Evaluasi Pemanfaatan Koleksi Institutional Repository Pada Website Digital Repository Perpustakaan UNIMED

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Evaluasi Koleksi Perpustakaan 2.1.1 Definisi Evaluasi Koleksi

Kata evaluasi sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Menurut Echols dan Shadily (2000: 220), pada awalnya kata evaluasi merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu “evaluation yang berarti penilaian atau penafsiran, kata evaluasi sering digunakan untuk memberikan nilai atau perkiraan hasil mengenai suatu objek yang diteliti.”

Sedangkan menurut Ajick (2009: 2) :

Evaluasi adalah penggunaan teknik penelitian untuk mengukur kebutuhan pemakai serta tujuan-tujuan yang dapat mencapai suatu program dalam proses mengoleksi, menganalisa dan mengartikan informasi atau sebagai bentuk instruksi.

Pengertian lain dari Cizek (2000: 16) bahwa:

Evaluasi adalah suatu proses penentuan nilai atau harga dengan mempertimbangkan hasil observasi atau koleksi data yang diperoleh. Hal ini berarti untuk melakukan evaluasi harus diawali dengan kegiatan observasi maupun kegiatan lainnya yang akan menghasilkan data sebagai pertimbangan evaluasi tersebut.

Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa evaluasi merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk melihat sejauh mana keberhasilan suatu program atau kegiatan, yang mana keberhasilan program atau kegiatan itu sendiri dapat dilihat dari dampak atau hasil yang dicapai oleh program tersebut.

Menurut Junaidi (2010: 3), “evaluasi koleksi adalah kegiatan menilai koleksi perpustakaan baik dari segi ketersediaan koleksi itu sendiri bagi pengguna maupun pemanfaatan koleksi itu oleh pengguna”. Dalam Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004: 49) dijelaskan bahwa, “evaluasi koleksi adalah upaya menilai daya guna dan hasil guna koleksi dalam memenuhi kebutuhan sivitas akademika serta program perguruan tinggi. Evaluasi koleksi


(2)

harus dilakukan secara teratur agar sesuai dengan perubahan dan perkembangan program perguruan tinggi.

Hardi (2006: 4) juga menyatakan bahwa evaluasi koleksi adalah:

Proses efektifitas dalam memenuhi kebutuhan informasi sivitas akademika. Evaluasi merupakan aktivitas yang berkesinambungan yang merefleksikan perubahan dalam proses belajar mengajar dan kebutuhan pemakai. Dengan melakukan evaluasi koleksi, pustakawan bisa mengetahui seberapa baik atau seberapa buruk bahan literatur yang tersedia dalam memenuhi komunitas perguruan tinggi.

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa evaluasi koleksi adalah kegiatan penilaian daya guna koleksi perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan sivitas akademika perguruan tinggi. Perpustakaan perlu melakukan evaluasi untuk menilai apakah koleksi yang tersedia benar-benar relevan dengan kebutuhan pengguna perpustakaan.

2.1.2 Tujuan Evaluasi Koleksi

Setiap kegiatan yang dilaksanakan pasti mempunyai tujuan, demikian juga dengan evaluasi. Menurut Notoatmodjo (2010: 177) menyatakan bahwa:

Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku kelompok sasaran. Survei ini juga berperan untuk mengukur jangkauan dan pencapaian jalur media, pesan serta penerimaan di kalangan khalayak sasaran.

Sedangkan tujuan evaluasi menurut Tayibnapis (2003: 2) adalah: 1) Membuat kebijaksanaan dan keputusan.

2) Menilai hasil yang dicapai para pelajar. 3) Menilai kurikulum.

4) Memberi kepercayaan kepda sekolah. 5) Memonitori dana yang telah diberikan. 6)Memperbaiki materi dan program pendidikan

Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan bahwa tujuan dari evaluasi adalah pengambilan keputusan dalam mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku kelompok sasaran untuk mendapatkan informasi yang tepat.

Perpustakaan memiliki beberapa alasan untuk melakukan evaluasi koleksi. Adapun alasan umum yang biasanya melatarbelakangi dilakukannya evaluasi koleksi pada suatu perpustakaan menurut Junaidi (2010: 3) antara lain:

1) Untuk mengembangkan program pengadaan yang cerdas dan realistis berdasarkan pada data koleksi berdasarkan pada data koleksi yang sudah ada.


(3)

2) Untuk menjadi bahan pertimbangan pengajuan anggaran untuk pengadaan koleksi berikutnya.

3) Untuk menambah pengetahuan staf pengembangan koleksi terhadap keadaan koleksi.

Alasan tersebut menjadi dasar untuk menentukan tujuan evaluasi koleksi. Pada hakikatnya, menurut Hardi (2006: 4) “tujuan evaluasi koleksi dilakukan agar dapat memperkirakan bagaimana tingkat pemanfaatan koleksi perpustakaan dimasa yang akan datang”.

Berdasarkan kebijakan pengembangan koleksi dalam mengembangkan program perguruan tinggi, Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004: 49) menjelaskan tujuan evaluasi koleksi yaitu:

1) Mengetahui mutu, lingkup dan kedalaman koleksi.

2) Menyesuaikan koleksi dengan tujuan dan program perguruan tinggi. 3) Mengikuti perubahan, perkembangan, sosial budaya, ilmu dan

teknologi.

4) Meningkatkan nilai informasi.

5) Mengetahui kekuatan dan kelemahan koleksi. 6) Menyesuaikan kebijakan pengembangan koleksi.

Pendapat lain juga dinyatakan oleh Ajick (2009: 2) bahwa “tujuan dari evaluasi diantaranya adalah untuk menentukan kualitas koleksi dan juga mengetahui apakah tujuan perpustakaan yang ditentukan telah tercapai”.

Uraian yang lebih spesifik mengenai tujuan evaluasi koleksi dikemukakan oleh Nurjanah (2010: 12-13) sebagai berikut:

1) Tujuan Internal

a. Kebutuhan pengembangan koleksi: untuk mengetahui cakupan subjek koleksi, kedalaman koleksi, dan pola pemanfaatan koleksi oleh pengguna, nilai uang dari koleksi yang ada (data asset perpustakaan), masalah yang dihadapi oleh kebijakan pengembangan koleksi dan program- programnya, perubahan apa saja yang harus dilakukan dengan program yang ada, dan apakah staf pengembangan koleksi sudah menjalankan tugas-tugasnya dengan baik; untuk mendata: kekuatan koleksi dan kelemahannya secara kualitatif maupun kuantitatif (pada subjek apa saja); untuk mendapatkan: data bagi kepentingan program pengembangan koleksi bersama perpustakaan lain, data bagi kepentingan penyiangan, data bagi kepentingan stock opname

b. Kebutuhan anggaran, membantu penentuan: alokasi anggaran untuk memperkuat subjek yang lemah; alokasi anggaran untuk memelihara subjek yang sudah kuat; alokasi anggaran untuk


(4)

pengembangan koleksi lama/retrospective; semua alokasianggaran pengembangan koleksi

