KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN LAMONGAN

DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN LAMONGAN

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Prasyarat guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh Adhitya Widya Kartika NIM. E0008001 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Penulisan Hukum (Skripsi) KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN LAMONGAN

Oleh Adhitya Widya Kartika NIM. E0008001

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juni 2012

Co Pembimbing

Dosen Pembimbing

Sutedjo, S.H.,M.M. NIP. 195808281986011001

Suranto, S.H, M.H. NIP. 195608121986011101

Penulisan Hukum (Skripsi) KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN LAMONGAN

Oleh Adhitya Widya Kartika NIM. E0008001 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan

Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada:

Hari

: Senin Tanggal : 16 Juli 2012 DEWAN PENGUJI

1. Maria Madalina, S.H., M.Hum.

NIP. 196010241986022001

Ketua

2. Sutedjo, S.H., M.M.

NIP. 195808281986011001 Sekretaris

3. Suranto, S.H., M.H.

NIP. 195608121986011101 Anggota

Mengetahui Dekan,

Prof.Dr.Hartiwiningsih,S.H.,M.Hum NIP. 195702031985032001

Nama : Adhitya Widya Kartika NIM : E0008001

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN

LAMONGAN adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Mei 2012 Yang membuat pernyataan

Adhitya Widya Kartika NIM. E0008001

Adhitya Widya Kartika, E0008001. 2012. KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA MORO KECAMATAN SEKARAN KABUPATEN LAMONGAN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan kewenangan kepala desa dalam pengelolaan usaha desa di desa Moro kecamatan Sekaran kabupaten Lamongan dan hambatan yang dihadapi serta solusi.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum nondroktinal bersifat deskriptif kualitatif, permasalahan yang diangkat menyangkut realitas yaitu mengenai kewenangan kepala desa dalam pelaksanaannya, pelaksanaan pengelolaan usaha desa, cara pengelolaan, dan hambatan yang terjadi ketika pelaksanaan dilakukan. Data diperoleh dari data primer yang bersumber dari pemerintah desa yaitu kepala desa dan perangkat desa, data sekunder, dan tersier. Tehnik pengumpulan data menggunakan studi dokumen, wawancara, observasi. Tehnik analisa data menggunakan analisa kualitatif model interaktif menggunakan tiga alur yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian dan pembahasan menghasilkan kesimpulan yaitu kewenangan kepala desa membina perekonomian desa dan melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu dengan tugas kepala desa melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa dalam pengelolaan keuangan desa, pengelolaan usaha desa dilakukan dengan cara lelang. Usaha desa masuk dalam sumber keuangan dituangkan dalam anggaran pendapatan dan belanja desa yang ditetapkan dalam peraturan desa oleh kepala desa dengan persetujuan badan permusyawaratan desa. Seluruh pendapatan dan kekayaan disalurkan melalui kas desa. Pertanggungjawaban merupakan kewajiban dilakukan dengan memberikan laporan kepada badan permusyawaratan desa setahun sekali. Hambatan yang terjadi adalah dari faktor keterlambatan pembayaran, kriminalitas, cuaca.

Kata kunci: Kewenangan, Kepala Desa, pengelolaan, usaha Desa.

Adhitya Widya Kartika, E0008001. 2012. AUTHORITY OF VILLAGE HEADS IN THE MANAGEMENT OF VILLAGE OWNED ENTERPRISES AT MORO SEKARAN LAMONGAN. Faculty of Law Sebelas Maret University.

This study aims to describe the authority of village heads in the management of village owned enterprises at Moro Sekaran Lamongan and obstacles faced and the solutions.

This research is a qualitative descriptive, nondroktinal, the issue raised concerning the reality of the authority of village heads in the implementation, the implementation of rural business management, management methods, and obstacles that occur when the execution carried out. Data obtained from primary data sourced from the village government is the village head and village officials, secondary data, and tertiary. Techniques of data collection using the study of documents, interviews, observation. Techniques of data analysis using an interactive model of qualitative analysis using the three grooves are data reduction, data presentation, and conclusions.

