1. Hakikat Folklor - KAJIAN STRUKTUR DAN NILAI EDUKATIF DALAM CERITA RAKYAT DI KABUPATEN TASIKMALAYA SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP KELAS VII SEMESTER 2 - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORETIS A. Kajian Teoretis Pada subbab ini akan dibahas mengenai lima pokok pembahasan, di

  antaranya: (1) hakikat folklor, (2) hakikat, jenis, dan fungsi cerita rakyat, (3) kajian struktur cerita rakyat, (4) kajian nilai edukatif cerita rakyat, dan (5) pengajaran sastra di Sekolah Menengah Pertama.

1. Hakikat Folklor

  Sebelum penulis membahas mengenai kajian cerita rakyat, penulis akan membahas mengenai tradisi lisan, karena pada dasarnya tradisi lisan merupakan salah satu istilah yang muncul dalam kajian folklor, dan cerita rakyat termasuk di dalamnya. Menurut Darban (dalam Priyadi, 2017: 18-19) bahwa tradisi lisan adalah cerita rakyat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan secara beruntun melalui lisan (leluri). Pelisanan ini terikat dengan peristiwa saat itu (lampau) karena masa hidupnya tidak sezaman. Pelisan itu bukan penyaksi dan bukan peserta dalam peristiwa sehingga tidak bertanggung jawab atas kebenaran dari pernyataan yang dikisahkan. Dipertegas bahwa seorang penutur lisan tidak termasuk dalam saksi (kejadian masa lampau) melainkan hanya sebagai penutur lisan. Sedangkan menurut Sedyawati (dalam Muslihah, 2001: 28) tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan, mengikuti tata cara atau adat istiadat yang telah memola dalam suatu masyarakat.

  10 Menurut Dananjaja (dalam Endraswara 2017: 58) folklor adalah bagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Danandjaja (dalam Endaswara, 2017: 59) merumuskan ciri- ciri pengenal folklor yaitu: (a) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut (leluri), dan kadang-kadang tidak disadari; (b) bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam waktu yang relatif lama atau dalam bentuk standar; (c) bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti; (d) menjadi milik bersama.

  Melalui ciri-ciri folklor di atas, peneliti dapat mengenali tata kelakuan, pandangan hidup dan etika pendukungnya. Menurut Sudikan (dalam Endraswara, 2017: 59) ada beberapa fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu: (a) sebagai sistem proyeksi; (b) sebagai alat pengesahan kebudayaan; dan (c) sebagai alat pendidikan.

  Dari beberapa pengertian mengenai tradisi kelisanan, folklor, dan ciri-ciri folklor. Penulis menyimpulkan bahwa dalam melakukan sebuah kajian khususnya mengenai cerita rakyat, perlu dipahami terlebih dulu mengenai ciri-ciri folklor.

2. Hakitat, Jenis, dan Fungsi Cerita Rakyat a. Hakikat Cerita Rakyat

  Cerita rakyat pada hakikatnya merupakan cerita lisan yang telah lama hidup dan berkembang di kalangan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa cerita rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap bangsa. Cerita rakyat menyebar dan berkembang secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu masyarakat. Sebuah cerita rakyat dianggap sebagai hasil dari sastra rakyat atau masyarakat setempat, karena lahir di kalangan rakyat, menjadi warisan suatu masyarakat, merujuk masa lampau, dan merupakan sebagian dari kehidupan budaya masyarakat

  Cerita rakyat adalah cerita yang mengisahkan kejadian masa lalu yang penyampaiannya melalui lisan atau ceritanya disampaikan dari mulut ke mulut (leluri). Cerita rakyat biasanya bercerita tentang suatu tokoh, tokoh itu bisa manusia, binatang, nama-nama dewa, dll. Sebelum mengenal tulisan, cerita rakyat sudah melekat di dalam masyarakat, cerita rakyat dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai seperti nilai moral, nilai pendidikan, nilai budaya, nilai agama, dll. Cerita rakyat merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia, dan ketika terus digali cerita rakyat dari setiap daerahnya akan banyak ditemukan cerita-cerita yang menarik.

  Menurut Hutomo (1991: 4), cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Endraswara (2010: 3) bahwa cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Tradisi lisan dalam cerita rakyat merupakan bagian dari folklor, yaitu folklor lisan. Menilik dari pengertian tersebut, jika dicermati pendapat itu benar adanya, karena semua tradisi lisan dalam cerita rakyat memang merupakan bagian dari folklor.

  Seseorang dapat mengenal cerita rakyat karena adanya proses tutur dan proses pewarisan dari seseorang yang mengetahui cerita rakyat tersebut.

  Mengenal cerita rakyat merupakan bagian dari mengenal sejarah, budaya masa lampau yang masih ada hingga sekarang. Secara umum cerita rakyat biasanya mengisahkan tentang suatu kejadian, bisa kejadian alam semesta, asal muasal penamaan sebuah tempat, cerita tentang tokoh-tokoh seperti tokoh manusia, binatang dan sebagainya.

  Menurut Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2016: 163) cerita rakyat merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Cerita dan tradisi bercerita sudah dikenal sejak manusia ada muka bumi ini, jauh sebelum mereka mengenal tulisan. Cerita merupakan salah satu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri, (Nurgiyantoro 2016: 164).

  Sejalan dengan pendapat di atas, Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2016: 165), karena cerita rakyat hanya diwariskan secara lisan, maka dari itu sastra kategori ini bersifat tradisional dan sekaligus personal. Disebut tradisional karena berasal atau diderivasikan dari cerita rakyat yang telah ada secara turun temurun. Namun, cerita rakyat ini juga bersifat personal, dikatakan personal karena tiap pencerita memiliki kebebasan dalam memilih bahasa yang dituturkan (semua tergantung selera individu pencerita), dan kebebasan dalam perspektif tentang cerita tersebut.

