BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori - PENGARUH MEDIUM DAN KONDISI DISOLUSI TERHADAP PROFIL DISOLUSI TABLET FLOATING METFORMIN HCl - repository perpustakaan

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tablet Floating Metformin HCl Tablet floating metformin HCl merupakan obat diabetes

  yang dalam bentuk lepas lambat dengan sistem densitas kecil, memiliki kemampuan mengembang, mengapung, dan tetap berada di lambung dalam beberapa waktu tanpa terpengaruh waktu pengosongan lambung sehingga sangat cocok untuk obat yang memberikan efek lokal di lambung, serta hanya di absorbsi di bagian atas intestinal (Patil, 2010). Metformin dalam bentuk sediaan lepas terkontrol dapat mempetrahankan kadar obat dalam darah selama 10-16 jam sehingga pasien cukup minum 1x sehari akan memperpanjang durasi efek obat dam meningkatkan kualitas terapi (Wadher et al, 2011).

  Formulasi metformin dengan sediaan lepas lambat bertujuan untuk mempertahankan obat lebih lama dalam darah selama 10-16 jam sehingga cukup sekali minum obat. Sediaan lepas lambat ini akan memiliki durasi efek obat yang lebih panjang sehingga dpat meningkatkan kepatuhan pasien minum obat dan meningkatkan kualitas terapi pasien penderita DM (Parvathi, 2012; Whitehead, 1998).

  Penelitian yang dilakukan oleh Werdana (2016) terhadap formulasi tablet floating metformin HCl dengan eksipien metochel K4M Cr (HPMC K4M Cr) dan natrium bikarbonat, menghasilkan kombinasi HPMC K4M CR dan NaHCO

  3 sebagai matriks tablet floating metformin HCl berpengaruh terhadap sifat alir dan lag time

  kemampuan mengapung tablet (F ) ditandai peningkatan jumlah NaHCO

  3 meningkatkan kecepatan alirnya dan kecepatan

lag time

  kemampuan mengapung (F ), sedangkan peningkatan jumlah HPMC K4M CR berpengaruh meningkatkan durasi mengapung (durasi Floating) dan memperlambat pelepasan obat saat proses disolusi tablet sedangkan komposisi formula terbaik untuk tablet

  

floating metformin HCl yang dipilih yaitu dengan jumlah HPMC

  3 K4M Cr 187,50 mg dan NaHCO 126, 36 mg tiap tablet serta memiliki nilai desirability sebesar 0,80.

2. Disolusi dan disolusi intrinsik

  Disolusi merupakan proses kinetik, sehingga untuk mengetahui prosesnya dilakukan pengamatan terhadap jumlah zat aktif yang terlarut ke dalam medium sebagai fungsi waktu (Fudholi, 2013). Disolusi juga dapat diartikan perpindahan ion atau molekul dari kondisi padat menjadi larutan. Tingkat disolusi diketahui dengan cara melakukan serangkaian percobaan yang berhubungan dengan kondisi melarutnya solute kedalam pelarut. Dengan demikian kelarutan suatu zat dapat diartikan dengan jumlah bagian dari zat yang melarut ketika kondisi kesetimbangan terjadi antara larutan dengan zat yang berlebih (yang tidak larut). Maka memungkinkan untuk di aplikasikan ke semua tipe larutan meliputi ketiga jenis fase ( gas, cair dan padat ) yang melarut dalam salah satu dari ketiga jenis fase tersebut (Aulton, 2002).

  Disolusi intrinsik adalah proses pelepasan zat aktif dari sediaan ke dalam medium dengan luas permukaan dalam kondisi konstan (Fudholi, 2013). Disolusi in vitro diakui sebagai suatu elemen penting dalam pengembangan obat. Uji disolusi dilakukan sebagai tahap awal untuk mengetahui ketersediaan hayati suatu bentuk sediaan sebelum uji pelepasan obat secara in vivo dilakukan. Korelasi antara data in vitro dan in vivo sering digunakan selama pengembangan bentuk sediaan dengan tujuan untuk efisiensi waktu dan mendapatkan formula optimal (Cardot dkk., 2007).

