Novita Ullil Albab BAB II

BAB II KAJIAN TEORI A. Kemampuan Berpikir Kreatif dalam Matematika Ruggiero berpendapat bahwa berpikir merupakan suatu kegiatan mental

  yang dilakukan seseorang ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus dipecahkan (Siswono, 2008). Kegiatan berpikir ini dapat dibedakan menjadi 5, yaitu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berpikir kreatif adalah suatu aktivitas mental yang membuat hubungan-hubungan yang kontinu sampai ditemukan kombinasi yang benar atau sampai seseorang tersebut menyerah. Berpikir kreatif mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah ada dan menciptakan hubungan-hubungan baru (Evans, 1994).

  Dalam memandang kemampuan berpikir kreatif terdapat dua pandangan, yang pertama menurut Johnson dan yang kedua menurut De Bono (Barak dan Doppelt, 2000). Johnson berpendapat bahwa berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika.

  Pandangan ini cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak kiri dan otak kanan yang memiliki perbedaan fungsi. Pandangan kedua menurut De Bono yaitu berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif. Pandangan kedua melihat bahwa kedua belahan otak bekerja secara sinergis dan tidak terpisah.

  Isaksen et al (Mahmudi, 2008) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai proses menghasilkan ide yang menekankan pada aspek kefasihan (fluency),

  

10 fleksibilitas (flexibility), keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration) dalam berpikir. Komponen-komponen tersebut sama dengan komponen kreativitas secara umum. Oleh karena itu, berpikir kreatif dan kreativitas sering dianggap sama. Dua istilah tersebut saling berkaitan karena tidak akan ada kreativitas tanpa proses berpikir kreatif dan sebaliknya proses berpikir kreatif akan menghasilkan produk kreatif yang sering diasosiasikan sebagai kreativitas.

  Biasanya kreativitas berarti produk kreatif yang berwujud nyata secara fisik (touchable), sedangkan berpikir kreatif merujuk pada produk kreatif yang

  untouchable atau tidak berwujud fisik seperti jasa layanan baru atau rumus- rumus matematika.

  Bishop berpendapat seseorang memerlukan 2 model berpikir berbeda yang komplementer dalam matematika, yaitu berpikir kreatif yang bersifat intuitif dan berpikir analitik yang bersifat logis (Pehkonen, 1997). Pandangan ini lebih mengacu bahwa berpikir kreatif bukan merupakan suatu tindakan yang logis tapi lebih berdasar pada intuisi. Pemikiran yang kreatif merupakan pemikiran yang tiba-tiba muncul, tidak terduga, dan di luar kebiasaan.

  Pehkonen (1997) memandang bahwa berpikir kreatif merupakan kombinasi dari berpikir logis dan divergen berdasarkan intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Ketika berpikir kreatif diterapkan dalam suatu pemecahan masalah, maka pemikiran divergen yang intuitif akan menghasilkan banyak ide untuk menyelesaikannya. Hal ini berarti berpikir logis dan intuitif merupakan hal penting dalam berpikir kreatif sehingga keseimbangan otak kiri dan otak kanan sangat diperlukan. Jika deduksi logis terlalu banyak, maka ide-ide kreatif akan terabaikan. Hal tersebut dikarenakan kreativitas bisa muncul jika terdapat kebebasan berpikir yang tidak di bawah kontrol/tekanan. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kedua dalam pengertian berpikir kreatif.

  Definisi kemampuan berpikir kreatif matematis menurut Krutetskii (Park, 2004) yaitu kemampuan dalam menemukan solusi terhadap suatu masalah matematika secara mudah dan fleksibel. Pemecahan masalah menurut Guilford (Evans, 1994) erat kaitannya dengan pemikiran kreatif. Pemikiran yang kreatif memberikan hasil yang baru dan pemecahan masalah menggunakan hasil tersebut sebagai tanggapan terhadap situasi yang baru. Dengan demikian pemecahan masalah memiliki aspek kreatif, sedangkan menurut Kneeland (2001) pemecahan masalah tidak berhubungan dengan kecerdasan melainkan dengan pemikiran langsung dan penggunaan proses secara benar.

