HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, STATUS EKONOMI, DAN LINGKUNGAN DENGAN PRILAKU SEKS REMAJA (14 – 17 TAHUN) DI GAMPONG KUTA PADANG KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, STATUS EKONOMI,

  

DAN LINGKUNGAN DENGAN PRILAKU SEKS REMAJA

(14

  • – 17 TAHUN) DI GAMPONG KUTA PADANG

    KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI PIPIT SYAPUTRI NIM : 06C10104215

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, STATUS EKONOMI,

  

DAN LINGKUNGAN DENGAN PRILAKU SEKS REMAJA

(14

  • – 17 TAHUN) DI GAMPONG KUTA PADANG

    KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI PIPIT SYAPUTRI NIM : 06C10104215

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, STATUS EKONOMI,

  

DAN LINGKUNGAN DENGAN PRILAKU SEKS REMAJA

(14

  • – 17 TAHUN) DI GAMPONG KUTA PADANG

    KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI PIPIT SYAPUTRI NIM : 06C10104215

  Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh \Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

  Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TEUKU UMAR MEULABOH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam

  kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa kanak- kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Untuk tercapainya tumbuh kembang remaja yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan bio- fisik-psikososial (Dhamayanti, 2009).

  Perilaku seks bebas di dunia saat ini terus mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pitchkal melaporkan bahwa di AS, 25% anak perempuan berusia 15 tahun dan 30% anak laki- laki usia 15 tahun telah berhubungan intim. Di Inggris, lebih dari 20% anak perempuan berusia 14 tahun rata-rata telah berhubungan seks dengan tiga laki- laki. Di Spanyol, dalam survei yang dilakukan tahun 2003, 94,1% pria hilang keperjakaannya pada usia 18 tahun dan 93,4% wanita hilang keperawanannya pada usia 19 tahun (Arief, 2009).

  Menurut KOMNAS Perlindungan Anak (2007), mengenai perilaku remaja yang melakukan hubungan seks pranikah menunjukkan kecenderungan meningkat dan sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU mengaku pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks, sebanyak 62,7% anak SMP yang diteliti mengaku sudah tidak perawan. Serta 21,2% remaja SMA yang disurvei mengaku pernah melakukan aborsi dan 97% anak SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno (BKKBN, 2010).

  Temuan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa dari hasil riset yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia terhadap 2800 pelajar putra dan putri, 76 persen responden perempuan mengaku pernah pacaran dan mengaku 6,3 persen pernah making love (ML), sementara responden laki- laki 72 persen mengaku pernah pacaran dan sebanyak 10 persen diataranya pernah melakukan ML (KPAI, 2009).

  Pada tahun 2009 survei tentang remaja dilaksanakan di Aceh, Jawa Tengah, NTT dan Papua. Responden dalam survey remaja sebanyak 10.670 responden.

  Variable yang digunakan adalah pemaparan pornografi melalui media elektronik (TV, VCD, video games), media cetak (majalah, buku, komik), dan internet, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, perilaku seks sebelum menikah. Hasil survey secara umum yang mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah masih dibawah 5% yaitu 3,8%. Sedangkan hamp ir sepertiga responden pernah menyaksikan keterpaparan terhadap pornografi melalui media TV/VCD (28,9%), sebanyak seperlima responden terpapa r melalui majalah, buku dan komik (23,2%) dan yang terpapar pornografi melalui internet sebesar 18,8%. Sekitar tiga perempat responden ternyata memiliki pengetahauan kesehatan reproduksi kurang (72,8%) (Wong, 2004).

  Hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkesprov) Aceh pada tahun 2012, di mana Kota Lhokseumawe menduduki peringkat pertama terbanyak pelaku seks pranikah di kalangan pelajar, yaitu 70%, menyusul Banda Aceh sebanyak 50% (Husna, 2013).

  Berdasarkan data Behavior Survey Survailance Aceh Youth (BSS) Tahun 2008 diketahui dari 400 siswa siswi di Kabupaten Aceh Barat yang merupakan target kemudian dari jumlah yang berpacaran tersebut 53% remaja pria dan 40% remaja perempuan menyebutkan pernah bercumbuan, bahkan disebutkan 22% remaja pria dan 8% remaja perempuan pernah melakukan tindakan saling merangsang dengan pacar masing- masing. Dari survey tersebut 10% remaja pria dan 3% remaja perempuan pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (dalam penelitian Kartini, 2010).

  Berdasarkan survey awal di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan, didapatkan jumlah kepala keluarga (KK) yang mempunyai anak remaja (14-17 tahun) sebanyak 858 KK dengan jumlah remaja sebanyak 258 jiwa. maka peneliti melakukan wawancara dengan 10 orang remaja didapatkan 3 orang (30%) remaja mengaku pernah melakukan ciuman dengan lawan jenis, 2 orang (20%) mengaku suka menonton film porno, dan 5 orang (50%) remaja tidak menjawab pertanyaan dari penulis.

