Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: ANAK PEREMPUAN DALAM HAK WARIS BUDAYA ADAT BATAK TOBA: Kajia Sosio-Teologis Terhadap Jemaat HKBP Kartanegara Semarang T1 712010028 BAB II

II . Landasan Teori
Dalam rangka untuk menganalisa tentang posisi anak Perempuan dalam hak waris
budaya adat Batak Toba, di jemaat HKBP Kartanegara Semarang. Maka adalah penting bagi
penulis untuk mencari teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan ini. Dalam hal ini
penulis akan menggunakan teori tentang perubahan sosial. Karena itu orang-orang yang akan
diteliti adalah masyarakat Batak Toba yang telah merantau dan tinggal di Semarang. Sehingga
ketika masyarakat Batak Toba yang pindah dari Bona Pasogit dan menetap di Semarang,
otomatis terjadi Perubahan Sosial. Oleh karena itu teori Perubahan Sosial sangat penting untuk
dipakai oleh penulis.
Teori lain yang akan penulis gunakan adalah teori feminisme, karena penulis akan
melihat tentang peranan anak perempuan dalam hak waris budaya adat Batak Toba. Sebab hak
waris anak perempuan dalam budaya adat Batak Toba lebih rendah dari hak waris anak laki-laki
dalam budaya adat Batak Toba. Dalam hal ini, seharusnya peranan anak perempuan tidak harus
lebih rendah dari anak laki-laki dalam hak waris budaya adat Batak Toba.
Berikut ini penulis juga akan menjelaskan tentang hak waris dalam budaya adat Batak
Toba, untuk melihat siapa saja yang menjadi hak waris dalam budaya adat Batak Toba. Sehingga
ketika terjadi perubahan sosial dalam masyarakat Batak Toba.
a. Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan sosial merupakan fenomena kehidupan sosial yang tidak dapat dihindari oleh
setiap manusia maupun kelompok masyarakat manapun di dunia ini. Pertanyaan yang mendasar
yang seringkali muncul ke permukaan adalah mengapa perubahan itu muncul. Jawaban paling

sederhana, bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat bosan.
Perubahan sosial merupakan perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial
meliputi diantaranya perubahan tingkat kelompok usia, tingkat pendididkan, tingkat kelahiran
penduduk, penurunan kadar rasa kekeluargaan informalitas antara tetangga karena adanya
perpindahan orang dari Bona Posogit (desa) ke kota dan perubahan peran suami sebagai atasan
yang kemudian menjadi mitra (patner) istri dalam keluarga dewasa ini.
Perubahan dalam masyarakat tersebut berupa perubahan yang lambat, perubahan yang
cepat, atau secara evolusi dan revolusi.1 Oleh karena itu dampat dikatakan bahwa tidak ada suatu

1

Jakobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro pendekatan realitas sosial, (Bandung: Alfabetha,
2008), hal 11.

masyarakatpun yang berhenti pada suatu titik tertentu. Yang sering terjadi adalah perubahan itu
berjalan dengan lambat, sehingga masyarakat tidak menyadari bahwa perubahan sedang terjadi
di dalam kehidupan mereka.
Perubahan sosial adalah suatu bentuk peradaban umat manusia akibat adanya eskalasi
perubahan alam, biologis, fisik yang terjadi sepanjang kehidupan manusia. Perubahan yang
menyangkut kehidupan manusia disebut perubahan sosial dapat mengenai nilai-nilai sosial,

norma-norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan
dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenangan, interaksi sosial dan sebagainya.2
Perubahan sosial adalah perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, perubahan
tersebut dapat mencakup nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan
lembaga kemasyarakatan, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan sebagainya.3
Perubahan sosial bukanlah suatu gejala masyarakat modern tetapi sebuah hal yang universal
dalam pengalaman hidup manusia.4
Perubahan sosial dalam masyarakat bukanlah gejala modern yang istimewa, meskipun
kini tengah berlangsung berbagai kristis dalam kehidupan manusia. Perubahan sosial sebagai
proses merupakan asas dalam kehidupan manusia, dengan demikian perubahan mengandung tiga
kemungkinan yaitu perubahan sosial, perubahan budaya, atau gabungan antara perubahan sosial
dan perubahan budaya.5
Spencer menganalogikan masyarakat dengan organisme biologis.6 Masyarakat terdiri dari
bagian-bagian dan susunan yang terdiri dari organ, kerangka dan jaringan. Masyarakat adalah
sebuah organisme yang hidup. Sebagai organisme, masyarakat mengalami pertumbuhan terusmenerus, sehingga bagian-bagiannya tidak sama.7
b. Sumber Perubahan Sosial
Kehidupan yang terus berjalan ini tidak pernah terlepas dari apa yang disebut perubahan
karena setiap hari dan waktu adalah wujud perubahan itu. Sumber perubahan itu berasal dari
dalam dan dari luar masyarakat itu sendiri. Sumber perubahan dari dalam yang dikemukakan
oleh Mudjia Rahardjo terdiri dari lima hal, yaitu yang pertama, dinamika penduduk. Hal ini

