PENYESUAIAN DIRI ORANG TUA YANG MEMILIKI

PENYESUAIAN DIRI ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi OLEH MISBAH USMAR LUBIS 041301099 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009

ABSTRAK Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari 2009

Misbah Usmar Lubis : 041301099 Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak Autis Xi + 94 halaman; 33 Tabel; 19 Grafik; Lampiran Bibliografi 36 (1964-2007)

Melihat anak-anak balita tumbuh dan berkembang merupakan suatu hal yang menarik bagi orangtua. Namun jika dalam masa perkembangannya anak mengalami suatu gangguan, maka muncul berbagai macam reaksi orangtua yang membutuhkan penyesuaian diri. Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri adalah proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku agar berhasil menghadapi kebutuhan – kebutuhan internal, frustasi, konflik dan mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri inidividu dengan tuntutan dari luar atau lingkungan tempat individu berada. Salah satu gangguan pada masa kanak-kanak yang menjadi ketakutan orangtua saat ini adalah autisme. Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004) autisme yaitu, suatu gangguan yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu gangguan interaksi sosial (extreme isolation), gangguan perilaku dan gangguan komunikasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 39 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala penyesuaian diri yang dibuat oleh peneliti dengan menggunakan teori penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964). Jumlah aitem skala sebanyak 55 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,938.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyesuaian diri mayoritas orangtua yang memiliki anak autis berada pada kategori tinggi yaitu sebanyak 20 orang (51,3 %). Kategori sedang sebanyak 19 orang (48,7 %) dan tidak ada yang berada pada kategori rendah.

Untuk mengembangkan penelitian ini lebih jauh, disarankan untuk melakukan metode penelitian kualitatif dengan alasan akan memungkinkan mendapatkan data yang mendalam melalui wawancara.

Kata kunci : Penyesuaian diri, Anak autis

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan berkat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “ Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak Autis“. Tidak lupa shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa ummatnya kepada peradaban ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Tiada kata untuk melukiskan perasaan penulis atas terselesaikannya skripsi ini selain rasa syukur yang sebesar – besarnya kepada Allah SWT.

Skripsi ini penulis persembahkan khususnya kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Drs. H. Ali Usman Lubis dan Ibunda H. Mardiana Nasution yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tulus kepada penulis sejak kecil hingga sekarang ini, mendidik dan membimbing serta selalu mendoakan dalam setiap langkah dan aktivitas penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, keberkahan umur serta kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun diakhirat. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada abang dan kakak penulis, Ir. Miswar Usmar Lubis, Ir. Nirwan Usmar, Nila Kesuma Usmar, S. Si., Nancy Usmar, SP., Nanny Usmar, A.md., dan Hendra Usmar, ST. Terima kasih kepada abang dan kakak atas dukungan, motivasi serta kasih sayang yang dicurahkan selama ini kepada penulis. Semoga kita semua menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua dan berguna bagi bangsa dan agama. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada abang ipar dan kakak ipar penulis, Ir. Widodo, Ir. Irwan Sholeh, Suryanto, Dermawan, S. Ag., dan Purnama Sri Dayang serta Skripsi ini penulis persembahkan khususnya kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Drs. H. Ali Usman Lubis dan Ibunda H. Mardiana Nasution yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tulus kepada penulis sejak kecil hingga sekarang ini, mendidik dan membimbing serta selalu mendoakan dalam setiap langkah dan aktivitas penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, keberkahan umur serta kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun diakhirat. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada abang dan kakak penulis, Ir. Miswar Usmar Lubis, Ir. Nirwan Usmar, Nila Kesuma Usmar, S. Si., Nancy Usmar, SP., Nanny Usmar, A.md., dan Hendra Usmar, ST. Terima kasih kepada abang dan kakak atas dukungan, motivasi serta kasih sayang yang dicurahkan selama ini kepada penulis. Semoga kita semua menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua dan berguna bagi bangsa dan agama. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada abang ipar dan kakak ipar penulis, Ir. Widodo, Ir. Irwan Sholeh, Suryanto, Dermawan, S. Ag., dan Purnama Sri Dayang serta

Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakutas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Selama penyusunan skripsi ini, tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M. Si., selaku dosen pembimbing sripsi. Ucapan terima kasih yang tiada putus penulis ucapkan kepada Ibu yang membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini dan dengan sabar memaklumi segala kelemahan, selalu memberikan senyum manis disetiap bimbingan yang penulis lalui dan terima kasih atas setiap waktu yang Ibu luangkan untuk penulis.

3. Ibu Dra. Sri Supriyantini, M. Psi., selaku dosen pembimbing akademik penulis yang memberikan saran dan masukan kepada penulis selama perkuliahan.

4. Ibu Etty Rahmawaty, M. Si., yang selalu siap memberikan saran dan kritik yang membangun selama mengerjakan skripsi ini. Terima kasih Ibu atas waktu yang diluangkan kepada penulis.

5. Kepada pihak Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari), Bapak Fahri Wandika, kepada pihak Yayasan Anak Kita (Yakita), Kak Yunita Alfiana 5. Kepada pihak Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari), Bapak Fahri Wandika, kepada pihak Yayasan Anak Kita (Yakita), Kak Yunita Alfiana

6. Bapak dan Ibu selaku dosen pengajar Psikologi yang telah mendidik dan memberikan ilmu selama proses perkuliahan yang penulis lalui. Terima kasih atas semua ilmu dan saran yang penulis dapatkan dari Bapak dan Ibu.