  Simulasi dalam uji disolusi in vitro dapat membantu menemukan metode uji yang tepat untuk menggambarkan profil pelepasan obat secara in vivo. Faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat antara lain : sifat fidiks kimis obst, macam alat yang digunakan, kondisi percobaan seperti intensitas pengadukan serta medium disolusi dan formulasi dan metode fabrikasi (Fudholi, 2013).

  Kecepatan disolusi atau laju pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat kimia kedalam medium tertentu dari suatu padatan. Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorbsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah. Karena tahapan ini merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin dkk., 1993).

3. Faktor-fator yang mempengaruhi disolusi obat

  Beberapa faktor yang mempengaruhi disolusi obat seperti temperatur, faktor fisikakimia obat (ukuran partikel obat, bentuk ionisasi dan bentuk kristal), kecepatan pengadukan dan medium disolusi.

  a.

  Temperatur USP/NF menyatakan secara spesifik bahwa media

  o

  disolusi harus berada pada suhu 37

  C. sering dianggap bahwa suhu tangas air di tabung disolusi adalah sama. Tabung uji disolusi plastic menunjukan koefisien transfer panas lebih kecil 3,5 kali dari koefisien transfer panas tabung uji disolusi gelas. Jadi dalam satu seri uji disolusi dengan alat uji disolusi tidak dapat digunakan tabung uji disolusi yang terbuat dari plastic dan kaca secara bersamaan karena kecepatan disolusinya akan berada secara signifikan (Fudholi, 2013).

  b.

  Sifat fisika kimia obat Ukuran partikel suatu obat behubungan dengan luas permukaan, semakin besar luas permukaan suatu zat, maka semakin besar pula laju disolusinya. Sedangkan luas permukaan area berbanding terbalik dengan ukuran partikel.

  Pengurangan ukuran partikel dapat meningkatkan luas permukaan zat. Semakin kecil ukuran partikel maka luas area zat semakin besar dan laju disolusi akan semakin besar. Bentuk ion suatu oabat juga dapat mempengaruhi disolusi. Bentuk garam elektrolit lemah dari suatu zat lebih larut terhadap air dibanding dengan bentuk asam atau basa lemahnya. Bentuk garam mengakibatkan disolusi dan absorpsi obat menjadi lebih cepat. Bentuk kristal dari suatu obat akan larut lebih lama dibandingkan dengan bentuk amorfnya. Hal ini disebabkan karena energi yang dibutuhkan untuk membongkar partikel kristal jauh lebih besar dibanding dengan bentuk amorf. Pada formulator didunia lebih suka memformulasikan obat dengan bahan aktif dalam bentuk amorf di banding dengan yang dalam bentuk kristal (Mansoor dkk, 2003) c.

  Kecepatan pengadukan Kondisi pengadukan akan sangat berpengaruh pada kecepatan disolusi yang dikontrol difusi dengan ketebalan lapisan difusi berbanding terbalik pada kecepatan putaran pengadukan. Kecepatan pengadukan mempunyai hubungan dengan tetapan kecepatan disolusi (Shargel dkk, 2005).

  Pengadukan adalah suatu sistem gerakan fisik. Besar kecilnya pengadukan akan mengakibatkan medium bergerak pelan atau cepat. Gerakan ini dapat di sebabkan oleh putaran pengaduk bentuk dayung, putaran basket dan pompa peristaltik. Adanya gerakan medium ini memungkinkan tablet atau bentuk sediaan lain hancur dan zat aktif menyebar dan larut dalam medium. Tergantung dari tipe alat yang di pake sistem pengadukan alat dapat berupa pengaduk yang berputar, wadah sediaan yang bergerak atau model kombinasi. Pengadukan memacu gerakan dari medium dan pembaruan cairan pada permukaan padatan. Selain itu memacu dispersi cairan dan menghomogenkan temperatur. Pengaruh pengadukan terhadap kecepatan disolusi dapat dilihat pada persamaan :

  b

  K = a (N) .................................................................... (1) Dimana : K = kecepatan disolusi A dan b = konstanta N = kecepatan pengadukan. (Fudholi, 2013).

  d.

  Medium Disolusi Sifat medium larutan akan mempengaruhi uji pelarutan.

  Medium larutan hendaknya tidak jenuh obat. Medium yang terbaik merupakan persoalan tersendiri dalam penelitian. Beberapa peneliti telah menggunakan cairan lambung yang diencerkan, HCL 0,1 N, dapar fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung dari sifat produk obat dan lokasi dalam saluran pencernaan dan perkiraan obat yang akan terlarut (Shargel dkk, 2005).

