1 KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TANAH KAS DESA DI DESA BEJALEN, AMBARAWA

  

KONFLIK KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TANAH KAS DESA DI DESA

BEJALEN, AMBARAWA

Abstrak Lavica Anky Riswanda

  Pertikaian atau konflik sering terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, tidak terkecuali tentang pemanfaatan aset desa untuk kegiatan yang berdampak secara ekonomi. Konflik terjadi karena perbedaan kepentingan antara pihak-pihak yang berkonflik serta bisa terjadi karena adanya keinginan manusia untuk menguasai sumber-sumber dan posisi yang langka (scarcity). Penelitian ini menggunakan metode kualitiatif deskriptif yang secara garis besar akan membahas tentang konflik kepentingan dalam pengelolaan Tanah Kas Desa di Desa Bejalen. Berkaitan dengan ini, peneliti akan menjelaskan pihak-pihak yang terlibat serta berkepentingan, juga akan memetakan siapa yang diuntungkan dan dirugikan atas timbulnya konflik tersebut. Hasil temuan data menjelaskan bahwa konflik di Desa Bejalen muncul disebabkan adanya nilai ekonomi yang tinggi di lahan yang menjadi objek konflik yakni Tanah Kas Desa Bejalen. Disatu sisi kebijakan pemerintah Kabupaten Semarang berbenturan terhadap keinginan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan atas pemanfaatan aset desa tersebut. Kasus ini menjelaskan dimensi konflik secara Abstract horizontal sekaligus vertikal Kata Kunci : Konflik, Kepentingan, Tanah Kas Desa , Objek Wisata Disputes or conflicts often occur in public and state life, including the use of village assets for activities that have an economic impact. Conflicts occur due to differences in interests between the parties in conflict and can occur because of the human desire to control resources and rare position (scarcity). This research uses descriptive qualitative method which in general will discuss about conflict of interest in management of Village Cash Country in Bejalen Village. In this regard, the researcher will explain the parties involved and have an interest, also will map who is benefited and harmed by the conflict. The findings of the data explained that the conflict in Bejalen village came because the high economic value in the land that became the object of conflict that is the Cash Countryside of Bejalen Village. The policy of Semarang regency government clashed against the wishes of certain parties who want to gain profit on the utilization of the asset of the village. This case explains the Keywords : dimensions of the conflict horizontally as well as vertically

  Conflict, Interest, Village Cash, Tourism Lavicaanky@gmail.com

merupakan anggota Biro Infokom Korwil 6 Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik Indonesia.

Mahasiswa Program Sarjana Program Studi Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Penulis

  Pendahuluan

  Tanah merupakan sebuah obyek yang sangat berharga dan dibutuhkan oleh masyarakat banyak karena tanah memiliki banyak nilai, baik ekonomis yang tinggi, filosofis, politik, sosial, kultural, dan ekologis. Pada akhirnya banyak kepentingan yang membutuhkannya, sehingga terus menerus dan bahkan dapat memicu berbagai masalah sosial yang rumit dikarenakan oleh adanya ketimpangan dari struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagai sesuatu kegiatan ekonomi. Konflik yang menyangkut tentang tanah di Indonesia sering melibatkan antara masyarakat versus negara, masyarakat versus negara dan perusahaan, masyarakat versus militer dan masyarakat versus perusahaan. Struktur konflik yang membentuk piramida menempatkan negara berada dalam otoritas yang paling kuat, kemudian otoritas tersebut terbagi kepada perusahaan, militer, pemimpin elite lokal, dan yang pada posisi paling bawah adalah masyarakat dimana 1 masyarakat selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.