  Sedangkan hasil wawancara dengan beberapa orang tua, didapatkan bahwa sebagian besar orang tua kurang memperhatikan bahkan belum mengerti bagaimana cara memberikan pendidikan seks terhadap anaknya. Banyak orangtua masih menganggap bicara seks itu tabu, karena tidak pantas dibicarakan secara terbuka untuk alasan apapun. Salah satu penyebabnya adalah dari kelemahan orang tua dalam menguasai kaidah-kaidah tentang aturan perilaku seksual dan perkembangannya, hingga dapat menyebabkan beberapa penyimpangan seksual yang berkembang dikalangan remaja (N gawi, 2011).

  Faktor-faktor lain penyebab sikap remaja dalam berpacaran sekarang kebablasan menurut N ugraha (N gawi, 2011) adalah minimnya pembelajaran seksual di kalangan remaja dan pengawasan orang tua yang lemah.

  Bentuk-bentuk perilaku tidak sehat pada remaja makin lama makin meningkat dan beresiko tinggi. Dalam beberapa penelitian diungkapkan (Ungki, 2008; Damayanti, 2007; Aliyah, 2006; Gusmiarni, 2000; Aminudin, dkk: 1997) beragam perilaku seksual beresiko diantaranya: gaya pacaran yang tidak sesuai norma, kekerasan dalam pacaran (KDP), seks bebas, kehamilan yang tidak diharapkan (KTD), aborsi, penyakit menular seksual (PMS), dan penggunaan alat kontrasepsi yang tidak sesuai aturan.

  Remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (K TD) secara tak langsung dipaksa menjadi orang tua muda. Di usia yang terlalu dini remaja be lum mempunyai kesiapan yang cukup baik secara emosional maupun finansial. Remaja terpaksa harus merawat anak bahkan mengorbankan kesempatan menempuh pendidikan. Tak jarang pernikahan dini berakibat pada timbulnya masalah ketidakstabilan rumah tangga, masalah ekonomi, serta pengasuhan anak (Furstenberg dalam Sarwono, 2007).

  Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda- mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar (Sarwono, 2007).

  Dengan tidak adanya atau tidak disampaikannya pendidikan seks sejak dini akan berdampak terhadap perilaku seks- nya. Mereka tidak akan mengerti mengenai tanggung jawab, kejujuran, keuntungan self control, self dicipline dan antisipasi, serta pertimbangan terhadap perasaan orang lain. Orang-orang yang tidak cukup dewasa dan tidak bertanggung jawab tidak akan mungkin membent uk perkawinan

  Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Wong, 2007).

  Peranan orangtua amatlah besar dalam memberikan pilihan jawaban dari hal- hal yang dipertanyakan oleh putra-putrinya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua. Berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua (Sarwono, 2007).

  1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah “Hubungan tingkat pendidikan, status ekonomi dan lingkungan dengan prilaku seks pada remaja (14-17 tahun) di Gampong Kuta Padang

  Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014 ”.

  1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

  Untuk menganalisis hubungan tingkat pendidikan, status ekonomi dan lingkungan dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus 1.

  Untuk menganalisis hubungan tingkat pendidikan dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

  2. Untuk menganalisis hubungan status ekonomi dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

  3. Untuk menganalisis hubungan lingkungan dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

1.4. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah dan perlu diuji kebenarannya, sehingga membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah (Arikunto, 2006) : 1)

  Ho : Tidak ada hubungan jenis kelamin dengan dengan prilaku seks remaja (14 – 17 tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. 2)

  Ha : Ada hubungan tingkat pendidikan dengan prilaku seks remaja (14 – 17 tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. 3)

  Ha : Ada hubungan status ekonomi dengan prilaku seks remaja (14 – 17 tahun) di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

  4) Ha : Ada hubungan lingkungan dengan prilaku seks remaja (14 – 17 tahun) di

1.5. Manfaat Penulisan

  1) Bagi Remaja Hasil penelitian ini diharapkan dapat menganalisis faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja di Gampong K uta Padang

  Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. 1)

  Bagi Instansi Kesehatan Diharapkan dapat bermanfaat bagi Dinas Kesehatan, dan instansi terkait untuk perbaikan perencanaan maupun implementasi program kesehatan reproduksi. 2)

  Bagi peneliti Dapat mengembangkan wawasan peneliti dan pengalaman berharga dalam melatih kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi perilaku seks pada remaja di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendidikan Perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan

  signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam yang sebenarnya untuk mencapai yang sesungguhnya (Ramayulis, 2012)

  adalah menciptakan seseorang yang berkwalitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendirikita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan (Ramayulis, 2012).

  dapat berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran (Bernadib, 2012).