  Pemilihan medium disolusi data fisikokimia dari zat aktif sediaan harus terlebih dahulu diketahui. Dua hal yang perlu diketahui adalah kelarutaan bahan obat dan setabilitasnya terhadap nilai pH. Ketika memilih penyusun dari medium, pengruh dari dafar, penambahan surfaktan dan kestabilan obat perlu diperhatikan. Untuk libih dapat mendekati keadaan fisiologis menggunakan medium HCl 0,1 N atau normalitas lain sehingga pH medium 1,2 atau medium HCl 0,1 N di campur dengan garam dapur sehingga diperoleh pH 1,2 Volume medium disolusi bervariasi tergantung dari alat yang diguanakan dan kapasitas wadah yang ada. Pada alat dari botol atau flakon volume medium sebesar 60 ml dan pada metode basket volumenya 900 ml (Fudholi, 2013)

  Untuk volume medium pada alat disolusi tipe keranjang dan dayung volume medium yang digunakan normalnya antara 500 mL-1000mL. Volume dapat dinaikan hingga 2-4 L tergantung pada besar wadah dan kondisi yang diingikan (USP 30, 2010).

4. Pengungkapan hasil disolusi a.

  Metode Wagner Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasar pada asumsi bahwa kondisi percobaan dalam keadaan sink (Shargel, 2005).

  b.

  Metode Khan Metode ini kemudian disebut dengan konsep

  Dissolution Efficiency (DE). Menurut Khan dissolution efficiency didefinisikan sebagai perbandingan luas daerah

  dibawah kurva disolusi pada waktu tertentu dengan luas daerah empat persegi panjang yang menggambarkan 100% zat aktif terlarut pada waktu yang sama.Dengan metode DE dapat digambarkan seluruh proses disolusi sampai pada waktu tertentu, jadi menggambarkan semua titik pada kurva disolusi. Disamping itu pengungkapan data metode DE identik dengan pengungkapan data percobaan secara in vivo (Fudholi, 2013).

  Untuk mengukur besarnya luas dibawah kurva zat aktif terlarut, dapat dilakukan dengan metode trapesium. Metode trapesium diwujudkan dengan menjumlahkan luas trapesium- trapesium yang terbentuk, ditambah dengan luas segitiga yang ada, apabila kurva dipotong-potong sebagai daerah-daerah kecil dengan alas yang sejajar dari kurva yang ada (Fudholi, 2013).

  c.

  Metoda Klasik

  Metode ini menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal dengan T20, T50, T90 dan sebagainya (Fudholi, 2013).

  d.

  Jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat aktif yang terlarut sebanyak x mg atau x mg/ml.

  Efektivitas dari suatu tablet dalam melepaskan obatnya untuk diabsorbsi sistemik tergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan, deagregasi dari granul dan disolusi dari partikel zat aktif. Laju dimana suatu padatan melarut dalam pelarut dapat dirumuskan dengan persamaan Noyes dan Whitne. Metode ini dilakukan dengan mencatat hasil yang diperoleh dari konsentrasi zat aktif yang larut kedalam medium, pada setiap waktu pengamatan yang dapat diungkapkan dalam bentuk tabel atau grafik (Fudholi, 2013) e.

  Nilai f1 (faktor perbedaan) dan f2 (faktor kemiripan)

1 Faktor f digunakan untuk mengukur perbedaan persen

  2

  antara dua kurva konsentrasi dan faktor f menunjukkan kesamaan antara mereka atas semua titik waktu. f

  1 adalah nol

  2

  1

  dan f adalah 100 ketika tes dan referensi profil obat identik. f

  2

  meningkat dan f menurun secara proporsional sebagai perbedaan yang meningkatkan. Nilai f2 = 50 atau lebih besar (50-100) menunjukkan kesamaan atau ekivalensi ke-2 kurva, yang berarti kemiripan profil disolusi ke-2 produk (Fudholi, 2013).

  ∑ | − | =1

  1 = { } 100 ..........................................(2)

  ∑ =1

  2

  0.5

  2 = 50 {[1 + 1/ ∑( 1 − 1) ] 100} .....(3) Keterangan :

  1

  f :Faktor perbedaan f

  2 :Faktor kemiripan Rt : Presentasi kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk pembanding (R = reference). Tt : Persentase kumulatif obat yang larut pada setiap waktu sampling dari produk uji (T = test) n :Jumlah titik sampel.