The conclusion are authority of village leaders to foster rural economic and execute other authority in accordance with statutory regulation with the task ot carrying out the affairs of the village which become the authority the village in the financial management of the village. The village owned enterprises conducted by auction then viilage owned enterprises included in the financial resources set out in the budget revenue and expenditure specified in regulation village by headman of the village with the approval of the village consultative body. The entire income and wealth is channeled through the village treasury. Accountability is accomplished by providing a report to BPD once a year. Problems that occur are late payments, crime, weather.

Key words: authority, headman of the village, management, business village.

Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) dengan judul: KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN USAHA DESA MORO

Adapun kajian dalam penulisan hukum ini dimaksudkan untuk mengetahui mengenai tugas dan tanggung jawab kepala desa dalam mengelola usaha desa serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam mengelola usaha.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. Selaku Rektor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;

2. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret serta selaku Pembimbing Akademik;

3. Maria Madalina, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara dan Ketua Penguji;

4. Suranto, S.H.,M.H. selaku Pembimbing I Penulisan Hukum serta Anggota Penguji yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga yang dengan sabar memberikan saran dan bimbingan sehingga terselesaikannya skripsi ini;

5. Sutedjo, S.H., M.M. selaku Pembimbing Seminar Proposal, Co Pembimbing serta Sekretaris Penguji yang telah membimbing dan mengarahkan penulis;

6. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis semoga kedepannya dapat penulis amalkan; 6. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis semoga kedepannya dapat penulis amalkan;

8. Pengelola Penulisan Hukum yang telah membantu dalam mengurus segala administrasi skripsi dari mulai pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi;

9. Keluarga besar Sukamto, SE, Ning Suhatmi, serta saudara Dwi Wahyuningrum, Adhiyatma Srinarbito yang telah memberikan semua hal yang sangat berarti dalam hidup penulis, doa, harapan, cinta, motivasi, dan kepercayaan yang telah diberikan;

10. Keluarga besar Budi Utomo, Zulaikah saudara Surya Utomo, Sugiati atas doa, harapan, cinta, motivasi, dan kepercayaan yang telah diberikan ;

11. Keluarga besar Rahmat Utomo yang telah memberikan semua hal yang sangat berarti dalam hidup penulis, doa, harapan, cinta, motivasi, dan kepercayaan yang telah diberikan;

12. Teman dan sahabat penulis atas kebersamaan, kepercayaan, perhatian, dorongan dan bantuaannya selama ini;

13. Semua Pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih terdapat banyak

kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu hukum.

Surakarta, Mei 2012 Penulis

Adhitya Widya Kartika NIM. E0008001

5. Sumber Pendapatan Desa .....................................................................37

6. Otonomi Desa .......................................................................................44

B. Kerangka Pemikiran ..................................................................................46

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................47

A. Hasil Penelitian..........................................................................................47

1. Diskripsi Obyek Penelitian ...................................................................47

2. Kewenangan Kepala Desa dalam Pengelolaan Usaha Desa..................69

3. Hambatan yang dihadapi dan Cara Mengatasi......................................85

B. Pembahasan ...............................................................................................85

Pengelolaan Usaha Desa..................85

Mengatasi .............................................................93 BAB IV PENUTUP ..............................................................................................96

A. Simpulan ...................................................................................................96

B. Saran ..........................................................................................................98 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................100

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan Menurut Umur .............................................................48

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Desa Moro dengan Kriteria Penggolongan Menurut Usia dan Pendidikan .......................................................49

Tabel 3.3 Struktur Jumlah Penduduk Desa Moro Menurut Jenis Mata Pencaharian ....................................................................................51

Tabel 3.4 Jumlah Kepala Keluarga Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan Menurut Tingkat Kesejahteraan ................52

Tabel 3.5 Keadaan Pertanahan Desa Moro Menurut Jenis Tanah ................53 Tabel 3.6