  Masalah yang menyangkut tentang tanah mempunyai karakter yang bersifat multi dimensi. Banyak aspek yang terlibat didalamnya ada muatan politis, hukum, ekonomi. Persoalan ekonomi misalnya, dapat terjadi karena muatan kepentingan tertentu dan ujungnya adalah bicara adil tidak adil. Konflik pertanahan sering muncul ke permukaan merupakan dan menjadi bahan pemberitaan di media massa. Banyak faktor penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut antara lain : Pertama, Harga tanah yang meningkat dengan cepat. Kedua, kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan / haknya. Ketiga, iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah, dan yang terakhir adalah adanya potensi

  2

  ekonomi yang berada di lahan yang bersengketa. Begitupun juga dengan Tanah Kas Desa Desa yang tak luput dari sebuah konflik. Konflik yang terjadi selama ini adalah tentang bagaimana mengelola dan memanfaatkannya untuk sumber pendapatan.

  Pendapatan yang ada digunakan untuk pembangunan yang bertujuan bagi kemajuan Desa tersebut. Kasus yang pernah terjadi adalah pengelolaan tanah Desa Panca Jaya Kabupaten Kutai Kartanegara yang menimbulkan konflik karena perjanjian antara pihak desa dengan kelompok tani hanya secara lisan sehingga mengakibatkan pengklaiman tanah desa yang terdapat kios pasar oleh masyarakat yang dijadikan 3 tempat tinggal.

  Tidak jauh berbeda di Desa Bejalen, Ambarawa, Pemerintah Desa selaku pemilik aset tersebut membuat perjanjian dengan investor untuk pembangunan objek pariwisata diatas Tanah Kas Desa. Keberadaan objek wisata yang berada di Desa Bejalen yang diharapkan menjadi sumber pendapatan Desa ternyata tidak terlalu memberikan kontribusi yang begitu signifikan. Hal tersebut ditengarai karena adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan lebih untuk mengeruk keuntungan yang lebih pada sumberdaya tersebut. Selain itu pendirian objek wisata Kampoeng Rawa bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang peruntukan pemanfaatan lahan disekitar Rawa Pening yang fungsinya sebagai daerah sabuk hijau dan semestinya tidak boleh digunakan sebagai tempat usaha atau kegiatan ekonomi. Konflik yang terjadi ini melibatkan banyak pihak yang terlibat mulai dari pemerintah Desa selaku pemilik aset, kopjapari selaku pengelola objek wisata kampong rawa, investor selaku penyandang dana serta Pemerintah Kabupaten 3 Pustaka Sinar Harapan. hal 23 2 Semarang yang menerbitkan aturan RTRW yang bertentangan dengan dibukanya Juniati. 2013. Diakses pada skripsi dengan judul: Pengelolaan Tanah Desa Di Desa Panca Jaya Husein, Ali. 1997. Konflik Pertanahan: Dimensi Keadilan dan Kepentingan Sosial. Jakarta:

  Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara. Universitas Mulawarman objek wisata Kampong rawa. Bahkan konflik ini sempat terjadi bentrok fisik antara 4 pimpinan Koperasi Jasa Pariwisata (Kopjapari) dengan warga Desa Bejalen.

  Jika merujuk pada permasalahan diatas teori dari duverger bisa diajukan sebagai pisau analisa. Karena menurut duverger konflik yang terjadi dapat diklasifikasikan sebagai konflik kelompok horizontal yang disebabkan oleh kegiatan korporatif. Disebut konflik antara kelompok horizontal karena konflik tersebut terjadi antara sesama kelompok di dalam kelompok masyarakat, sehinga konflik mengambil bentuk garis mendatar, tidak dalam garis vertikal karena konflik antara kelompok-kelompok masyarakat dengan penguasa politik ataupun penguasa politik dengan penguasa politik lain yang berada di dalam struktur dibawahnya disebut dalam konflik vertikal.

  Duverger juga percaya bahwa konflik akan berkurang apabila beberapa kebutuhan manusia terpenuhi. Pernyataan ini menguatkan fakta bahwa faktor materi menjadi hal utama sebagai penyebab konflik di dalam masyarakat. Materi ternyata sumber persengketaan manusia, meskipun sangat bersifat materialistis tidak dapat dibantah bahwa memang seperti ini kenyataannya. Kelimpahmewahan akan sumberdaya juga belum tentu akan menghapus konflik, sebesar apapun kelimpahmewahan itu kebutuhan manusia tidak akan bisa terpenuhi karena sebuah kebutuhan sudah terpenuhi akan muncul kebutuhan lain yang menuntut untuk 5 dipenuhi.