2) Tujuan Eksternal

a. Kebutuhan institusi lokal, untuk mengetahui: kinerja perpustakaan; rasionalisasi anggaran pengembangan koleksi yang diajukan; apakah anggaran yang diperoleh bisa menunjang kebutuhan; apakah perpustakaan tersebut sudah setara dengan unti pelayan lain dalam komunitas yang sama; alternatif lain dari penambahan ruang (ruang penyimpanan); apakah koleksi sudah kadaluarsa; apakah koordinasi dalam program pengembangan koleksi sudah berjalan dengan baik; apakah tingkat duplikasi koleksi sudah tepat; apakah rasio biaya/keuntungan (cost/benefit) masuk akal;

b. Kebutuhan luar organisasi, menyiapkan data untuk: akreditasi; badan-badan pendanaan dan donor; berbagai program jaringan, konsorsium dan kerjasama lainnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa evaluasi koleksi dibutuhkan untuk mengkaji apakah koleksi yang tersedia sudah relevan dengan kebutuhan pengguna dan dimanfaatkan dengan baik oleh pengguna perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan informasinya dan apakah koleksi yang tersedia telah sesuai dengan kebutuhan pengembangan koleksi, kebutuhan anggaran, kebutuhan internal organisasi dan kebutuhan eksternal organisasi perpustakaan.

2.2 Pemanfaatan Koleksi Perpustakaan

Istilah pemanfaatan terdiri dari kata manfaat. Kata manfaat itu sendiri diartikan sebagai guna; faedah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 711). Sedangkan istilah pemanfaatan diartikan sebagai proses, cara perbuatan memanfaatkan. Jadi, koleksi perpustakaan yang bermanfaat berarti koleksi yang berdayaguna bagi pemustakanya. Sedangkan, pemanfaatan koleksi perpustakaan berarti suatu proses bagaimana koleksi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemustaka. Menurut Hardiningtyas (2009: 2), “apabila koleksi sebuah perpustakaan dipakai dan bermanfaat maka koleksi tersebut berdayaguna dan sesuai dengan informasi yang diinginkan pemakai.” Permasalahannya, koleksi bagaimana yang berdayaguna bagi pemakainya. Hal ini tentu bergantung pada kesesuaian informasi yang diinginkan pemakai. Oleh sebab itu, koleksi yang sesuai saja yang didayagunakan oleh pemakai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa koleksi perpustakaan berdayaguna untuk para pemakai perpustakaan dikarenakan informasi yang sesuai dengan permintaan pemakai.


(5)

2.3 Jenis Koleksi Perpustakaan

Koleksi merupakan salah satu unsur pokok yang dimiliki oleh perpustakaan dalam menjalankan kegiatan pelayanan pengguna agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Koleksi perpustakaan tidak terbatas hanya pada buku saja, tetapi meliputi segala macam bentuk cetakan dan rekaman, termasuk koleksi digital. Koleksi perpustakaan dikelompokkan dalam dua bentuk yaitu tercetak dan terekam.

Menurut Sulistyo-Basuki (2009: 30), bahan pustaka mencakup: 1) Karya cetak

Karya cetak adalah hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam bentuk pustaka yaitu:

a. Buku

Buku adalah bahan pustaka yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan yang paling umum terdapat dalam koleksi perpustakaan. Berdasarkan standar UNESCO tebal buku paling sedikit 49 halaman tidak termasuk kulit maupun jaket buku.

b. Terbitan berseri

Terbitan berseri adalah bahan pustaka yang direncakan untuk diterbitkan terus dengan jangka waktu tertentu.

2) Karya non cetak

Karya non cetak adalah hasil pikiran manusia yang dituangkan tidak dalam bentuk cetak seperti buku, atau majalah melainkan dalam bentuk lain seperti: rekaman suara, rekaman video. Istilah lain untuk bahan pustaka ini adalah bahan non buku, yang termasuk dalam jenis bahan pustaka ini antara lain:

a. Rekaman suara yaitu bahan pustaka dalam bentuk pita kaset dan piringan hitam.

b. Gambar hidup dan rekaman video seperti film dan kaset video, selain bersifat rekreasi juga dipakai untuk pendidikan.

c. Bahan grafika, ada dua tipe bahan grafika yaitu bahan pustaka yang dapat dilihat langsung misalnya: lukisan foto, gambar teknik, serta bahan pustaka yang harus dilihat dengan bantuan misalnya: slide, transparansi, filmstrip dan lain sebagainya.

d. Bahan kartografi, yang termasuk ke dalam jenis ini adalah peta, atlas, foto udara.

3) Bentuk mikro

Bentuk mikro yaitu suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan semua bahan pustaka yang menggunakan media dan tidak dapat dibaca dengan mata biasa melainkan harus memakai alat yang dinamakan microreader.

4) Karya dalam bentuk elektronik

Dengan adanya teknologi informasi, maka informs dapat dituangkan ke dalam media elektronik seperti pita magnetis dan cakram atau disc.


(6)

Untuk membacanya diperlukan perangkat keras seperti komputer, CD ROM player dan sebagainya.

Sedangkan Sumardji (1998: 13) menyatakan koleksi perpustakaan terdiri dari:

1. Berdasarkan cara menghasilkannya, koleksi perpustakaan terdiri dari: a. Koleksi berupa naskah yang ditulis dengan tulisan tangan asli,

misalnya manuskrip;

b. Koleksi berupa karya cetakan, misalnya buku-buku, majalah- majalah, surat kabar;

c. Koleksi berupa karya alihan dari tulisan tangan asli maupun karya cetakan ke karya grafis dengan alat elektronik maupun fotografi, misalnya film, slide, piringan hitam, tape dan lain-lain.

2. Berdasarkan bentuknya, koleksi perpustakaan terdiri dari:

a. Buku seperti buku teks, fiksi maupun non-fiksi, dan buku referensi seperti kamus, ensiklopedi, almanak, buku pegangan, bibliografi, index, abstrak, peta dan sebagainya;

b. Penerbitan pemerintah, seperti Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, Tambahan Berita Negara, Himpunan Peraturan-peraturan Pemerintah, dan sebagainya;

c. Laporan penelitian, paper, skripsi, thesis, disertasi; d. Majalah, baik yang umum maupun yang khusus; e. Surat kabar;

f. Karya alihan tulisan-tulisan ataupun cetakan-cetakan yang telah dibuat menjadi film, slide, piringan hitam, tape, dan sebagainya; g. Manuskrip; dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perpustakaan memiliki berbagai jenis koleksi yang dilayangkan kepada pengguna baik koleksi dalam bentuk tercetak seperti buku dan terbitan berseri, koleksi non cetak seperti rekaman suara, gambar hidup dan rekaman video, bahan grafika, bahan kartografi, microfilm dan mikrofis. Karya dalam bentuk elektronik seperti pita magnetis, cakram atau disc dan koleksi lainnya. Semua koleksi tersebut dapat digunakan oleh pengguna untuk memenuhi kebutuhan informasinya.

2.4 Koleksi Digital

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah member dampak bertambahnya jenis koleksi pada perpustakaan, yaitu koleksi digital. Dengan adanya jaringan internet dan media komputer, menuntut adanya koleksi digital dalam penelusuran informasi yang cepat dan tersedia setiap saat.