Uraian Hasil apengelolaan Sumber Daya Alam Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan ...................................54

Tabel 3.7 Sarana dan Prasarana Pemerintahan Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan ......................................................55

Tabel 3.8 Pemegang Jabatan Kepala Desa dan Perangkat Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan ...................................68

Tabel 3.9 Daftar Tanah Kas Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan ......................................................................................70

Tabel 3.11 Pemenang Lelang Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten

Lamongan Tahun 2012 ..................................................................83

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Teknis Analisis Kualitatif................................................................7 Bagan 2.1

Otonomi Desa ................................................................................45 Bagan 2.2

Kerangka Pemikiran ......................................................................46 Bagan 3.1

Susunan Organisasi .......................................................................68 Bagan 3.2

Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Moro ...................69

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keterangan/Ijin Lokasi/Instansi .........................................103 Lampiran 2 Peraturan Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan

Nomor 4 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelelangan ...................104

Lampiran 3 Peraturan Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan

Nomor 01 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa .............................................................................................121

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia memiliki wilayah dengan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang yang di dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan kewenangan berupa kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Semua itu dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Kemudian di dalam Pasal 200 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa dalam pemerintahan daerah kabupaten atau kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan pemusyawaratan desa. Pemerintahan desa sangat berperan penting karena pemerintahan desa merupakan pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat sehingga lebih memahami situasi dan kondisi di suatu daerah dan oleh karena tidaklah mungkin jika semua urusan ditangani oleh pemerintah pusat sehingga dianggap perlu dan penting dibentuk suatu pemerintahan yang lebih kecil yaitu pemerintahan desa.

Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan atas asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Maka dalam rangka desentralisasi dibentuk dan disusun pemerintah

mengurus rumah tangganya sebagai perwujudan otonomi daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya ekonomi yang dimiliki oleh desa yang kemudian dapat diberikan penugasan atau pendelegasian dari pemerintah di atasnya untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Otonomi desa yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa, urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pada desa, tugas pembantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah serta urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Pemerintahan desa di dalam menyelenggarakan pemerintahannya dengan otonomi dapat mencapai keberhasilan dari tujuan yang hendak dicapai apabila di dukung oleh beberapa faktor salah satunya adalah keuangan desa yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan desa. Sumber-sumber pendapatan tersebut dikelola dengan baik agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan dengan lancar sehingga dapat mensejahterakan masyarakatnya. Sumber-sumber pendapatan desa di tiap daerah belum tentu sama. Hal ini salah satunya karena faktor perbedaan kondisi dan permasalahan tiap desa.

Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa dan untuk meningkatkan pelayanan,

pemberdayaan masyarakat serta membina

perekonomian, desa memiliki sumber pendapatan yang terdiri atas pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten atau kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten atau kota, bantuan dari pemerintah daerah serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga, serta sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh desa.

satu pendapatan asli desa adalah hasil usaha desa. Hasil usaha desa di Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan yaitu didapat melalui usaha desa yang dokelola dengan cara lelang antara lain lelang telaga kali dan kali desa, lelang kali dan rawa, lelang lamtoro tepi jalan raya, tanah wedusan, dan lelang perbatasan Moro-Karang sesuai dengan situasi serta kondisi daerah serta permasalahan yang masing-masing dari usaha tersebut memberikan masukan kepada pendapatan desa. Hasil usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan memiliki pemasukan pendapatan desa yang besar, sehingga diperlukan pengelolaan secara baik agar pendapatan semakin meningkat dan bermanfaat bagi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan serta pembangunan desa.

Pemerintahan desa dalam pengelolaan usaha desa dikelola oleh kepala desa sebagai tugas dan kewajiban serta yang diberikan kekuasaan untuk pengelolaan keuangan desa yang dalam kewenangannya di bantu oleh perangkat desa dan melibatkan peran serta dari masyarakat. Peran kepala desa sangat penting di dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, kepala desa harus mampu mengelola dengan baik agar hasilnya dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk penyelenggaraan pemerintahan desa sehingga dapat berjalan dengan lancar dan dapat mensejahterakan masyarakat.