  4

“Bentrok fisik di Kampong rawa ambarawa” diakses pada http://jateng.tribunnews.com 10 april

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. hal 52 5 2016 pada pukul 21.35 Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus Politik dan Konflik Politik. Jakarta: Direktorat Jendral

  Metode

  Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, Sedangkan metode yang digunakan adalah deskriptif, yakni metode penelitian untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, dan berbagai variabel. Deskriptif kualitatif berarti peneliti menggambarkan secara detail tentang realitas peristiwa yang terjadi dengan berusaha menjelaskan mengapa muncul konflik tersebut. Penelitian ini akan melihat tentang konflik antara Pemerintah Desa Bejalen dengan kelompok yang memiliki kepentingan atas pengelolaan Tanah Kas Desa tersebut.

  Lokasi atau setting dari penelitian ini adalah di Desa Bejalen Kecamatan Ambarawa Kabupaten Semarang.

  Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua kategori data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara mendalam. Kemudian, data sekunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dari informan juga bisa didapat dari sumber-sumber lain, berupa laporan penelitian terdahulu, undang-undang yang berlaku, dan data yang didapatkan melalui unduhan dari

  website

  resmi pemerintahan. Proses menganalisis data yang dilakukan pertama kali adalah melakukan transkrip hasil wawancara Setelah itu dilakukan pemetaan dan penyederhanaan data, Langkah selanjutnya adalah menganalisis hasil temuan data dengan menghubungkan teori yang relevan, setelah itu mulai menyusun suatu kesimpulan.

  Faktor Penyebab Konflik

  Sebelum dibangun objek wisata pada Tanah Kas Desa tersebut, wilayah itu hanya dimanfaatkan untuk penanaman padi semata. Sejatinya konflik juga bermula pada asal-usul tanah tersebut, pada pemanfaatan aset desa untuk penanaman padi timbul konflik antara penggarap tanah dengan Pemerintah desa Bejalen karena tidak dibayarkannya bagi hasil atas penanaman padi tersebut. Hal tersebut ditengarai oleh sebab asal-usul Tanah Kas Desa Bejalen yang dahulunya adalah bekas wilayah pemukiman petani penggarap yang sekarang tenggelam karena naiknya permukaan air Rawa Pening.

  Dibangunnya jalan lingkar selatan Ambarawa membuat nilai Tanah Kas Desa Bejalen meningkat. Pada dasarnya konflik yang terjadi disebabkan oleh perbedaan kepentingan, Seperti halnya dengan kepentingan yang mendasari kepentingan 6 lainnya. Kepentingan pemerintah Desa Bejalen dengan investor yang membentuk objek wisata Kampong Rawa di atas Tanah Kas Desa mendasari kepentingannya untuk meningkatkan pendapatan asli Desa karena sebelumnya desa tidak mendapatkan bagi hasil atas pemanfaatan Tanah Kas Desa tersebut akibat tidak dibayarkannya dana bagi hasil atas keuntungan dari penanaman padi di Tanah Kas Desa Bejalen itu. Pihak investor juga memiliki kepentingan dengan melihat Tanah Kas Desa tersebut sebagai sebuah wilayah yang potensial untuk dijadikan sebuah kegiatan yang berbasis ekonomi, sebab posisi tanah yang sangat strategis karena berada di pinggir Rawa Pening dan akses yang mudah karena tidak jauh dari jalan lingkar ambarawa dinilai cocok untuk didirikan objek wisata.