2

Jakobus Ranjabar, 2008, hal 10
Jakobus Ranjabar, 2008, hal 11.
4
Jakobus Rnjabar, 2008, hal 11-12
5
Jakobus Ranjabar, 2008, hal 14.
6
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta:Prenada Media), 2004), hal 1
7
Robert H, Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal 43-46
3

berkaitan dengan laju pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi struktur masyarakat . Sumber
yang kedua adalah penemuan-penemuan baru, dalam hal ini adalah teknologi. Sumber perubahan
yang ketiga adalah adanya pertentangan dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan konflik
kepentingan. Sumber yang keempat adalah pemberontakan dalam masyarakat, penambahan dan
pengurangan penduduk dalam masyarakat yang akan berakibat pada perubahan sosial. Sumber
yang kelima adalah ketegangan internal yang muncul di bawah tekanan. Selain itu, perubahan

dari dalam juga mengemuka karena persoalan adanya kebutuhan, serta persoalan dan saluran
permasalahan sosial. Kebutuhan akan saluran dari permasalahan sosial itu adalah kebutuhan
mutlak dari para warga masyarakat. Selain itu perubahan dari dalam itu bisa terjadi karena
adanya demografis serta adanya perubahan struktur, sikap dan nilai dan budaya sosial. 8
Piotr Sztompka menuturkan bahwa perubahan itu mencakup tiga gagasan pokok yakni
perbedaan, waktu yang berbeda, dan diantara keadaan sosial sebagai suatu kesatuan. 9 Perubahan
itu dapat dibedakan dalam beberapa jenis, tergantung dari aspek apa hal tersebut akan dilihat.
Sebuah sistem sosial tidak berdimensi tunggal namun merupakan gabungan-gabungan dari
sisten-sistem di bawah ini:
1. Unsur-unsur pokok.
2. Hubungan antara unsur misalnya ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan
antara individu dan integrasi.
3. Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem.
4. Pemeliharaan batas seperti kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota
sistem.
5. Subsistem seperti jumlah dan jenis seksi.
6. Lingkungan seperti halnya alam atau geopolitik.

c. Bentuk Perubahan Sosial
Menurut Agus Salim (2002:10) perubahan sosial adalah proses, meliputi perubahan yang

terjadi dalam keseluruhan dari aspek kehidupan masyarakat. Proses perubahan ini terus menerus
berlangsung sepanjang sejarah hidup manusia, pada tingkat komunitas lokal, regional dan global.
Proses perubahan berlangsung dalam berbagai jenis kelajuan, yang lambat, sedang dan yang
8

Mudjia Rahardjo, Sosiologi Pedesaan: Studi Perubahan Sosial, (Malang: UIN- Malang Press, 2007), hal 34-

9

Piotr Sztompka, 2004, hal 3.

37

cepat atau secara evolusi dan revolusi. Teori evolusioner berpandangan bahwa semua masyarakat
mengalami tahap-tahap perkembangan yang sama dan menuju ke tahap perkembangan akhir
sedangkan teori revolusi menyatakan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan pada hakekatnya
berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan
masyarakat.10 Akibat dari perubahan sosial yang dialami oleh kelompok masyarakat dapat
mempengaruhi status sosial seseorang dalam masyarakat dan merubah statusnya menjadi lebih
tinggi atau rendah tergantung pada perubahan sosial individu tersebut. Perubahan status tersebut

