Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Bangun-Bangun (Plectranthus amboinicus L.) Terhadap Kadar Superoxide Dismutase (SOD) Pada Tikus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan
Bangun-bangun (Plectranthus amboinicus L.) adalah tumbuhan tropis
yang daunnya memiliki aroma tertentu dan termasuk dalam suku Lamiaceae.
Tanaman ini banyak ditemukan di India, Ceylon, dan Afrika Selatan. Daunnya
yang berasa pahit dan pedas telah banyak digunakan secara tradisional untuk
berbagai pengobatan (Patel, dkk., 2010).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Menurut Herbarium Medanense, (2016) taksonomi dari daun bangunbangun adalah :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas


: Dicotyledoneae

Bangsa

: Lamiales

Suku

: Lamiaceae

Marga

: Coleus

Jenis

: Coleus amboinicus L

Nama lokal


: Bangun-bangun

2.1.2 Sinonim
Plectranthus amboinicus Lour. Coleus aromaticus Benth (Patel, dkk.,
2010). Plectranthus aromaticus Roxb., Coleus carnosus Hassk (Dalimartha,
2008).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Nama Daerah
Beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang
berbeda-beda. Masyarakat Sumatera Utara menyebutkannya bangun-bangun atau
torbangun, daun jinten, daun hati-hati, daun sukan. Jawa: daun ajeran (Sunda).
Nusatenggara: iwak, kumu etu, bumbu jo (Depkes RI, 1989).
2.1.4 Nama Asing
Daun ini juga dikenal di negara lain misalnya Inggris dengan sebutan
country borage, indian mint, mexican mint, di Vietnam disebut tan day la,
sedangkan di Cina disebut zuo shou xiang, yin du bo he, dao shou xiang dan di
Jepang disebut kuuban oregano (Patel, dkk., 2010).
2.1.5 Morfologi Daun Bangun-Bangun

Daun bangun-bangun memiliki ciri-ciri daun tunggal, berwarna hijau,
helaian daun berbentuk bundar telur, kadang-kadang agak membundar, panjang
helaian daun 3,5 cm sampai 6 cm, lebar 2,5 cm, pinggir daun beringgit atau agak
berombak, tangkai daun panjang 1,5 cm sampai 3 cm, tulang daun menyirip. Pada
keadaan segar helaian daun tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun
bercabang-cabang dan menonjol sehingga membentuk bangunan menyerupai jala,
permukaan atas berbingkul-bingkul, berwarna hijau muda, permukaan bawah
berambut halus berwarna putih. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat
berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat sampai coklat tua, permukaan
bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol,
pada kedua permukaan terdapat rambut halus berwarna putih (Depkes, 1989).

Universitas Sumatera Utara

2.1.6 Kandungan Kimia Daun Bangun-Bangun
Kandungan kimia daun bangun-bangun adalah glikosida, karbohidrat,
asam amino, protein, flavonoid, tanin, senyawa fenol, dan terpenoid, minyak atsiri
(karvakrol, eugenol, limonen, mirsen, pinen, selenen, terpinen, timol, dan
verbenon), vitamin C, vitamin B12, beta karoten, niasin, kalsium, asam-asam
lemak, asam oksalat, dan serat. Terdapat juga apigenin, cirsimaritin, eriodictyol,

genkawanin, luteolin, kuersetin, salvigenin, taxifolin, asam oksaloasetat,
crategolic, asam ursulat, sitosterol (Santosa dan Hertiani, 2005; Rout, dkk., 2010).
2.1.7 Khasiat Daun Bangun-Bangun
Daun bangun-bangun berkhasiat sebagai antioksidan, anti tumor, anti
mutagenik, mengobati bronkitis, asma, diare, epilepsi, demam, batuk, sakit kepala,
gangguan pencernaan, dispepsia, konvulsi, batu ginjal, disentri, kolera,
antimikroba, antimutagenik, antijamur (Rout, dkk., 2010), sakit gigi, gangguan
pendengaran, gangguan saluran cerna (Chandrappa, dkk., 2010), malaria, obat
cacing, hepatoprotektif (Kaliappan, et al., 2008), obat luka, sariawan, mencegah
kanker, antivertigo, diuretik, antiinfertilitas, immunostimulan, hipokolesterolemik,
antiradang, meningkatkan total volume ASI (Santosa dan Hertiani, 2005).

