T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor Penyebab MDR (Multi Drugs Resistance) pada Pasien TB di Rumah Sakit Paru dr Ario Wirawan Salatiga T1 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis
(TB)
paru
masih
merupakan
masalah
kesehatan baik di dunia maupun di Indonesia serta muncul ke
permukaan sebagai penyebab utama kematian dan menjadi
ancaman global. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang
berbentuk
batang
yang
(Basil)
dikenal
dengan
nama
Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini adalah
melalui
perantaraan
ludah
atau
dahak
penderita
yang
mengandung basil TB paru pada saat penderita batuk, bersin,
menyanyi atau berbicara, yang berterbangan di udara dan
terhisap oleh orang yang sehat sehingga masuk kedalam paru
(Dhewi, dkk, 2012).
Menurut data WHO (2014) jumlah penderita TB paru
didunia sebanyak 5.776.838 jiwa. Hal ini membuktikan bahwa
TB paru merupakan salah satu penyakit menular yang telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia.
Indonesia menduduki peringkat pertama untuk kawasan
Asia Tenggara dengan kasus TB paru terbanyak (328.824
kasus) dibandingkan Thailand 60.304, Malaysia 21.851, dan
1
2
Filipina
2.301.
Angka
ini
telah
mengalami
peningkatan
sebanyak 10% dalam 2 tahun terakhir (2010-2014)
Dalam rangka menekan laju penularan TB paru melalui
peraturan yang sudah ditetapkan, Pemerintah Indonesia
memiliki strategi dalam bentuk peraturan seperti peraturan
Menteri
Kesehatan
565/Menkes/Per/III/2011
Republik
Indonesia
tentang
Strategi
Nomor
Nasional
Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014 dalam pasal 1
dan 3 Pengaturan Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Tahun
2011-2014
pemerintah,
bertujuan
pemerintah
memberikan
daerah,
acuan
masyarakat,
bagi
fasilitas
pelayanan kesehatan, institusi pendidikan atau penelitian, serta
lembaga
swadaya
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
program pengendalian Tuberculosis (Dinkes,2013). Strategi
yang dilakukan oleh pemerintah seperti yang tertulis pada pasal
3 tentang pengendalaian tuberkulosis tahun 2011-2014 tentang
perencanaan program pengendalian tuberkulosis, pendanaan
kegiatan pengendalian tuberkulosis menjamin ketersediaan
obat, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya yang
diperlukan,
mendorong
ketersediaan
dan
peningkatan
kemampuan sumber daya manusia, koordinasi dan kemitraan
kegiatan pengendalian tuberkulosis dengan institusi terkait,
pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis.
3
Strategi yang telah disebutkan sebelumnya telah dilakukan
pemerintah namun belum tercapai secara maksimal. Hal
tersebut, dibuktikan dengan beberapa data yang menunjukkan
masih tingginya penderita TB paru. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang
besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus
baru yang ditunjukkan dengan jumlah Basil Tahan Asam Positif
BTA (+) di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari
jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Profil Kesehatan
Indonesia, 2013). Data penderita kasus TB paru dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, Jawa Tengah
merupakan provinsi ke 7 dengan kasus Tuberkulosis terbanyak.
Peningkatan jumlah penderita TB paru di dunia maupun di
Indonesia
menimbulkan
masalah
baru
dalam
upaya
menanggulangi para penderita TB paru. Masalah baru yang
timbul dalam perkembangan diagnostik serta terapi TB paru,
yaitu resistensi Obat Anti Tuberkulosis/OAT (Multi Drugs
Resistance Tuberculosis). Multi Drug Resistance (MDR) adalah
suatu kondisi dimana obat rafampisin dan isoniazid sudah tidak
efektif dalam membunuh kuman M.Tuberculosis dikarenakan
kuman sudah resisten terhadap obat tersebut (Kulsum,2014).
Menurut laporan WHO (2014) pada tahun 2014 terdapat
1.812 kasus yang terdekteksi MDR di Indonesia. Sedangkan
4
untuk Jawa Tengah pada tahun 2013 terdekteksi 106 kasus
MDR dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebanyak
144 kasus dari 1.000 penduduk.