Menurut African Digital Library (2002: 1), yang dimaksud dengan koleksi digital (digital collections) adalah:


(7)

This is an electronic Internet based collection of information that is normally found in hard copy, but converted to a komputer compatible format. Digital books seemed somewhat slow to gain popularity, possible because of the quality of many komputer screens and the relatively short ‘life’ of the Internet. This seemingly slow start to the use of eBooks should be seen in the context of the hundreds, if not thousands of years it took to move from the verbal to the written–initially on rock, clay tablets, animal skins, papyrus scrolls and finally, to modern paper.

Dalam kutipan tersebut di atas koleksi digital adalah koleksi informasi dalam bentuk elektronik berbasis internet yang umumnya terdapat dalam koleksi cetak, yang dapat diakses secara luas menggunakan media komputer dan sejenisnya. Sedangkan Tartojogja (2008: 1) menjelaskan bahwa “koleksi digital disini dapat bermacam-macam, dapat berupa buku elektronik, jurnal elektronik, database online, statistik elektronik, dan lain sebagainya.” Dari kedua pendapat di atas dapat diketahui bahwa koleksi digital adalah koleksi dalam bentuk elektronik atau digital yang terpasang secara online.

Untuk memanfaatkan koleksi digital, perpustakaan perlu menyediakan fasilitas untuk mengakses seperti sarana dan prasarananya. Sesuai dengan pernyataan Sutarno (2006: 220) bahwa:

untuk mengadakan jasa perpustakaan yang menyajikan koleksi digital, maka perpustakaan harus menyiapkan sarana dan prasarana terlebih dahulu, misalnya tersedianya komputer dengan segala kelengkapan lainnya, seperti instalasi akses internet. Dengan fasilitas yang memadai, pemustaka dapat mengakses koleksi digital dimanapun mereka berada dengan mudah.

Menurut Cleveland (1998: 4) terdapat tiga metode yang dapat digunakan dalam proses membangun koleksi digital, yaitu:

1. Digitalization, converting paper and other media in existing collections to digital form.

2. Acquitition of original digital works created by publisher and scholars. 3. Access to external materials not held in-house by providing pointers to

Web sites, other library collections, or publishers’ servers.

Pendapat di atas dapat diterjemahkan sebagai berikut:

1. Digitalisasi, alih media kertas dan media lainnya terhadap koleksi yang telah tersedia ke bentuk digital.

2. Akuisisi karya digital asli melalui penerbit atau penyedia jasa database digital.


(8)

3. Akses ke sumber eksternal, maksudnya suatu lembaga yang menyediakan fasilitas link ke sumber-sumber informasi penting yang disediakan secara gratis dan bisa dimanfaatkan langsung ke sumbernya secara gratis pula.

Dari kedua pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa yang menjadi pedoman utama dalam membangun koleksi digital adalah tersedianya akses langsung ke sumber informasi dengan cepat dan mudah tanpa akses berbayar, dengan kata lain pengguna tidak perlu repot untuk melihat langsung dokumen tercetaknya.

2.4.1 Pemanfaatan Koleksi Digital

Ada banyak cara yang ditempuh oleh pengguna dalam memanfaatkan koleksi dalam format tercetak khususnya buku. Lain halnya cara pemanfaatan yang dilakukan oleh pengguna terhadap koleksi dalam bentuk elektronik. Menurut Hasugian (2005: 14), “informasi yang diperoleh dari hasil penelusuran dapat di-download, dicetak dan/atau hanya dibaca di monitor. Pada dasarnya pengguna dapat secara bebas memperlakukan informasi yang didapatnya melalui penelusuran dari internet”. Pada umumnya cara memanfaatkan koleksi dalam format elektronik yang paling sering dilakukan oleh pengguna adalah men-download. Hal ini dilakukan oleh pengguna apabila menemukan informasi yang relevan berdasarkan kebutuhan informasinya dalam format elektronik biasanya mereka akan men-download informasi tersebut untuk kemudian disimpan ke dalam media penyimpanan seperti flash disk, hard disk, CD ROM dan lainnya. Dengan melakukan download, pengguna memiliki kesempatan untuk melihat ulang rekaman informasi yang telah ia simpan dalam media penyimpanan tersebut. Dengan menggunakan mesin printer, hampir sebagian besar pengguna memilih untuk mencetak informasi elektronik yang mereka peroleh. Cara seperti ini dilakukan untuk memudahkan pengguna dalam membaca informasi elektronik yang telah diperolehnya.

Menurut Hasugian (2005: 14) menyatakan bahwa:

Cara lain yang bisa dipergunakan oleh sebagian pengguna dalam memanfaatkan sumber daya informasi elektronik yaitu membaca informasi di layar komputer. Hal ini dilakukan oleh pengguna yang memiliki cukup waktu luang untuk membaca informasi tersebut. Biasanya informasi yang hanya dibaca dilayar komputer adalah informasi yang kurang atau tidak


(9)

penting untuk dimiliki. Adakalanya suatu informasi yang ditampilkan dalam format elektronik tidak dapat di-download atau dicetak oleh pengguna sehingga pengguna hanya dapat mencatat informasi dari dokumen elektronik yang ditampilkan pada secarik kertas atau buku catatan.

Pendapat tersebut diatas juga memiliki kemiripan dengan pendapat yang dikemukan oleh Ajie (2013: 10) menyatakan bahwa:

Untuk mengukur dampak penelitian misalnya metode bibliometrik seperti analisis sitiran terhadap jurnal akademik yang dikelola oleh suatu institusi sering digunakan untuk mengukur atau mengetahui tingkat penggunaan jurnal tersebut. Sehingga melalui institutional repository akan lebih mudah diukur seberapa sering sebuah jurnal digunakan, seberapa sering sebuah artikel dalam jurnal ilmiah dibaca atau di-download , seberapa sering suatu laporan penelitian dibaca atau di-download dan sebagainya.

Dari kedua pendapat di atas, dapat dijelaskan ada beberapa cara pemanfaatan koleksi perpustakaan, baik dalam format tercetak maupun dalam format elektronik. Untuk memanfaatkan koleksi tercetak khususnya buku yang biasa dilakukan oleh pengguna yaitu meminjam, membaca ditempat, mencatat informasi dari buku dan memperbanyak (menggunakan jasa photo copy) sedangkan untuk koleksi dalam format elektronik biasanya pengguna akan men-download, membaca informasi di layar komputer, mencatat informasi dari dokumen elektronik yang ditampilkan pada secarik kertas atau buku catatan dan mencetak (printing). Cara yang ditempuh oleh pengguna tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diantaranya adalah waktu, kenyamanan dan materi.

2.4.2 Akses Koleksi Digital

Menurut Hasugian (2005: 9) ada beberapa konsekuensi menarik dengan banyaknya perpustakaan yang tersambung ke internet, yaitu:

1. Sumber ilmu pengetahuan yang biasanya terbatas hanya tersedia pada jenis perpustakaan tertentu, kini menjadi tidak terbatas dengan adanya akses internet.

