Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.
2.1.1.

Landasan Teori
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan wujud

pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan UU No.17 Tahun 2003
merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Penyusunan APBD memperhatikan
adanya keterkaitan antara kebijakan perencanaan dengan penganggaran oleh
pemerintah daerah serta sinkronisasi dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat
dalam perencanaan dan penganggaran negara. Pada era orde lama, definisi APBD
yang adalah: rencana pekerjaan keuangan (financial work plan) yang dibuat untuk
jangka waktu tertentu, dalam waktu mana badan legislatif memberikan kredit
kepada badan eksekutif (kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna
kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar
penetapan anggaran, dan yang menunjukkan semua penghasilan untuk menutup

pengeluaran tadi.
Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/
2006 pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian, yaitu : “pendapatan daerah, belanja
daerah, dan pembiayaan daerah”. Selanjutnya pendapatan dibagi menjadi 3
kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Sedangkan Belanja digolongkan menjadi 4 yakni
11

Universitas Sumatera Utara

Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi Hasil dan
Bantuan Keuangan, dan Belanja Tak Terduga.
2.1.2.

Transfer
Transfer adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan

kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara
pemerintahan pusat dan daerah. Tujuan utama implementasi transfer adalah untuk

mengatasi masalah eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal,
pemerataan fiskal antardaerah (horizontal equity), dan mencapai tujuan
pembangunan tetentu (Kuncoro, 2007:2).
Menurut Mulyana et. al. (2006:32), ada lima alasan yang mendukung
diselenggarakannya transfer dari pusat ke daerah. Kelima alasan tersebut yaitu
menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh daerah.
Selain itu, tujuan transfer adalah untuk mengurangi kesenjangan keuangan
horisontal antardaerah, mengurangi kesenjangan vertikal pusat-daerah, melayani
persoalan ketimpangan pelayanan publik antardaerah, dan untuk menciptakan
stabilisasi aktifitas perekonomian di daerah.
Pemberian transfer oleh pemerintahan pusat kepada daerah dapat disertai
dengan syarat-syarat tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Menurut BPPK
(2006) dalam Iskandar (2012:115), transfer dapat dibedakan menjadi dua kategori
besar yaitu transfer tanpa syarat (unconditional grant) dan transfer bersyarat
(conditional grant). Unconditional grant diberikan kepada pemerintahan daerah
tanpa persyaratan tertentu dan pada umumnya berkaitan dengan usaha-usaha

12

Universitas Sumatera Utara


produktif untuk investasi pada badan usaha. Sementara Conditional grant adalah
transfer khusus yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk tujuan khusus,
misalnya untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Jaring Pengaman Sosial
(JPS).
2.1.2.1 Unconditional Grant
Transfer tanpa syarat (unconditional grant) ditujukan untuk menjamin
adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antardaerah, sehingga setiap daerah
dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak.
Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat
horisontal (horizontal equalization). Ciri utama dari transfer ini adalah daerah
memiliki keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini
sesuai dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan
yang menjadi prioritas daerahnya. Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005:
159), transfer tidak bersyarat (unconditional grant) di Indonesia adalah dalam
bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil.
1. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum – selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 21).
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari
pendapatan neto dalam negeri

yang ditetapkan dalam APBN. DAU juga

dimaksud untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) antardaerah dalam

13

Universitas Sumatera Utara

rangka mewujudkan kemandirian pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi
dan tugasnya melayani masyarakat (Panggabean, 2014: 13).
Tim

asistensi

Kementerian


Keuangan

bidang

desentralisasi

fiskal

mengatakan, DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama untuk
pengurangan kesenjangan fiskal antardaerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk
pengalokasian

DAU

sudah

tepat

untuk


diadopsi

di

Indonesia,

karena

memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan juga kemampuan fiskal
pemerintahan daerah dengan kondisi yang diharapkan, antara lain: 1) DAU harus
mampu mengatasi horizontal imbalance yang sampai saat ini masih cukup tinggi; 2)
Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy,
namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiaptiap daerah; 3) Perhitungan DAU dilakukan oleh lembaga independen yang terlepas
dari berbagai kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik
tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan
pemenuhan standar pelayanan minimum.

2. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka

persentase tertentu sesuai realisasi penerimaan pajak dan bukan pajak (sumber
daya alam), guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Tujuan utama transfer DBH dimaksudkan untuk mengurangi
ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pemerintahan pusat dengan
pemerintahan daerah. DBH merupakan dana perimbangan yang strategis bagi
daerah-daerah yang memiliki sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya,

14

Universitas Sumatera Utara

meliputi penerimaan pajak pusat dan penerimaan dari sumber daya alam. Bagian
daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan besarnya
berdasarkan suatu persentase tertentu (Masdjojo dan Sukartono, 2009: 37).
Dasar hukum DBH dalam undang-undang terbaru selain Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/ 07/ 2012
tentang pengalokasian anggaran transfer ke daerah, dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 76/ 03/ 2013 tentang penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan
Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas

Bumi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: Pajak Bumi dan
Bagunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang
penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No. 05 Tahun 2007, sedangkan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 serta Wajib Pajak Penghasilan
Orang Pribadi (PPh 21) penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No.
127 Tahun 2006. Kemudian, untuk bagi hasil dari sumber daya alam (bukan
pajak), terdiri dari: sumber daya kehutanan, sumber daya kelautan (perikanan),
pertambangan umum, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi.
Belakangan, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan
Nomor 31/ PB/ 2013 tentang tata cara penerimaan, pembagian, dan penyaluran
Dana Bagi Hasil Pajak Bumi Bangunan (DBH PBB). Peraturan baru ini
menjelaskan persentase pembagian DBH PBB yang baru antara pemerintahan

15

Universitas Sumatera Utara

pusat dan daerah untuk sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan
sektor pertambangan (Peraturan Ditjen Perbendaharaan, 2013).


2.1.2.2 Conditional Grant
Conditional grant digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh
pemerintahan pusat namun kurang dianggap penting oleh daerah. Transfer ini
dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis.
a) Transfer Pengimbang (matching grant). Transfer pengimbang adalah transfer
yang diberikan pusat kepada daerah untuk menutup sebagian atau seluruh
kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Di sini pemerintahan daerah
telah mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk
penyelenggaraan urusan tersebut, hanya dananya belum cukup untuk menjamin
penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintahan pusat
dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut.
Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu transfer
pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants) dan transfer
pengimbang terbatas (closed-ended matching grant).
b) Transfer bukan Pengimbang (non-matching grant). Transfer bukan
pengimbang adalah transfer yang diberikan pusat kepada pemerintahan daerah
untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa
mempertimbangkan bahwa pemerintahan daerah itu sendiri akan mengalokasikan
dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini oleh pemerintahan

pusat difungsikan sebagai sarana menginternalisasikan limpahan manfaat

16

Universitas Sumatera Utara

(eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat
tersebut. Jadi meskipun pemerintahan daerah telah mengalokasikan pendapatan
daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena
pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain,
transfer diberikan oleh pemerintahan pusat untuk mendorong pemerintahan daerah
agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk
pelaksanaan fungsi tersebut.
Menurut Brojonegoro dan Vazquez (2005: 159), transfer bersyarat
(conditional grant) di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Dana
Alokasi Khusus–selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional
(UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 23). Pemerintahan pusat menetapkan DAK
untuk suatu daerah dengan memperhatikan beberapa kriteria tertentu: a) kriteria

umum, ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah di dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); b) kriteria khusus, ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan terakhir c)
kriteria teknis, ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis (Ulum, 2008:
105).

2.1.3

Penadapatan Asli Daerah (PAD)
Pemerintahan daerah dalam membiayai belanjanya, selain menggunakan

transfer dari pemerintahan pusat, juga menggunakan sumber dananya sendiri yaitu
Pendapatan Asli Daerah. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah—
untuk selanjutnya disingkat PAD, adalah pendapatan daerah yang bersumber dari

17

Universitas Sumatera Utara

hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah yang dimaksudkan untuk memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan desentralisasi.
Menurut Ndadari dan Adi (2008: 6), PAD memiliki peranan yang sangat
penting dalam perekonomian daerah. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan
PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk mencapai pendapatan per kapita
yang lebih baik. Apabila suatu daerah PAD-nya meningkat maka dana yang dimiliki
pemerintahan akan meningkat pula. Peningkatan ini akan menguntungkan
pemerintahan, karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya.
Kendala utama yang dihadapi pemerintahan daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari PAD. Proporsi
PAD yang rendah, di lain pihak menyebabkan pemerintahan daerah memiliki derajat
kebebasan (diskresi) yang rendah pula dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian
besar pengeluaran, baik belanja rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana
perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum. Kenyataan ini tentu tidak sejalan
dengan tujuan dan maksud otonomi daerah, yaitu memandirikan daerah dengan
potensi-potensi yang dimilikinya.
Daerah yang mandiri bukan berarti daerah yang mampu membiayai semua
belanjanya dari PAD, karena bukan itu yang dimaksud dengan kemandirian keuangan
daerah. Hal yang penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya sejumlah
sumber penerimaan yang cukup signifikan bagi daerah untuk memanfaatkannya
secara lebih leluasa. Dalam artian bahwa, ketika pemerintahan daerah dapat
menghasilkan PAD yang signifikan, tentu pemerintahan daerah lebih memiliki

18

Universitas Sumatera Utara

keleluasaan yang lebih besar dalam merencanakan pembangunan sesuai dengan
inisiasi sendiri (Kuncoro, 2007: 2).
Wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada daerah
untuk memungut pajak dan retribusi yang diatur dalam Undang-undang No. 34 Tahun
2000, yang tata cara pelaksanaannya diperbaharui dalam Undang-undang No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan
tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis
retribusi. Pemerintahan daerah dituntut kemandiriannya dalam melaksanakan
kebijakan desentralisasi fiskal secara bertanggungjawab. Karenanya, pajak dan
retribusi yang pemungutannya telah diserahkan dan menjadi urusan pemerintahan
daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal, harus dikelola dan
ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Hal ini mengingat bahwa
pajak dan retribusi daerah merupakan kelompok PAD dan menjadi sumber pendanaan
bagi keberlangsungan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah (Peraturan
Pemerintah, 2010).