  5. Sifat Fisik Tablet a.

  Uji Keseragaman Bobot Tablet Keseragaman bobot tablet dapat menjadi indicator awal keseragaman kadar/kandungan zat aktif. Dengan asumsi bahwa kita mempunyai campuran massa yang akan dikempa, yang tercampur homogen ( merupakan campuran homogen ) maka setelah dikempa menjadi tablet , bila tablet yang dihasilkan memiliki bobot yang seragam dapat dipastikan akan memiliki kadar yang seragam pula (Sulaiman, 2007).

  Farmakope Indonesia Edisi III memberi aturan cara uji keseragaman bobot dan batas toleransi yang masih dapat diterima, yaitu : tablet tidak bersalut harus memenuhi syarat keseragaman bobot yang ditetapkan sebagai berikut : timbang 20 tablet satu persatu, hitung bobot rata-ratanya. Persyaratan keseragaman bobot terpenuhi jika tidak lebih dari dua tablet yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata- rata lebih besar dari harga yang ditetapkan pada kolom A, dan tidak satupun tablet yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-ratanya lebih besar dari harga yang telah ditetapkan pada kolom B. Bila tidak mencukupi dari 20 tablet, dapat digunakan 10 tablet, tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan dari kolom A, dan tidak satu tablet pun yang bobotnya menyimpang lebih besar dari bobot rata-rata yang ditetapkan pada kolom B (Depkes, 1979). Menurut FI edisi III, jika ditimbang satu per satu, tidak boleh lebih dari dua tablet yang masing – masing bobotnya menyimpang dari bobot rata

  • – rata lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom A yaitu 5% dan tidak satu tabletpun yang bobotny menyimpang dari bobot rata
  • – rata lebih dari harga yang ditetapkan kolom B yaitu 10%, kemudian menghitung koefisien variasinya (CV) (Depkes RI, 1995).

  USP memberikan aturan tentang keseragaman bobot untuk tablet yang tidak bersalut. Aturan ini dapat diterapkan pada tablet dengan zat aktif 50 mg atau lebih , dengan perbandingan kadar zat aktif dalam dalam tablet 50% atau lebih dari bobot tablet. Dua puluh tablet ditimbang satu persatu, dihitung bobot rata-ratanya dan penyimpangan terhadap bobot rata-rata tiap-tiap tablet. Persyaratannya tidak boleh lebih dari 2 tablet yang bobotnya menyimpang (dibanding bobot rata-rata) dari persentase yang tercantum pada tabel.

  b.

  Uji Kekerasan Tablet Kekerasan merupakan parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, benturan dan terjadi keretakan tablet selama pengemasan, penyimpanan, transportasi sampai ke tangan pengguna (Lachman, 2008)

  Persyaratan tablet konvensional pada umumnya dikatakan tablet yang baik mempunyai kekerasan antara 4-10 kg (Sulaiman, 2007) c. Kontrol Kerapuhan Tablet

  Kerapuhan merupakan parameter yang menggambarkan kekuatan permukaan tablet dalam melawan berbagai perlakuan yang menyebabkan abrasi pada permukaan tablet. Kerapuhan dapat di evaluasi dengan menggunakan friabilator. Tablet yang akan diuji sebanyak 20 tablet, terlebih dahulu dibebas debukan dan ditimbang. Tablet tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam friabilator, dan diputar sebanyak 100 putaran selama 4 menit. Tablet tersebut selanjutnya ditimbang kembali, dan dihitung persentase kehilangan bobot sebelum dan sesudah perlakuan. Tablet dianggap baik bila kerapuhan tidak lebih dari 1% (Ansell, 2008).

  d.