  Pada saat beroperasinya objek wisata Kampoeng Rawa, sang pengelola objek wisata yakni Kopjapari tidak pernah sekalipun melaksanakan rapat anggota tahunan koperasi selama tiga tahun karena data keuangan operasional Kampoeng Rawa dikuasai oleh manajemen yang diisi oleh orang dekat dari investor. Sehingga apa 6 yang terjadi di dalam internal Kopjapari adalah persoalan manajemen yang buruk Dean G Pruitt dan J.Z Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal 22 dan yang diakibatkan campur tangan investor di dalam manajemen, implikasinya adalah ketidak transparanan soal keuangan serta data yang cenderung manipulatif.

  KSP Artha Prima selaku investor melakukan proses takeover hutang, namun masih meminta jatah bagi hasil terhadap Kopjapari. Padahal kewajiban terhadap Artha Prima seharusnya sudah berganti menjadi kewajiban terhadap KSP Intidana karena peralihan pelunasan hutang sudah di take over ke pihak lain. Yang pada intinya adalah akan muncul keuntungan materi yang besar ketika objek wisata Kampoeng rawa berdiri.

  Berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Semarang yang ada yakni dalam bentuk perda menjadi benturan kepentingan berikutnya yang mengakibatkan persoalan baru ketika isi peraturan di dalam perda tidak mendukung adanya objek wisata di lahan yang peruntukannya sebagai kawasan lindung. Seperti konflik yang terjadi akibat regulasi yang dibuat pemerintah daerah dengan bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031 Bab

  III Paragraf 2 tentang Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Semarang bahwasanya wilayah sekitar Rawa Pening adalah kawasan untuk kelestarian fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

  Peta konflik awal antara Pemerintah Desa Bejalen dengan Kelompok tani Kelompok Tambakboyo tani Desa Tambakboyo Bejalen

  Objek konflik Desa Bejalen Tanah Kas

  Peta konflik berikutnya ketika Tanah Kas Desa dijadikan Objek wisata

  Pemkab Investor KSP

Semarang

Artha Prima Desa Bejalen

  Kopjapari

  Masyarakat Keterangan : desa Bejalen

  • Garis instruktif
  • Konflik langsung
  • Konflik tidak langsung
  • Hubungan timbal balik

  Di dalam peta telah dijelaskan bagaimana serangkaian konflik yang terjadi dalam pengelolaan Tanah Kas Desa bejalen. Konflik bias dikatakan sebagai konflik kelompok horizontal karena pada konflik yang terjadi melibatkan antara sesama kelompok di dalam kelompok masyarakat, sehinga konflik mengambil bentuk garis mendatar, seperti permasalahan yang terjadi baik Tanah Kas Desa yang belum dijadikan objek wisata antara pemerintah Desa dengan Kelompok tani Tambakboyo.

  Serta persoalan pengelolaan objek wisata Kampoeng Rawa antara bebeberapa pihak seperti Kopjapari yang bermasalah dengan beberapa kelompok sekaligus seperti pemerintah Desa Bejalen, dan investor penyandang dana. Sedangkan konflik vertikal terjadi karena permasalahan antara kelompok-kelompok masyarakat dengan penguasa politik ataupun penguasa politik dengan penguasa politik lain yang berada di dalam struktur dibawahnya disebut dalam konflik vertikal. Seperti halnya pemerintah Kabupaten Semarang dengan Pemerintah Desa Bejalen soal pemanfaatan Tanah Kas Desa yang bertentangan dengan Peraturan daerah tentang peruntukan wilayah sekitar Rawa Pening yang difungsikan sebagai kawasan untuk kelestarian dan daya dukung lingkungan hidup

