Gambaran Penyesuaian Diri Pada Remaja yang Memiliki Saudara Autis

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Remaja adalah suatu waktu perkembangan biologis, kognitif, sosial dan
emosional yang sangat penting. Waktu dimana seorang individu berjuang untuk
membentuk dan menemukan identitas, membuat suatu arti penting dalam
mengembangkan peran, dan beradaptasi dengan perubahan perkembangan yang
ada dalam semua aspek kehidupan mereka (Papalia, 1998). Hal ini merupakan
suatu bentuk tugas perkembangan remaja. Dacey dan Kenny (1997) menyatakan
bahwa tugas perkembangan adalah hal yang normal tetapi tetap menjadi sumbersumber stres tersendiri pada remaja. Hadirnya saudara yang mengalami autis
menambah stressor dalam perjalanan hidup remaja tersebut (Compas, et al, 1993)
Autis adalah salah satu gangguan yang menyerang perkembangan fungsi
otak yang meliputi bidang sosial dan afeksi, komunikasi verbal dan non-verbal,
imajinasi, fleksibilitas, ketertarikan, kognisi, serta perhatian. Akibat dari
gangguan perkembangan fungsi otak ini, seorang anak yang mengalami autis
tidak mampu dalam memulai interaksi dengan orang lain dan tidak dapat
memberikan respon yang tepat ketika orang lain mencoba untuk menarik
perhatian mereka serta tidak mampu berinteraksi timbal balik. Singkatnya, anak
autis hidup dalam dunia mereka sendiri (Haugaard, 2008)
Fakta bahwa hidup dengan saudara yang mengalami gangguan

ketidakmampuan seperti autis bukanlah suatu hal yang diharapkan oleh remaja

1
Universitas Sumatera Utara

2

bahkan oleh semua anak. Menghadapi kompleksitas dari kombinasi antara
perilaku dan kemampuan anak autis pada umumnya memberikan kesulitan dan
tantangan tersendiri bagi keluarga (Burke, 2004; Ryan & Reeve, 2007; Smith &
Jennifer, 2010). Mengasuh anak dengan gangguan autis juga lebih berat dari pada
mengasuh 10 anak balita (Haugaard, 2008). Hal ini diperkuat dari hasil
wawancara Attfield dan Morgan (2007) terhadap keluarga dengan salah satu
anggota penyandang autis selama kurang lebih 20 tahun dan menemukan bahwa
keluarga yang memiliki anggota autis membutuhkan perjuangan sepanjang hidup
dalam menghadapi anak autis tersebut.
Keberadaan anak autis membuat seluruh anggota keluarga termasuk
saudara dalam tahap perkembangan remaja memberikan fokus perhatian yang
lebih besar dalam pangasuhan anak yang mengalami autis. Keadaan semacam ini
dapat membatasi kehidupan sosial remaja yang merupakan suatu hal yang tidak

menyenangkan sebagaimana diungkapkan oleh remaja berikut ini:
“ada beberapa hal yang tidak bisa kami lakukan karena kehadiran Ethan
(penyandang autis), saya mengajak ibu saya untuk nonton Harry Potter
dan ibu bilang kami hanya bisa nonton jika Ethan tidak ada, karena Ethan
akan membuat keributan dan kekacauan di tempat keramaian”
(dikutip dari He Wakes Me Up, dalam buku Special Brothers and Sister,
Hames & McCaffrey, 2005)
Hal di atas juga didukung dari ungkapan berikut:
“Kadang gak nyaman juga ka, klo lagi pigi jalan-jalan dia suka kumat ka,
diam lama kali ga mau gerak, klo dibiarin dia nangis lama kali mpe
setengah jam lebih”
(D, Komunikasi Personal, 01 November 2012)

Kehadiran anak yang mengalami autis menyebabkan dominasi waktu
orang tua tertuju pada pemenuhan kebutuhan dan pengasuhan anak autis. Tugas