7. Semua staff administrasi, Pak Iskandar, Pak Aswan, Ibu Titi, Pak Anto Kak Ari dan Kak Devi. Terima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan.

8. Kepada orangtua yang telah menjadi sampel penelitian penulis. Kalian semua adalah orangtua yang hebat. Semoga diberikan kesabaran dan kekuatan menjalani hari – hari dalam memperjuangkan usaha perbaikan perilaku kepada anak – anak istimewa yang telah dianugerahkan kepada kalian.

9. Sahabat – sahabat penulis yang manis – manis Anita Zahra, Yunita Zahra, Cahyanti dan Maeri. Penulis tidak akan melupakan setiap waktu yang kita lalui sama – sama selama kuliah. Semoga tetap semangat, sukses selalu dan kita tetap bisa menjaga persahabatan kita. Penulis merasa bersyukur dan bangga punya sahabat seperti kalian.

10. Spesial buat Alfian Teguh Rianto yang selalu ada buat penulis. Buat canda tawa dan suka duka yang kita lalui bersama yang membuat hari – hari penulis lebih berwarna, selalu mendukung penulis dan membuat penulis semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita tetap bisa 10. Spesial buat Alfian Teguh Rianto yang selalu ada buat penulis. Buat canda tawa dan suka duka yang kita lalui bersama yang membuat hari – hari penulis lebih berwarna, selalu mendukung penulis dan membuat penulis semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita tetap bisa

11. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kak Ade dan Kak Wawa yang selalu siap mendengar keluh kesah penulis, selalu siap menjadi tempat curhat penulis dan memberikan saran setiap kali penulis meminta pendapat.

12. Terima kasih buat sahabat penulis mulai dari SMP hingga sekarang, Nurul Qosimah semoga persahabatan kita akan selalu terjaga dan insyaallah Allah SWT akan memberikan seseorang yang terbaik. Terima kasih juga buat Fida yang sudah seperti adik penulis. Semoga tetap semangat menjalani perkuliahan.

13. Buat teman – teman seperjuangan seminar dan skripsi. Ari Sinta, Kak Maya, Cici, Era dan teman – teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga tetap semangat. Insyaallah Allah SWT akan memberikan kemudahan – kemudahan kepada kita semua.

14. Kepada teman – teman angkatan 2004. Semoga tetap semangat dan sukses dalam menjalani hidup.

15. Terima kasih juga penulis ucapkan atas bantuan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan saru persatu hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas kebaikannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya kepada Allah SWT jua penulis berserah diri. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Februari 2009 Penulis

Misbah Usmar Lubis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap anak tentunya akan melalui masa tumbuh kembang dalam rentang waktu kehidupannya. Seorang anak dikatakan tumbuh dapat dilihat dari perubahan fisik yang dapat diukur secara kuantitas dari masa kemasa dan dari satu peringkat keperingkat berikutnya dan perkembangan dapat dilihat dari perubahan secara kualitas dengan membandingkan sifat terdahulu dengan sifat yang sudah terbentuk (Papalia, 2001).

Proses pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui setiap anak tentunya tidak sama dan memiliki keunikan masing-masing. Permasalahan yang dihadapi juga berbeda-beda dari satu anak ke anak yang lain. Permasalahan yang muncul dapat berupa gangguan pada tahap perkembangan fisik, gangguan bahasa, gangguan emosi maupun gangguan sensori motorik.

Melihat anak-anak balita tumbuh dan berkembang merupakan suatu hal yang menarik bagi orangtua. Namun jika dalam masa perkembangannya anak mengalami suatu gangguan, maka orangtua akan menjadi sangat sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak-kanak yang menjadi ketakutan orangtua saat ini adalah autisme. Autisme bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Sebagian dari anak autis gejalanya sudah ada sejak lahir namun seringkali luput dari perhatian orangtua (Sutadi, 1997).

Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004) autisme yaitu, suatu gangguan yang dicirikan dengan tiga ciri utama. Pertama, pengasingan yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Sering kali aktivitas anak terlihat sederhana misalnya duduk di lantai dan berguling-guling maju mundur dalam waktu yang lama, memutar-mutar tali sepatunya atau berlari-lari di dalam ruangan. Kadang- kadang perilaku anak autis terlihat seperti suatu ritual. Anak autis juga memiliki suatu kebutuhan akan kesamaan lingkungan misalnya, anak harus memakan makanan yang sama dengan piring yang sama. Ketiga, mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, misalnya ketika seorang anak autis sedang menyiram toilet, ia tiba- tiba berkata, ”humburgernya di kulkas”. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan membalikkan kata gantinya sendiri, biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata ganti ”kamu”.