2.2 Uraian Kandungan Kimia Daun Bangun-Bangun
2.2.1 Flavonoid
Flavonoida mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat
pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada
tumbuhan tinggi, flavonoida terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun pada
bunga. Pigmen bunga flavonoida berperan jelas untuk menarik burung dan

Universitas Sumatera Utara


serangga penyerbuk bunga. Beberapa fungsi flavonoida pada tumbuhan ialah
pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus serta
antiserangga (Robinson, 1995).
2.2.2 Saponin
Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang
menyerupai sabun (bahasa latin sapo berarti sabun). Saponin tersebar luas diantara
tanaman

tinggi.

Saponin

merupakan

senyawa

berasa

pahit,


menusuk,

menyebabkan bersin dan mengiritasi selaput lendir. Saponin adalah senyawa aktif
permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok. Dalam larutan yang
sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung
saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun (Robinson,
1995; Gunawan, et al., 2002).
2.2.3 Glikosida
Glikosida adalah suatu senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula
(glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Umumnya glikosida mudah
terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan
panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007).
2.2.4 Steroid/triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualen. Triterpenoid adalah senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering
kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi
Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrida – H2SO4 pekat) yang kebanyakan
triterpena dan sterol memberikan warna hijau biru. Steroida adalah triterpena yang


Universitas Sumatera Utara

kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren (Harborne,
1987).
Fitosterol merupakan senyawa steroida yang berasal dari tumbuhan.
Senyawa fitosterol yang biasa terdapat pada tumbuhan tinggi yaitu sitosterol,
stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne, 1987).

2.3 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes,
2000). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu:
Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan

pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama,
dan seterusnya (Depkes RI, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses

Universitas Sumatera Utara

initerdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) (Depkes RI, 2000).
Cara panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna
(Depkes RI, 2000).
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan

dengan alat khusus yaitu soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah
pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000).
c. Digestasi
Digestasi adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50oC (Depkes RI, 2000).
d. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 960-980C)
selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000).
e. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama yaitu ± 30 menit dan
temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh seperti

pada waktu kita bernapas (hasil samping proses oksidasi atau pembakaran), dan
pada saat terjadi infeksi. Pada saat terjadi infeksi, radikal bebas diperlukan untuk
membunuh mikroorganisme penyebab infeksi. Tetapi paparan radikal bebas yang
berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sel, dan pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian sel (Ramadhan, 2015).
Radikal bebas bersifat reaktif, dapat menyebabkan kerusakan sel,
mengurangi kemampuan adaptasi sel, bahkan kematian sel sehingga menyebabkan
timbulnya penyakit. Sumber radikal bebas yang ada di tubuh manusia berasal dari
2 sumber yaitu sumber endogen dan sumber eksogen. Sumber endogen yang
berasal dari proses metabolik yang normal dalam tubuh manusia seperti reaksi
autooksidasi, oksidasi enzimatik, maupun proses respiratory burst. Sumber
eksogen yang berasal dari luar tubuh manusia seperti radiasi, asap rokok,
penipisan lapisan ozon, bahan kimia, toksin, sinar uv akan meningkatkan kadar
radikal bebas secara mendadak (Ramadhan, 2015).
Ada kemiripan antara oksidan dan radikal bebas dalam sifat-sifatnya.
Aktivitas kedua jenis senyawa ini sering menghasilkan akibat yang sama
walaupun prosesnya berbeda. Keduanya harus dibedakan dipandang dari sudut
ilmu kimia. Oksidan adalah senyawa penerima elektron yaitu senyawa-senyawa
yang dapat menarik elektron, misalnya adalah ion ferri (Fe3+), sebaliknya radikal
bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tak berpasangan.