  Saat ini cerita rakyat tidak hanya disampaikan secara leluri, melainkan telah banyak dibukukan atau dituliskan dalam jurnal-jurnal nasional. Meskipun belum semua daerah tersentuh tentang cerita rakyatnya; namun, ini menjadi bukti bahwa beberapa cerita rakyat sudah tergali oleh pihak-pihak atau pemerhati sastra lama, khususnya cerita rakyat.

b. Jenis-jenis Cerita Rakyat

  Sebelumnya dibahas mengenai hakikat cerita rakyat. Dalam subbab ini akan dibahas mengenai jenis-jenis cerita rakyat. Jenis-jenis cerita rakyat oleh beberapa para ahli dikemukakan secara bervariasi dan beragam. Namun, dalam hal ini meski penamaannya berbeda, disisi lain mempunyai kesamaan-kesamaan, yang membedakan hanya dari segi penamaan bentuk cerita rakyat. Untuk lebih jelasnya penulis akan paparkan di bawah ini.

  Berbicara mengenai jenis-jenis cerita rakyat, dipembahasan sebelumnya sempat disinggung bahwa cerita rakyat tidak terlepas dari folklor, folklor juga sering disamakan dengan tradisi lisan. Hanya, dalam folklor mempunyai arti yang cukup luas. Hal ini sejalan dengan bentuk folklor yang dijelaskan oleh Dananjaja (dalam Priyadi, 2017: 28) bentuk folklor dibagi atas tiga bentuk, yaitu: (1) folklor lisan; mencakup bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat (mite, legenda dan dongeng), (2) folklor sebagai lisan; mencakup permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, dan pesta rakyat, (3) folklor bukan lisan; mencakup material dan non-material.

  Menurut Bascom (dalam Dananjaja, 1986: 50), dijelaskan bahwa dari semua bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Cerita rakyat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu: (1) mite/ myth, (2) legenda/ legend, (3) dongeng/ folktale. Nurgiyantoro (2016: 172-215) mengemukakan bahwa dalam sastra tradisional terbagi atas beberapa bentuk atau jenis, diantaranya: (1) mitos, (2) legenda, (3) cerita binatang/ fabel, (4) dongeng, dan (5) cerita wayang. Hal serupa dikemukan oleh Fang (dalam Sarmadi, 2009: 11) membagi cerita rakyat menjadi lima golongan, yaitu; (1) cerita asal-usul, (2) cerita binatang, (3) cerita jenaka, (4) cerita penglipur lara, dan (5) pantun. Sejalan dengan itu Haviland (dalam Sarmadi, 2009: 11) juga membagi cerita rakyat ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: (1) mitos, (2) legenda, dan (3) dongeng.

  Dari beberapa bentuk atau genre cerita rakyat, pada dasarnya memiliki kesamaan dalam isi, stuktur dan makna, yang membedakan dari hal tersebut adalah istilah penamaan. Ada yang mengistilahkan cerita rakyat sebagai sastra tradisional, cerita prosa rakyat, dan banyak pula menyatakan cerita rakyat ya cerita rakyat yang dibagi atas mite, legenda, dan dongeng.

  Berkenaan dengan hal di atas, dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pendapat Bascom. Atas dasar pertimbangan bahwa di Kabupaten Tasikmalaya cukup memenuhi data penelitiaan yang berkenaan dengan cerita rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng. Namun, penulis akan menitikberatkan pada cerita rakyat dengan jenis dongeng. Dari ketiga jenis cerita rakyat secara teoretis akan dijelaskan di bawah ini.

1) Mite (Myth)

  Mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau (Bascom; dalam Dananjaja, 1986: 50). Nurgiyantoro (2016: 172-173) mengemukakan bahwa mite adalah salah satu jenis cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang lain yang melebihi batas-batas kemampuan manusia.

  Sejalan dengan hal itu Riswandi, dkk (2010: 26) mengemukakan bahwa mite adalah jenis prosa yang memiliki karakteristik kisahan gaib, tentang dewa- dewa, asal-muasal sebuah tempat, dan cerita tentang hutan-hutan larangan. Keberadaan mite bagi suatu kelompok masyarakat diyakini sebagai kebenaran yang dihormati. Hakikatnya bisa diterima atau bahkan sebaliknya. Misalnya: Nyi Roro Kidul. Sedangkan dalam KBBI (Edisi IV, 2008: 921-922) mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa. Selajutnya KBBI (Edisi IV, 2008: 922) menjelaskan bahwa mitos merupakan cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut, mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.

  Bascom (dalam Dananjaja, 1986: 51) mengemukakan bahwa mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga mengisahkan tentang petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya. Mite di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan tempat asalnya, yakni: yang asli berasal dari Indonesia dan yang berasal dari luar negeri, terutama dari India, Arab, dan Negara sekitar laut tengah. Mite Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta (cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata (pantheon), terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero); terjadinya makanan pokok, seperti padi, dan sebagainya untuk pertama kali.

  Berdasarkan beberapa pengertian mite di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa mite merupakan cerita rakyat dalam bentuk prosa yang mengisahkan terjadinya alam semesta, yang di dalamnya terdapat tokoh dewa- dewa, manusia, dan sebagainya. Salah satu contoh mite yang terkenal di Indonesia hingga saat ini adalah tentang Nyi Roro Kidul.

2) Legenda (Legend)

  Legenda sama halnya seperti mite, legenda adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh yang empunya, cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh- sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang (Dananjaja, 1986: 66).

  Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2016:181-189) legenda sama halnya dengan mitos, legenda juga termasuk bagian dari cerita rakyat, perbedaan antara mitos dan legenda tidak pernah jelas. Keduanya sama-sama menampilkan cerita yang menarik dengan tokoh-tokoh yang hebat yang berada di luar batas-batas kemampuan manusia lumrah. Hal yang membedakan adalah bahwa mitos sering dikaitkan dengan tokoh dewa-dewa dan atau kekuatan-kekuatan supranatural yang di luar jangkauan manusia. Sebaliknya walau sama-sama menghadirkan tokoh- tokoh yang hebat, legenda tidak mengaitkan dengan tokoh dewa-dewa atau yang berkekuatan supranatural, melainkan dengan tokoh, peristiwa, atau tempat-tempat nyata yang mempunyai kebenaran sejarah.

  Sejalan dengan pendapat di atas, Riswandi, dkk (2010: 30) legenda merupakan jenis prosa yang bercerita tentang keadaan atau kejadian alam.

  Misalnya legenda tangkuban perahu, danau toba, malin kundang, dan sebagainya. Sedangkan menurut KBBI (Edisi IV, 2008: 803) legenda merupakan cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa sejarah, karakteristiknya ada tokoh terkenal atau tokoh yang berprestasi hebat.

  Brunvand (dalam Danandjaja, 1986: 67-75) menggolongkan legenda menjadi empat kelompok, yaitu; (1) legenda keagamaan, (2) legenda alam gaib, (3) legenda perseorangan, dan (4) legenda setempat. Sedangkan Nurgiyantoro (2016: 183-189) menggolongkan legenda menjadi tiga kelompok, yaitu; (1) legenda tokoh, (2) legenda tempat peninggalan, dan (3) legenda peristiwa. Untuk lebih jelasnya penulis akan mendeskripsikan jenis-jenis legenda menurut Nurgiyantoro (2016: 183-189) sebagai berikut.

  a) Legenda Tokoh

  Legenda tokoh yang dimaksudkan sebagai sebuah cerita legenda yang mengisahkan ketokohan seorang tokoh. Ia mirip mitos kepahlawanan yang juga sama-sama mengisahkan perjalanan hidup dan atau kepahlawanan seseorang. Biasanya tokoh pahlawan ini dikagumi banyak orang atas kehebatan, kecerdasan, kekuatan, dan kegagahannya. Contoh legenda seorang tokoh terkenal di Betawi dan pernah difilmkan yaitu “Si Pitung”.

  b) Legenda Tempat Peninggalan

  Legenda tentang tempat-tempat peninggalan atau cerita asal-usul dimaksudkan sebagai cerita yang berkaitan dengan adanya peninggalan- peninggalan tertentu dan atau asal-usul terjadinya sesuatu dan penamaan tempat- tempat. Contoh legenda tempat peninggalan; Telaga Warna, Banyuwangi, Gunung Tangkuban Perahu, Danau Toba, Situ Gede di Tasikmalaya.

  c) Legenda Peristiwa

  Legenda peristiwa adalah adanya peristiwa-peristiwa besar tertentu yang kemudian menjadi legenda karenanya. Legenda yang berkaitan dengan peristiwa besar tersebut tidak dapat dipisahkan dengan tokoh-tokoh besar yang dilegendakan. Artinya tokoh-tokoh besar yang melegenda itulah yang sering menjadi pelaku peristiwa besar. Namun, peristiwa besar itu tidak harus dilakukan oleh tokoh, melainkan juga karena alam atau kehendak alam semesta. Contoh legenda peristiwa tenggelamnya kapal pesiar super mewah Titanic atau Kisah Malin Kundang dari Sumatera Barat.

  Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai legenda, dapat disimpulkan bahwa legenda hampir sama dengan mite. Keduanya sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh hebat dalam setiap peristiwa. Namun, secara sederhana dapat dibedakan dari tokohnya, jika mite erat kaitannya dengan tokoh dewa-dewa sedangkan dalam legenda tokoh yang dihadirkan adalah tokoh manusia.

3) Dongeng (Folktale)

  Jika sebelumnya membahas mengenai mite dan legenda yang mempunyai kemiripan. Sama halnya dengan dongeng, karena dongeng juga merupakan salah satu dari bentuk cerita rakyat.

  Jika legenda adalah sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak benar-benar dianggap terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindirian, pernyataan ini dikemukakan oleh Danandjaja (1986: 83).

  Menurut Nurgiyantoro (2016: 198-199) dongeng merupakan salah satu cerita rakyat (folktale) yang cukup beragam cakupannya. Istilah dongeng dapat dipahami sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal. Sedangkan dalam KBBI (Edisi IV, 2008: 340) bahwa dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian- kejadian zaman dulu yang aneh-aneh. Aneh yang dimaksud di sini adalah ceritanya yang terkadang tidak ada pembuktian dan tidak masuk akal.

  Dongeng biasanya mempunyai kalimat pembuka dan penutup yang bersifat klise. Pada bahasa Inggrisnya biasanya selalu dimulai dengan kalimat pembuka: Once upon a time, there lived a

  ….. (pada suatu waktu hidup seorang…..), dan kalimat penutup: ….. and they lived happily aver after (…… dan pada akhrinya mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya), Danandjaja (1986: 84).

  Kemunculan dongeng yang sebagai bagian dari cerita rakyat, selain berfungsi untuk memberikan hiburan, juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat pada waktu itu. Perlu diketahui selain cerita rakyat mempunyai fungsi tertentu, dongeng juga dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok jenis dongeng.

