Konflik Pemekaran Wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus:Konflik Horisontal yang Bersifat Laten di Desa Pagar Manik, Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai)

(1)

Konflik pemekaran wilayah di kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus:Konflik Horisontal yang bersifat laten di desa Pagar Manik, kecamatan Silinda kabupaten

Serdang Bedagai)

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial dalam bidang studi Ilmu Politik

Disusun oleh,

ROMA INDAH LINGGA 070906015

Dosen Pembimbing :Drs.Ahmad Taufan Damanik,MA Dosen Pembaca :Prof.Subhilhar,Phd

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala pertolongan dan berkatNya lah penulis dapat memulai, menjalani dan mengakhiri masa perkuliahan di jurusan Ilmu Politik FISIP USU dan atas persetujuannya juga lah penulis dapat menelesaikan penulisan skripsi ini.

Adapun judul skripsi ini adalah KONFLIK AKIBAT PEMEKARAN WILAYAH (Studi Kasus:Konflik Horisontal yang bersifat laten di desa Pagar Manik Kecamatan Silinda Kabupaten Serdang Bedagai).

Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua penulis ayah St.Osmar Lingga dan ibu Sy.R Girsang yang penulis banggakan dan selalu setia mendukung ,membimbing , menguatkan dan selalu berusaha mencukupi kebutuhan penulis selama masa perkuliahan sampai sekarang, semoga apa yang penulis dapat berikan ini dapat menambah kebanggaan ayah dan ibu penulis.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kakak Hotmawina Lingga dan adik penulis Monika Lingga yang selalu member semangat dan dukungan buat penulis terkhusus saat-saat penulis dalam penyelesaian skripsi ini dan khusus buat adik penulis yang juga sedang dalam proses perkuliahan kiranya lebih semangat lagi agar kita dapat lebih membanggakan ayah dan ibu kita, dan juga buat keluarga besar penulis yang selalu mendukung dalam doa penulis juga ucapkan terimakasih.

Dalam hal ini penulis juga mengucapkan terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini,yaitu:


(3)

1. Bapak Prof.Dr.Badarruddin Harahap,M.Si selaku Dekan FISIP-USU 2. Ibu Dra.T.Irmayani,M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Polik FISIP-USU

3. Bapak Drs.Ahmad Taufan Damanik,MA selaku dosen pembimbing penulis yang telah membimbing, mengarahkan, dan telah banyak meluangkan waktu selama penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof.Subhilhar ,Phd selaku dosen pembaca dan dosen pembimbing akademik penulis yang ditengah kesibukannya masih meluangkan waktu untuk membimbing,mengarahkan dan memberikan masukan pada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Dan kepada seluruh staff pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP USU yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama kuliah di jurusan Ilmu Politik FISIP-USU.

Medan, Juli 2012 Penulis,


(4)

ABSTRAK

Terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan dirubah dengan UU No 12 Tahun 2008, maka telah dilimphkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan bertanggungjawab. Dalam pasal 4 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk melakukan pembentukan baik berupa pemekaran atau penggabungan, dengan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. UU No 36 Tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Serdang Bedagai dan kabupaten Samosir merupakan implementasi dari otonomi daerah. Dampak negatif dari pemekaran daerah kabupaten Serdang Bedagai adalah: munculnya konflik batas wilayah, konflik dalam memperebutkan asset, penyerahan pegawai negeri sipil.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif , menggunakan dua tehnik pengumpulan data, yaitu: penelitian lapangan (field research),dan penelitian dokumentasi dengan menghimpun data sekunder dari peraturan-peraturan.

Dari penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Permasalahan batas wilayah disebabkan oleh warga masyarakat Sembilan desa termasuk desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai menolak bergabung dengan Serdang Bedagai karena tidak sesuai aspirasi masyarakat, jarak yang jauh dengan ibukota kecamatan dan kabupaten serta isu terpisahnya dari kerabat adatnya.

2.Ketentuan pasal 15 ayat (1) huruf b UU No 36 tahun 2003 menyebutkan kabupaten induk harus menyerahkan asset daerah dan dana bantuan daerah, namun belum terlaksana.

3. Ketentuan pasal 15 ayat (1) huruf a UU No 36 Tahun 2003 menyatakan bahwa Deli Serdang harus menyerahkan PNS yang karena tugasnya dibutuhkan Serdang Bedagai, namun belum terlaksana.

Tindakan yang ditempuh Pemerintah Serdang Bedagai adalah sebagai berkut:

1. Pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di seluruh wilayah kabupaten Serdang Bedagai Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, dan melantik kepala desa di daerah konflik agar meredam keinginan masyarakat serta membangun fasilitas public agar lebih mudah melayani kepentingan masyarakat.

2. Ketentuan pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas Gubernur Sumatera Utara dan Mendagri untk menyelesaikan masalah penyerahan Pegawai Negeri Sipil, namun belum menemukan hasil yang diharapkan sehingga pemerintah Serdang Bedagai tidak melaksanakan hak dan kewajiban PNS yang tidak ingin bergabung ke Serdang Bedagai tersebut.


(5)

ABSTRACTION

The publishing of UU No 32 Year 2004 about Area governance and altered by UU was No 12 Year 2008, hence have overflowed of kewenangan to area manifestly, wide and bertanggungjawab. In section 4 the code expressed by that enabled to do the good forming in the form of pemekaran or affiliation, by administrative up to standard, technical and region physical. UU No 36 Year 2003 about forming of regency of Serdang Bedagai and regency Samosir represent the implementation from area autonomy. Negative impact from pemekaran of area of regency of Serdang Bedagai was: regional boundary conflict appearance, conflict in fighting over asset, delivery of public servant civil.

This research use the descriptive method qualitative , using two technics of data collecting, that is: field research ( field of research),dan of documentation research by mustering data sekunder from regulation.

From research done hence got by a the following result

1. regional Boundary problems because of society citizen Nine countryside of was inclusive of countryside Fence the Head of subdistrict of Silinda of regency of Serdang Bedagai refuse to joint forces with the Serdang Bedagai because inappropriate society aspiration, distance which far capital of was subdistrict and regency and also its his separate issue from its custom consanquinity.

2.The Rule section 15 sentence ( 1) letter of b UU No 36 year 2003 mentioning mains regency have to deliver the asset of area and relief fund area, but uncommitt the 3. Rule section 15 sentence ( 1) letter of a UU No 36 Year 2003 expressing that Deli Serdang have to deliver the PNS which is because its duty was required by Serdang Bedagai, but uncommitt the.

Action which was gone through by Government of Serdang Bedagai as followed:

1. Governmental have done the socialization to society of[is totality region of regency of Serdang Bedagai of Number Code 36 Year 2003, and constitute the countryside head conflict area of weakening society desire and also develop;build the facility public of easier serve the society importance.

2. Rule section 15 sentence ( 2) UU No 36 Year 2003 mentioning Serdang Bedagai can ask the facility of Governor of North Sumatra and Mendagri untk finish the problem of delivery of Public Servant Civil, but not yet found the result expected governmental so that Serdang Bedagai do not execute the rights and obligations of PNS which do not wish to join to the Serdang Bedagai.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK iii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR LAMPIRAN v

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Perumusan Masal 7

1.3 Pembatasan Masalah 7

1.4 Tujuan Penelitian 8

1.5 Manfaat Penelitian 8

1.6 Kerangka Teori 9

1.7 Pengertian Konflik 13

1.7.1 Jenis dan Tipe Konflik 16

1.7.2 Tiga Model Konflik 18

1.8 Metode Penelitian 21

1.8.1 Jenis Penelitian 21

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data 21


(7)

1.8.4 Sistematika Penulisan 23

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Serdang Bedagai 25

2.2 Sejarah Pemerintahan 30

2.3 Deskripsi desa Pagar Manik 34

2.3.1 Kondisi Geografis 34

2.3.2 Kondisi Demografis 36

2.3.3 Kondisi Sosial Ekonomi 38

2..3.4 Sarana dan Prasarana 39

2.4 Visi dan Misi desa Pagar Manik 40

2.4.1 Visi desa Pagar Manik 40

2.4.2 Misi desa Pagar Manik 41

BAB III :HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia 42

3.2 Desentralisasi dan Potensi Konflik Horisontal 49

3.3 Kronologis terjadinya konflik dan factor-fktor yang menyebabkan konflik di desa Pagar

Manik 54

3.4 Masalah-masalah yang dihadapi Serdang Bedagai khususnya Desa Pagar Manik pasca


(8)

3.4.1 Batas Wilayah 67

3.4.2 Aset Daerah dan Dana Bantuan Daerah 73

3.4.3 Status Pegawai Negeri Sipil 75

3.5 Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi masalah-masalah pasca pemekaran

daerah kabupaten Serdang Bedagai 77

3.5.1 Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi masalah Batas Wilayah 77

3.5.2 Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi masalah asset daerah dan dana

Bantuan daerah 78

3.5.3 Langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi masalah Penyerahan Pegawai

Negeri Sipil 80

3.6 Kondisi desa Pagar Manik Kecamatan Silnda Kabupaten Serdang Bedagai pasca

pemekaran 81

BAB 1V : PENUTUP

4.1 Kesimpulan 85

4.2 Saran 87

DAFTAR PUSTAKA vi


(9)

ABSTRAK

Terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah dan dirubah dengan UU No 12 Tahun 2008, maka telah dilimphkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan bertanggungjawab. Dalam pasal 4 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk melakukan pembentukan baik berupa pemekaran atau penggabungan, dengan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. UU No 36 Tahun 2003 tentang pembentukan kabupaten Serdang Bedagai dan kabupaten Samosir merupakan implementasi dari otonomi daerah. Dampak negatif dari pemekaran daerah kabupaten Serdang Bedagai adalah: munculnya konflik batas wilayah, konflik dalam memperebutkan asset, penyerahan pegawai negeri sipil.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif , menggunakan dua tehnik pengumpulan data, yaitu: penelitian lapangan (field research),dan penelitian dokumentasi dengan menghimpun data sekunder dari peraturan-peraturan.

Dari penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Permasalahan batas wilayah disebabkan oleh warga masyarakat Sembilan desa termasuk desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai menolak bergabung dengan Serdang Bedagai karena tidak sesuai aspirasi masyarakat, jarak yang jauh dengan ibukota kecamatan dan kabupaten serta isu terpisahnya dari kerabat adatnya.

2.Ketentuan pasal 15 ayat (1) huruf b UU No 36 tahun 2003 menyebutkan kabupaten induk harus menyerahkan asset daerah dan dana bantuan daerah, namun belum terlaksana.

3. Ketentuan pasal 15 ayat (1) huruf a UU No 36 Tahun 2003 menyatakan bahwa Deli Serdang harus menyerahkan PNS yang karena tugasnya dibutuhkan Serdang Bedagai, namun belum terlaksana.