dapat diperoleh karena pendidikan, dan pernikahan dengan orang yang statusnya sosialnya lebih
tinggi. Proses mobilitas ini terjadi karena adanya revolusi industri dan revolusi demokrasi,
sehingga terjadi mobilitas yang bersifat horisontal maupun vertikal. Revolusi industri
memungkinkan orang perpindah dari desa ke kota. Sedangkan revolusi demokrasi merangsang
untuk mobilitas vertikal.11
Perubahan sosial adalah perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial,
nilai, sikap, dan pola perilaku individu dalam kelompoknya. Perubahan budaya adalah perubahan
yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama dalam berbagai bidang kehidupan dalam
masyarakat yang bersangkutan. Agar dapat bertahan, setiap budaya di dunia selalu mengalami
perubahan.12 Perubahan dapat cepat ataupun lambat. Teknologi dan penemuan membawa
perubahan terhadap budaya, meskipun tidak semua orang terbuka terhadap perubahan.
Perpindahan masyarakat dari bona-pasogit (desa) ke kota menyebabkan perubahan peran
sosial masyarakat tersebut. Masyarakat atau individu menghadapi kenyataan baru atau
pandangan baru menuntut kehidupan yang lebih baru dan sejahtera. Keberadaan masyarakat
yang tinggal di kota menghadapi kenyataan yang lebih baru dalam menuntut pilihan yang baru.
Keberadaan masyarakat di tempat yang baru dengan nilai-nilai yang baru menyebabkan adanya
perubahan peran dan perubahan pola pikir yang lebih maju dari apa yang ia terima ketika
masyarakat Batak Toba yang berbudaya Patriakhi itu tinggal di Bonapasogit (desa). Perubahan
yang terjadi oleh masyarakat berdampak juga pada keluarga.
Ciri manusia yang berbudaya dan beradap adalah menjunjung tinggi harga diri dan nilainilai yang diyakini kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu, ciri khas kebudayaan


10

Agus Salim, 2002, hal 10-12
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, ( Jakarta: Predana, 2011), hal 64
12
Agus Salim, 2002, hal 22.
11

adalah kemampuan manusia memahami dirinya serta mengimplementasikan secara positif
bersama dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Perjumpaan berbagai budaya yang memungkinkan setiap orang dapat saling mengenali
identitas budayanya. Interaksi kultur adalah suatu bentuk hubungan di mana basis sosial budaya
yang menjadi modalnya. Dalam dimensi interaksi kultur dimungkinkkan adanya pertemuan
antara dua atau lebih warga dari pendukung unsur kebudayaan yang berbeda. Pertemuan ini
mengakibatkan saling sentuh, saling pengaruh dan saling memperkuat sehingga bisa terbentuk
suatu kebudayaan, dalam sitem ide yang dimiliki bersama dalam berbagai bidang kehidupan
dalam masyarakat yang bersangkutan. Agar dapat bertahan, setiap budaya di dunia selalu
mengalami perubahan.13
Dapat disimpulkan bahwa sedikit banyak telah terjadi pengeseran budaya dan tatanan sosial

di masyarakat sekitar kawasan komunitas masyarakat yang berjumpa dengan kebudayaan lain.
Artinya budaya-budaya lama itu mengalami proses adaptasi yang diakibatkan oleh adanya
intraksi tersebut. Hal itu dimungkinkan juga karena sifat dari budaya itu sendiri yang dinamis
terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan sosial adalah perubahan dalam masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosial, nilai, sikap, dan pola perilaku individu dalam kelompoknya.
Perubahan budaya adalah perubahan yang terjadi Perubahan dapat cepat ataupun lambat.
Teknologi dan penemuan membawa perubahan terhadap budaya, meskipun tidak semua orang
terbuka terhadap perubahan.

d. Teori Feminisme
Berikut ini penulis akan menjelaskan tentang teori feminisme. Feminisme berasal dari
bahasa latin, femina yang dalam bahasa Inggris femine artinya memiliki sifat-sifat sebagai
perempuan. Ditambah akhiran „ism‟ menjadi feminism yang berarti hal ikwal mengenai
perempuan atau paham mengenai perempuan. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan
menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak. Gelombang Feminisme di Amerika
Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku “The Feminine
Mystigue”, yang ditulis oleg Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas,

13


Agus Salim, 2002, hal 22.

lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama “National Organization
For Woman” (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan.14
Secara umum, gerakan Feminis di Amerika dapat dibagi menjadi tiga golongan: Kaum
feminis liberal, kaum Feminisme radikal, dan kaum feminis sosialis.15 Feminisme adalah sebuah
wawasan sosial, yang berakar dalam pengalaman kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan
penindasan oleh karena jenis kelamin, suatu gerakan yang memperjuangkan pembebasan kaum
perempuan dari semua bentuk seksime dan sebuah metode analisis ilmiah yang digunakan pada
hampir semua ilmu.16
Feminisme bukanlah hanya perjuangkan emansipasi dari kaum perempuan terhadap lakilaki saja, karena mereka juga menyadari bahwa laki-laki khususnya kaum proletar mengalami
penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, ekploitasi, dan represi dari sistem yang tidak adil.
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan
struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki.17
Berikut ini penulis akan menjelaskan tentang pendekatan-pendekatan feminisme. Yaitu:
Pendekatan feminisme liberal, pendekatan feminisme radikal, pendekatan feminisme marxis dan
sosialis, pendekatan psikoanalisis, pendekatan feminisme eksistensialis. Berikut ini penulis akan
menjelaskan tentang pendekatan feminisme liberal.
e. Pendekatan feminisme liberal
Paham Liberal ialah Falsafah yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai politik

tertinggi. Liberalisme menekankan hak-hak pribadi serta kesamarataan peluang. Dalam
pemahaman Liberalisme, pelbagai aliran dengan nama “liberal” mungkin mempunyai dasar dan
pandangan yang berlainan, tetapi secara umumnya aliran-aliran ini bersetuju dengan prinsipprinsip berikut termasuk kebebasan berfikir dan kebebasan bersuara, batasan kepada kuasa
kerajaan, kedaulatan undang-undang, hak individu atas harta persendirian, pasaran bebas dalam
sistem pemerintahan.18
Feminisme liberal merupakan bentuk feminisme yang beranggapan bahwa subordinasi
kaum perempuan berakar dalam kendala-kendala legal yang mengucilkan atau menghalangi

14

Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar pustaka baru, 2002), hal 11-13.
Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hal 36.
16
Anne M. Clfford, Memperkenalkan Teologi Feminis, (Maumere: Ledalero, 2002), hal 28-29
17
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal 62.
18
Anne M. Clfford, 2002, hal 16.

15


keterlibatan penuh dan setara dari kaum perempuan dalam kebersamaan hak.19 Para Feminis
percaya bahwa perempuan tidak dapat dirugikan karena jenis kelaminnya oleh karena itu
perempuan harus mendapat pengakuan kemartabatan sebagai manusia yang setara dengan lakilaki.20
Ruether menyatakan bahwa Feminisme Liberal berakar dalam antropologi Alkitab dan
skolastik tetapi merupakan renovasi radikal dari komponen patriarkhal dari tradisi-tradisi di
bawah pengaruh abad ke 18. Liberalisme menolak tradisi klasik yang mengidentifikasikan sifat
atau perintah

penciptaan dengan patriarkhi.

21

Perempuan berjuang untuk biasa kembali

mendapat haknya seperti laki-laki. Begitu banyak yang biasa dikemukakan agar perempuan bisa
sebebas laki-laki dalam menentukan pilihan hidupnya namun semuanya dapat disimpulkan
dengan alasan yang sudah jelas ada dan terlupakan sejak berabad-abad yang lalu, alasan bahwa
laki-laki dan perempuan diciptakan setara untuk saling melengkapi tugas masing-masing oleh
karena itu laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam melakukan sesuatu di
dunia ini.
Feminisme Liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang
opresif yaitu dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk
memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi
perempuan dalam pendidikan, forum maupun pasar. Ditekankan bahwa masyarakat patriarkhal
mencampuradukkan seks dan gender dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang
dihubungkan dengan kepribadian feminim yang layak bagi perempuan.22

f. Pendekatan feminisme radikal
Pendekatan ini menekankan perbedaan struktural antara perempuan dan laki-laki dengan
memberikan penilaian yang lebih positif terhadap ciri-ciri Feminim dari pada kepada ciri-ciri
maskulim. Feminisme radikal melihat bahwa akar permasalahannya adalah sistem seks dan
gender. Sehubungan dengan itu ia bukanlah penyebab permasalahan itu secara keseluruhan.
Penyederhanaan sistem seks dan gender menjadi “laki-laki” sangat menyesatkan.23
19