  Pihak Yang Diuntungkan Dalam Terjadinya Konflik

  Dalam penelitian ini akan dipetakan bedasarkan tiga pihak yang terlibat didalam konflik tersebut. Bedasarkan klasifikasi analisa untung rugi, pihak yang paling diuntungkan dari konflik Pengelolaan Tanah Kas Desa Di Desa Bejalen adalah pihak kapital atau investor. Keuntungan yang diperoleh pihak investor adalah keuntungan secara ekonomi. Selain itu pihak Pemerintah Desa juga mendapat keuntungan secara materi ketika Tanah Kas Desa tersebut dimanfaatkan untuk objek wisata. Keuntungan secara materi terlihat jelas lebih besar dibandingkan dengan Tanah Kas Desa yang hanya dimanfaatkan untuk penanaman padi. Akan tetapi pemerintah Desa juga mengalami kerugian karena persoalan bagi hasil keuntungan objek wisata yang berlangsung tidak adil. Dan yang terakhir adalah pemerintah Kabupaten Semarang yang menjadi pihak yang sangat dirugikan karena sempadan Rawa Pening dijadikan kegiatan bisnis yang melanggar RTRW Pemkab Semarang tentang zonasi wilayah

  KSP Artha Prima selaku investor yang membiayai seluruh pembangunan objek wisata Kampoeng rawa sekaligus pencetus ide untuk pembuatan objek wisata.

  KSP Artha Prima ini adalah kelompok yang dapat mempengaruhi Pemerintah Desa Bejalen atau pressure group untuk membuat kebijakan pengalih fungsian Tanah Kas Desa untuk objek wisata. Investor ini memiliki kepentingan yakni mencari keuntungan dalam keinginan menjadikan Tanah Kas Desa Bejalen sebagai sumber pendapatan yang besar melalui objek wisata. Setelah beroperasinya objek wisata, kepentingan investor untuk mengeksploitasi tanah tersebut untuk keuntungan sepihak dapat terlihat. Bisa dipastikan bahwa investor adalah pihak yang paling diuntungkan dengan kondisi seperti ini. Beberapa hal yang menjadi pembuktiannya adalah persoalan investasi atau hutang kepada pengelola Kampoeng Rawa sebesar

  12 Milyar rupiah yang peruntukannya sempat dipertanyakan. Serta proses take over hutang ke pihak lain, yang menimbulkan kontroversi adalah pihak investor masih meminta bagi hasil atas keuntungan kepada Kampoeng Rawa.

  Pihak lainnya yang memiliki kepentingan adalah Pemerintah Desa Bejalen. Pihak desa selaku pemilik Tanah Kas Desa bedasarkan surat letter c memiliki otoritas yang lebih untuk mengelolanya. Berbagai dinamika konflik yang terjadi membuat pihak Desa Bejalen adalah pihak atau kelompok yang dirugikan juga diuntungkan dengan adanya objek wisata tersebut. Konflik yang pertama ketika bertikai dengan Kelompok tani Tambakboyo mempersoalkan tentang bagi hasil tanam padi atas pemanfaatan Tanah Kas Desa. Namun yang terjadi pihak kelompok tani Tambakboyo mengingkari sebuah kesepakatan yang pernah dibuat dahulu kala dengan cara tidak membayar bagi hasil kepada Pemerintah Desa Bejalen. Desa juga sebagai kesatuan masyarakat yang otonom memiliki sumber-sumber kekayaan seperti Tanah Kas Desa yang dapat dimanfaatkan agar mendapatkan pendapatan asli Desa (PADes) salah satu cara tersebut adalah mengalihfungsikan Tanah Kas Desa sebagai objek wisata.

  Kepentingan Desa Bejalen adalah dengan adanya objek wisata Kampoeng Rawa juga diharapkan sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan tanah yang pernah terjadi sebelumnya, sengketa yang belum bisa diselesaikan hingga menimbulkan kerugian Desa Bejalen yang tidak mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan tanah tersebut. Selain itu faktor keuntungan materi ketika Tanah Kas Desa lebih menjanjikan dibuat untuk objek pariwisata dibandingkan dengan ditanami padi saja karena hanya dapat ditanami saat musim kemarau tiba dan pada saat musim hujan sudah tidak bisa ditanami lagi karena ketinggian air meningkat dan membanjiri Tanah Kas Desa tersebut.