Universitas Sumatera Utara

Oleh karena itu, radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah
radikal bebas (Ramadhan, 2015).
Radikal bebas lebih berbahaya dibanding oksidan karena elektron yang tak
berpasangan cenderung untuk membentuk pasangan yang terjadi dengan menarik
elektron dengan reaktivitas tinggi dari senyawa lain sehingga terbentuk radikal
baru, yang pada gilirannya apabila menjumpai molekul lain akan membentuk
radikal baru lagi, sehingga terjadilah rantai reaksi (chain reaction) dan akan
berhenti apabila radikal bebas tersebut dapat diredam (quenched) (Ramadhan,
2015).
Penyebab utama dari proses penuaan dan berbagai penyakit degeneratif
adalah pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi yang berlangsung
sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk hidup
adalah ROS (Reactive Oxygen Spesies), yaitu hidroksil (OH-), superoksida (O2-),
nitrogen monooksida (NO-), dan peroksil (RO2-), sementara hidrogen peroksida
(H2O2), oksigen singlet (O2), dan ozon (O3) bukanlah radikal, tetapi dengan
mudah dapat menjurus ke reaksi-reaksi radikal bebas (Silalahi, 2006).
2.4.1 Radikal Ion Superoksida (O2-)
Radikal ion superoksida disebut juga anion superoksida. Senyawa ini
diproduksi di berbagai tempat yang memiliki rantai transport elektron. Menurut
Elstner (1991), oksigen teraktivasi dapat terjadi dalam berbagai bagian sel,
termasuk mitokondria, kloroplas, mikrosom, glikosom, peroksisom, dan sitosol.
Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ditemukan enzim superoksida dismutase
dalam subseluler tersebut dan menurut Fridovich (1986), menyatakan bahwa ion
superoksida yang terbentuk dalam kloroplas, mitokondria, dan peroksisom

Universitas Sumatera Utara

merupakan bentuk senyawa oksigen yang sangat reaktif (Winarsi, 2007). Menurut
Winarsi (2007), pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa
mekanisme sebagai berikut:
a. Reaksi samping dalam reaksi yang melibatkan Fe2+, misalnya dalam proses:
i. Fosforilasi oksidatif
ii. Oksigenasi hemoglobin
iii. Hidroksilasi oleh enzim monooksigenase (dalam sitokrom P450 dan sitokrom
b4).
iv. Fe2+ + O2 Fe3+ + O2· b. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH
oksidase. Reaksinya sebagai berikut:
NADH + O2 NAD+ + H+ + O2· NADPH + O2 NADP+ + H+ + O2· -

2.5 Stres Oksidatif
Stres didefinisikan sebagai mekanisme homeostasis untuk mendukung
penyesuaian terhadap tantangan dari lingkungan, yang berpengaruh terhadap
perkembangan dan stimulasi ekspresi yang diinduksi perubahan plastis pada
fungsi otak dan tingkah laku (Bohus, dkk., 1995).
Stres oksidatif dapat mengakibatkan kerusakan pada semua target
molekuler seperti DNA, protein dan lipid (peroksidasi lipid) yang berefek pada
kerusakan jaringan (Halliwell, 2001). Penyebab utama kerusakan oksidatif di
dalam tubuh adalah senyawa oksidan, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun
bentuk senyawa oksigen reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator. Stres

Universitas Sumatera Utara

oksidatif yang berakibat kerusakan oksidatif adalah keadaan dimana rendahnya
antioksidan dalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa
oksidan (Winarsi, 2007).