Anne M. Clifford, 2002, hal 436.
Gadis Arivia, Feminis Sebuah kata hati, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal 95.
21
Rosemary R. Reuther, Sexism and God-Talk, (Boston: Beacon Press, 1983), hal 102.
22
Rosemaric Putnam Tong, Feminis Thought, ( Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2006), 48-49.
23
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), hal 67.
20

g. Pendekatan feminisme marxis dan sosialis
Dua aliran Feminisme ini, yakni Feminisme marxis dan Feminisme sosialis, sebenarnya
mempunyai banyak persamaan satu sama lain. Namun, ada satu hal yang membuat kedua tradisi
ini memiliki perbedaan. Feminisme sosialis lebih menekankan penindasan gender di samping
penindasan kelas sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sementara itu,
bagi Feminisme marxis, persoalan utamanya hanya terletak pada masalah kelas yang
menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan. Menurut kalangan Feminisme Marxis,
penindasan perempuan terjadi melalui produk politik, sosial dan struktur ekonomi yang berkaitan
erat dengan apa yang disebut sebagai sistem kapitalisme. 24
Model Kapitalisme menciptakan kelas-kelas yang miskin. Kelas pemilik modal tinggal di
rumah mewah sementara para buruh tetap tinggal di bawah kolong jembatan menghirup asap
bensin mobil. Hal ini yang menyadarkan masyarakat umum bahwa di antara mereka sebetulnya
masyarakat kelas. Kelas-kelas masyarakat ini tidak begitu saja muncul, kelas-kelas ini secara
perlahan-lahan dibentuk oleh orang-orang yang mempunyai kebutuhan dan keinginan yang
sama. Oleh karena itu, yang ada adalah kelas perempuan dan kelas laki-laki. Keterperangkapan
perempuan adalah bahwa ia bekerja di bidang yang tidak menghasilkan komoditi seperti lakilaki. Ia bekerja di bidang domestik yang tidak dianggap bernilai. Oleh sebab itu, kelas
perempuan terus menerus mengalami penindasan oleh kelas laki-laki.25
Pemikiran tentang feminis ini muncul dilatar-belakangi keprihatinan para pencetusnya
(Karl Marx dan Friedrich Engels) yang melihat bahwa kaum perempuan kedudukannya identik
dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis Barat. Mereka dalam teorinya mempersalahkan
konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang
melegitimasikan pria memiliki istri secara pribadi. Gejala inilah yang dipandang oleh kedua
tokoh ini merupakan bentuk penindasan pada perempuan. 26
Menurut kedua tokoh di atas, wanita hanya dapat dibebaskan dari penindasan ini, kalau
sistem ekonomi kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat sosial, ini harus di
mulai juga dari keluarga, di mana para istri harus dibebaskan dahulu agar dia dapat menjadi
dirinya sendiri, bukan milik suaminya. Kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat tercipta, maka
ini akan tercermin pula pada kehidupan sosial. Keadilan sosial dapat diciptakan melalui
24

Gadis Arivia, Filsafat BerperspectifFeminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003), 110-111.
Gadis Arivia, 2003, hal 113.
26
Fakih Mansour, Analisis Gender dan transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012), hal 72-73.
25

