Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai Terhadap Penggunaan Sistem Pembayaran Non Tunai (Studi Kasus : Pns Di Kabupaten Serdang Bedagai)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pemahaman

2.1.1 Defenisi Pemahaman
Pemahaman adalah proses, perbuatan, cara memahami atau memahamkan
(KBBI, 1993 : 636). Suharsimi (2009 : 118) menyatakan bahwa pemahaman
(comprehension) adalah bagaimana seseorang mempertahankan, membedakan,
menduga

(estimasi),

menggeneralisasikan,

menerangkan,
memberikan

memperluas,


contoh,

menyimpulkan,

menuliskan

kembali,

dan

memperkirakan. Pemahaman (comprehension) mengacu pada proses interpretasi
yang melaluinya konsumen memahami atau merasakan perilaku mereka dan aspek
yang relefan dengan lingkungan mereka.
Menurut Bloom dalam Anderson, at.al (2001), pemahaman dapat di
defenisikan sebagai kemampuan untuk menyerap/menangkap makna dan arti dari
suatu objek yang diberikan. Kemampuan tersebut dapat dinyatakan dengan
menerjemahkan suatu objek (menjelaskan dengan susunan kalimat sendiri dan
meringkas), meramalkan akibat dari suatu kejadian, membuat pikiran tentang
kecenderungan yang terlihat dalam susunan tertentu (seperti grafik, gambar dan

lain-lain), serta menguraikan isi pokok dari suatu objek.
Pemahaman

adalah

usaha

konsumen

untuk

mengartikan

atau

menginterpretasikan stimulus, juga menyebut tahap ini sebagai tahap memberikan
makna kepada stimulus. Makna ini tergantung kepada bagaimana stimulus
diklasifikasikan dalam kaitannya dengan pengetahuan konsumen. Sedangkan

Universitas Sumatera Utara


stimulus itu sendiri diartikan sebagai panca indra yang masuk melalui tindakan
rangsangan, baik itu indra penglihatan, indra peraba maupun indra penciuman dan
lain-lain (Engel, Blackwell & Miniard 1994).
Menurut Bloom dalam Anderson, at.al (2001) ada 7 indikator yang dapat
dikembangkan dalam tingkatan proses kognitif pemahaman yaitu:
a.

Interpreting (interpretasi)
Interpreting (interpretasi) merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri
seseorang untuk dapat menerima pengetahuan/informasi dari objek tertentu
serta mampu menjelaskannya kedalam bentuk lain. Misalnya menjelaskan dari
kata terhadap kata (paraphrase/menguraikan dengan kata-kata), gambar
terhadap kata, kata terhadap gambar, angka terhadap kata, kata terhadap
angka, notasi terhadap nada, dst. Istilah lain dari interpreting (interpretasi)
adalah

menerjamahkan,

menguraikan


kata-kata,

menggambarkan

dan

mengklarifikasikan suatu materi tertentu.
b.

Exemplifying (Mencontohkan)
Exemplifying merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri seseorang
untuk memberikan contoh suatu konsep yang sudah dipelajari dalam proses
pembelajaran. Pemberian contoh terjadi ketika seseorang memberi contoh
yang spesifik dari objek yang masih umum atau prinsip. Pemberian
contoh meliputi identifikasi defenisi, ciri-ciri dari objek
prinsip.

Nama


lain

dari

Exemplifying

general

atau

adalah ilustrasing

(mengilustrasikan).
c.

Classifying (Mengklasifikasikan)

Universitas Sumatera Utara

Clasification (mengklasifikasikan) merupakan suatu kemampuan yang ada

pada seseorang untuk mengelompokkan sesuatu yang berawal dari kegiatan
seseorang yang dikenal pada suatu objek tertentu, kemudian seseorang
tersebut

mampu

menjelaskan

ciri-ciri

dari

konsep

tersebut,

dan

mengelompokkan sesuatu berdasarkan ciri-ciri yang sudah ditemukan oleh
seseorang tersebut. Klasifikasi meliputi bagian kegiatan mencari ciri-ciri

yang relevan atau mencari sebuah pola. Klasifikasi merupakan sebuah
pelengkap proses exampliying. Bentuk alternatif dari mengklasifikasi ini
adalah menggolongkan dan mengkategorikan.
d.

Summarizing (Meringkas)
Summarizing merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri seseorang
untuk mengembangkan pernyataan yang mampu menggambarkan isi
informasi/tema secara keseluruhan berupa ringkasan/resume atau abstrak.
Meringkas meliputi kegiatan penyusunan gambaran informasi, seperti arti
pengertian dari suatu adegan dan menyimpulkan dari bentuk tersebut seperti
menemukan tema. Alternatif bentuk ini adalah generalisasi atau abstrak.

e.

Inferring (Menyimpulkan)
Inferring merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri seseorang untuk
menemukan sebuah pola dari suatu gambaran materi yang diberikan.
Aktivitas ini merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatan membuat resume atau
abstraksi dari materi tertentu dengan ciri-ciri yang relevan serta dapat

hubungan yang jelas antara keduanya. Pengambilan keputusan terjadi ketika
seseorang mampu mengihtisarkan suatu objek.

Universitas Sumatera Utara

f.