  Pemikiran kreatif akan membantu seseorang dalam menghasilkan pemecahan masalah yang lebih berkualitas dan efektif. Summers dan White (Evans, 1991) menyimpulkan bahwa teknik pemecahan masalah yang kreatif akan: 1. meningkatkan sejumlah informasi yang relevan bagi pemecahan masalah, 2. meningkatkan alternatif potensial sehingga memperbaiki kesempatan untuk menemukan pemecahan masalah yang lebih baik, 3. meningkatkan keuntungan kompetitif karena menghasilkan penyelesaian yang luar biasa, 4. menyimpan sumber daya kritis karena mengurangi revisi ketika penyelesaian telah dilaksanakan,

  5. meningkatkan efisiensi penggunaan keterampilan individual.

  Menurut Silver (1997) untuk mengidentifikasi dan menganalisis tingkat kreativitas dalam pemecahan masalah umumnya digunakan tiga aspek kreativitas yang merupakan komponen utama dalam Torrance Test of Creative

  

Thinking (TTCT), aspek kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility), dan

  kebaruan (novelty). Kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada beragam ide yang dihasilkan dalam merespon sebuah perintah. Fleksibilitas mengacu pada perubahan-perubahan pendekatan ketika merespon perintah, sedangkan kebaruan mengacu pada keaslian ide yang dibuat dalam merespon perintah. Dalam masing-masing komponen jika respon sesuai, tepat, atau berguna dengan perintah yang diberikan, maka indikator kelayakan/kegunaan sudah dipenuhi. Indikator keaslian dapat ditunjukkan atau merupakan bagian dari kebaruan.

  Haylock (1997) mengatakan bahwa berpikir kreatif selalu melibatkan fleksbilitas. Bahkan Kiesswetter (Pehkonen,1997) menyatakan berdasarkan pengalamannya bahwa berpikir fleksibel merupakan salah satu komponen penting dari kemampuan berpikir kreatif. Menurut Haylock (1997), dalam konteks matematika kefasihan tampak kurang berguna dibanding dengan fleksbilitas karena fleksibilitas lebih menekankan pada banyaknya ide-ide berbeda yang digunakan. Jadi dalam matematika, untuk menilai produk divergensi digunakan kriteria fleksibilitas dan keaslian ditambah kriteria lain yaitu kelayakan (approriateness). Respon matematis mungkin menunjukkan keaslian yang tinggi, tetapi tidak berguna jika tidak sesuai dalam kriteria matematis umumnya. Jadi, berdasar pada beberapa pendapat tersebut kemampuan berpikir kreatif dapat ditunjukkan dari fleksibilitas, kefasihan, keaslian, kelayakan atau kegunaan. Indikator tersebut dapat disederhanakan menjadi fleksibilitas, kefasihan, dan keaslian. Kelayakan/kegunaan sudah tercakup dalam ketiga aspek tersebut.

  Dalam penelitian ini berpikir kreatif dipandang sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen untuk menghasilkan ide baru. Dengan mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum dan indikator kemampuan berpikir kreatif matematis yang digunakan oleh Krutetskii (1976), Haylock (1997), dan Silver (1997), maka berpikir kreatif matematis diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun ide atau gagasan baru yang menekankan pada aspek kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Ide yang dimaksud adalah ide dalam memecahkan masalah matematika dengan tepat atau sesuai dengan perintahnya. Indikator atau komponen berpikir kreatif yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan (Haylock, 1997; Silver, 1997).

  Kefasihan berarti memberikan beragam jawaban yang lengkap dan benar, fleksibilitas berarti memberikan cara penyelesaian yang berbeda dan logis atau perubahan pendekatan ketika merespon perintah, dan kebaruan berarti menghasilkan jawaban yang tidak biasa dilakukan oleh siswa pada tingkat pengetahuannya (ditinjau dari kejarangan siswa yang menjawab demikian).