Menurut jenisnya, PAD dikelompokkan menjadi empat jenis pendapatan,
adalah sebagai berikut:
1. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah yang dikelola oleh
pemerintahan provinsi antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di Atas Air, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan

19

Universitas Sumatera Utara

Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak yang dipungut oleh
kabupaten/kota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengelolahan Bahan
Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.
2. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintahan daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi ini
dirinci menjadi:
a) Retribusi Jasa Umum, meliputi: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil,
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Maya, Retribusi Pelayanan
Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian
Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksanaan Alat Pemadam Kebakaran,
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, dan Retribusi Pengujian Kapal
Perikanan,
b) Retribusi Jasa Khusus, meliputi: Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah,
Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan,
Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat
Penginapan/Pesangrahan/villa, Retribusi Penyedotan Kakus, Retribusi
Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal, Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di atas Air, dan
Retribusi Pengolahan Air Limbah,

20

Universitas Sumatera Utara

c) Retribusi Perijinan Tertentu, meliputi: Retribusi Izin Mendirikan Bagunan,
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin
Gangguan, dan Retribusi Izin Trayek.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan, terdiri dari: bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintahan daerah/negara dan
bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat.
4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, merupakan penerimaan daerah yang
berasal dari hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, seperti
penerimaan jasa giro, penerimaan bunga, penerimaan ganti rugi atas kekayaan
daerah, komisi denda keterlambatan pekerjaan, dan lain-lain.
2.1.4

Belanja Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 16,

belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sumbersumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
fiskal terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan pinjaman daerah.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah, pada prinsipnya lebih menyangkut
persoalan tentang pembagian kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan
mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya.
Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota, yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

21

Universitas Sumatera Utara

Belanja urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak, serta
mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja urusan pilihan, terdiri dari:
pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan
perikanan, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi (Syahputra, 2010: 31).
Pemerintahan daerah menetapkan target capaian kinerja setiap belanja,
baik dalam konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah, maupun program dan
kegiatan, yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran
dan memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Berdasarkan
Permendagri No. 22/ 2011, belanja daerah dapat diklasifikasikan ke beberapa
bagian.
1. Belanja Tidak Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya tidak
dipengaruhi secara langsung oleh adanya usulan program atau kegiatan.
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan setiap bulan
dalam satu tahun anggaran sebagai konsekuensi kewajiban pemerintahan
daerah secara periodik kepada pegawai yang bersifat tetap (pembayaran
gaji dan tunjangan) dan atau kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya
yang diperlukan secara periodik. Kelompok belanja tidak langsung dibagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a) Belanja Pegawai, merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji
dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada

22

Universitas Sumatera Utara

pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan,
b) Belanja Bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal
outstanding) berdasarkan perjanjian-pinjaman jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang,
c) Belanja Subsidi, digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya
produksi kepada perusahaan atau lembaga yang menghasilkan
produk dan jasa pelayanan umum kepada masyarakat agar harga
jual dari produksi/jasa yang dihasilkan tersebut dapat terjangkau
oleh masyarakat luas,
d) Belanja Hibah, digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah
dalam bentuk uang, barang, dan atau jasa kepada pemerintahan
pusat atau pemerintahan daerah lainnya, perusahaan daerah,
masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik
telah ditetapkan peruntukannya,
e) Belanja Bantuan Sosial, digunakan untuk pemberian bantuan yang
bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan atau barang
kepada kelompok atau anggota masyarakat, dan partai politik, yang
pemberiannya secara selektif, serta memiliki kejelasan peruntukan
penggunaanya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan
daerah dan ditetapkan berdasarkan keputusan kepala daerah,

23

Universitas Sumatera Utara

f) Belanja Bagi Hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi
hasil yang bersumber dari pendapatan pemerintahan provinsi
kepada kabupaten/kota atau pendapatan pemerintahan desa atau
pendapatan pemerintahan tertentu kepada pemerintahan lainnya
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
g) Belanja Bantuan Keuangan, digunakan untuk menganggarkan
bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi
kepada kabupaten/kota, pemerintahan desa, dan pemerintahan desa
lainnya dalam rangka pemerataan dan peningkatan kemampuan
keuangan,
h) Belanja Tidak Terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang
sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan terjadi berulang, seperti
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak bisa
diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah untuk tahun-tahun yang telah ditutup.
2. Belanja Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya dipengaruhi
secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Belanja langsung
dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a) Belanja Pegawai, merupakan belanja digunakan untuk mendanai
pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah,
b) Belanja Barang dan Jasa, yang digunakan untuk mengangarkan
pengadaan barang dan jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12

24

Universitas Sumatera Utara

(dua belas) bulan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan
daerah, berupa belanja habis pakai, bahan/material, jasa kantor,
premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/pengadaan,
sewa rumah/gedung/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat,
sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman,
pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan
hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah, jasa
konsultasi dan lain-lain pengadaan barang/jasa, dan belanja lainnya
yang sejenis,
c) Belanja Modal, merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka menambah nilai aset tetap berwujud yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan.