Peningkatan kasus TB MDR ini disebabkan kurangnya
perhatian dan pengawasan yang dilakukan oleh petugas
kesehatan dalam proses pengobatan yang sebagian besar
adalah kasus TB yang berobat di rumah sakit (Dinkes Jateng,
2015).
Salah satu upaya penanganan kasus TB paru adalah
layanan kesehatan di Jawa Tengah khusus penyakit paru yakni
melalui Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan yang terletak di
Kota Salatiga. Keberadaan rumah sakit ini, menunjukan bukti
keseriusan pemerintah untuk menanggulangi penyakit paru
terutama TB paru. Banyaknya kasus TB MDR di Rumah Sakit
Paru dr Ario Wirawan Salatiga dari tahun 2015-2016 berjumlah
176 pasien yang terdiagnosa TB MDR. Hal ini menjadi tugas
pemerintah
dan
masyarakat
untuk
menurunkan
angka
penderitanya. Peningkatan kasus TB MDR di RSPAW ini
menunjukan
masih
kurangnya
konsentrasi
pengawasan
keluarga dalam meningkatkan mutu program yang telah dibuat
dan lemahnya dukungan dari masyarakat terhadap program
pemerintah tersebut. Meskipun program pengendalian TB yang
telah disusun dan dijalankan pemerintah yang bekerja sama
5
dengan Dinas Kesehatan tidak diikuti dengan menurunnya
penderita TB paru dan MDR di Indonesia (Mansur dkk, 2015).
Program
pemberantasan
Tuberkulosis
yang
telah
dilaksanakan di Puskesmas dan BKPM (Balai Kesehatan paru
Masyarakat) yaitu penyuluhan kesehatan untuk masyarakat
mengenai TB paru belum tercapai secara maksimal hal tersebut
dikarenakan kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan
dalam mendorong ketersediaan dan
peningkatan kemampuan sumber daya manusia terkait dengan
pengendalian tuberkulosis. Hal tersebut berdampak pada
tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan pengobatan. Salah
satu penyebab ketidakberhasilan dalam malakukan pengobatan
dikarenakan kurangnya tingkat pengetahuan tentang TB
sehingga
berdampak
pada
ketidakpatuhan
dalam
menyelesaikan program pengobatan (Murtiwi, 2006).
Menurut
merupakan
Notoatmojo
masalah
(2007)
perilaku.
ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan
berobat
tersebut
disebabkan karena kurangnya pengatahuan penderita
TB
dalam menyelesaikan pengobatan. Sehingga dapat kambuh
dengan kuman yang resistance terhadap OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) sehingga menjadi sumber kuman resistance.
Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan
yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.
6
Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dalam menentukan
melakukan pengobatan seperti tingkat pengetahuan.
Semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tidak
patuh penderita untuk berobat. Hal tersebut dikarenakan
rendahnya pendidikan seseorang dapat mempengaruhi daya
serap dalam menerima informasi sehingga mempengaruhi
tingkat
pemahaman
tentang
penyakit
TB
paru,
cara
pengobatan, dan efek samping OAT (Erni 2009, dalam Pahabu
2015).
Fajarwati (2005), meneliti tentang hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan sikap penderita TB paru di Balai
Pengobatan Paru (BP4) di Surakarta. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat pengetahuan dengan sikap penderita tuberkulosis.
Mucksin
(2008),
meneliti
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi keteraturan minum obat pada penderita TB paru
yang mengalami konversi di kota Jambi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa adanya perbedaan bermakna antara
keteraturan minum obat pada penderita TB paru yang ada PMO
(Pengawasan Menelan Obat) dibandingkan dengan yang tidak
ada PMO.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas
peneliti
ingin
melihat
apakah
tingkat
pengetahuan
dan
7
keteraturan minum obat
yang diawasi oleh PMO memiliki
keterkaitan dengan faktor penyebab TB MDR. Peneliti tertarik
memilih
penderita
TB
MDR
yang
sedang
melakukan
pengobatan di Rumah sakit dr. Ario Wirawan Salatiga agar
peneliti bisa lebih menggali informasi tentang faktor penyebab
MDR (Multi Drugs Resistantance).
