah perkosaan tersebut

mereproduksi dari pernyataan Marzuki Darusman (ketua TGPF) kepada media mengenai hasil

verifikasi tim TGPF, yakni terdapat 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan

5 kekerasan dan 10 korban penyerangan seksual.

  

Lihat TRuK. Op. cit. hlm. 17 Diperkuat dengan cerita salah seorang informan yang sengaja

mengelilingi kota Jakarta untuk melihat situasi pada saat itu, ia menceritakan bahwa jalan-jalan

yang sebelumnya dipadati oleh pengunjuk rasa dan aparat menjadi sangat sepi. Beberapa

kendaraan lapis baja (tank), yang sengaja dipasang aparat di titik-titik unjuk rasa juga tidak berada di tempat sebelumnya. kejahatan selanjutnya. Oleh karena itu, tepat kiranya jika Perkosaan Massal Mei 1998 ini disebut oleh Ariel Heryanto sebagai sebuah perkosaan politik.

  6 Menanggapi peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998, berbagai opini muncul

  dalam masyarakat dengan beragam sudut pandang. Ada yang menganggap hal ini hanya sebuah isapan jempol belaka,

  7

  ada pula yang menanggapinya dengan serius lalu menuntut penyelesaian serta pengungkapan kasus ini.

  8 Reaksi pro dan kontra

  seperti itu tidak hanya datang dari dalam negeri saja, namun juga berasal dari negara-negara tetangga yang memiliki komunitas Tionghoa cukup banyak, seperti Malaysia, Singapura dan Taiwan. Reaksi dari luar negeri tersebut dapat dilihat dari munculnya artikel-artikel dalam situs-situs internet yang mewadahi suara- suara orang Tionghoa dari berbagai negara.

  9 Reaksi-reaksi tersebut terkesan lebih keras bahkan dapat dikatakan mendahului reaksi dari dalam negeri.

  Jika dipetakan, reaksi yang muncul dari dalam negeri lebih banyak yang bernada sangkalan. Banyak alasan yang mendasari munculnya sangkalan dari dalam negeri, antara lain adalah ketiadaan bukti yang cukup memadai dan 6 Untuk menjelaskan fenomena ini, Ariel menganalogikan Perkosaan Massal Mei 1998 sebagai

  

grafiti di dinding-dinding pinggir jalan. Grafiti tersebut bukan ditujukan untuk si tembok namun

ditujukan bagi orang-orang yang lewat dan membacanya. Begitulah korban, ia menjadi sebuah

“objek pertunjukan” yang setiap kali dapat membangkitkan ketakutan orang disaat mengingatnya

maupun hanya mendengar ceritanya. Ariel Heryanto, “Rape, Race and Reporting” dalam Arief

Budiman dkk (ed) Reformasi: Crisis and Change. (Clayton: Monash Asia Institute, 1999) hlm.

311. 7

“Perkosaan etnis Tionghoa, isapan jempol”. Kompas, 27 Agustus 1998. hlm. 11. “Keboijoisasi

  

Islam”. Media Dakwah, edisi Juli 1998. hlm. 17. Dalam kedua artikel itu disebutkan, bahwa

wacana perkosaan ini disebarluaskan sebagai alat untuk memojokkan salah satu kelompok

agama tertentu dan membuat buruk wajah Indonesia. 8 Misalnya M. Purwowigati yang menulis di kolom surat pembaca pada harian Bisnis Indonesia. Ia

menuliskan keprihatinannya atas peristiwa perkosaan, dan meminta tindak lanjut dari pemerintah

dalam hal ini Menteri urusan Wanita untuk menyelesaikan kasus ini. M. Purwowigati. “Kepada Menteri Urusan W anita” dalam Bisnis Indonesia. 29 Juni 1998. 9 Elainy Tay . “Discursive Violence on the Internet and The May 1998 Riot” dalam Charles

  

Choppel (ed) Violent Conflicts In Indonesia. (London and New York, Routledge 2006)

Budiawan. (a thesis) Female Body ethnic solidarity, and Masculine Embodiment of The Pacific

rim Capital

  . (Singapore: National University of Singapore, 1999) pandangan yang menganggap tidak logisnya sebuah aksi perkosaan terjadi di ruang publik, bahkan di tengah- tengah “kerusuhan” di mana terdapat banyak

  10

  orang. Penyangkalan ini barangkali dapat dilihat sebagai suatu gambaran atas memori perkosaan yang terepresi dan pandangan patriarkhis yang terlanjur berkembang di masyarakat. Sebagai akibatnya adalah kondisi lupa dalam masyarakat.