Penulisan hukum berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti mengambil judul sebagai berikut:

KEWENANGAN KEPALA DESA DALAM

PENGELOLAAN USAHA DESA DI DESA MORO KECAMATAN SEKARAN

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka perumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kewenangan kepala desa dalam pengelolaan usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan? a. Bagaimanakah kewenangan kepala desa dalam pengelolaan usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:

a. Tujuan Obyektif:

1) Untuk mengetahui kewenangan kepala desa dalam pengelolaan usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan.

2) Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi kepala desa dalam pengelolaan usaha desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan dan bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut.

b. Tujuan Subyektif Untuk memenuhi prasyarat mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teoritis

1) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

2) Hasil penelitian ini dapat menambah dan memperdalam ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara.

b. Praktis

1) Menambah wawasan bagi pembaca khususnya mengenai peranan Kepala Desa dalam mengelola usaha desa serta hambatan yang dihadapi dan solusi.

dengan permasalahan ini.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan hukum ini adalah penelitian non doktrinal yaitu penelitian berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat. (Bambang Sunggono, 2011:42) Penelitian ini juga dapat disebut socio- legal reserch

Penelitian hukum non doktrinal ini menggunakan studi empiris yang pada awalnya meneliti mengenai data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti mengenai data primer di lapangan atau terhadap masyarakat. (Soerjono Soekanto, 2010:52)

2. Sifat penelitian Sifat penelitian dalam penelitian hukum ini adalah dengan deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan suatu data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lainnya. (Soerjono Soekanto, 2010:10)

Selain deskriptif juga bersifat kualitatif karena memusatkan pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. (Burhan Ashshofa, 2001:20-21)

3. Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian dengan paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme dimana realitas ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan kepada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung kepada pihak yang melakukannya.

pengamat dan obyek merupakan satu kesatuan subyektif dan merupakan perpaduan interaksi diantara keduanya. Konstruktivisme merupakan pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah, agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial. (Agus Salim, 2006: 71)

4. Jenis dan sumber data Data yang akan dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber primer atau sumber utama yang berupa fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber data yang berkaitan dengan penulisan hukum ini. Adapun data ini diperoleh secara langsung dari kepala desa Moro dan perangkat desa di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan.

b. Data sekunder

Data Sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan, terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan data tertulis dari Desa Moro Kecamatan Sekaran Kabupaten Lamongan.

2) Bahan hukum sekunder, meliputi hasil karya ilmiah, hasil-hasil penelitian sebelumnya, jurnal hukum, kamus hukum, buku teks, dan smber lainnya.

3) Bahan hukum tersier, meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia.

5. Teknik pengumpulan data

a. Studi dokumen

Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan menginventariskan dan mempelajari bahan berupa peraturan Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan menginventariskan dan mempelajari bahan berupa peraturan

b. Wawancara

Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dengan mengadakan tanya jawab secara langsung kepada responden yaitu Kepala Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan beserta perangkatnya.

c. Observasi

Observasi merupakan pengamatan disertai dengan pencatatan fenomena yang diteliti yang dapat dilakukan dengan pengamatan tidak langsung yaitu penulis tidak menjadi kelompok yang diteliti. Pengamatan dilakukan di Desa Moro, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan.

6. Teknik analisa data Teknik analisa data yang dipakai adalah dengan metode analisis kualitatif dengan model interaktif yaitu bahwa data yang terkumpul di analisis melalui tiga tahap yaitu mereduksi, menyajikan data, dan menarik kesimpulan dengan proses siklus antara tahap-tahap tersebut sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu dengan yang lainnya secara sistematis.