Comparing (Membandingkan)
Comparing (membandingkan) merupakan suatu kemampuan yang ada
pada diri seseorang untuk mendeteksi persamaan dan perbedaan antara dua
objek atau lebih, kejadian, ide, masalah, atau situasi seperti menentukan
bagaimana kejadian itu dapat terjadi dengan baik. Mencari satu persatu
hubungan antara satu elemen dengan pola dalam satu obyek, peristiwa, atau
ide dilain objek, peristiwa atau ide juga termasuk kedalam tahap
membandingkan.

Nama

lain


dari

Comparing

adalah

membedakan,

menyesuaikan, mapping.
g.

Explaining (Menjelaskan)
Merupakan suatu kemampuan yang ada pada diri seseorang agar seseorang
tersebut dapat mengembangkan dan menggunakan sebuah penyebab atau
pengaruh dari objek yang diberikan. Nama lain dari Explaining adalah
menjelaskan pengembangan sebuah objek model pembelajaran. Menjelaskan
terjadi ketika seseorang mampu membangun dan
sebab

akibat


dalam

suatu

menggunakan

model

sistem. Model mungkin diperoleh dari teori

formal atau mungkin dalam penelitian atau percobaan.
2.1.2

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemahaman
Menurut Peter dan Olson (2000 : 118-120), ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kedalaman dalam perincian suatu pemahaman yang muncul ketika
konsumen menerjemahkan informasi pemasaran yaitu, pengetahuan dalam ingatan,
keterlibatan dan lingkungan Ekposur. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.

Pengetahuan dalam ingatan

Universitas Sumatera Utara

Kemampuan memahami informasi pemasaran sebagian besar ditentukan oleh
pengetahuan yang ada dalam ingatan konsumen saat ini. Pengetahuan, arti
dan kepercayaan yang diaktifkan pada suatu situasi pemahaman menentukan
tingkatan pemahaman yang akan terjadi serta arti dipahami yang akan
muncul. Periset pemasaran sering mendiskusikan pengetahuan konsumen
dalam konteks kecakapan (expertise) atau keakraban tentang pengetahuan
produk. Konsumen yang cakap cukup akrab dengan kategori produk, bentuk
produk, dan merek tertentu. Mereka cenderung memiliki sejumlah besar
pengetahuan

prosedural

dan

pengetahuan

yang

menjelaskan,

yang

diorganisasi dalam skema dan tulisan. Sebaliknya, konsumen yang awam
hanya memiliki sedikit pengalaman atau keakraban dengan suatu produk.
2.

Keterlibatan
Keterlibatan dalam konsumen pada saat eksposur terjadi memiliki pengaruh
besar terhadap motivasi memahami informasi pemasaran. Konsumen dengan
relevansi-relevansi pribadi intrinsik yang tinggi atas produk tertentu
mengasosiasikan produk tersebut dengan konsekuensi yang relevan pada
pribadinya serta nilai pokok bagi konsep pribadi mereka. Keterlibatan dialami
ketika struktur pengetahuan yang relevan pada pribadinya diaktifkan dan
memotivasi konsumen untuk memproses informasi dalam tingkat kesadaran
yang lebih tinggi, lebih intensif, dan terkontrol.

3.

Lingkungan Eksposur
Berbagai aspek pada situasi atau lingkungan saat terjadinya eksposur dapat
mempengaruhi kesempatan memahami informasi pemasaran seoarang

Universitas Sumatera Utara

konsumen. Termasuk di dalamnya faktor-faktor seperti tekanan waktu, status
pengaruh konsumen (suasana hati yang baik atau buruk), dan gangguan
(kebisingan, kerumunan yang saling dorong).
2.1.3 Variasi Pemahaman
Menurut Peter dan Olson (2000 : 114-116), proses pemahaman konsumen
dapat berbeda dalam empat hal yang penting: (1) pemahaman dapat terjadi secara
otomatis atau terkontrol, (2) dapat menghasilkan arti yang lebih nyata atau lebih
abstrak, (3) dapat menghasilkan sedikit atau banyak arti, dan (4) dapat
menciptakan ingatan yang lebih lemah atau lebih kuat.
1.

Pemprosesan Otomatis (Automatic Processing)
Proses pemahaman yang sederhana cenderung terjadi secara otomatis. Kita
dapat berpikir bahwa pengenalan langsung produk yang telah akrab sebagai
suatu proses pemahaman sederhana dalam hal eksposur pada rangsangan yang
telah akrab secara otomatis mengaktifkan arti yang relefan dari ingatan,
mungkin namanya atau pengetahuan lain yang terkait. Oleh karena itu, orang
tersebut “mengenali”

rangsangan yang datang. Sebaliknya, pemahaman

rangsangan yang kurang dikenali biasanya membutuhkan adanya kontrol.
Karena konsumen tidak memiliki struktur pengetahuan yang telah berkembang
dengan baik untuk suatu objek atau kejadian yang kurang akrab, mereka harus
lebih jernih dalam pembangunan arti informasi tersebut (atau dengan sadar
mengabaikannya). Eksposur pada rangsangan yang benar-benar tidak dikenali
cenderung mengaktifkan struktur pengetahuan yang paling maksimal, hanya
relefan sebagian saja.

Universitas Sumatera Utara

2.