2. Buku, jurnal ilmiah, laporan penelitian dan dokumen lainnya yang umumnya tersedia hanya di perpustakaan lokal, menjadi tidak terbatas karena dicari di berbagai perpustakaan yang ada di internet.

3. Perpustakaan tidak lagi terbatas pada koleksi berbasis cetak (paper based), akan tetapi menjadi pusat diseminasi informasi maupun pangkalan data penelitian serta aktivitas lainnya.


(10)

Menurut Wulandari (2013: 3), kemudahan akses informasi menggunakan teknologi internet membawa dua perubahan besar bagi penyebaran informasi, yakni:

Pertama, kemudahan akses informasi menyebabkan perkembangan koleksi dalam bentuk elektronik semakin melimpah, baik yang disediakan secara cuma-cuma maupun dengan cara berlangganan, sehingga perpustakaan merupakan konsumen yang harus dengan cermat dan teliti menyeleksi koleksi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Kedua, kemudahan akses informasi juga memberi peluang kepada perpustakaan untuk menjadi produsen informasi dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya.

Hughes (2004: 8) juga berpendapat bahwa:

materi digital dapat tersedia untuk pemakai secara lebih luas sehingga memungkinkan pemakai untuk dapat melihat koleksi perpustakaan tanpa harus datang atau melihat bentuk fisik koleksi tersebut dan pemakai dapat lebih sering mengakses koleksi perpustakaan.

Dari kedua pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa pemanfaatan koleksi digital harus mengutamakan kenyamanan dan kemudahan akses oleh pengguna. Penggunaan koleksi digital memberikan beberapa keuntungan bagi perpustakaan maupun penggunanya. Koleksi digital dapat diakses 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Keuntungan yang didapat oleh pemustaka berupa akses yang lebih cepat menuju bahan yang dibutuhkan, pilihan yang lebih luas, dan penerimaan informasi yang lebih aktual, sementara perpustakaan juga mendapat manfaat dari efisiensi timbal balik, seperti berkurangnya tempat penyimpanan koleksi yang berbentuk koleksi tercetak, mengurangi biaya perawatan, dan pengurangan waktu kerja staf dalam mengelola bahan-bahan informasi tercetak dan menghemat waktu pengolahan fisik koleksi cetak. Disebutkan pula, siapapun dapat mengakses koleksi yang sama dari tempat yang berbeda sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. Hal ini telah meningkatkan minat bagi pengguna koleksi elektronik yang menjadi salah satu keuntungan baik bagi pengguna maupun penyelenggara koleksi elektronik. Tidak hanya itu, koleksi elektronik juga menyederhanakan dan meningkatkan proses penelitian bagi pengguna untuk mencari informasi di dalam dokumen, di kelompok-kelompok tertentu dari dokumen, dan di seluruh katalog dalam hitungan detik.


(11)

2.5 Sumber Daya Informasi Elektronik

Dewasa ini terjadi perubahan dalam pengelolaan sumber daya informasi di perpustakaan. Menurut Hasugian (2008: 12), “berbagai sumber daya informasi berbasis kertas (paper-based) yang selama ini menjadi primadona perpustakaan tradisional sekarang telah banyak tersedia dalam format elektronik.” Sumber daya informasi elektronik ini menawarkan cara yang berbeda dalam penyimpanan dan menemubalikkan informasi dibandingkan dengan sumber daya informasi berbasis kertas (paper-based). Brophy dkk (2000: 5) menyatakan sumber daya informasi elektronik adalah “every document in electronic form which needs special equipment to be used. Electronic resources include digital documents, electronic serials, databases, patents in electronic form and networked audiovisual documents”.

Pendapat di atas dapat diartikan bahwa sumber daya informasi elektronik adalah setiap dokumen dalam bentuk elektronik yang membutuhkan peralatan khusus untuk menggunakannya yang meliputi dokumen digital, terbitan berseri elektronik, database (pangkalan data), hak paten dalam format elektronik dan dokumen jaringan kerja audiovisual.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dicantumkan di antaranya definisi informasi elektronik adalah:

Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dari kutipan di atas dijelaskan bahwa informasi elektronik tidak terbatas hanya pada tulisan tetapi juga termasuk suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti.


(12)

2.5.1 Evaluasi Sumber Daya Informasi Eleketronik

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika sebuah lembaga atau institusi dalam hal ini perpustakaan, dalam menciptakan sebuah koleksi digital. Seperti yang dikemukakan oleh IFLA (2012: 7-12) yaitu:

a. Konten: sumber daya informasi elektronik harus mendukung kurikulum dan penelitian Universitas. Harus ada target yang diharapkan dari penggunaannya. Konten harus unik, akurasi datanya harus lengkap dibandingkan dengan format tercetak;

b. Persyaratan Teknis: persyaratan teknis terdiri atas metode akses, otentikasi, dan kompatibilitas. Sebaiknya sumber daya informasi elektronik harus tersedia untuk akses jarak jauh;

c. Fungsi dan Keandalan Sistem: sumber daya informasi elektronik mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan format cetak lainnya, yakni : interface (antarmuka sumber daya elektronik harus user-friendly), pencarian dan pemakaian software harus fleksibel;

d. Dukungan Vendor: vendor sumber daya informasi elektronik harus dapat diandalkan, vendor harus memberikan pelaporan statistik, tepat waktu, akurat, dan professional;

e. Supply: tidak seperti koleksi tercetak, tidak ada model standar untuk kemasan dan harga publikasi elektronik.

2.5.2 Frekuensi Pemanfaatan Sumber Daya Informasi Elektronik

Frekuensi pemanfaatan sumber daya informasi elektronik maksudnya proses, tindakan yang dilakukan dalam memanfaatkan sumber daya informasi elektronik yang digunakan. Informasi yang digunakan sudah memiliki nilai guna. Setiap pengguna perpustakaan memiliki frekuensi dalam memanfaatkan sumber daya informasi elektronik yang berbeda-beda. Hal ini tergantung pada kebutuhan informasi, waktu dan kesempatan yang mereka miliki. Oleh karena itu, frekuensi pemanfaatan sumber daya informasi elektronik merupakan indikator untuk mengetahui sejauh mana pengguna memanfaatkan sumber daya informasi elektronik pada perpustakaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 245) menyebutkan bahwa frekuensi mengandung arti yaitu “kekerapan”. Frekuensi pemanfaatan koleksi berarti memiliki makna kekerapan penggunaan koleksi oleh pengguna dalam memenuhi kebutuhan informasinya. Semakin sering suatu koleksi perpustakaan digunakan, hal itu menandakan bahwa informasi yang tersedia dalam koleksi tersebut benar-benar bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan informasi pengguna.

Menurut Hardiningtyas (2009: 9) menyatakan bahwa “apabila koleksi sebuah perpustakaan dipakai dan bermanfaat maka koleksi tersebut berdayaguna dan sesuai


(13)

dengan informasi yang diinginkan pengguna.” Permasalahannya, koleksi bagaimana yang berdayaguna bagi pemakainya. Hal ini tentu bergantung pada kesesuaian informasi yang diinginkan pengguna. Oleh sebab itu, koleksi yang sesuai saja yang dimanfaatkan oleh pengguna. Sehingga dapat dijelaskan bahwa koleksi perpustakaan bermanfaat untuk para pengguna perpustakaan dikarenakan informasi yang sesuai dengan permintaan pengguna, oleh sebab itu frekuensi memanfaatkan koleksi perpustakaan semakin sering.

Ketersediaan koleksi elektronik pada perpustakaan perguruan tinggi juga mempengaruhi tingkat kunjungan pengguna ke sebuah perpustakaan tergantung bagaimana perpustakaan mampu memberikan informasi yang relevan kepada penggunanya. Semakin baik perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan informasi penggunanya maka semakin sering pengguna tersebut datang ke perpustakaan karena mereka merasa informasi yang mereka butuhkan tersedia pada perpustakaan tersebut. 2.6 Institutional Repository

2.6.1 Pengertian Institutional Repository

Institutional repository merupakan suatu tempat atau ruang dimana sesuatu disimpan. Istilah institutional repository digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan beberapa bentuk penyimpanan data dan koleksi digital.

Menurut Mustaine (2008:1) institutional repository adalah:

The word Institutional repository can refer to a central place where data can be stored or maintained,the term Institutional repository can also refer to a certain place which is specifically used to store digital data, it can refer to a site where e-prints are situated. Institutional repository also means a place where many multiple databases or files are located which is later used for distribution over a specific network. It can also refer to a komputer location which is directly accessible to the user without him searching or logging on to the entire network. In short Institutional repository means a place where anything is stored which can later be used again.

Pendapat di atas dapat diartikan bahwa istilah institutional repository dapat mengacu pada suatu pusat tempat dimana data dapat disimpan atau dirawat, suatu tempat tertentu yang secara rinci digunakan untuk menyimpan data digital, suatu lokasi dimana e-prints ditempatkan. Institutional repository juga berarti suatu tempat dimana berbagai file atau database ditempatkan yang kemudian digunakan untuk didistribusikan melalui suatu jaringan spesifik. Institutional


(14)

repository dapat juga mengacu pada penempatan komputer yang secara langsung dapat diakses pemakai tanpa dia mencari atau masuk dalam keseluruhan jaringan. Singkatnya institutional repository berarti suatu tempat dimana segala sesuatunya dapat disimpan dan digunakan kembali.

Sedangkan menurut Reitz (2010) pengertian institutional repository adalah satu set layanan yang ditawarkan oleh universitas atau kelompok perguruan tinggi untuk anggota komunitas untuk pengelolaan dan penyebaran materi ilmiah dalam format digital yang diciptakan oleh institusi dan anggota masyarakat, seperti e-prints, laporan teknis, tesis, dan disertasi, data set, serta bahan ajar.

Dari kedua pendapat di atas dapat diketahui bahwa terdapat kesamaan yaitu mendefenisikan institutional repository sebagai suatu istilah yang mengacu pada tempat penyimpanan dan merawat data, tempat penyimpanan data digital/e-print, tempat penyimpanan beberapa file atau database untuk didistribusikan dalam suatu jaringan komputer, dan tempat dimana sesuatu disimpan dan dapat digunakan kembali.

Institutional repository merupakan hal yang penting bagi suatu universitas dan perguruan tinggi yang membantu dalam mengelola dan menangkap asset kelembagaan sebagai bagian dari strategi informasi mereka. Institutional repository digital dapat menyimpan material dalam cakupan yang luas untuk berbagai pemakai dan tujuan sehingga dapat mendukung proses pembelajaran, riset, dan administratif. Institutional repository membantu institusi untuk mengembangkan pendekatan yang terkoordinasi dan logis untuk menangkap, mengidentifikasi, menyimpan, dan temu kembali asset intelektual mereka. Hal ini menambah peluang untuk penggunaan yang efisien dari riset yang ada, meningkatkan peluang untuk menambah pengalaman pembelajaran dan mendorong kerja sama di dalam dan antar disiplin dan kelompok yang berbeda.

Sebuah institutional repository adalah sebuah tempat online untuk mengumpulkan, mengatur dan menyebarkan data dalam bentuk digital, yang mana merupakan output dari institusi khususnya hasil riset dari institusi. Pada sebuah universitas, materi yang tersimpan dapat berupa artikel-artikel dari jurnal riset baik sebelum dicetak (preprint) ataupun setelah dicetak (postprint), format digital dari skripsi/tesis/disertasi, dan juga mungkin merupakan kumpulan data


(15)

digital pada kegiatan akademik seperti dokumen adminstrasi, catatan perkuliahan atau materi perkuliahan lainnya.

2.6.2 Tujuan Institutional Repository

Institutional repository merupakan hal yang penting bagi suatu perguruan tinggi yang membantu dalam pengelolaan asset kelembagaan sebagai bagian dari strategi informasi mereka. Institutional repository membantu institusi untuk mengembangkan pendekatan yang terkoordinir dan logis untuk mengumpulkan, mengidentifikasi, menyimpan dan temu kembali intelektualnya.

Adapun tujuan utama memiliki institutional repository menurut Jain dan Anurag (2008: 4) adalah:

1) to create global visibility for an institution’s scholarly research; 2) to collect content in a single location;

3) to provide open access to institutional research output by self-archiving it;

4) to store and preserve other institutional digital assets, including unpublished or otherwise easily lost (grey) literature (e.g., these or technical reports).

Tujuan utama memiliki institutional repository di atas dapat diterjemahkan sebagai berikut:

1) Untuk menciptakan hal yang dapat dilihat secara global untuk suatu riset ilmiah institusi

2) Untuk mengumpulkan isi di dalam penempatan tunggal

3) Menyediakan akses terbuka untuk hasil riset dari institusi pendidikan 4) Untuk menyimpan dan memelihara asset digital dari institusi lain,

meliputi literature yang tidak diterbitkan (grey literature, misalnya tesis atau laporan teknis.

2.6.3 Fungsi Institutional Repository

Institutional repository pada sebuah institusi adalah sebuah tempat online untuk mengumpulkan, mengatur dan menyebarkan data dalam bentuk digital, yang merupakan output dari institusi khususnya hasil riset. Pada sebuah perpustakaan perguruan tinggi, materi yang tersimpan dapat berupa artikel-artikel dari jurnal riset baik sebelum dicetak (preprint) ataupun setelah dicetak (postprint), format digital dari skripsi/thesis/disertasi, dan juga mungkin


(16)

merupakan kumpulan data digital pada kegiatan akademik seperti dokumen administrasi, catatan perkuliahan atau materi perkuliahan lainnya.

Adapun fungsi dari institutional repository menurut Wicaksono (2005: 5) adalah:

1) Tempat menyimpan structured information yang dikumpulkan dari berbagai sumber informasi.

2) Sumber referensi bagi proses pembelajaran di discussion forum dan structured knowledge creation.

3) Tempat menyimpan pengetahuan yang dihasilkan pada proses pembelajaran di discussion forum dan structured knowledge creation.

Sedangkan menurut Joaquin (1996: 1-3) fungsi institutional repository adalah:

1) Storage function; The storage function stores data.