2.1.5 Analisis Flypaper Effect
Seperti yang sudah disinggung di pendahuluan, bahwa fenomena utama
dalam penelitian ini adalah flypaper effect. Sejauh ini, belum ada padanan kata
flypaper effect dalam bahasa Indonesia sehingga kata ini dituliskan sebagaimana
adanya tanpa diterjemahkan. Flypaper effect merupakan suatu kondisi di mana
belanja daerah lebih besar dipengaruhi oleh transfer tak bersyarat (unconditional
grants) dari pemerintahan pusat ketimbang dari pendapatan daerah itu sendiri,
dalam konteks ini PAD. Dalam pengertian lain, flypaper effect disebut sebagai
suatu kondisi yang terjadi saat pemerintahan daerah merespon (belanja) lebih

25

Universitas Sumatera Utara

banyak menggunakan dana transfer daripada menggunakan pendapatan sendiri.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Maimunah dan Akbar (2008) untuk kasus
penelitian pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera mengonfirmasi bahwa perilaku
belanja pemerintahan daerah kaitannya dengan sektor-sektor yang berhubungan
langsung dengan kepentingan publik baik berupa kesehatan maupun infrastruktur
ternyata menunjukkan fenomena yang disebut flypaper effect (Iskandar, 2012:
119).
Interpretasi tentang flypaper effect ini berangkat dari asumsi bahwa dana
yang ditransfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah haruslah setara
dengan kenaikan pendapatan masyarakatnya. Pendekatan tersebut memberikan
gambaran bahwa setiap kenaikan transfer yang diberikan oleh pemerintahan pusat
untuk daerah otonom haruslah sepadan dengan kenaikan pendapatan masyarakat
daerah otonom tersebut. Artinya bahwa, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh
pemerintahan pusat sebagai bantuan (transfer) ke pemerintahan daerah, mestinya
memberikan pengaruh yang juga sama besar terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat lokal. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat lokal, otomatis
akan memperbesar potensi pajak lokal, oleh karena peningkatan pendapatan
tersebut disetor ke kas daerah sebagai pajak untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah (Suyanto, 2010: 74).
Namun praktiknya, dalam memenuhi kebutuhan publik, pemerintahan
daerah masih sangat mengandalkan unconditional grants (DAU dan DBH).
Sehingga seolah menciptakan ilusi fiskal (fiscal illusion), di mana masyarakat
membayar pajak dan berharap mendapatkan kontraprestasi tidak langsung yang

26

Universitas Sumatera Utara

sepadan, akan tetapi pemerintahan daerah tersebut dalam memenuhi kebutuhan
publik lebih cenderung menggunakan DAU dan DBH ketimbang PAD. Sehingga
yang terjadi adalah peningkatan belanja daerahnya menjadi tidak sepadan dengan
peningkatan PAD-nya. Selain itu, flypaper effect juga akan memengaruhi
kecenderungan belanja pemerintahan daerah untuk periode selanjutnya sehingga
efek tersebut akan berdampak jangka panjang. Akibatnya, dari tahun ke tahun
pemerintahan daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar dari pemerintahan
pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara optimal (Kuncoro, 2007:
6).
Flypaper effect erat kaitannya dengan efisiensi penggunaan anggaran
untuk belanja daerah. Dalam konteks daerah yang mengalami flypaper effect,
daerah tersebut akan cenderung menuntut transfer yang lebih besar untuk
pembiayaan publik dari pemerintahan pusat, sehingga pengeluaran pemerintahan
pusat menjadi berat sebelah. Penerimaan pajak yang dipungut oleh pemerintahan
pusat akan bertambah untuk memenuhi permintaan daerah tersebut, sementara
pelayanan yang diberikan pemerintahan pusat cenderung stagnan. Sebaliknya,
penerimaan pajak daerah mungkin menurun tetapi pelayan publiknya tetap dan
cenderung bertambah, karena dibiayai oleh unconditional grants.
Studi Kuncoro (2007) untuk pemerintahan kabupaten dan kota di
Indonesia menemukan bahwa perubahan besaran transfer dari pemerintahan pusat
ke pemerintahan daerah menimbulkan perilaku asimetris pemerintah daerah dalam
menggunakan dana transfer yang diterimanya tersebut. Penelitian tersebut
menemukan bahwa setiap peningkatan alokasi transfer dari pemerintahan pusat

27

Universitas Sumatera Utara

akan direspon oleh pemerintahan daerah dalam bentuk peningkatan belanja daerah
yang lebih tinggi dari periode sebelumnya. Artinya, terdapat indikasi terjadinya
inefisiensi dalam belanja pemerintahan daerah, terutama belanja operasional. Di
sisi lain, apabila terjadi penurunan alokasi transfer dari pemerintahan pusat ke
pemerintahan daerah, maka pemerintahan daerah merespon kebijakan tersebut
dalam bentuk penurunan belanja daerah yang melebihi penurunan PAD. Perilaku
yang bersifat asimetris seperti ini menunjukkan tujuan efisiensi dalam
penggunaan dana tidak berhasil dicapai.
Flypaper effect dapat terjadi dalam dua versi, yaitu: Pertama, merujuk
pada peningkatan pajak dan retribusi daerah serta anggaran belanja pemerintahan
yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pegeluaran terhadap transfer
yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak
daerah. Artinya, apabila elastisitas pengeluaran terhadap transfer lebih tinggi
daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah, ini merupakan
indikasi telah terjadi flypaper effect (Kuncoro, 2007: 6).
Sementara, menurut Maimunah dan Akbar (2008), agar dapat dikatakan
suatu daerah mengalami flypaper effect, maka hasil uji statistik yang diperoleh
haruslah menunjukkan: Pengaruh koefisien DAU dan DBH terhadap Belanja
Daerah nilainya lebih besar dari pengaruh koefisien PAD terhadap Belanja
Daerah, dan keduanya signifikan. Atau, pengaruh PAD tidak signifikan terhadap
Belanja Daerah (Panggabean, 2014: 20).

28

Universitas Sumatera Utara

2.2

Review Penelitian Terdahulu
Belanja daerah sangat dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh oleh

suatu daerah baik yang bersumber dari PAD maupun dari dana transfer yang
diberikan oleh pemerintahan pusat dalam bentuk DAU, DBH, dan DAK, yang
dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah. Penelitian ini
melakukan beberapa review dari penelitian terdahulu untuk disajikan sebagai
pedoman dalam melakukan penelitian pengembangan. Beberapa studi empiris
menunjukkan bahwa perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan asli daerah
memang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian-penelitian
tersebut menemukan bahwa stimulus terhadap belanja daerah yang disebabkan
transfer (grants) mengalami kenaikan yang lebih besar daripada pendapatan asli
daerah. Dalam artian bahwa, pemerintahan daerah lebih dominan menggunakan
transfer dana perimbangan untuk membiayai belanjanya ketimbang mengandalkan
Pendapatan Asli Daerah.
Peneliti sebelumnya seperti Maimunah dan Akbar (2008) menemukan
terjadinya flypaper effect pada beberapa kabupaten/kota di Pulau Sumatera.
Pertama, hasil pengujian hipotesis menyebutkan bahwa besarnya nilai DAU dan
PAD memengaruhi besarnya nilai Belanja Daerah (pengaruh positif). Kedua, hasil
pengujian hipotesis yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi tidaknya
flypaper effect, juga diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi
flypaper effect pada belanja daerah kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Flypaper
effect terjadi pada belanja daerah bidang kesehatan dan pekerjaan umum. Namun,
untuk bidang pendidikan tidak ditemukan adanya indikasi tersebut.

29

Universitas Sumatera Utara

Lebih lanjut, studi empiris yang dilakukan oleh Kuncoro (2007) mengenai
fenomena flypaper effect pada kinerja keuangan pemerintahan daerah kabupaten
dan kota di Indonesia juga ditemukan. Studi ini menemukan bahwa setiap
peningkatan alokasi transfer dari pusat diikuti dengan peningkatan belanja yang
lebih tinggi. Gejala ini memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah
bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Ada indikasi
peningkatan belanja yang tinggi tersebut disebabkan karena inefisiensi belanja
pemerintahan daerah, terutama untuk belanja operasional. Temuan tersebut
mengisyaratkan bahwa ketergantungan pemerintahan daerah terhadap transfer dari
pemerintahan pusat semakin membesar.
Menariknya, sebagai antitesis dua penelitian sebelumnya, adalah
penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2012). Iskandar meneliti kemungkinan
terjadinya flypaper effect pada unconditional grants di Jawa Barat. Hasilnya
ditemukan bahwa nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari
unconditional grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya
flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian kapasitas fiskal kabupaten/kota di
Jawa Barat memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap belanja daerah
daripada pengaruh dana alokasi umum terhadap belanja daerah. Provinsi Jawa
Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada
kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.
Studi empiris mengenai perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan
asli daerah juga ditemukan di luar negeri, seperti Gennari dan Messina (2012).
Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang adanya flypaper effect dalam

30

Universitas Sumatera Utara

jangka panjang untuk sampel municipalities di Italia. Pemerintahan daerah
merespon (local expenditure) lebih banyak dengan menggunakan unconditional
grants daripada menggunakan kemampuan (local revenue) sendiri. Penjelasan
dari dampak ini disebutkan bahwa para birokrat berusaha untuk memaksimalkan
anggaran karena dengan melakukan hal tersebut akan membuat mereka memiliki
kekuatan dan pengaruh yang lebih besar di masyarakat.
Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu
No.

