Adaptasi Psikologis Pasien Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Tuberkulosis Paru
2.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Myobacterium
tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau
diberbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan tekanan parsial
oksigen yang tinggi (Rab, 1996). Menurut Alsagaf & Mukhti (2005)
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
mikobakterium tuberkulosis yang menyerang pernapasan bagian bawah.
Menurut Sumantri (2010) Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang
menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan

oleh Myobacterium

tuberculosis. Menurut Kemenkes (2014) Tuberkulosis adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh kuman Myobacterium tuberculosis.
2.1.2

Penyebab Tuberkulosis Paru
Myobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang


berukuran panjang 1-4mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen
Myobacterium tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu
tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak
oksigen. Oleh karena itu, Myobacterium tuberculosis senang tinggal di daerah
apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi
tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Sumantri, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3

Patofisiologi tuberkulosis paru
Infeksi

diawali

karena


seseorang

mengirup

hasil

Myobacterium

tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu
berkembang biak dan terlihat menumpuk. Perkembangan Myobacterium
tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus
atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian
tubuh lain (ginjal, tulang, dan korteks serebri) dan area lain dari paru-paru
(lobus atas). Selanjutnya, sistem kekebalan tubuh memerikan respons dengan
melakukan reaski inflamasi. Neutrofil dan makrofga melakukan aksi fagositosis
(menelan bakteri), sementara limfosit spesifik tuberkulosis menghancurkan
(melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan brokonpnemonia.
Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu sete;lah terpapar bakteri
(Sumantri,2010).

Interaksi antara Myobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh
pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut
granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang
dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah
bentuk menjadi masa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut
disebut ghon tuberculosis. materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri men
jadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperi
keju (necrotizing caseosa), hal ini akan menjadi klsifikasi dan akhirnya

24

Universitas Sumatera Utara

membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi nonaktif (Sumantri,
2010).
Setelah infeksi awal, jika respon imun tidak adekuat maka penyakit akan
menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi tulang
atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini,
ghon tubrcle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa
didalam bronkhus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan

membentuk jaingan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang
mengakibatkan

timbulnya

bronkopnemonia,

membentuk

tuberkel,

dan

seterusnya. Pnemonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya (Sumantri,
2010)
Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembak biak
didalam sel makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit
(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan
granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menmbulkan respons

berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
dikelilingi oleh tuberkel (Sumantri, 2010).
2.1.4

Cara Penularan Tuberkulosis Paru
Menurut Kemenkes (2014) ada beberapa cara penularan Tuberkulosis Paru

Yakni:
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal
tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. penularan pasien TB BTA positif adalah 65%,
pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan

pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
2.1.5

Identifikasi terduga pasien TB
Menurut Kemenkes & PPNI (2014) terduga pasien TB paru adalah

seseorang yang mempunyai keluhan aau gejala klinis mendukung TB
(sebelumnya dikenal sebagai suspek TB). Biasanya terduga TB datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan dengan berbagai keluhan dan gejala klinis yang
mungkin akan menunjukkan bahwa yang bersangkutan termasuk terduga TB.
Gejala utamanya adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih dan gejala
tambahan. Gejala tambahan yang sering dijumpai adalah:
a. Gejala respiratorik: dahak bercampur darah, sesak napas dan rasa nyeri dada.

Universitas Sumatera Utara


b. Gejala sistemik: badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
rasa kurang enak badan (malaise), pada malam hari walaupun tanpa kegiatan,
demam meriang yang berulang.
Perlu diketahui bahwa gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperi bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Di negara endemis TB seperti Indonesia, setiap orang yang
datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, harus
dianggap sebagai seorang suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikrokopis langsung terlebih dahulu.
Seseorang yang menderita TB ekstra paru mungkin mempunyai keluhan /
gejala terkait organ yang terkena, misalnya.
a. Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah.
b. Nyeri dan pembengkakakn sendi yang terkena TB.
c. Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran bila terkena TB
otak
2.1.6