Tindakan yang ditempuh Pemerintah Serdang Bedagai adalah sebagai berkut:

1. Pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di seluruh wilayah kabupaten Serdang Bedagai Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, dan melantik kepala desa di daerah konflik agar meredam keinginan masyarakat serta membangun fasilitas public agar lebih mudah melayani kepentingan masyarakat.

2. Ketentuan pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas Gubernur Sumatera Utara dan Mendagri untk menyelesaikan masalah penyerahan Pegawai Negeri Sipil, namun belum menemukan hasil yang diharapkan sehingga pemerintah Serdang Bedagai tidak melaksanakan hak dan kewajiban PNS yang tidak ingin bergabung ke Serdang Bedagai tersebut.


(10)

ABSTRACTION

The publishing of UU No 32 Year 2004 about Area governance and altered by UU was No 12 Year 2008, hence have overflowed of kewenangan to area manifestly, wide and bertanggungjawab. In section 4 the code expressed by that enabled to do the good forming in the form of pemekaran or affiliation, by administrative up to standard, technical and region physical. UU No 36 Year 2003 about forming of regency of Serdang Bedagai and regency Samosir represent the implementation from area autonomy. Negative impact from pemekaran of area of regency of Serdang Bedagai was: regional boundary conflict appearance, conflict in fighting over asset, delivery of public servant civil.

This research use the descriptive method qualitative , using two technics of data collecting, that is: field research ( field of research),dan of documentation research by mustering data sekunder from regulation.

From research done hence got by a the following result

1. regional Boundary problems because of society citizen Nine countryside of was inclusive of countryside Fence the Head of subdistrict of Silinda of regency of Serdang Bedagai refuse to joint forces with the Serdang Bedagai because inappropriate society aspiration, distance which far capital of was subdistrict and regency and also its his separate issue from its custom consanquinity.

2.The Rule section 15 sentence ( 1) letter of b UU No 36 year 2003 mentioning mains regency have to deliver the asset of area and relief fund area, but uncommitt the 3. Rule section 15 sentence ( 1) letter of a UU No 36 Year 2003 expressing that Deli Serdang have to deliver the PNS which is because its duty was required by Serdang Bedagai, but uncommitt the.

Action which was gone through by Government of Serdang Bedagai as followed:

1. Governmental have done the socialization to society of[is totality region of regency of Serdang Bedagai of Number Code 36 Year 2003, and constitute the countryside head conflict area of weakening society desire and also develop;build the facility public of easier serve the society importance.

2. Rule section 15 sentence ( 2) UU No 36 Year 2003 mentioning Serdang Bedagai can ask the facility of Governor of North Sumatra and Mendagri untk finish the problem of delivery of Public Servant Civil, but not yet found the result expected governmental so that Serdang Bedagai do not execute the rights and obligations of PNS which do not wish to join to the Serdang Bedagai.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1 .1 Latar Belakang Masalah

Pentingnya pemekaran wilayah pada hakekatnya adalah upaya menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien serta berdaya guna demi mewujudkan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan dan pengembangan otonomi dalam masa transisi ini adalah mengembangkan prakarsa dari dalam (inward looking), menumbuhkan kekuatan-kekuatan baru dari masyarakat (autonomous energies) sehingga intervensi dari luar termasuk dari pemerintah terhadap masyarakat harus merupakan proses pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan untuk mengantisipasi perubahan dan peluang yang lebih luas. Secara esensial sebenarnya dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pemebentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan menangani urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.

Konsep otonomi daerah pada hakekatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk mengambil keputusan baik politik maupun administratif, menurut prakarsa sendiri. Oleh karena itu kemandirian daerah merupakan suatu hal yang penting, tidak boleh ada intervensi dari pemerintah pusat. Ketidakmandirian daerah berarti ketergantungan daerah pada pusat. Dengan demikian hal yang menyertai pelaksanaan otonomi daeraha adalah pemekaran wilayah, perubahan yang menyertai otonomi daerah sangat berpengaruh terhadap


(12)

kehidupan ditingkat daerah, diantaranya adalah banyaknya dijumpai semangat-semangat daerah yang ingin memekarkan wilayahnya, walau pada akhirnya permasalahan-permasalahan akan segera timbul, diantaranya adalah infrastrktur yang belum memadai,permasalahan batas wilayah, daerah induk yang tidak memberikan dukungan dana, permasalah penyerahan asset oleh kabupaten induk, dan sebagai daerah baru belum mampu menggali sumber pendapatan asli daerah (PAD), jadi cenderung memungut pajak dan retribusi dan sebagainya.

Otonomi daerah di Indonesia secara radikal telah merubah hubungan hirarki yang selama ini terjadi di berbagai tingkat pemerintahan. Dalam era pemerintahan yang sentralistik, kewenangan kabupaten dan kota sangat terbatas. Pemerintah kabupaten dan kota sekarang memiliki kewenangan yang besar untuk merumuskan kebijakan dan program-programnya sesuai dengan keinginan dan aspirasi mereka, di luar bidang pertahanan dan keamanan, moneter, agama, kehakiman dan hubungan luar negeri. Pemberian kewenangan yang luar biasa besarnya kepada pemerintah kabupaten dan kota tentu membawa potensi yang sangat positif bagi pembangunan daerah, termasuk dalam mempercepat terwujudnya pemerintahan yang lebih baik.

Sejak di berlakukannya Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan dirubah dengan Undang-undang No 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No 32 Tahun 2004, maka telah di limpahkannya kewenangan kepada daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab. Hal ini merupakan perwujudan komitmen pemerintahan pusat agar lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis “Dengan adanya kebijakan tentang Otonomi Daerah, maka daerah akan mampu mengalami proses pemberdayaan dan mampu membangun kemandirian daerah secara signifikan. Kemampuan, prakarsa dan kreatifitas daerah akan terpacu sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai permasalahan daerah akan semakin kuat.


(13)

Disamping itu merupakan wujud dari kepercayaan pemerintah pusat kepada daerah, agar daerah tertantang untuk melakukan inovasi-inovasi kebijakan di daerah, dan sekaligus menemukan solusi-solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi daerah”1

Reformasi sistem pemerintahan dearah merupakan wujud kebijaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada hakekatnya merupakan salah satu komitmen nasional pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan aspirasi gerakan reformasi total disegala bidang, komitmen reformasi itu terwujud melalui perombakan yang sangat mendasar, sistematik dan holistik menempatkan daerah otonom kabupaten dan kota sebagai pemegang kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab dalam berbagai bidang pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi.2

Keberadaan desentralisasi tidak lain adalah untuk mendekatkan masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara masyarakat dan pemerintah dapat tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan. Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini maka diharapkan akan terwujud decentralitation for democracy (Desentralisasi untuk demokrasi).3

Desentralisasi sebagai alternatif dari sentralisasi sering dianggap sebagai kekuatan yang mampu membawa kebijakan pembangunan lebih dekat dengan masyarakat, selain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui transfer urusan-urusan pemerintah ke daerah, berbagai prosedur yang menghadang interaksi antara pemerintah dengan masyarakat,

1

Sutiyoso,Perspektif daerah terhadap permasalahan Implementasi dan solusi kebijakan Desentralisasi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999,dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi,(Jakarta:Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,2003)Hlm 113

2

Desi Fernanda,Perkembangan Otonomi Daerah dalam Perspektif Teori dan Praktek,Dalam Jurnal Desentralisasi Volume 3 Nomor 2,(Jakarta:Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,2003)Hlm 6

3

Syarif Hidayat,Refleksi Realita Otonomi Daerah dan tantangan kedepan,(Jakarta:Pustaka Quantum,2000)Hlm 7


(14)

termasuk pasar, dapat diminimalisasi. Karena itulah Rondinelli dan Cheema (1983:14-16) sampai pada kesimpulan bahwa melalui desentralisasi, pemerintah daerah akan dapat bekerja lebih efekti dan efisien, termasuk dalam penyediaan barang-barang dan layanan publik.4 Pemerintahan yang tersentralisasi sering dianggap cenderung menyamaratakan dan mengakibatkan keberagaman di dalam penyediaan barang-barang dan pelayanan publik. Kecendrungan ini oleh Oates tidak efisien karena tidak mempertimbangakan keragaman cita rasa dari masyarakat yang berbeda (1972:11). Efisiensi justru akan muncul manakala cita rasa yang beragam itu menjadi pertimbangan dalam pemerintah yang terdesentralisasi. Selain itu, pemerintah daerah mampu melakukan efisiensi pelayanan publik ini karena wilayahnya yang relatif terbatas (Oates, 1992:1121). Konsekuensi dari semua ini adalah bahwa kesejahteraan masyarakat yang pemerintahannya terdesentralisasi itu bisa lebih baik daripada yang tersentralisasi (Oates, 1993:240).5

Pasal 5 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang No 32 Tahun 2004 berturut-turut menyebutkan syarat administratif yang dimaksud untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis adalah meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang menjadi pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial Dengan keluarnya Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pasal 4 dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk pembentukan daerah berdasarkan Undang-undang, pembentukan daerah yang dimaksud dapat berupa penggabungan daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan.

4

Kacung Marijan,ibid hlm 143

5


(15)

politik, kependudukan, luas wilayah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun syarat fisik meliputi sedikitnya 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, untuk pembentukan kota, lokasi calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintahan. Sebagaimana lebih dijelaskan lagi dalam Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2007 pada BAB II pasal yang ke 2 sampai pada pasal yang ke 8.

Undang-undang No 36 Tahun 2003 Tentang pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara merupakan implementasi dari ketentuan pembentukan daerah pemekaran dalam Undang-undang Pemerintahan daerah tersebut. Kabupaten Serdang Bedagai adalah kabupaten pemekaran dari kabupaten Deli Serdang. Sejak dimekarkan pada tanggal 7 Januari 2003 dengan Undang-undang No 36 Tahun 2003 hingga saat ini masih banyak hak dan kewajiban kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk sebagaimana yang teruang dalam ketentuan Pasal 15 dan Pasal 16 yang belum terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Ketentuan tentang batas wilayah, penyerahan dana alokasi perimbangan dari kabupaten induk, penyerahan asset, pada dasarnya telah diatur dalam pasal 15 dan pasal 16 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, namun dalam pelaksanaan dan prakteknya banyak menemui kendala dan hambatan yang menimbulkan konflik pada pelaksanaannya. Dalam pelaksanaannya banyak konflik terdapat didalamnya, menurut Undang-undang No.36 Tahun pada bab 2 pasal 4 Pemerintah kabupaten Serdang Bedagai memiliki 13 kecamatan. Namun sejak dimekarkan Serdang Bedagai hanya memiliki 11 kecamatan, dua kecamatan yakni kecamatan Bangun Purba dan kecamatan Galang hingga kini belum terbentuk. Keduanya masing-masing dimasukkan kedalam kecamatan Dolok Masihul dan kecamatan Kotarih. Sebagaimana diketahui masyarakat 9 desa yakni Pagar Manik, Pamah, Kulasar, Tarean, Tapak Mariah, Silinda, Sungai Buaya dan Batu Masagih menolak bergabung dengan Serdang Bedagai dan tetap ingin berada di bawah naungan Deli Serdang.