1.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian untuk mengetahui faktor apa saja yang
menyebabkan MDR (Multi Drug Resistance) pada pasien
penderita TB di Rumah Sakit dr Ario Wirawan Salatiga.
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui faktor penyebab pada pasien TB MDR yang sedang
melakukan pengobatan.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1 Teoritis
1.4.1.1. Ilmu Keperawatan
Penelitian
ini
diharapkan mampu
memberikan
kontribusi dan mengembangkan Ilmu keperawatan
dan asuhan keperawatan dalam menangani kasus TB
MDR serta mampu menganali tanda dan gejala serta
cara penanganan TB MDR (Multi Drugs Resistance).
8
1.4.1.2. Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
serta informasi bagi peneliti lain terkait faktor
penyebab pada pasien TB MDR sehingga dapat
dihasilkan penelitian lainnya yang dapat memberikan
kontribusi pada ilmu pengetahuan dan khususnya
untuk penanggulangan TB MDR di Indonesia.
1.4.2. Praktis
1.4.2.1. Masyarakat
Masyarakat diharapkan mampu untuk mengenali
tanda dan gejala TB MDR serta cara pencegahanya.
1.4.2.2. Penderita TB MDR (Multi Drus Resistance)
Diharapkan
informasi
ini
bermanfaat
untuk
penderita agar selalu teratur melakukan pemeriksaan
di rumah sakit terdekat dan selalu rutin minum obat
sesuai dengan perintah dokter.
1.4.2.3. Rumah Sakit / Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi
masukan yang berarti untuk petugas kesehatan agar
dapat meningkatakan program penyuluhan TB MDR
dirumah sakit ataupun puskesmas.
9
1.4.2.4. Pemerintah
Hasil
penelitian
ini
dapat
menjadi
bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam meningkatkan
program penyuluhan tentang TB
ataupun
puskesmas
agar
dirumah sakit
masyarakat
mampu
mengenali tanda dan gelaja TB MDR serta mencegah
terjadinya resiko terinfeksi TB.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis
(TB)
paru
masih
merupakan
masalah
kesehatan baik di dunia maupun di Indonesia serta muncul ke
permukaan sebagai penyebab utama kematian dan menjadi
ancaman global. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang
berbentuk
batang
yang
(Basil)
dikenal
dengan
nama
Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini adalah
melalui
perantaraan
ludah
atau
dahak
penderita
yang
mengandung basil TB paru pada saat penderita batuk, bersin,
menyanyi atau berbicara, yang berterbangan di udara dan
terhisap oleh orang yang sehat sehingga masuk kedalam paru
(Dhewi, dkk, 2012).
Menurut data WHO (2014) jumlah penderita TB paru
didunia sebanyak 5.776.838 jiwa. Hal ini membuktikan bahwa
TB paru merupakan salah satu penyakit menular yang telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia.
Indonesia menduduki peringkat pertama untuk kawasan
Asia Tenggara dengan kasus TB paru terbanyak (328.824
kasus) dibandingkan Thailand 60.304, Malaysia 21.851, dan
1
2
Filipina
2.301.
Angka
ini
telah
mengalami
peningkatan
sebanyak 10% dalam 2 tahun terakhir (2010-2014)
Dalam rangka menekan laju penularan TB paru melalui
peraturan yang sudah ditetapkan, Pemerintah Indonesia
memiliki strategi dalam bentuk peraturan seperti peraturan
Menteri
Kesehatan
565/Menkes/Per/III/2011
Republik
Indonesia
tentang
Strategi
Nomor
Nasional
Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014 dalam pasal 1
dan 3 Pengaturan Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Tahun
2011-2014
pemerintah,
bertujuan
pemerintah
memberikan
daerah,
acuan
masyarakat,
bagi
fasilitas
pelayanan kesehatan, institusi pendidikan atau penelitian, serta
lembaga
swadaya
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
program pengendalian Tuberculosis (Dinkes,2013). Strategi
yang dilakukan oleh pemerintah seperti yang tertulis pada pasal
3 tentang pengendalaian tuberkulosis tahun 2011-2014 tentang
perencanaan program pengendalian tuberkulosis, pendanaan
kegiatan pengendalian tuberkulosis menjamin ketersediaan
obat, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya yang
diperlukan,
mendorong
ketersediaan
dan
peningkatan
kemampuan sumber daya manusia, koordinasi dan kemitraan
kegiatan pengendalian tuberkulosis dengan institusi terkait,
pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis.