Diagnosis Tuberkulosis Paru
Menurut Kemenkes (2014) untuk menegakkan diagnosis TB paru harus


melakukan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis dimaksudkan
adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila
pemeriksaan secara bakteriologis negatif, maka penegakkan diagnosis dapat
dilakukan dengan secara klinis dengan menggunakan hasil pemeriksaan klinis
penunjang (setidak-tidaknya foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan dengan
oleh dokter terlatih TB. Pada sarana terbatas penegakkan diagnosis secara klinis

Universitas Sumatera Utara

dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan
Non Kuinon) yang tidak memberikan perbaikan klinis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan melakukan pemeriksaan
Serologis, berdasarkan foto toraks saja dan tes tuberkulin. Karena tidak terlalu
memberikan gambaran spesifik TB paru sehingga menyebabkan terjadi
overdiagnosis atau underdiagnosis.
2.1.7

Pemeriksaan Penunjang TB
Menurut Kemenkes (2014) ada beberapa pemeriksaan penunjang yang


perlu diperhatikan. Yakni:
1. Pemeriksaan Dahak mikroskpis langsung
a. Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS
(sewaktu – pagi – sewaktu).
b. Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 dari pemeriksaan contoh
uji dahak SPS hasilnya BTA positif
2. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan
dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh
uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan
berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

Universitas Sumatera Utara

1. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien

membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
2. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
3. S(sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
misal:
1. Pasien TB ekstra paru.
2. Pasien TB anak.
3. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA
negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat
yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan
untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.
3. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M. TB
terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat

tersebut harusdilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji

Universitas Sumatera Utara

pemantapan
memperkecil

mutu/QualityAssurance (QA).
kesalahan

dalam

menetapkan

Hal

ini

jenis

dimaksudkan
resistensi

OAT

untuk
dan

pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk
memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,
Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat menyediakan tes cepat yaitu Gen
expert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi
(Kemenkes, 2014)
2.1.8

Pengobatan tuberkulosis Paru
Menurut Kemenkes (2014) pengobatan tb harus selalu meliputi

pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan dengan:
a.

Tahap Awal: Pengobatan dberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan secara efektif menurunkan jumlah kuman
yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umunya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.

b.

Tahap lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.9

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan

dengan

pemeriksaan

ulang

dahak

secara

mikroskopis.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap
Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena
tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan
pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu
contoh uji positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif. Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum
memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA
positif merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan
pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil
pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi
BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian
OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA
positif, pemeriksaan ulang dahak s0elanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis
pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir
pengobatan (Kemenkes, 2014)

Universitas Sumatera Utara

2.2

Konsep Adaptasi

2.2.1 Definisi adaptasi
Adaptasi adalah kemampuan individu untuk bereaksi kaena tuntutan dalam
memenuhi dorongan kebutuhan dan mencapai ketentraman batin dalam
berhubungan dengan sekitar (Sundari, 2005). Adaptasi merupakan suatu proses
perubahan yang menyertai individu dalam berespon terhadap perubahan yang ada
dilingkungan dan dapat mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis
maupun psikologis yang akan menghasilkan perilaku Adaptif (Hidayat, 2006)..
Menurut sundari (2005), adaptasi

yang berhasil bilamana dengan

sempurna memenuhi kebutuhan tanpa melebihkan yang satu dan mengurangi
yang lain, tidak mengganggu manusia lain dalam memenuhi kebutuhan yang
sejenisnya dan bertanggung jawab terhadap masyarakat dimana ia berada untuk
mencapai keharmonisan pada dirinya dan lingkungan. Adaptasi berhasil secara
positif jika tidak adanya ketegangan emosi, bila individu menghadapi problema,
emosi, tetap tenang, tidak panik, sehinga dalam memecahkan masalah dengan
menggunakan rasio dan emosinya terkendali, dalam memecahkan masalah
terhadap realitas dan objektif. Bila seseorang menghadapi masalah segera
dihadapi secara apa adanya tidak ditunda-tunda, tidak menjadi frustasi, konflik
maupun kecemasan dan mampu belajar pengetahuan yang mendukung apa yang
dihadapi sehingga dengan pengetahuan itu dapat digunakan menanggulangi
timbulnya problema. Adaptasi yang negatif jika yang bersangkutan tidak dapat
mengendalikan emosinya, bila ada masalah menjadi panik sehingga tindakan tidak
sesuai dengan kenyataan dan menggunakan pertahanan diri yang berebih.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2