Metode analisis interaktif, yang menjadi pedoman dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

Sumber: Pengantar Penelitian Kualitatif. HB Sutopo. 2002

Bagan 1.1 Teknik Analisis Kualitatif

Reduksi Data

Sajian Data

Kesimpulan

Pengumpulan Data

1. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyederhanaan, pengabstrakkan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di kepustakaan. Reduksi tersebut berlangsung terus-menerus bahkan sebelum data benar- benar terkumpul sampai sesudah penelitian dan laporan akhir lengkap tersusun.

2. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kamungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Penarikan kesimpulan berarti dari permulaan pengumpulan data seorang penganalisis mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan tetap akan ditangani dengan longgar tetap terbuka dan skeptis tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengarah pada pokok. Kesimpulan- kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penulis selama ia menulis suatu tinjauan ulang pada catatan- catatan, atau menjadi seksama.

Peneliti harus bergerak di antara keempat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan atau verifikasi selama penelitian. Aktivitas yang dilakukan dengan proses itu komponen-komponen tersebut akan didapat yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti serta data yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan kemudian dirediksi dengan klasifikasi dan seleksi. Kemudian mengambil kesimpulan yang berhubungan sehingga membentuk siklus. (HB Sutopo, 2002:37)

Guna memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian yang dilakukan oleh penulis, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang masing-masing bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil dari suatu penelitian. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I

PENDAHULUAN Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian diantaranya tujuan obyektif dan tujuan subyektif, manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan praktis, metode penelitian terdiri dari jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan serta jenis dan sumber data yaitu data primer, sekunder, tersier, kemudian teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika penulisan hukum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka terdiri atas kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari letak desa ditinjau dari pemerintahan daerah, pemerintahan desa, organisasi pemerintahan desa, tinjauan kepala desa, sumber pendapatan desa, otonomi desa. kerangka pemikiran berisi bagan dan keterangan mengenai struktur proses untuk menjawab permasalahan penelitian.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian dan pembahasan berisi hasil penelitian yaitu antara lain diskripsi lokasi penelitian, kewenangan kepala desa dalam pengelolaan usaha desa, hambatan yang dihadapi serta solusi, serta pembahasan yang berisi kewenangan kepala desa dalam mengelola usaha desa serta hambatan yang dihadapi kepala desa dalam pengelolaan usaha desa dan solusi.

Penutup terdiri dari simpulan yang telah didapat dari hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan hukum ini. Saran berisi saran-saran yang diajukan penulis sebagai implikasi dari kesimpulan yang telah didapat.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Letak Desa Ditinjau Dari Pemerintahan Daerah

Pergantian kepemimpinan di pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagian besar banyak memberikan perubahan di berbagai bidang dalam pemerintahan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah dari pemerintahan yang berbentuk sentralistik yaitu pemerintahan dengan sistem terpusat kemudian diganti dengan pemerintahan yang desentralistik. Sesuai dengan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintahan Daerah sebagai berikut:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

dalam undang-undang. Wilayah Indonesia dibagi menjadi sejumlah daerah besar dan kecil yang otonom yaitu daerah yang boleh mengurus rumah tangganya sendiri dan daerah bersifat administrasi yaitu daerah yang tidak boleh berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam ayat (1) bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi tersebut dibagi atas kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Kemudian disebutkan dalam ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pasal 18 ayat (5) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan yaitu pemerintahan daerah menjalankan otonomi yang seluas- luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kemudian dalam pasal

Pasal 18A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Kemudian hubungan keuangan, pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan Pasal 18B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan yang mengenai daerah-daerah tersebut akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah-daerah besar dan kecil dengan dibentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang tersebut dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara serta memperhatikan hak-hak dan asal-usul dalam daerah- daerah yang bersifat istimewa. Hal tersebut secara tidak langsung Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati hak- hak dan asal usul suatu daerah atau yang dapat disebut sebagai desa. Walaupun dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mencantumkan nama desa. Undang-undang Dasar 1945 dalam penjelasannya pada pasal 18 hanya menjelaskan bahwa oleh karena Negara Indonesia itu suatu een heidsstaat , maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