Universitas Sumatera Utara

3


dan tanggung jawab rumah tangga dialihkan pada anak remaja dalam keluarga
tersebut. Hal ini mengakibatkan remaja yang memiliki saudara autis mendapatkan
tugas lebih banyak dibandingkan teman seusianya yang memiliki saudara normal.
Bertambahnya jumlah tugas dan kewajiban seorang anak dalam keluarga adalah
suatu hal yang tidak diharapkan anak dan dapat menimbulkan tekanan (Brody
dalam Macks & Reeve, 2006) terutama bagi remaja yang memiliki aktivitas utama
diluar rumah bersama dengan teman sebayanya. Hal ini sejalan dengan ungkapan
remaja berikut ini:
“tinggal dengan dia menjadi lebih sulit pada setiap hari yang kami lewati.
hidup kami hanya seputar perilakunya saja dan kami harus bersabar sebisa
mungkin dalam menghadapi ini. Perilakunya membatasi kehidupan saya,
saya bisa membatalkan janji dan meninggalkan semuanya hanya untuk
menghiburnya, keluarga tidak bisa liburan bersama, sulit bagi kami untuk
menjalani fungsi sebagai keluarga normal pada umumnya”.
(dikutip dari We Are Unable To Take Holidays Together, dalam buku
Special Brothers and Sister, Hames & McCaffrey, 2005)
Hal ini juga didukung dari ungkapan remaja di bawah ini:
“iya, pulang sekolah kan jam 2 kak, kadang masih capek gak sempat tidur
dulu, uda di suruh jagain adek, mama siap-siap mau ngantar adek, “
belikan jajan adek dulu, buat bontot dulu…” kata mama, uda pigi “jangan

lupa beresin rumah ya, cuci piring…”, gitu, kadang-kadang pigi main
sama kawan, main bola, main sepeda, biasa kan anak laki-laki, eh lupa jadi
pulang kesorean, uda maghrib, jadi kena marah…”
(W, Komunikasi Personal, 15 Juni 2013)
Dominasi perhatian orang tua pada anak autis juga dapat mengakibatkan
saudara normal dari anak autis tersebut merasa tidak menerima perhatian yang
cukup dan merasa diperlakukan oleh orang tua secara berbeda dan tidak adil,
merasa harus berkompetisi mendapat perhatian orang tua dan sering kali
memunculkan perilaku agresif untuk mencari perhatian orang tua. Hal didukung
dari ungkapkan seorang remaja yang memiliki saudara autis berikut ini:

Universitas Sumatera Utara

4

"awalnya saya ngerasa diperlakukan beda sama orang tua saya kak. Saya
sempat merasa orang tua saya tidak adil. Mereka lebih banyak
memperhatikan adek saya, semua keperluan dan kebutuhannya diurusin,
hampir semua waktu orang tua tersita untuk dia sedangkan saya harus
mengurus diri sendiri. Waktu untuk saya kehitung lha ka, cuma hal wajib

aja, kayak jemput rapor. Ya lebih dari itu hanya seputar terapi , konseling,
pijet, ikut program ini, program itu, ngajarin adek, kasih makan, bujukin
kalau lagi merajuk yang bisa makan waktu berjam-jam, blom lagi kalo ada
yang dianggap salah sama adek saya, hmm… bisa lha tu kerjaan ibu saya
cuma bujukin aja seharian“
(D, Komunikasi Personal, 01 November 2012)
Hal ini sejalan dengan ungkapan remaja berikut ini:
“yaaahh (menghela nafas), pas mau pegi-pegi gitu kan kog di beda-beda in
ginilah, dia diantar mau pergi kesekolah, kemanapun diantar, kalo aku
mau minta jemput gitu kan, kadang-kadang mama gak mau, yang panas
lah, itu lah, terus mikir apa karna adek kayak gitu...”
(W, Komunikasi Personal, 15 Juni 2013)
Perlakuan orang tua yang berbeda dan pesepsi saudara yang diperlakukan
berbeda menimbulkan konflik internal pada diri saudara dari anak autis tersebut
(Neiderhiser et al, 1999). Karena remaja bukan penerima pasif melainkan secara
aktif mampu melakukan konstruk tersendiri dari pengalaman yang mereka alami
dengan mengobservasi, mengevaluasi dan menilai perlakuan yang diberikan orang
tua mereka jika dibandingkan dengan saudaranya yang lain.
Remaja dengan perkembangan dunia sosial yang semakin luas sangat
memperhatikan bagaimana opini teman sebaya tentang apa yang terjadi dengan

saudara autis mereka (Burke, 2004). Kondisi ini menyebabkan anak remaja yang
memiliki saudara autis mengalami kesulitan dalam membawa teman atau pacar ke
rumah. Motivasi terjadinya hal ini adalah karena pertanyaan berulang mengenai
kondisi saudara yang mengalami autis, evaluasi negatif dan rasa malu akibat
perilaku tidak sesuai yang ditampilkan saudara yang mengalami autis (Randall &