2.1.1. Pengertian Pendidikan

  Pada dasarnya pengertian pendidikan (UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Ramayulis, 2012).

  Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata „didik‟ dan mendapat imbuhan „pe‟ dan akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kartika, 2008).

  Menurut K i Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentangyaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Bernadib, 2012).

  adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Menurut Undang Undang Nomor 20 tahun adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Bernadib, 2012).

  Sedangkan menurut Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia (Wong, 2007).

  Dari beberapa tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

2.1.2. Tingkat Pendidikan

  Menurut Ali (2010) orangtua adalah orang yang dianggap tua, cerdik, pandai dalam keluarga yaitu ayah dan ibu. Seorang ayah disamping memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarga, dia juga berkewajiban untuk mencari tambahan ilmu bagi dirinya. Seorang ayah akan dapat membimbing dan mendidik diri sendiri dan keluarganya menjadi lebih baik dengan ilmu yang dimilikinya. Demikian juga seorang ibu disamping memiliki kewajiban dalam pemeliharaan keluarga, seorang ibu pun tetap memiliki kewajiban dalam mencari ilmu. Hal itu penting karena seorang anak akan lebih dekat dengan ibunya.

  Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Syah (2011) pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan me- sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya, pengertian

  “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan Menurut McLeod dalam Syah (2011) dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Sedangkan menurut Tardif dalam Syah (2011) pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode- metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.

  Coombs dalam Idris (2012) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah taraf kemampuan yang ditentukan dari hasil belajar, dari saat masuk sekolah hingga kelas terakhir yang dicapai seseorang dengan mengabaikan kelebihan waktu untuk jenjang di dalam pendidikannya. Menurut Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 sistem pendidikan nasional, jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

  Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan adalah tingkatan pendidikan yang telah ditempuh seseorang dalam proses belajar. Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin luas pula pemikiran seseorang.

2.1.3. Pendidikan Seks

  Pendidikan seks (sex education) adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar. Informasi itu meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan (Sarwono, 2007).

  Pendapat lain mengatakan bahwa Pendidikan Seks (sex education) adalah suatu pengetahuan yang kita ajarkan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Ini mencakup mulai dari pertumbuhan jenis kelamin (laki- laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin sebagai alat reproduksi. Bagaimana perkembangan alat kelamin itu pada wanita dan pada laki- laki. Tentang menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, sampai kepada timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon. Termasuk nantinya masalah perkawinan dan kehamilan (Wong, 2004).

  Program pendidikan seks harus dimulai sebelum masa pubertas dan beberapa orang menyarankan supaya program tersebut dimulai dini, yakni sejak taman kanak- kanak. Program ini harus memberi remaja pengalaman dalam mengambil keputusan pribadi dan menerapkan informasi ini dalam kehidupannya. Program yang ada harus membahas cara mengatasi tekanan dari teman sebaya, berfokus pada pria dan wanita dan melibatkan orangtua dalam upaya meningkatkan komunikasi orangtua dan remaja dan menguatkan ikatan keluarga (Bobak, 2004).

  Institusi di masyarakat juga harus dilibatkan dan memberi dukungan kepada program pendidikan seks ini. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan keuangan atau sukarelawan. Program-program ini harus didasarkan pada serangkaian nilai yang dikomunikasikan dengan jelas. Kurikulum tentang pantang berkala versus pantang berkala saja lebih dapat diterima oleh lebih banyak individu dan kelompok. Namun, penelitian sistematis tentang efek pendidikan seks tetap tidak dapat

  2.1.3.1. Tujuan Pendidikan Seks

  Tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) da n pada waktu yang tertentu saja (Bobak, 2004).

  2.1.3.2. Manfaat Pendidikan Seks 1.

  Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.

  2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab)

  3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi

4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.

  5. Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.

  6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.

7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.

  8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orangtua, anggota masyarakat (Gunarsa, 2008).

2.1.3.3. Pendidikan Seks Penting Bagi Remaja

  Pendidikan seks penting diberikan kepada remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Upaya ini perlu dilakukan untuk mencegah hal- hal yang tidak diinginkan. Mengingat selama ini banyak remaja yang memperoleh “pengetahuan” seksnya dari teman sebaya, membaca buku porno, menonton film porno. O leh karena itu, perlu diupayakan adanya pendidikan seks dikalangan remaja.

  Secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Gunarsa, 2008).

  Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda- mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar (Bobak, 2004).