Tingkat (Level)
Arti khusus yang dibangun konsumen untuk mewakili produk dan informasi
pemasaran lain dalam lingkungan tergantung pada tingkat pemahaman yang
muncul selama interpretasi. Pemahaman dapat beragam di sepanjang garis
kontinum dari “dangkal” hingga “dalam” pemahaman dangkal menghasilkan
arti pada tingkat yang nyata dan berbentuk. Sebaliknya, pemahaman yang dalam
menciptakan arti yang lebih abstrak yang mewakili konsep yang kurang nyata,
lebih subjektif dan lebih simbolis. Dari sudut pandang arti akhir, proses
pemahaman yang lebih dalam menciptakan arti yang terkait pada produk yang
lebih relefan secara pribadi, sementara proses pemahaman yang dangkal
cenderung menciptakan arti tentang ciri nyata.

3.

Perincian (Elaboration)
Tingkat perincian selama proses pemahaman menentukan jumlah pengetahuan
atau arti yang dihasilkan, di samping tingkat kerumitan hubungan antar arti
tersebut. Pemahaman dengan sedikit rincian (sederhana) menghasilkan arti
yang relatif sedikit dan hanya membutuhkan sedikit upaya kognitif, kontrol dan
kapasitas kognitif. Pemahaman terinci membutuhkan kapasitas kognitif lebih
besar, upaya, dan kontrol pada proses berfikir. Pemahaman yang terinci
menghasilkan jumlah arti yang lebih banyak dan cenderung diorganisasi sebagai
struktur pengetahuan yang lebih rumit.

4.

Keteringatan (Memorability)
Tingkat dan perincian proses pemahaman mempengaruhi kemampuan
konsumen untuk mengingat arti yang diciptakan pada saat pemahaman terjadi.

Universitas Sumatera Utara

Proses pemahaman yang lebih dalam menciptakan lebih banyak abstaraksi,
lebih banyak arti berelevansi pribadi yang cenderung diingat dengan lebih
banyak (tingkat ingatan dan pengenalan yang lebih tinggi) ketimbang arti lebih
nyata yang dihasilkan oleh proses pemahaman yang dangkal. Proses
pemahaman terinci menciptakan jumlah arti yang lebih besar dan cenderung
disalinghubungkan dalam srtuktur pengetahuan. Ingatan diperkuat karena
pengaktifan suatu arti dapat menyebar pada arti yang berhubungan dan
membawanya pada suatu kesadaran.
Gambar 2.1
Variasi Pemahaman
PEMPROSESAN OTOMATIS
Sangat Otomatis

Lebih terkontrol

Kurang disadari

Kesadaran yang Tinggi

TINGKAT
Dangkal:
Fokus pada arti yang
nyata dan berbentuk

Dalam:
Fokus pada arti yang
lebih abstrak

PERINCIAN
Kurang dirinci;

Lebih rinci;

Arti lebih sedikit

Arti lebih banyak

KETERINGATAN
Sulit diingat;

Mudah diingat

Daya ingat lemah

Daya ingat kuat

Sumber : Peter dan Olson (2000)

2.1.4

Kesimpulan pada saat Pemahaman
Ketika konsumen terlibat dalam proses pemahaman yang dalam rinci,

Universitas Sumatera Utara

mereka menciptakan kesimpulan. Kesimpulan adalah pengetahuan atau kepercayaan
yang tidak didasarkan pada informasi eksplisit di lingkungan. Penyimpulan memiliki
peran yang besar dalam penyusunan dalan rantai arti akhir. Dengan melakukan
penyimpulan selama pemahaman, konsumen dapat menghubungkan arti ciri fisik
suatu produk dengan arti yang lebih abstrak tentang konsekuensi fungsioanalnya,
dan bahkan mungkin konsekuensi psikososial serta nilai dari pengunaan produk
(Peter dan Olson 2000 : 117).
Penyimpulan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang ada dalam ingatan
konsumen saat ini. Jika diaktifkan selama pemahaman, pengetahuan yang relefan
dapat menjadi dasar untuk membentuk kesimpulan. Konsumen sering menggunakan
ciri produk yang nyata dan bentuk sebagai arahan dalam membuat kesimpulan
tentang ciri, konsekuensi, dan nilai yang abstrak. Dalam situasi yang sangat akrab,
penyimpulan dapat dibuat secara otomatis tanpa membutuhkan kesadaran penuh.
2.2

Sitem Pembayaran
Menurut Aulia Pohan (2011 : 71), sistem pembayaran adalah suatu sistem

yang melakukan pengaturan kontrak, fasilitas pengoperasian dan mekanisme teknis
yang digunakan untuk penyampaian, pengesahan, dan penerimaan instruksi
pembayaran, serta pemenuhan kewajiban pembayaran yang dikumpulkan melalui
pertukaran “nilai” antar perorangan, bank dan lembaga lainnya baik domestik
maupun antar negara (cross border).
Sistem pembayaran telah mengalami evolusi selama beberapa abad, sejalan
dengan perubahan hakikat/sifat dan penggunaan uang sebagai alat pembayaran.
Dengan semakin majunya teknologi dan adanya kebutuhan akan alat pembayaran