Universitas Sumatera Utara

5

Parker dalam Macks & Reeve, 2006; Attfield & Morgan, 2007). Hal ini sesuai
dengan ungkapan remaja yang memiliki saudara autis berikut:
“kalo dibilang malu punya adek autis mungkin gak kak, cuma kadangkadang ngerasa kesal aja. Tiap teman saya liat adek saya selalu nanya ini
nanya itu, saya kan capek kak jelasin kalo adek saya itu autis, habis itu
selalu ada yang nanya autis itu apa? Kog bisa gitu? Masa orang ketawa dia
nangis? Nangisnya kog lama kali? Kog ga bisa diam? Kog dipanggil ga
liat? Lasak kali? Dan segudang pertanyaan lain lagi, ini seringnya klo ibu
bawa adek ke acara sekolah, kayak waktu itu lagi nerima rapor sekolah,
adek kan klo dengar orang ketawa itu dia nagis, teman-teman saya
terkejut, ya disitulah banyak pertanyaaan yang menganggu saya, saya

cuma bilang adek saya autis dan mereka mau tahu gitu autis itu apa, ya
saya malas aja jelasin…!”
(D, Komunikasi Personal, 01 November 2012)
Hal yang sama juga diungkapkan berikut ini:
“kadang-kadang saya sangat malu dengan perilakunya. Dia pernah
telanjang saat teman saya datang kerumah, padahal umurnya ga sesuai lagi
dengan hal tersebut.”
(dikutip dari Sometime I Get Quite Embarrassed, dalam buku Special
Brothers and Sister, Hames & McCaffrey, 2005)
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dilihat bahwa memiliki saudara autis
membuat remaja sering dihadapkan pada evaluasi teman sebaya dan tekanan
sosial yang tidak disukai. Rasa tidak suka tersebut muncul akibat usia masa
remaja yang merupakan usia dalam perkembangan dunia sosial yang semakin
luas. Adanya evaluasi negatif dari kelompok sebaya dan lingkungan sosial
menimbulkan efek negatif pada harga diri remaja (Hurlock, 1980).
Tahapan perkembangan yang dihadapi remaja memberikan tuntutan baru
dimana remaja mengalami kehidupan sosial yang berubah. Remaja yang memiliki
saudara autis menghadapi tuntutan lain diluar tugas perkembangan remaja pada
umumnya. Adanya stressor dari hadirnya saudara yang mengalami autis dan tugas
perkembangan pada remaja menuntut remaja untuk melakukan penyesuaian diri


Universitas Sumatera Utara

6

untuk dapat bertahan dalam kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari
(Schneider, 1964; Haber & Runyon, 1984; Burke, 2004).
Penyesuaian diri adalah suatu proses dimana individu berusaha untuk
membiasakan diri dan belajar untuk hidup dengan suatu kondisi atau keadaan
yang tidak dapat diubah yang menujukkan individu harus berusaha menerima
keadaan yang tidak bisa diubah tersebut (Haber & Runyon, 1984). Gangguan autis
merupakan suatu

gangguan

yang tidak dapat

disembuhkan melainkan

membutuhkan penanganan yang terus-menerus (Haugaard, 2008). Hal ini

didukung dari ungkapan remaja berikut ini:
“kadang susah juga ngadapinnya kak, tapi karena uda biasa jadi merasa
biasa aja. Terus, kata psikolog yang nangani adek , adek kena autis ringan
aja, klo dibandingin dengan teman-temannya yang lain memang adek saya
lebih terkontrol, dia ngamuk pun ga sampe nendang, klo teman sekolahnya
yang lain ada yang samapi mukul, nendang, teriak, bahkan waktu itu ada
yang makan sofa, klo adek saya paling Cuma nangis lama kali habis itu
baru biasa lagi ga sampe tantrum yang heboh kali”
(D, Komunikasi Personal, November 2012)

Kehadiran anak autis mengakibatkan seluruh anggota keluarga termasuk
remaja yang merupakan saudara dari anak yang mengalami autis untuk menerima,
belajar dan membiasakan diri hidup dengan segala kompleksitas kombinasi
perilaku dan kemampuan yang dimiliki saudara yang mengalami autis sejak
keluarga merasakan bahwa salah satu anggota mereka mengalami perbedaan
perkembangan dari anak normal (Burke, 2004).
Remaja yang memiliki saudara autis juga dihadapkan pada suatu kondisi
yang menimbulkan kebingungan dan konflik emosi, memunculkan perasaan
negatif dan marah (Attfield & Morgan, 2007). Perasaan-perasaan tersebut