Jenis Adaptasi
Menurut Hidayat (2006), ada 4 jenis adaptasi yakni

2.2.2.1 Adaptasi Fisiologis
Adaptasi fisiologis merupakan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
keadaan relatif seimbang, kemampuan adaptif ini adalah bentuk dinamika dari
ekuilibrium lingkungan internal tubuh (Potter & Perry, 2005).
Riset klasik yang dilakukan selye, 1976 (dalam Hidayat, 2006) membagi
adaptasi fisiologis menjadi sindrom adaptasi psikososial lokal (local adaptation
syndrom—LAS) dan sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome—
GAS).
2.2.2.2 Adaptasi psikologis
Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian secara psikologis dengan cara
melakukan mekanisme pertahanan diri yang bertujuan melindungi atau bertahan
dari serangan atau hal yang tidak menyenangkan (Hidayat, 2006)
2.2.2.3 Adaptasi Sosial Budaya
Merupakan cara untuk mengadakan perubahan dengan melakukan proses
penyesuaian perilaku yang sesuai dengan normal yang berlaku di masyarakat,
misalnya seseorang yang tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan budaya
gotong royong akan berupaya beradaptasi dengan lingkungannya tersebut
(Hidayat, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2.4 Adaptasi Spiritual
Proses penyesuaian diri dengan melakukan perubahan perilaku yang
didarkan pada keyakinan atau kepercayaan yang dimiliki sesuai dengan agama
yang dianutnya. Misalnya, apabila mengalami stress, seseorang akan giat
melakukan ibadah, seperti rajin sembahyang, berpuasa, dan sebagainya
(Hidayat, 2006).
2.2.4

Mekanisme Adaptasi
Individu mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kesehatan, dan

menggunakan energinya untuk beradaptasi secara positif. Terdapat dua sub sistem
yang berperan, antara lain:
2.2.4.1 Sub sistem regulator
Yaitu sub sistem dari manusia yang menangani terhadap adanya rangsangan
dari luar yaitu melalui sistem saraf dan hormonal, contohnya bagaimana
seseorang yang mengalami stimulus respon emosional, kemudian tubuh
menyesuaikan diri dengan mengeluarkan hormon adrenalin yang berefek untuk
mempercepat denyut nadi, pernafasan yang meningkat, suhu tubuh meningkat,
otot tubuh berkontraksi.
2.2.4.2 Sub sistem kognator
Yaitu sub sistem yang menangani stimulus dengan melalui proses informasi,
belajar, dan pengambilan keputusan. Artinya adaptasi ini dengan cara
mengaktifkan fungsi-fungsi kognitif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
(Rasmun, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.2.5

Respon Adaptasi
Respon atau perilaku adaptasi seseorang terhadap perubahan atau

kemunduran bergantung pada stimulus yang masuk dan /kemampuan adaptasi
orang tersebut. atau kemampuan adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal,
yaitu masukan (input), control, dan keluaran (output) (Asmadi, 2008). Respon
individu terhadap stimulus lingkungan dapat berupa respon adaptif dan
maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat meningkatkan integritas
dan membantu individu untuk mencapai tujuan dari adaptasi sendiri, seperti
bertahan hidup, tumbuh, bereproduksi, penguasaan dan perubahan pada individu
maupun lingkungan. Sebaliknya, respon maladaptif dapat menggagalkan atau
mengancam tujuan adaptasi (Alligood & Tomey, 2010).
2.3 Adaptasi psikologis
Adaptasi ini merupakan proses penyesuaian