  Kondisi lupa dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya represi, baik dari luar individu maupun dari dalam diri mereka. Represi dari dalam diri terjadi karena seseorang memilih lari dan menghindari dari kenyataan peristiwa yang terjadi. Menghindar dan lari merupakan ekspresi ketakberdayaan manusia menghadapi trauma yang begitu berat. Sementara itu, represi dari luar diri seseorang disebabkan oleh kuatnya ragam wacana yang berusaha meminggirkan memori atas peristiwa ini. Inilah yang dimaksud dengan melupakan, yakni sengaja memilih untuk tidak mengingatnya.

  Beragam wacana yang memenuhi ingatan masyarakat membentuk pemahaman yang seragam, yakni ketidakmampuan mengakui bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Ketidakmampuan masyarakat ini merupakan bahasa lain dari pengelabuhan atas rasa malu dan takut mereka. Oleh karena itu munculah cerita- cerita dalam bentuk bahasa gosip yang beredar melalui pembicaraan-pembicaraan 10 informal dan berbagai media yang cenderung dianggap tidak resmi oleh

  

Seperti yang ditulis oleh Sri Mulyono dari Antara pada Harian Republika, tanggal 2 Agustus

1998 “….Padahal saat terjadi kerusuhan, suasana panik manusia berhamburan sehingga sulit

bagi orang untuk melakukan perzinahan ….Secara psikologis, suasana saat itu kurang

mendukung untuk terjadinya pemerkosaan

  …”. Komentar semacam ini, nampaknya merupakan

sebuah bentuk sexualized reading of mass rape yaitu salah satu contoh cara baca yang

patriarkhis atas peristiwa perkosaan. Pandangan ini banyak bermunculan dari berbagai pihak dan terus direproduksi sebagai, barangkali, salah satu upaya penihilan peristiwa ini. masyarakat. Misalnya saja, beberapa berita dalam koran pop Pos Kota pada bulan Juli 1998 yang memasang headline perkosaan dengan judul yang cukup vulgar, “Pengakuan amoy diperkosa dalam kerusuhan massa GADIS CINA ITU

11 Dari fenomena ini terlihat adanya alur memori DIGILIR DI APARTEMEN”.

  yang tidak terwadahi dalam saluran-saluran semestinya, yang kemudian keluar melalui celah gosip, mitos maupun karya-karya non fiksi.

  Sementara itu, perdebatan soal bukti yang selama ini masih saja dibicarakan sebenarnya merupakan masalah legitimasi. Berbagai fakta mengenai peristiwa perkosaan sebenarnya telah ditemukan oleh tim relawan dan menunggu untuk mendapatkan rekomendasi sebagai langkah awal penyelesaian kasus ini.

  Namun, sebagaimana ditulis Julia Suryakusuma dalam harian Kompas, ketika bukti-bukti tidak memiliki kedekatan dengan penguasa, maka ia tidak bisa tampil

12 Kebenaran dalam konsep ini dipandang sangat relatif, dan sebagai “kebenaran”.

  melegitimasi kekuasaan. Label “kebenaran” yang tidak kunjung didapat barangkali disebabkan hasil investigasi Tim Relawan yang menyebutkan keterlibatan aparat (dalam hal ini penguasa militer) dalam rangkaian kekerasan tersebut.

  Sai Siew Min pernah menuliskan mengenai perbedaan konsep kebenaran 11 yang terjadi pada kasus Perkosaan Massal Mei 1998. Yakni, perbedaan konsep

  

Penulisan dengan huruf besar adalah sesuai dengan judul dalam harian tersebut. Dalam tata-

letaknya, judul memakai huruf besar dan berdasar warna merah sehingga cukup menarik

perhatian setiap orang untuk membacanya. Persebaran harian Post Kota ini hanya di daerah

Jabotabek, dengan pasar orang-orang menengah kebawah. Pos Kota. 12 Juli 1998. hlm.1 Dalam

edisi berikutnya, tanggal 14, 15, 16 dan 17 Juli 1998, cerita-cerita seperti ini masih muncul dan

12 bersambung dengan bentuk yang sama. Lihat lampiran 1, 2 dan 3 Julia I Suryakusuma

  “Bukti” dalam Kompas, Sabtu 12 September 1998. Di Indonesia, menurut

Julia, bukti erat hubungannya dengan kekuasaan, membutuhkan pembenaran kekuasaan dan

berada di tangan penguasa. Apalagi, peristiwa perkosaan yang terjadi dipersepsikan sebagai bagian dari satu sistem kekuasaan. antara pemerintah dan para relawan pendamping serta feminis. Kebenaran yang dianut oleh pemerintah, menurutnya bersifat monolitik dan secara tekstual menganut hukum positif yang berlaku, yaitu (jika disingkat menjadi) “jika tidak ada bukti maka perkosaan tidak pernah ada”. Jadi bagi pemerintah bukti menjadi keharusan sebuah klaim perkosaan. Bukti yang dimaksud adalah keterangan korban secara langsung. Sementara itu, konsep kebenaran bagi para aktivis dan feminis didefinisikan dalam perspektif moral di mana bukti berdiri secara objektif

  13

  namun juga independen. Implikasinya, memanusiakan para korban dengan menganggapnya bukan sebagai subjek namun sebagai seorang yang membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, memaksa para korban untuk tampil adalah sebuah pelanggaran etika kemanusiaan.

  Selain mengenai konsep kebenaran, perkosaan ini juga menimbulkan perdebatan antara masyarakat yang menuntut bukti dengan kelompok pendamping yang kesulitan menghadirkan saksi serta korban. Perdebatan ini lambat laun dirasakan oleh para pendamping dan dapat menimbulkan trauma dalam dirinya.

  Trauma yang memasuki diri pendamping melalui cerita korban. Trauma pada diri pendamping merupakan trauma lapis kedua yang muncul sebagai resiko kedekatannya dengan korban Perkosaan Massal Mei 1998. Resiko kedekatan tersebut adalah bias trauma dari diri korban kepada pendamping

13 Konsep yang dipakai oleh para relawan dan feminis ini berdasarkan kondisi korban yang kesulitan untuk memberikan keterangan baik kepada aparat kepolisian maupun tim investigasi.

  

Ada beberapa alasan yang sering dipakai oleh para relawan penyebab susahnya peristiwa ini

diakui antara lain etika pendamping untuk menyembunyikan identitas para korban terkait dengan

pandangan patriarkhis masyarakat atas korban perkosaan sebagai yang “tak berharga”. Sai Siew

Min.

  ““Eventing” May Affairs 1998” dalam Charles Coppel (ed) Op.Cit. hlm. 44.

  Trauma yang merupakan sebuah keniscayaan atas peristiwa negatif di masa lalu tidak hanya ada dalam diri korban namun juga dalam diri pendamping.

  Trauma tidak saja muncul pada orang yang mengalami peristiwa tersebut, namun juga hadir pada mereka yang hanya mendengar cerita perkosaan. Para pendamping yang melihat bagaimana trauma tersebut bekerja dalam diri para korban, ikut pula merasakan pengalaman di perkosa dan dipandang sebagai “yang diperkosa”. Secara tiba-tiba, derita korban perkosaan dirasakan oleh para pendamping dan muncul dalam mimpi-mimpi tidurnya, bahkan dalam pengalaman sehari-harinya ketika bertemu dengan beberapa hal yang menjadi simptom traumanya, termasuk ketika bertemu laki-laki, meskipun itu adalah suaminya. Inilah yang kemudian dirasakan sebagai awal dari kemerosotan kualitas hidup berkeluarganya, karena tidak dipungkiri bahwa beberapa pendamping menjadi “dingin” saat berhubungan dengan suaminya. Ketakutan juga mereka rasakan saat berhadapan dengan aparat kepolisian maupun saat berhadapan dengan publik.

  Kondisi traumatik pendamping tersebut semakin mendalam dengan munculnya konfik antara pendamping dengan publik yang menuntut publikasi

  14

  atas profil para korban. Tuntutan ini sangat sulit untuk dipenuhi oleh pendamping karena kondisi yang tidak memungkinkan dan penuh resiko bagi para korban untuk tampil di hadapan publik. Mereka hanya dapat berbicara terhadap para pendamping, sehingga pendamping pun menjadi garda depan bagi 14 penceritaan narasi mereka.

  

Komnas Perempuan, Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Hak

Perempuan Korban Kekerasan . (Jakarta: 15 Mei 2008) Dipublikasikan melalui internet dengan

alampada tanggal 15 Desember 2008

  Peranan pendamping sebagai garda depan penarasian trauma korban kemudian menempatkan pendamping dalam posisi yang cukup penting. Sebagai garda depan, mereka tidak hanya menjadi pendengar cerita korban tapi juga bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri. Di samping itu, para pendamping juga dituntut untuk memenuhi keingintahuan publik atas korban. Keingintahuan publik tersebut kemudian terbentur pada etika yang melindungi identitas korban. Benturan seperti itu dirasakan oleh salah seorang pendamping yang kemudian mengundurkan diri dari isu Perkosaan Massal Mei 1998 selama bertahun-tahun. Bagi pendamping, sangatlah berat ketika harus berhadapan dengan publik yang tiap kali menuntut dan menagih bukti atas publikasi temuan kasus perkosaan.

  Munculnya kesaksian para pendamping yang membawa suara korban tampaknya tidak dik ehendaki oleh “para perancang” Perkosaan Massal Mei 1998 sehingga muncul berbagai teror kepada para pendamping korban perkosaan. Salah satu teror yang selalu diingat oleh para pendamping korban adalah tewasnya

15 Marthadinata Handoyo. Peristiwa ini kemudian mengurungkan niat beberapa saksi dan keluarga korban yang akan memberikan kesaksiannya secara publik.

  15 Teror ini cukup berhasil dalam membungkam banyak mulut yang hendak

  

Meninggalnya Marthadinata Handoyo, atau Ita, menimbulkan banyak pertanyaan dan

kejanggalan. Polisi menutup perkara ini dengan memakai alibi perkosaan oleh seorang

tetangganya. Keterangan polisi ini cukup janggal terutama karena keterangan antara bukti yang

ditemukan tim forensik dengan pengakuan pelaku. Tidak jelas, apakah Ita adalah salah satu

korban Perkosaan Mei 1998 atau (hanya) seorang relawan. Ia bersama ibunya cukup aktif di tim

relawan kala itu. Romo Sandiawan pernah berujar bahwa Ita adalah salah satu korban Perkosaan

Massal Mei 1998. Ita bersama beberapa relawan akan memberikan testimoni ke hadapan publik.

Romo Sandiawan memberikan alasan logisnya: ”How could a girl of her age accompany rape

victims? What was her role in the planned journey to the U.S. (to make a testimony) going to

have been if she was not a victim? ” (kalimat langsung ini diambil dari harian Jakarta Post) . The

Jakarta Post

  . “Slain Ita „a rape victim in May riots‟”. 12 Oktober 1998, “Investigation into the death of Ita cast into conclusion” 18 Oktober 1998. berbicara mengenai narasi kekerasan atas perempuan pada pertengahan Mei 1998 tersebut.