Universitas Sumatera Utara

7

menunjukkan bahwa remaja dengan saudara autis tidak menyesuaikan diri secara
efektif. Hal ini digambarkan dari ungkapan remaja berikut:
“saya merasa kedamaian ketika saya pergi kerumah teman saya, kalau
dirumah, kemana pun saya pergi selalu ditarik sama dia, jika ada yang
bawa dia keluar dari rumah, saya akan sangat senang, dengan begitu saya
bisa main sepuasnya dengan mainan saya, bisa istirahat karena kalau dia
dirumah pasti akan ribut dan keadaan akan jadi sulit sekali dan saya gak
bisa berkonsentrasi, bahkan tengah malam pun saya sering dibangunkan
karena dia sering terjaga sepanjang malam dan membangunkan seisi
rumah. Saya tidak pernah menceritakan dia pada teman saya meskipun
teman saya pernah melihatnya, dan mereka tidak bertanya mengenai
keadaannya dan saya tidak suka mereka mengeluarkan satu pertanyaan
pun.
(dikutip dari He Wakes Me Up, dalam buku Special Brothers and Sister
Hames & McCaffrey, 2005)
Hal ini juga sejalan dari ungkapan berikut ini:

“kalo ngomong sama dia (merujuk pada saudara autis), capek, gak di
respon, kadang kesal kali, ada aja kegiatannya, percuma kan kita ngomong
kalau gak didengarin”
(W, Komunikasi Personal, 15 Juni 2013)
Juga dari ungkapan berikut ini:
“saya sering merasa malu mengenai adik saya, karena saya yakin dia
begitu mengesalkan bagi orang lain yang melihatnya untuk pertama
kalinya. Keluarga saya sering bepergian karena pekerjaan ayah saya,
kadang dengan pesawat, kapal, dan juga bus dan pastinya adik saya selalu
ikut. Dulu, masih jelas dalam ingatan saya, kami harus menggelar tikar di
terminal bus agar adik saya bisa merangkak bebas dilantai dimana
disekitar kami begitu banyak orang dan saya begitu membenci semua
orang yang menatap kearah kami. Saya merasa malu dan ingin sekali
menyembunyikannya dimanapun agar orang tidak bisa melihatnya…”
(dikutip dari ungkapan Diane dalam buku It Isn’t fair! Sibling Of Children
with Disability, Klein & Schleifer, 1993)
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ditemukan bahwa pengaruh
hadirnya anak yang mengalami autis terhadap saudara normal yang ada dalam
keluarganya memberikan hasil yang tidak konsisten. Beberapa penelitian
menyebutkan saudara normal dari anak yang mengalami autis menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

8

kecendrungan yang tinggi dalam masalah emosional dan psikologis (Macks &
Reeve, 2006; Rivers & Stoneman, 2003; Kaminsky & Dewey, 2001; Glassberg,
2000; Rodrigue & Geffken, 1993). Selain itu mereka juga dilaporkan memiliki
tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan saudara dari anak yang
mengalami down syndrome (Orsmond & Seltzer, 2009; Gold, 1993).
Sebaliknya, penelitian yang dilakukan Gray (dalam Macks & Reeve,
2006) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan level kedewasaan antara
individu dengan saudara autis dibandingkan individu dengan saudara normal
dimana individu dengan saudara autis memiliki tingkat kedewasaan yang lebih
tinggi. Kaminsky dan Dewey (2002) juga mengungkapkan bahwa saudara dari
anak autis memiliki penyesuaian yang baik dan menunjukkan skor kesepian yang
rendah, memiliki sudut pandang positif terhadap perilaku, inteligensi, dan
kecemasan dibandingkan anak dengan saudara perkembangan normal dan saudara
down syndrome. Hal yang sama juga terungkap dari hasil penelitian Pilowsky,
Yirmiya, Doppelt, Gross-Tsur, dan Shalev (2004) bahwa tidak ada perbedaan
penyesuaian yang signifikan antara individu dengan saudara autis dengan individu
dengan saudara normal.
Remaja yang memiliki saudara autis juga dianggap mengalami tekanan
yang lebih besar akibat kompleksitas antara kombinasi perilaku dan kemampuan
yang dimiliki oleh seorang individu yang mengalami autis bahkan ketika