  Waktu Hancur Tablet Waktu hancur adalah waktu yang dibutuhkan sejumlah tablet untuk hancur menjadi granul/partikel penyusunnya yang mampu melewati ayakan no 10 yang terdapat dibagian bawah alat uji. Alat yang digunakan adalah disintegration tester, yang berbentuk keranjang, mempunyai 6 tube plastic yang terbuka dibagian atas, sementara dibagian bawah dilapisi dengan ayakan/screen no 10 mesh. Persyaratan waktu hancur untuk tablet tidak bersalut adalah kurang dari 15 menit, untuk tablet salut gula dan salut nonenterik kurang dari 30 menit. Sementara untuk tablet salut enteric tidak boleh hancur dalam waktu 60 menit dalam medium asam tetapi harus segera hancur dalam medium basa dan waktu hancur tablet floating tidak hancur lebih dari 60 menit (Ansel, 2008).

  e.

  Ketebalan dan diameter tablet Ketebalan tablet diperhitungkan terhadap volume dari bahan yang diisikan ke dalam cetakan, garis tengah cetakan dan besarnya tekanan yang dipakai punch untuk menekan bahan isian. Untuk mendapatkan tablet yang seragam tebal perlu pengawasan supaya bahan yang diisikan dan tekanan yang diberikan tetap sama (Ansel dkk, 2008).

  Ketebalan luar tablet tunggal dapat diukur dengan tepat memakai mikrometer yang dapat memberikan informasi tentang variasi antar tablet. Cara lain dalam mengontrol produksi yaitu dengan meletakkan 5 atau 10 tablet di dalam baki, kemudian ketebalan luar tablet dapat diukur memakai jangka sorong yang melengkung. Ketebalan tablet harus terkontrol sampai perbedaan kurang lebih 5% dari nilai standar, selain itu ketebalan juga harus terkontrol guna memudahkan pengemasannya (Banker dan Anderson, 1986). Sedangkan diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 11/3 tebal tablet (Depkes, 1979).

6. Metode penetapan kadar metformin HCl.

  Validasi yang telah dilakukan oleh Ramadhani (2016) memenuhi parameter validasi yang baik dan dapat digunakan untuk menetapkan kadar tablet floating metformin HCl dengan nilai linieritas 0,99972 > 0,950 (r hitung > r tabel), LOD = 0,73 µg/ml, LOQ = 2,44 µg/ml, koefisien variasi 0,64% < 2% dan % perolehan kembali = 50% = 98,99%, 100% = 99,65% dan 150% = 98,48% (kriteria 98-102%).

  Penetapan kadar dilakukan dengan kurva baku metformin hidroklorida dibuat dengan mengambil larutan stok 1000 µg/ml (larutan stok 1) sebanyak 2,5 ml dan dilarutkan dengan blanko matriks dalam labu ukur 25 ml, sehingga diperoleh konsentrasi 100 µg/ml. Dari larutan tersebut kemudian ambil sebanyak 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5 dan 3 ml dilarutkan dengan blanko matriks dalam lbu takar 10 ml sampai tepat tanda batas sehingga diperoleh konsentrasi 5; 10; 15; 20; 25 dan 30 µg/ml metformin hidroklorida. Ukur serapannya dan masukkan dalam kurva baku absorbansi terhadap konsentrasi maka akan mendapat persamaan linier, kurba baku juga menghitung batas deteksi (limit of detection : LOD) dan batas kuantitasi (limit of quantity: LOQ) (Ramadhani, 2016).

  Penetapan kadar metformin HCl dalam tablet floating dengan mengambil 20 tablet floating metformin HCl, kemudian menimbangnya satu persatu dibuat rata-rata, kemudian ambil 10 tablet dan haluskan dengan mortir kemudian menimbang setara 100 mg metformin, melarutkan kedalam 100 ml cairan lambung buatan pH 1,2 stirer dengan 2000 rpm selama setengah jam, dan mensonikator selama 15 menit, saring dan ambil 2 ml masukan dalam labu takar 100 ml kemudian menambahkan dengan dapar pH 1,2 hingga volumenya tepat 100 ml, kemudian membacanya pada panjang gelombang metformin HCl (Ramadhani, 2016).

B. Kerangka Konsep

  Kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1 :

Gambar 2.1 Kerangka konsep penelitian

  Tablet floating metformin HCl Uji disolusi Pengaruh kecepatan Pengaruh medium

  Kondisi ideal uji pelepasan / disolusi

C. Hipotesis

  Kecepatan pengadukan akan meningkatkan kecepatan disolusi tablet floating metformin HCl. Medium cairan lambung buatan akan memperoleh jumlah zat aktif yang terdisolusi lebih besar dari medium HCl 0,1 N.