2.6 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan.
Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi,
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya,
kerusakan sel akan dihambat. Antioksidan dapat memberikan elektronnya secara
cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya
dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Ramadhan, 2015).
Antioksidan melindungi molekul target antara lain dengan cara (Priyanto, 2009):
a. Menangkap radikal bebas dengan menggunakan protein atau enzim (sebagai
katalis) atau bereaksi langsung.
b. Mengurangi pembentukan radikal bebas dengan merubahnya menjadi radikal
bebas yang kurang aktif atau merubahnya menjadi senyawa non radikal (SOD,
GSH-Px /glutation peroksidase, katalase).
c. Mengikat ion logam yang dapat menyebabkan timbulnya reaksi Fenton yang
menghasilkan radikal bebas (seruloplasmin, transferin).
d. Melindungi komponen sel utama yang menjadi sasaran radikal bebas (vitamin
E dan C, sebagai donor elektron).
e. Memperbaiki target organ dari radikal bebas yang telah rusak.
f. Menggantikan sel yang rusak dengan sel baru (protease, fosfokinase).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3
kelompok, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier
(Winarsi, 2007).
a. Antioksidan Primer
Antioksidan primer disebut juga antioksidan endogenus atau antioksidan
enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat
memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian
radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih
stabil. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase,
dan glutation peroksidase (GSH-Px). Superoksida dismutase bekerja dengan cara
mengkatalisis reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2,
sedangkan katalase dan glutation bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi
H2O dan O2 (Winarsi, 2007).
Tubuh dapat menghasilkan enzim antioksidan yang aktif bila didukung
oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut kofaktor, diantaranya tembaga,
seng, selenium, mangan dan besi. Enzim ini memiliki berat molekul 30.000 atau
lebih (Winarsi, 2007).
b. Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau antioksidan
non-enzimatis. Perbedaan utama antioksidan primer dengan sekunder adalah
antioksidan sekunder tidak mengubah radikal bebas menjadi molekul yang lebih
stabil. Fungsi antioksidan sekunder adalah meningkatkan aktivitas antioksidan
primer. Antioksidan sekunder berperan sebagai chelator untuk ion logam

Universitas Sumatera Utara

(metaldeactivator), menon-aktifkan singlet oxygen, menyerap radiasi ultraviolet,
atau berperan sebagai oxygen scavanger (Ayucitra, dkk., 2011).
Antioksidan non-enzimatis dapat berupa antioksidan alami maupun
sintesis. Senyawa antioksidan alami pada umumnya berupa vitamin C, vitamin E,
karotenoid, senyawa fenolik, dan polifenolik yang dapat berupa golongan
flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik
polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi
flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanol, dan kalkon. Sedangkan antioksidan
sintetik yang umum digunakan misalnya butil hidroksianisol (BHA), butil
hidroksitoluen (BHT), propil galat (PG), and tert-butilhidrokuinon (TBHQ) yang
digunakan pada konsentrasi rendah dalam makanan (Ramadhan, 2015).
c. Antioksidan Tersier
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan
metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan
biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007).