  Kemudian kepentingan Pemerintah Kabupaten Semarang terhadap objek wisata Kampoeng Rawa. Nilai kepentingan Pemerintah sangat kecil bila dibandingkan dengan kepentingan investor maupun pemerintah Desa Bejalen membuat Pemerintah Kabupaten Semarang menjadi pihak yang paling dirugikan karena produk kebijakan berupa perda telah dilanggar oleh warganya. Kepentingan Pemerintah Kabupaten Semarang sendiri adalah upaya untuk menutup objek wisata Kampoeng Rawa. Keinginan tersebut didasari atas fakta bahwa objek wisata Kampoeng Rawa sudah melanggar RTRW Pemkab Semarang tentang zonasi wilayah peruntukan sempadan Rawa Pening. Pemanfaatan daerah sekitaran atau sempadan Rawa Pening selain untuk irigasi dan wilayah penanaman padi serta dilarang untuk pemanfaatan lain agar mempertahankan fungsi lindung dan meningkatkan pengelolaan kawasan sekitar Rawa Pening dari bahaya kerusakan ekologi yang difungsikan sebagai daya dukung lingkungan. Tidak ada nilai materi yang diinginkan pemerintah namun hanya menginginkan bahwa pihak-pihak tertentu supaya tidak menjadikan daerah sempadan rawa pening untuk kepentingan bisnis, karena yang ditakutkan adalah muncul objek wisata maupun usaha serupa yang akan memperparah kondisi sempadan Rawa Pening.

  Kesimpulan

  Pemanfaatan Tanah Kas Desa di desa Bejalen untuk kegiatan ekonomi telah menimbulkan serangkaian kejadian konflik. Konflik terjadi karena ada beberapa kelompok yang memiliki kepentingan atas tanah tersebut. Faktor materi memainkan peranan penting sebagai penyebab konflik di dalam masyarakat. Pemanfaatan Tanah Kas Desa untuk kegiatan ekonomi menjadi pemicu utama timbulnya konflik yang terjadi. Sebab Tanah memiliki nilai-nilai ekonomis yang menjadikan tanah sebagai sebuah harta berharga yang sangat dibutuhkan dan ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Konflik yang terjadi akan berkurang apabila beberapa kebutuhan beberapa kelompok terpenuhi, yakni kesepakatan yang telah dibuat bersama harus direalisasikan dan juga membangun kegiatan ekonomi tidak melanggar peraturan yang ada. Materi akan selalu menjadi sumberdaya yang diperebutkan karena sifat manusia yang tidak akan pernah puas akan sesuatu dan akan terus mengalami kelangkaan. Penelitian ini berupaya melengkapi studi konflik tentang pengelolaan Tanah Kas Desa yang selama ini membahas tentang peraturan yang dilanggar atau dinamika secara vertikal semata. Namun juga membahas persoalan kepentingan yang diperebutkan oleh pihak-pihak yang berusaha mengeruk keuntungan atas tanah tersebut

  Daftar Pustaka Dean G Pruitt dan J.Z Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

  Husein, Ali. 1997. Konflik Pertanahan: Dimensi Keadilan dan Kepentingan Sosial.

  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Limbong, Bernhard. 2014. Politik Pertanahan. Jakarta: Margareth Pustaka. Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus Politik dan Konflik Politik. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

  Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031 Bab III Paragraf 2 tentang Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Semarang

  “Bentrok fisik di Kampong rawa ambarawa” diakses pada http://jateng.tribunnews.com/2015/08/18/bentrok-fisik-di-kampoeng- rawa-ambarawa 10 april 2016 pada pukul 21.40

  “Kampoeng Rawa Salahi Peruntukkan Rawapening” diakses pada http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/20/1521568/Kampoeng.Rawa.

  Salahi.Peruntukkan.Rawapening. 10 april 2017 pada pukul 21.11 Juniati. 2013. Yang menulis skripsi pada Universitas Mulawarman dengan judul

  Pengelolaan Tanah Desa Di Desa Panca Jaya Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara

  .