(16)

Sejak awal pemekaran wilayah dari Deli Serdang menjadi Serdang Bedagai sebagian masyarakat dari 9 desa ini menolak untuk bergabung dengan Serdang Bedagai, dengan berbagai alasan yang mereka kemukakan dimana sebelumnya mereka menolak bergabung dengan Serdang Bedagai dengan alasan jauhnya jarak ke ibu kota kabupaten yakni Sei.Rampah dengan ibu kota kecamatannya berada di Kotarih. Menanggapi alasan tersebut pemerintah melakukan upaya untuk menyelesaikan masalah masyarakat yang menolak bergabung dengan membuat keputusan membentuk kecamatan baru untuk 9 desa tersebut yang letak kecamatan tersebut berada di tengah-tengah 9 desa tersebut yakni terletak di Desa Silinda yang merupakan titik tengah dari 9 desa sehingga dapat memudahkan warga untuk mengurus segala sesuatu yang mereka butuhkan.

Namun demikian ternyata tindakan yang telah dilakukan pemerintah tidak juga membuat masyarakat untuk bergabung dengan Serdang Bedagai, mereka tetap menolak bergabung dengan Serdang Bedagai walau kecamatan kini telah menjadi dekat, dengan melakukan aksi-aksi penolakan, mulai dari melakukan aksi protes ke kantor Gubernur Sumatera Utara hingga menghalangi pemerintah kabupaten Serdang Bedagai yang datang ke kecamatan Silinda untuk melakukan peninjauan terhadap pembangunan kantor Camat di kecamatan Silinda.

Bukan hanya itu, sesama masyarakat juga terjadi pro dan kontra di antara masyarakat di setiap desa. Banyak masalah yang timbul akibat pertentangan ini seperti ketika digantinya Kepala Desa di desa Pagar Manik dengan kepala desa yang baru, sehingga masyarakat yang Pro Deli Serdang tetap menganggap Kepala Desa mereka adalah Kepala Desa yang lama yang berakibat adanya dua (2 orang) Kepala Desa yang di akui masyarakat di Desa Pagar Manik .


(17)

Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Konflik Pemekaran Wilayah di Kabupaten Serdang Bedagai (Studi Kasus: Konflik Horisontal yang bersifat Laten di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda, Kabupaten Serdang Bedagai.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun perumusan masalah dalam tulisan ini adalah: Bagaimana Pemekaran Daerah dapat menyebabkan terjadinya konflik antar masyarakat yang menyebabkan adanya kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat di desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai?

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas maka peneliti membuat batasan Permasalahan sebagai berikut:

1. Penulis meneliti faktor-faktor penyebab terjadinya konflik di desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai

2. Penulis meneliti konflik-konflik yang terjadi akibat pemekaran di desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan salah satu desa dari 9 desa yang menolak bergabung dengan kabupaten Serdang Bedagai.

3. Penulis meneliti upaya-upaya yang ditempuh dalam mengatasi konflik yang terjadi di desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai


(18)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah faktor-faktor penyebab terjadinya konflik di desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai

2. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi kabupaten Serdang Bedagai pasca pemekaran daerah.

3. Untuk mengetahui langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi kabupaten Serdang Bedagai pasca pemekaran daerah, khususnya mengatasi konflik di desa Pagar Manik, kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai.

1.5 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul “Konflik akibat pemekaran wilayah di Serdang Bedagai”,secara teoritis diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk penulis sendiri maupun untuk orang lain, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai keabsahan dari sebuah karya ilmiah setiap penelitian selalu diarahkan agar banyak memiliki manfaat, maka manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah dan melatih penulis untuk membiasakan diri dalam membuat dan membaca karya tulis. Melalui penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.


(19)

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai kajian dan sumbangan pemikiran dalam pengembangan Ilmu Politik, khususnya bagi kabupaten/kota yang berencana atau telah melakukan pemekaran daerah.

1.6 Kerangka Teori

Teori merupakan hal yang paling penting dalam suatu penelitian, dimana teori terdiri dari serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep. ( Singarimbun,1989: hal. 47). Sedangkan James A. Black mengatakan teori adalah sekumpulan dalil yang berkaitan secara sistematis yang menetapkan kaitan sebab-akibat diantara variabel-variabel.

Jadi, sebelum melanjutkan penelitian yang lebih serius dan mendalam, peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari segi mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih. Dalam kaitan ini, teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini adalah teori-teori konflik, teori-teori desentralisasi dan Otonomi daerah berdasarkan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.36 tahun 2003 Tentang pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara.

Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokratisasi. Dengan kata lain, otonomi daerah yang bisa meminimalisasi konflik pusat-daerah di satu pihak dan dapat menjamin cita-cita


(20)

keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi masyarakat lokal di lain pihak, hanya dapat dicapa di dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa di bidang politik, hukum, ekonomi. Ini berarti bahwa otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari demokratisasi kehidupan bangsa seperti restrukturisasi lembaga perwakilan, restrukturisasi sistem pemilihan bagi eksekutif dan legislative, penegak hukum dan pemberdayaan masyarakat lokal itu sendiri.

Otonomi daerah mempunyai pengertian pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu berbicara masalah pembentukan daerah pemekaran yang bersumber pada gagasan inisiatif masyarakat, juga berada dalam kerangka negara kesatuan pula. Dengan demikian dalam penelitian ini akan digunakan pula teori yang berhubungan dengan masalah yang dikaji adalah teori desentralisasi.

Melihat sejarahnya,Osmani mengungkapkan istilah desentralisasi pertama kali diperkenalkan dalam literature pembangunan pada tahun 1950-an, ketika Negara-negara colonial (terutama kerajaan Inggris) melakukan serangkaian perubahan kelembagaan dalam rangka persiapan pemberian kemerdekaan kepada negara jajahannya di Afrika. Osmani mengutip Mawhood dan Davey yang mendeskripsikan bagaimana pola “desentralisasi klasik” yang berlaku pada masa itu, yang diatara lain memiliki 5 (lima) prinsip sebagai berikut:

1) Pemerintahan local (local authority) harus terpisah dari pemerintahan pusat dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan berbagai pelayanan kepada masyarakat antara lain: pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, pembangunan (pemberdayaan) masyarakat, jaringan jalan sekunder dan sebagainya.

2) Pemerintah local tersebut harus memiliki anggaran keuangan sendiri lengkap dengan sumber-sumber pendapatannya dan berwenang untuk meningkatkan kemampuan


(21)

keuangannya melalui penerapan system perpajakan langsung yang dibebankan atas berbagai jasa publik yang diselenggarakan.

3) Pemerintah local harus memiliki pegawai sendiri, meskipun pada tahap pertama mungkin saja para pegawai tersebut berasal dari pegawai pusat yang diperbantukan. 4) Pemerintah lokal dapat diurus atau dikelola secara internal oleh sebuah dewan

(council) yang terdiri dari beberapa orang wakil rakyat dipilih oleh masyarakat melalui pemilu lokal,

5) Administrator pemerintahan pada tingkat pusat tidak lagi berperan sebagai pengelola bidang pemerintahan tertentu, tetapi berfungsi sebagai perumus kebijakan atau pengendalian dan pembinaan terhadap pemerintah lokal.

Memahami desentralisasi dengan demikian tidak terlepas dari berbagai perspektif, dalam hal ini terdapat tiga perspektif. Pertama adalah perspektif politik, di dalam perspektif ini desentralisasi ditempatkan dalam konteks relasi antara pemerintah pusat dan daerah dan penguatan demokrasi di daerah. Kedua, perspektif administratif yang lebih cenderung untuk membahas desentralisasi dalam konteks pembagian kewenangan antara lembaga-lembaga atau agen-agen pemerintah pusat dengan lembaga-lembaga atau agen-agen di pemerintahan daerah. Dalam perspektif ini Rondinelli menyatakan pelaksanaan desentralisasi memiliki empat varian yakni: dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi. Pakar ini mengulas bagaimana kekuasaan yang ada pada pemerintah dikelola dalam rangka memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal. Dalam konteks ini apabila kewenangan untuk memberikan pelayanan pada masyarakat itu oleh pemerintah pusat diserahkan kepada daerah maka konsep ini dimaknai sebagai dekonsentrasi. Sebaliknya apabila kewenangan itu diserahkan pada daerah otonom maka konsep ini dimaknai sebagai devolusi yang konsekuensinya akan ada otonomi daerah. Disamping itu untuk hal-hal tertentu kewenangan itu diberikan kepada badan atau lembaga tertentu untuk mengelolanya seperti listrik kepada


(22)

PLN, maka konsep ini dimaknai sebagai delegasi, sedangkan varian yang keempat adalah manakala kewenangan itu diserahkan kepada swasta untuk mengelolanya maka konsep ini dimaknai sebagai privatisasi.6 Ketiga, perspektif ekonomi. Di dalam perspektif ini desentralisasi dipahami dalam dua hal. Pertama, adalah berkaitan dengan pembagian sumberdaya keuangan antara pemerintah pusat dan daerah atau yang disebut desentralisasi fiskal. Kedua, adalah melalui kerja sama atau transfer manajemen atau kepemilikan terhadap barang-barang dan jasa publik, cara yang kedua ini sering disebut privatisasi atau deregulasi. Dengan kata lain, manifestasi dari desentralisasi ekonomi mencakup tiga bentuk:desentralisasi fiskal, privatisasi, dan deregulasi.7

6

Oentarto Sindung Mawardi,Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah:Implementasi,Permasalahan dan Solusi,dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi,(Jakarta:Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,2004)hal 3

7

Kacung Marijan,ibid hal 141-142

Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintah daerah pada perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi,yaitu merupakan suatu hak atau wewenang dan suatu kewajiban daerah otonom untuk mengurus sendiri dan mengatur sendiri daerahnya dengan mengambil keputusan, baik politik maupun administratif menurut prakarsa sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari defenisi desentralisasi yang ada secara garis besar ada dua defenisi dari perspektif politik, perspektif administratif, dan perspektif ekonomi. Dapat dikatakan desentralisasi administrative di atas adalah pelimpahan wewenang kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah yang bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah-daerah. Dengan demikian desentralisasi administratif adalah berupa kekuasaan pemerintah pusat yang dijalankan di daerah-daerah .