Universitas Sumatera Utara

9

dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan lainnya seperti down
sindrom, retardasi mental, dan gangguan perpasif lainnya (Glassberg, 2000;
Sivberg dalam Haugaard, 2008; Weiss dalam Osborne, 2008; Smith, et al., 2010)
Hingga saat ini belum ada data resmi yang menunjukkan jumlah anak
yang mengalami autis di Indonesia. Akan tetapi jumlah anak autis diperkirakan
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2004, dalam lembaga sensus Amerika
Serikat ditemukan jumlah anak dengan ciri-ciri autistik di Indonesia mencapai
475.000 orang (dalam Kompas, 2005). Hal ini membuktikan bahwa gangguan
autistik merupakan spektrum yang luas yang menunjukkan bahwa ada banyak
keluarga di Indonesia yang menjalani kehidupan bersama dengan anak yang
mengalami autis.
Ketertarikan terhadap penelitian dampak kehadiran anak autis terhadap
keluarga semakin meningkat. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya lebih terfokus pada hal-hal yang dialami orang tua yang memiliki
anak autis dibandingkan dampak terhadap saudara dari anak yang mengalami
autis tersebut. Faktanya, keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri dari
subsistem yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain
(DeGenova, 2008). Hadirnya seorang anggota keluarga dengan gangguan autis
tidak hanya mempengaruhi orang tua tetapi juga akan mempengaruhi semua pihak
yang ada dalam keluarga.
Salah satu hal menarik lainnya adalah bahwa beberapa penelitian
mengenai dampak hadirnya anak yang mengalami autis terhadap saudara normal
yang ada dalam satu keluarga tidak mempertimbangkan aspek tahapan

Universitas Sumatera Utara

10

perkembangan. Banyak penelitian menggabungkan anak-anak dan remaja yang
merupakan saudara dari anak yang mengalami autis, seperti penelitian yang
dilakukan oleh Hasting (2006) mengenai penyesuaian perilaku dengan
menggabungkan anak usia 3-18 tahun, penelitian Macks dan Reeve (2007)
tentang penyesuaian anak yang memiliki saudara autis dengan partisipan usia 7-17
tahun, serta pada penelitian Allison, et al. pada tahun (2012) tentang penyesuaian
emosional dan perilaku pada anak yang memiliki saudara autis dengan partisipan
anak dengan usia 4-18 tahun. Hal ini perlu mendapat perhatian karena pada
kenyataannya setiap tahapan perkembangan memiliki keunikan permasalahan
tersendiri begitu juga dengan tahapan perkembangan masa kanak-kanak dan
remaja.
Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
gambaran penyesuaian remaja yang memiliki saudara autis yang harus melakukan
tugas perkembangan dan menjalani kehidupan dengan saudara yang mengalami
gangguan autis dengan segala kompleksitas kemampuan dan perilaku serta
berbagai fitur perilaku yang sulit dikendalikan pada individu yang mengalami
gangguan autis.

Universitas Sumatera Utara

11

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran penyesuaian diri pada remaja yang memiliki
saudara autis ditinjau dari karakteristik penyesuaian diri?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian diri pada remaja
yang memiliki saudara autis?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri
pada remaja yang memiliki saudara autis ditinjau dari karakteristik penyesuaian
diri yang efektif dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil

penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan

manfaat

dalam

perkembangan penelitian ilmu Psikologi khususnya dalam bidang Psikologi
Perkembangan mengenai penyesuaian diri pada remaja yang memiliki saudara
autis.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembaca
dan keluarga yang memiliki anak normal dalam tahap perkembangan
remaja dan anak yang mengalami autis tentang bagaimana gambaran

Universitas Sumatera Utara

12

penyesuaian diri pada remaja yang memiliki saudara autis dan faktorfaktor yang mempengaruhinya sehingga dapat lebih memahami kondisi
yang dialami remaja tersebut.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
penyesuaian diri pada remaja yang memiliki saudara autis yang menjadi
pemicu untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
saudara dari individu yang mengalami gangguan, khususnya tentang
penyesuaian diri.

E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut
BAB I

Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah
penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II

Landasan Teori
Bab ini berisi landasan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat dalam bab
ini adalah teori penyesuaian, teori mengenai remaja, terori
mengenai remaja yang memiliki saudara autis, dan
dinamika penyesuaian diri pada remaja yang memiliki
saudara autis.

Universitas Sumatera Utara

13

BAB III

Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang
berisikan tentang metode penelitian kualitatif, partisipan,
metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode
analisis data.

Bab IV

Analisa dan Pembahasan
Bab ini berisi deskripsi data meliputi riwayat responden,
rangkuman hasil wawancara, analisa data dan pembahasan
setiap responden berdasarkan dengan teori yang berkaitan,
dan analisa antar responden.

Bab V

Kesimpulan dan Saran
Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan penelitian dan
saran metodologis dan saran praktis untuk penelitian
selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara