Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Menuju Pembangunan Kota Hijau (Studi Kasus di Kota Medan)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam rangka mendukung penelitian mengenai model pengelolaan RTH
menuju pembangunan kota hijau, ada empat area yang harus mendapatkan
perhatian, yaitu: RTH dan manfaat ekologisnya; aplikasi sistem informasi
geografis dan pemodelan sistem dinamis, serta kebijakan pembangunan kota
hijau.
2.1. Ruang Terbuka Hijau
Menurut Fakuara (1987), RTH merupakan ruang yang terdapat tumbuhan
atau vegetasi di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang
sebesar-besarnya seperti proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya.
Menurut Nurisyah (1997), RTH adalah ruang terbuka yang ditanami dengan
tanaman, mulai dari yang bersifat alami (rumput, jalur hijau, taman bermain dan
taman lingkungan di daerah pemukiman). Shirvani (1985) mendefinisikan ruang
terbuka sebagai keseluruhan lanskap, perkerasan (jalan dan trotoar), taman dan
tempat rekreasi di dalam kota. Ruang terbuka tidak harus diisi oleh tumbuhan,
atau didalamnya hanya memiliki sedikit tumbuhan. Ruang terbuka dapat
berbentuk man made, yang terjadi akibat teknologi, koridor jalan, bangunan
tunggal,bangunan majemuk, atau natural seperti hutan-hutan kota, aliran sungai,
serta daerah alamiah lainnya yang memang telah ada sebelumnya (Hakim, 2002)
Ruang terbuka hijau merupakaan ruang yang diisi oleh tumbuhan, tanaman,

dan vegetasi, (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak
langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan,
kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut guna
memberikan manfaat terhadap lingkungan (LPL-IPB 2005).
13

Universitas Sumatera Utara

14

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5/PRT/M/2008, tentang
penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan, ruang terbuka terdiri
atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). Dalam
perencanaan ruang kota dikenal istilah ruang terbuka (open space), yaitu tempat
terbuka di lingkungan perkotaan. Ruang terbuka (open space) berbeda dengan
istilah ruangan luar (exterior space yang merupakan kebalikan dari interior space)
yang ada di sekitar bangunan. Ruangan luar merupakan ruangan terbuka yang
sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara
intensif, seperti lapangan parkir, lapangan basket, termasuk plaza (piazza) atau
square, sedangkan ruang hijau (green space), yang dapat berbentuk jalur (path),

seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran
kereta api, saluran/jaringan listrik tegangan tinggi, dan berbentuk simpul (nodes),
berupa taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan
pertanian kota, dan seterusnya, sebagai ruang terbuka hijau.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang
penataan RTH kawasan perkotaan, bagian dari ruang terbuka suatu kawasan
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat
ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika, sedangkan Fandeli (2004)
menyatakan RTH kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung, yang terdiri atas pertamanan kota, kawasan
hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga,
kawasan hijau pekarangan. RTH diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan
berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya.

Universitas Sumatera Utara

15

Berbagai referensi pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka
RTH : 1. Suatu lapangan yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai

strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi
berkayu); 2. Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran,
bentuk, dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di
dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial

woody

plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan

lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai
tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan
penunjang fungsi RTH yang bersangkutan (Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
Departemen Pekerjaan Umum, 2006). Adapun tipologi RTH dapat dilihat pada
Gambar 2.1 dibawah ini.
Fisik

Fungsi

Struktur


Kepemilikan

Pola
Ekologis

RTH
Publik

Pola
Planologis

RTH
Privat

Ekologis
RTH
Alami
Sosial
Budaya


Ruang
Terbuka
Hijau
(RTH)

Estetika
RTH
Non Alami
Ekonomi

Sumber : Permen PU No.05/PRT/M2008
Gambar 2.1 Tipologi ruang terbuka hijau
RTH memiliki fungsi dan peran khusus pada masing-masing kawasan
yang ada pada setiap perencanaan tata ruang kabupaten/kota, yang direncanakan
dalam bentuk penataan tumbuhan, tanaman, dan vegetasi, agar dapat berperan
dalam mendukung fungsi ekologis, sosial budaya, dan arsitektural, sehingga dapat

Universitas Sumatera Utara

16


memberi manfaat optimal bagi ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat,
sebagai berikut.
1.

Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH menjadi
bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro,
agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar,
sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap (pengolah) polutan media
udara, air dan tanah, serta penahan angin. Forman dan Godron (1986)
mengemukakan bahwa kerapatan vegetasi berpengaruh terhadap kecepatan
angin, semakin rapat semakin menghambat kecepatan dibandingkan dengan
vegetasi yang longgar. Vegetasi dapat mengubah aliran udara di atas la han
dan di sekeliling bangunan. Penempatan dekat bangunan harus selektif karena
dapat menghalangi aliran udara ke dalam bangunan.

2.

Fungsi sosial, RTH merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk
meningkatkan interaksi sosial baik diantara warga kota, maupun kepada

lingkungan sekitarnya (Grey & Deneke 1986). Keberadaan RTH dapat
dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, tempat berkumpul, sarana rekreasi,
dan tempat ibadah pada waktu-waktu tertentu. Pada bentuk-bentuk yang lain,
RTH dapat bermanfaat sebagai pelengkap keindahan, sarana pengaman,
pengarah pengguna jalan dan sebagai identitas suatu kota. Tersedianya
kawasan hijau, merupakan salah satu aspek yang penting dalam rangka
pembangunan nilai-nilai sosial suatu kota (Nagtegaal & Nas 2000).

3.

Fungsi ekonomi, RTH dapat memberikan fungsi ekonomi kepada masyarakat
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berupa produk
pertanian yang dihasilkan yang dapat dijual, secara tidak langsung misalnya

Universitas Sumatera Utara

17

pemanfaatan kawasan sebagai objek wisata masyarakat. Potensi sumber daya
alam sebagai aset kota dapat dijadikan paket ekowisata (hutan kota sebagai

hutan tropis, hutan mangrove), dan pemukiman masyarakat lokal tepi sungai
sebagai water front culture tourism, apabila kawasan tersebut dikelola dengan
baik akan memberikan pendapatan kepada daerah. (Savage & Kong.2003)
4.

Fungsi estetis, RTH meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan
kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan pemukiman) maupun
makro (lansekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas
dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif,
seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus
menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis. Selain itu, dapat
tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung,
infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota
pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta
api, serta jalur hijau bantaran sungai.

5.

Ekosistem perkotaan : RTH sebagai produsen oksigen, tanaman berbunga,
berbuah dan berdaun indah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian,

kehutanan, dan lain-lain.

2.2.

Konsep Kota Hijau (Green City)
Konsep kota hijau muncul dilatarbelakangi oleh pertumbuhan kota yang

begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan
perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan
berkurangnya luasan RTH serta fenomena perubahan iklim (Ernawi 2012).
Kementrian Pekerjaan Umum (2011) mengartikan kota hijau sebagai kota yang

Universitas Sumatera Utara

18

ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya
air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu,
menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan,
berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan.

Konsep ini sesuai dengan pendekatan-pendekatan yang disampaikan
Ebenezer Howard (1965) tentang garden city. Konsep ini menjawab kebutuhan
masyarakat akan kehidupan yang nyaman dan dapat berintegrasi dengan
lingkungan alam. Oleh karena itu, konsep sangat relevan dengan konsep kota
hijau berkelanjutan. Garden city merupakan wujud kota berkelanjutan dari empat
fisik berikut ini :
1.

Jalan layak huni dan lingkungan : elemen ini menggabungkan adanya
integrasi antara pepohonan, taman, ruang terbuka, udara yang bersih dari
polusi

2.

Integrasi dari aktifitas masyarakat, seperti bekerja, bermukim, berbelanja,
kegiatan rekreasi dan rohani yang ditempatkan dalam zoning yang mudah
diakses.

3.


Batasan kota digunakan sebagai sabuk hijau yang berfungsi untuk mencegah
pemekaran kota

4.

Jarak tempuh dan fasilitas pendukungnya, membuat suasana nyaman bagi
orang berjalan dan juga mendukung prinsip transportasi untuk kota
berkelanjutan.
Implikasi dari pendekatan-pendekatan yang disampaikan diatas adalah

menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan

Universitas Sumatera Utara

19

pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan kota-kota baru yang
memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari
pengembangan kota, selanjutnya juga memastikan pengembangan kota yang
dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.
Wildsmith (2009), green city (kota hijau) juga dapat disebut sustainable
city (kota yang berkelanjutan) atau eco-city (kota berbasis ekologi), yaitu kota

yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan
lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Green city dapat
terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan
(minimalisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi
buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara.
Selain elemen-elemen tersebut Wildsmith (2009) juga menambahkan elemen
sosial dan budaya. Sehingga green city merupakan kota yang melakukan
pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga tercipta
keseimbangan diantara manusia dan alam. (Rushayati, 2012).
Mori dan Christodoulou (2011), mengartikan kota hijau sebagai kota
berkelanjutan. Pengertian dari kota yang berkelanjutan adalah sebuah kota yang
dalam melakukan pembangunan berasaskan keadilan antara generasi saat ini
dengan generasi yang akan datang. Pembangunan ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuannya dalam memenuhi
kebutuhan generasi yang akan datang. Seperti halnya Wildsmith (2009), Mori dan
Christodoulou (2011) juga mensyaratkan keseimbangan biofisik, sosial dan
ekonomi

yang berkeseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan kota

berkelanjutan. Definisi lain tentang kota yang berkelanjutan adalah kota yang

Universitas Sumatera Utara

20

dalam perkembangan dan pembangunannya mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global dengan
mempertahankan keserasian lingkungan tanpa mengabaikan kemampuan generasi
mendatang dalam pemenuhan kebutuhan penduduknya (Agustina 2007).
Roseland (1997) mendefinisikan green city sebagai eco-city, yaitu kota
yang berbasis ekologi dengan beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai
berikut :
1.

Merevisi penataan penggunaan lahan agar menjadi lebih memperhatikan
kebutuhan akan ruang terbuka hijau dan kenyamanan di pusat-pusat
permukiman dan area dekat transportasi,

2.

Perlu memperhatikan kebutuhan transportasi ramah lingkungan,

3.

Merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak (sungai, pantai, lahan
basah),

4.

Mendukung kegiatan penghijauan, pertanian masyarakat lokal,

5.

Sosialisasi daur ulang limbah, teknologi inovatif tepat guna,

6.

Menciptakan keadilan sosial dengan memberikan kesempatan pada wanita
dan orang cacat untuk berperan serta menikmati pembangunan,

7.

Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekologi yaitu dengan
menurunkan limbah dan polusi, serta menggunakan bahan baku yang tidak
berbahaya bagi lingkungan,

8.

Mensosialisasikan penghematan pemanfaatan sumberdaya alam,

9.

Meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan melalui kegiatan pendidikan
lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

21

Kriteria konsep kota hijau (green city) menurut (P2KH-Kementerian PU
2011) adalah
1. Pembangunan kota harus sesuai peraturan UU yang berlaku, seperti UU
24/2007: Penanggulangan Bencana (Kota hijau harus menjadi kota
waspada bencana), UU 26/2007: Penataan Ruang, UU 32/2009:
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dll.
2. Konsep zero waste (Pengolahan sampah terpadu, tidak ada yang terbuang).
3. Konsep zero run-off (Semua air harus bisa diresapkan kembali ke dalam
tanah, konsep ekodrainase).
4. Infrastruktur hijau (tersedia jalur pejalan kaki dan jalur sepeda).
5. Transportasi hijau (penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan
berbahan bakar terbarukan, mendorong penggunaan transportasi bukan
kendaraan bermotor - berjalan kaki, bersepeda, delman/dokar/andong,
becak.
6.

Ruang terbuka hijau seluas 30 persen dari luas kota (RTH publik 20
persen, RTH privat 10 persen)

7. Bangunan hijau
8. Partisispasi masyarakat (komunitas hijau)
Dasar hukum perwujudan kota hijau :
1. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (pasal 29) 30 persen dari
wilayah kota berwujud ruang terbuka hijau (RTH), 20 persen RTH Publik
dan 10 persen RTH Privat.
2. UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Pasal 14 ayat 4)
Persyaratan keseimbangan

Universitas Sumatera Utara

22

3. UU No. 6 Tahun 1994 tentang pengesahan United Nations Framework
Convention on Climate Change (konvensi kerangka kerja perserikatan

bangsa-bangsa mengenai perubahan iklim)
4. PP No. 15 tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang (Pasal 36)
5. Perpres No. 61 tahun 2011 tentang RAN GRK (penurunan emisi)
Beberapa pendekatan kota hijau yang dapat diterapkan dalam manajemen
pengembangan kota adalah :
Pendekatan pertama adalah smart green city planning. Pendekatan ini
terdiri atas 5 konsep utama yaitu konsep kawasan berkeseimbangan ekologis yang
bisa dilakukan dengan upaya penyeimbangan air, CO2, dan energi.
1. Konsep desa ekologis yang terdiri atas penentuan letak kawasan,
arsitektur, dan transportasi dengan contoh penerapan antara lain:
kesesuaian dengan topografi, koridor angin, sirkulasi air untuk mengontrol
klimat mikro, efisiensi bahan bakar, serta transportasi umum.
2. Konsep kawasan perumahan berkoridor angin (wind corridor housing
complex), dengan strategi pengurangan dampak pemanasan. Caranya,

dengan

pembangunan

RTH,

pengontrolan

sirkulasi

udara,

serta

menciptakan kota hijau.
3. Konsep kawasan pensirkulasian air (water circulating complex). Strategi
yang dilakukan adalah daur ulang air hujan untuk menjadi air baku.
4. Konsep taman tadah hujan (rain garden).
Pendekatan kedua adalah Konsep CPULS (Continous Productive Urban
LandscapeS). Konsep penghijauan kota ini merupakan pengembangan landscape

Universitas Sumatera Utara

23

yang menerus dalam hubungan urban dan rural serta merupakan landscape
productive.
Pendekatan ketiga adalah integrated tropical city.

Konsep ini intinya

adalah memiliki perhatian khusus pada aspek iklim, seperti perlindungan terhadap
cuaca, penghutanan kota dengan memperbanyak vegetasi. Kelebihan dari konsep
kota hijau adalah dapat memenuhi kebutuhan keberadaan RTH di suatu kawasan,
sehingga dapat mengurangi bahkan memecahkan masalah lingkungan, bencana
alam, polusi udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan permasalahan
lingkugan lainnya.
2.3. Strategi Penyediaan RTH di Perkotaan
2.3.1. Strategi Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah
Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai
berikut: ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat;
proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30 persen yang
terdiri dari 20 persen ruang terbuka hijau publik dan 10 persen terdiri dari ruang
terbuka hijau privat; apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang
bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan
yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.
Proporsi 30 persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin
keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan
keseimbangan

mikroklimat,

maupun

sistem

ekologis

lain

yang

dapat

meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta
sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.

Universitas Sumatera Utara

24

2.3.2. Strategi Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan
dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas
RTH perkapita sesuai peraturan yang berlaku.
Tabel 2.1. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk
No

Unit
Lingkung
an

Tipe RTH

Luas
minimal/
unit (m2)

Luas
minimal
/ kapita
(m2)

Lokasi

1

250 jiwa

Taman RT

250

1,0

di tengah lingkungan RT

2

2500 jiwa

Taman RW

1.250

0,5

di pusat kegiatan RW

3

30.000
jiwa

9.000

0,3

120.000
jiwa

24.000

0,2

4

Taman
Kelurahan
Taman
kecamatan
Pemakaman
Taman kota

disesuaikan
144.000

1,2
0,3

Hutan kota

disesuaikan

4,0

5

480.000
jiwa

untuk fungsidisesuaikan
fungsi
tertentu
Sumber : Permen PU No.05/PRT/M/2008

12,5

dikelompokan dengan
sekolah/ pusat kelurahan
dikelompokan dengan
sekolah/ pusat kecamatan
tersebar
di pusat wilayah/ kota
di dalam/ kawasan
pinggiran
disesuaikan dengan
kebutuhan

2.3.3. Strategi Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu
Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau
pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya
alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan
agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau
sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan
perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan
RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

Universitas Sumatera Utara

25

2.4. Arahan Penyediaan RTH Pada Bangunan/Perumahan
2.4.1. RTH Pekarangan
Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai
aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar
bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA
mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan di dalam
pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai:
2.4.2. Pekarangan Rumah Besar
Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai
berikut:
1. Kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di
atas 500 m2
2. Ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan
dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat;
3. Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon
pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau
rumput.
2.4.3. Pekarangan Rumah Sedang
Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah
sebagai berikut:
1. Kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan
antara 200 m2 sampai dengan 500 m2
2. RTH minimum yang diharuskan adalah luas lahan dikurangi luas dasar
bangunan sesuai peraturan daerah setempat;

Universitas Sumatera Utara

26

3. Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon
pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah
dan atau rumput.
2.4.4. Pekarangan Rumah Kecil
Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai
berikut:
1. Kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan
dibawah 200 m2
2. RTH minimum yang diharuskan adalah luas lahan dikurangi luas dasar
bangunan sesuai peraturan daerah setempat;
3. Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon
pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan
atau rumput.Keterbatasan luas halaman denganjalan lingkungan yang
sempit,

tidak

menutup

kemungkinan

untuk

mewujudkan

RTH

melaluipenanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya.
2.4.5 RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha
RTH halaman perkantoran, pertokoan,dan tempat usaha umumnya berupa
jalur trotoar dan area parkir terbuka. Penyediaan RTH pada kawasan ini adalah
sebagai berikut:
1. Tingkat KDB 70 persen - 90 persen perlu menambahkan tanaman dalam
pot;
2. Perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB diatas 70 persen,
memiliki minimal 2 (dua) pohon kecil atau sedang yang ditanam pada
lahan atau pada pot berdiameter diatas 60 cm;

Universitas Sumatera Utara

27

3. Persyaratan penanaman pohon pada perkantoran, pertokoan dantempat
usaha dengan KDB dibawah 70 persen, berlaku seperti persyaratan pada
RTH pekarangan rumah, dan ditanam pada area diluar KDB yang telah
ditentukan.
2.4.6. RTH Dalam Bentuk Taman Atap Bangunan (Roof Garden )
Pada kondisi luas lahan terbuka terbatas, maka untuk RTH dapat
memanfaatkan ruang terbuka non hijau,seperti atap gedung, teras rumah, terasteras bangunan bertingkat dan disamping bangunan, dan lain-lain.
2.5. Arahan Penyediaan RTH Pada Lingkungan/Permukiman
2.5.1. RTH Taman Rukun Tetangga
Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani
penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial
di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT,
dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 m
dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman
(ruang hijau) minimal seluas 70 persen – 80 persen dari luas taman. Pada taman
ini selain ditanami dengan berbagai tanaman,juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon
pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.
2.5.2. RTH Taman Rukun Warga
RTH Taman Rukun Warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk taman
yang ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja,
kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan
RW tersebut. Luas taman ini minimal 0,5 m2 per penduduk RW, dengan luas
minimal 1.250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 1000 m dari

Universitas Sumatera Utara

28

rumah-rumah penduduk yang dilayaninya. Luas area yang ditanami tanaman
(ruang hijau) minimal seluas 70 persen – 80 persen dari luas taman, sisanya dapat
berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas.
Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga
terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau
sedang.
2.5.3 RTH Kelurahan
RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan
untukmelayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m2 per
penduduk kelurahan, denganluas minimal taman 9.000 m2.. Lokasi taman berada
pada wilayah kelurahan yang bersangkutan.Luas area yang ditanami tanaman
(ruang hijau) minimal seluas 80 persen – 90 persen dari luas taman, sisanya dapat
berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas.
Pada taman ini selain ditanamidengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga
terdapat minimal 25 (duapuluh lima) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau
sedang untuk jenis taman aktif dan minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari
jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.
2.5.4. RTH Kecamatan
RTH kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan
untuk melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m2 per
penduduk kecamatan, denganluas taman minimal 24.000 m2. Lokasi taman berada
pada wilayah kecamatan yang bersangkutan. Luas area yang ditanami tanaman
(ruang hijau) minimal seluas 80 persen – 90 persen dari luas taman, sisanya dapat
berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas.

Universitas Sumatera Utara

29

Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga
terdapat minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau
sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis
pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.
2.6. Arahan penyediaan RTH pada kawasan kota/perkotaan
2.6.1 RTH Taman Kota
RTH Taman kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk
satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal 480.000
penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, dengan luas taman
minimal 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau),
yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga
dengan minimal RTH 80 persen – 90 persen. Semua fasilitas tersebut terbuka
untuk umum. Jenis vegetasi yang dipilih berupapohon tahunan, perdu, dan semak
ditanam secara berkelompok atau menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta
iklim mikro atau sebagai pembatas antar kegiatan.
2.6.2 Hutan Kota
Hutan kota (urban forest) ialah ruang terbuka yang ditumbuhi vegetasi
berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan sebesarbesarnya keapada penduduk perkotaan dalam kegunaan-kegunaan proteksi,
estetika, rekreasi dan kegunaan khusus lainnya. Tujuan penyelenggaraan hutan
kota adalah sebagai peyangga lingkungan kota yang berfungsi untuk:
a. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika;
b. Meresapkan air;
c. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan

Universitas Sumatera Utara

30

d. Mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati
Indonesia.
Hutan kota dapat berbentuk begerombol, menyebar dan jalur :
a. Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi
terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon
dengan jarak tanam rapat tidak beraturan;
b. Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan
luas minimal 250 m2. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencarpencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil;
c. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90 persen – 100
persen dari luas hutan kota;
d. Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti
bentuk sungai, jalan, pantai, dan saluran. Lebar minimal hutan kota bentuk
jalur adalah 30 m.
2.6.3. Sabuk Hijau
Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga
dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah
kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya
agar tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan
sekitarnya. Sabuk hijau dapat berbentuk:
1. RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan
tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau
pemisah;

Universitas Sumatera Utara

31

2. Hutan kota; kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada
sebelumnya (eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum,
dipertahankan keberadaannya.
Fungsi lingkungan sabuk hijau:
1. Peredam kebisingan; mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh
radiasi energi matahari; penapis cahaya silau; mengatasi penggenangan;
daerah rendah dengan drainase yang kurang baik sering tergenang air
hujan yang dapat mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang nyamuk.
2. Penahan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi sebagai
penahan angin perlu diperhitungkan beberapa faktor yang meliputi
panjang jalur, lebar jalur.
3. Mengatasi

intrusi

air

laut;

RTH

hijau

di

dalam

kota

akan

meningkatkanresapan air, sehingga akan meningkatkan jumlah air tanah
yang akan menahan perembesan air laut ke daratan.
4. Penyerap dan penepis bau; mengamankan pantai dan membentuk daratan
2.6.4. RTH Jalur Hijau Jalan
RTH jalur hijau jalan disediakan dengan penempatan tanaman antara
20 persen – 30 persen dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan klas
jalan.Untuk menentukan pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua)
hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan agar dipilih
jenis tanaman khas daerah setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta
tingkat evapotranspirasi rendah.
Taman pulau jalan adalah RTH yang terbentuk oleh geometris jalan seperti
pada persimpangan tiga atau bundaran jalan, sedangkan median berupa jalur

Universitas Sumatera Utara

32

pemisah yang membagi jalan menjadi dua lajur atau lebih. Median atau pulau
jalan dapat berupa taman atau non taman.
2.7. Sistem Informasi Geografis
Badan Informasi Geospasial (BIG) menjabarkan SIG sebagai suatu sistem
yang saling terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan yang
terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan
personel

yang

didesain

untuk

memperoleh,

menyimpan,

memperbaiki,

memanipulasi, menganalisis, serta menampilkan semua bentuk informasi yang
bereferensi geografi. Prahasta (2002) mendefinisikan SIG sebagai alat bantu yang
sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan
kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan
demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi a) masukan, b)
manajemen, c) analisis dan manipulasi data serta d) keluaran (Aronoff, 1989).
Sistem informasi geografi merupakan seperangkat sistem berbasis
komputer untuk memetakan dan menganalisis sesuatu yang terlihat jelas dan
terjadi di permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan pengoperasikan
database seperti pertanyaan dan analisis statistika dengan cara menampilkan

secara khas dan menganalisis secara geografi dari suatu peta. Kemampuan ini
membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya dan menjadikannya lebih
bernilai dalam penggunaannya oleh umum ataupun bisnis pribadi yang untuk
menjelaskan peristiwa yang dianggap penting, memprediksi hasil serta perencana
strategi.

Universitas Sumatera Utara

33

Data yang diolah pada SIG ada 2 (dua) macam yaitu data Geografis (data
spasial dan data non-spasial). Data spasial adalah data yang berhubungan dengan
kondisi geografi misalnya sungai, wilayah administrasi, gedung, jalan raya dan
sebagainya. Data spasial didapatkan dari peta, foto udara, citra satelit, data
statistik dan lain-lain. Hingga saat ini secara umum persepsi manusia mengenai
bentuk representasi entity spasial adalah konsep raster dan vector. Sedangkan data
non-spasial adalah selain data spasial yaitu data yang berupa text atau angka,
biasanya disebut dengan atribut.
Data non-spasial ini akan menerangkan data spasial atau sebagai dasar
untuk menggambarkan data spasial. Dari data non-spasial ini nantinya dapat
dibentuk data spasial. Misalnya jika ingin menggambarkan peta penyebaran
penduduk maka diperlukan data jumlah penduduk dari masing-masing daerah
(data non-spasial), dari data tersebut nantinya kita dapat menggambarkan pola
penyeberan penduduk untuk masing–masing daerah.
Secara konseptual sebuah teknologi SIG harus mempunyai kemampuan
sebagai berikut:
a.

Lokasi, SIG harus mampu menunjukkan lokasi keberadaan suatu objek
berdasarkan gambar yang disajikan pada peta. Lokasi objek didiskripsikan
sebagai cara untuk mencapainya, misalnya nama tempat, kode pos, atau
dapat pula menggunakan kedudukan objek secara geografis seperti garis
lintang dan garis bujur.

b.

Kondisi, sebuah teknologi SIG harus dapat mengetahui kondisi dari suatu
objek yang tergambar dalam peta. Kondisi ini misalnya jenis tanah,
keberadaan flora dan fauna dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

34

c.

SIG mampu menunjukkan perubahan yang terjadi pada objek tertentu,
setelah selang beberapa waktu.

d.

Pola, SIG harus mampu memberi informasi tentang pola suatu objek pada
daerah tertentu, misalnya pencemaran pada daerah industri, kesibukan lalu
lintas dan sebagainya.

e.

Pemodelan, SIG harus mampu membuat suatu pemodelan untuk
mengembangkan sistem, misalnya: apa yang terjadi jika dilakukan
penambahan jaringan jalan. (Prahasta, 2001).

2.8. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh/remote sensing adalah ilmu dan untuk memperoleh
informasi suatu objek, daerah atau fenomena untuk melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau
fenomena yang dikaji. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan
data dari jarak jauhmyang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang
objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979).
Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan data numerik. Data tersebut
dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau
fenomena yang diteliti. Analisis data penginderaan jauh memerlukan rujukan
seperti peta tematik, data statistik dan data lapang. Informasi yang diperoleh dapat
dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan (F. Sri Hardiyanti, 2001). Data hasil
penginderaan jauh merupakan salah satu bentuk data yang digunakan dalam
Sistem Informasi Geografis.
Hasil penginderaan jauh umumnya berupa citra yang merupakan gambaran

Universitas Sumatera Utara

35

rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan
dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Menurut Lillesand
dan Kiefer (1979) di dalam penginderaan jauh istilah ”foto” diperuntukan secara
esklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film.
Citra satelit ikonos adalah citra satelit resolusi tinggi yang diluncurkan
tanggal 24 September 1999. Satelit ini merupakan satelit sipil pertama yang
menggunakan sensor dengan resolusi spasial tinggi, yaitu 4 meter multispektral
(XS) dan 1 meter pankromatik (PAN).
Citra satelit Ikonos sangat sesuai untuk aplikasi yang meminta tingkat
detail dan akurasi yang tinggi. Salah satu unsur yang digambarkan dalam peta
tematik tersebut adalah unsur tumbuhan seperti sawah, kebun / perkebunan, hutan,
semak belukar, ladang, tanah kosong, dan lahan reklamasi. Kamera satelit dapat
membedakan obyek-obyek pada permukaan bumi hingga ukuran 1 mx 1 m, tetapi
tidak dapat melihat individu manusia. (Giada S.2003).
Dari data citra Ikonos dapat dibuat peta dengan skala maksimal 1:5000
yang dapat memberikan informasi spasial yang rinci seperti jenis penggunaan data
faktual dan jenis bangunan berdasar penggunaannya. Data satelit Ikonos juga
sudah dimanfaatkan untuk pemetaan batas areal dan penggunaan lahan untuk
lokasi kilang minyak di Pare-pare. Hal tersebut didasari karena data Ikonos
dengan resolusi spasial 1m x 1m dapat dianggap memiliki ketelitian faktual
mendekati 100 persen mampu menampilkan jenis-jenis obyek yang terdapat di
dalamnya secara jelas sesuai kondisi sebenarnya), serta memiliki kesalahan
perhitungan luas area yang relatif kecil karena kemampuan spasialnya yang tinggi.
(Lapan 2006).

Universitas Sumatera Utara

36

2.9. Pendekatan Sistem Dinamik
2.9.1. Defenisi
Sistem dinamik pertama kali diperkenalkan oleh Jay W. Forrester di
Massachussetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1950-an, merupakan
suatu metode pemecahan masalah-masalah kompleks yang timbul karena adanya
kecenderungan sebab-akibat dari berbagai macam variabel di dalam sistem.
Metode sistem dinamik pertama kali diterapkan pada permasalahan manajemen
seperti fluktuasi inventori, ketidakstabilan tenaga kerja, dan penurunan pangsa
pasar suatu perusahaan. Hingga saat ini aplikasi metode sistem dinamik terus
berkembang semenjak pemanfaatannya dalam bidang-bidang sosial dan ilmu-ilmu
fisik.
Berikut ini pengertian sistem dinamik adalah sebagai berikut :
a. Sistem dinamik adalah suatu metode analisis permasalahan dimana waktu
merupakan salah satu faktor penting, dan meliputi pemahaman bagaimana
suatu sistem dapat dipertahankan dari gangguan di luar sistem, atau dibuat
sesuai dengan tujuan dari pemodelan sistem yang akan dibuat (Coyle,
1996).
b. Sistem dinamik adalah metodologi untuk memahami suatu masalah yang
kompleks. Metodologi ini dititikberatkan pada kebijakan dan bagaimana
kebijakan tersebut menentukan tingkah laku masalah-masalah yang dapat
dimodelkan oleh sistem dinamik (Richardson dan Pugh, 1986).
c. Sistem

dinamik

adalah

suatu

metode

pendeskripsian

kualitatif,

pemahaman, dan analisis sistem kompleks dalam ruang lingkup proses,
informasi, dan struktur organisasi, yang memudahkan dalam simulasi

Universitas Sumatera Utara

37

pemodelan kuantitatif dan analisis kebijakan dari struktur sistem dan
kontrol (Wolstenholme, 1989).
d. Sistem dinamik adalah suatu bidang untuk memahami bagaimana sesuatu
berubah menurut waktu. Sistem ini dibentuk oleh persamaan-persamaan
diferensial. Persamaan diferensial digunakan untuk masalah-masalah
biofisik yang diformulasikan sebagai keadaan di masa datang yang
tergantung dari keadaan sekarang (Forrester, 1999).
2.9.2. Pemodelan Dinamik
Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model
didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi.
Sistem yang dibatasi ini merupakan sistem yang meliputi semua konsep dan
variabel yang saling berhubungan dengan permasalahan dinamik (dynamic
problem) yang ditentukan (Rhichardson dan Pugh, 1986). Model yang
dikembangkan dengan sistem dinamik mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Menggambarkan hubungan sebab akibat dari sistem
b. Sederhana dalam mathematical nature
c. Sinonim dengan terminologi dunia industri, ekonomi, dan sosial dalam
tatanama
d. Dapat melibatkan banyak variabel
e. Dapat menghasilkan perubahan yang tidak kontinyu jika dalam keputusan
memang dibutuhkan (Forrester, 1999).
Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) atau
perancangan kebijaksanaan. Berbeda dengan model statis, pendekatan model
dinamik bersifat deduktif dan mampu menghilangkan kelemahan-kelemahan