  Menurut Gunarsa (2008) Alasan pendidikan seks sangat penting diajarkan kepada para remaja adalah: (1) Dapat mencegah penyimpangan dan kelainan seksual. (2) Dapat memelihara tegaknya nilai- nilai moral. (3) Dapat mengatasi gangguan psikis. (4) Dapat memberi pengetahuan dalam menghadapi perkembangan anak.

2.2. Status Ekonomi

  Status ekonomi merupakan salah satu bentuk dari stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dalam masyarakat mencakup berbagai dimensi antara lain berdasarkan usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, kelompok ras, pendidikan formal, pekerjaan dan ekonomi (K innaird, 2011).

  Menurut Weber dalam Kamanto Sunarto (2009) dalam Gunarsa (2010) kelas ditandai oleh beberapa hal, antara lain kelas merupakan sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib. Menurut Sukanto (2004) dalam Sarwono (2004) status ekonomi ditunjukkan dalam sudut pandang keuangan masyarakat tempat tinggal objektik dalam kultur masyarakat tertentu.

2.2.1. Pekerjaan

  Pekerjaan merupakan aktifitas sehari- hari untuk mempertahankan hidup dengan tujuan memperoleh taraf hidup yang lebih baik dari hasil pekerjaan tersebut. Sebaran pekerjaan angkatan kerja dapat ditinjau dari tiga aspek yaitu

  (a) Lapangan pekerjaan Sebaran angkatan kerja berdasarkan lapangan pekerjaan menggambarkan di sektor produksi apa saja maupun dimana saja para pekerja menyadarkan sumber nafkahnya. (b) Status pekerjaan

  Sebaran menurut status pekerjaan menjelaskan kedudukan pekerja di dalam pekerjaan yang dimiliki atau dilakukan.

  (c) Jenis pekerjaan Menurut catatan Biro Pusat Statistik (2004) dalam Gunarsa (2010) lapangan pekerjaan, status pekerjaan, dan jenis pekerjaan, menunjukkan kegiatan kongkret apa yang dikerjakan oleh pekerja yang bersangkutan.

2.2.2. Tingkat Pe nghasilan

  Menurut Mulyanto Soemardi dan Hans Dierter Evers (1982) dalam Gunarsa (2010)

  “Tingkat penghasilan adalah pendapatan yang diperoleh keluarga beserta anggota keluarganya yang bersumber dari sektor formal, sektor informal, dan sektor subsisten dalam waktu satu bulan yang diukur berdasarkan rupiah. Cara menghitung pendapatan atau penghasialan tersebut dapat dihitung berdasarkan tiga sumber utama yaitu: a.

  Pendapatan tetap (formal), yaitu pendapatan yang diperoleh dari hasil pekerjaan pokok.

  b.

  Pendapatan tidak tetap (informal), yaitu pendapatan yang diperoleh dari hasil pekerjaan sampingan.

  c.

  Pekerjaan subsistem, yaitu pendapatan yang tidak dengan uang atau

  2.2.3. Jumlah Anggota Keluarga

  Bentuk keluarga pada umumnya terdiri dari seorang suami, seorang istri, dan anak-anak yang biasanya tinggal satu rumah yang sama atau bisa disebut sebagai keluarga inti. Menurut Soetjiningsih dkk. (2010), “Keluarga diartikan sebagai suatu satuan terkecil yang memiliki manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai adanya kerjasama ekonomi

  ”. Besarnya anggota keluarga akan ikut menentukan besar kecilnya kegiatan dalam subsistem dan pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan konsumsi. Perilaku konsumsi dipengaruhi beberapa variabel yang relevan seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, jumlah anak, dan sebagainya.

  2.2.4. Pola kons umsi

  Pola konsumsi atau bentuk penggunaan suatu bahan atau barang dapat dilihat melalui alokasi konsumsinya. Semakin sejahtera penduduk semakin kecil pengeluaran konsumsinya untuk bahan pangan. Alokasi pengeluaran konsumsi untuk bahan pangan. Alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat secara garis besar digolongkan kedalam dua kelompok penggunaan yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran bukan makanan ( Soetjiningsih dkk. 2010)

  Dalam perekonomian yang taraf perkembangannya masih rendah, sebagian besar pendapatan dikeluarkan untuk pembelian makanan dan pakaian sebagai keperluan sehari- hari yang paling pokok. Pada tingkat perkembangan ekonomi yang lebih maju pengeluaran untuk pembelian makanan bukan lagi merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rumah tangga, sedangkan pengeluaran-pengeluaran lain seperti untuk pendidikan, perumahan, dan rekreasi ditabung. Penabungan ini dilakukan untuk memperoleh bunga atau devide dan dana dalam menghadapi kemungkinan kesusahan dimasa depan.