  Dari sedikit cerita mengenai trauma pendamping di atas dapat ditunjukkan betapa trauma kekerasan menyebar dan memasuki lapis-lapis masyarakat yang terbentuk oleh beragam respon atas peristiwa perkosaan tersebut. Lapis pertama adalah lapis primer yang dihuni oleh orang-orang yang secara langsung mengalami peristiwa itu. Sementara, lapis trauma sekunder dialami oleh para pendamping korban Perkosaan Massal Mei 1998 serta masyarakat luas. Lapis kedua ini dapat terbentuk melalui persebaran cerita mengenai kekerasan baik

  16

  lewat media massa maupun bias trauma dari korban. Bias trauma terjadi ketika cerita-cerita korban masuk dalam pengalaman pendamping dan kemudian ikut merasakan penderitaan sebagai perempuan yang diperkosa.

  Kesamaan “rasa” sebagai seorang perempuan, cukup diakui oleh beberapa pendamping mempermudah proses pendekatan pendamping kepada korban, meskipun

  17 sebelumnya harus melalui lapis-lapis pendekatan yang cukup rumit.

  Dalam himpitan teror dan tekanan dari berbagai pihak tampak para aktivis pendamping cukup konsisten dalam perjuangan meneruskan narasi korban hingga beberapa tahun setelah 1998. Misalnya, pada peringatan sepuluh tahun Peristiwa Perkosaan Mei 1998 pada bulan Mei 2008 yang lalu, Komnas Perempuan mengadakan acara peluncuran buku sebagai hasil penelitian atas kondisi mutakhir para korban. Buku yang berjudul Saatnya Meneguhkan Rasa Aman tersebut

  16 17 Bdk. Ariel Heryanto. Op.Cit hlm. 311.

  Jane Dowdeswell. Woman on Rape. (New York: Thorsons Publishing Group, 1986) hlm. 39

  18

  sekaligus menandai ingatan banyak perempuan atas peristiwa ini. Sementara itu, pemerintah hingga kini belum juga menunjukkan niat baiknya untuk menyelesaikan dan mengungkapkan kasus tersebut. Bahkan, menyebut peristiwa perkosaan ini sebagai pelanggaran HAM berat pun tidak.

  Sebagaimana uraian di atas, fokus studi ini adalah trauma lapis kedua, yaitu trauma para pendamping. Kajian semacam ini mencoba memberikan wacana baru mengenai trauma yang tidak saja berada dalam diri korban, namun juga menyebar memenuhi relung-relung empati pendamping. Jika trauma yang dialami oleh korban sifatnya sangat personal dan tertutup, trauma para pendamping seakan lebih umum dan meluas serta tervisualkan dalam beberapa hal, misalnya saja

  19 tulisan.

  Baik trauma korban maupun trauma pendamping tidaklah dapat ditakarkan mana yang lebih berat. Bahkan dari keterangan salah seorang pendamping, trauma yang dialami oleh pendamping bisa lebih “berat” daripada korban. Menurutnya, betapa tidak lebih berat jika kini beberapa korban telah mampu melewati trauma, namun ia sendiri masih dihinggapi rasa bersalah kepada publik karena tidak

  20 18 pernah bisa menunjukkan korban. Pasalnya, kode etik pendamping tidak

Pada peringatan sepuluh tahun tragedi Perkosaan Mei 1998, Komnas Perempuan mengadakan

acara peluncuran buku hasil penelitian yang disusun oleh salah satu timnya berisi mengenai

kondisi mutakhir para korban. Peluncuran buku ini sekaligus menandai ingatan mereka terhadap

peristiwa tersebut. Komnas Perempuan. Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju

Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan. 19 (Jakarta: 15 Mei 2008). Loc Cit.