B. Aktualisasi diri

  Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dari dirinya sendiri (self fulfillment), untuk menyadari semua potensi dirinya, menjadi apa saja yang bisa ia lakukan, dan menjadi kreatif serta bebas mencapai puncak potensinya (Alwisol, 2009). Maslow mengungkapkan bahwa aktualisasi diri merupakan suatu motivasi yang melampaui ide tentang dorongan. Menurutnya, motif yang paling tinggi bukanlah dorongan. Dengan kata lain seseorang tidak perlu didorong-dorong untuk mengaktualisasikan dirinya karena tujuan mencapai aktualisasi diri bersifat alami yang dibawa sejak lahir. Di samping itu, manusia memiliki potensi dasar jalur perkembangan yang sehat untuk mencapai aktualisasi diri. Jadi orang yang sehat adalah orang yang mengembangkan potensi positifnya melalui jalur perkembangan yang sehat dan mengikuti hakikat alami dari dalam dirinya daripada mengikuti pengaruh lingkungan di luar dirinya (Alwisol, 2009; Baihaqi, 2008).

  Aktualisasi diri adalah bagian dari Teori Kebutuhan Maslow. Teori tersebut meliputi lima kebutuhan yang bersifat hierarkis, yaitu kebutuhan fisiologis (physiological needs), kebutuhan akan rasa aman (safety needs), kebutuhan akan memiliki dan cinta (love needs/belongingness needs), kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), dan kebutuhan untuk mencapai aktualisasi diri (self actualization needs) (Alwisol, 2009). Hirarki kebutuhan Maslow dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 2.1. Hirarki Kebutuhan Maslow (Alwisol, 2009) Jenjang Need Deskripsi

  Kebutuhan Self actualization Kebutuhan untuk menjadi yang berkembang needs (metaneeds) seharusnya sesuai dengan potensinya. (meta need) Kebutuhan kreatif, realisasi diri, pengembangan diri.

  Kebutuhan harkat kemanusiaan untuk mencapai tujuan, terus maju, dan menjadi lebih baik. Kebutuhan Esteem Needs (1) kebutuhan kekuatan, penguasaan, karena kompetensi, kepercayaan diri, kekurangan kemandirian. (basic need) (2) kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran,

  Love dominasi, menjadi penting,

needs/belongingness kehormatan, dan apresiasi.

  Kebutuhan kasih sayang, keluarga, sejawat, pasangan, anak.

  Safety needs Kebutuhan bagian dari kelompok, masyarakat.

  Kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur, hukum, keteraturan, batas, bebas dari rasa takut dan cemas. Dapat berupa: (1) kebutuhan pekerjaan dan gaji yang mantap, tabungan dan asuransi (askes dan taspen), (2) praktek beragama dan keyakinan filsafat tertentu dapat membantu orang

  Physiological needs untuk mengorganisir dunianya menjadi lebih bermakna dan seimbang.

  Kebutuhan homeostatik: makan, minum, gula, garam, serta kebutuhan seks, dan istirahat. Empat kebutuhan dasar adalah kebutuhan karena kekurangan atau D-

  

needs (deficiency needs), sedangkan kebutuhan meta atau kebutuhan

  aktualisasi diri adalah kebutuhan karena ingin berkembang, ingin berubah, ingin bertransformasi menjadi lebih bermakna atau disebut B-needs (being

  

needs ). Kebutuhan dasar berisi kebutuhan konatif, sedang kebutuhan meta

berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif (Alwisol, 2009).

  Metaneeds merupakan dorongan yang berbeda dari D-needs. D-needs

  ialah dorongan untuk membereskan suatu kekurangan dalam organisme, sedangkan metaneeds tidak diusahakan untuk memperbaiki kekurangan- kekurangan atau mereduksi tegangan. Tujuannya ialah memperkaya dan memperluas pengalaman hidup, meningkatkan kesenangan dan kegembiraan yang luar biasa dalam hidup. Cita-citanya ialah meningkatkan tegangan melalui bermacam-macam pengalaman baru yang menantang (Schultz, 1991).