autoonom (streek

dan locale

rechtsgemeenschappen ) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di rechtsgemeenschappen ) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pelaksanaan pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut diwujudkan dalam pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Asas desentralisasi yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Sehingga prakarsa, wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah itu. Asas desentralisasi ini memiliki latarbelakang yaitu oleh karena pemerintah pusat tidak dapat menyelesaikan sendiri urusan yang banyak sehungga perlunya penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang lebih kecil. Selain itu alasan pemerintah yang lebih kecil lebih mengerti kebutuhan serta permasalahan maupun situasi dan kondisi yang ada di daerahnya karena lebih dekat dengan masyarakat daerah yang bersangkutan daripada pemerintah pusat. Tetapi tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintahan di bawahnya yaitu pemerintahan daerah mengingat terbatasnya kemampuan daerah tersebut dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaannya. Karena itu diperlukan juga asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah yang tanggung jawabnya tetap ada pada pemerintah pusat. Urusan tersebut pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat. Selain asas desentralisasi dan asas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pelaksanaan pasal 18 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut diwujudkan dalam pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Asas desentralisasi yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah tingkat yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Sehingga prakarsa, wewenang dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah itu. Asas desentralisasi ini memiliki latarbelakang yaitu oleh karena pemerintah pusat tidak dapat menyelesaikan sendiri urusan yang banyak sehungga perlunya penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang lebih kecil. Selain itu alasan pemerintah yang lebih kecil lebih mengerti kebutuhan serta permasalahan maupun situasi dan kondisi yang ada di daerahnya karena lebih dekat dengan masyarakat daerah yang bersangkutan daripada pemerintah pusat. Tetapi tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintahan di bawahnya yaitu pemerintahan daerah mengingat terbatasnya kemampuan daerah tersebut dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaannya. Karena itu diperlukan juga asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah yang tanggung jawabnya tetap ada pada pemerintah pusat. Urusan tersebut pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat. Selain asas desentralisasi dan asas

dengan kewajiban

mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas. Hal-hal tersebut maka dapat terlihat bahwa wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah otonomi dan wilayah administrasi. Daerah otonomi bahwa kesatuan masyarakat hukum memiliki batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tetapi tidak boleh berdiri sendiri karena tetap terikat dalam negara kesatuan republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan disebut sebagai otonomi daerah.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan. Hubungan fungsi maupun politik pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan politik dengan kesetaraan dan checks and balances dilaksanakan derngan asas otonomi seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab.

Otonomi seluas-luasnya yaitu daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Prinsip otonomi nyata yaitu bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada serta berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Prinsip otonomi bertanggung jawab merupakan penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah, bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten atau kota. (Indra Djati Sidi,2001:41)

Mekanisme check and balances menurut hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan S.H bahwa check and balances merupakan proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan (Maruarar Siahaan, 2008:49).

Desentralisasi merupakan bentuk yang efektif untuk pelaksanaan otonomi In 1999 the central

government of Indonesia designed a set of laws to promote Otonomi Daerah,

Otonomi Daerah laws to be effective in

(Richard Seymour dan Sarah Turner, 2002:33) Sejak jatuhnya Presiden Soeharto, Indonesia sudah memilih sistem fall in 1998, Indonesia has transformed from one

(Simon Butt,2010:177) Konsep otonomi daerah sudah diperkenalkan sejak tahun 1970-an dalm bentuk undang-undang. Walaupun pada masa itu belum menerapkan otonomi daerah dengan sebagaimana mestinya.