Nama dan
tahun
Penelitian

Judul
penelitian

1.

Iskandar
(2012)

Flypaper Effect
pada
Unconditional
Grant
di
Provinsi Jawa
Barat

Variavel yang
Digunakan
Variabel
Independen:
- Dana Alokasi
Umum
- Dana Bagi Hasil
- Pendapatan Asli
Daerah

Hasil Penelitian

Nilai koefisien Pendapatan
Asli Daerah (PAD) lebih
besar dari unconditional
grant (DAU dan DBH) dan
keduanya signifikan. Ini
menunjukan tidak
terjadinya flypaper effect di
Jawa Barat.

Variabel Dependen:
- Belanja Daerah

2.

3.

Listiorini
(2011)

Maimunah
dan Akbar
(2008)

Fenomena
Flypaper Effect
pada Dana
Perimbangan dan
Pendapatan Asli
Daerah Terhadap
Belanja Daerah
pada
Kabupaten/kota di
Sumatera Utara

Flypaper Effect
Pada Dana
Alokasi Umum
(DAU) Dan
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
Terhadap Belanja

Variabel
Independen:
- DAU
- DBH
- DAK
- PAD
Variabel Dependen:
- Belanja Daerah

Variabel
Independen:
- Dana Alokasi
Umum (DAU)
- Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
Variabel Dependen:

Secara simultan, DAU,
DBH, DAK, dan PAD
berpengaruh terhadap
Belanja Daerah. Secara
parsial, nilai koefisien DAU
terhadap Belanja Daerah
lebih besar dari nilai
koefisien PAD dan
keduanya signifikan
terhadap Belanja Daerah.
Sedangkan DBH dan DAK
tidak berpengaruh
signifikan terhadap Belanja
Daerah.
Pertama, hasil pengujian
hipotesis menyebutkan
bahwa besarnya nilai DAU
dan PAD memengaruhi
besarnya nilai Belanja
daerah (pengaruh positif).
Kedua, hasil pengujian
hipotesis yang tujuannya

31

Universitas Sumatera Utara

Daerah Pada
Kabupaten/Kota
di Pulau Sumatera

No.

4.

Nama dan
tahun
Penelitian

Judul
penelitian

Kuncoro

Fenomena
Flypaper Effect
Pada Kinerja
Keuangan
Pemerintah
Daerah Kota Dan
Kabupaten Di
Indonesia.

(2007)

2.3

- Belanja Daerah

Variavel yang
Digunakan
Variabel
Independen:
- DAU
- DBH
- DAK
- PAD

adalah untuk mengetahui
terjadi tidaknya flypaper
effect, juga diterima.

Hasil Penelitian

Besaran transfer (DAU,
DBH, dan DAK) secara
signifikan lebih
berpengaruh terhadap
belanja pemerintah daerah
daripada PAD terhadap
belanja daerah.

Variabel Dependen:
- Belanja Modal

Kerangka Konseptual
Menurut Erlina (2011: 35), kerangka konseptual adalah suatu model yang

menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang
telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual akan
menghubungkan variabel independen dengan variabel dependen. Begitu juga
apabila ada variabel lain yang menyertai, maka peran variabel tersebut harus
dijelaskan. Berdasarkan landasan teori dan rumusan masalah penelitian, maka
dapat dikembangkan kerangka konseptual yang diuji secara simultan dan parsial
sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 di bawah ini.

32

Universitas Sumatera Utara

Dana Alokasi Umum
(X1)

H1

Dana Bagi Hasil
(X2)

H2

Pendapatan Asli Daerah
(X3)

H3

Anggaran
Belanja Daerah
(Y)

H4

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Peneliti mengidentifikasi 4 variabel penelitian yaitu dana alokasi umum
(X1), dana bagi hasil (X2), pendapatan asli daerah (X3), dan delanja daerah (Y).
Dari gambar kerangka konseptual 3.1 dapat diuraikan bahwa dana alokasi umum,
dana bagi hasil, dan pendapatan asli daerah mempengaruhi belanja daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut dapat diprediksi bahwa tinggi rendahnya dana
alokasi umum, dana bagi hasil, dan pendapatan asli daerah akan mempengaruhi
belanja daerah. Dimana dana alokasi umum dan dana bagi hasil mempunyai
pengaruh secara langsung terhadap pendapatan asli daerah yang merupakan
sumber dana utama dalam pembiayaan belanja daerah. Dengan pengaruh dana
transfer tersebut maka akan berdampak pada besar kecilnya belanja disetiap
daerah otonom.
2.4

Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah. Erlina

(2011:30), “Menyatakan hipotesis adalah proporsi yang dirumuskan dengan
maksud untuk diuji secara empiris”. Proposisi merupakan ungkapan atau
pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal, atau diuji kebenarannya mengenai