2.2.5. Status Sosial Ekonomi Orang Tua

  Status sosial ekonomi adalah kedudukan orang tua dalam hubungannya dengan orang tua lain atau masyarakat mengenai kehidupan sehari- hari dan cara mendapatkannya serta usaha memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (Syah, 2011).

  Dalam kehidupan di masyarakat kondisi sosial ekonomi masing- masing keluarga tentu berbeda dengan lainnya. Tidak ada lapisan masyarakat yang homogen atau serba sama. Dengan demikian kita katakana bahwa di masyarakat terdapat lapisan- lapisan masyarakat yang dapat membedakan satu dengan yang lain (Syah, 2011).

  Menurut Soerjono Soekanto dalam Gunarsa (2010), status sosial ekonomi seseorang di ukur dari : 1) Ukuran kekayaan

  Ukuran kekayaan, merupakan harta benda atau materi yang dimiliki seseorang. Ukuran kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk dan luas rumah yang bersangkutan, luas kepemilikan tanah, kepemilikan barang berharga dan fasilitas yang dimiliki.

  2) Ukuran kekuasaan Ukuran kekuasaan, merupakan wewenang atau kewenangan seseorang yang dimilikinya karena kedudukan dalam masyarakat, lembaga atau suatu perusahaan yang dipimpinnya.

  3) Ukuran kehormatan Ukuran kehormatan, merupakan kewibawaan yang dimiliki oleh seseorang karena pembawaan atau kedudukan atau hal yang dianggap oleh orang lain sesuatu yang terpandang. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa pada masyarakat.

  4) Ukuran ilmu pengetahuan Ukuran ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang diperoleh seseorang melalui proses belajar dalam suatu pendidikan baik pendidikan formal, non formal, informal.

  Berdasarkan pendapat di atas, bahwa untuk mengukur tinggi rendahnya status sosial ekonomi orang tua adalah pendidikan orang tua, pekerjaan dan penghasilan orang tua, pemilikan barang atau kekayaan, jumlah anggota keluarga dan macam kebutuhan.

  Aspek

  • – aspek tersebut tidak dapat berdiri sendiri, artinya bahwa untuk menetapkan tingkat atau status sosial ekonomi orang tua tidak hanya melihat satu aspek saja, melainkan kita harus menghubungkan satu aspek dengan aspek lain. Pendidikan orang tua, tinggi rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki atau dicapai oleh orang tua dimungkinkan akan membawa pengaruh kepada anak- anaknya. Pekerjaan dan penghasilan orang tua menentukan terpenuhinya atau tidaknya kebutuhan keluarga. Sedangkan materi atau kekayaan merupakan petunjuk tingkat kemakmuran suatu keluarga (Gunarsa, 2008).

  Menurut Sarjono dalam Gunarsa (2008) Ada empat faktor utama yang menentukan ststus sosial ekonomi seseorang yaitu :

  1) Pendidikan Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar di dalam membentuk tingkah laku seseorang, karena salah satu faktor yang penting dari usaha pendidikan adalah pembentukan watak seseorang dimana watak seseorang akan berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, biasanya memiliki intelektual yang lebih baik, dapat berfikr kritis yang akan memberikan prasyarat untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

  2) Pekerjaan atau mata pencaharian Pekerjaan merupakan suatu unit kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat untuk menghasilkan barang atau jasa. Pekerjaan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Adanya pekerjaan, maka seseorang akan mengharapkan pendapatan sehingga imbalan dari kerja seseorang dan merupakan penghasilan keluarga yang akan menghasilkan sejumlah barang yang dimilikinya.

  Pendapat Mulyanto Sumardi dan Evers dalam Gunarsa (2010) dari pendapatan dari sektor formal, setor informal, dan pendapatan dari sektor sub sistem. Menggolongkan jenis pekerjaan menjadi dua golongan yaitu pegawai negeri dan swasta dan non pegawai atau bukan pegawai. Adapun penjelasan dari masing- masing kelompok adalah sebagai berikut :

  a) Pegawai negeri dan swasta, pegawai negeri adalah “mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang- undangan dan gaji menurut undang-undang yang berlaku ”.

  b) Non pegawai, Jenis pekerjaan nonpegawai adalah jenis pekerjaan selain membutuhkan kualifikasi atau standar pendidikan tertentu, tidak bernaung dibawah suatu instansi, organisasi atau yayasan tertentu, tidak memerlukan jam kerja yang pasti, penghasilan yang diperoleh sifatnya hanya upah, tidak terikat adanya undang-undang atau peraturan tertentu. Misalnya kuli bangunan, buruh. 3) Penghasilan dan Pendapatan

  Penghasilan atau pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang dari hasil sendiri yang dinilai dengan uang. Pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh seseorang dapat diperoleh dari bermacam- macam sumber (Gunarsa, 2010)

  Tiap-tiap keluarga dalam memenuhi kebutuhannya memerlukan pendapatan yang sumbernya berbeda-beda dengan yang lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan di segala bidang menyebabkan tidak terhitungnya jumlah pekerjaan yang ada dalam masyarakat. Dimana masing- masing pekerjaan memerlukan bakat, keahlian atau kemampuan yang berbeda untuk mendudukinya (Suparyanto, 2009)

  Menurut K innaird (2011) distribusi pendapatan dalam suatu Negara akan berpengaruh besar pada munculnya golongan-golongan berpenghasilan rendah, golongan berpenghasilan menengah dan golongan berpenghasilan tinggi.

  Menurut Deapatemen Tenaga Kerja Provinsi Aceh, Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh pada tahun 2013 adalah sebesar Rp. 1.550.000,- dan terjadi peningkatan sebesar 12,9% pada tahun 2014, sehingga besaran Upah Minimum Provinsi berkisar Rp.1.750.000.-

  4) Sosial Kedudukan sosial dalam masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam membentuk tingkah laku, cara bersikap seseorang. Kedudukan sosial juga dapat mempengaruhi cara pandang orang pribadi seseorang. Sosial yang dimaksud dilihat dari kedudukan seseorang dalam suatu pekerjaan yang dimiliki atau yang dilakukan. Jika seseorang tersebut sebagai pemilik atau kepala dalam suatu pekerjaan, orang tersebut dapat memiliki kekuasaan dan wewenang lebih dari bawahnya. Orang tersebut lebih dihormati dan mempunyai wibawa yang terpandang. Jika hanya sebagai bawahan kemungkinan orang memandangnya biasa saja (Suparyanto, 2009)

  Demikian pula kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat di lingkungan tempat tinggal, jika orang tua memegang peranan penting dalam organisasi kemasyarakatan seperti RW. RT dan sebagainya, jika mendapat kedudukan sebagai ketua, maka orang tua lebih mendapat kehormatan yang tinggi dibandingkan anggota-anggotanya (K innaird, 2011).

  Kriteria diatas didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi bidang lainnya, misalnya seseorang yang berpendidikan tinggi akan cenderung untuk menduduki jabatan atau kedudukan yang lebih tinggi pula. Dengan jabatan yang tinggi maka seseorang juga akan mendapatkan imbalan yang tinggi, sehingga pendapatan atau kekayaannya akan semakin bertambah. Selain pendapatan tinggi, seseorang akan mendapatkan kehormatan yang tinggi dari pada anggotanya. Dengan demikian aspek-aspek tersebut tidak dapat berdiri sendiri, artinya untuk dari satu aspek saja, melainkan harus menghubungkan antara aspek yang satu dengan aspek yang lain (Suparyanto, 2009)

  2.2.5.5. Penggolongan Status Sosial Ekonomi Orang Tua Menurut Soerjono Soekanto dalam Mu‟tadin (2009) “Pembagian pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat terbagi menjadi tiga golongan yaitu lapisan atas, lapisan menengah, lapisan bawah

  ”. Adapun penggolongan status sosial ekonomi berdasarkan kelas sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Kelompok Sosial Ekonomi Atas

  Yang termasuk dalam kelas ini adalah orang tua yang dapat memenuhi hidup keluarganya baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder, bahkan dapat memenuhi kebutuhan yang tergolong mewah. Lapisan ekonomi mampu terdiri dari pejabat pemerintah, para dokter, dan kelompok professional lainnya

  “. 2) Kelompok Sosial Ekonomi Menengah

  Orang tua yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan penghasilan keluarga secara ketat terhadap kebutuhan yang dianggap penting. Lapisan ekonomi menengah terdiri dari alim ulama, pegawai dan kelompok wirausaha.

  3) Kelompok Sosial Ekonomi Bawah Kelompok yang termasuk kelas ini mengalami kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk kebutuhan yang paling sederhana kadang- kadang masih dapat terpenuhi, akan tetapi ada pula sebagian keluarga dari kelas ini yang tidak dapat memenuhinya. Lapisan ekonomi miskin terdiri dari para buruh

  2.2.5.6. Peran Status Sosial Ekonomi Orang Tua Menurut Soerjono, Soeka nto dalam Mu‟tadin (2009) dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa tak lepas dari kehidupan di lingkungan dimana ia berada, baik lingkungan fisik, psikis atau spiritual. Baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan seseorang.

  Dalam pembentukan pribadi seseorang dipengaruhi oleh kehidupan seseorang dimana ia tinggal dan bermasyarakat. Di dalam keluarga, manusia akan belajar memperhatikan keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bahu membahu, gotong royong dan lain sebagainya. Karena keluarga merupakan kelompok sosial, maka di dalamnya akan terjadi tindakan sosial ( Mu‟tadin, 2009).

  Interaksi sosial atau hubungan antar keluarga erat dengan keadaan sosial ekonomi keluarga tersebut. Kehidupan sosial ekonomi keluarga yang layak akan tercipta suasana yang baik, nyaman, aman, dan damai dan boleh dikatakan kehidupan yang makmur, dimungkinkan akan membawa dampak dalam prilaku bagi anak-anak dalam satu keluarga berjalan baik (Mu‟tadin 2009).

  Pendidikan dan keluarga keduanya tidak dapat dipisahkan dengan kondisi sosial ekonomi keluarga yang pada akhirnya dimungkinkan karena kebutuhan anak untuk sekolah terpenuhi, seperti terpenuhinya buku-buku pelajaran yang diperlukan, alat transportasi dan kebutuhan anak yang menunjang kegiatan belajar hampir seluruhnya dapat terpenuhi. Secara menyeluruh status sosial ekonomi orang tua adalah terpenuhinya hampir sebagian besar kebutuhan anak (Mu‟tadin 2009).

2.3. Lingkungan

  Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, disatu pihak remaja mempunyai keinginan kuat untuk mengadakan interaksi sosial dalam upaya mendapatkan kepercayaan dari lingkungan, di lain pihak ia mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, terlepas dari pengawasan orang tua dan sekolah (Kartono, 2010).

  Salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan interpersonal yang awalnya belum pernah ada, juga harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Kartono, 2010).

  Untuk mencapai tujuan pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Ia harus mempertimbangkan pengaruh kelo mpok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, membentuk kelompok sosial baru dan nilai-nilai baru memilih teman (Kartono, 2010).

2.3.1. Lingkungan Keluarga

  Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Umur 4

  • – 6 tahun dianggap sebagai titik awal proses identifikasi diri menurut jenis kelamin, peranan ibu dan ayah atau orang
  • –tua pengganti (nenek, kakek dan orang dewasa lainnya ) sangat besar. Peran sebagai “ wanita “ dan “ Prias” harus jelas. Dalam mendidik, ibu dan ayah harus bersikap konsisten , terbuka, bijaksana, bersahabat, ramah, tegas, dan dapat lancar, maka dapat timbul proses identifikasi yang salah (Gunarsa, 2010).
Masa remaja merupakan pengembangan identitas diri, dimana remaja berusaha mengenal diri sendiri, ingin mengetahui bagaimana orang lain menilainya, dan mencoba menyesuaikan diri dengan harapan orang lain (Kartono, 2010).

  2.3.1.1. Pola asuh keluarga Proses sosialisasi sangat dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga.

  Sikap orang-tua yang otoriter, mau menang sendiri, selalu mengatur, semua perintah harus diikuti tanpa memperhatikan pendapat dan kemauan anak akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian remaja. Ia akan berkembang menjadi penakut, tidak memiliki rasa percaya diri, merasa tidak berharga, sehingga proses sosialisasi menjadi terganggu (Gunarsa, 2010).

  Sikap orang- tua yang “permisif “ (serba boleh, tidak pernah melarang, selalu menuruti kehendak anak, selalu memanjakan) akan menumbuhkan sikap ketergantungan dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial diluar keluarga. Sikap orang-tua yang selalu membandingkan anak-anaknya, akan menumbuhkan persaingan tidak sehat dan saling curiga antar saudara (Kartono, 2010).

  Sikap orang-tua yang berambisi dan selalu menuntut anaknya, akan berakibat anak cenderung mengalami frustrasi, takut gagal, dan merasa tidak berharga. Orang- tua yang “ demokratis “, akan mengakui keberadaan anak sebagai individu dan makluk sosial serta mau mendengarkan dan menghargai pendapat anak. Kondisi ini akan menimbulkan keseimbangan antara perkembangan individu dan sosial, sehingga anak akan memperoleh suatu kondisi mental yang sehat (Kartono, 2010).

  2.3.1.2. Kondisi keluarga Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya, Orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan “ melarikan diri “ dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak (Gunarsa, 2010).

  2.3.1.3. Pendidikan moral dalam keluarga Pendidikan moral dalam keluarga adalah upaya menanamkan nilai

  • –nilai akhlak atau budi pekerti kepada anak di rumah. Pengertian budi pekerti mengandung nilai- nilai (Gunarsa, 2010) :

  a) Keagamaan. Pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan sikap anak yang mampu menjauhi halhal yang dilarang dan melaksanakan perintah agama. Menaamkan norma agama dianggap sangat besar peranannya terutama dalam menghadapi situasi globalisasi yang berakibat bergesernya nilai kehidupan. Remaja yang taat norma agama akan terhindar atau mampu bertahan terhadap pengaruh buruk di lingkungannya.

  b) Kesusilaan, meliputi nilai-nilai yang berkaitan dengan orang lain, misalnya sopan santun, kerjasama, tenggang rasa, saling menghayati, saling menghormati, menghargai orang lain dan sebagainya.

  c) Kepribadian, memiliki nilai dalam kaitan pengembangan diri, misalnya keberanian, rasa malu, kejujuran, kemandirian dan sebagainya.