2.7 Flavonoid sebagai Antioksidan Non-Enzimatis
Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman yang
tersebar luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai konsentrasi.
Menurut Snyder dan Kwon (1987), komponen tersebut pada umumnya terdapat
dalam keadaan terikat atau terkojugasi dengan senyawa gula. Berbagai sayuran
dan buah-buahan yang dapat dimakan mengandung sejumlah flavonoid dan
konsentrasi tertinggi berada pada daun dan kulit kupasannya dibandingkan dengan
jaringan yang lebih dalam (Winarsi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Flavonoid terdiri atas struktur dasar 2-fenil-benzo-δ-piran atau inti flavan
dimana dua cincin benzen dihubungkan oleh cincin piran yang mengandung
oksigen, sehingga dari turunannya dapat dibagi atas flavonol, flavon, dan
isoflavon. Beberapa contoh yang terdapat dalam pangan adalah mirisetin,
quersetin, luteolin, apigenin, genistein dan krisin (Ramadhan, 2015).
Flavonoid memiliki sifat antioksidan dengan perannya sebagai penangkap
radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil yang bersifat reduktor sehingga
dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas. Flavonoid juga
dapat membentuk kompleks (kelat) dengan ion logam transisi, misalnya besi
sehingga tidak lagi bertindak sebagai peroksidan. Dengan demikian, oksidasi
vitamin C dapat dicegah (Ramadhan, 2015). Menurut Robak dan Gryglewski
(1988), di samping berpotensi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas,
flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif, antitrombotik,
antiinflamasi, dan antivirus (Winarsi, 2007).
Quersetin adalah senyawa golongan flavonol yang banyak terdapat dalam
sayuran dan buah-buahan berpotensi sebagai antioksidan. Quersetin memiliki 5
gugus –OH bebas, potensi antioksidan ditunjukkan oleh posisi gugus hidroksilnya
yang mampu langsung menangkap radikal bebas. Flavonoid mengamankan sel
dari serangan senyawa oksigen reaktif seperti oksigen singlet, superoksida, radikal
peroksil, radikal hidroksil, dan peroksinitrit. Menurut Robak dan Gryglewski
(1988), Husain, et al., (1987), Huguet, et al., (1990), dan Tores, et al., (1986),
quersetin memiliki sifat antiradikal paling kuat terhadap radikal hidroksil,
peroksil, dan anion superoksida. Rutin juga bersifat antioksidan, efeknya
sebanding dengan quersetin. Senyawa antioksidan ini bekerja jika moietas gula

Universitas Sumatera Utara

diketahui melebihi aktivitas flavonoid. Menurut Ratty dan Das (1988),
antioksidan ini diduga dapat mencegah serangan lipid membran. Menurut Morel,
et al., (1993) dan Puppo (1992), Rutin menunjukkan kerjanya sebagai inhibitor
peroksidasi lipid yang bergantung pada Fe, karena senyawa ini dapat membentuk
kompleks inert bersama Fe. Efek penghambatan flavonoid rutin dan quersetin
terhadap proses peroksidasi lipid bergantung pada ion Fe dalam lesitin liposom.
Rutin dan quersetin secara signifikan lebih efektif menghambat sistem peroksidasi
lipid yang tergantung pada ion Fe. Pengkelatan ion Fe menyebabkan kompleks
ion inert dan tidak dapat mengawali terjadinya terjadinya peroksidasi lipid. Pada
saat yang sama, aktivitas radikal bebas kompleks ion-flavonoid dapat dihentikan.
Menurut Afanas’ev, et al., (1989), rutin dan quersetin menghambat pembentukan
radikal bebas ion superoksida, reaksi hidroksil dalam reaksi Fenton, dan radikal
peroksi lipid (Winarsi, 2007).

2.8 Doksorubisin
Doksorubisin (DOX) adalah obat antikanker golongan antrasiklin yang
sangat efektif dan telah digunakan selama lebih dari empat dekade untuk
mengobati berbagai neoplasma pada manusia (Xi, et al., 2011). Salah satu
mekanisme doksorubisin sebagai agen kemoterapi melalui pembentukan radikal
bebas yang menyebabkan kerusakan DNA atau peroksida lipid (Gewirtz, 1999).
Enzim topoisomerase adalah target yang penting pada pemakaian obat ini,
karena enzim ini mempertahankan struktur 3 dimensi DNA dalam proses
replikasi, transkripsi, repair dan rekombinasi DNA. Topoisomerase ini akan
bekerja melalui pemotongan dan penyambungan rantai DNA serta mengganggu