(23)

Desentralisasi dalam perspektif politik dimaksud bagaimana gambaran distribusi kekuasaan pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah sehingga masyarakat local memiliki kesempatan yang luas untuk merencanakan dan menentukan sendiri kebijakan-kebijakan yang tepat untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan yang bersifat spesifik atau lokal tersebut, dengan asumsi bahwa sesungguhnya hanya masyarakat setenpatlah yang tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan mereka sendiri serta dapat memecahkan sendiri masalah-masalah yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat yang bersifat kedaerahan.

Dari perspektif politik dearah, desentralisasi politik dapat pula dipahami sebagai satu cara untuk menumbuhkan sikap partisipasi masyarakat daerah dalam beragam aktivitas politik di tingkat local, disamping pendidikan bagi masyarakat local untuk meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap maju mundurnya perkembangan daerahnya. Desentralisasi politik merupakan perwujudan hak-hak dan kewajiban masyarakat local dalam keterlibatannya untuk memilih dan dipilih pada jabatan-jabatan pada pemerintahan local maupun pusat sehingga dapat membina hubungan yang harmonis antar kedua tingkat pemerintahan tersebut yang ada kaitannya pada partisipasi masyarakat secara politik. Sentralisasi kekuasaan akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam menjalankan urusan pemerintah, namun pada satu sisi pelaksanaan sentralisasi memberikan kemudahan dalam proses pengambilan keputusan karena hanya dilakukan oleh satu badan atau orang yang diberikan kekuasaan.

1.7 Pengertian Konflik

Konflik elit dapat dipahami dari berbagai dimensi untuk melihat faktor penyebab, motif kepentingan politiknya, Pertama dari segi pengertiannya konflik diartikan sebagai pertentangan yang tebuka antara kekuatan-kekuatan politik yang memperebutkan kekuasaan sehingga dapat dilihat oleh orang luar. Pengertian konflik disini merujuk pada hubungan


(24)

antar kekuatan politik (Kelompok dan Individu) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.8

Kedua, sasaran-sasaran yang tidak sejalan sesungguhnya menunjukkan adanya perbedaan kepentingan. Karena itu, kepentingan dapat digunakan sebagai cara untuk melihat perbedaan motif di antara kelompok yang saling bertentangan, baik dalam sebuah kelompok yang kecil maupun di dalam suatu kelompok yang besar. Perbedaan kepentingan setidaknya akan menunjukkan motif mereka berkonflik. Menurut Dumholf, motivasi seseorang untuk merebut kekuasaan, selain dia ingin berkuasa mereka juga menginginkan uang, jaringan dan investasi strategis.9

Menurut Webster (1996), istilah konflik di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Dengan kata lain istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah konflik menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.10

1. Dimensi Budaya

Adapun sumber-sumber konflik di Indonesia dapat di uraikan sebagai berikut:

a) Masih berkembangnya ideologi Primordialisme (Suku, Agama, Ras)

b) Masyarakat masih melihat golongan lain dengan kacamata stereotype (menggeneralisasikan sifat-sifat suatu suku, agama, bangsa, dsb tanpa alasan yang rasional)

8

SN.Kartikasari (Penyunting),mengelola Konflik:Keterampilan dan strategi untuk bertindak,(Jakarta:The British Council,2000)hlm 4

9

http://www2.titc.ttu.edu/schneider/dev.sem/5325-16-conflict.htm

10


(25)

c) Stock of knowledge sebagian masyarakat sudah terlanjur terbentuk melalui sosialisasi di dalam keluarga, sekolah dan sebagainya. Apabila stock of knowledge ini merugikan perlu dilakukan gerakan de-edukasi secara meluas dan mendasar.

d) Sistem kepercayaan sering menjadi sumber konflik, tetapi bias juga merupakan basis moral anti konflik dan kekerasan.

e) Ideologi Negara dapat dijadikan landasan solidaritas berbangsa

2. Dimensi Sosial

a) Kesenjangan sosial bukan saja antar individu tapi juga golongan dan daerah, sehingga menyulitkan terbentuknya solidaritas yang berskala nasional sebaliknya cenderung mengobarkan tribalisme.

b) Sistem sosialisasi di berbagai pranata sosial seperti rumah, sekolah, tempat ibadah, media massa, ormas dan orsospol yang masing-masing menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai non integrative secara disadari maupun tidak. c) Hukum yang tidak adil, cenderung menciptakan situasi yang amonik yaitu

tidak jelas mana yang benar dan mana yang salah.

d) Matinya lembaga adat karena pemerintah terlalu menyeragamkan kelembagaan pembangunan. Otonomi daerah tidak dengan mudah bisa memperbaiki situasi yan ada, bahkan bias jatuh pada titik ekstrim yang lain. e) Lemahnya tingkat kontrol sosial baik tingkat aparat maupun masyarakat.

3. Dimensi Kepribadian


(26)

b) Melemahnya rasa bersalah, rasa malu, dan rasa takut sehingga penyimpangan sosial cenderung tak terkendalikan.

c) Berkembangnya sikap agresifitas, frustasi karena kondisi sosial ekonomi yang terus merosot.

d) Ketidakpercayaan yang meluas baik pada tingkat individual, posisional, organisasional, institusional bahkan ontologikal.

4. Dimensi Biologis

a) Berkembangnya kondisi biologis yang semakin tak tertahankan (rasa lapar, rasa sakit) dikalangan kelompok-kelompok amat miskin.

b) Rangsangan obat bius yang secara biologis yang tidak dapat tertahankan lagi oleh orang-orang yang menjadi korban.

1.7.1 Jenis dan Tipe Konflik

Kita mempunyai dua jenis konflik, pertama dimensi Vertikal”Konflik Atas”. Yang dimaksud adalah konflik antara elit dan massa (rakyat).Elite disini biasa para pengambil kebijakan ditingkat pusat (pusat pemerintahan), kelompok bisnis atau aparat militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul koran di kalangan massa (rakyat) sendiri. Dalam kurun waktu lima tahun terkhir, dirasakan setidak-tidaknya ada dua jenis koflik horizontal, yang tergolong besar pengaruhnya 1).Konflik antar agama, khususnya antar kelompok agama islam dan agama nasrani (Protestan dan katolik) 2.) Konflik antar suku, khususnya antar suku Jawa dan suku-suku lain di luar pulau Jawa. Selain itu, muncul pula kasus seperti konflik antar suku Madura dengan


(27)

suku Melayu di Kalimantan Barat (seperti di Pontianak dan Sambas), (Suadi dkk,2003:41-43)11

Konflik laten adalah suatu keadaan yang didalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar biasa ditangani. Kehidupan masyarakat yang tampak stabil dan harmonis belum merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tidak tedapat permusuhan dan pertentangan. Kenyataan ini biasa kita temukan dalam masyarkat Indonesia masa orde baru. Masyarakat Orde Baru tampak harmonis, damai, dan kecilnya tingkat petentangan diantara anggota-anggota masyarkat terbaik dalam ekonomi, etnis maupun agama. Akan tetapi dibalik stabilitas, keharonisan dan perdamaian terebut teryata terdapat konflik laten yang begitu besar. Hal ini dibuktikan ketika orba dan Selain jenis konflik, kita perlu mengenal istilah tipe konflik yang akan menggambarkan persoalan sikap, perilaku dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik di permukaan (Fisher,2001). Tanpa Konflik menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubungan-hubungan antar kelompok biasa saling memenuhi dan damai. Tipe ini bukan berarti tidak ada konflik berarti dalam masyarakat, tetapi ada beberapa kemungkinan atas situasi ini. Pertama masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yang bersifat mencegah kearah konflik kekerasan. Kedua, sifat budaya yang memungkinkan anggota masyarakat menjauhi permusuhan dan kekerasan. Pada masyarakat yang bercirikan individual, seperti di Thailand kemungkinan permusuhan pada skala besar dan menimbulkan kekerasan komunal sangat rnudah. Kasus konflik di daerah Thailand Selatan lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan negara yang tidak akomodatif.

11

Novri Susan,Pengantar Sosiologi Konflik dan isu-isu konflik Kontemporer (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup,2009)hlm 99


(28)

struktur runtuh, berbagai konflik dalam dimensi etnis, keagamaan dan separatisme merbak seperi jamur di musim hujan.12

Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka). Konflik kekerasan yang muncul sering kali hanya disebabkan oleh kesalapahaman komunikasi. Saling menarik ketika mereka berpapasan di jalan biasa menjadi permasalahan yang berembang ke tawuran massal.

Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Kasus konflik di Ambon pada awal 1999, di Kalimantan Barat pada 1999 dan juga di Poso Sulawesi. Pada suat konflik terbuka muncul pihak-pihak berkonflik yang semakin banyak dan aspirasi yang berkembang cepat bagaikan epidemik.

13

Kebanyakan teori mengenai eskalasi dapat diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga model konflik umum(Pruitt & Gahagan,1974), model aggressor-defender (Model Penyerang-Bertahan), model Spiral-konflik, dan model perubahan structural

1.7.2 Tiga Model Konflik

14

12

Novri Susan,ibid hlm 100

13

Novri Susan,ibid hlm 101

14

Dean G.Pruitt dan Jeffery Z,ibid hlm 200

. Meskipun ketiga model ini memiliki beberapa kelebihan (masing-masing sangat berperan untuk beberapa episode eskalasi), model yang pertama pada umumnya terlalu diberi penekanan dan model yang terakhir sangat kurang diberi penekanan.


(29)

1.7.2.1 Model Agresor-Defender

Model Agresor-Defender menarik garis pembeda diantara kedua pihak yang berkonflik. Salah satu pihak, sang”Agresor”(Penyerang), dianggap memiliki suatu tujuan atau sejumlah tujuan yang mengakibatkannya terlibat didalam konflik bersama lainnya, sang”defender”(pihak yang bertahan) Agresor biasanya mulai dengan taktik-taktik contentious yang ringan karena mengingat ongkos yang harus dikeluarkannya apabila terjadi eskalasi. Tetapi bila tidak berhasil, ia akan berpindah ketaktik-taktik yang lebih berat dan berlanjut ke eskalasi. Ini akan terus berlanjut sampai tujuannya tercapai atau sampai suatu titik dimana ongkos yang akan diantisipasi akan timbul (bila eskalasi terus berlanjut) diperkirakan melampaui nilai pencapaian tujuannya. Defender hanya semata-mata bereaksi. Ia akan semakin meningkatkan reaksinya sebagai respons terhadap eskalasi aggressor terhadapnya. Eskalasi terus berlanjut sampai sang aggressor menang atau mengehentikan upahnya.

Istilah Agresor dan defender didalam model ini tidak dimaksudkan sebagai tindakan evaluatif. Dengan perkataan lain, istilah-istilah ini tidak menyiratkan bahwa salah satu pihak salah dan pihak lainnya benar didalam kontroversi yang terjadi. Agresor adalah pihak yang melihat adanya kesempatan untuk mengubah hal-hal yang searah dengan kepentingannya, sedangkan defender adalah pihak yang berusaha menolak perubahan tersebut.