2) Information organization function; The information organization function manages a institutional repository of information described by an information schema and includes some or all of the following elements:

a. Modifying and updating the information schema;

b. Querying the institutional repository, using a query language; c. Modifying and updating the institutional repository.

3) Relocation function; The relocation function manages a institutional repository of locations for interfaces, including locations of management functions for the cluster supporting those interfaces.

Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa fungsi utama institutional repository adalah sebagai berikut:

1) Fungsi penyimpanan; menyimpan data

2) Fungsi organisasi informasi; mengelola institutional repository informasi yang dijelaskan dengan skema informasi yang mencakup beberapa unsur berikut:

a. Modifikasi dan pembaruan skema informasi;

b. Peng-query-an institutional repository dengan menggunakan bahasa query;

c. Modifikasi dan pembaruan skema informasi;

3) Fungsi re-lokasi; mengelola lokasi institutional repository untuk antarmuka, termasuk lokasi dari fungsi-fungsi manajemen yang mendukung.


(17)

4) Fungsi jenis institutional repository; mengelola spesifikasi jenis institutional repository dan tipe hubungan.

5) Fungsi perdagangan; menangani iklan dan penemuan antarmuka. Dari kedua pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa fungsi institutional repository adalah sebagai tempat menyimpan data digital yang dikumpulkan dari berbagai sumber, pengorganisasian data dengan skema informasi, mengelola lokasi informasi untuk antarmuka, sebagai sumber referensi bagi proses pembelajaran dan sebagai tempat menyimpan pengetahuan yang dihasilkan pada proses kegiatan pembelajaran.

2.6.4 Konsep Kerangka Kerja Institutional Repository

Menurut Kim (2008: 1284), “dasar dari tinjauan literatur ini, dapat menghasilkan sebuah kerangka kerja teoritis untuk mengevaluasi sistem koleksi digital”. Secara umum dan sederhana kerangka kerja institutional repository dapat dilihat dalam bentuk gambar dibawah ini:

Sumber : Kim (2008: 1285)


(18)

Dalam membangun sebuah institutional repository diperlukan adanya suatu kerangka kerja yang dapat dijadikan pedoman pekerjaan. Gambar diatas memperlihatkan ada empat komponen dasar dalam mengevaluasi institutional repository yang saling berkaitan yakni: Content dan Management & Policy serta Use & User Category dan System & Network. Dalam kategori content komponen yang harus disediakan dalam institutional repository adalah diversity (keragaman), currency (kemutakhiran), size (ukuran) dan metadata. Metadata menurut Imafouo (2006: 14) adalah “pusat untuk membangun perpustakaan digital, karena didalamnya terdapat sistem penyaringan informasi kepada pengguna dan merupakan bentuk dasar dari pencarian frase kata.” Sedangkan metadata menurut OAI (2004) adalah “merupakan rumusan suatu item dalam format yang spesifik.” Dari kedua pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa metadata adalah data yang mendeskripsikan atribut sebuah sumber daya, mencirikan hubungannya, menunjang penemuannya dan penggunaannya secara efektif serta berada di lingkungan elektronik. Metadata biasanya terdiri atas himpunan unsur data, masing – masing elemen (unsur) mendeskripsikan atribut sumber daya, manajemennya atau penggunannya.

Pendeskripsian konten pada gambar diatas dari segi kuantitas konten adalah sama pentingnya dengan kualitas konten bahkan dalam lingkungan jaringan. Sementara kuantitas konten menarik orang untuk menggunakan sistem institutional repository, kualitas konten untuk mempertahankan pembaca institutional repository. Hal yang terpenting adalah konten dalam institutional repository harus mudah diakses dalam jaringan.

Dalam kategori manajemen, ditetapkan delapan item termasuk anggaran, staf, dan metode pengarsipan sebagai item kunci. Dalam kategori sistem ditetapkan tiga item, termasuk interoperabilitas dan faktor integrasi penting dalam infrastruktur jaringan. Terakhir dalam kategori kegunaan ditetapkan lima item, termasuk tingkat kegunaan dan kepuasan pengguna.

2.6.5 Standarisasi Institutional Repository

Standarisasi institutional repository merupakan pedoman yang harus dijadikan acuan dalam membangun suatu institutional repository oleh seluruh perguruan tinggi. Sebenarnya standarisasi khusus belum begitu jelas merujuk pada


(19)

satu pedoman tertentu, hanya saja suatu institutional repository yang baik adalah mengacu kepada sistem standarisasi metadata yang dikembangkan oleh OAI-PMH.

Menurut Drake (2004: 3) standarisasi institutional repository adalah: Interoperability requires that repositories employ standards developed to handle issues associated with open access. These standards include the Open Archival Information System (OAIS) Reference Model, Open Archives Metadata Harvesting Protocol (OAI-PMH), and the Metadata Encoding and Transmission Standard (METS). Software is a key element in the construction of an institutional repository. Guide to Institutional software, version 2, published by the Open Access Society is valuable tool for selecting software appropriate to the needs and contecxt of the institution and its institutional repository. Other organizations involved in standards and institutional repository design and operations include the Digital Library Federation, Coalition for Networked Information, OCLC, the electronic theses and dissertations program at Virginia Tech, and Creative Commons.

Pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa standarisasi institutional repository yaitu mengacu kepada standar OAIS (Open Archival Information System). OAIS adalah sebuah organisasi nirlaba yang memiliki tujuan menyediakan protokol pertukaran metadata yang terbuka (open). Open dimaksudkan bahwa protokol tersebut bisa didapatkan secara bebas oleh setiap organisasi yang membutuhkannya OAI menyediakan protokol untuk memanen (harvest) koleksi-koleksi dari beberapa institutional repository digital yang disebut OAI Protocol for Metadata Harvesting (OAI-PMH).

2.6.6 Format Metadata dalam Institutional Repository Metadata menurut Hasan (2010: 6) adalah:

Struktur data yang berisi hal-hal yang menjelaskan tentang sebuah file, informasi atau data itu sendiri seperti: judul, pengarang, abstrak dan lainnya. Saat ini jenis metadata cukup banyak dan bervariasi. Agar memiliki kompatibilitas dengan system lain, sebaiknya lebih aman menggunakan metadata standar yang sudah dipakai oleh banyak sistem institutional repository. Dengan memiliki metadata koleksi yang sama, maka sebuah system institutional repository mudah melakukan proses interoperability dengan system yang lain.


(20)

Salah satu jenis metadata yang sudah marak digunakan di Indonesia adalah Dublin Core. Metadata ini pada dasarnya memiliki 15 elemen sebagai berikut Hasan (2010: 7) :

1) Title : Judul utama/tambahan dari karya ilmiah 2) Creator : Pembuat karya ilmiah

3) Contributor : Pihak yang terlibat dalam terciptanya hasil karya ilmiah 4) Subject : Pokok bahasan sumber informasi pustaka karya ilmiah 5) Identifier : Nomor identifikasi suatu karya ilmiah

6) Description : Keterangan tentang isi dari karya ilmiah 7) Publisher : Badan yang mempublikasikan karya ilmiah 8) Date : Tanggal penciptaan karya ilmiah

9) Type : Jenis karya ilmiah

10)Format : Informasi bentuk fisik karya ilmiah

11)Source : Rujukan ke sumber asal suatu karya ilmiah 12)Language : Bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah 13)Relation : Hubungan sumber informasi karya ilmiah 14)Coverage : Cakupan batasan sebaran informasi 15)Right : Informasi hak cipta

Dublin Core banyak disukai karena kesederhanannya dan masih fleksibel untuk dikembangkan (refinement) sesuai kebutuhan.