Universitas Sumatera Utara

38

dalam asumsi-asumsi yang dibuat sehingga kesepakatan atas asumsi-asumsi dapat
diperoleh. Model dinamik menekankan pada proses perubahan dari satu kondisi
ke kondisi lainnya. Karena perubahan memakan waktu, delay menjadi hal penting
dalam pemodelan dinamik. Apabila dalam model statis tingkat variabel keadaan
dan kelakuan sistem yang lalu menentukan tingkat stok dan kelakuan sistem
sekarang, maka dalam model sistem dinamik hubungan temporal hanya berlaku
untuk tingkat stok saja dan tidak untuk kelakuan sistem. Kelakuan sistem pada
saat sekarang tidak dapat diterangkan oleh kelakuannya pada waktu yang lalu,
melainkan oleh mekanisme interaksi struktur mikro dalam sistem (Tasrif, 2004).
Dalam menyusun model dinamik terdapat tiga bentuk alternatifn yang dapat
digunakan (Muhammadi et al., 2001), yaitu :
a. Verbal
Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata.
b. Visual (analog model kualitatif)
Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan hubungan
sebab akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana dan jelas. Analisis
deskripsi visual dilakukan secara kualitatif.
c. Matematis
Model visual dapat direpresentasikan ke dalam bentuk matematis yang
merupakan perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua bentuk
perhitungannya bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk berperan
sebagai alat bantu untuk dimengerti bagi yang awam.
2.9.3. Pendekatan Sistem Dinamik
Permasalahan dalam sistem dinamik dilihat tidak disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

39

pengaruh dari luar namun dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem.
Tujuan metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi kausal (sebab akibat)
adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang tata cara kerja suatu
sistem (Asyiawati, 2002). Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik adalah :
a. Identifikasi dan definisi masalah
b. Konseptualisasi sistem
c. Formulasi model
d. Simulasi model
e. Analisa kebijakan
f. Implementasi kebijakan
Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan
pemahaman sistem dan permasalahannya sehingga membentuk suatu lingkaran
tertutup. Proses dari pendekatan sistem dinamik dapat dilihat pada gambar 2.3.
Pendefinisian masalah merupakan tahap yang sangat penting dilakukan
untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan sistem perlu dilakukan. Tahap
selanjutnya adalah menetapkan tujuan dan batas permasalahan dari sistem yang
akan dimodelkan. Batas sistem menyatakan komponen-komponen yang termasuk
dan tidak termasuk dalam pemodelan sistem. Batas sistem ini meliputi kegiatankegiatan di dalam sistem sehingga perilaku yang dipelajari timbul karena interaksi
dari komponen-komponen di dalam sistem (Purnomo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

40

Implementasi
model
Pemahaman
sistem
Identifikasi
Analisa
masalah
kebijakan
Simulasi
model

Konseptualisasi
sistem
Formulasi model

Gambar 2.2. Tahapan pendekatan sistem dinamik (Widayani, 1999)

Selanjutnya, konseptualisasi model dilakukan atas dasar permasalahan
yang didefinisikan. Ini dimulai dengan identifikasi komponen atau variabel yang
terlibat

dalam

pemodelan.

Variabel-variabel

tersebut

kemudian

dicari

interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan ragam metode seperti diagram
sebab akibat (causal), diagram kotak panah (stock and flow), dan diagram sekuens
(aliran). Konseptualisasi model ini memberikan kemudahan bagi pembaca agar
dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model sehingga menimbulkan
pemahaman yang lebih mendalam atas sistem (Purnomo, 2003).
Kemudian pada tahap formulasi (spesifikasi) model dilakukan perumusan
makna yang sebenarnya dari setiap relasi yang ada dalam model konseptual, ini
dilakukan dengan memasukkan data kuantitatif ke dalam diagram model.
Spesifikasi model dilakukan terhadap variabel-variabel yang saling berhubungan
dalam diagram. Pemodel dapat menentukan nilai parameter dan melakukan
percobaan-percobaan terhadap pengembangan model dengan mengkomunikasikan
kepada aktor-aktor yang terlibat. Dalam hal ini, model diformulasikan dengan

Universitas Sumatera Utara

41

persamaan matematik (Purnomo, 2003).
Pada prinsipnya, model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan
secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus
untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo, Stella, Powersim,
Vensim, Ithink, dan lain-lain. Pemilihan Powersim sebagai perangkat lunak untuk
simulasi model adalah karena kemudahan dan kecanggihannya yang terus
berkembang. Dalam powersim, model kualitatif disajikan dalam bentuk grafik
dari satu atau lebih variabel terhadap waktu. Pada model yang telah dibuat, data
kuantitatif berupa data, informasi dimasukkan dengan mengklik variabel-variabel
yang tersedia seperti level, rate, auxiliary, dan konstanta dan kemudian
nilai/formula dimasukkan ke dalam variabel-variabel tersebut. Selanjutnya,
metode numerik dan time step dapat dipilih untuk mengkalkulasi model
(Muhammadi et al., 2001).
Tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi terhadap model dan
melakukan validasi model yang juga akan menimbulkan umpan balik terhadap
pemahaman sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) simulasi model dilakukan
untuk memahami gejala atau proses sistem, membuat analisis dan peramalan
perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Sedangkan validasi model
dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau
proses yang ditirukan. Hasil validasi ini kemudian akan menimbulkan proses
perbaikan dan reformulasi model. Akhirnya dilakukan analisis kebijakan pada
model yang telah valid dan ini akan menambah pemahaman terhadap sistem.