3
Strategi yang telah disebutkan sebelumnya telah dilakukan
pemerintah namun belum tercapai secara maksimal. Hal
tersebut, dibuktikan dengan beberapa data yang menunjukkan
masih tingginya penderita TB paru. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang
besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus
baru yang ditunjukkan dengan jumlah Basil Tahan Asam Positif
BTA (+) di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari
jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Profil Kesehatan
Indonesia, 2013). Data penderita kasus TB paru dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, Jawa Tengah
merupakan provinsi ke 7 dengan kasus Tuberkulosis terbanyak.
Peningkatan jumlah penderita TB paru di dunia maupun di
Indonesia
menimbulkan
masalah
baru
dalam
upaya
menanggulangi para penderita TB paru. Masalah baru yang
timbul dalam perkembangan diagnostik serta terapi TB paru,
yaitu resistensi Obat Anti Tuberkulosis/OAT (Multi Drugs
Resistance Tuberculosis). Multi Drug Resistance (MDR) adalah
suatu kondisi dimana obat rafampisin dan isoniazid sudah tidak
efektif dalam membunuh kuman M.Tuberculosis dikarenakan
kuman sudah resisten terhadap obat tersebut (Kulsum,2014).
Menurut laporan WHO (2014) pada tahun 2014 terdapat
1.812 kasus yang terdekteksi MDR di Indonesia. Sedangkan
4
untuk Jawa Tengah pada tahun 2013 terdekteksi 106 kasus
MDR dan mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebanyak
144 kasus dari 1.000 penduduk.
Peningkatan kasus TB MDR ini disebabkan kurangnya
perhatian dan pengawasan yang dilakukan oleh petugas
kesehatan dalam proses pengobatan yang sebagian besar
adalah kasus TB yang berobat di rumah sakit (Dinkes Jateng,
2015).
Salah satu upaya penanganan kasus TB paru adalah
layanan kesehatan di Jawa Tengah khusus penyakit paru yakni
melalui Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan yang terletak di
Kota Salatiga. Keberadaan rumah sakit ini, menunjukan bukti
keseriusan pemerintah untuk menanggulangi penyakit paru
terutama TB paru. Banyaknya kasus TB MDR di Rumah Sakit
Paru dr Ario Wirawan Salatiga dari tahun 2015-2016 berjumlah
176 pasien yang terdiagnosa TB MDR. Hal ini menjadi tugas
pemerintah
dan
masyarakat
untuk
menurunkan
angka
penderitanya. Peningkatan kasus TB MDR di RSPAW ini
menunjukan
masih
kurangnya
konsentrasi
pengawasan
keluarga dalam meningkatkan mutu program yang telah dibuat
dan lemahnya dukungan dari masyarakat terhadap program
pemerintah tersebut. Meskipun program pengendalian TB yang
telah disusun dan dijalankan pemerintah yang bekerja sama
5
dengan Dinas Kesehatan tidak diikuti dengan menurunnya
penderita TB paru dan MDR di Indonesia (Mansur dkk, 2015).
Program
pemberantasan
Tuberkulosis
yang
telah
dilaksanakan di Puskesmas dan BKPM (Balai Kesehatan paru
Masyarakat) yaitu penyuluhan kesehatan untuk masyarakat
mengenai TB paru belum tercapai secara maksimal hal tersebut
dikarenakan kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh
petugas kesehatan
dalam mendorong ketersediaan dan
peningkatan kemampuan sumber daya manusia terkait dengan
pengendalian tuberkulosis. Hal tersebut berdampak pada
tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan pengobatan. Salah
satu penyebab ketidakberhasilan dalam malakukan pengobatan
dikarenakan kurangnya tingkat pengetahuan tentang TB
sehingga
berdampak
pada
ketidakpatuhan
dalam
menyelesaikan program pengobatan (Murtiwi, 2006).