Universitas Sumatera Utara

yang praktis dan murah, dibeberapa negara telah mulai dikembangkan produk
pembayaran elektronis yang dikenal sebagai Electronic Money (e-money) (Pramono
dkk, 2006 : 3).
Penetapan kebijakan sistem pembayaran umumnya mengacu pada prisipprinsip dasar yang berlaku umum. Ada tiga prinsip dasar yang dipegang oleh
lembaga yang mengendalikan sistem pembayaran yaitu bagaimana meminimalisasi
resiko (risk resuction), bagaimana sebuah sistem pembayaran dapat meningkatkan
efisiensi, prinsip kesetaran dan prinsip perlindungan konsumen (consumer
protection) (Pohan, 2001 : 72-73).
Adapun komponen-komponen yang membentuk sistem pembayaran adalah
sebagai berikut (Untoro dkk, 2014 : 8-9).
1. Kebijakan: merupakan dasar pengembangan sistem pembayaran di suatu
negara. Kebijakan di berbagai negara sangat bervariasi, mengingat masingmasing negara mempunyai sejarah, karakteristik, dan kebutuhan akan sistem
pembayaran yang berbeda-beda.
2. Hukum (aturan): menjamin adanya aspek legalitas dalam penyelengaraan
sistem pembayaran. Hukum ini meliputi UU dan peraturan-peraturan yang
mengatur aturan main berbagai pihak yang terlibat, misalnya antarbank, antar
bank dan nasabah, antarbank dan bank sentral dan lain-lain.
3. Kelembagaan: merupakan seluruh lembaga (entensitas) yang terlibat dalam
sistem pembayaran
4. Instrumen pembayaran:

merupakan

media

yang

digunakan dalam

pembayaran.

Universitas Sumatera Utara

5. Mekanisme operasional: merupakan mekanisme yang diperlukan untuk
melakukan perpindahan dana dari suatu pihak ke pihak lain. Contoh
sistem/mekanisme operasional antar lain kliring, sistem transfer antarbank,
dan settlement.
6. Infrastruktur: meliputi berbagai komponen teknis untuk memproses dan
melakukan transfer dana seperti massage format, jaringan komunikasi,
sistem back-up, disaster recovery plan, dan lain-lain.
Semua komponen memegang peranan penting dalam terselengaranya sistem
pembayaran yang aman, handal dan efisien. Namun komponen yang paling
mendasar dan prasyarat utama demi terselengaranya sistem pembayaran adalah
interumen pembayaran.
Secara garis besar sistem pembayaran dibagi menjadi dua jenis, yaitu sistem
pembayaran bernilai besar (Large Value Payment System) dan sitem pembayaran
retail (Retail Payment System) (Untoro dkk, 2014 : 9-10).
1. Large Value Payment System
Sistem pembayaran bernilai tinggi biasanya menangani transaksi bernilai
tinggi dan berisiko tinggi yang memerlukan penyelesaian cepat dan aman
seperti transaksi pasar uang antar bank, transaksi pasar modal, valuta asing,
pembayaran kepada pemerintah (misalnya pajak pendapatan pajak), dan
transfer antar-rekening Bank Indonesia. Hal ini biasanya dicapai melalui
mekanisme penyelsaian real-time, seperti sistem Real Time Gross Settlement
(BI-SSSS) (Titiheruw dkk, ABDI : 2009). BI-RTGS diperkenalkan pada
tahun 2000 dan dirancang serta dioperasikan oleh Bank Indonesia. BI-RTGS

Universitas Sumatera Utara

dikategorikan sebagai sistem pembayaran sistematis penting yang menjamin
kelancaran fungsi ekonomi dan sistem keungan yakni suatu sistem transfer
dana elektronik yang memungkinkan penyelesaian real-time transaksi
individual. Sekitar 95% dari penyelesaian transaksi keuangan dilakukan
melalui sistem BI-RTGS. Sementara itu, pada bulan Februari 2004, sebagai
registri pusat untuk obligasi pemerintah, Bank Indonesia memperkenalkan
BI-SSSS yang menyediakan fasilitas bagi pelaku pasar keuangan untuk
melakukan transaksi dengan Bank Indonesia, seperti pendanaan untuk bank,
dan perdagangan di SBI dan Sun. BI-SSSS adalah sistem registri otomatis
terintegrasi yang menghubungkan Bank Indonesia dengan sub-pendaftar
dengan klien lainnya secara langsung.
2. Retail payment System (low-value payment system)
Sistem pembayaran ini sama penting dengan sistem pembayaran bernilai
besar dalam hal pemberian kontribusi, baik stabilitas maupun efisiensi sistem
keseluruhan. Sistem pembayaran ritel biasanya digunakan untuk sebagian
besar pembayaran yang bernilai rendah dan penyelesaiannya biasanya
dilakukan melalui mekanisme kliring.
Salah satu komponen penting dalam sistem pembayaran adalah instrument
(media) yang digunakan. Di Indonesia instrument sistem pembayaran dibagi dalam
dua bagian, yaitu instrument tunai dan instrumen non tunai (Mulyati dan Ascarya,
2003 : 35-44).
1. Instrument Pembayaran Tunai
Instrument pembayaran tunai menggunakan mata uang yang berlaku di