  Pemisahan kebutuhan tidak berarti masing-masing bekerja secara eksklusif, tetapi secara tumpang tindih sehingga seseorang bisa dimotivasi oleh dua kebutuhan atau lebih. Tidak ada orang yang basic need-nya terpuaskan 100%. Menurut Maslow (Alwisol, 2009), rata-rata orang terpuaskan kebutuhan fisiologisnya sampai 85%, kebutuhan keamanan terpuaskan 70%, kebutuhan dicintai dan mencintai terpuaskan 50%, self esteem terpuaskan 40%, dan kebutuhan aktualisasi terpuaskan sampai 10%. Dikatakan oleh Maslow (Goble, 1987) bahwa pribadi yang teraktualisasi dirinya dilukiskan sebagai pribadi yang menggunakan dan memanfaatkan bakat, kapasitas, dan potensi yang dimilikinya secara penuh untuk memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya.

  Aktualisasi diri oleh Rogers (Schultz, 1991) diartikan sebagai proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi psikologis yang dimiliki individu yang unik. Keunikan potensi psikologis membuat proses dan pencapaian aktualisasi diri setiap individu berbeda antara individu yang satu dengan yang lain. Pencapaian dari aktualisasi diri diperoleh dengan melakukan dan mengembangkan berbagai macam kegiatan yang menyenangkan dan bermakna. Pengalaman dan belajar khususnya pada masa kanak-kanak menjadi faktor yang mempengaruhi perkembangan seseorang dalam melakukan aktualisasi diri. Seiring berjalannya waktu, aktualisasi diri mengalami pergeseran dari fisiologis ke psikologis karena aktualisasi diri merupakan proses yang akan terus berlangsung dan berjalan dinamis.

  Pencapaian aktualisasi diri merupakan penggambaran yang optimistis dari corak kehidupan yang ideal. Meskipun mencapai aktualisasi diri memerlukan banyak syarat yang tidak mudah untuk memenuhinya, Maslow menyebutkan bahwa syarat utamanya adalah terpuaskannya kebutuhan- kebutuhan dasar dengan baik. Sebagai patokan atau standar untuk mengukur kemajuan diri, Maslow menjelaskan

  15 ciri orang yang sudah mengaktualisasikan dirinya (Kuswara, 1991).

  1. Mengamati realitas secara efisien Ciri yang paling menonjol dari orang-orang yang telah mencapai aktualisasi dirinya (self-actualized) adalah kemampuannya dalam mengamati realita dengan cermat dan efisien, melihat realitas apa adanya tanpa campuran keinginan atau harapan pribadi. Oleh karena itu, orang yang self-actualized bisa menemukan kebohongan, kepalsuan, dan kecurangan pada diri orang lain dengan mudah. Pengamatan-pengamatan tersebut juga tidak dipengaruhi oleh kecemasan, prasangka, atau optimisme dan pesimisme yang baru. Mereka juga mampu meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang dengan tepat dan bisa mentoleransi ambiguitas dan ketidaktentuan dengan lebih baik daripada orang lain pada umumnya.

  2. Penerimaan atas diri sendiri, orang lain, dan kodrat Orang-orang yang self-actualized menaruh hormat terhadap dirinya sendiri dan orang lain, serta mampu menerima kodrat dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mereka juga bebas dari perasaan malu yang tidak beralasan dan rasa cemas yang melemahkan. Penerimaan juga dicerminkan dalam tahap fisiologisnya. Orang-orang yang self-actualized biasanya memiliki cita rasa, makan, dan tidur dengan baik, serta menikmati kehidupannya tanpa hambatan. Proses-proses biologis seperti kehamilan, menstruasi, menjadi tua, dll mereka terima dengan lapang dada sebagai bagian dari kodrat.