1.7.2.2 Model Spiral-Konflik

Model Spiral-Konflik eskalasi ditemukan dalam bentuk tulisan yang dibuat oleh banyak ahli teori (North,Brody & Holsti,1964;Osgood,1962;Richardson,1967). Model ini menjelaskan bahwa eskalasi merupakan hasil dari suatu lingkaran setan antara aksi dan reaksi.


(30)

Taktik-taktik contentious yang dilakukan oleh suatu pihak mendorong timbulnya respon contentious dari pihak lain. Respons ini memberikan sumbangan terhadap tindakan contentious lebih lanjut dari pihak yang bersangkutan. Ini membuat lingkaran konflik menjadi utuh dan kemudian mulai membentuk lingkaran berikutnya.

Ada dua kelompok besar spiral-Konflik. Di dalam spiral bersifat balas-membalas (retaliatory), masing-masing pihak menjatuhkan hukuman kepada pihak lain atas tindakan-tindakannya yang dianggap tidak menyenangkan (aversif). Spiral-Konflik menghasilkan askalasi taktik ketika seperti sering terjadi-stiap reaksi lebih keras dan intens daripada reaksi sebelumnya. Hal ini juga memberikan sumbangan terhadap terjadinya eskalasi taktis, karena pada kenyataannya sekali taktik berat digunakan, maka ia akan digunakan secara berkelanjutan oleh kedua belah pihak. Bila saya memukul kamu (seperti yang sering terjadi) kamu akan membalas memukul saya, sehingga saya akan memukul kamu lagi dan seterusnya.

1.7.2.3 Model Perubahan Struktural

Gambaran kita mengenai kekuatan-kekuatan yang mendorong terjadinya eskalasi akan dilengkapi oleh model yang ketiga. Model ini terdapat antara lain dalam tulisan-tulisan Burton (1962),Coleman (1957), dan Schumpeter (1955 yang di publikasikan untuk pertama kali pada tahun 1919). Model perubahan struktural ini menjelaskan bahwa konflik, beserta taktik-taktik yang digunakan untuk mengatasinya menghasilkan residu. Residu ini berupa perubahan-perubahan yang terjadi baik pada pihak-pihak yang berkonflik maupun masyarakat dimana mereka tinggal. Residu ini kemudian mendorong perilaku contentious lanjutan yang levelnya setara atau lebih tinggi, dan mengurangi usaha untuk mencari resolusi konflik. Dengan demikian, konflik yang tereskalasi merupakan perubahan yang bersifat anteseden dan sekaligus konsekuen.


(31)

Tiga macam bentuk perubahan struktural dapat dibedakan , yaitu perubahan psikologis, perubahan dalam kelompok dan kolektif lainnya, dan perubahan dalam masyarakat disekeliling pihak yang berkonflik. Perubahan Psikologis yang mungkin terjadi banyak dan beragam. Ketika konflik bereskalasi, berbagai sikap dan persepsi negatif terhadap lawan biasanya akan berkembang. Lawan di persalahkan atas membesarnya kontroversi, sehingga tidak dapat dipercaya dalam arti dianggap berbeda dengan kita atau bahkan dianggap musuh kita. Sifat-sifat negatif diatribusikan kepada lawan, isalnya dianggap bersifat hanya memikirkan diri sendiri, tidak sehat secara moral atau (dalam kasus eksterm) jahat.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif karena sumber pengumpulan datanya berprisip pada library research. Pada metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui. Metode ini juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui, metode kualitatif juga dapat member rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif.15

15

Alnselm Strauss dan Juliet Cerbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, tata langkah dan teknik-teknik teorosasi data, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hlm 5.

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis melakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:


(32)

1.8.2.1 Penelitian Lapangan (Field Research)

Dengan metode ini penulis akan terjun kelapangan untuk mendapat data-data yang diperlukan diantaranya metode yang digunakan adalah menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap pihak yang terkait dengan masalah akan diteliti dan juga melakukan metode observasi.

Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian yang diamati oleh peneliti, pengamatan dapat dilakukan dengan cara sistematik, terencana dan dihubungkan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan peneliti dalam memperoleh data-data dengan metode wawancara tertutup.

Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah melakukan wawancara tertutup dengan masyarakat yang pro dan yang kontra dan beberapa sumber yang dianggap dapat memberikan keterangan terhadap permasalahan yang terjadi dimana hal ini diperkirakan menghabiskan waktu selama satu minggu.

1.8.2.2 Penelitian Dokumentasi

Dengan metode ini peneliti akan mengumpulkan data-data sekunder yang berasal dari dokumentasi yang ada di lembaga-lembaga baik pemerintahan maupun swasta serta organisasi masyarakat yang ada di desa Pagar Manik kecamatan Silinda kabupaten Serdang Bedagai dimana posisi dokumen ini adalah sebagai pelengkap dari yang telah ada.


(33)

1.8.3 Teknik Analisa Data

Analisa data merupakan petunjuk kegiatan pengorganisasian data kedalam susunan tertentu, ditabulasi dengan jenis pengolahan sistematik yang dipergunakan untuk mengambil kesimpulan. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan arah tujuan memberikan gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh adalah sebagai berikut:

Langkah pertama yang akan dilakukan adalah mengumpulkan data-data dari berbagai sumber, baik bersumber dari perustakaan ataupun data dari harian. Data yang telah di kumpulkan kemudian di susun lebih dahulu dengan membuat klasifikasi data untuk memudahkan analisis sebelum diolah lebih lanjut. Hal ini bertujuan untuk memperoleh data yang komprehensif sesuai dengan tujuan penelitian.

Setelah pengumpulan dan pengolahan data dirasakan cukup maka langkah selanjutnya adalah pembahasan. Langkah berikutnya setelah analisis dilakukan maka tahap selanjutnya adalah memberi kesimpulan terhadp hasil data.

1.8.4 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci, serta untuk mempermudah isi dari skripsi ini, maka dengan ini penulis membagi empat BAB. Susunan sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:


(34)

SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I :PENDAHULUAN

Dalam bab ini menguraikan dan menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah,tujuan penelitian,manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II :DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini memaparkan tentang profil Serdang Bedagai dan gambaran umum mengenai desa Pagar Manik yang merupakan desa yang mengalami konflik akibat pemekaran.

BAB III :HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya masalah yang terjadi sebagai akibat yang timbul setelah pemekaran dan analisis mengenai konflik yang terjadi tersebut.

BAB IV :PENUTUP

Dalam bab ini berisikan mengenai kesimpulan yang diperoleh dari seluruh hasil penelitian dan didalamnya terdapat juga saran-saran yang berguna dan bermanfaat terkait dengan hasil penelitian.


(35)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1 Sejarah Serdang Bedagai

Nama Serdang Bedagai diambil dari dua kesultanan yang pernah memerintah di wilayah tersebut yakni Kesultanan Serdang dan Padang Bedagai. Kesultanan Serdang dimulai ketika terjadi perebutan tahta kesultanan Deli setelah Tuanku Panglima Paderap (pendiri kesultanan Deli) mangkat pada tahun 1723. tuanku Gandar Wahid, anak kedua Tuanku Panglima Paderap mengambil alih tahta dengan tidak memperdulikan abangnya Tuanku Jalaludin dan adiknya Tuanku Umar. Tuanku Jalaludin tidak bisa berbuat banyak karena cacat fisik, sementara Tuanku Umar terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang.

Melihat hal ini beberapa petinggi wilayah yakni Datuk Sunggal Serbanyaman, Raja Urung Sinembah, Raja Ulung Tanjong Morawa dan Kejuruan Lumu sebagai wakil Aceh menabalkan Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah Kejuruan Junjungan sebagai Sultan Serdang pertama pada tahun 1728. wilayah kesultanan ini berpusat di Kampung Besar tempat dimana ibunya, Tuanku Ampunan Sampali tinggal. Tuanku Umar atau Raja Osman akhirnya tewas saat pasukan kerajaan Siak ingin menaklukan kerajaan-kerajaan Melayu di pesisir Sumatera Timur di tahun 1782. makam Tuanku Umar sampai kini masih ada di tengah-tengah perkebunan Sampali. Kesultanan Serdang kemudian dilanjutkan oleh putranya Tuanku Ainan Johan Alam Shah. Sedangkan adiknya Tuanku Sabjana ditempatkan sebagai Raja


(36)

Muda di kampung Kelambir pinggir Sungai Tuan. Di bawah kepemimpinan Tuanku Ainan, Kesultanan Serdang mengalami perkembangan dengan melebarkan wilayah kekuasaan hingga ke Percut dan Serdang Hulu. Kesultanan Siak memberi gelar ”Sultan” pada Tuanku Ainan di tahun 1814. istrinya adalah putri dari Raja Perbaungan, yakni Tuanku Sri Alam. Anak-anak Tuanku Ainan membuka dan memimpin perkampungan-perkampungan baru.

Tahun 1817, Tuanku Ainan mangkat dan diganti oleh putra keduanya, Tengku Sinar karena putra pertamanya Tengku Zainal Abidin tewas dalam pertempuran membantu mertuanya di Kampung Punggai. Tengku Sinar di Kampung Punggai. Tengku Sinar kemudian diberi gelar Paduka Sri Sultan Thaf Sinar Bashar Shah. Pada zaman inilah Kesultanan Serdang mengalami kejayaan dengan perdegangan dan pemerintahan yang adil. Perjanjian dagang dengan Inggris dibuat tahun 1823. Tercatat ekspor ketika itu berjumlah 8.000 pikul terdiri lada, tembakau, kacang putih, emas dan kapur barus. Sedangkan Inggris memasok kain-kain buatan Eropa. Wilayah kekuasan sudah melebar mulai dari Percut, Padang Bedagai, Sinembah, Batak Timur sampai Negeri Dolok. Sultan Serdang keempat adalah Tengku Muhammad Basyaruddin yang kemudian bergelar Paduka Sri Sultan M. Basyarauddin Syaiful Alam Shah. Ia ditabalkan di tahun 1850 sesaat setelah ayahandanya mangkat. Basyaruddin merupakan putra keempat Tuanku Ainan. Selama pemerintahannya, Kesultanan Serdang melebarkan wilayah jajahannya hingga ke Batubara (Lima Laras), seluruh Senembah dan menembus kawasan Karo dan Batak Timur.

Ketika pengaruh Belanda semakin kuat, Sultan Basyarudiin dengan tegas memihak pada Kesultanan Aceh dan melakukan perlawanan. Hal ini membuat ia diberi mandat sebagai Wajir (kuasa) Sultan Aceh dengan wilayah kewajirannya meliputi Langkat hingga Asahan. Sebagai wajir, ia menghadapi kedatangan ekspedisi Belanda yang dipimpin Netscher tahun 1862. Di sisi lain, Sultan Basyaruddin berusaha menjaga perdamaian dengan Kesultanan Deli


(37)

yang memiliki hubungan akrab dengan Belanda. Namun peperangan dengan Kesultanan Deli sempat pecah ketiak Serdang merebut kembali wilayah Denai. Demikian juga ketika Kesultanan Aceh mengirim 200 kapal perang untuk menyerang Kesultanan Deli dan Kesultanan Langkat, Sultan Basyaruddin turut membantu. Dalam melawan Belanda, Sultan Basyaruddin didukung oleh para raja dan orang-orang besar jajahannya seperti raja Kampung Kelambir: Raja Muda Pangeran Muda Sri Diraja M Takir, Wajir Bedagai: Datuk Putera Raja Negeri Serdang Ahmad Yudha, Wajir Senembah: Kejuruan Seri Diraja Sutan Saidi.

Melihat perlawanan yang begitu kuat, akhirnya Belanda pada Agustus 1865 menurunkan ribuan pasukannya di Batubara dan Tanjung Balai. Penyerangan ini diberi sandi Ekspedisi Militer melawan Serdang dan Asahan. 30 September, pasukan Belanda sampai di Serdang dan langsung mengejar Sultan Basyaruddin yang bertahan di pedalaman, hingga akhirnya perlawanan tersebut dipatahkan pada 3 Oktober dan Sultan Basyaruddin ditawan Belanda. Belanda kemudian merampas tanah-tanah jajahan Serdang seperti Padang, Bedagai, Percut dan Denai. 20 Desember 1879, Sultan Basyaruddin mangkat di Istana Bogak, Rantau Panjang dan dimakamkan di dekat Stasiun Araskabu. Kesultanan Serdang diteruskan pada Tengku Sulaiman yang saat itu masih dibawah umur, 13 tahun. Ia ditabalkan menjadi Paduka Sri Sultan Tuanku Sulaiman Syariful Alam Shah. Untuk menghindari kekosongan kekuasaan pamannya Tengku Mustafa bergelar Raja Muda Sri Maharaja diangkat sebagai Wali Sultan. Penabalan ini dilaksanakan di Istana Tanjung Puteri, Bogak, Rantau Panjang. Pengangkatan ini tidak serta merta diakui oleh Residen Belanda. Mereka memberi 3 syarat jika Sultan Sulaiman ingin diakui yakni: Serdang tidak menuntut daerah-daerah yang telah dirampas Belanda, penetapan tapal batas antara Deli dan Serdang serta Sultan harus tunduk pada kekuasaan Belanda. Namun Sultan Sulaiman tidak perduli. Tahun 1882, Belanda memaksa agar sebagian wilayah Senembah diserahkan kepada Deli dengan imbalan Deli akan


(38)

menyerahkan kembali Negeri Denai. Sultan Sulaiman baru diakui pada tahun 1887 walau ia tetap tidak setuju atas tapal batas dengan Deli yang ditentukan Belanda.

Tahun 1891 Kontrolir Belanda, Douwes Dekker memindahkan ibukota Kesultanan Serdang ke Lubuk Pakam karena Rantau Panjang selalu mengalami banjir. Namun Sultan Sulaiman tidak mau. Ia yang telah membangun istana Kota Galuh dan mesjid Sulaimaniyah di Persimpangan Tiga Perbaungan pada tahun 1886 justru pindah ke istana tersebut. Kota ini menjadi tandingan kota Lubuk Pakam karena sultan kemudian membangun kedai, pasar dan pertokoan sehingga ramai. Daerah-daerah taklukan Serdang yang dikuasai Belanda dijadikan perkebunan seperti di Denai, Bedagai, Senembah dan Percut. Seluruh perkebunan ini mengikat kontrak dengan Sultan Deli. Walau diakui namun kekuasaan sultan pelan-pelan dibatasi Belanda. Bahkan ketika pulang bertemu dengan Kaisar Jepang Tenno Heika Meiji Mutshuhito, tapal batas dengan Bedagai telah diperkecil Belanda. Belanda juga menghapus jabatan-jabatan penting kesultanan setelah yang menyandangnya meninggal dunia.

Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman, kesultanan Serdang membangun 2.000 bahu lahan persawahan lengkap dengan irigasinya. Kemudian di tahun 1903 didatangkan transmigran masyarakat Banjar untuk mengolahnya. Sultan juga membuka pabrik belacan dan sabun di Pantai Labu serta membuka perkebunan tembakau di Kuala Bali. Bank Batak dibangun Sultan di Bangun Purba sebagai penunjang roda perekonomian di Serdang. Di bidang pendidikan Sultan mendirikan sekolah Syairussulaiman di Perbaungan. Dalam buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang yang ditulis Tuanku Luckman Sinar Basarsyah, Sultan Sulaiman digambarkan orang yang anti Belanda. Misalnya Sultan Sulaiman adalah orang yang memperjuangkan agar rakyat yang tinggal di sekitar perkebunan tembakau konsesi dibenarkan mengerjakan lahan untuk tanaman padi saat areal perkebunan dibelukarkan. Untuk memastikannya ia membuat kodefikasi tentang Hak Adat Rakyat Penunggu di tahun


(39)

1922, hak ini membenarkan siapa saja yang memenuhi syarat untuk memperoleh hak jaluran. Sultan Sulaiman juga dikenal akrab dengan kesenian dan kebudayaan. Ia mendirikan teater ”Indera Ratu” yang membawakan cerita-cerita Melayu, India dan Barat. Sekali setahun teater ini menggelar pertunjukan ke berbagai pelosok Serdang untuk menghibur rakyat secara gratis. Sultan juga menghidupkan teater tradisional ”Makyong” dan wayang kulit jawa yang dihadiahkan oleh Sultan Hamengkubowono VIII. Biasanya kesenian ini digelar pada tiap hari raya di depan Istana Perbaungan.

Saat perang dunia kedua, Jepang yang masuk ke Serdang melalui Pantai Perupuk Tanjung Tiram, Batubara. Namun pasukan ini terkejut ketika masuk ke istana menemukan gambar Tenno Heika Meiji tergantung di dinding istana. Sejak itu hubungan Sultan Sulaiman dengan tentara pendudukan Jepang terjalin baik. Bahkan Sultan diberikan mobil dengan plat no. 1. jepang juga berjanji tidak akan mengambil pekerja paksa dari Serdang dengan syarat Serdang harus menyuplai beras ke markas-markas Jepang. Sultan Sulaiman juga segera mengibarkan bendera merah putih ketika mendengar proklamasi 17 Agustus 1945 melalui gubernur Sumatera Timur, TM Hassan, Sultan mengirimkan sebuah telegram kepada Presiden Soekarno yang menyatakan kesultanan Serdang serta seluruh daerah taklukannya mengakui kekuasaan pemerintah Republik Indonesia dan dengan segala kekuatan akan mendukungnya. Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar Negara Sumatera Timur (NST) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk negara Republik Indonesia. Para pendukung NST membentuk permusyawaratan Rakyat se Sumatera Timur menentang kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional


(40)

Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan negara Republik Indonesia (NRI), sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur tidak bersedia. Akhirnya pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia Serikat untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain UUDS Kesatuan yang berdasar dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan UUD 1945. Atas dasar itu kesultanan Serdang masuk dalam kabupaten Deli Serdang. Karena Sumatera Timur dibagi atas 5 afdeling, salah satu diantaranya adalah Deli dan Serdang. Afdeling ini dipimpin oleh seorang Asisten Residen serta terbagi atas 4 (empat) onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota di Medan, Bovan Deli beribukota di Pancur Batu, Serdang beribukota di Lubuk Pakam, Padang Bedagai beribukota di Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh seorang kontrolir.

2.2 Sejarah Pemerintahan

2.2.1 Kronologis

Keinginan untuk dimekarkannya Kabupaten Deli Serdang sebenarnya telah cukup lama muncul di kalangan masyarakat Kabupaten Deli Serdang dan Tahun 1992 hal tersebut telah menjadi kajian tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten Deli Serdang pada masa itu. Dasar pertimbangan untuk dilakukannya pemekaran adalah luas wilayah dan jumlah penduduk yang begitu besar untuk sutu Kabupaten.

Kajian terhadap pemekaran wilayah pada masa itu telah sampai pada dikeluarkannya Keputusan DPRD Kabupaten Deli Serdang Nomor 02/DPRD/1992 tanggal 27 Februari


(41)

1992 tentang Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang yang menetapkan Kabupaten Deli Serdang dimekarkan menjadi 2 (dua) wilayah, yaitu Kabupaten Deli dan Kabupaten Serdang. Perencanaan pemekaran tersebut terhenti dan kembali bergulir pada saat reformasi terjadi tahun 1998. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan di Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor: 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, memberikan ruang yang semakin terbuka terhadap keinginan masyarakat untuk melakukan pemekaran. Beberapa kelompok masyarakat yang terbentuk dalam upaya pemekaran Kabupaten Deli Serdang yakni:

1) Badan Pendukung Pemekaran Kabupaten Deli Serdang (BPPKDS) Tahun 1992.

2) Panitia Pembentukan Kabupaten Deli (PPKD) tahun 1992.

3) Panitia pembentukan Pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai (P3KSB) Tahun 2002.

BPPKDS merencanakan Kabupaten Deli Serdang di bagi menjadi dua Kabupaten sesuai dengan konsep pemekaran Tahun 1992 dengan usulan ibukota Kabupaten Pemekaran antara lain: Dolok Masihul, Sei Rampah dan Perbaungan. PPKD lebih menekankan pada pembentukan Kabupaten baru yakni Kabupaten Deli dengan ibukota Patumbak, sehingga tujuan dari diadakannya pemekaran tidak tampak, tetapi lebih pada keinginan untuk memisahkan diri dari Kabupaten Deli Serdang. P3KSB mengajukan konsep pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2 (dua) yakni Kabupaten Deli Serdang sebagai Kabupaten Induk dan kabupaten Serdang Bedagai sebagai kabupaten pemekaran dengan ibukota kabupaten Sei Rampah.


(42)

Keinginan yang begitu besar dari masyarakat disikapi dengan arif dan bijaksana oleh Pemerintah kabupaten Deli Serdang dengan menyusun konsep dasar pemekaran Kabupaten dan melakukan kajian-kajian dalam rangka pemekaran tersebut. Berdasarkan penelitian dan masukan dari berbagai elemen masyarakat, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang mengusulkan Kabupaten Deli Serdang dimekarkan menjadi 3 (tiga) yaitu Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk, Kabupaten Deli dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai kabupaten pemekaran.