Universitas Sumatera Utara

penyambungan rantai DNA. Rantai DNA dirusak oleh radikal bebas yang
terbentuk. Mekanisme lain adalah kerusakan bagian sel oleh reaksi oksidasi yang
diakibatkan oleh senyawa intermediet yang terbentuk. Senyawa ini mampu
merusak berbagai makromolekul yang ada, terutama DNA, protein dan membran
sel (Siahaan, dkk., 2007). Namun penggunaannya obat kemoterapi ini telah
dibatasi terutama disebabkan toksisitas radikal bebas yang beragam, termasuk di
dalam jantung, hati, hematologi dan toksisitas testis (Hassanen, dkk., 2015).
Terdapat dua mekanisme doksorubisin dalam menginisiasi terbentuknya
oksigen radikal, yaitu (Siahaan, dkk., 2007):
a. Perubahan reaksi superoksida anion (O2·-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2)
dikatalisis oleh SOD . Hidrogen peroksida merupakan molekul yang relatif
stabil dan toksisitasnya sangat rendah. Pada fisiologis normal, hidrogen
peroksida dieliminasi dari tubuh oleh sistem pertahanan enzim CAT dan GPx.
Namun dengan adanya logam transisi seperti besi, maka hidrogen peroksida
dan superoksida anion dapat diubah menjadi radikal hidroksil (OH· ) yang
sangat reaktif dan toksik (Vergely, dkk., 2007; Torres dan Simic, 2012; Sterba,
et al., 2013). Semiquinon DOX, superoksida anion, dan hidrogen peroksida
dapat menyebabkan pelepasan besi dari ferritin (Chen, dkk., 2007; Minotti,
dkk., 2004). Adanya besi sangat kuat mengkatalisis pembentukan OH· dalam
2 step, yaitu (1) kompleks ferri (Fe3+)-DOX direduksi menjadi kompleks ferro
(Fe2+)-DOX yang dapat bereaksi dengan O2 membentuk O2·- yang akan
menjadi H2O2 dan atau menghasilkan OH· . (2) kompleks ferro-DOX dapat
bereaksi dengan H2O2 (dihasilkan selama reduksi DOX) menghasilkan

Universitas Sumatera Utara

pembentukan radikal hidroksil OH· (Torres dan Simic, 2012; Sterba, et al.,
2013).
b. Struktur kimia antrasiklin terdiri atas tetrasiklin yang mengandung quinon dan
konjugasi amino gula. Dalam lingkungan seluler, DOX mengalami aktivasi
redoks melalui interaksi DOX dengan beberapa flavoprotein oxidoreductase
seperti NADPH dependent cytochrome P450 reductase, NADH dehydrogenase,
xanthine oxidase. Penambahan satu elektron pada bagian ring C (reduksi
elektron ring C) struktur DOX oleh NADPH-dependent reductases
menghasilkan pembentukan semiquinon, yang secara cepat mengalami autooksidasi kembali menjadi senyawa awal quinon dengan mereduksi oksigen (O2
sebagai penerima elektron) menjadi reactive oxygen species (ROS) yaitu
superoksida anion radikal (O2·-) (Vergely, dkk., 2007). Siklus quinonsemiquinon menghasilkan sejumlah besar superoksida anion radikal. Proses
siklus tersebut dipicu oleh NADPH-oxidoreductases [cytochrome p450],
mitochondrial NADH dehydrogenases, endothelial nitric oxide synthases,
xanthine oxidase yang menyebabkan reaksi oksidasi, sedangkan glutathione
peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase memiliki kemampuan untuk
mendeaktivasi radikal bebas (Vergely, dkk., 2007; Fogli, dkk., 2004).

