Karakteristik Pelaksanaan Seksio Sesarea Berulang di RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2012

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Seksio Sesarea

2.1.1. Definisi Seksio Sesarea
Seksio sesarea merupakan tindakan pengeluaran bayi melalui insisi pada
dinding abdomen dan uterus (Joy, 2009)
Seksio sesarea atau kelahiran sesarea adalah melahirkan janin melalui
irisan pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi)
(Wiknjosastro, 2006). Definisi ini tidak termasuk melahirkan janin dari rongga
perut pada kasus ruptura uteri atau kehamilan (Williams, 2010).

2.1.2. Sejarah Seksio Sesarea
Hingga saat ini, terdapat tiga prinsip yang kini dijadikan sebagai
penjelasan atas munculnya prosedur proses kelahiran secara seksio sesarea.
Pertama, berkaitan dengan legenda, Julius Caesar dilahirkan dengan
prosedur ini, sehingga akhirnya proses ini dikenal dengan nama operasi sesarea.
Namun, ada beberapa fakta yang kemudian melemahkan pernyataan ini. Ibu dari
Julius Caesar hidup dalam beberapa tahun yang cukup lama sejak kelahiran dari

Julius Caesar pada tahun 100 BC, dan sebelum abad ke-17, prosedur operasi
sesarea masih dianggap berakibat fatal.
Kedua, kata Cesarean berasal dari hukum Romawi, yang diciptakan pada
abad ke – 8 oleh Numa Pompilius, yang memerintahkan bahwa prosedur ini
dilakukan pada ibu hamil yang berada dalam keadaan sekarat, semata-mata untuk
menyelamatkan janin yang tengah dikandung. Hukum yang awalnya dikenal
dengan nama Lex Regia, kemudia berganti nama menjadi Lex Caesarea , karena
adanya pergantian pemimpin Romawi, sehingga prosedur tersebut akhirnya
dikenal dengan sebutan Caesarean Operation. Istilah dari Bahasa Jerman,
Kaiserschnitt (Kaiser Cut) juga merefleksikan asal mula nama Sesarea.

Terakhir, asal mula kata Caesarean diambil dari sebuah kata Latin,
caedere, yang berarti memotong. Kata Section berasal dari bahasa Latin “Seco”,

Universitas Sumatera Utara

yang juga berarti memotong, sehingga akhirnya untuk menyebut prosedur ini,
digunakan istilah Cesarean Section (Seksio Sesarea) (Williams, 2010).

2.1.3.


Epidemiologi Seksio Sesarea

2.1.3.1. Distribusi dan Frekuensi
Pada tahun-tahun terakhir ini seksio sesarea meningkat tajam, meskipun
persalinan dengan seksio sesarea memiliki kemungkinan risiko lima kali lebih
besar terjadi komplikasi dibandingkan persalinan normal (Williams, 2010). Faktor
risiko paling banyak dari seksio sesarea adalah akibat tindakan anestesi, jumlah
darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi berlangsung.
Peningkatan angka seksio sesarea juga terjadi di Indonesia. Meskipun
diktum “once a cesarean alwayas a cesarean” di Indonesia tidak dianut, tetapi
sejak dua dekade terakhir ini telah terjadi perubahan trend seksio sesarea di
Indonesia. Dalam 20 tahun terakhir ini terjadi kenaikan proporsi seksio sesarea
dari 5% menjadi 20%. Seksio sesarea ini terlalu sering dilakukan sehingga para
kritikus menyebutnya sebagai panacea (obat mujarab) praktek kebidanan (Scotts,
2002). Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, proporsi seksio sesarea pada tahun
1981 adalah 15,35%, dan pada tahun 1986 meningkat menjadi 23,23% (Kasdu,
2005). Di RSU dr. Pirngadi Medan tahun 2005 proporsi persalinan dengan seksio
sesarea tercatat 36,22% yaitu sebanyak 293 kasus dari 809 persalinan, dengan
indikasi medis 94,7% dan indikasi sosial 5,3% (Ginting, 2007).