  3. Spontan, sederhana, dan wajar Spontanitas, kesederhanaan, dan kewajaran orang-orang yang self-

  actualized bersumber dari dalam dirinya dan bukan sesuatu yang hanya

  terlihat dari luarnya saja. Mereka adalah orang-orang yang hidup dan bekerja dalam kerangka acuan yang luas, melampaui batas-batas aturan dan ketentuan lingkungan. Oleh karena itu, mereka akan menunjukkan otonominya bila mereka merasa terhambat dalam pengerjaan proyek vitalnya.

  4. Terpusat pada masalah

  Maslow menemukan bahwa orang-orang yang self-actualized adalah orang-orang yang selalu terlibat secara mendalam pada tugas, pekerjaan, atau misi yang menurut mereka penting. Hal ini bukan berarti mereka egosentris, tetapi mereka berorientasi pada masalah melampaui kebutuhan- kebutuhan mereka sendiri karena dedikasi mereka terhadap tugas atau pekerjaan sangat tinggi. Orang-orang yang self-actualized juga memperhatikan masalah-masalah filsafat dan etika secara mendalam sehingga menjadikan mereka hidup dalam kerangka acuan yang seluas- luasnya serta tidak mudah risau oleh hal remeh temeh yang tidak berarti.

  5. Pemisahan diri dan kebutuhan privasi Kebutuhan privasi orang-orang self-actualized lebih besar daripada orang pada umumnya. Mereka tidak membutuhkan orang lain dalam persahabatan biasa karena mereka pecaya sepenuhnya atas potensi-potensi dan otonomi yang mereka miliki. Oleh sebab itu, orang yang self-

  actualized sering dianggap memisahkan diri, hati-hati, sombong, dan

  dingin. Namun dibalik kebutuhan privasinya, mereka memiliki keramahan yang tulus dan kemampuan konsentrasi yang kuat dibandingkan rata-rata orang.

  6. Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan Orang-orang self-actualized tidak menggantungkan kepuasan- kepuasannya kepada lingkungan dan orang lain karena mereka lebih bergantung pada potensi mereka sendiri bagi perkembangan dan pertumbuhannya. Mereka juga mampu mempertahankan ketenangan jiwanya dalam situasi yang bisa menjatuhkan orang lain. Kemandirian orang-orang orang-orang self-actualized menjadikan mereka memiliki kadar arah diri yang tinggi, mereka memandang diri mereka sebagai agen yang aktif, merdeka, bertanggung jawab, dan pendisiplin diri untuk menentukan nasibnya sendiri. Mereka cenderung menghindarkan diri dari penghormatan, status, prestise, dan popularitas karena kepuasan yang berasal dari luar diri itu mereka anggap kurang penting.

  7. Kesegaran dan apresiasi Orang-orang self-actualized menghargai hal-hal yang pokok dalam kehidupan dengan rasa kagum, gembira, dan bahkan heran, meski bagi orang lain hal-hal tersebut membosankan. Bagi orang-orang self-actualized, kehidupan yang rutin akan tetap menjadi fenomena baru yang mereka hadapi dengan “keharuan”, kesegaran, dan apresiasi.

  8. Pengalaman puncak atau pengalaman mistik Pengalaman puncak adalah menunjuk pada momen-momen dari perasaan yang mendalam dan meninggikan tegangan yang diperoleh dari kreativitas, pemahaman, penemuan, dan penyatuan diri dengan alam. Maslow menegaskan bahwa pengalaman puncak tidak harus berupa pengalaman keagamaan atau spiritual karena pengalamn puncak bisa didapatkan melalui buku, musik, dan kegiatan-kegiatan intelektual.

  9. Minat sosial Orang-orang self-actualized mengalami ikatan perasaan yang mendalam dengan sesamanya. Mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu memperbaiki sesamanya. Bagi orang-orang self-actualized, bagaimanapun cacat atau bodohnya, manusia adalah sesama yang selalu mengundang simpati dan persaudaraan.