Universitas Sumatera Utara

Indonesia yaitu rupiah, yang terdiri dari atas uang logam dan uang kertas.
Masyarakat Indonesia masih menggunakan instrument ini, khususnya untuk
transaksi pembayaran ritel (low-value payment).
2. Instrument Pembayaran Non Tunai
Di Indonesia pembayaran non tunai disediakan terutama oleh sistem
perbankan, yang terdiri dari intrumen berbasis warkat, intrumen berbasis
kartu, intrumen melalui kantor pos, dan interumen berbasis internet/telepon.
2.2.1

Peran Sistem Pembayaran dalam Perekonomian
Peran sistem pembayaran dalam perekonomian semakin hari semakin

penting, seiring dengan semakin meningkatnya volume dan nilai transaksi, serta
sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi. Dengan semakin meningkatnya
transaksi tersebut, maka risiko yang ditimbulkan menjadi semakin besar karena
dengan terganggunya sistem pembayaran dapat membahayakan stabilitas sistem dan
pasar keuangan secara keseluruhan (Mulyati dan Ascarya, 2003 :4).
Menurut Sheppard 1996 (dalam Mulyati dan Ascarya, 2003 : 5), peran
penting sistem pembayaran dalam perkonomian adalah sebagai berikut :
a. Sebagai elemen penting dalam infrastruktur keuangan suatu perekonomian
untuk mendukung stabilitas keungan.
b. Sebagai channel (saluran) penting dalam pengendalian ekonomi yang efektif,
khusunya melalui kebijakan moneter.
c. Sebagai alat untuk mendorong efisiensi ekonomi.
Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa peranan sistem pembayaran
penting dalam suatu perekonomian, yaitu menjaga stabilitas keungan dan perbankan,

Universitas Sumatera Utara

sebagai sarana transmisi kebijakan moneter, serta sebagai alat untuk meningkatkan
efisiensi ekonomi suatu negara (Mulyati dan Ascarya, 2003 : 5).
2.2.2

Sistem Pembayaran Non Tunai
Alat pembayaran non tunai sudah berkembang dan semakin lazim dipakai

masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita bahwa jasa pembayaran
non tunai yang dilakukan bank maupun lembaga selain bank (LSB), baik dalam
proses pengiriman dana, penyelengaraan kliring maupun sistem penyelesaian
akhir (settlement) sudah tersedia dan dapat berlangsung di Indonesia. Transaksi
pembayaran non tunai dengan nilai besar diselenggarakan Bank Indonesia
melalaui sistem BI-RTGS (Real Time Gross Settlement) dan Sistem Kliring.
Sebagai informasi, sistem BI-RTGS adalah muara seluruh penyelesaian transaksi
keungan di Indonesia (Bank Indonesia, 2011).
Transaksi pembayaran non tunai dengan nilai yang besar diselenggarakan
Bank Indonesia melalui sistem BI-RTGS (Real Time Gross Settlement) dan sistem
kliring. Hampir 95% transaksi keuangan nasioanal bernilai besar dan bersifat
mendesak. Contohnya, transaksi di Pasar Uang Antar Bank (PUAB), transaksi di
bursa saham, transaksi pemerinah, transaksi valuta asing, serta settlement hasil
kliring dilakukan melalui sistem BI-RTGS. Pada tahun 2010, misalnya, BI-RTGS
telah melakukan transaksi sedikitnya Rp. 174,3 triliun per hari. Sementara itu,
sebagai perbandingan, transaksi

non tunai dengan Alat

Pembayaran

Menggunakan Kartu (APMK) dan uang elektronik yang dilakukan bank atau
lembaga keuangan bukan bank hanya sekitar Rp. 8,8 triliun per hari (Bank
Indonesia, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Mengingat pentingnya peran BI-RTGS dalam sistem pembayaran
nasional, maka kontinuitas dan stabilitasnya harus dijaga. Jika sesaat saja sistem
BI-RTGS mengalami gangguan, maka akan sangat mengganggu kelancaran dan
stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Bank Indonesia sangat peduli dalam
menjaga stabilitas BI-RTGS yang dikategorikan sebagai Sistemically Important
Payment System (SIPS). SIPS adalah sistem yang memeproses transaksi
pembayaran bernilai besar dan bersifat mendesak. Selain SIPS, dikenal pula
System Wide Important Payment System (SWIPS), yaitu sistem yang digunakan
oleh masyarakat luas. Sistem Kliring dan APMK termasuk dalam kategori SWIPS
ini. Bank Indonesia juga peduli dengn SWIPS karena sistem ini digunakan secara
luas oleh masyarakat. Jika terjadi gangguan, maka kepentingan masyarakat dalam
melakukan pembayaran akan terganggu (Bank Indonesia, 2011).
Bank Indonesia tidak hanya peduli pada terciptanya efisiensi dalam sistem
pembayaran, tetapi juga kesetaraan akses dan perlindungan konsumen.
Terciptanya efisiensi sistem pembayaran berarti memberi kemudahan bagi
pengguna untuk memilih metode pembayaran yang dapat diakses di seluruh
wilayah dengan biaya serendah mungkin. Kesetaraan akses berarti Bank Indonesia
memperhatikan penerapan asas kesetaraan dalam penyelenggaraan sistem
pembayaran. Sementara itu aspek perlindungan konsumen dimaksudkan Bank
Indonesia mewajibkan penyelenggara sistem pembayaran non tunai untuk
megadopsi asas-asas perlindungan konsumen secara wajar dalam penyelenggaran
sistemnya (Bank Indonesia, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Jenis-jenis Pembayaran Non Tunai
Menurut Aulia Pohan (2011 : 57-58), alat pembayaran non tunai dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu alat pembayaran untuk credit transfer
dan alat pembayaran untuk debit Transfer.
1. Credit Transfer adalah perintah pembayaran untuk tujuan penempatan
dana dari pengiriman ke penerima melalui alur transfer dana dari bank
pengirim ke bank peenerima dan dimungkinkan melalui bank lain sebagai
perantara.
2. Debit Transfer adalah sitem transfer dana di mana perintah transfer dibuat
atau diotorisasi oleh pihak yang memiliki dana dan akan melakukan
pengirim dana tersebut kepada pihak lain.
Tabel 2.1
Perbandingan Alat Pembayaran
Credit Transfer
Paper Based