2.2.2 Dasar Hukum

Perjalanan panjang proses pemekaran Kabupaten Deli Serdang secara hukum dimulai dari ditetapkannya Keputusan DPRD Kabupaten Deli Serdang Nomor: 13/KP/Tahun 2002 Tanggal 2 Agsutus 2002 Tentang Persetujuan Pembentukan/Pemekaran Kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya DPRD Propinsi Sumatera Utara melalui Keputusan Nomor: 18/K/2002 Tanggal 21 Agustus 2002 menetapkan Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang. DPRD Kabupaten Deli Serdang melalui Keputusan Nomor 26/K/DPRD/2003 Tanggal 9 Maret 2003 menetapkan Persetujuan Usul Rencana Pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang sebagai Kabupaten Induk dan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai Kabupaten Pemekaran dengan ibukota Sei Rampah. Pertimbangan nama Kabupaten Serdang Bedagai didasarkan pada sejarah dimana wilayah ini dahulu berada dalam wilayah Kesultanan Serdang dan Kesultanan Bedagai.

Menindak lanjuti Keputusan yang ada, Gubernur Sumatera Utara melalui Surat Nomor: 136/6777 tanggal 30 Agustus 2002 meneruskan usul Pemekaran Kabupaten Deli Serdang, Nias dan Toba Samosir kepada menteri Dalam Negeri di Jakarta. Berdasarkan


(43)

persetujuan DPR RI, Presiden Republik Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Propinsi Sumatera Utara.

Tanggal 6 Januari 2004 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Nomor 131.21-26 Tahun 2004 tentang Pengangkatan Penjabat Bupati Serdang Bedagai Propinsi Sumatera Utara dan Mengangkat Bapak Drs. H. Chairullah S.IP, MAP sebagai Penjabat Bupati Serdang Bedagai. Atas nama Menteri Dalam Negeri Tanggal 15 Januari 2004 Gubernur Sumatera Utara Bapak T. Rizal Nurdin melantik Bapak Drs. H. Chairullah S.IP, MAP sebagai penjabat Bupati Serdang Bedagai. Setelah Masa Transisi 1 (satu) tahun diangkat kembali Penjabat Bupati Drs. H. Kasim Siyo, Msi pada tanggal 3 Maret 2005 yang ditugaskan untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) secara langsung maka terpilihlah Ir. H. T. Erry Nuradi, MBA menjadi Bupati dan Ir. Soekirman menjadi wakil Bupati Serdang Bedagai masa bakti 2005-2009.

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki luas wilayah 1.900,22 km persegi, terbagi dalam 17 kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan, didiami oleh penduduk dari beragam etnik/suku bangsa, agama dan budaya. Dimana suku tersebut antara lain Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun, Jawa dan lain-lain. Potensi sumber daya alam di Kabupaten Serdang Bedagai yang paling menonjol diantaranya: sektor pertanian, perkebunan dan perikanan serta sektor pariwisata. Sejak terbentuknya pemerintahan daerah yang baru, Sei Rampah merupakan Ibukota Kabupaten sebagai pusat pemerintahan, jaraknya dengan kota-kota kecamatan sangat bervariasi antara 7 Km s/d 51 Km. disamping Kec. Sei Rampah sebagai pusat kota, Kec. Perbaungan juga merupakan kota pusat perdagangan di kab. Serdang Bedagai yang diandalkan dimana kedua kecamatan ini menjadi indikator keberhasilan pertumbuhan pembangunan yang dilaksanakan. Kota-kota kecamatan yang


(44)

letaknya relative jauh (diatas 50 km) antara lain, kec. Dolok Merawan, kecamatan-kecamatan lain jaraknya berkisar 7 sampai dengan 32 km. Adanya wacana pemekaran wilayah kecamatan, dimungkinkan beberapa kecamatan yang masih memiliki wilayah cukup luas berpeluang untuk dimekarkan. Diantaranya kecamatan Perbaungan, Sei Rampah dan Dolok Masihul. Hal ini sejalan dengan upaya untuk percepatan proses pelaksanaan pembangunan di daerah.16

2.3 Deskripsi Desa Pagar Manik

2.3.1 Kondisi Geografis

Desa Pagar Manik terbentuk dari 3 wilayah dusun yaitu Dusun I,II dan Dusun III. Semua dusun terletak di daerah perbukitan. Desa ini memiliki luas wilayah 192,9 Ha atau 1.929 Km2. Wilayah Desa Pagar Manik berbatasan dengan:

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kulasar, Kecamatan Silinda

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tarean, Kecamatan Silinda

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sungai Buaya, Kecamatan Silinda

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Silinda, Kecamatan Silinda

Desa Pagar Manik Terletak pada ketinggian 192 m di atas permukan air laut.

2.3.1.1 Peruntukan Lahan

16

http://serdangbedagaikab.go.id/indonesia/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=108&Ite mid=67


(45)

Sebagian besar lahan yang ada di Desa Pagar Manik dimanfaatkan oleh penduduk untuk kegiatan pertanian:yaitu untuk lahan sawah (58 Ha), perkebunan (110 Ha) dan ladang (18 Ha). Secara rinci peruntukan atau pemanfatan lahan dapat dilihat pada table 1 berikut ini:

Tabel 2.1 Luas Lahan menurut Peruntukan di Desa Pagar Manik Tahun 2008

No. Peruntukan Lahan Luas (Ha) Persentase

1 Sawah 58 30,06%

2 Tegalan/Ladang 18 9,33%

3 Perkebunan 110 57,02%

4 Kolam/Tambak 0,1 0,05%

5 Permukiman 4,4 2,28%

6 Perkantoran - -

7 Sekolahan - -

8 Pertokoan - -

9 Tempat Ibadah 0,2 0,1%

10 Makam 0,6 0,31%

11 Jalan 1,6 0,82%

12 Lain-lain - -

JUMLAH 192,9 100,00%

Sumber:Profil Desa Pagar Manik

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa lahan yang ada dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun dan bersawah, dengan demikian dapat dketahui bahwa mayoritas penduduk di Desa Pagar Manik Kecamatan Silinda sumber mata pencahariannya adalah bertani baik berkebun maupun sawah.


(46)

Sebagaian besar lahan pertanian berupa perkebunan/tegalan, terutama lahan-lahan yang ada di perbukitan, sedangkan pengairan untuk lahan pertanian cukup baik.

Lahan yang ada di dusun II berupa tanah berpasir dengan warna abu-abu kehitaman dan cocok untuk untuk pengembangan usaha pertanian sawah, sedangkan lahan di perbukitan berupa tanah lempung sedikit berbatu dan berwarna kemerahan, cocok untuk pengembangan pertanian perkebunan dan peternakan.

2.3.2 Kondisi Demografis

2.3.2.1 Jumlah Penduduk

Tahun 2007 jumlah penduduk Desa Pagar Manik sebanyak 1.114 jiwa . Pada Tahun 2008 jumlah penduduk menjadi 1.126 jiwa yang terdiri dari atas 543 jiwa laki-laki dan 583 jiwa perempuan. Kalau dihitung berdasarkan jumlah Kepala Keluarga (KK) desa ini dihuni oleh 291 KK.

Dengan demikian diketahui dari tahun 2007 sampai tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah penduduk di Desa Pagar Manik, dimana jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.

2.3.2.2 Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah perbandingan jumlah penduduk terhadap luas lahan atau luas daerah. Kepadatan penduduk dinyatakan dengan satuan “jiwa/Km2”

Jumlah penduduk tahun 2008 diperbandingkan dengan luas lahan dapat menggambarkan kepadatan penduduk yaitu sebesar:1.126/1.929 X 1Jiwa/Km2=583,7 jiwa.


(47)

Angka ini menggambarkan bahwa setiap 1Km2 lahan di desa Pagar Manik dihuni oleh 583,7 jiwa. Dengan demikian desa ini tergolong berpenduduk sangat padat.

2.3.2.3 Komposisi Penduduk menurut Umur dan Jenis Kelamin

Tabel 2.2 Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin

NO Golongan Umur (Tahun)

Jumlah penduduk (Jiwa) Persentase Laki-laki Perempuan L + P

1 0-1 11 20 31 2,75

2 2-4 29 30 59 5,23

3 5-6 35 45 75 6,66

4 7-12 56 50 106 9,41

5 13-15 46 42 88 7,81

6 16-18 35 39 74 6,57

7 19-24 65 74 119 12,34

8 25-44 152 150 302 26,82

9 45 keatas 114 133 247 21,93

Jumlah 543 583 1126 100,00

Sumber:Profil Desa Pagar Manik

Berdasarkan data komposisi penduduk menurut umur , ternyata penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki. Keadaan ini merupakan akibat dari banyak penduduk usia muda(usia produktif) yang merantau atau bermigrasi ke daerah lain. Para migrant yang berasal dari Desa Pagar Manik ini pada umumnya memilih daeah tujuan ke kota-kota besar seperti Jakarta, Medan dan kota-kota lainnya. Mulai Tahun 2000 an ada pula penduduk desa ini yang merantau ke Luar Negeri antara lain Malaysia. Keadaan yang


(48)

demikian ini membuat desa kekurangan tenaga muda untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan desa dan perkawinan pada usia muda (17-19tahun) masih ada di desa ini.

2.3.3 Kondisi Sosial Ekonomi

Kehidupan masyarakat Desa Pagar Manik sangat kental dengan tradisi-tradisi peninggalan leluhur. Adapun suku-suku yang ada di Desa Pagar Manik adalah Batak Simalungun, Jawa dan sebagian Batak Karo dimana mayoritas adalah etnis Batak Simalungun. Upacara-upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia (Lahir-dewasa/berumahtangga-mati), seperti upacara kelahirn, khitanan, perkawinan dan upacara-upacara dan upacara yang berhubungan dengan kematian, hamper selalu dilakukan oleh warga masyarakat . Selain itu tradisi sedekah bumi, bersih desa dan semacamnya sudah jarang dilakukan.

Kegotongroyongan masyarakat masih kuat. Kebiasaan menjenguk orang sakit (tetangga atau sanak famili) masih dilakukan masyarakat. Biasanya ketika menjenguk orang sakit, bukan makanan yang dibawa, tetapi mereka mengumpulkan uang bersama-sama warga untuk kemudian disumbangkan kepada yang sakit untuk meringankan beban biaya. Kebiasaan saling membantu memperbaiki rumah atau membantu tetangga yang mengadakan perhelatan juga masih dilakukan. Semua it menggambarkan bahwa hubungan ketetanggaan di desa ini masih erat.

Kesenian yang paling disukai warga desa ini adalah kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, keroncong dan reyog. Namun belakangan ini para pemuda cenderng lebih menyukai musik dangdut dan musik modern-modern lainnya. Kelompok-kelompok kesenian modern (band dan musik campur sari) tampak bermunculan. Di dalam desa ini pada awal


(49)

tahun 2000 hingga sekarang beriri 1 kelompok kesenian modern, yaitu keyboard kelompok musik campur sari.

Kondisi kesehatan masyarakat terolong cukup baik,trtama setelah adanya Puskesmas dan Polindes. Namun demikian pada musim-musim tertentu warga masyarakat sering mengalami gangguan kesahatan, teruama malaria. Keberdaan balita kurang gizi sudah mulai berkurang selars dengan semakin baiknya perekonomian masyarakat.