Universitas Sumatera Utara

42

2.10. Proses Hierarki Analitik
Proses hierarki analitik lebih dikenal dengan istilah Analytical Hierarchy
Process (AHP), diperkenalkan oleh Thomas L Saaty dalam bukunya "The
Analytic Hierarchy Process" (1990). AHP merupakan salah satu dari beberapa

model pendakatan Multi-Attribute Decision Modelling (MADM). AHP adalah
prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi
evaluasi

atribut-atribut

kualitatif.

Atribut-atribut

tersebut

secara

matematikdikuantitatifkan dalam satu set perbandingan berpasangan.
Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lain karena adanya struktur
yang berhierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai kepada
sub-sub kriteria yang paling mendetil. Prosedur ini memperhitungkan validitas
sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang
dipilih oleh para pengambil keputusan. Karena menggunakan input persepsi
manusia, model ini dapat mengolah data yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif. Sehingga kompleksitas permasalahan yang ada disekitar kita dapat
didekati dengan baik oleh model AHP ini. Selain itu, AHP memiliki kemampuan
untuk memecahkan masalah yang multi-objektif atau multi-kriteria yang
didasarkan pada perbandingan preferensi dari tiap elemen dalam hierarki. Jadi
model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.
Langkah paling awal dalam penggunaan proses analisis hierarki adalah
merinci permasalahan ke dalam komponen-komponennya. Selanjutnya mengatur
bagian-bagian dari komponen-komponen tersebut ke dalam bentuk hierarki.
Hierarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen unit lain,

Universitas Sumatera Utara

43

sehingga akhirnya terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen-elemen
yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi konflik.
Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada prinsip-prinsip AHP
yang harus dipahami, diantaranya adalah: decomposition, comparatif judgement,
syntesis of priority, dan logical consistency.

1. Decomposition.

Setelah

persoalan

didefinisikan,

maka

perlu

didekomposisi, yaitu dengan cara memecah persoalan yang utuh menjadi
unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan
juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan
pemecahan lebih lanjut, sehingga didapatkan beberapa tingkatan
persoalan. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan hierarki
(hierarchy).
2. Comparative judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam
kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari
AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil
penilaian ini akan lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise
comparison.

Agar

diperoleh

skala

yang

bermanfaat,

ketika

membandingkan dua elemen seseorang yang akan memberi jawaban perlu
memiliki pengertian yang menyeluruh tentang elemen-elemen yang
dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang
dipelajari.
3. Synthesis of priority. Setiap matriks pairwise comparison dicari
eigenvector -nya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks

Universitas Sumatera Utara

44

pairwise

comparison

terdapat

pada setiap

tingkat,

maka untuk

mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local
priority. Prosedur melakukan sintesa akan berbeda-beda menurut bentuk

hierarki. Pengurutan elemenelemen menurut kepentingan relatif melalui
prosedur sintesa, yang dinamakan priority setting.
4. Logical consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah
bahwa objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan
keseragaman dan relevansi (misalnya, anggur dan kelereng dapat
dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat adalah
kriterianya). Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antar objekobjek yang didasarkan pada kriteria tertentu; misalnya, jika A>B dan B>C,
maka seharusnya A>C.
2.11. Tinjauan Studi-studi Terdahulu Tentang Kajian Ruang Terbuka Hijau
Batasan RTH pada kawasan perkotaan menjadi persoalan yang perlu
disikapi secara arif dengan lahirnya Permendagri No.69 Tahun 2007 tentang Kerja
Sama Pembangunan Perkotaan. Pendefinisian kawasan perkotaan dalam
Permendagri tersebut adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
Batasan dalam peraturan tersebut secara tegas memarjinalisasi lahan
pertanian RTH bahkan kecenderungan untuk dihilangkan pada wilayah kawasan
perkotaan. Subtansi kajian tentang RTH dimaknai sebagai hamparan lahan RTH
termasuk lahan pertanian di kawasan perkotaan sebagai penyangga ekosistem

Universitas Sumatera Utara

45

kawasan perkotaan atau dikenal dengan urban green open space (UGOS). Hasil
penelitian terdahulu membahas persoalan dampak yang disebabkan perubahan
penggunaan lahan khususnya ketersediaan RTH.
William dan Joan (1995) tentang taman kota : green spaces atau green
walls menyatakan taman sebagai fitur lansekap kota memiliki banyak fungsi yaitu

sebagai penyedia rekreasi pasif dan aktif, manfaat lingkungan, dan habitat satwa
liar. Penelitian ini mengeksplorasi konsep bahwa taman kota juga dapat berfungsi
sebagai lansekap batas memisahkan lingkungan dari karakteristik sosial-ekonomi
yang berbeda. Empat taman di lingkungan Boston's Roxbury dan North
Dorchester sebagai lokasi penelitian untuk mengevaluasi hipotesis bahwa taman
yang terletak di antara lingkungan yang berbeda sosioekonomi berfungsi sebagai
lanskap batas.
Aji (2000) pada penelitiannya mengenai pengelolaan ruang terbuka hijau
menyebutkan bahwa pengelolaan RTH pada dasarnya ditopang oleh tiga pilar
utama, yaitu instrumen produk rencana tata ruang yang mengakomodasi
keberadaan RTH; instrumen peraturan perundangan yang mendukung keberadaan
RTH; dan praktek pengelolaan RTH yang dikembangkan
Penurunan kualitas lingkungan hidup kota disebabkan oleh berkurangnya
ruang terbuka hijau (RTH) kota yang berperan besar dalam menjaga kelestarian
fungsi lingkungan hidup. Pe