Safaria (2005) mengatakan bahwa autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotip, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsessif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Salah satu kondisi yang sering dijumpai sebagai penyebab munculnya autisme ini antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, seperti timbal, merkuri, kadmium, spasma infantil, rubella kongenital, Salah satu kondisi yang sering dijumpai sebagai penyebab munculnya autisme ini antara lain karena adanya keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan, seperti timbal, merkuri, kadmium, spasma infantil, rubella kongenital,

Saat ini kasus autisme pada anak (autisme infantile) semakin banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran dikalangan masyarakat terutama orangtua (Danuatmaja, 2003). Dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir ini jumlah penyandang autisme semakin meningkat di seluruh dunia. Perkiraan jumlah kelahiran di Indonesia tahun 1997 yaitu 4,6 juta per tahun. Jumlah penyandang autisme akan bertambah per tahunnya sebanyak 2,15% dari 4,6 juta atau 9600 anak. Perbandingan anak laki-laki dan wanita penyandang autisme adalah empat banding satu (Sutadi, 1997). Di Indonesia, diperkirakan lebih dari 400.000 anak mengalami autisme. Tahun 1987 di dunia, prevalensi anak autis diperkirakan 1 berbanding 5.000 kelahiran. Sepuluh tahun kemudian tahun 1997, angka itu berubah menjadi 1 anak mengalami autisme per 500 kelahiran dan tahun 2000, naik jadi 1:150 dan pada tahun 2001 perbandingan menjadi 1 berbanding 100 kelahiran (”Kasus Autisme”, 2008).

Menurut Budhiman, seorang psikiater anak dan ketua Yayasan Autisme Indonesia (dalam Sihombing, 1999), bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme di Indonesia diperkirakan satu per 5000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak. Bukti lain yang menunjukkan peningkatan jumlah anak penyandang autisme di Indonesia berasal dari salah satu tempat terapi untuk anak autisme yang dikelola Yayasan Balita Mandiri. Sejak yayasan ini dibuka dengan lima anak autis, dalam waktu empat bulan jumlahnya meningkat menjadi 35 anak. Dilihat dari kenyataan di atas, maka diperkirakan penyandang autisme di Indonesia akan terus meningkat sehingga mengilhami berdirinya berbagai yayasan yang memusatkan pelayanannya pada masalah autisme ini. Di samping itu, media cetak juga sudah mulai banyak membahas tentang autisme, baik di koran mauoun majalah-majalah (Sihombang, 1999).

Banyaknya pemberitaan tentang kelainan dan gangguan yang dialami anak pada masa pertumbuhan dan perkembangannya sangat menarik perhatian masyarakat khususnya orangtua. Bagi orangtua, anak adalah karunia. Kehadirannya disambut dengan sukacita dan penuh harapan. Ketika Tuhan menitipkan anak dengan kondisi autisme sebagai karunia-Nya, perasaan orangtua menjadi galau, antara penerimaan dan penolakan dan antara rasa syukur dan amarah. Bahkan segala bentuk perasaan sedih, bingung, putus asa, pasrah berganti-ganti dengan rasa kaget, senang dan suka cita (Puspita dalam Marijani, 2003).

Safaria (2005) mengatakan bahwa berbagai reaksi orangtua muncul ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan autisme dan setiap orangtua Safaria (2005) mengatakan bahwa berbagai reaksi orangtua muncul ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan autisme dan setiap orangtua

Berbagai reaksi ini muncul disebabkan karena sewaktu anak masih berusia kurang lebih 1 sampai 1,5 tahun, anak terlihat lucu dan menyenangkan namun seiring dengan bertambahnya usia anak, mulai terlihat berbagai macam keanehan misalnya jika diajak berkomunikasi anak seperti tidak menanggapi, acuh, bahkan matanya menghindar jika ditatap dan derai tawanya hampir tidak terdengar seperti anak-anak lainnya (Safaria, 2005).

Kebanyakan orangtua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika mengetahui diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengetahui fakta yang objektif dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan bahwa anaknya adalah penyandang autisme. Pada mulanya orangtua berpikir bahwa anaknya hanya mengalami keterlambatan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan. Orangtua baru sadar ketika mulai terlihat Kebanyakan orangtua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika mengetahui diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengetahui fakta yang objektif dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan bahwa anaknya adalah penyandang autisme. Pada mulanya orangtua berpikir bahwa anaknya hanya mengalami keterlambatan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan. Orangtua baru sadar ketika mulai terlihat

Orangtua yang memiliki anak penyandang autisme segala sesuatunya pasti tampak berbeda dari orangtua lainnya. Bagi orangtua yang memiliki anak autis, inilah periode awal kehidupan anaknya yang merupakan masa-masa tersulit dan paling membebani. Pada periode ini sering kali orangtua berhadapan dengan begitu banyak permasalahan. Tidak saja berasal dari anaknya tetapi bercampur dengan masalah-masalah lainnya yang dapat membebani orangtua, termasuk permasalahan yang muncul dari reaksi masyarakat (Safaria, 2005).

Banyak masyarakat luas yang belum mengetahui tentang autisme. Banyak orang beranggapan bahwa anak autis adalah anak-anak yang aneh dan ada juga yang beranggapan bahwa autisme adalah penyakit menular dan sebahagian masyarakat bahkan tidak menerima dan mengakui keberadaan anak-anak autis ini. Penolakan terhadap anak-anak autis ini terlihat ketika mereka sulit diterima untuk belajar di sekolah-sekolah umum sebagaimana anak-anak lainnya. Hal ini dapat menjadi beban bagi sebahagian orangtua anak autis. Ada perasaan malu dan juga perasaan untuk menjauh dari kehidupan sosialnya (Marijani, 2003).