Menurut
merupakan
Notoatmojo
masalah
(2007)
perilaku.
ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan
berobat
tersebut
disebabkan karena kurangnya pengatahuan penderita
TB
dalam menyelesaikan pengobatan. Sehingga dapat kambuh
dengan kuman yang resistance terhadap OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) sehingga menjadi sumber kuman resistance.
Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan
yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.
6
Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dalam menentukan
melakukan pengobatan seperti tingkat pengetahuan.
Semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tidak
patuh penderita untuk berobat. Hal tersebut dikarenakan
rendahnya pendidikan seseorang dapat mempengaruhi daya
serap dalam menerima informasi sehingga mempengaruhi
tingkat
pemahaman
tentang
penyakit
TB
paru,
cara
pengobatan, dan efek samping OAT (Erni 2009, dalam Pahabu
2015).
Fajarwati (2005), meneliti tentang hubungan antara tingkat
pengetahuan dengan sikap penderita TB paru di Balai
Pengobatan Paru (BP4) di Surakarta. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat pengetahuan dengan sikap penderita tuberkulosis.
Mucksin
(2008),
meneliti
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi keteraturan minum obat pada penderita TB paru
yang mengalami konversi di kota Jambi. Hasil penelitian
menunjukan bahwa adanya perbedaan bermakna antara
keteraturan minum obat pada penderita TB paru yang ada PMO
(Pengawasan Menelan Obat) dibandingkan dengan yang tidak
ada PMO.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas
peneliti
ingin
melihat
apakah
tingkat
pengetahuan
dan
7
keteraturan minum obat
yang diawasi oleh PMO memiliki
keterkaitan dengan faktor penyebab TB MDR. Peneliti tertarik
memilih
penderita
TB
MDR
yang
sedang
melakukan
pengobatan di Rumah sakit dr. Ario Wirawan Salatiga agar
peneliti bisa lebih menggali informasi tentang faktor penyebab
MDR (Multi Drugs Resistantance).
1.2 Fokus Penelitian
Fokus penelitian untuk mengetahui faktor apa saja yang
menyebabkan MDR (Multi Drug Resistance) pada pasien
penderita TB di Rumah Sakit dr Ario Wirawan Salatiga.
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui faktor penyebab pada pasien TB MDR yang sedang
melakukan pengobatan.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1 Teoritis
1.4.1.1. Ilmu Keperawatan
Penelitian
ini
diharapkan mampu
memberikan
kontribusi dan mengembangkan Ilmu keperawatan
dan asuhan keperawatan dalam menangani kasus TB
MDR serta mampu menganali tanda dan gejala serta
cara penanganan TB MDR (Multi Drugs Resistance).
8
1.4.1.2. Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
serta informasi bagi peneliti lain terkait faktor
penyebab pada pasien TB MDR sehingga dapat
dihasilkan penelitian lainnya yang dapat memberikan
kontribusi pada ilmu pengetahuan dan khususnya
untuk penanggulangan TB MDR di Indonesia.
1.4.2. Praktis
1.4.2.1. Masyarakat
Masyarakat diharapkan mampu untuk mengenali
tanda dan gejala TB MDR serta cara pencegahanya.
1.4.2.2. Penderita TB MDR (Multi Drus Resistance)
Diharapkan
informasi
ini
bermanfaat
untuk
penderita agar selalu teratur melakukan pemeriksaan
di rumah sakit terdekat dan selalu rutin minum obat
sesuai dengan perintah dokter.
1.4.2.3. Rumah Sakit / Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi
masukan yang berarti untuk petugas kesehatan agar
dapat meningkatakan program penyuluhan TB MDR
dirumah sakit ataupun puskesmas.
9
1.4.2.4. Pemerintah
Hasil
penelitian
ini
dapat
menjadi
bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam meningkatkan
program penyuluhan tentang TB
ataupun
puskesmas
agar
dirumah sakit
masyarakat
mampu
mengenali tanda dan gelaja TB MDR serta mencegah
terjadinya resiko terinfeksi TB.