perubahan pada diri individu, dan perubahan lingkungan sosial akan mempengaruhi perubahan
diri individu, sehingga keadilan sosial dapat tercipta.27
h. Pendekatan feminisme psikoanalisis
Maskulinitas sebagai norma merupakan perkembangan yang terjadi karena masyarakat
tempat hidup perempuan dan laki-laki adalah masyarakat patriarkal. Feminisme psikoanalisis
dan gender menyarankan agar dilakukan usaha-usaha untuk menciptakan masyarakat yang lebih
androgen sehingga sifat-siafat manusia yang hidup di dalamnya lebih merupakan gabungan
antara sifat positif feminin dan maskulin.28 Masyarakat adalah merupakan suatu sistem yang
terdiri dari bagian-bagian yang saling terikat, masing-masing bagian akan secara terus-menerus
mencari keseimbangan dan harmoni. Oleh karena itu, harmoni dan integrasi dipandang sebagai
fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti ditinggalkan
i. Pendekatan feminisme eksistensialis
Paham Eksistensial yang meletakan kebebasan adanya pengakuan bahwa perempuan dan
laki-laki berbeda dan sebenarnya perempuan tidak menginginkan hak untuk menjadi sama
dengan laki-laki karena yang diinginkan sebenarnya adalah hak untuk bebas mengonstruksikan
diri sendiri seperti laki-laki. Artinya, tidak ada kelompok yang menentukan identitas bagi yang
lain, atau perempuan tidak didefinisikan oleh laki-laki, melainkan oleh dirinya sendiri.
Subjektivitas dan identitas adalah cair, dan karena itu perempuan kemudian berhak
mempertanyakan dan mengonstruksikan identitas dirinya sebagai manusia yang bebas. 29
Berdasarkan semua pendekatan feminis yang ada maka penulis merasa bahwa jenis
pendekatan feminisme yang dapat menolong dan melihat permasalahan hak waris anak
perempuan dalam budaya adat Batak Toba adalah: Feminisme liberal yang berbicara tentang
kebersamaan hak anak laki-laki dan anak perempuan. karena itu laki-laki dan perempuan
memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengembangkan dirinya. Yang kedua
Feminisme marxis dan sosialis yang berbicara tentang kepemilikan modal masih diberikan
kepada anak laki-laki. Kaum perempuan tidak berdiri sejajar dengan laki-laki. Teori feminisme
sosialis memperjuangkan menghancurkan ideologi kapitalisme-patriaki dengan menciptakan
sistem kesetaraan untuk memperoleh akses-akses ekonomi, pendidikan, kesehatan dan pelayanan
sosial.
27

Riant Nugroho, 2011, hal 69.
Riant Nugroho, 2011, hal 77.
29
Riant Nugroho, 2011, hal 78-79.
28

j. Hak waris menurut budaya adat Batak Toba
Dalam Pandangan Masyarakat Batak Toba kehidupan manusia memerlukan suatu tatanan
yang dapat menjamin keselamatan dari segala kekuatan yang sewaktu-waktu yang dapat
mengancam kehidupannya. Tatanan ini di namai dengan adat. Adat adalah suatu pengatur
kehidupan yang dimulai oleh manusia, yang lambat laun mendarah daging baginya, menjadi
kebiasaan. Oleh karena itu adat mendapat sifat perintah. Adat telah menjadi undang-undang yang
telah dipergunakan untuk mengatur kehidupan.30
Dalam prosesnya, adat menjadi rangkaian kebiasaan yang di dalamnya terkandung
pandangan hidup, hubungan dengan segala makhluk baik manusia, alam dan kekuasaan supra
natural. Adat menjadi pelindung dan penjamin keseimbangan hidup. Bagi masyarakat Batak
Toba, cita-cita tertinggi dalam kehidupan ialah tercapainya Hamoraon (kekayaan), Hagabeon
(kesejahteraan), dan Hasangapon (kehormatan). Namun semuanya tidak dapat dicapai bila tidak
terdapat suatu keseimbangann antara diri sendiri (mikro kosmos) dengan seluruh jagat raya.31
Adat menjadi hal yang paling berperan dalam kehidupan orang Batak Toba, sehingga
dapat dikatakan sebagai semangat (spirit) yang menghidupi orang Batak Toba dalam segala
prilakunya dan menjadi sumber identitas orang Batak Toba.32
Warisan (tading-tadingan/tean-teanan), terdiri dari tanah milik orang yang meninggal
kehidupan yanga serta kekayaan yang lain (Sinamot). Yakni rumah (Sopo), lumbung padi,
ternak, pepohonan, barang bergerak, serta utang singir-nya (hutang yang harus dia bayar dan
piutang yang harus dia terima, dan uangnya). 33
Tanah yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal bisa tidak dibebani gadai (Na so
marutang), atau sudah digadaikan (marutang), atau bisa juga disebut tu Gadis (jual). Dalam
kedua hal itu, tanah diperhitungkan sebagai bagian harta kekayaan. Jika seseorang mewariskan
sawah yang digadaikan, ia harus bertanggung jawab menebus sawah itu. Tanah itu masih
merupakan bagian dari harta kekayaan orang yang meninggal, dan dia diwarisi oleh ahli
warisnya, contonya: Haumanami do i (itu sawah kami), atau hami do nampunasa (itu kepunyaan
kami, kami pemiliknya).