Menurut Hopes dan Harris (dalam Berkell, 1992), orangtua dengan anak autis akan mengalami stress yang lebih besar dari pada orangtua dengan anak Menurut Hopes dan Harris (dalam Berkell, 1992), orangtua dengan anak autis akan mengalami stress yang lebih besar dari pada orangtua dengan anak

Puspita (dalam Marijani, 2003) mengatakan bahwa penerimaan orangtua pada anak autis secara ikhlas dan apa adanya sangat membantu proses penanganan menuju kehidupan yang lebih baik. Adanya penerimaan dari orangtua dapat membuat orangtua mampu mengendalikan reaksi-reaksi emosinya. Mash & Wolfe (2005) mengatakan bahwa orangtua harus mencoba memahami dan menerima kenyataan hasil diagnosa anak dan perilaku anak yang selalu berbeda dengan anak lainnya agar orangtua mampu bereaksi untuk menyesuaikan diri dengan berbagai permasalahan yang muncul baik dari anak itu sendiri, dari diri sendiri maupun permasalahan yang timbul dari lingkungan sekitarnya. Stress, kecemasan dan rasa tidak bahagia sering mengganggu kehidupan seseorang. Agar stress tersebut dapat ditangani secara efektif, perlu dilakukan penyesuaian diri.

Calhoun & Acocella (dalam Sobur, 2003) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah memenuhi tuntutan dari dalam diri individu itu sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada individu itu sendiri, seperti perilaku individu, tubuh individu, pemikiran dan perasaan individu. Penyesuaian diri juga dipengaruhi oleh tuntutan dari orang lain. Pengaruh orang lain juga cukup besar pada individu sebagaimana individu juga berpengaruh terhadap orang lain. Begitu juga dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada sangat berpengaruh terhadap penyesuaian dirinya.

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik- konflik serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.

Schneiders (1964) juga mengatakan bahwa penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga. Salah satunya yaitu hubungan orangtua dengan anak. Hubungan orangtua dan anak dapat mempengaruhi penyesuaian anak maupun orangtua. Penerimaan orangtua akan anak dapat mempengaruhi penyesuaian diri orangtua itu sendiri. Begitu juga dengan anak. Penerimaan orangtua akan membuat anak merasa diinginkan dan membentuk perasaan yang aman. Penerimaan orangtua dapat membuat anak mampu mengembangkan rasa percaya diri, reaksi emosional yang positif dan kepatuhan.

Kehidupan Orangtua yang memiliki salah satu anak yang mengalami autisme merupakan suatu cobaan yang menjadi pekerjaan berat sehari-harinya. Tidak mudah bagi orangtua untuk dapat hidup secara tenang dan damai ketika mengetahui anaknya mengalami salah satu gangguan perkembangan yang cukup berat seperti autisme. Berbagai macam reaksi emosi orangtua muncul dan kebanyakan reaksi yang muncul tersebut adalah reaksi emosi yang negatif. Gejolak emosi yang negatif ini dapat membawa dampak yang negatif pula, baik dari segi fisik mapupun psikis sehingga diharapkan orangtua mampu untuk menyesuaiakan dirinya dengan kondisi anaknya yang mengalami autisme (Safaria, 2004).

Umumnya orangtua yang memiliki anak autis akan mengalami stress. Hal ini terjadi baik pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga menunjukkan penampakan yang berbeda dari stress yang mereka alami yang berhubungan dengan masalah-masalah anak autisnya. Ibu merupakan tokoh yang lebih rentan terhadap masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan ibu berperan langsung dalam kelahiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan depresi yangg berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih mudah terganggu secara emosional. Ibu juga merasa stress karena perilaku yang ditampilkan oleh anaknya seperti, tantrum, hiperaktif, kesulitan bicara, perilaku yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan berteman. Berbeda dengan ayah yang sebenarnya juga mengalami stress yang sama tetapi dampak stressnya tidak seberat yang dialami oleh ibu. Ayah cenderung lebih stress karena stress yang dialami oleh ibu. Hal ini dikarenakan oleh peran ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari (Cohen & Volkmar, 1997)

Orangtua harus mampu menyesuaikan dirinya agar mampu mengupayakan usaha yang tidak mengenal menyerah untuk penyembuhan anak autisnya. Orangtua juga harus mampu mengontrol reaksi emosinya terhadap perilaku anak terutama perilaku yang dapat membahayakan dirinya, misalnya menyakiti dirinya sendiri. Disamping itu, orangtua juga sering mengalami pengasingan dari pergaulan sosial karena terkadang orang lain tidak mengetahui konteks perilaku anak yang mengganggu (Mash & Wolfe, 2005).

Dari berbagai macam reaksi orangtua yang muncul ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami autisme dan diikuti dengan permasalahan- permasalahan yang dialami orangtua yang memiliki anak autis yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis, baik itu penyesuaian dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungan luarnya

B. Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis?.

2. Bagaimanakah penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis dilihat dari karakteristik – karakteristik penyesuaian diri yang baik?.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk melihat gambaran penyesuaian diri pada orangtua yang memiliki anak autis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya penelitian-penelitian dalam ilmu Psikologi khususnya penelitian dalam Psikologi Perkembangan mengenai penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis.

2. Manfaat Praktis

a. Orangtua yang memiliki anak autis dapat mengetahui bagaimana penyesuaian dirinya sehingga dapat mengupayakan penanganan terhadap penyembuhan anak autis dengan lebih baik.

b. Memberikan pemahaman kepada para guru atau pendidik anak autis tentang bagaimana penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis sehingga dapat bekerja bersama-sama dengan orangtua dalam membantu penyembuhan anak autis.

D. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan suatu sistematika penulisan ilmiah yang teratur sehingga memudahkan pembaca untuk membaca dan memahaminya. Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan

Bab ini menguraikan penjelasan mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Landasan teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang penyesuaian diri, autisme dan penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis.

Bab III: Metode penelitian Bab ini menguraikan penjelasan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan Bab III: Metode penelitian Bab ini menguraikan penjelasan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi, sampel dan

Bab IV : Analisa data dan interpretasi Bab ini terdiri dari analisa data dan interpretasi yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian.

Bab V : Kesimpulan, diskusi dan saran Membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI

A. PENYESUAIAN DIRI

1. Definisi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment atau personal adjustment. Menurut Schneiders (1964) definisi penyesuaian diri dapat ditinjau dari 3 sudut pandang, yaitu penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity) dan penyesuaian diri sebagai suatu usaha penguasaan (mastery). Pada mulanya penyesuaian diri sama dengan adaptasi (adaptation). Penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian dalam arti fisik, fisiologis atau biologis. Penyesuaian diri sebagai konformitas terhadap norma memaknai penyesuaian diri individu sebagai usaha konformitas yang menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk selalu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial, maupun emosional. Penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik , kesulitan dan frustasi tidak terjadi.

Schneiders (1964) menyimpulkan bahwa definisi penyesuaian diri adalah sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas Schneiders (1964) menyimpulkan bahwa definisi penyesuaian diri adalah sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik-konflik serta untuk menghasilkan kualitas

Hollander (dalam Farisy, 2007) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses mempelajari tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi situasi-situasi baru. Penyesuaian diri terjadi ketika seseorang menghadapi lingkungan yang baru dimana diperlukan adanya respon dari individu.

Menurut Lazarus (dalam Sundari, 2005), penyesuaian diri termasuk reaksi seseorang karena adanya tuntutan yang dibebankan pada dirinya. Menurut Thorndike dan Hogen (dalam Sundari, 2005), penyesuaian diri merupakan kemampuan individu untuk mendapatkan ketentraman secara internal dan hubungannya dengan dunia sekitarnya .

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa penyesuaian diri adalah kemampuan individu untuk bereaksi terhadap adanya tuntutan yang dibebankan kepadanya, mampu mempelajari tindakan atau sikap yang baru untuk menghadapi situasi baru yang memerlukan adanya respon-respon mental, mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik serta menghasilkan kualitas keselarasan dari dalam diri individu dengan tuntutan lingkungan sehingga individu mendapatkan ketentraman secara internal dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya.

Menurut Lazarus (1969), ada dua jenis tuntutan yang membutuhkan penyesuaian diri, yaitu : Menurut Lazarus (1969), ada dua jenis tuntutan yang membutuhkan penyesuaian diri, yaitu :

b. Tuntutan internal, yang dibagi menjadi : 1). Kebutuhan jaringan tubuh seperti makanan, minuman dan tidur. 2). Motif sosial seperti keinginan untuk ditemani, dihormati dan disayang

oleh orang lain.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (1964), faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu dapat dikatakan sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dan mengatur perkembangan kepribadian. Faktor-faktor ini menentukan dalam arti mempengaruhi efek yang menentukan proses penyesuaian diri. Faktor-faktor ini dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Keadaan fisik dan faktor keturunan. Konstitusi fisik meliputi sistem parsyarafan, kelenjar, otot-otot serta kesehatan dan penyakit.

Tidak dapat dipisahkan bahwa konstitusi fisik dan faktor keturunan dapat menentukan penyesuaian diri individu. Faktor keturunan merupakan proses yang terjadi secara alami yang mempengaruhi konstitusi fisik itu sendiri yang meliputi temperamen dan sifat.

Sistem tubuh adalah suatu kondisi yang mempengaruhi penyesuaian diri individu. Meliputi sistem persyarafan, kelenjar dan sistem otot. Sistem persyarafan adalah sistem tubuh yang memiliki kaitan langsung dengan penyesuaian diri. Hal ini dikarenakan sistem persyarafan adalah dasar dari proses mental. Gangguan pada sistem persyarafan dan kelenjar dapat mempengaruhi penyesuaian diri. Dengan kata lain, sistem tubuh yang berfungsi dengan baik adalah suatu kondisi yang dapat menentukan penyesuaian diri individu. Penyesuaian diri lebih mudah dilakukan ketika kondisi tubuh baik daripada ketika dalam keadaan sakit dan kondisi tubuh lemah.

b. Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial dan emosi dan moral. Pola-pola penyesuaian diri individu selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya. Aspek- aspek yang berhubungan dengan perkembangan dan kematangan misalnya intelektual, sosial, moral dan emosi.

c. Faktor psikologis, meliputi pengalaman, pembelajaran, latihan dan pendidikan, frustasi dan konflik, dan self determination.

Pengalaman adalah suatu konsep yang luas yang mempengaruhi penyesuaian diri. Ada beberapa pengalaman yang bersifat bermanfaat dan ada juga yang bersifat traumatik. Pengalaman yang bermanfaat dapat memberi pengaruh positif pada penyesuaian diri individu.