2.1.3.2. Faktor Determinan
Faktor determinan seksio sesarea adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
tindakan pengeluaran janin dengan cara pembedahan. Faktor-faktor tersebut
antara lain:

1. Faktor Sosiodemografi
a. Faktor Umur Ibu
Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara 20-35 tahun, di
bawah dan di atas umur tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan

Universitas Sumatera Utara

persalinan. Kehamilan di bawah usia 20 tahun memiliki risiko terjadinya
komplikasi obstetri yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan perinatal.
Kehamilan di atas umur 35 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadinya
persalinan seksio sesarea dibandingkan dengan umur di bawah 35 tahun (Rochjati,
2003).

b. Suku

Menurut Philip Kotler, suku termasuk bagian dari budaya yang tentunya
akan mempengaruhi perilaku dalam menggunakan pelayanan kesehatan termasuk
pelayanan kebidanan (Christina, 2006). Meningkatnya kecenderungan wanita
untuk melahirkan dengan seksio sesarea berhubungan dengan semakin
meningkatnya perhatian mereka terhadap kehamilannya (antenatal care) dan
prosedur keamanan operasi yang semakin baik (Kasdu, 2005) .

c. Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu diharapkan semakin
meningkat pengetahuan dan kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan dalam
kehamilan dan persalinannya, sehingga timbul dorongan untuk melakukan
pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur. Persalinan seksio sesarea lebih
sering terjadi pada ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih rendah (Christina,
2006).

d. Pekerjaan
Beberapa alasan yang mendasari kecenderungan melahirkan dengan seksio
sesarea semakin meningkat terutama di kota-kota besar, seperti di Jakarta banyak
para ibu yang bekerja. Mereka sangat terikat dengan waktu. Mereka sudah
memiliki jadwal tertentu, misalnya kapan harus kembali bekerja (Kasdu, 2005).


e. Sumber Biaya
Biaya persalinan bersumber dari pendapatan keluarga/biaya sendiri, atau
ditanggung oleh pihak asuransi kesehatan baik yang dikeluarkan oleh pemerintah

Universitas Sumatera Utara

maupun perusahaan (Christina, 2006). Dibandingkan dengan persalinan
pervaginam, biaya seksio sesarea jauh lebih tinggi. Di Medan lebih kurang 2,5-3
kali biaya persalinan pervaginam.

2. Faktor Mediko-Obstetrik
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor mediko obstetri adalah paritas,
jarak persalinan, riwayat obstetri jelek, dimana hal ini akan memberi gambaran
atau prognosis pada kehamilan dan persalinan berikutnya.

a. Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu sebelum
kehamilan atau persalinan saat ini. Paritas dikategorikan menjadi 4 kelompok
yaitu (Christina, 2006) :

(1) Nullipara adalah ibu dengan paritas 0
(2) Primipara adalah ibu dengan paritas 1
(3) Multipara adalah ibu dengan paritas 2 - 5
(4) Grande Multipara adalah ibu dengan paritas > 5
Paritas yang paling aman jika ditinjau dari sudut kematian maternal adalah
paritas 2 dan 3. Risiko untuk terjadinya persalinan seksio sesarea pada primipara 2
kali lebih besar dari pada multipara (Wiknjosastro, 2006).

b. Jarak Persalinan
Seorang wanita setelah melahirkan membutuhkan 2 sampai 3 tahun untuk
memulihkan tubuhnya dan mempersiapkan dirinya pada persalinan berikutnya
dan memberi kesempatan pada luka untuk sembuh dengan baik (Christina, 2006).

c. Riwayat Obstetrik Jelek
Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan penyakit seperti Hepatitis,
TBC, Diabetes Melitus, Penyakit Jantung, Asma Bronkial, Hipertensi dan
Penyakit Infeski dapat dikategorikan sebagai kehamilan berisiko tinggi sehingga
dapat mempengaruhi proses persalinannya (Christina, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Riwayat kehamilan yang berhubungan dengan risiko adalah pernah
mengalami hiperemesis, perdarahan, abortus, pre-eklampsia dan eklampsia.
Dengan memperoleh informasi tentang ibu secara lengkap pada masa lalu,
diharapkan risiko kehamilan yang dapat memperberat keadaan ibu dan janin dapat
diatasi dengan pengawasan obstetrik yang lebih baik (Mansjoer, 2009).
Riwayat persalinan yang berisiko tinggi adalah persalinan yang pernah
mengalami seksio sesarea sebelumnya, ekstraksi vakum, forcep, melahirkan
prematur/BBLR, partus lama, ketuban pecah dini dan melahirkan bayi lahir mati.
Riwayat persalinan seksio sesarea mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk
terjadinya persalinan seksio sesarea pada kehamilan berikutnya (Mansjoer, 2009).