2.6.7 Local Content

Situs web perpustakaan perguruan tinggi memiliki koleksi yang unik yang tidak terdapat pada situs lain yang sering disebut dengan istilah local content, yaitu suatu koleksi yang hanya dibuat di perguruan tinggi tersebut dan tidak disebarluaskan ke publik maupun percetakan.

Sulistyo-Basuki (2001: 2) mengemukakan,

Istilah local content dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi muatan lokal atau isi lokal. Bila menggunakan istilah muatan lokal, maka istilah tersebut mengandung arti materi atau informasi lokal yang dimasukkan ke sebuah wadah lain.

Local content yang dimaksudkan dalam perguruan tinggi adalah koleksi grey literature atau disebut juga dengan literatur abu-abu. Merupakan hasil karya sivitas akademika suatu perguruan tinggi. Literatur abu-abu memiliki isi yang khas, yang tidak terdapat pada dokumen yang dijual dipasar, yang isinya mampu menambah khasanah ilmu. Menurut Hasanah (2009: 14) Grey literature dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Tugas Akhir (skripsi), tugas akhir Mahasiswa Tingkat Sarjana. 2) Tesis, adalah karya dari Mahasiswa Pascasarjana.


(21)

3) Disertasi, adalah karya dari Mahasiswa Tingkat Doktor.

4) Prosiding, yaitu hasil Seminar, Lokakarya, Pertemuan Ilmiah yang diadakan di Perguruan Tinggi, dan karya sivitas akademikanya yang memberikan presentasi di berbagai kegiatan ilmiah.

5) Laporan penelitian dari setiap Kelompok Penelitian di Perguruan Tinggi.

6) Pidato pengukuhan adalah penyampaian secara oral suatu makalah yang berupa buah pemikiran seorang Guru Besar di hadapan Sidang Terbuka Majelis Guru Besar selama waktu tertentu.

7) Karya tulis ilmiah. 8) Artikel.

Beberapa contoh dokumen grey literature lainnya dapat dilihat dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004: 55) yang menyatakan bahwa:

Literatur abu-abu (grey literature) meliputi semua karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi. Literatur abu-abu ini wajib disimpan di perpustakaan dengan keputusan rektor.

Literature abu-abu (grey literature) yang dimaksud adalah: 1) Skripsi, tesis, disertasi

2) Makalah seminar, simposium, konferensi, dsb

3) Laporan Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat 4) Laporan lain-lain, Pidato Pengukuhan, dsb

5) Artikel yang dipublikasikan oleh media massa 6) Publikasi Internal Kampus

7) Majalah atau Buletin Kampus

Dari kedua uraian pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa dokumen grey literature terdiri dari karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan oleh suatu institusi akademik, lembaga pemerintah, pusat penelitian, organisasi atau asosiasi yang langka didapat berupa skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, terbitan pemerintah, laporan tahunan, pidato pengukuhan guru besar, dan lain sebagainya.


(1)

merupakan kumpulan data digital pada kegiatan akademik seperti dokumen administrasi, catatan perkuliahan atau materi perkuliahan lainnya.

Adapun fungsi dari institutional repository menurut Wicaksono (2005: 5) adalah:

1) Tempat menyimpan structured information yang dikumpulkan dari berbagai sumber informasi.

2) Sumber referensi bagi proses pembelajaran di discussion forum dan structured knowledge creation.

3) Tempat menyimpan pengetahuan yang dihasilkan pada proses pembelajaran di discussion forum dan structured knowledge creation.

Sedangkan menurut Joaquin (1996: 1-3) fungsi institutional repository adalah:

1) Storage function; The storage function stores data.

2) Information organization function; The information organization function manages a institutional repository of information described by an information schema and includes some or all of the following elements:

a. Modifying and updating the information schema;

b. Querying the institutional repository, using a query language; c. Modifying and updating the institutional repository.

3) Relocation function; The relocation function manages a institutional repository of locations for interfaces, including locations of management functions for the cluster supporting those interfaces.

Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa fungsi utama institutional repository adalah sebagai berikut:

1) Fungsi penyimpanan; menyimpan data

2) Fungsi organisasi informasi; mengelola institutional repository informasi yang dijelaskan dengan skema informasi yang mencakup beberapa unsur berikut:

a. Modifikasi dan pembaruan skema informasi;

b. Peng-query-an institutional repository dengan menggunakan bahasa query;

c. Modifikasi dan pembaruan skema informasi;

3) Fungsi re-lokasi; mengelola lokasi institutional repository untuk antarmuka, termasuk lokasi dari fungsi-fungsi manajemen yang


(2)

4) Fungsi jenis institutional repository; mengelola spesifikasi jenis institutional repository dan tipe hubungan.

5) Fungsi perdagangan; menangani iklan dan penemuan antarmuka. Dari kedua pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa fungsi institutional repository adalah sebagai tempat menyimpan data digital yang dikumpulkan dari berbagai sumber, pengorganisasian data dengan skema informasi, mengelola lokasi informasi untuk antarmuka, sebagai sumber referensi bagi proses pembelajaran dan sebagai tempat menyimpan pengetahuan yang dihasilkan pada proses kegiatan pembelajaran.

2.6.4 Konsep Kerangka Kerja Institutional Repository

Menurut Kim (2008: 1284), “dasar dari tinjauan literatur ini, dapat menghasilkan sebuah kerangka kerja teoritis untuk mengevaluasi sistem koleksi digital”. Secara umum dan sederhana kerangka kerja institutional repository dapat dilihat dalam bentuk gambar dibawah ini:

Sumber : Kim (2008: 1285)


(3)

Dalam membangun sebuah institutional repository diperlukan adanya suatu kerangka kerja yang dapat dijadikan pedoman pekerjaan. Gambar diatas memperlihatkan ada empat komponen dasar dalam mengevaluasi institutional repository yang saling berkaitan yakni: Content dan Management & Policy serta Use & User Category dan System & Network. Dalam kategori content komponen yang harus disediakan dalam institutional repository adalah diversity (keragaman), currency (kemutakhiran), size (ukuran) dan metadata. Metadata menurut Imafouo (2006: 14) adalah “pusat untuk membangun perpustakaan digital, karena didalamnya terdapat sistem penyaringan informasi kepada pengguna dan merupakan bentuk dasar dari pencarian frase kata.” Sedangkan metadata menurut OAI (2004) adalah “merupakan rumusan suatu item dalam format yang spesifik.” Dari kedua pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa metadata adalah data yang mendeskripsikan atribut sebuah sumber daya, mencirikan hubungannya, menunjang penemuannya dan penggunaannya secara efektif serta berada di lingkungan elektronik. Metadata biasanya terdiri atas himpunan unsur data, masing – masing elemen (unsur) mendeskripsikan atribut sumber daya, manajemennya atau penggunannya.