  Thompson (dalam Danandjaja, 1986: 86) dongeng memiliki beberapa jenis, yaitu: (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) dongeng lelucon dan anekdot, serta (4) dongeng berumus. Madzab (dalam Taum, 2011) penggolongan cerita rakyat (dongeng) dibagi menjadi dua kriteria dasar yaitu type dan motif.

  Type berarti cerita tersebut digolongkap berdasarkan tipe atau jenisnya.

  Aarne-Thompson (dalam Taum, 2011: 85-87) membuat sistem klasifikasi dongeng yang menggolongkannya ke dalam tujuh type jenis dongeng, yaitu sebagai berikut:

  a) Animal Tales (dongeng binatang) Dongeng binatang ini meliputi: binatang buas (serigala yang pintar dan binatang buas lainnya), binatang buas dan binatang peliharaan, binatang buas dan manusia, binatang peliharaan, dan binatang serta objek-objek lainnya. Legenda terjadinya Gunung Kelud di Kediri termasuk animal tales karena melibatkan sosok manusia berkepala kerbau bernama Lembu Sura.

  b) Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis) Dongeng ini meliputi: tantangan supranatural, istri atau suami atau kerabat supranatural, tugas-tugas supranatural, penolong supranatural, barang-barang magis, kekuatan atau pengetahuan supranatural, dan dongeng-dongeng lainnya tentang supranatural. Legenda terjadinya Gunung Kelud di Kediri dan Legenda Candi Loro Jonggrang di Yogyakarta termasuk juga jenis tales of magic karena berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supranatural yang dimiliki tokoh Lembu Sura (Gunung Kelud) dan Bandung Bondowoso (Candi Loro Jonggrang).

  c) Religious Tales (dongeng keagamaan) Dongeng ini meliputi: imbalan hadiah atau hukuman dewa, kebenaran yang terwujud, surge, hantu, dan dongeng keagamaan lainnya.

  d) Realistic Tales (dongeng realistik) Dongeng ini meliputi: cerita-cerita seperti seorang pemuda biasa menikahi putri raja, seorang wanita biasa menikah dengan sang pangeran, bukti kesetiaan dan kemurnian, istri yang keras kepala belajar menjadi setia, prinsip-prinsip hidup yang baik, tindakan dan kata-kata yang cerdas, dongeng tentang nasib, perampok, pembunuh dan dongeng-dongeng realistik lainnya.

  e) Tales of the Stupid Orgre/ Giant/ Devil (dongeng tentang raksasa atau hantu yang bodoh) Dongeng ini meliputi: kontrak kerja, hubungan antara manusia dengan raksasa, persaingan antara manusia dan raksasa, manusia membunuh dan melukai raksasa, raksasa ditakut-takuti oleh manusia, manusia menaklukkan raksasa, jiwa diselamatkan dari gangguan setan.

  f) Anecdotes and Jokes (anekdot atau lelucon) Dongeng ini meliputi: cerita-cerita tentang si pandir, cerita tentang pasangan yang sudah menikah (istri yang bodoh dan suaminya, suami yang bodoh dan istrinya, dan pasangan yang bodoh), cerita tentang seorang wanita (mencari suami, lelucon tentang seorang nyonya tua), cerita tentang seorang laki-laki (pria yang cerdas, keberuntungan, lelaki bodoh), lelucon tentang tokoh-tokoh agama (tokoh agama ditipu, tokoh agama dan perihal lainnya), lelucon tentang kelompok masyarakat lain.

  g) Formula Tales (dongeng yang memiliki formula) Dongeng ini meliputi: dongeng-dongeng kumulatif (yang didasarkan pada jumlah, objek, binatang atau nama; yang selalu dikaitkan dengan kematian; makan, atau kejadian-kejadian lainnya), dongeng tentang jebakan, dan dongeng- dongeng formula lainnya.

  Yang dimaksud dengan dongeng formula adalah dongeng yang terikat pada rumusan tertentu, seperti jumlah, nama, binatang, dan lainnya yang disiapkan oleh tradisi. Selain dongeng memiliki type seperti yang sudah dijelaskan di atas, dongengpun memiliki bebera motif. Untuk lebih jelasnya akan penulis paparkan di bawah ini.

  Menurut Taum (2011: 87) motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam tradisi. Berdasarkan kriteria tersebut, mereka menyusun index atau katalogus tipe-tipe dan motif-motif yang dapat diterapkan secara universal pada cerita-cerita rakyat. Secara lebih lengkap, yang dimaksud dengan motif adalah unsur-unsur suatu cerita (narratives

  

elements ). Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita tersebut yang

menonjol dan tidak biasa sifatnya Danandjaja (dalam Taum, 2011: 53).

  Danandjaja (dalam Taum, 2011: 88-90) bahwa ada beberapa motif yang dapat ditemukan dalam berbagai cerita rakyat. Beberapa motif yang biasa dijumpai dalam cerita-cerita rakyat khususnya dongeng adalah sebagai berikut.

  a) Motif Berupa Benda Motif berupa benda ini yaitu motif yang berkenaan dengan; tongkat wasiat, sapu ajaib, lampu ajaib, bunga mawar, tanah liat, benda-benda angkasa.