2.1.4. Klasifikasi Seksio Sesarea
Ada beberapa jenis seksio sesarea yaitu seksio sesarea klasik atau corporal
yaitu insisi pada segmen atas uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan
bila segmen bawah rahim tidak dapat dicapai dengan aman, bayi besar dengan
kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah.

Seksio sesarea


profundal (low cervical dengan insisi pada segmen bawah rahim) merupakan
suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus
(Prawiroharjo, 2006). Hampir 99 % dari seluruh kasus seksio sesarea memilih
teknik ini karena memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik
dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.

2.1.5. Indikasi Seksio Sesarea
2.1.5.1. Indikasi Medis
Melahirkan dengan cara seksio sesarea sebaiknya dilakukan atas
pertimbangan medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya.
Artinya, janin atau ibu dalam keadaan gawat dan hanya dapat diselamatkan jika
persalinan dilakukan dengan jalan seksio sesarea, dengan tujuan untuk
memperkecil terjadinya risiko yang membahayakan jiwa ibu dan bayinya (Scotts,
2002).

Universitas Sumatera Utara

a. Faktor Janin
a. Bayi terlalu besar (fetal macrosomia )
Bayi besar akan dilahirkan dengan seksio sesarea karena sering

mengakibatkan adanya cephalopelvic disproportion (Jazayeri, 2007).

b. Kelainan kongenital
Seksio sesarea merupakan indikasi dengan bayi yang memiliki
kelainan, seperti hidrosefalus dengan pembesaran diameter biparietal
(Williams, 2010).

c. Kelainan Letak Bayi
i. Letak Sungsang
Ada kecenderungan melakukan seksio sesarea pada kehamilan
dengan letak sungsang dan persalinan normal mungkin tidak
akan dilakukan dalam menangani persalinan sungsang ini
(Fischer, 2006).

ii. Letak Lintang
Menurut Pitkin (2003), hal ini sering terjadi pada ibu yang
sudah melahirkan lebih dari sekali, kehamilan prematur dan
polihidramnion.

d. Ancaman Gawat Janin (Fetal Distress)

Fetal distress sering dihubungkan dengan kehamilan lewat waktu atau

dengan komplikasi yang berdampak pada ibu dan janin (Beers, 2004).

e. Bayi Kembar
Kehamilan kembar dapat memberi risiko yang lebih tinggi terhadap
ibu dan bayi, sehingga harus dilakukan pengawasan kehamilan yang
lebih intensif (Wiknjosastro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

f. Faktor Plasenta
i. Plasenta Previa
Menurut Wiknjosastro (2006), plasenta previa adalah plasenta
yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir.

ii. Solusio Plasenta
Seksio sesarea dilakukan untuk mencegah kekurangan oksigen

atau keracunan air ketuban pada janin (Wiknjosastro, 2006).

b. Faktor Ibu
a. Disproporsi Sefalo-Pelvik
Disproporsi sefalo-pelvik adalah ketidakseimbangan kepala dan
panggul ibu (Wiknjosastro, 2006).

b. Disfungsi Uterus
Disfungsi uterus mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasi, hal
ini menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar
dari rahim (Wiknjosastro, 2006).

c. Ruptura Uteri
Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga peritoneum
(Mansjoer, 2009). Robekan rahim violenta terjadi karena trauma
pertolongan versi dan ekstraksi, ekstraksi forsep, kuretase, manual
plasenta (Okudaira, 2003).

d. Partus tak maju

Universitas Sumatera Utara

Partus tak maju, juga dikenal partus memanjang, merupakan keadaan
dimana seorang ibu hamil tidak dapat melahirkan 18 jam setelah awal
kontraksi (Mukherjee, 2006).