secara psikologis dengan

melakukan mekanisme pertahanan diri yang bertujuan melindungi atau bertahan
dari serangan atau hal yang tidak menyenangkan. Adaptasi psikologis bisa bersifat
konstruktif atau deskruktif. Perilaku yang konstruktif membantu individu
menerima tantangan untuk memecahkan konflik, bahkan rasa cemaspun bisa
menjadi konstruktif, jika dapat memberi sinyal adanya suatu ancaman sehingga
individu apat mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampaknya perilaku
deskruktif tidak membantu individu mengatasi stressor. (Hidayat. 2006).
Perilaku konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk
menyelesaikan konflik. Bahkan ansietas dapat konstrukti misalnya, ansietas dapat
menjadi tanda bahwa terdapat ancaman sehingga seseorang dapat melakukan

Universitas Sumatera Utara

tindakan untuk mengurangi keparahannya. Perilaku destruktif mempengaruhi
orientasi realitas, kemampuan pemecahan masalah, keperibadian, dan situasi yang
sangat berat, kemampuan untuk berfungsi. Ansietas dapat juga bersifat destruktif
(mis. jika seseorang tidak mampu beritindak melepaskan diri dari stressor). Sama
halnya, penyalahgunaan alkohol atau obat-obatan dapat dipandang sebagai
perilaku adapatif dalam kenyataannya hal ini malah meningkatkan stress dan
bukan menurunkan stress.Perilaku adaptif psikologis individu membantu
kemampuan seseorang untuk menghadapi stressor. Perilaku ini diarahkan pada
penatalaksanaan stress dan didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman
sejalan dengan individu mengidentifikasi perilaku yang dapat diterima dan
berhasil (potter& perry, 2005)
Perilaku adaptasi psikologis juga mengacu

pada mekanisme koping (coping

mechanisme) yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan mekanisme
pertahanan iri (ego oriented) (Hidayat, 2006).
2.3.1 Reaksi yang berorientai pada tugas.
Reaksi ini melibatkan penggunaan kemampuan kognitif untuk mengurangi
stres dan memecahkan masalah. Terdapat tiga jenis perilaku yang umum yakni:
1) Menyerang, yaitu bertindak menghilangkan, mengatasi stressor, atau
memenuhi kebutuhan, misalnya berkonsultasi dengan orang yang ahli.
2) Menarik diri dari stressor secara fisik maupun emosi.
3) Berkompromi, yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti
tujuan, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Reaksi yang berorientasi pada ego
Reaksi ini dikenal sebagai mekanisme pertahanan diri secara psikologis
untuk mencegah gangguan psikologis yang lebih dalam. Mekanisme pertahanan
diri tersebut adalah:
1) Rasionalisasi. Berusaha memberikan alasan yang rasional sehingga masalah
yang dihadapinya dapat teratasi.
2) Pengalihan. Upaya untuk mengatasi masalah psikologis dengan melakukan
pengalihan tingkah laku pada objek lain, contohnya jika seserorang terganggu
akibat situasi gaduh yang disebabkan oleh temannya, maka ia berupaya
menyalahkan temanya tersebut.
3) Kompensasi. Mengatasi masalah dengan mencari kepuasan pada keadan lain.
Misalnya, seseorang memiliki masalah karena menurunya daya ingat, maka
di sisi lain, ia berusaha menonjolkan bakal melukis yang dimilikinya.
4) Identifikasi. Meniru perilaku orang lain dan berusaha mengikuti sifat
karakteristik, dan tindakan orang tersebut.
5) Represi. Mencoba menghilangkan pikiran masalah yang secara sadar tidak
dapat diterima dan tidak memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan.
6) Penyangkalan. Upaya pertahanan diri dengan cara menyangkal masalah yang
dihadapi atau tiak mau menerima kenyataan yang dihadapinya, misalnya
menolak kenyataan bahwa pasangan sudah meninggal dunia dengan cara
tetap melakukan rutinitas seolah-olah pasangan masih ada (Hidayat, 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.4 Masalah Psikologis pasien TB
Gejala yang dapat dirasakan seorang penderita TB paru tidak hanya berupa
gejalafisik saja. Penderita TB paru juga rentan mengalami masalah atau
gejalapsikososial. Doenges, Moorhouse, dan Murr (2010) menyebutkan
bahwaseseorang yang mengalami TB paru akan menunjukkan gejala-gejala
psikologiseperti merasa stres berkepanjangan, tidak ada harapan dan putus asa,
penderitamungkin menunjukkan penyangkalan khususnya pada fase awal
penyakit,kecemasan, ketakutan, cepat marah, ceroboh dan terjadi perubahan
mental padatahap lanjut. Dampak psikologis ini tentunya tidak boleh diabaikan
begitu saja,karena masalah psikologis yang dibiarkan berlarut-larut dapat
berkembangmenjadi kondisi yang semakin buruk dan menyebabkan masalah baru
bagipenderita TB paru itu sendiri (Abdad, 2013).
Kecemasan merupakan awal masalah psikologis pasien. Pasien tuberkulosis paru
perlu mendapatkan

perhatian yang serius untuk kecemasannya dalam masa

pengobatan. Pengobatan TB yang bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegahkematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan
mencegahterjadinya resistensi kuman tuberculosis (Indrayani, 2011).
Ketidakmampuan penderita TBdalam melakukan pengobatan dapat berdampak
pada timbulnya kekhawatiranpenderita TB tentang keadaan dirinya. Timbulnya
perasaan takut yang dialamipenderita TB yang disebabkan oleh ketidakmampuan
mereka menjalankanpengobatan TB dengan baik akan menimbulkan kecemasan
dalam diripenderita TB. Nurjanah (2004 dalam indrayani, 2011) menyebutkan
bahwa salah satu faktor pencetuskecemasan adalah ancaman terhadap integritas

Universitas Sumatera Utara

seseorang. Berdasarkanpendapat tersebut,maka timbulnya penyakit TB paru pada
seorang pasienberdampak terhadap timbulnya kesadaran akan terancamnya
keberadaan atauintegritas pasien dalam kehidupan secara pribadi maupun di
masyarakat.
Pasien menyadari bahwa ketika pasien didiagnosa menderita penyakit TB,maka
secara otomatis pasien tersebut harus mengikuti program pengobatanyang relatif
lama yaitu minimal 6 bulan. Timbulnya perilaku baru yang pasienhadapi yaitu
harus meminum obat dalam jumlah banyak serta dalam waktuyang lama
menimbulkan kekhawatiran terhadap apakah ia mampumenjalankan pengobatan
tersebut, karena tidak semua orang mampu menelanobat serta apakah mampu ia
menjaga motivasi dirinya untuk terus melakukanpengobatan sehingga tidak
mengalami putus obat. Konsekuensi-konsekuensiyang merupakan akibat dari
pengobatan TB paru merupakan faktor pencetustimbulnya kecemasan pada diri
pasien terhadap kondisi hidupnya pada masasekarang dan akan datang (Indrayani
dkk, 2011).
Masalah psikososial juga dapat muncul akibat berbagai faktor. Penderita TB paru
dapatmengalami beban pikiran yang berat akibat kondisi sakit yang tidak
diharapkanatau akibat mengalami beban perasaan atas tuntutan masyarakat yang
dikelilingioleh banyak stigma. Menurut Setiawan (2011) ada beberapa stigma
negatif yangberkembang terkait penyakit tuberkulosis diantaranya adalah
anggapan bahwa tuberkulosis merupakan penyakit guna-guna atau kutukan,
penyakit keturunan danpenyakit yang tidak dapat disembuhkan. Stigma-stigma ini
kerap kalimempengaruhi kondisi kesehatan penderita, dimana penderita mungkin

Universitas Sumatera Utara

akanmerasa malu dan takut akan dikucilkan oleh lingkungannya sehingga
penderitalebih memilih menyembunyikan penyakitnya dan menolakuntukberobat
(abdad, 2013).

Universitas Sumatera Utara