  Misalnya cerita asal-usus manusia yang dibuat dari tanah liat, manusia berasal dari telur burung garuda, manusia berasal dari sejenis pohon tertentu, dll. Hal ini akan berkaitan dengan keyakinan religious ataupun fauna dan flora totem.

  b) Motif Berupa Hewan yang Luar Biasa Motif berupa hewan yang luar biasa yaitu motif yang berkenaan dengan kuda yang bisa terbang, buaya siluman, singa berkepala manusia, raksasa, hewan yang bisa berbicara, burung phoenix, ular naga, ayam jantan. Misalnya dalam dongeng Ande-Ande Lumut, dikisahkan tentang seekor kepiting raksasa bernama Yuyu Kangkang dan seekor burung bangau raksasa yang bisa berbicara.

  c) Motif yang Berupa Suatu Konsep Motif yang berupa suatu konsep yaitu motif yang berkenaan dengan larangan-larangan atau hal-hal yang tabu. Misalnya konsep yang menjelaskan mengapa wanita hamil tidak boleh makan pisang kembar. Mengapa setelah sunat tradisional (sifon) seorang lelaki harus melalui hubungan seks ritual dengan tiga perempuan yang bukan istrinya. Mengapa seorang gadis tidak boleh makan di ambang pintu. Mengapa perlu dilakukan ritual bersih desa. Mengapa pohon-pohon tertentu di hutan tidak boleh ditebang atau diambil kayunya. Mengapa perlu diadakan ritual sedekah laut oleh masyarakat nelayan. Motif yang berupa konsep- konsep larangan ataupun anjuran seperti ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat di Indonesia. Motif tentang larang menghina ibu kandung, misalnya dapat dijumpai dalam Legenda Malin Kundang (Minangkabau) dan Legenda Batu

  Menangis (Kalimantan Barat). Jika dikaji secara lebih mendalam, akan dijumpai

  berbagai kearifan lokal kelompok-kelompok etnis melalui motif ini. Misalnya mengapa manusia perlu menjaga kelestarian hutan, flora, dan fauna, mengapa manusia perlu hidup dalam keseimbangan kosmos.

  d) Motif Berupa Suatu Perbuatan Motif berupa suatu perbuatan ini yaitu motif yang berupa ujian ketangkasan, minum alcohol, bertemu di gunung, turun dari gunung, menyamar sebagai fakir miskin, menghambakan diri, melakukan tindakan laku tapa, moksa, melewati alam gaib, bertarung dengan raksasa, dll. Misalnya dongeng Ande-Ande

  Lumut dari Kediri, Jawa Timur, terdapat motif perbuatan ini, yaitu (Pangeran

  Asmara Bangun menyamar sebagai Ande-Ande Lumut dan Dewi Sekar Taji sebagai Klenting Kuning), menghambakan diri (Dewi Sekar Taji menjadi pembanti Nyai Intan). Dongeng Jaka Budug dan Putri Kemuning dari daerah Ngawi, Jawa Timur, bermotifkan sayembara uji ketangkasan mendapatkan daun sirna ganda. Jaka Budug (budug artinya kudis) berhasil berhasil mendapatkan daun sirna ganda setelah membunuh ular naga yang menjaga daun tersebut. Jaka Budug pun menikah dengan putri raja Prabu Aryo Seto bernama Putri Kemuning.

  e) Motif Tentang Penipuan Terhadap Suatu Tokoh (raksasa atau hewan) Di Indonesia banyak dijumpai motif hewan-hewan yang luar biasa, seperti cerita tentang si kancil, raksasa yang bisa menelan manusia yang mudah ditipu, dll. Legenda Gunung Kelud dan Legenda Candi Loro Jonggrang memiliki motif penipuan.

  f) Motif yang Menggambarkan Tipe Orang Tertentu Motif ini menggambarkan tipe orang tertentu, misalnya mengenai orang yang sangat pandai seperti Abu Nawas, tokoh yang selalu tertimpa nasib sial seperti si Pandir, dan si Kabayan, tokoh yang sangat bijaksana seperti raja Sulaiman, tokoh pemberani seperti Si Pitung, tokoh pelaut ulung seperti Hang Tuah.

  Di atas telah dipaparkan mengenai type dan motif. Type dan motif di atas merupakan salah satu hal yang bisa dikaji atau dianalisis dalam bentuk atau jenis dongeng. Namun, ketika ditemukan motif sama pada kedua kelompok etnis yang berbeda, maka dapat diterapkan dua teori. Seperti yang dikemukakan oleh Taum (2001: 91) bahwa dalam kajian Madzhab Finlandia, jika ditemukan dua motif yang sama pada kedua kelompok etnis yang berbeda, maka mereka mengajukan pandangan teoretis yang berbeda, di antaranya teori monogenesis dan teori poligenesis. Teori monogenesis adalah teori yang mengatakan bahwa motif tertentu pasti berasal dari satu daerah. Baru kemudian terjadi proses penyebaran atau difusi (diffusion). Sedangkan teori poligenesis adalah teori yang berpandangan bahwa motif-motif tersebut merupakan penemuan-penemuan tersendiri yang tidak ada kaitannya (independent invention) atau sejajar (parallel

  invention ).

c. Fungsi Cerita Rakyat

  Keberadaan cerita rakyat memang memiliki fungsi penuh bagi suatu masyarakat. Selain sebagai media hiburan, cerita rakyat juga berfungsi sebagai media pendidikan. Bascom (dalam Danandjaja, 1997: 19) menyatakan bahwa cerita rakyat mempunyai empat fungsi, yakni: (a) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencermin angan-angan kolektif; (b) sebagai pengesahan pranatapranata dalam kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan; dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma yang ada di dalam masyarakat akan selalu dipahami oleh anggota kolektifnya. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hamidy (2003: 28) bahwa fungsi cerita rakyat adalah sebagai sarana pendidikan, harga diri, dan sebagai hiburan atau pelipur lara. Berkaitan dengan hal di atas, Atmazaki (2007: 138) menyatakan bahwa fungsi cerita rakyat meliputi: (a) untuk mengekspresikan gejolak jiwa dan renungannya tentang kehidupan oleh masyarakat terdahulu, (b) untuk mengukuhkan solidaritas masyarakat, dan (c) digunakan untuk memuji raja, pemimpin, dan orang atau benda yang dianggap suci, keramat, atau berwibawa oleh kolektifnya.

  Menurut Sugono (dalam Sarmadi, 2009: 35) cerita rakyat, selain merupakan hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui (1) asal-usul nenek moyang, (2) jasa atau teladan kehidupan para pendahulu kita, (3) hubungan kekerabatan (silsilah), (4) asal mula tempat, (5) adat istiadat , dan (6) sejarah benda pusaka.

  Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari folklor yang berkembang di masa lalu dan diceritakan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karena diceritakan secara lisan, seringkali mendapat beberapa variasi atau tambahan. Hal ini tergantung pada kemahiran tukang cerita atau pawang cerita. Namun lambat laun, sudah banyak cerita rakyat yang telah dibukukan. Sehingga, sering dijumpai cerita yang sama namun dalam versi yang berbeda-beda.

3. Kajian Struktur Cerita Rakyat

  Kajian mengenai struktur cerita rakyat berupa mite, legenda, maupun dongeng telah banyak dilakukan oleh para peneliti folklor khususnya mengenai cerita rakyat. Kajian struktur cerita rakyat juga bervariasi, ada yang menggunakan pendekatan strukturalisme, ada yang menggunakan struktur yang memfokuskan pada struktur cerita rakyat berupa unsur intrinsik dan pendekatan teori lainnya. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan pendekatan strukturalisme dan pendekatan antropolinguistik. Menurut penulis kajian struktur ini tidak hanya dilakukan dengan mengkaji unsur intrinsik (alur, tokoh, latar, setting, dll) dalam cerita rakyat, namun penting juga dikaji di luar unsur intrinsik tersebut, seperti pendekatan antropolinguistik yang mencakup proses penuturan penuturan, proses penciptaan, proses pewarisan, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks ideologi. Untuk mendukung fokus dan kajian terhadap struktur cerita rakyat, akan didukung oleh teori-teori yang relevan di bawah ini.

a. Pendekatan Strukturalisme Cerita Rakyat

  Diuraikan oleh Abrams (dalam Jabrohim, 2017: 67) bahwa model yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut ekspresif; yang lebih menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra disebut pragmatic; yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata disebut

  mimetic ; sedangkan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai

  struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik disebut pendekatan objektif. Dari keempat model pendekatan tersebut, keempat model tersebut saling melengkapi, meskipun dalam pelaksanaannya pendekatan-pendekatan tersebut bisa diaplikasikan secara bersamaan, sesuai dengan kekhasan cirinya.

  Menurut Pradopo (dalam Jabrohim, 2017: 69) dijelaskan bahwa satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri, karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur- unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Hawks (dalam Jabrohim, 2017: 69) mengatakan bahwa strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-bendanya itu sendiri.

  Sedangkan menurut Veuger (dalam Jabrohim, 2017: 70) menyatakan bahwa struktur adalah suatu sistem transformasi yang bercirikan keseluruhan; dan keseluruhan itu dikuasai oleh hukum-hukum (rule of composition) tertentu dam mempertahankan atau bahkan memperkaya dirinya sendiri karena cara dijalankannya transformasi-transformasi itu tidak memasukan ke dalamnya unsur- unsur dari luar.

  Sejalan dengan pendapat di atas, Stanton (dalam Jabrohim, 2017: 72) mendeskripsikan unsur-unsur struktur karya sastra seperti berikut; unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra; fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan latar; sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga cara pemilihan judul.

  Menurut pendapat Teeuw (2003: 112) makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Menurutnya tanpa dilakukan analisis struktural , kebulatan makna instrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri tidak akan tertangkap. Untuk itu, analisis yang menjadi prioritas pertama pada tahap awal adalah analisis struktur terhadap karya sastra. Sedangkan menurut Fananie (2001: 76) bahwa sebuah karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila masing-masing unsur pembentuknya (unsur instrinsiknya) tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting, dan bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh.

  Menurut Nurgiyantoro (dalam Sarmadi, 2009: 23) analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskrepsikan, misalnya tema, plot, tokoh, latar, amanat, dan lain-lain.

  Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pendekatan struktural langkah-langkah kajian dapat dilakukan dengan mengindentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan yang saling berhubungan antar unsur intrinsik. Dengan mengkaji struktur cerita rakyat maka unsur-unsur pembangun itulah yang menjadi objek utama dalam kajian struktur cerita rakyat yang mencakup unsur instrinsik.

  Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji struktur cerita rakyat, seperti unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur tersebut adalah unsur intrinsik yang mencakup; tokoh/ penokohan, alur (plot), latar (setting), tema, dan amanat. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai unsur intrinsik dalam kajian struktur cerita rakyat dengan teori yan relevan.

1) Tokoh dan Penokohan

  Di dalam mengkaji unsur-unsur ini ada beberapa istilah yang mesti dipahami, yaitu istilah tokoh dan penokohan. Menurut Riswandi dan Titin (2010: 47) tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh ini tidak selalu berwujud manusia, tergantung pada siapa yang diceritakannya itu dalam cerita. Sedangkan penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh dan watak-wataknya itu dalam cerita. Dalam melakukan penokohan (menampilkan tokoh-tokoh dan watak tokoh dalam suatu cerita). Ada beberapa cara yang dilakukan pengarang, antara lain melalui; (1) penggambaran fisik, penggambaran fisik yang dimaksud adalah penggambaran mengenai bentuk wajah, cara berpakaian, dll, (2) dialog, pengarang menggambarkan tokoh lewat percakapan tokoh dengan tokoh lain, (3) penggambaran tokoh dan perasaan tokoh, (4) reaksi tokoh lain, dan (5) narasi, pengarang/ narrator yang langsung mengungkapkan watak tokoh itu.

  Sedangkan menurut Wahyuningtyas & Santosa (2011: 5) tokoh dan penokohan merupakan dua istilah yang berkaitan erat. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

  Tokoh cerita dimaksudkan sebagai pelaku yang dikisahkan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur baik sebagai pelaku maupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2016: 222).

  Tokoh dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa perbedaan seperti adanya tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonist, dan tokoh antagonis. Dalam Riswandi dan Titin (2010: 48-49) perbedaan tokoh terbagi atas beberapa perbedaan, di antaranya; (1) tokoh utama yaitu tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita; (2) tokoh tambahan yaitu tokoh yang hanya dimunculkan sekali-kali (beberapa kali) dalam cerita dan penceritaannya relatif singkat; (3) tokoh protagonis yaitu tokoh yang mendapatkan empati pembaca, sementara tokoh antagonis yaitu tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik; (4) tokoh statis yaitu tokoh yang memiliki sifat dan watak yang tetap, sedangkan tokoh dinamis yaitu tokoh yang mengalami perkembangan watak sejalan dengan plot yang diceritakan.

  Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan merupakan bagian dari unsur intrinsik yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling berhubungan dan saling berkaitan dengan alur, latar, dan lainnya.

2) Alur (Plot)

  Istilah yang biasa dipergunakan untuk menyebut alur adalah alur cerita, plot, atau jalan cerita. Istilah mana yang akan dipakai terserah kepada tiap orang walau sebenarnya alur lebih dari sekedar jalan cerita.

  Selama ini sering terjadi kesalahpahaman dalam mendefinsikan alur. Alur sering dianggap sebagai jalan cerita. Pendefinisian itu sebenarnya tidak tepat.

  Jalan cerita adalah peristiwa demi peristiwa yang terjadi saling susul menyusul. Lebih dari itu, alur adalah rangkaian peristiwa yang sering berkaitan karena hubungan sebab akibat (Riswandi & Titin Kusmini, 2010: 49-50).

  Sejalan dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro (2016: 237) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang terjadi berdasarkan hubungan sebab akibat. Dalam sebuah cerita meski banyak peristiwa yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang padu. Peristiwa-peristiwa yang dimunculkan itu sendiri tidak boleh terjadi secara insidental yang tidak saling terkait, melainkan masih dalam kaitan sebab akibat. Jadi, faktor sebab akibat itulah yang dipandang sebagai menggerakan alur cerita.

  Lebih lanjut tahapan plot secara rinci dikemukakan oleh Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 2015: 209-210) yaitu tahapan plot dibagi atas lima tahapan yaitu sebagai berikut.

  a) Tahap Situation (Tahap Penyituasian)

  Tahap ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh dalam cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan berfungsi untuk melandastumpui tahap berikutnya.

  b) Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik)

  Tahap pemunculan konflik merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik- konflik pada tahap berikutnya.

  c) Tahap Rising Action (Tahap Peningkatan Konflik)

  Tahap ini yaitu konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar itensitasinya. Peristiwa-peristiwa dramatic yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan. Konflik- konflik yang terjadi, internal dan eksternal, atau keduanya, pertentangan- pertentangan, dan sebagainya yang mengarah pada tahap klimaks semakin tidak dapat dihindari.

  d) Tahap Climax (Tahap Klimaks)

  Konflik atau pertentangan yang terjadi ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

e) Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian)

  Tahap penyelesaian adalah konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalur keluar, cerita diakhiri.

  Dalam kaitannya dengan alur cerita, alur berhubungan dengan berbagai hal seperti peristiwa, konflik yang terjadi, dan akhirnya mencapai klimaks, serta bagaimana kisah itu diselesaikan. Alur berkaitan dengan masalah bagaimana peristiwa, tokoh, dan segala sesuatu itu digerakkan, dikisahkan sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang padu dan menarik. Selain itu, alur juga mengatur berbagai peristiwa dan tokoh itu tampil dalam urutan yang enak, menarik, tetapi juga kelogisan dan kelancaran ceritanya.

3) Latar (Setting)

  Bersama dengan unsur tokoh dan alur cerita, unsur latar merupakan sebuah fakta cerita yang secara konkret dapat ditemukan dalam berbagai cerita fiksi, khususnya dalam cerita rakyat.

  Menurut Abrams (dalam Riswandi & Titin Kusmini, 2010: 50-51) latar adalah tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dalam cerita dapat diklasifikasikan menjadi; (1) latar tempat, yaitu latar yang merupakan lokasi terjadinya peristiwa cerita, (2) latar waktu, yaitu latar yang berhubungan dengan saat terjadinya peristiwa tersebut, dan (3) latar sosial, yaitu keadaan yang berupa adat istiadat, budaya, nilai-nilai/ norma, dan sejenisnya yang ada di tempat peristiwa cerita.

  Sejalan dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2016: 249) mengemukakan bahwa latar dapat dipahami sebagai landas tumpu berlangsungnya berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar menunjuk pada tempat, yaitu lokasi di mana cerita itu terjadi, waktu, kapan cerita itu terjadi, dan lingkungan sosial-budaya, keadaan kehidupan bermasyarakat, tempat tokoh dan peristiwa terjadi.

  Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa latar merupakan unsur yang selalu muncul dalam setiap cerita, seperti apapun bentuk ceritanya, latar tidak akan terpisahkan dari tokoh dan alur dalam sebuah cerita, khususnya cerita rakyat.

4) Tema

  Tema adalah ide/ gagasan yang ingin disampaikan pengarang dalam ceritanya. Tema ini akan diketahui setelah seluruh unsur prosa fiksi itu dikaji.

  Dalam menerapkan unsur-unsur tersebut pada saat mengapresiasi karya prosa, seorang pengapresiasi tentu saja tidak sekedar menganalisis dan memecahnya perbagian. Tetapi, setiap unsur itu harus dilihat kepaduannya dengan unsur lain. Apakah unsur itu saling mendukung dan memperkuat, dalam menyampaikan tema cerita, atau bahkan sebaliknya (Riswandi & Titin Kusmini, 2010: 55).

  Sedangkan menurut Lukens (dalam Nurgiyantoro, 2016: 260) secara sederhana tema dapat dipahami sebagai gagasan yang mengikat cerita. Mengikat berbagai unsur intrinsik yang membangun cerita sehingga tampil sebagai sebuah kesatupaduan yang harmonis. Jadi, dalam kaitan ini tema merupakan dasar pengembangan sebuah cerita.

  Tarigan (2008: 167) mengungkapkan tema ialah gagasan utama, gagasan sentral, atau pikiran pokok. Sehingga tema merupakan pikiran yang akan ditemui oleh pembaca sebagai akibat dari membaca suatu karya sastra. Senada dengan itu, Jabrohim & Sayuti (2009: 65) menyatakan bahwa tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran pengarang. Cerita yang tidak mempunyai tema tidak ada manfaatnya bagi khalayak (Sugono, 2005: 168). Pada umumnya, tema yang diangkat dalam suatu karya sastra sangat beragam, misalnya moral, agama.

  Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, bahkan situasi tertentu. Dalam banyak hal tema bersifat mengikat terhadap kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, atau situasi tertentu, termasuk berbagai unsur yang lainnya. Maka, dapat dikatakan bila tema ialah dasar pengembangan seluruh cerita dan tema juga bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Untuk menentukan tema dalam suatu cerita, harus disimpulkan dari keseluruhan cerita, artinya tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dalam suatu cerita saja.

  Bahkan, seringkali kehadiran tema terimplisit sehingga para pembaca harus benar- benar jeli dalam menemukan suatu tema dalam sebuah cerita.

  Tema yang sering ditemukan dalam karya sastra, baik lisan maupun tertulis, bersifat didaktis. Artinya, tema biasanya berisi pertentangan antara kebaikan dan kejahatan. Tema-tema seperti itu dituangkan dalam karya sastra dalam bentuk keadilan melawan ketidakadilan, kesabaran melawan ketamakan dan sebagainya.

5) Amanat

  Amanat merupakan pemecahan suatu tema. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit dan dapat juga secara implisit, Esten (dalam Sarmadi, 2009: 42). Amanat berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang khas, umum, subjektif, sehingga harus dilakukan dengan penafsiran Teeuw (dalam Sarmadi, 2009: 42).

  Pendapat di atas menunjukkan bahwa amanat merupakan suatu hikmah dari permasalahan hidup yang terkandung dalam cerita. Melalui amanat pengarang ingin memberikan sesuatu hal yang positif, dan dari amanat tersebut diharapkan pembaca akan bisa mengambil sesuatu manfaat dari cerita. Suatu amanat dikatakan baik bila amanat tersebut berhasil membukakan kemungkinan- kemungkinan yang luas dan baru bagi manusia dan kemanusiaan. Begitu juga dalam cerita prosa rakyat terkandung amanat yang dapat dijadikan teladan oleh warga masyarakat yang melingkupinya.

b. Pendekatan Antropolinguistik dalam Cerita Rakyat

  Dalam penelitian mengenai cerita rakyat daerah, pendekatan antropolinguistik mempunyai peranan yang sangat penting. Pendekatan antropolinguistik erat hubungannya dengan pendekatan strukturalisme, karena selain mengkaji unsur-unsur intrinsiknya perlu juga diketahui dan dikaji unsur lainnya. Unsur-unsur dalam pendekatan antropolinguistik difokuskan pada hubungan bahasa dengan seluk-beluk kehidupan manusia termasuk kebudayaannya.

Dokumen yang terkait

PENOKOHAN DALAM CERITA RAKYAT PEREMPUAN PENUNGGANG HARIMAU KARYA M. HARYA RAMDHONI DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SMP

0 7 76

PENOKOHAN DALAM CERITA RAKYAT PEREMPUAN PENUNGGANG HARIMAU KARYA M. HARYA RAMDHONI DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA DI SMP

1 56 75

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA RAKYAT KALANTIKA SERTA RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR DI SMP

0 0 16

STRUKTUR CERITA DAN NILAI PENDIDIKAN CERITA RAKYAT DI KABUPATEN KEBUMEN SEBAGAI MATERI AJAR SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

0 0 11

KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA DAN NILAI TOLERANSI DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA 2 KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SERTA RELEVANSINYA DENGAN MATERI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA - UNS Institutional Repository

0 0 9

KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL GENDUK KARYA SUNDARI MARDJUKI SERTA RELEVANSINYA DENGAN MATERI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

0 2 18

KAJIAN STRUKTURAL CERITA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA RAKYAT DI KABUPATEN KEBUMEN DAN RELEVANSINYA DENGAN MATERI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMP

0 2 18

CERITA RAKYAT KYAI KARSOREDJO DUKUH PANDANAN: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI RELIGI SERTA RELEVANSINYA SEBAGAI MATERI AJAR DI SMP - UNS Institutional Repository

0 0 18

ANALISIS STRUKTURAL DAN NILAI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM CERITA RAKYAT REOG SERTA RELEVANSINYA SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN APRESEPSI SASTRA JAWA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA - UNS Institutional Repository

0 0 17

KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL SABTU BERSAMA BAPAK KARYA ADHITYA MULYA SERTA RELEVANSINYA DENGAN MATERI PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA - UNS Institutional Repository

0 1 17