  10. Hubungan antar pribadi Orang-orang self-actualized menciptakan hubungan antarpribadi yang lebih mendalam dibandingkan dengan kebanyakan orang. Mereka cenderung membangun hubungan dekat dengan orang-orang yang memiliki kesamaan karakter, kesanggupan, dan bakat, maka dari itu lingkup persahabatan mereka relatif kecil. Apabila mereka dipaksa masuk ke dalam pergaulan yang menyulitkan, mereka akan tetap tenang sambil berusaha untuk menghindar sebisanya.

  11. Berkarakter demokratis Orang-orang self-actualized memiliki karakter demokratis yang terbaik karena mereka terbebas dari prasangka dan cenderung menaruh hormat kepada semua orang. Mereka mau belajar dari siapa saja tanpa memandang derajat, pendidikan, usia, ras, ataupun keyakinan-keyakinan politik. Orang-orang self-actualized tidak pernah berusaha merendahkan, mengurangi arti, atau merusak martabat orang lain, tetapi pada saat yang sama mereka juga memiliki penilaian mengenai benar-salah dan baik- buruk yang tegas mengenai tingkah laku sesamanya.

  12. Perbedaan antara cara dan tujuan Dalam kehidupan sehari-harinya, orang-orang self-actualized jarang menunjukkan kekacauan, ketidakkonsistenan, dan konflik-konflik dalam hal benar-salah atau baik-buruk karena ereka memiliki standar moral dan etika yang tegas. Mereka memiliki kemampuan membedakan antara cara dan tujuan dan mereka pada umumnya terpusat pada tujuan. Orang-orang

  self-actualized bisa menjadikan suatu kegiatan kecil yang rutin menjadi kegiatan yang menyenangkan.

  13. Rasa humor yang filosofis Ciri lain yang umum pada orang-orang self-actualized adalah memiliki rasa humor yang filosofis (sense of phylosophical humor).

  Dengan rasa humornya yang filosofis, mereka menyukai humor yang mengekspresikan kritik atas kebodohan, kelancungan, atau kecurangan manusia daripada humor yang bertolak dari kelemahan dan penderitaan orang lain yang banyak disukai kebanyakan orang.

  14. Kreativitas Maslow mengartikan kreativitas pada orang-orang self-actualized sebagai suatu bentuk tindakan yang asli, naif, dan spontan seperti yang sering dijumpai pada anak-anak yang masih polos dan jujur. Kreativitas ini pada umumnya dimanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan mereka dalam bidang seni atau ilmu pengetahuan. Kreativitas menurut Maslow tidak harus selalu berupa penciptaan karya-karya seni, penelitian buku, atau penciptaan karya-karya ilmiah yang berat dan serius, tetapi bisa juga berupa penciptaan sesuatu yang sederhana. Pada dasarnya kreativitas itu berkisar pada daya temu dan penemuan hal-hal baru yang menyimpang atau berbeda dari gagasan lama.

  15. Penolakan enkulturasi Orang-orang self-actualized merupakan orang-orang otonom yang bisa dan berani membuat keputusan sendiri meskipun keputusannya itu berbeda atau bertentangan dengan pendapat umum. Hal ini bukan berarti mereka adalah pembangkang, melainkan mereka adalah orang-orang yang selalu berusaha mempertahankan pendirian-pendirian tertentu dan tidak begitu terpengaruh oleh kebudayaan masyarakatnya. Mereka bisa menyesuaikan diri dengan kebudayaannya, juga bisa patuh pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di lingkungannya, tetapi bagaimanapun mereka akan menunjukkan diri sebagai orang yang independen dan tak terikat secara ekstrem pada hal-hal yang mendasar.