Pendeskripsian konten pada gambar diatas dari segi kuantitas konten adalah sama pentingnya dengan kualitas konten bahkan dalam lingkungan jaringan. Sementara kuantitas konten menarik orang untuk menggunakan sistem institutional repository, kualitas konten untuk mempertahankan pembaca institutional repository. Hal yang terpenting adalah konten dalam institutional repository harus mudah diakses dalam jaringan.

Dalam kategori manajemen, ditetapkan delapan item termasuk anggaran, staf, dan metode pengarsipan sebagai item kunci. Dalam kategori sistem ditetapkan tiga item, termasuk interoperabilitas dan faktor integrasi penting dalam infrastruktur jaringan. Terakhir dalam kategori kegunaan ditetapkan lima item, termasuk tingkat kegunaan dan kepuasan pengguna.

2.6.5 Standarisasi Institutional Repository


(4)

satu pedoman tertentu, hanya saja suatu institutional repository yang baik adalah mengacu kepada sistem standarisasi metadata yang dikembangkan oleh OAI-PMH.

Menurut Drake (2004: 3) standarisasi institutional repository adalah: Interoperability requires that repositories employ standards developed to handle issues associated with open access. These standards include the Open Archival Information System (OAIS) Reference Model, Open Archives Metadata Harvesting Protocol (OAI-PMH), and the Metadata Encoding and Transmission Standard (METS). Software is a key element in the construction of an institutional repository. Guide to Institutional software, version 2, published by the Open Access Society is valuable tool for selecting software appropriate to the needs and contecxt of the institution and its institutional repository. Other organizations involved in standards and institutional repository design and operations include the Digital Library Federation, Coalition for Networked Information, OCLC, the electronic theses and dissertations program at Virginia Tech, and Creative Commons.

Pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa standarisasi institutional repository yaitu mengacu kepada standar OAIS (Open Archival Information System). OAIS adalah sebuah organisasi nirlaba yang memiliki tujuan menyediakan protokol pertukaran metadata yang terbuka (open). Open dimaksudkan bahwa protokol tersebut bisa didapatkan secara bebas oleh setiap organisasi yang membutuhkannya OAI menyediakan protokol untuk memanen (harvest) koleksi-koleksi dari beberapa institutional repository digital yang disebut OAI Protocol for Metadata Harvesting (OAI-PMH).

2.6.6 Format Metadata dalam Institutional Repository Metadata menurut Hasan (2010: 6) adalah:

Struktur data yang berisi hal-hal yang menjelaskan tentang sebuah file, informasi atau data itu sendiri seperti: judul, pengarang, abstrak dan lainnya. Saat ini jenis metadata cukup banyak dan bervariasi. Agar memiliki kompatibilitas dengan system lain, sebaiknya lebih aman menggunakan metadata standar yang sudah dipakai oleh banyak sistem institutional repository. Dengan memiliki metadata koleksi yang sama, maka sebuah system institutional repository mudah melakukan proses interoperability dengan system yang lain.


(5)

Salah satu jenis metadata yang sudah marak digunakan di Indonesia adalah Dublin Core. Metadata ini pada dasarnya memiliki 15 elemen sebagai berikut Hasan (2010: 7) :

1) Title : Judul utama/tambahan dari karya ilmiah 2) Creator : Pembuat karya ilmiah

3) Contributor : Pihak yang terlibat dalam terciptanya hasil karya ilmiah 4) Subject : Pokok bahasan sumber informasi pustaka karya ilmiah 5) Identifier : Nomor identifikasi suatu karya ilmiah

6) Description : Keterangan tentang isi dari karya ilmiah 7) Publisher : Badan yang mempublikasikan karya ilmiah 8) Date : Tanggal penciptaan karya ilmiah

9) Type : Jenis karya ilmiah

10)Format : Informasi bentuk fisik karya ilmiah

11)Source : Rujukan ke sumber asal suatu karya ilmiah 12)Language : Bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah 13)Relation : Hubungan sumber informasi karya ilmiah 14)Coverage : Cakupan batasan sebaran informasi 15)Right : Informasi hak cipta

Dublin Core banyak disukai karena kesederhanannya dan masih fleksibel untuk dikembangkan (refinement) sesuai kebutuhan.

2.6.7 Local Content

Situs web perpustakaan perguruan tinggi memiliki koleksi yang unik yang tidak terdapat pada situs lain yang sering disebut dengan istilah local content, yaitu suatu koleksi yang hanya dibuat di perguruan tinggi tersebut dan tidak disebarluaskan ke publik maupun percetakan.

Sulistyo-Basuki (2001: 2) mengemukakan,

Istilah local content dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi muatan lokal atau isi lokal. Bila menggunakan istilah muatan lokal, maka istilah tersebut mengandung arti materi atau informasi lokal yang dimasukkan ke sebuah wadah lain.

Local content yang dimaksudkan dalam perguruan tinggi adalah koleksi grey literature atau disebut juga dengan literatur abu-abu. Merupakan hasil karya sivitas akademika suatu perguruan tinggi. Literatur abu-abu memiliki isi yang khas, yang tidak terdapat pada dokumen yang dijual dipasar, yang isinya mampu menambah khasanah ilmu. Menurut Hasanah (2009: 14) Grey literature dapat


(6)

3) Disertasi, adalah karya dari Mahasiswa Tingkat Doktor.

4) Prosiding, yaitu hasil Seminar, Lokakarya, Pertemuan Ilmiah yang diadakan di Perguruan Tinggi, dan karya sivitas akademikanya yang memberikan presentasi di berbagai kegiatan ilmiah.

5) Laporan penelitian dari setiap Kelompok Penelitian di Perguruan Tinggi.

6) Pidato pengukuhan adalah penyampaian secara oral suatu makalah yang berupa buah pemikiran seorang Guru Besar di hadapan Sidang Terbuka Majelis Guru Besar selama waktu tertentu.

7) Karya tulis ilmiah. 8) Artikel.

Beberapa contoh dokumen grey literature lainnya dapat dilihat dalam buku Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman (2004: 55) yang menyatakan bahwa:

Literatur abu-abu (grey literature) meliputi semua karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi. Literatur abu-abu ini wajib disimpan di perpustakaan dengan keputusan rektor.

Literature abu-abu (grey literature) yang dimaksud adalah: 1) Skripsi, tesis, disertasi

2) Makalah seminar, simposium, konferensi, dsb

3) Laporan Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat 4) Laporan lain-lain, Pidato Pengukuhan, dsb

5) Artikel yang dipublikasikan oleh media massa 6) Publikasi Internal Kampus

7) Majalah atau Buletin Kampus

Dari kedua uraian pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa dokumen grey literature terdiri dari karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan oleh suatu institusi akademik, lembaga pemerintah, pusat penelitian, organisasi atau asosiasi yang langka didapat berupa skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, terbitan pemerintah, laporan tahunan, pidato pengukuhan guru besar, dan lain sebagainya.