Card Based

Dulu ada nota kredit
(sebelum
diterapkan
SKNBI)

-

Kartu ATM
Kartu ATM
dan Debet
Kartu Kredit
Kartu
Prabayar (emoney)

Electronic Based
-

Transfer kredit
via RTGS dan
SKNBI
Server based
e-money

Debit
TPaperf
- Cek
- BG
- Nota
Debit lain

Sumber : (Pohan, 2011 : 58)

Alat pembayaran non tunai yang ada saat ini terdiri dari berbagai jenis
seperti berikut ini (Mulyati dan Ascarya, 2003 : 38-44).
1. Instrument berbasis warkat (paper based payment system)
a. Cek adalah surat perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah
uang tertentu.
b. Bilyet Giro adaalah surat perintah dari nasabah kepada bank

Universitas Sumatera Utara

penyimpanan dana unuk memindahbukukan (tidak berlaku untuk
penarikan tunai) sejumlah dana dari rekening pemegang saham yang
disebutkan namanya.
c. Nota Debit adalah warkat yang digunakan untuk menagih dana pada
bank lain untuk keuntungan bank atau nasabah bank yang
menyampaikan waktu tersebut.
d. Nota Kredit adalah warkat yang digunakan untuk menyampaikan
dana pada bank lain untuk keuntungan bank atau nasabah bank yang
menerima warkat tersebut.
e. Wesel Bank untuk Transfer adalah wesel yang diterbitkan oleh bank
khusus untuk sarana transfer.
f. Surat bukti penerimaan adalah surat bukti penerimaan transfer dari
luar kota yang dapat ditagihkan kepada bank penerima dana transfer
melalui kliring lokal.
2. Instrument berbasis kartu (card-based payment system)
Dalam perkembangnnya terdapat jenis kartu yang dananya telah tersimpan
dalm chip elektronik pada kartu tersebut (dikenal sebagai smart card atau
chip card), seperti kartu telepon prabayar, kartu kredit, kartu ATM, dan kartu
Debit.
3. Instrumen melalui kantor pos
Instrumen melalui kantor pos yang cukup penting yang disediakan oleh
lembaga keuangan bukan bank (PT. POS INDONESIA) adalah giro pos dan
pos wesel, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Universitas Sumatera Utara

4. Instrumen Berbasis Internet/Telepon
Jasa electronic bangking melalui internet dan/atau telepon telah disediakan
oleh sejumlah bank besar sejak pertengahan 1999. Penggunaan instrument
berbasis internet untuk melakukan transaksi yang memerlukan verifikasi
pengaman seperti PIN dan password.
2.2.4

Fungsi dan Tujuan Sistem Pembayaran Non Tunai
Alat pembayaran dengan menggunakn kartu (APMK) yang banyak dipakai

oleh masyarakat merupakan bagian integral dari sistem pembayaran elektronik.
Penggunaan alat pembayaran ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi
berbagai sektor perekonomian, karena pada umumnya transaksi yang menggunakan
sistem pembayaran elektronis berbiaya hanya anatara sepertiga sampai separuh dari
transaksi yang menggunakan sistem pembayaran berbasis kertas, sehingga
penghematan substansial dalam pengeluaran dapat direalisasi melalui perubahan
sistem dari yang berbasis

kertas ke sistem yang bersifat elektronis dan dapat

menstimulus pertumbuhan ekonomi (Hancock dan Humphrey : 1998).
2.2.5

Manfaat dan Resiko Penggunaan Pembayaran Non Tunai
Menurut Warjiyo (2006 : 24), alat pembayaran non tunai memberikan

manfaat kepada perekonomian antara lain :
a. Tingkat kepuasan konsumen yang semakin bertambah dengan berkurangnya
biaya transaksi.
b. Adanya sumber pendapatan bagi penyedia jasa pembayaran non tunai.
c. Peningkatan kecepatan transaksi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat
kesejahteraan.

Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi pengguuaan sarana pembayaran elektronik tersebut dapat
meningkatkan risiko pada perekonomian dan sistem pembayaran, antar lain
(Warijoyo, 2006 : 24).
a. Peningkatan risiko default terutama pada intrumen kartu kredit (dan kartu
pasca bayar). Hal tersebut dapat menimbulakn risiko sistemik dalam
penyelesaian pembayaran antar bank.
b. Peningkatan risiko teknologi informasi yang dapat menimbulakn kekeliruan
maupun kecurangan dalam proses penyelesaian transaksi.
c. Peningkatan risiko instabilitas sistem keungan.
2.3

Peran Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian

2.3.1

Indikator Perkembangan Sistem Pembayaran Non Tunai di Indonesia
Meskipun sejauh

ini

belum

banyak

terdapat

indikator

pengukur

perkembangan alat pembayaran non tunai yang secara resmi digunakan di Indonesia,
tetapi secara umum pengukuran perkembangan pembayaran non tunai dilakukan
dengan menggunakan tiga indikator yaitu indikator perkembangan volume transaksi
alat pembayaran non tunai, rasio antara konsumsi swasta terhadap uang kartal di
masyarakat dan rasio uang tunai terhadap M1 (Hidayat dkk, 2006 : 19-20).
Perkembangan sistem pembayaran di Indonesia secara umum sudah
mengarah ke sistem pembayaran non tunai. Hal tersebut tercermin dari transaksi
nilai besar (high value) dan transaksi nilai kecil (retail) yang dilakukan melalui
sarana Bank Indonesia Real Time Gross Setlement (BI-RTGS), dan kliring yang
mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun (Hidayat dkk, 2006 :
20).

Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, tren yang sama juga terjadi dengan penyelesaian transaksi
melalui mekanisme kliring. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan transaksi
kliring adalah penerapan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang
dapat mengakomodir kebutuhan pelaksanaan transfer kredit antar bank ke seluruh
wilayah Indonesia tanpa kewajiban melakukan pertukaran fisik warkat (paperless)
(Hidayat dkk, 2006 : 20).
Selain BI-RTGS dan kliring, perkembangan pembayaran non tunai juga
dapat diindikasikan dengan perkembangan alat pembayaran dengan menggunakan
kartu (APMK). Kegiatan APMK merupakan aktifitas penggunaan instrument
pembayaran menggunakan kartu seperti kartu ATM, kartu kredit, kartu debit
maupun kartu prabayar (e-money). Perkembangan transaksi APMK mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu baik dari sisi volume dan nilai transaksi.
Perkembangan tersebut diprediksikan terus berlangsung sejalan dengan semakin
berkembangnya fasilitas dan fungsi AMPK (Hidayat dkk, 2006 : 21).
Sejalan dengan perkembangan teknologi, aktifitas pembayaran non tunai
yang dicerminkan dari berbagai alat pembayaran kartu diatas baik dilihat dari nilai
maupun jumlah transaksi menunjukkan peningkatan sejak tahun 1999 hingga 2005.
Total volume dan nilai transaksi APMK meningkat dari 33 juta transaksi dengan
nilai sebesar Rp. 6,4 triliun pada awal 1999 menjadi 86 juta transaksi senilai Rp. 65
triliun pada bulan Juli 2005 (Hidayat dkk, 2006 :22).
2.3.2 Peranan Perkembangan Alat Pembayaran Non Tunai Terhadap
Perekonomian dan Kebijakan Moneter
1.

Peranan Pembayaran Non Tunai terhadap Perekonomian

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan pembayaran non tunai berpotensi untuk dapat memberikan
manfaat atau meningkatan kesejahteraan masyarakat melalui beberapa cara yakni :
mengurangi opportunity cost masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat
melalui pendapatan bunga dan fee base income dan pembiayaan tanpa bunga yang
diterima bank atau penerbit APMK, mendorong kenaikan tingkat konsumsi dan
velocity of money serta mendorong aktifitas sektor rill dan pertumbuhan ekonomi
(Hidayat dkk, 2006 :24).
2.

Pengaruh Pembayaran Non Tunai terhadap Kebijakan Moneter
Pengaruh inovasi dalam alat pembayaran non tunai dapat menimbulkan

komplikasi dalam penggunaan target kuantitas dalam pengendalian moneter.
Perkembangan alat pembayaran non tunai menggunakankartu seperti kartu ATM
dan kartu debit dengan tabungan sebagai underlying-nya dapat berimplikasi pada
konsep perhitungan uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2).
Hal ini terjadi karena pengesahan fungsi tabungan dari simpanan yang tidak dapat
ditarik sewaktu-waktu (M2) menjadi jenis simpanan yang dapat ditarik sewaktuwaktu sebagaimana halnya simpanan giral (M1) (Hidayat dkk, 2006 : 25).
2.4

Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkenaan dengan penelitian

yang dilakukan oleh penulis, beberapa penelitian tersebut yaitu :
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
No
1.

Peneliti
Afrizal

Judul Penelitian
Analisis

Faktor

Hasil Penelitian

yang Dari segi preferensi faktor terbesar yang

Universitas Sumatera Utara

Yudhistira P

Mempengaruhi Preferensi mempengaruhi

preferensi

responden

dan Aksebilitas Terhadap terhadap penggunaan kartu pembayaran
Penggunaan

Kartu elektronik adalah manfaat yang diperoleh

Pembayaran Elektronik

dalam pengggunaan kartu pembayaran
eletronik.

Dan segi aksebilitas pada

penelitian ini menunjukkan bahwa faktor
terbesar

yang

memepengaruhi

adalah

informasi terhadap penggunaan teknologi
dalam kartu elektronik.
2.