e. Infeksi pada Ibu
Ibu dengan infeksi herpes genital aktif cenderung untuk melakukan
seksio sesarea (Brown, 2003 dalam Joy, 2009).
Pada wanita yang sedang melakukan perawatan terhadap virus HIV,
bila dilakukan seksio sesarea menunjukkan penurunan angka transmisi
pada bayi (Clinical Guidelines dalam Joy, 2009).

f. Pre-eklampsia dan eklampsia (PE/E)
Penyakit preeklampsia biasanya ditandai dengan timbulnya gejala
yang berurutan diawali dengan bertambahnya berat badan yang
berlebihan, diikuti dengan adanya edema, hipertensi dan diakhiri
dengan proteinuria (Tanjung, 2004)

2.1.5.2. Indikasi Sosial
Selain indikasi medis terdapat indikasi sosial untuk melakukan seksio
sesarea. Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan ibu walaupun tidak ada
masalah atau kesulitan dalam persalinan normal. Menurut Mackenzie et al (1996)
dalam Mukherjee (2006), permintaan ibu merupakan suatu faktor yang berperan
dalam angka kejadian seksio sesarea yaitu mencapai angka 23%. Diketahui karena
kurangnya pengetahuan tentang keuntungan dan kerugian dari prosedur juga
menjadi penyebab ibu sering dengan mudah meminta dilakukannya seksio
sesarea. Disamping itu, selain untuk menghindari sakit, alasan untuk melakukan
seksio sesarea adalah untuk menjaga tonus otot vagina. Persalinan yang dilakukan
dengan seksio sesarea sering dikaitkan dengan masalah kepercayaan yang masih
berkembang di Indonesia. Tentunya tindakan seksio sesarea dilakukan dengan
harapan apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam sekian, maka akan
memperoleh rezeki dan kehidupan yang baik (Wiknjosastro, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Adanya ketakutan ibu-ibu akan kerusakan jalan lahir (vagina) sebagai akibat
dari persalinan normal, menjadi alasan ibu memilih bersalin dengan cara seksio
sesarea. Padahal penelitian membuktikan bahwa mitos tersebut tidak benar karena
penyembuhan luka di daerah vagina hampir sempurna (Wiknjosastro,2006).
Di sisi lain, persalinan dengan seksio sesarea dipilih oleh ibu bersalin karena
tidak mau mengalami rasa sakit dalam waktu yang lama. Hal ini terjadi karena
kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit pada persalinan normal
(Wiknjosastro,2006). Walaupun begitu, menurut FIGO (1999) dalam Mukherjee
(2006), pelaksanaan seksio sesarea tanpa indikasi medis tidak di-benarkan secara
etik.

2.1.6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi setelah tindakan seksio sesarea adalah sebagai
berikut:
2.1.6.1. Infeksi Puerperal (nifas)
Hal ini sering kita jumpai pada partus terlantar, dimana sebelumnya telah
terjadi infeksi intrapartal karena ketuban yang telah pecah terlalu lama
(Wiknjosastro, 2006).

2.1.6.2. Perdarahan
Perdarahan dapat disebabkan karena banyaknya pembuluh darah yang
terputus dan terbuka, atonia uteri, dan perdarahan pada placental bed
(Wiknjosastro, 2006).

2.1.6.3. Luka Kandung Kemih
Tindakan seksio sesarea, apabila dilakukan dengan tidak hati-hati dapat
mengakibatkan luka pada organ lain seperti kandung kemih, yang dapat
menyebabkan infeksi (Wiknjosastro, 2006).

2.1.6.4. Komplikasi pada Bayi
Menurut statistik di negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal

Universitas Sumatera Utara

yang baik, kematian perinatal paska seksio sesarea berkisar antara 4-7%.
(Wiknjosastro, 2006)

2.1.7. Prognosis
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa
sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam teknik operasi, anestesi,
penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika, angka ini sangat menurun.
Angka kematian pada rumah-rumah sakit dengan fasilitas operasi yang baik dan
oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000 (Wiknjosastro,
2006).
Nasib janin yang ditolong secara seksio sesarea sangat tergantung dari
keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari Negara dengan
pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal sempurna, angka kematian
perinatal sekitar 4-7% (Wiknjosastro, 2006).