  

Karlina Supelli. “Kisah Dialektika Kaum Korban” dalam J. B Kristianto (ed) Seribu Tahun Nusantara 20 . (Jakarta: Kompas, 2000) hlm. 41

Beberapa korban dianggap mampu melewati masa traumatisnya, kebanyakan dari mereka

memilih memulai hidup baru di tempat yang baru, misalnya di luar negeri, dimana tidak ada

orang yang mengetahui peristiwa tersebut. Sementara itu, para pendamping masih berada di

Indonesia yang masyarakatnya masih merasa belum terpuaskan atas penjelasan-penjelasan

mengenai Perkosaan Mei 1998. Wawancara dengan Ani (nama samaran), (Rabu/2 April 2008, di Menteng, Jakarta Pusat). memungkinkan untuk menceritakan identitas korban secara lugas. Tidak jarang merekapun mendapat stigma pembohong dari masyarakat oleh karena temuan mereka tentang korban perkosaan yang tidak disertai

  “bukti”, yakni identitas korban.

  Kondisi dimana pendamping yang setia menyimpan rapat-rapat identitas korban tampaknya menjadi ironi bagi perdebatan mengenai benar tidaknya peristiwa perkosaan yang selalu menuntut bukti dan saksi. Meskipun pendamping tidak melihat atau mengalaminya secara langsung, namun keterangan mereka dapat menjadi kekuatan pembenar atas eksistensi peristiwa tersebut. Walaupun tidak berlaku bagi pemerintah yang menuntut hadirnya korban untuk bersaksi.

  Pengakuan resmi pemerintah atas peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 memang sangat penting. Pengakuan formal yang sesuai dengan kenyataan dapat mencegah terjadinya kekerasan lanjutan sebagai dampak politisasi tuturan atas peristiwa ini. Tidaklah mengejutkan jika suatu saat, tuturan mengenai perkosaan dapat dipolitisir untuk kekerasan berikutnya dengan alasan balas dendam, sehingga kekerasan yang terjadi kemudian mendapat legitimasi moral. Oleh karena itu, narasi yang disampaikan oleh para pendamping mengenai keadaan korban nampaknya menjadi hal penting bagi usaha pengakuan resmi pemerintah.

  Uraian panjang di atas ingin menunjukkan posisi para pendamping korban Perkosaan Massal Mei 1998 yang cukup penting sekaligus rumit. Mereka tidak mengalami Perkosaan Massal Mei 1998 namun dapat merasakannya. Tidak tersakiti namun turut merasakan kepedihan korban. Mereka tidak hanya harus melepaskan diri dari bias trauma korban, namun juga trauma mereka sendiri. Kompleksitas kondisi trauma ini menarik minat peneliti untuk mencoba mengurainya dengan pertanyaan awal, bagaimanakah lapis sekunder trauma dapat terbentuk dalam diri para pendamping? Pertanyaan ini berimplikasi pada bagaimana para pendamping mengartikulasikan trauma korban sekaligus traumanya sendiri dalam usaha pencapaian keadilan.

B. Perumusan Masalah

  Pertanyaan di atas dirumuskan dalam tiga rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah trauma lapis kedua terbentuk dalam diri pendamping

  Korban Perkosaan Massal Mei 1998? 2. Bagaimanakah para pendamping korban Perkosaan Massal Mei 1998 mengartikulasikan trauma korban yang didampingi sekaligus trauma dirinya sebagai pendamping? 3. Bagaimana respon masyarakat atas wacana Perkosaan Massal Mei 1998 yang diartikulasikan para pendamping korban?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan utama penelitian ini adalah menguraikan dan memahami trauma lapis kedua Peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 pada para pendamping korban perkosaan. Penelitian ini juga bertujuan untuk menunjukkan betapa luasnya trauma akibat kekerasan terhadap perempuan yang menyebar kepada orang-orang di sekitar korban bahkan pada masyarakat luas. Selain itu penelitian ini juga hendak menunjukkan bahwa trauma tidak pernah mandeg, namun bergerak ke segala arah menyusup ke celah-celah emosi berbagai pihak.