Faktor pembelajaran merupakan dasar yang paling penting pada penyesuaian diri. Jika dibandingkan dengan faktor bawaan, faktor pembelajaran memiliki pengaruh yang lebih jelas terhadap penyesuaian diri. Penyesuaian diri juga dapat diperoleh dari hasil latihan dan pendidikan. Pelatihan lebih kepada mendapatkan kebiasaan atau keterampilan khusus yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri yang efektif. Pendidikan lebih kepada mendapatkan pengetahuan yang lebih luas yang menyediakan nilai-nilai, prinsip, sikap yang berkontribusi terhadap kehidupan yang sehat.

Setiap individu memiliki pola-pola yang berbeda dalam kemampuannya untuk menyesuaikan diri. Individu mampu menentukan sendiri pola-pola penyesuaian dirinya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang dimilikinya.

d. Keadaan lingkungan seperti rumah dan keluarga, hubungan antara orangtua dan anak, hubungan dengan masyarakat.

Faktor yang paling penting dalam menentukan penyesuaian diri adalah rumah dan keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga adalah kesatuan sosial dimana individu adalah bagian integral didalamnya. Ada beberapa karakteristik kehidupan keluarga yang mempengaruhi penyesuaian diri misalnya, kumpulan keluarga, peran sosial dalam keluarga, karakteristik dan keterpaduan anggota keluarga.

Hubungan orangtua dan anak dapat mempengaruhi penyesuaian anak maupun orangtua. Penerimaan orangtua akan anak dapat Hubungan orangtua dan anak dapat mempengaruhi penyesuaian anak maupun orangtua. Penerimaan orangtua akan anak dapat

Penyesuaian diri individu dapat berbeda-beda sesuai dengan keanggotaannya dalam masyarakat. Termasuk didalamnya tetangga dan orang lain disekitar individu itu sendiri.

e. Faktor kebudayaan, adat istiadat dan agama. Individu dapat mencerminkan ciri pikiran dan perilaku mereka sesuai dengan konteks budaya dan adat istiadat yang mereka miliki. Agama tidak dapat dipisahkan dari bagian budaya karena budaya memiliki hubungan dengan agama dan penyesuaian diri.

Menurut Kristiyani (2001) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah keluarga, keadaan lingkungan, rasa aman, keadaan fisik, jenis kelamin, pendidikan, tingkat religius dan kebudayaan, keadaan psikologis, kebiasaan dan keterampilan serta komunikasi.

Dari uraian diatas ada beberapa faktor yang menentukan penyesuaian diri individu, antara lain :

1) Keadaan lingkungan. Seperti : rumah, keluarga, hubungan antara orangtua dan anak, hubungan dengan masyarakat.

2) Keadaan fisik dan faktor keturunan. Seperti : sistem parsyarafan, kelenjar, otot-otot, jenis kelamin, kesehatan dan penyakit.

3) Faktor psikologis. Seperti : pengalaman, pembelajaran, latihan dan pendidikan, frustasi dan konflik, self determination dan rasa aman

4) Perkembangan dan kematangan. Seperti : kematangan intelektual, sosial, emosi dan moral. intelektual, sosial, emosi, kebiasaan dan keterampilan dan komunikasi.

5) Faktor kebudayaan. Seperti : adat istiadat.

6) Keyakinan religius (keagamaan).

3. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik

Menurut Schneiders (1964), penyesuaian diri yang baik adalah individu yang dapat memberi respon yang matang, bermanfaat, efisien dan memuaskan. Penyesuaian diri yang normal dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :

a. Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of excessive emotionality)

Penyesuaian diri yang normal dapat ditandai dengan tidak adanya emosi yang relatif berlebihan atau tidak terdapat gangguan emosi yang merusak. Individu yang mampu menanggapi situasi atau masalah yang dihadapinya dengan cara yang normal akan merasa tenang dan memiliki kontrol emosi yang baik. Emosinya akan tetap tenang dan tidak panik sehingga dapat menentukan penyelesaian masalah yang dibebankan kepadanya dengan menggunakan rasio dan emosi yang terkendali.

b. Tidak terdapat mekanisme psikologis (absence of psychological mechanisms) kejujuran dan keterusterangan terhadap adanya masalah atau konflik yang dihadapi individu akan lebih terlihat sebagai reaksi yang normal dari pada suatu reaksi yang diikuti dengan mekanisme-mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi atau kompensasi.

c. Tidak terdapat perasaan frustrasi pribadi (absence of the sense of personal frustration) Adanya perasaan frustasi akan membuat individu sulit atau bahkan tidak mungkin bereaksi secara normal terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya. Individu harus mampu menghadapi masalah secara wajar, tidak menjadi cemas dan frustasi.

d. Kemampuan untuk belajar (ability to learn) Mampu mempelajari pengetahuan yang mendukung apa yang dihadapi sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.

e. Pemanfaatkan pengalaman (utilization of past experience) Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman marupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain e. Pemanfaatkan pengalaman (utilization of past experience) Adanya kemampuan individu untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman marupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yang normal. Dalam menghadapi masalah, individu harus mampu membandingkan pengalaman diri sendiri dengan pengalaman orang lain

f. Sikap yang realistis dan objektif (realistic and objective attitudes) Karakteristik ini berhubungan erat dengan orientasi seseorang terhadap realitas yang dihadapinya. Individu mampu mengatasi masalah dengan segera, apa adanya dan tidak ditunda-tunda.

g. Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction) Pertimbangan rasional tidak dapat berjalan dengan baik apabila disertai dengan emosi yang berlebihan sehingga individu tidak dapat mengarahkan dirinya. Individu yang tidak mampu untuk mempertimbangkan masalah secara rasional akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian dirinya. Individu mampu menghadapi masalah dengan pertimbangan yang rasional dan mengarah langsung kepada masalah dengan segala akibatnya.

Berdasarkan baik dan buruknya penyesuaian diri, ada dua jenis penyesuaian diri menurut Lazarus (1969), yaitu :

a. Peyesuaian diri buruk (poor adjustment) dimana seseorang menerima kenyataan secara pasif dan tidak melakukan usaha apapun untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

b. Penyesuaian diri yang baik (good adjustment) dimana individu dapat menerima keterbatasan-keterbatasannya yang tidak dapat diubah namun b. Penyesuaian diri yang baik (good adjustment) dimana individu dapat menerima keterbatasan-keterbatasannya yang tidak dapat diubah namun

B. AUTISME

1. Definisi Autisme

Menurut Kanner (dalam Wenar, 2004), autisme adalah salah satu gangguan perkembangan pervasif yang dicirikan oleh tiga ciri utama, yaitu pengasingan yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis akan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku untuk perilaku anak dan lingkungannya. Dan ketiga yaitu mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan dalam menerjemahkan kalimat secara harafiah dan pembalikan kata gantinya sendiri, biasanya anak memanggil dirinya sendiri dengan kata ”kamu”.

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000), autisme adalah keabnormalan yang jelas dan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan keterbatasan yang jelas dalam aktivitas dan ketertarikan. Manifestasi dari gangguan ini berganti-ganti tergantung pada tingkat perkembangan dan usia kronologis dari individu.

Safaria (2005) mengatakan autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas Safaria (2005) mengatakan autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak-anak yang ditandai dengan gangguan interaksi sosial seperti pengasingan diri dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain, gangguan komunikasi dan bahasa seperti ecolalia, penggunaan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi, mutism, pembalikan kalimat atau kata, gangguan ketertarikan dan aktivitas seperti adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipe serta keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan dan kesamaan di dalam lingkungannya.

2. Gejala Autisme

Menurut Acocella (1996) ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autisme dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :

a. Isolasi sosial Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloneness. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada.

b. Kelemahan kognitif Sebahagian besar (± 70 %) anak autis mengalami retardasi mental (IQ <

70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak

c. Kekurangan dalam bahasa Lebih dari setengah anak autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV atau potongan kata yang terdengar olehnya tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sebagai orang kedua ”kamu” atau orang ketiga ”dia”. Intinya anak autime tidak dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal.

d. Tingkah laku stereotip Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus- menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik- narik rambut dan mengggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya, pada roda d. Tingkah laku stereotip Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus- menerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan oleh adanya kerusakan fisik. Misalnya karena adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik- narik rambut dan mengggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga tertarik pada hanya bagian-bagian tertentu dari sebuah objek. Misalnya, pada roda

3. Penyebab Autisme

Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey area di bidang kedokteran yang terus berkembang dan belum diketahui penyebabnya secara pasti (Marijani, 2003). Menurut Supratiknya (1995), autisme disebabkan faktor bawaan tertentu atau pengalaman yang kurang mendukung. Misalnya dibesarkan oleh ibu yang tidak responsif atau pernah mengalami trauma dengan lingkungan sosialnya.

Autisme juga disebabkan oleh abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan melahirkan yang mencakup rubella, sifilis, fenilketonuria, tuberus dan sklerosis. Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital seperti Cytomegalovirus dan rubella. Faktor pasca natal yang berperan mencakup infantile spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria, meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001).

Menurut Acocella (1996), ada tiga perspektif yang dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab autisme, yaitu :

a. Perspektif Psikodinamika Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak a. Perspektif Psikodinamika Bettelheim (1967) mengatakan bahwa penyebab dari autisme karena adanya penolakan orangtua terhadap anaknya. Anak menolak orangtuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Anak melihat bahwa tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orangtua yang tidak

b. Perspektif Biologis

1) Pendekatan biologis Folstein & Butter (1977) mengadakan penelitian di Great Britain, antara 11 pasang monozygotic (MZ) kembar dan 10 pasang dyzygotik (DZ) kembar, ditemukan satu pasang yang merupakan gen autisme. Pada kelompok MZ, 4 dari 11 diantaranya adalah gen autisme. Sedangkan pada DZ, tidak ada. Walaupun demikian, pada MZ kembar tidak didioagnosa sebagai autisme, hanya akan mengalami gangguan bahasa atau kognisi.

2) Pendekatan kromosom Kromosom yang dapat menyebabkan autisme yaitu sindrom fragile

X dan kromosom XXY, namun kromosom XXY ini tidak menunjukkan hubungan yang sekuat sindrom fragile X.

3) Pendekatan biokimia Anak-anak autis memiliki kadar serotonin dan dopamine yang sangat tinggi. Obat-obat yang dapat membantu menurunkan kadar dopamine yaitu seperti phenotiazines yang dapat menurunkan gejala-gejala autisme.

4) Gangguan bawaan dan komplikasi Ada 2 penyebab autisme yaitu, virus herpes dan rubella. Autisme yang berhubungan dengan komplikasi pada saat melahirkan berhubungan dengan faktor genetik.