  Secara umum, Maslow (Schultz, 1991) mengemukakan sifat-sifat pengaktualisasi diri terdiri atas: (1) Individu telah terpuaskan kebutuhan- kebutuhan pada tingkat sebelumnya, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan rasa memiliki, serta penghargaan; (2) Individu terbebas dari psikosis, neurosis, atau gangguan-gangguan patologis lain karena hal-hal tersebut akan menghambat dalam mengaktualisasi diri; (3) Individu tersebut merupakan model pematangan dan kesehatan serta memenuhi diri dengan menggunakan kapasitas dan kualitasnya secara penuh; (4) Individu tersebut mengetahui tentang dirinya dan mengetahui tujuan hidupnya sehingga ia lebih terarah dalam mengaktualisasi dirinya; (5) Pengaktualisasi diri pada umumnya adalah orang yang telah setengah tua atau lebih tua. Orang yang lebih muda dianggap tidak mengembangkan perasaan yang kuat akan identitas dan otonomi, serta pengabdian diri karena orang yang lebih muda sedang menuju ke arah kematangan. Walaupun demikian, orang yang lebih muda mempunyai kecenderungan untuk tumbuh dengan baik ke arah aktualisasi diri yang memungkinnya untuk mencapai aktualisasi diri pada usia yang lebih tua.

  Sifat-sifat pengaktualisasi diri juga dikemukakan oleh Rogers (Schultz, 1991; Baihaqi, 2008) yaitu: (1) Keterbukaan pada pengalaman, lawan dari sikap defensif sehingga seorang bebas untuk mengalami semua perasaan dan sikap tanpa adanya suatu hala yang harus dilawan karena tidak ada yang mengancam; (2) Kehidupan eksistensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk hidup sepenuhnya dalam setiap momen kehidupan sehingga ada kegembiraan pada setiap pengalaman tersebut karena setiap pengalaman dirasa segar dan baru; (3) Kepercayaan terhadap diri sendiri karena data yang digunakan untuk mencapai keputusan adalah tepat dan seluruh kepribadian mengambil bagian dalam proses pembuatan keputusan tersebut; (4) Perasaan bebas untuk memilih dan bertindak. Seseorang akan melihat adanya banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan sesuatu yang diinginkannya; (5) Kreativitas. Adanya perasaan yang bebas membuat orang yang mengaktualisasikan diri akan bertingkah laku yang spontan, berubah, tumbuh, dan berkembang sebagai respon atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam.

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aktualisasi diri adalah proses perkembangan dan penggunaan bakat, kapasitas, serta potensi psikologis yang dimiliki individu dengan melakukan yang terbaik yang dapat mengembangkan kemampuan lainnya. Peneliti menggunakan sifat- sifat pengaktualisasi diri dari Maslow dan menyimpulkan bahwa sifat-sifat pengaktualisasi diri antara lain: mengamati realitas secara efisien; penerimaan atas diri sendiri, orang lain, dan kodrat; spontan, sederhana, dan wajar; terpusat pada masalah; pemisahan diri dan kebutuhan privasi; kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan; kesegaran dan apresiasi; pengalaman puncak atau pengalaman mistik; minat sosial; hubungan antar pribadi; berkarakter demokratis; perbedaan antara cara dan tujuan; rasa humor yang filosofis; kreativitas; dan penolakan enkulturasi. Pada penelitian ini, aspek-aspek tersebut akan diperingkas menjadi tujuh aspek tanpa mengurangi maksud dan pengertian aspek-aspek tersebut. Alasan peringkasan adalah untuk menghindari tumpang tindih antara item satu dengan item yang lain dari aspek yang berbeda sehingga aspek-aspek yang pengertiannya hampir sama peneliti jadikan satu aspek. Ketujuh dari ringkasan aspek-aspek tersebut yaitu: (a) Pengamatan realitas secara efisien dan kepercayaan terhadap organisme orang sendiri; (b) Berfungsi secara otonom dan resistensi terhadap inkulturasi serta memiliki perasaan bebas; (c) Minat dan hubungan sosial yang baik; (d) Kreatif dan humoris; (e) Spontan, wajar, dan demokratis; (f) Fokus terhadap masalah di luar dirinya dan dapat membedakan sarana dan tujuan; (g) Menjalani pengalaman puncak dan apresiasi yang mendalam dan keterbukaan pada pengalaman.