  Ketiga tujuan yang telah diuraikan di atas akan dicapai dengan cara melakukan wawancara terhadap para pendamping korban Perkosaan Massal Mei 1998. Selain itu dilakukan pendokumentasian artikel mengenai Perkosaan Massal Mei 1998 yang terdapat pada surat kabar terbitan akhir Mei 1998, paska terjadinya peristiwa tersebut. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk mengetahui wacana yang berkembang pada masyarakat saat itu. Sementara, pendokumentasian artikel serupa yang terbit di sekitar peringatan lima dan sepuluh tahun reformasi dilakukan untuk mengetahui kondisi mutakhir wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai hal ini.

D. Signifikasi Penelitian

  Penelitian mengenai Perkosaan Massal Mei 1998 ini menjadi cukup penting karena berupaya menawarkan alternatif baru bagi penulisan sejarah dari perspektif korban meskipun melalui pihak kedua, yaitu pendamping. Alternatif baru atas penulisan sejarah Perkosaan Massal Mei 1998 diperlukan supaya di masa depan tragedi ini tetap diingat sebagai peristiwa sejarah yang hendaknya tidak terulang lagi. Ingatan akan peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 diharapkan dapat kembali menghuni ingatan kolekif masyarakat Indonesia secara proporsional sehingga peristiwa yang menjadi tanda merosotnya keberadaban manusia menjadi sebuah momentum untuk kembali menghargai hak warga negara lainnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

  Wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai Peristiwa Mei 1998 hingga kini masih didominasi oleh perdebatan politis mengenai siapa dalang atas peristiwa ini, serta benar atau tidaknya perkosaan ini terjadi. Berbagai kalangan saling mengeluarkan pendapat dan pandangannya mengenai apa dan siapa yang berada di balik Peristiwa Mei 1998 melalui publikasi buku maupun

  21

  artikel di surat kabar dan majalah. Sementara itu, di kalangan masyarakat pada umumnya masih banyak yang menganggap bahwa peristiwa tersebut merupakan

  22

  aksi spontan sebagai reaksi massa terhadap keterpurukan ekonomi “kerusuhan” dan kegagalan asimilasi. Anggapan seperti itu berdampak pada cara pandang yang apatis atas peristiwa kekerasan ini.

  Beberapa

  • –untuk tidak menunjukkan tidak banyak- studi dan penelitian tentang Tragedi Mei 1998 telah dilakukan oleh sarjana-sarjana dari luar maupun dalam negeri Indonesia. Sebagian karya akademis tersebut berkonsentrasi pada logika peristiwa dengan menampilkan siapa yang menjadi korban, mengapa

21 Lihat, misalnya BJ Habibie. Detik-detik yang menentukan (Jakarta: 2006). Hendra Asmara.

  

Jejak Perlawanan Begawan Pejuang: Soemitro Djojohadikusumo. (Jakarta: 2000). Femi Adi

Soempomo. Prabowo Titisan Soeharto? (Yogyakarta: Galang Press, 2007 ). Wiranto. Bersaksi di

tengah Badai . (Jakarta: IDe Indonesia, 2005 ). Fadli Zon. Politik Huru Hara Mei 1998. (Jakarta: 22 Institute For Policy studies, 2004)

Kata kerusuhan memiliki asosiasi terhadap tiadanya keteraturan. Dua kata kunci dalam istilah

ini adalah; spontanitas dan banyak orang. Ketidakteraturan merupakan spontanitas yang

menihilkan suatu skenario yang telah diatur secara rapih, sedangkan orang banyak mengaburkan

kekuasaan pelaku sebenarnya. Dalam konteks kerusuhan Mei 1998, wacana kerusuhan

sepertinya memang sengaja digulirkan untuk menihilkan tanggung jawab pihak yang terlibat,

lebih jauh lagi adalah menihilkan peristiwa tersebut dalam ingatan masyarakat karena dianggap

sebagai sebuah kecelakaan yang terjadi secara tiba-tiba yang tidak dapat diatasi. Bdk. Ariel Heryanto. Op. cit. hlm 301 peristiwa ini terjadi, serta wacana yang kemudian berkembang setelah peristiwa itu berlalu.