5) Pendekatan neurological

a) Penyebab autisme karena adanya kerusakan otak. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa gejala berikut :

b) Karakteristik anak autis seperti gangguan perkembangan bahasa, retardasi mental, tingkah laku motorik yang aneh, memiliki respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap stimulus sensori, menentang stimulus auditory dan visual) berhubungan dengan fungsi sistem saraf pusat.

c) Sistem saraf menunjukkan abnormalitas seperti, gangguan otot, alat koordinasi, mengeluarkan air liur dan hiperaktif.

d) Memiliki electroencephalogram (EEG) yang abnormal. Penelitian ERP menunjukkan tidak adanya respon memperhatikan objek atau stimulus bahasa.

e) Adanya keabnormalan pada bagian Cerebellum dan sistem lymbik otak yang sangat berpengaruh terhadap kognisi, memori, emosi dan tingkah laku. Sistem lymbicnya lebih kecil dan bergumpal dibeberapa area, bagian dendrit saraf anak autisme lebih pendek dan kurang lengkap.

c. Perspektif Kognitif

1) Ornitz, dkk (1974) mengatakan bahwa gangguan pada anak autis disebabkan karena adanya masalah dalam mengatur dan menyatakan input terhadap alat perasa. Contohnya, memberi respon yang rendah atau bahkan sangat tinggi terhadap suara.

2) M. Rutter (1971) memfokuskan pada sensori persepsi, yaitu dimana anak autisme tidak memberi respon terhadap suara. Anak autis juga mengalami gangguan bahasa seperti aphasia yaitu kehilangan kemampuan memakai atau memahami kata-kata yang disebabkan karena kerusakan otak. Tetapi dalam perspektif ini menyatakan bahwa anak autis tidak memberi respon disebabkan adanya masalah perseptual.

3) Loovas, dkk (1979) mengatakan bahwa anak autis sangat overselektif dalam memperhatikan sesuatu. Anak autis hanya dapat memproses dan merespon satu stimulus dalam satu waktu, hal ini disebabkan karena adanya gangguan perceptual.

4) Anak autis tidak mampu mengolah sesuatu dalam pikiran. Misalnya, tidak dapat memperkirakan dan memahami tingkah laku yang mendasari suatu objek.

4. Kriteria Diagnostik Autisme

Menurut DSM IV-TR (APA, 2000) kriteria diagnostik gangguan autisme adalah :

a. Sejumlah enam hal atau lebih dari (1), (2) dan (3), paling sedikit dua dari (1) dan satu masing-masing dari (2) dan (3) :

1) Secara kualitatif terdapat hendaya dalam interaksi sosial sebagai manifestasi paling sedikit dua dari yang berikut :

a) Hendaya didalam perilaku non verbal seperti pandangan mata ke mata, ekspresi wajah, sikap tubuh dan gerak terhadap rutinitas dalam interaksi sosial.

b) Kegagalan dalam membentuk hubungan pertemanan sesuai tingkat perkembangannya.

c) Kurang kespontanan dalam membagi kesenangan, daya pikat atau pencapaian akan orang lain, seperti kurang memperlihatkan, mengatakan atau menunjukkan objek yang menarik.

d) Kurang sosialisasi atau emosi yang labil.

2) Secara kualitatif terdapat hendaya dalam komunikasi sebagai manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut :

a) Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak menyertai usaha mengimbangi cara komunikasi alternatif seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru) a) Keterlambatan atau berkurangnya perkembangan berbicara (tidak menyertai usaha mengimbangi cara komunikasi alternatif seperti gerak isyarat atau gerak meniru-niru)

c) Mempergunakan kata berulang kali dan stereotif atau kata-kata aneh.

d) Kurang memvariasikan gerakan spontan yang seolah-olah atau pura-pura bermain sesuai tingkat perkembangan.

3) Tingkah laku berulang dan terbatas, tertarik dan aktif sebagai manifestasi paling sedikit satu dari yang berikut :

a) Keasyikan yang meliputi satu atau lebih stereotif atau kelainan dalam intensitas maupun focus ketertarikan akan sesuatu yang terbatas.

b) Ketaatan terhadap hal-hal tertentu tampak kaku, rutinitas atau ritual pun tidak fungsional.

c) Gerakan stereotif dan berulang misalnya, memukul, memutar arah jari dan tangannya serta meruwetkan gerakan seluruh tubuhnya.

d) Keasyikan terhadap bagian-bagian objek yang stereotif.

b. Keterlambatan atau kelainan fungsi paling sedikit satu dari yang berikut ini, dengan serangan sebelum sampai usia 3 tahun :

1) Interaksi sosial

2) Bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi sosial

3) Bermain simbol atau berkhayal.

c. Gangguan ini tidak disebabkan oleh gangguan Rett atau gangguan disintegrasi masa kanak.

C. Penyesuaian Diri Orangtua yang Memiliki Anak autis

Menjadi orangtua adalah suatu periode kehidupan yang akan dilalui setiap individu. Individu yang sudah menjadi orangtua akan mengalami suatu perubahan dalam kehidupannya sehingga ia perlu menyesuaikan diri. Orangtua yang memiliki anak normal saja akan mengalami masalah penyesuaian diri dengan kehadiran anak dalam keluarga begitu juga orangtua yang mempunyai anak yang mengalami gangguan perkembangan seperti autisme.