Kegiatan pengamanan(siskamling) desa secara bersama tergolong masih baik, meskipun tampak mulai mengendor. Kendornya kegiatan siskamling ditengari kara semakin banyak waktu yang digunakan oleh warga masyarakat untuk mencari nafkah(bekerja).

2.3.4 Sarana dan Prasarana

Di desa ini telah terhubung dengan daerah lain melalui jalan desa. Keadaan jalan desa secara umum cukup baik, namun apabila musim hujan tiba di beberapa tempat mengalami kerusakan jalan.

Tabel 2.3 Prasarana Perhubungan

No Jenis Prasarana Kualitas/Panjang Keterangan

1 Jalan kabupaten 0,5Km Sebagian rusak

2 Jalan Desa 3 Km Sebagian Rusak

3 Jalan Dusun/Kampung 2 Km Sebagian Rusak

4 Jembatan 3 unit Sebagian Rusak


(50)

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa segala sarana perhubungan yang ada di Desa Pagar Manik sedang berada dalam kondisi rusak sebagian, ini mengakibatkan banyak keluhan-keluhan masyarakat karena akses jalan yang digunakan sedang berada dalam kondisi rusak sehingga mempersulit warga untuk keluar dari kampong sebab akan memakan waktu yang lebih lama akibat kerusakan jalan.

Sarana transportasi yang paling banyak digunakan warga masyarkat adalah sepeda dan motor. Didesa ini belum ada sarana transportasi umum seperti bus, mikrolet atau sejenisnya.

Jaringan listrik dari PLN semua sudah tersedia di desa ini, sehingga hampir semua rumah tangga menggunakan tenaga listrik untuk memenuhi keperluan penerangan dan kebutuhan rumahtangga. Beberapa rumahtangga menggunakan pompa listrik untuk mengambil air sumur.

2.4 Visi dan Misi Desa Pagar Manik

2.4.1 VISI Desa Pagar Manik

Terwujudnya kesejahteraan masyarakat Desa Pagar Manik yang di dukung pelayanan Pemerintahan yang baik serta pengembangan kualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Visi pembangunan Desa Pagar Manik tersebut mengandung makna, bahwa pemerintah desa bersama masyarkat berkeinginan lima tahun kedepan kehidupannya lebih sejahtera baik sejahtera lahir maupun batin.


(51)

Untuk mencapai keadaan yang sejahtera itu, diperlukan adanya pelayanan pemerintahan yang baik (demokratis, transparan, dan berkepedulian). Selain itu, demi mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan, maka diperlukan adanya sumber daya manusia yang berkualitas (sehat, cerdas dan produktif). Tidak kalah pentingnya dari semua itu pelestarian fungsi lingkungan sebagai upaya menjaga kualitas sumberdaya alam harus dilakukan.

2.4.2 Misi Desa Pagar manik

1. Membangun tata pemerintahan desa yang baik dengan bersendikan pada prinsip keterbukaan, tanggungjawab, saling percaya dan partisipasi masyarakat.

2. Meningkatan kualitas hidup menuju kesejahteraan masyarakat desa secara berkelanjutan dan berkeadilan.

3. Mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan, terutama di sektor pertanian pangan dan perkebunan.


(1)

Otonomi Daerah sangat kondusif bagi terjadinya konflik. Kebebasan sebagai bentuk dari demokrasi yang menyertai otonomi daerah seringkali ditafsirkan sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia menurut kepentingan sendiri yang merupakan sumber-sumber terjadinya konflik yang tidak diimbangi dengan kemampuan menyelesaikan konflik. Daerah-daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi besar, hal ini diperparah oleh batas kabupaten kota yang tidak jelas dalam undang-undang dan diabaikan selama ini karena dianggap tidak penting.

Adapun konflik-konflik atau problema-problema yang terjadi di Serdang Bedagai diantaranya adalah: pertama permasalahan batas wilayah dengan kabupaten induk, masyarakat sembila desa di Kecamatan Bangun Purba menolak bergabung dengan Serdang Bedagai. Alasannya, untuk mengurus administrasi kependudukan sangat jauh, dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-undang Nomor 36 Tahun 2004 maka batas wilayah ini telah selesai dan berada sah dalam wilayah Serdang Bedagai, kedua permasalahan asset daerah dan dana bantuan hingga saat ini asset daerah Deli Serdang yang berada di Serdang Bedagai secara hukum belum diserahkan, begitu juga halnya dengan dana bantuan yang harus diserahkan kabupaten induk selama tiga tahu berturut-turut belum juga terealisasi. Ketiga permasalahan penyerahan pegawai negeri sipil, karena hingga saat ini aada 150 orang pegawai negeri sipil di Kecamatan Silinda Serdang Bedagai belum diserahkan oleh Deli Serdang dan masih berstatus pegawai negeri Deli Serdang, alasannya karena PNS tersebut tidak mau bergabung ke Serdang Bedagai sehingga proses penyerahan pun terhambat.

Langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam menyelesaikan permasalahan tersebut di atas adalah, pertama untuk masalah batas wilayah Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai telah melakukan sosialisasi Undang-undang


(2)

selanjutnya Pemerintah Serdang Bedagai telah membangun infrastruktur untuk pelayanan public,dan telah melantik kepala desa di daerah konflik tersebut, kedua untuk permasalah penyerahan asset dan dana bantuan daerah, pemerintah Serdang Bedagai telah meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, menteri Dalam Negeri dan menteri Keuangan untuk memfasilitasi dalam penyelesaian masalah tersebut, namun masih menemukan jalan buntu. Ketiga, untuk penyerahan pegawai negeri sipil, Pemerintah Serdang Bedagai telah melakukan upaya negosiasi dengan Deli Serdang, namun menemukan kesulitan sehingga Pemerintah Serdang Bedagai meminta bantuan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Aparatur Negara agar memfasilitasi permasalahan ini dengan Kabupaten Deli Serdang, namun hingga saat ini permasalahan tersebut belum juga selesai.

4.2 Saran

1. Dengan semakin maraknya pemekaran dewasa ini diharapkan pemerintah pusat khususnya Departemen Dalam Negeri lebih selektif dalam melakukan pemekaran daerah karena dikhawatirkan bahwa pemerintah yang bersangkutan belum siap dimekarkan sehingga akan menjadi beban keuangan negara nantinya. Sementara bagi daerah yang ingin memekarkan diri lebih melihat potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, kondisi sosial politik, ekonimi dan sebagainya sehingga daerah yang akan dimekarkan benar-benar siap dan memang berasal dari aspirasi masyarakat,bukan segelintir oknum yang menginginkan kekuasaan.

2. Apabila pemerintah pusat telah memutuskan dan menetapkan pemekaran suatu wilayah, maka hendaknya melakukan pengawasan secara intensif terhadap jalannya pemerintahan terutama dalam penyerahan asset daerah dan dana bantuan daerah yang merupakan hak dari daerah pemekaran, disamping itu dalam undang-undang pemekaran daerah sebaiknya jelas


(3)

tetap memantau jalannya pemerintahan yang baru dimekarkan tersebut. Bagi daerah sebaiknya melakukan inventaris asset daerah dan dana bantuan daerah segera setelah daerah dimekarkan , menyelesaikan dan menentukan batas daerah dengan daerah induk.

3. Bagi pemerintah Serdang Bedagai hendaknya tetap merangkul masyarakat 9 desa khususnya Desa Pagar Manik untuk bersama-sama melakukan pembangunan juga menciptakan situasi yang kondusif . Dalam masalah menyelesaikan asset daerah dan dana bantuan daerah, pemerintah Serdang Bedagai sebaiknya melakukan inventaris barang daerah serta mensertifikasinya sesuai surat tertulis dari Menteri Dalam Negeri tentang data asset daerah Serdang Bedagai.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Sutiyoso,Perspektif daerah terhadap permasalahan Implementasi dan solusi kebijakan desen-

tralisasi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999,dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi,Jakarta:Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,2003

Hidayat, Syarif.Refleksi Realita Otonomi Daerah dan tantangan kedepan,Jakarta:Pustaka Quantum,2000

Susan,Novri. Pengantar Sosiologi Konflik dan isu-isu Konflik Kontemporer Jakarta: Kencana

Prenada Media Grup,2009

Marijan,Kacung.Sistem Politik Indonesia Jakarta,Kencana Prenada Media Group,2010

Sindung,Oentarto Mawardi,Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi daerah:Implementasi,per-

masalahan dan Solusi,dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi,Jakarta:Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,2004

Kartikasari, SN (Penyunting), mengelola Konflik: Keterampilan dan strategi untuk bertindak

Jakarta:The British Council,2000

G.Pruitt,Dean dan Jeffrey Z Rubin,Teori Konflik Sosial Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004

Strauss,Alnselm dan Juliet Cerbin,Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, tata langkah dan teknik - teknik teorosasi data, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003


(5)

Moeljarto T,beberapa Pemikiran tentang Sistem Kepartaian di Indonesia,seksi Penerbitan fakultas Sospol UGM,Yogyakarta,1968

Yahya,Muhaimin,Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia,dalam Prisma 10 tahun

Koswara E, Otonomi Daerah untuk demokrasi dan kemandirian rakyat, (Jakarta,Yayasan Pariba,2001)

Manan,Bagir,,Hubungan antara Pusat dan daerah berdasarkan azas desentralisasi Menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Disertasi Doktor dalam Hukum Tata Negaa,UNPAD Bandung,1990.

Takdir,Sutan Alisyabana,Indonesia:social and cultural Revolution.Terjemahan Benedict R Anderson,Kuala Lumpur Oxford University Press.

Efendi, Amir Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah tumbuh Hilang Berganti, Karya Unipress,Jakarta,1993.

Aguston,Budi,,2005,Desentralisasi dan potensi konflik horizontal:Refleksi relasi pusat dan Daerah,Etnovisi,volume 1 No 3

http://serdangbedagaikab.go.id/indonesia/index.php?option=com_content&task=blogcatego ry&id=108&Itemid=67

http://www2.titc.ttu.edu/schneider/dev.sem/5325-16-conflict.htm

Ant/jy,KasusTapalBatasSerdangBedagai,http://depdagri.go.id/konten.php?nama=BeritaDaerah&op= detail_berita_daerah&id=1171

Gun,PermasalahanDaeahPemekaran,http://hukumoline.com/detail.asp?id=18539&cl=Berita Yn,TapalBatasBumerangBagiDaerahPemekaran,http;//www.harianglobal.com/news.php?ext end.30903

Yn,PermasalahanDaerahPemekaran,http://www.harianglobal.com/comment.php?comment.n ews.9707


(6)

Yn,Status Sembilan Desa diKabupatenSerdangBedagai,http://www.harian-global.com/comment.php?comment.news.1197