Rahman

Helmi Analisis

dan
Mubarak

Zaki yang

Faktor-faktor Sebagian besar responden (93 persen)
mempengaruhi sudah

Masyarakat
Selatan

memanfaatkan

sistem

Kalimantan pembayaran non tunai. Motivasi utama
Terhadap responden dalam penggunaan instrumen

Penggunaan Pembayaran non
Non Tunai

pernah

tunai

secara

berturut

adalah

kemudahan, tidak repot membawa uang
tunai, dan transaksi aman. Pengalaman
masyarakat dalam menggunakan intrumen
non tunai bisa dikatakan kurang baik.

3.

Amena Kristiani Analisis
Sitanggang

Pemahaman
Terhadap

Tingkat Nasabah

hanya

memahami

beberapa

Masyarakat produk keuangan. Hal ini dapat dilihat dari
Produk banyaknya

responden

yang

lebih

Keuangan di Deli Serdang memahami produk-produk yang banyak
digunakan

dalam

keseharian.

Universitas Sumatera Utara

Dalam

meningkatkan
terhadap

pemahaman

produk

masyarakat

keuangan

yang

ditawarkan perbankan, bank masih kurang
melakukan sosialisasi terhadap produkproduk yang mereka miliki, sehingga
masyarakat kurang memahami produk
yang ada.
4.

Ikaputera

Percepatan Adopsi Sistem Adopsi e-money pengguna dipengaruhi

waspada

Transaksi
Informasi

Teknologi oleh

persepsi

manfaat,

kemudahan

Untuk bertransaksi, kecukupan informasi dan

Meningkatkan Aksebilitas tingkat
layanan jasa Perbankan

keamanan

dan

privasi

dan

kesenangan bertansaksi masih dirasakan
rendah. Adopsi e-money pada kelompok
dunia usaha masih rendah dan merchant
yang belum menerima e-money sebagai
alat transaksi karena lebih menyukai
transaksi tunai, belum tahu prosedur,
Merepotkan dan pengguna masih terbatas.
Adopsi

e-money

pada

masyarakat

dilakukan dengan cara memperluas daya
jangkau merchant dan pengembangan
teknologi.
Sumber : Peneliti

Universitas Sumatera Utara

2.5

Kerangka Konseptual
Perbankan sebagai lembaga intermediasi yang merupakan tempat dimana

transaksi pembayaran dilakukan baik tunai maupun non tunai, tetapi seiring
perkembangan zaman yang semakin maju maka kinerja bank dituntut untuk
mengikuti kemajuan tersebut. Sehingga penggunaan pembayaran non tunai
semakin bergeser ke pembayaran non tunai, dimana sebelumnya dikenal paper
based payment (cek dan giro), sekarang dikenal lagi sistem pembayaran non cash
yaitu : electronic payment system, karu kredit, kartu debit, ATM dan e-money.
Tujuan dari diterbitkannya electronic payment system adalah untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas, keamanan serta menghemat waktu. Perbankan
mempromosikan produknya ini kepada masyarakat, sedangkan masyarakat sendiri
memerlukan proses dalam pengambilan keputusan, apakah ia akan menggunakan
sistem pembayaran tunai atau non tunai
Berdasarkan penelitian yang merujuk pada teori pemahaman menurut
Bloom dalam Anderson, at. al (2001) bahwa proses pemahaman sangat penting
dalam memahami suatu objek yang sebagian besar bersifat abstrak. Adapun
pemahaman yang akan diukur dalam penelitian ini adalah interpretasi
(interpreting), mencontohkan (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying),
inferensi (inferring), membandingkan (comparing), menjelaskan (explaining).
Dengan demikian dibawah ini dapat dirumuskan kerangka pikir penelitian

Universitas Sumatera Utara

Tingkat Pemahaman
Masyarakat

Interpreting
(interpretasi)

Exemplifying
(Mencontohkan)

Classifying
(Mengklasifikasikan)

Inferring
(Menyimpulkan)

Comparing
(Membandingkan)

Explaining
(Menjelaskan)

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Konflik Pemekaran Wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus:Konflik Horisontal yang Bersifat Laten di Desa Pagar Manik, Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai)

8 84 101

Implementasi Graph Coloring Dalam Pemetaan Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

2 35 85

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara Terhadap Penggunaan Pembayaran Non Tunai

3 55 95

Evaluasi Rancangan Bendung Daerah Irigasi Belutu Kabupaten Serdang Berdagai

29 164 148

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai Terhadap Penggunaan Sistem Pembayaran Non Tunai (Studi Kasus : Pns Di Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 12

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai Terhadap Penggunaan Sistem Pembayaran Non Tunai (Studi Kasus : Pns Di Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 2

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai Terhadap Penggunaan Sistem Pembayaran Non Tunai (Studi Kasus : Pns Di Kabupaten Serdang Bedagai)

1 2 5

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai Terhadap Penggunaan Sistem Pembayaran Non Tunai (Studi Kasus : Pns Di Kabupaten Serdang Bedagai) Chapter III V

0 0 50

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai Terhadap Penggunaan Sistem Pembayaran Non Tunai (Studi Kasus : Pns Di Kabupaten Serdang Bedagai)

0 1 3

Analisis Tingkat Pemahaman Masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai Terhadap Penggunaan Sistem Pembayaran Non Tunai (Studi Kasus : Pns Di Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 24