  Penelitian yang sudah dilakukan dan dipublikasikan mengenai Tragedi Mei 1998 hampir semuanya menggunakan temuan yang dipublikasikan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta. Selain dari TGPF, beberapa publikasi tentang data tersebut diterbitkan oleh berbagai kelompok, misalnya Komnas Perempuan, Komnas HAM, Tim Relawan Untuk Kemanusiaan dan Solidaritas Nusa dan

23 Bangsa. Pada dasarnya, isinya sama yakni sajian data temuan tim pencari fakta

  serta hipotesa-hipotesa mengenai siapa yang terlibat dan harus dituntut untuk bertanggung jawab serta mengapa peristiwa ini dapat terjadi di Indonesia.

  Selain memiliki kesamaan, beberapa publikasi mengenai Tragedi Mei 1998 memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya mengenai uraian dan hipotesa khusus mengenai tindak kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan etnis Tionghoa. Dalam kasus ini Solidaritas Nusa Bangsa (untuk selanjutnya disebut SNB) selangkah lebih maju dalam memahami peristiwa ini dengan menerbitkan buku berjudul Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa: Menyingkap

  

Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan . Buku ini

  menyajikan data yang lebih rinci mengenai korban; nama korban -meski disamarkan- kondisi tubuh ketika ditemukan, keterangan keluarga inti, dan

  24 simptom-simptom traumatis korban.

23 Lihat dan bandingkan, Komnas Perempuan. Loc.Cit. Komnas Ham. Penyelidikan Pelanggaran

  

HAM Berat dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 (laporan Tim Ad Hoc Penyelidikan

Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998) 24 . (Jakarta: Komnas HAM, 2003) dan TRuK. Loc.Cit.

  Lihat Ester Indiyah Jusuf dkk (ed). Loc. cit. hlm. 179-198

  Adapun para sarjana yang menulis tentang Peristiwa Mei 1998 kebanyakan berasal dari Luar Indonesia

  • –untuk tidak mengatakan tidak ada sarjana dari/di Indonesia yang menuliskannya, baik dari warga asing maupun warga Indonesia yang berada di luar negeri. Dominannya penulis dari luar Indonesia atas peristiwa perkosaan tersebut merupakan salah satu indikator dari trauma yang barangkali juga telah merembes lapis-lapis di kalangan para akademisi. Secara jelas dapat dilihat jarangnya peneliti dari dalam negeri yang meneliti Perkosaan Massal Mei 1998 sebagai sebuah peristiwa yang berdiri sendiri. Selama ini peristiwa ini sering disebut-sebut sebagai bagian dari kekerasan yang terjadi dari Peristiwa Mei 1998 tanpa ada penjelasan rinci, terutama mengenai motif dan pelakunya.

  Salah satu penulis dari Luar Negeri adalah Jemma Purdey dengan bukunya

  25

  yang berjudul Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999. Ia mencoba menelusuri aksi-aksi kekerasan sebelum meletusnya Peristiwa Mei 1998. Purdey memulainya dengan menggambarkan posisi etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia sebagai minoritas yang sering dipandang sebagai “yang lain” dengan sela lu menempatkannya pada posisi yang “salah” pada tiap jamannya. Sementara itu, Sindhunata juga mencoba mencari jawaban atas kekerasan yang terus menerus terjadi di Indonesia di mana etnis Tionghoa sebagai kambing hitamnya. Dengan memakai teori Rene Girard, yaitu teori Kambing Hitam, Sindhunata menganalisa kekerasan yang terjadi atas etnis Tionghoa di Indonesia yang keberadaannya

25 Jemma Purdey. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999. (Singapore: Singapore

  University Press, 2006)

  26 selalu ada ketika konflik meletus dan selalu menjadi korban.

  Dan “kambing hitam” adalah kelompok yang dianggap “lemah” dan “lain” dari kebanyakan.

  Dalam konteks masyarakat Indonesia adalah etnis Tionghoa, yang lemah dalam

  27 keterwakilan politik dan dianggap sebagai “non-pribumi”.

  28 Sementara itu buku Violent Conflict in Indonesia, di dalamnya terdapat