C. Penelitian Relevan

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurmasari, Kusmayadi, dan Riyadi (2013), dapat disimpulkan bahwa bahwa siswa laki-laki memenuhi empat indikator berpikir kreatif yaitu pada indikator kelancaran, keluwesan, keaslian, dan menilai; serta kurang memenuhi satu indikator berpikir kreatif yaitu pada indikator penguraian. Dari siswa perempuan disimpulkan bahwa siswa perempuan memenuhi tiga indikator berpikir kreatif yaitu pada indikator kelancaran, keluwesan, dan keaslian; serta tidak memenuhi dua indikator berpikir kreatif yaitu pada indikator penguraian dan menilai. Persamaan dengan penelitian yang telah dilaksanakan adalah sama-sama mendeskripsikan kemampuan berpikir matematis siswa. Perbedaannya adalah kemampuan berpikir matematis siswa tersebut dianalisa berdasarkan gender.

  Rahmatina, Sumarmo, dan Johar (2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa siswa yang bergaya kognitif reflektif memenuhi ketiga indikator berpikir kreatif yang ditetapkan, yaitu kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Siswa yang bergaya kognitif impulsif cukup fasih tetapi tidak fleksibel dalam menyelesaikan masalah dan tidak bisa memberikan solusi yang baru. Persamaan dengan penelitian yang telah dilaksanakan adalah sama-sama mendeskripsikan kemampuan berpikir matematis siswa. Perbedaannya adalah kemampuan berpikir matematis siswa tersebut dianalisa berdasarkan gaya kognitif reflektif dan impulsif.

  Penelitian Ingkansari (2006) menyimpulkan bahwa prestasi belajar matematika siswa yang memiliki aktualisasi diri tinggi lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki aktualisasi diri sedang dan rendah sedangkan siswa yang memiliki aktualisasi diri sedang dan rendah mempunyai prestasi belajar matematika yang sama baik. Persamaan dengan penelitian yang telah dilaksanakan adalah sama-sama melihat pengaruh aktualisasi diri.

  Perbedaannya adalah aktualisasi diri digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir matematis siswa.

  Berdasarkan kajian peneliti terdahulu, maka peneliti mengangkat judul Deskripsi Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Aktualisasi Diri Siswa di SMP Ma‟arif NU Paguyangan.

D. Kerangka Pikir

  Berpikir kreatif dipandang sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen untuk menghasilkan ide baru. Berpikir kreatif matematis diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun ide atau gagasan baru yang menekankan pada aspek kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Ide yang dimaksud adalah ide dalam memecahkan masalah matematika dengan tepat atau sesuai dengan perintahnya.

  Mengembangkan berpikir kreatif bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika tetapi juga untuk menunjang aspek kehidupan lainnya. Kemampuan berpikir kreatif tidak hanya meningkatkan kecakapan akademik tetapi juga kecakapan personal, meliputi kesadaran diri dan keterampilan berpikir, serta kecakapan sosial.

  Kreativitas dan aktualisasi diri saling berhubungan karena aktualisasi diri merupakan proses perkembangan dan penggunaan bakat, kapasitas, serta potensi psikologis yang dimiliki individu dengan melakukan yang terbaik yang dapat mengembangkan kemampuan lainnya. Aktualisasi diri perlu dimiliki setiap orang karena dengan aktualisasi diri seseorang akan mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, menjadi kreatif, terus mengembangkan diri, dan menjadi lebih baik.

  Perbedaan cara berpikir siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah perlu mendapatkan perhatian dari guru. Setiap siswa di kelas juga memiliki berbagai perbedaan motivasi dalam mencapai keberhasilan dalam pembelajaran. Hal ini dikarenakan aktualisasi diri masing-masing siswa yang berbeda. Salah satu sifat pengaktualisasi diri adalah kreativitas. Oleh karena itu, siswa dengan aktualisasi diri yang berbeda-beda akan mempunyai kemampuan berpikir kreatif yang berbeda-beda pula.