33

Universitas Sumatera Utara

konsep atau konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena.
Dengan demikian hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang perilaku,
fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi.
Dengan adanya peningkatan DAU, DBH dan PAD suatu daerah, maka
akan semakin besar pula alokasi belanja yang dikeluarkan suatu daerah. hal
tersebut menunjukkan fakta bahwa pemerintah daerah masih bergantung dan
mengharapkan dana bantuan dalam bentuk dana transfer dari pemerintah pusat.
Ketika keadaan ini terus menerus terjadi maka, kemungkinan terjadin nya
flypaper effect di suatu daerah sangatlah besar. Karena ketika itu terjadi dalam
suatu daerah, makan hal ini lah yang membuktikan ketidakmandirian suatu daerah
dalam membiayai kebutuhan pemerintahan daerahnya.
Ketika kondisi ini terjadi maka akan menimbulkan flypaper effect pada
suatu daerah yang akan merespon dengan meningkatkan belanja daerah baik
belanja langsung maupun tidak tidak langsung dengan mengalokasikannya dalam
jumlah yang lebih besar dengan menggunakan dana perimbangan yang tersedia
sebagai dana yang bisa memenuhi kekurangan belanja daerah tersebut.
Pendapatan asli daerah baik yang berasal dari pajak, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan sumber-sumber pendapatan yang sah
akan mempengaruhi anggaran belanja pemerintah daerah yang disebut dengan tax
spend hyphotesis. Dalam hal ini pengeluaran pemerintah daerah akan disesuaikan
dengan perubahan dalam penerimaan pemerintah daerah atau perubahan
pendapatan yang terjadi sebelum perubahan anggaran.

34

Universitas Sumatera Utara

Pengalokasian belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang
didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk
kelancaran pelaksanaan pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan publik
yang baik akan membuat pemerintah daerah mencari dan menggali sumbersumber potensi yang baru, akan tetapi besarnya jumlah belanja daerah yang
dialokasikan pemerintah daerah dalam APBD tentu akan di pengaruhi oleh
kondisi keuangan pada daerah tersebut. Posisi keuangan suatu daerah bisa dilihat
dari besarnya DAU, DBH dan PAD pada daerah tersebut.
2.4.1 Hubungan DAU terhadap Belanja Daerah
Dalam beberapa penelitian, hipotesis yang menyatakan bahwa pendapatan
daerah mempengaruhi anggaran belanja Pemerintah daerah disebut dengan tax-spend
hypotesis. Hipotesis ini mengandung makna bahwa kebijakan Pemerintah Daerah
dalam menganggarkan belanja daerah disesuaikan dengan pendapatan daerah yang
diterima. Namun di sisi lain, transfer yang diterima dari Pemerintah Pusat juga turut
mempengaruhi besarnya anggaran belanja daerah yang akan dianggarkan oleh
Pemerintah Daerah. Dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja
Daerah. Holtz-Eakin et. al dalam Maimunah (2006:4) menyatakan bahwa terdapat
keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pempus dengan belanja pemerintah daerah.
Studi Legrensi dan Milas dalam Maimunah (2006:4-5), menggunakan sampel
municipalities di Italia, menemukan bukti empiris bahwa dalam jangka panjang
transfer berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara spesifik mereka menegaskan
bahwa variabel-variabel kebijakan pemda dalam jangka pendek disesuaikan
(adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon
yang non-linier dan asymmetric. Peningkatan transfer (grant) dari pemerintah pusat

35

Universitas Sumatera Utara

secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan belanja
daerah.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian yang ada, maka hipotesis
untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja daerah
adalah sebagai berikut:
H1: DAU berpengaruh terhadap Belanja Daerah baik secara simultan maupun
parsial.
2.4.2 Hubungan DBH terhadap Belanja Daerah
Deller et al. (2007:216-217) “For some municipalities shared revenues
account for a large percentage of operating dollars.

The average city in

Wisconsin is dependent on shared revenues for about one in every four dollars of
revenue, for villages about one in five dollars of revenue comes from shared
revenues, and for towns about 16 percent of total revenues is from shared
revenues”. Deller et al. (2007) menganalisis hubungan pendapatan yang berasal
dari bagi hasil dengan menggunakan suatu model perilaku keuangan lokal, dengan
data 581 kota dan desa di Wisconsin, Amerika Serikat ditemukan bahwa rata-rata
kota-kota dan desa-desa di Wisconsin masih bergantung pada pendapatan bagi
hasil (revenue sharing). Deller et al. (2007) menduga bahwa pola respon daerah
ini juga dipengaruhi oleh formula penentuan bagi hasil itu sendiri. Hasil ini
konsisten dengan hipotesis flypaper effect.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian yang ada, maka hipotesis
untuk menguji pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap belanja daerah adalah
sebagai berikut:

36

Universitas Sumatera Utara

H2: DBH berpengaruh terhadap Belanja Daerah baik secara simultan maupun
parsial.