30

Schreinere Lothar. Adat Dan Injil, (Jakarta,: BPK Gunung Mulia, 2003), hal 10.
Jan. S. Aritonang. Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), hal.47.
32
I. Manalu. Mengenal Suku Batak Lebih Dalam, (Medan: Kaira, 1985), hal 73.
33
J.C. Vergouwen. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Lkis Yogyakarta, 2004), hal 87-90.
31

Jika yang meninggal adalah pemilik atas sebidang tanah dan rumah, maka hak orang
yang meninggal itu pindah ke ahli warisnya. Tetapi hak pemilik peserta ini akan hilang jika
orang meninggal tidak memiliki keturunan laki-laki. Dalam hal seperti itu, bertambah besarlah
bagian kerabat terdekat, karena ia menjadi ahli waris yang sah. Menurut kebiasaan di Toba, jika
seseorang meninggal tanpa keturunan anak laki-laki maka harus diselenggarakan pesta kematian
yang besar. Pada kesempatan ini diadakan tarian boneka sigale-gale yang merupakan perwakilan
dari orang yang meninggal, tujuannya sekedar meringankan kehidupannya yang malang di alam
baka.34 Sebuah rumah kecil didirikan dikuburannya, dan barang yang digunakan sehari-hari, juga
benda yang sangat disayanginya dikubur bersama dia. Budaya kepercayaan orang Batak Toba,
menghabiskan bagian terbesar dari harta kekayaan orang meninggal guna keperluan tersebut
adalah suatu kehormatan.
Hutang (utang) orang meninggal ditutup dari harta kekayaan, meski sudah dibayar namun
masih ada yang harus dilunasi. Hal ini ada kaitannya dengan anak laki-laki sebagai ahli waris
langsung seperti diungkapkan dalam Umpama Batak Toba, sebagai berikut;
Singgir ni ama, ba, singgir ni anak, jala utang ni ama, utang ni anak; artinya: Piutang
bapak, ya piutang anak, utang bapak harus dilunasi anak.
Niarit tarugi pora-pora, molo tinean uli, teanon dohot gora. Artinya: Orang meraut lidi
enau, Mewarisi suka cita, mewarisi kerusuhan juga.35
Ketentuan pokok dalam hak waris adalah bahwa anak laki-laki merupakan pewaris harta
peninggalan bapaknya. Dalam arti bahwa jika ada anak laki-laki, merekalah yang menjadi ahli
warisan harta peninggalan bapaknya. Janda tanpa mempunyai anak laki-laki tidak dapat
mewaris.
Menurut Henry Pandapotan Panggabean, masyarakat Batak Toba menganut sistem
Patrilineal, artinya; untuk menentukan garis keturunan selalu ditarik dari garis kebapakan. Sistem
Patrilineal meliputi:
1. Hukum waris dan hukum lainnya
2. Ajaran Dalihan Na Tolu hanya laki-laki saja yang dapat menjadi unsur Dalihan Na Tolu.

34

Henry Pandapotan Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Batak Budaya Batak Toba (Jakarta: Dian
Utama, 2007), hal 22-23.
35
Helman Billy Situmorang, Ruhut-ruhut Ni Adat Batak (Medan: PT Cahaya Perjuangan, 1983), hal 118121

3. Pengertian hukum waris (hak warisan) hanya anak laki-laki saja, dan secara prioritas,
urutan-urutan ahli waris adalah:
a. Anak laki-laki kandung
b. Keturunan lurus dari anak laki-laki kandung apabila anak laki-laki telah meninggal.
Menyamping kepada saudara laki-laki, termasuk keturunan lurusnya.
c. Menyamping kepada keluarga si Kakek, termasuk keturunan lurusnya. Demikian
seterusnya.
4. Perempuan bukan ahli waris, termasuk; anak perempuan kandung, istri, janda.
5. Seorang janda, baik mempunyai keturunan ataupun tidak, mempunyai hak untuk
menikmati seluruh harta suaminya selama ia tetap berada di lingkungan keluarga suami.
6. Apabila menikah lagi, tidak berhak membawa harta pencaharian dengan suaminya.36