  Penanaman nilai- nilai budi pekerti dalam keluarga dapat dilakukan melalui tugas, dan komunikasi efektif antar anggota keluarga. sebaliknya, apabila keluarga tidak peduli terhadap hal ini, misalnya membiarkan anak tanpa komunikasi dan memperoleh nilai diluar moral agama dan sosial, membaca buku dan menonton VCD porno, bergaul bebas, minuman keras, merokok akan berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa remaja.

2.3.2. Lingkungan Sekolah

  Pengaruh yang juga cukup kuat dalam perkembangan remaja adalah lingkungan sekolah. Umumnya orang-tua menaruh harapan yang besar pada pendidikan di sekolah, oleh karena itu dalam memilih sekolah orang

  • –tua perlu mempertimbangkan hal sebagai berikut (Gunarsa, 2010) :

2.3.2.1. Susunan Sekolah

  Prasyarat terciptanya lingkungan kondusif bagi kegiatan belajar mengajar adalah suasana sekolah, baik buruknya suasana sekolah sangat tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah, komitmen guru, sarana pendidikan dan disiplin sekolah Suasana sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja yaitu dalam hal :

  2.3.2.1.1.Kedisiplinan Sekolah yang tertib dan teratur akan membangkitkan sikap dan perilaku disiplin pada siswa. Sebaliknya suasana sekolah yang kacau dan disiplin longgar akan berisiko, bahwa siswa dapat berbuat semaunya dan terbiasa dengan hidup tidak tertib, tidak memiliki sikap saling menghormati, cenderung brutal dan agresif.

  2.3.2.1.2.Kebiasaan belajar Suasana sekolah yang tidak mendukung kegiatan belajar mengajar akan belajar menurun dan selanjutnya diikuti dengan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat, misalnya sebagai kompensasi kekurangannya di bidang akademik, siswamenjadi nakal dan brutal.

  2.3.2.1.3. Pengendalian diri Suasana bebas di sekolah dapat mendorong siswa berbuat sesukanya tanpa rasa segan terhadap guru. Hal ini akan berakibat siswa sulit untuk dikendalikan, baik selama berada di sekolah maupun di rumah. Suasana sekolah yang kacau akan menimbulkan hal- hal yang kurang sehat bagi remaja, mosalnya penyalahgunaan Napza, perkelahian, kebebasan seksual, dan tindak kriminal lainnya.

Dokumen yang terkait

STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN PADA SMA NEGERI 3 MEULABOH KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT

0 2 1

SOSIALISASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN DANA DESA TAHUN 2018 DI GAMPONG SUAK RAYA KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT PROVINSI ACEH Zainal Putra Fakultas Ekonomi, Universitas Teuku Umar Email : zainalputrautu.ac.id ABSTRAK - SOSIALISASI KEBIJAKAN PENG

0 0 12

ANALISIS USAHA PERIKANAN PUKAT CINCIN DI PPI UJONG BAROH KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT

0 4 92

PREVALENSI DAN INTENSITAS CACING Anisakis sp PADA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI TPI UJONG BAROH KECAMTAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT

0 1 44

STRATEGI PEMASARAN BAKSO DAGING PADA UD. ARAFAH DI BLANG PULO KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

0 0 57

BAB IV - STUDI PELAKSANAAN PENGELOLAAN SAMPAH, PEMELIHARAAN SANITASI DAN PARTISIPASI PEDAGANG DI PASAR BINA USAHA DI GAMPONG UJONG KALAK KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

0 0 15

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN CAKUPAN PENCAPAIAN DESA UCI (UNIVERSAL CHILD IMMUNIZATION) DI UPTD PUSKESMAS KUTA PADANG LAYUNG KECAMATAN BUBON KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI

0 0 51

HUBUNGAN LINGKUNGAN KELUARGATERHADAP PERILAKU SEKS BEBAS PADA PELAJAR SMA SEDERAJAT DI KECAMATAN TEUNOM KABUPATEN ACEH JAYA SKRIPSI

0 0 51

KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP PENERAPAN SISTEM INFORMASI KESEHATAN DI PUSKESMAS JOHAN PAHLAWAN KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI

0 0 61

GAMBARAN PERILAKU PENJUAL PESTISIDA DI DESA UJONG BAROH KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI

0 0 48