2.9 Superoksida Dismutase (SOD)
SOD terdapat dalam semua organisme aerob, dan sebagian besar berada
dalam tingkat subseluler (intraseluler). Aktivitas SOD bergantung pada logam Fe,
Cu, Zn, dan Mn (metaloenzim) (Winarsi, 2007). SOD adalah enzim antioksidan
lini pertama yang terlibat langsung dalam netralisasi ROS. SOD melakukan

Universitas Sumatera Utara

pertahanan terhadap radikal bebas dengan mengkatalisis dismutase dari
superoksida anion menjadi hidrogen peroksida dengan reduksi. Oksidan yang
terbentuk diubah menjadi air dan oksigen oleh enzim katalase (CAT) atau
glutathion peroksidase (GPx). Selenoprotein (Ikatan enzim dan kofaktor ion
Selenium) pada enzim GPx akan menghilangkan hidrogen peroksida dengan
menggunakannya untuk mengoksidasi glutathion dehidrogenase (GSH) menjadi
glutathion teroksidasi (GSSG). Glutahion reduktase (GR), yang merupakan enzim
flavoprotein, meregenerasi GSH dari GSSG dengan NADPH sebagai sumber
energi untuk reaksi reduksi. Selain itu, GPx juga mereduksi lipid dan nonlipid
yang terpapar hidrogen peroksida selama proses oksidasi GSH (Ragavendran,
dkk., 2012).

Ada sistem umpan balik antara enzim-enzim endogen tersebut,

peningkatan SOD akan menghambat gluthation peroksidase (GPx) dan katalase
(CAT). Peningkatan H2O2akan menurunkan aktivitas CuZn- SOD. Sementara
CAT dan GPx dengan mereduksi H2O2 akan menghemat SOD. SOD dengan
mereduksi superoksida anion (O2-) akan menghemat CAT dan GPx. Melalui
sistem umpan balik ini tercapailah keadaan SOD, CAT, GPx, O2-, dan H2O2 dalam
keadaan setimbang (Ramadhan, 2015).
Terdapat 3 kelompok SOD berdasarkan adanya logam yang berperan
sebagai kofaktor pada sisi enzim (isoenzim), yaitu Cu/Zn-SOD, Mn-SOD, dan FeSOD.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Mekanisme pertahanan antioksidan endogen Superoksida
dismutase (SOD), Katalase (CAT), Glutation peroksidase (GPx)
dan Glutation Reduktase (GR) terhadap radikal bebas
(Ragavendran, dkk, 2012).
Secara subseluler, isoenzim-isoenzim ini terdistribusi di tempat-tempat yang
berbeda.. Mn-SOD ditemukan dalam mitokondria dan peroksisom, sedangkan
Cu/Zn-SOD ditemukan dalam sitosol, kloroplas, dan beberapa di luar sel tanaman
tingkat tinggi dan Fe-SOD ditemukan berikatan dengan bagian kloroplas
(Winarsi, 2007).

2.10 Histologi
Histologi (Yun. Histo, jaringan, + logos, ilmu) adalah ilmu tentang
jaringan tubuh dan cara jaringan ini menyusun organ-organ. Prosedur paling
umum yang dipakai untuk mengamati jaringan adalah dengan membuat sediaan
histologi yang dapat dipelajari dengan bantuan mikroskop cahaya. Di bawah
mikroskop cahaya, jaringan diamati melalui transiluminasi (berkas cahaya yang

Universitas Sumatera Utara

menembus jaringan). Karena jaringan dan organ biasanya terlalu tebal untuk
ditembus cahaya, jaringan tersebut harus diiris menjadi lembaran-lembaran tipis
yang translusens (Junqueira dan Carneiro, 2003).
Sel-sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel
makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel
hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar
1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus
ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin
dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut
sinusoid hati (Junquiera dan Carneiro, 2003).
Kerusakan sel merupakan akibat dari ketidakmampuan adaptasi sel
terhadap stres atau karena agen perusak. Kerusakan sel dapat berkembang ke
tahap reversibel dan kematian sel. Kerusakan yang berkelanjutan akan
berkembang ke tahap ireversibel dimana sel tidak dapat pulih dan kemudian mati.
Kerusakan reversibel mempunyai dua bentuk utama yaitu pembengkakan sel dan
perubahan lemak. Sedangkan kematian sel dapat berupa nekrosis dan apoptosis
(Kumar, dkk., 2013).

Universitas Sumatera Utara