k. Prinsip-Prinsip Sistem Patrileneal Dalam Ajaran Dalihan Na Tolu
Dalam kehidupan sehari-hari dicatat berbagai prinsip sistem Patrilineal pada masyarakat suku
Batak Toba, antara lain:37
1. Asas perkawinan manogami dan eksogami
2. Asas kekeluargaan patrilineal (family atmosphere) Dalihan Na Tolu, artinya garis
keturunan ditarik dari garis kebapakan.
3. Sistem kewarisan bersifat patriarkhat sehingga yang berhak waris hanya anak laki-laki.
4. Kekuasaan orang tua berlaku bagi anak laki-laki dan anak perempuan sebelum anakanaknya menikah.
5. Kedewasaan seorang anak ditentukan status kawin tidaknya anak tersebut.
Menurut Raja Patik Tampubolon dalam bukunya; “Pustaha Tumbang Holing” seperti yang
dikutip H.P Panggabean, adalah pokok-pokok hak waris Perempuan menurut Adat Dalihan Na
Tolu. Yaitu:38
1. “Sipat Bagot do hak ni anak sambonggar ansuan hak ni boru”, artinya: Hak anak laki-laki
sangat tebal sedangkan hak anak perempuan sangat tipis.

36

Henry Pandapotan Panggabean, 2007, hal 17-31.
Rajamarpondang Gultom, Dalihan Na Tolu Budaya Suku Batak Toba (Medan:CV. Media Sarana, 1992),
hal 509-515
38
Raja Patik Tampubolon, Pustaha Tumbaga Holing (Jakarta: Dian Utama, 2002), hal 103-105
37

2. Hak ibu (Ina) manang Boru (perempuan), hak manumpang do manang hak mangihut-ihut,
artinya; seorang ibu dan anak perempuan tidak berhak mewarisi harta atau milik orang
tuanya.
3.

Dalam kehidupan sehari-hari berlaku ajaran “Molo dompak marmeme anak dompak
marmeme boru”, artinya; kalau ada pemberian (silehon-lehon) untuk anak laki-laki, anak
perempuan juga mendapatkan bagiannya.

4. Pemberian orang tua untuk anak perempuan didasari “Perumpamaan Batak Toba”: Sidangka
ni arirang tudangka ni singgolom tinogu ni palilung umbahen adong roha tarjolung, artinya:
Bisa terjadi pemberian orang tua untuk anak perempuan itu lebih banyak dari bagian untuk
anak laki-laki, tetapi hal itu bukan karena ada hak anak perempuan melainkan karena, “Uli
lagu palilung jinou ni natua-tua”. Artinya karena pemberian semata-mata.
Dalam hak waris adat Batak Toba yang tidak menempatkan anak perempuan sebagai ahli
waris ayahnya, dan janda sebagai ahli waris suaminya. Sehingga akses janda kepada harta waris
hanya sebatas menikmati saja selama ia membesarkan anak-anaknya, sampai pada suatu saat ia
akan menyerahkan harta warisan tersebut kepada anak laki-lakinya. Aturan adat tersebut
beroperasi secara baik bagi masyarakat Batak Toba. Dalam kaitannya dengan masalah waris,
khususnya akses kepada tanah, rumah, benda-benda tidak bergerak, pad sistem patrilineal lakilaki selalu diutamakan. Pembatasan perempuan untuk memiliki dan menguasai harta warisan
menyebabkan terjadi stratifikasgi sosial di bidang ekonomi menurut gender yang semakin tajam.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Seren Taun: Tinjauan Sosio-Teologis GKP Jemaat Cigugur terhadap Upacara Seren Taun

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di Jemaat Gereja Masehi Injili Timor Kodya Kupang T1 712006027 BAB II

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian Sosio–Feminis terhadap Peran Perempuan dalam Budaya Pahamang (untuk Kematian) dalam Adat Sumba Timur

0 1 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB I

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB II

0 1 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: ANAK PEREMPUAN DALAM HAK WARIS BUDAYA ADAT BATAK TOBA: Kajia Sosio-Teologis Terhadap Jemaat HKBP Kartanegara Semarang T1 712010028 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: ANAK PEREMPUAN DALAM HAK WARIS BUDAYA ADAT BATAK TOBA: Kajia Sosio-Teologis Terhadap Jemaat HKBP Kartanegara Semarang T1 712010028 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: ANAK PEREMPUAN DALAM HAK WARIS BUDAYA ADAT BATAK TOBA: Kajia Sosio-Teologis Terhadap Jemaat HKBP Kartanegara Semarang T1 712010028 BAB V

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: ANAK PEREMPUAN DALAM HAK WARIS BUDAYA ADAT BATAK TOBA: Kajia Sosio-Teologis Terhadap Jemaat HKBP Kartanegara Semarang

0 0 13