2.4.3 Hubungan PAD terhadap Belanja Daerah
Hubungan pendapatan dan belanja daerah telah didiskusikan secara luas
sejak akhir dekade 1950-an dan berbagai hipotesis tentang hubungan tersebut
telah diuji secara empiris (misalnya Aziz et. al, 2000; dan Legrensi & Milas,
2001). Menurut Aziz et. al (2000) dalam Maimunah (2006:5), hipotesis yang
menyatakan bahwa pendapatan daerah (terutama pajak) akan memengaruhi
anggaran belanja pemerintahan daerah dikenal dengan nama tax spend hypothesis.
Dalam hal ini, pengeluaran pemerintahan daerah akan disesuaikan dengan
perubahan dalam pendapatan pemerintahan daerah atau perubahan pendapatan
terjadi sebelum perubahan pengeluaran.
Berdasarkan teori dan hasil penelitian-penelitian yang ada, maka hipotesis
untuk menguji pengaruh PAD, dan unconditional grants (DAU, DBH) terhadap
belanja daerah adalah sebagai berikut:
H3: PAD secara parsial berpengaruh terhadap Belanja Daerah.
2.4.3 Hubungan Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Pendapatan
Asli Daerah terhadap Belnja Daerah
Beberapa literatur ekonomi dan keuangan yang berkaitan dengan flypaper
effect seperti Kuncoro (2007) yang menemukan bahwa stimulus terhadap
pengeluaran daerah yang disebabkan oleh transfer (grants) mengalami kenaikan
yang lebih besar daripada pendapatan daerah. Hal tersebut sejalan dengan

37

Universitas Sumatera Utara

penelitian Aragon (2008) yang menyatakan bahwa flypaper effect merupakan
suatu kondisi di mana stimulus terhadap pengeluaran daerah yang disebabkan
unconditional grants lebih besar daripada pendapatan daerah. Ketika respon
pemerintahan daerah lebih besar untuk transfer dibanding pendapatan daerahnya
sendiri maka disebut flypaper effect.
Studi empiris berikutnya kemudian menunjukkan bahwa perbedaan
stimulus antara grants dan pendapatan daerah memang terjadi di beberapa negara.
Salah satunya studi Gennari dan Messina (2012), dengan menggunakan sampel
municipalities di Italia, mereka menyimpulkan bahwa pemerintahan daerah
merespon (local expenditure) lebih banyak dengan menggunakan unconditional
grants daripada menggunakan pendapatan sendiri. Penjelasan dari dampak ini
disebutkan bahwa para birokrat berusaha untuk memaksimalkan anggaran karena
dengan melakukan hal tersebut akan membuat mereka memiliki kekuatan dan
pengaruh yang lebih besar di masyarakat. Menurut mereka orang akan lebih
hemat dalam membelanjakan pendapatan yang merupakan hasil dari effort-nya
sendiri dibanding pendapatan yang diberikan pihak lain dalam bentuk grants.
Lebih lanjut, studi empiris mengenai perbedaan stimulus antara grants dan
pendapatan daerah ditemukan juga di Indonesia. Kuncoro (2007) mendukung
adanya flypaper effect dalam kabupaten/kota di Indonesia. Penelitiannya
menunjukkan bahwa transfer (grants) antarpemerintahan merangsang peningkatan
pengeluaran pemerintahan daerah lebih besar daripada pendapatan daerahnya. Hal
tersebut sejalan dengan Sudrajat (2010), yang memberikan bukti empiris
mengenai pengaruh transfer (grants) dan pendapatan daerah terhadap belanja

38

Universitas Sumatera Utara

daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Penelitiannya menunjukkan
bahwa pengaruh transfer (grants) terhadap belanja daerah lebih signifikan
dibandingkan dengan pengaruh pendapatan daerah terhadap belanja daerah. Hasil
ini menunjukkan adanya flypaper effect.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2012) di Jawa Barat,
menemukan bahwa nilai koefisien pendapatan asli daerah (PAD) lebih besar dari
unconditional grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya
flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian kapasitas fiskal kabupaten/kota di
Jawa Barat memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap belanja daerah
daripada pengaruh unconditional grants terhadap belanja daerah. Provinsi Jawa
Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada
kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.
Fenomena flypaper effect berimplikasi pada peningkatan belanja daerah yang
lebih besar bersumber dari grants daripada penerimaan daerah itu sendiri.
Menurut Kuncoro (2007), fenomena flypaper effect dapat terjadi apabila elastisitas
pengeluaran terhadap transfer lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran
terhadap penerimaan pajak daerah.
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, kajian teori, dan penelitian
sebelumnya maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4: Pengaruh DAU dan DBH terhadap Belanja Daerah lebih besar daripada
pengaruh PAD terhadap Belanja Daerah.
.

39

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH) Dan Bantuan Keuangan Provinsi (BKP) Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dengan Belanja Pelayanan Dasar Sebagai Moderating Variabel (Stud

5 68 181

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 39 85

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara

0 35 106

Flaypaper Effect pada Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

0 2 102

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 5 95

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 11

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 10

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 9