2.2. Seksio Sesarea Berulang
2.2.1. Sejarah Seksio Sesarea Berulang
Beberapa isu dalam dunia obstetrik modern telah menjadi kontroversi yang
berkepanjangan dalam hal manajemen untuk wanita yang memiliki riwayat proses
melahirkan secara seksio sesarea. Dalam beberapa tahun belakangan, jaringan
parut pada uterus telah diyakini sebagai kontraindikasi paling serius dalam
pelaksanaan proses kelahiran pervaginam setelah seksio sesarea, karena adanya
risiko ruptura uteri (Williams, 2010).
Diawali pada tahun 1989, di saat yang bersamaan dengan meningkatnya
angka kejadian wanita yang mencoba melakukan proses melahirkan secara
pervaginam, terdapat peningkatan dalam jumlah laporan yang menunjukkan
peningkatan angka kejadian ruptura uteri dan morbiditas serta mortalitas perinatal
yang memunculkan kesimpulan bahwa proses melahirkan secara pervaginam
setelah menjalani seksio sesarea pada kehamilan sebelumnya (Vaginal Birth After
Cesarean – VBAC ) memiliki risiko lebih tinggi daripada yang diantisipasi

sebelumnya (Williams, 2010).

Universitas Sumatera Utara

2.2.2. Risiko pada Fetus
Risiko ruptura uteri dan komplikasi yang juga terasosiasi jelas meningkat
dengan dilakukannya percobaan proses melahirkan secara pervaginam (Smith,
2005). Namun, beberapa orang berpendapat bahwa faktor-faktor ini tidak
memiliki andil yang terlalu besar dalam hal mengambil keputusan proses
kelahiran yang akan dipilih, karena risiko absolutnya rendah. Salah satu studi
mengenai risiko yang berkaitan dengan Vaginal Birth After Cesarean (VBAC)
yang terbesar dan paling komprehensif dilakukan oleh Maternal-Fetal Medicine
Units (MFMU) Network dan dilaporkan oleh Landon dkk. (2006). Dalam studi

prospektif yang dilakukan di 19 pusat kesehatan akademis, ditemukan bahwa
risiko ruptura uteri jauh lebih tinggi pada wanita yang melakukan VBAC, namun
risiko absolutnya sangat kecil, yaitu 7 dari 1000 kejadian. Namun, pada penelitian
tersebut, sama sekali tidak ditemukan adanya kejadian ruptura uteri pada
kelompok wanita yang melakukan seksio sesarea secara elektif. Justru ditemukan
angka kejadian ensefalopati iskemik hipoksia yang lebih tinggi daripada
kelompok wanita yang menjalani VBAC (Spong, 2007)

2.2.3. Risiko pada Ibu
Argumen yang berpotensi untuk mendukung VBAC adalah bahwa proses
kelahiran secara pervaginam telah diasosiasikan dengan penurunan risiko pada ibu
jika dibandingkan dengan ibu yang menjalani proses seksio sesarea berulang.
Namun dalam berbagai studi yang telah dilakukan untuk memperkirakan angka
morbiditas dan mortalitas ibu terkait dengan VBAC ataupun seksio sesarea
berulang, tidak diketahui dengan pasti berapa angka kejadian morbiditas dan
mortalitas tersebut (Williams, 2010).

2.2.4. Indikasi Seksio Sesarea Berulang
2.2.4.1. Jenis Insisi Uteri Sebelumnya
Wanita dengan bekas insisi uteri secara transversal pada segmen bawah
uteri memiliki risiko paling rendah dalam hal pemisahan jaringan parut yang

Universitas Sumatera Utara

simptomatik pada kehamilan berikutnya. Menurut Shipp (1999) dalam Williams
(2010), wanita dengan riwayat insisi uteri secara vertikal di bagian bawah tidak
mengalami peningkatan risiko ruptura uteri bila dibandingkan dengan wanita yang
memiliki riwayat insisi uteri segmen bawah secara transversal. The American
College of Obstetricians and Gynecologists (2004) menyimpulkan bahwa, meski

dengan bukti yang terbatas, wanita dengan riwayat insisi secara vertikal pada
bagian bawah segmen uteri tanpa ekstensi ke bagian fundus merupakan kandidat
yang baik untuk menjalani prosedur VBAC. Hal ini sangat bertolak belakang
dengan riwayat insisi uteri klasik, yang merupakan kontraindikasi terhadap proses
kelahiran secara pervaginam.

2.2.4.2. Riwayat Ruptura Uteri
Wanita yang memiliki riwayat ruptura uteri memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk rekurensi kejadian ruptura uteri pada saat menjalani prosedur VBAC.
Menurut Ritchie (1971) dalam Williams (2010), wanita yang memiliki riwayat
ruptura pada segmen bagian bawah uteri memiliki risiko rekurensi 6 persen,
sedangkan wanita yang memiliki riwayat ruptura pada uterus bagian atas memiliki
risiko rekurensi yang jauh lebih tinggi, yakni 32 persen.

2.2.4.3. Jarak Persalinan
Stamilio et al (2007) menyatakan bahwa risiko ruptura uteri meningkat 3
kali lipat pada wanita dengan jarak kehamilan kurang dari 6 bulan bila
dibandingkan dengan wanita dengan jarak kehamilan di atas 6 bulan dan pada
penelitian terbaru, Bujold et al (2010) menyatakan bahwa terjadi peningkatan
risiko kejadian ruptura uteri pada ibu dengan jarak kehamilan di bawah 18 bulan,
sehingga dapat disimpulkan bahwa jarak kehamilan dengan risiko kejadian
ruptura uteri yang minimum adalah jarak kehamilan di atas 18 bulan.

2.2.4.4. Riwayat Melahirkan Pervaginam
Riwayat melahirkan secara pervaginam, baik sebelum ataupun sesudah
prosedur seksio sesarea, secara signifikan meningkatkan prognosis kejadian

Universitas Sumatera Utara

kelahiran secara pervaginam baik spontan maupun diinduksi (Mercer et al , 2008).

2.2.4.5. Riwayat Distosia
Pada lebih dari 1900 wanita, Peaceman et al (2006) menemukan bahwa
wanita dengan riwayat distosia sebagai indikasi orisinal memiliki tingkat
kesuksesan yang lebih rendah dibandingkan dengan indikasi-indikasi lainnya.

2.2.4.6. Obesitas pada Ibu
Obesitas pada ibu menurunkan tingkat kesuksesan pada VBAC. Hibbard et
al (2006) melaporkan tingkat kesuksesan sebagai berikut :




85 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMT normal



30



40

78 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMT diantara 25 sampai

70 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMT diantara 30 sampai

61 persen kesuksesan VBAC pada ibu dengan IMTdi atas 40

2.2.5. Komplikasi Seksio Sesarea Berulang
Dikarenakan tingginya kekhawatiran akan risiko ruptura uteri pada
percobaan persalinan secara pervaginam setelah menjalani prosedur seksio
sesarea pada kehamilan sebelumnya, banyak ibu hamil yang akhirnya lebih
memilih untuk menjalani prosedur seksio sesarea yang direncanakan, meski
sebenarnya akan meningkatkan risiko komplikasi secara signifikan pada ibu hamil
yang telah menjadi prosedur seksio sesarea berulang kali (Williams, 2010).
Beberapa komplikasi umum yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan
riwayat seksio sesarea berulang adalah :
 Infeksi Uterus

 Placenta Previa

 Transfusi Darah

 Placenta Accreta

Universitas Sumatera Utara

 Histerektomi
Komplikasi yang paling menimbulkan kekhawatiran adalah peningkatan
risiko terjadinya placenta previa diakibatkan riwayat seksio sesarea berulang
dikaitkan dengan bekas luka operasi seksio sesarea tersebut. Dalam beberapa
kasus, perkreta dapat menginvasi kandung kemih ataupun organ di sekitarnya.
Reseksi yang sulit meningkatkan risiko histerektomi, perdarahan masif yang
membutuhkan transfusi dan mortalitas ibu (Jang, 2011).

2.3. Ruptura Uteri
2.3.1. Definisi
Ruptur uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan rongga
peritoneum dapat berhubungan. Yang dimaksud dengan ruptur uteri komplit
adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung
antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viseral dan kantong
ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagian atau seluruh
tubuhnya telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum
peritoneum atau rongga abdomen (Williams, 2010).
Pada ruptura uteri inkomplit, hubungan kedua rongga tersebut masih
dibatasi oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian, janin belum
masuk ke dalam rongga peritoneum.
Pada dehisens (regangan) dari parut bekas bedah sesar, kantong ketuban
juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah
terjadi ruptura uteri pada parut. Dehisens bisa berubah menjadi ruptur pada waktu
partus atau akibat manipulasi pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah
sesar yang lalu (Soon, 2011).

2.3.2. Etiologi
Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada
sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang
masih utuh (Nahum, 2005).
Pasien yang berisiko tinggi antara lain :

Universitas Sumatera Utara

a. Persalinan yang mengalami distosia, grandemultipara, penggunaaan oksitosin
atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan
b. Pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio
sesarea atau operasi lain pada rahimnya
c. Pernah histerorafi
d. Pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan
sebagainya.

Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio
sesarea klasik berlaku adagium “Once a cesarean, always cesarean”. Pada
keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan) untuk
mencegah ruptura uteri dengan syarat janin sudah matang (Fitzpatrick et al, 2012).

2.3.3. Patofisiologi
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dengan demikian,
dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume
korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus
uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi
lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas
oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga
lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi.
Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak
kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin
tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi
sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim
terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his
berikutnya datang, terjadilah perdarahan yang banyak (spontaneous uterine
rupture) (Williams, 2010).

Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada
parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio
sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus

Universitas Sumatera Utara

yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga
parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi
pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai, sedangkan pada bekas seksio
profunda lebih sering terjadi saat persalinan. Ruptura uteri biasanya terjadi lambat
laun pada jaringan-jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama
sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi ruptura uteri
inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum
latum dan sebagian lainnya keluar (Locatelli et al, 2004).

2.3.4. Diagnosis
Ruptura uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin
tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah takut
karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat
janin. Gambaran klinik ruptura uteri sangatlah khas. Oleh sebab itu pada
umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas dasar tanda-tanda klinik
yang telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptura uteri itu komplit perlu
dilanjutkan dengan periksa dalam (Williams, 2010).
Pada ruptura uteri komplit, jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan
beberapa hal sebagai berikut (Williams, 2010) :


Jari-jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang



licin



segmen bawah rahim



Dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di

Dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan
Dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari tangan
dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling meraba ujung jari-jari tangan
dalam.

2.3.5. Gejala Klinis
Ruptura uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat
paritas tinggi, pembedahan uterus sebelumnya, seksio sesarea ataupun

Universitas Sumatera Utara

miomektomi (Jang, 2011). Namun, ruptura uteri umumnya terjadi sewaktu
persalinan sedang berlangsung. Banyak gejala yang akan tampak ketika ruptura
uteri terjadi, yaitu (Williams, 2010):




Nyeri abdomen yang tiba-tiba.



Adanya nyeri uterus yang menetap.



darah akut.



mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba menghilang.

Dijumpai takikardi dan hipotensi, yang merupakan indikasi dari kehilangan

Kontur uterus yang tiba-tiba berubah, kontraksi uterus dapat berhenti

Dijumpai abdomen yang sering sangat lunak dan adanya nyeri lepas.

2.3.6. Komplikasi
Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi
adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok hipovolemik
terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak
untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah
segar (Gupta, 2011).
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptura uteri
telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi
termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien
tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan
menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. Sayangnya hasil
pemeriksaan kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien baru
diperoleh beberapa hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi
biasanya diberikan untuk mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan
sepsis merupakan sebab-sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal
dalam obstetrik. Namun, meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan
kecacatan akibat terjadinya ruptura uteri tetap tinggi (Gupta, 2011).

Universitas Sumatera Utara