Otonomi daerah merupakan konsep yang telah lama dikenal dalam sistem pemerintahan kita dan telah diperkenalkan sejak tahun 1970- an dalam bentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah Nomor 5 Tahun 1974. Namun kenyataan menunjukan bahwa Undang-Undang tersebut tidak pernah dilaksanakan secara konsisten karena adanya tarik menarik kepentingan sehingga otonomi daerah hanya tinggal slogan yang tidak ada maknanya. Reformasi yang bergulir tahun 1998 menyebabkan tuntutan otonomi semakin kencang dari berbagai daerah untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri, pada tahun 1999 terbitlah Undang- Undang No. 22 atau 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 atau 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan jawaban terhadap tuntutan reformasi. (Indra Djati Sidi,2001:36) Otonomi daerah merupakan konsep yang telah lama dikenal dalam sistem pemerintahan kita dan telah diperkenalkan sejak tahun 1970- an dalam bentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah Nomor 5 Tahun 1974. Namun kenyataan menunjukan bahwa Undang-Undang tersebut tidak pernah dilaksanakan secara konsisten karena adanya tarik menarik kepentingan sehingga otonomi daerah hanya tinggal slogan yang tidak ada maknanya. Reformasi yang bergulir tahun 1998 menyebabkan tuntutan otonomi semakin kencang dari berbagai daerah untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri, pada tahun 1999 terbitlah Undang- Undang No. 22 atau 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 atau 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan jawaban terhadap tuntutan reformasi. (Indra Djati Sidi,2001:36)

Decentralisation can take a number of different forms, of which Rondinelli and Cheema (1983) suggest four major ones. The first, deconcentration, involves the transfer of central government responsibilities to regions. It can operate at varying scales and to different degrees of autonomy. For example, deconcentration might not actually increase local input in decision making because it may only allow for administration to be undertaken at that level. Until recently, Indonesia operated with such a deconcentrated government (Alm, Aten and Bahl, 2001). The second form of decentralisation, delegation to semi autonomous organisations and management authority for specific functions to organisations that are

and Cheema,1983:20). Organisations this authority could be delegated to might include public corporations, multi and singular-purpose authorities such as a transit authority, or project implementation units. The third form involves the transfer of functions from government to non-government controls. This namely involves privatisation of government services and to an extent, de-bureaucratisation.

Finally, devolution, the fourth form of decentralisation, is the most common form of decentralisation in developing countries and has become the chosen option for Indonesia (Crook and Manor, 1994; Rondinelli and

en independent levels or units of government through devolution of functions and

government relinquishes control of certain functions and, if necessary, creates new layers of government. In its most ideal form, devolution encompasses autonomous local governments which become democratic institutions, existing in a non hierarchical relationship with other forms of government. However, in reality this will only ever happen to a certain degree. In sum, both regional and central governments share authority over particular non-overlapping functions which in combination constitute the total government (Rondinelli and Cheema, 1983). (Richard Seymour dan Sarah Turner, 2002:34)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah, pembagian urusan pemerintahan mencakup empat kelompok:

1. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan pusat

2. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi 2. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi

4. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan desa. (Pipin Syarifin dan Daedah Jubaedah, 2006: 47)

Prinsip penyelenggaraan pemerintahan dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan kesemuanya bersifat koordinatif administratif yaitu hakikat fungsi pemerintahan tersebut tidak ada yang saling membawahi namun demikian fungsi dan peran pemerintahan provinsi juga mengemban pemerintahan pusat sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

Sehingga dalam rangka desentralisasi dibentuk dan disusun pemerintahan yang lebih kecil lagi yang diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sebagai perwujudan otonomi daerah yang diharapkan lebih mendukung pemberdayaan dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di daerah.

Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Hal ini penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada pada pemerintah pusat baik perencanaan dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah daerah. Latar belakang asas ini adalah bahwa tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas desentralisasi. Asas dekonsentrasi ini maksudnya adalah pelimpahan wewenang Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tanggung jawab tetap ada pada pemerintah pusat baik perencanaan dan pelaksanaannya maupun pembiayaannya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah daerah. Latar belakang asas ini adalah bahwa tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas desentralisasi. Asas dekonsentrasi ini maksudnya adalah pelimpahan wewenang

Asas tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa, dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten atau kota dan atau desa, serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Sistem pemerintahan di Indonesia meliputi:

1. Pemerintahan pusat, yakni pemerintah;

2. Pemerintahan daerah, yang meliputi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota;