Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan 2009 Berdasarkan Karakteristik Produksi Dan Fisiologi Pada Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.)

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut
Plantae,

Divisio

(Steenis, 1984), tanaman karet termasuk dalam Kin gdom :
:

Spermatophyta,

Subdivisio

:

Angiospermae,

Class

:


Dicotyledoneae, Ordo : Euphorbiales, Family : Euphorbiaceae, Genus : Hevea,
Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg.

Sistem perakaran kompak/padat, akar tunggangnya dapat menembus tanah
hingga kedalaman 1-2 m, sedangkan akar lateralnya dapat menyebar sejauh 10 m.
Batangnya bulat silindris, kulit kayunya halus rata berwarna pucat hingga
kecokelatan dan sedikit bergabus (Syamsulbahri, 1996).
Daun karet terdiri atas tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang
tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun 3-10 cm dan pada
ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terapat pada sehelai
daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing,
serta tepinya rata dan gundul (Sianturi, 2001).
Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai
4.000 mm/tahun, dengan hari hujan berkisar antara 100 - 150 HH/tahun. Namun
demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang
(Anwar, 2001).
Tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian
200 m – 400 m dari permukaan laut (dpl). Pada ketinggian > 400 m dpl dan
suhu harian lebih dari 30oC, akan mengakibatkan tanaman karet tidak bisa

tumbuh dengan baik (Damanik, dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis, daerah tropis yang ditanami
karet yakni terletak pada daerah yang cocok adalah pada zone antara 150 LS dan
150 LU, dengan suhu harian 25 – 30ºC (Damanik, 2010).
Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis yang menghendaki curah
hujan 2.000 mm sampai 2.500 mm per tahun. Tanaman karet dapat tumbuh
dengan baik pada ketinggian antara 1m sampai 600 m diatas permukaan laut.
Suhu yang dibutuhkan untuk tanaman karet 25° C sampai 35 ° C dengan suhu
optimal rata-rata 28° C. Dalam sehari tanaman karet membutuhkan intensitas
matahari yang cukup antara 5 sampai 7 jam (Dinas Pertanian, 2008).
Tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian
200 m – 400 m dari permukaan laut (dpl). Pada ketinggian > 400 m dpl dan suhu
harian lebih dari 30ºC, akan mengakibatkan tanaman karet tidak bisa tumbuh
dengan baik (Damanik, 2010).
Tanah

Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih
mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini
disebabkan perlakuan kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman
karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan
sifat fisiknya.Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman
karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah
vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur,
sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara

Universitas Sumatera Utara

umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya
cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik.
Reaksi tanah berkisar antara pH 3,0 ‐ pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan
> pH 8,0 (Anwar, 2001).
Pemuliaan Tanaman Karet
Program pemuliaan dan seleksi pada tanaman karet bertujuan untuk
mendapatkan kombinasi genetik yang baik, sehingga diperoleh klon dengan
potensi produksi dan sifat sekunder lainnya yang lebih baik dari pada klon yang
sudah ada. Usaha ini harus dilakukan secara berkesinambungan dengan tahapantahapan pengujian pada tanaman karet. Selain itu, tindakan yang juga perlu

dilakukan adalah evaluasi dari beberapa pengujian, sehingga dari beberapa hasil
pengujian tersebut akan diperoleh klon anjuran yang lebih baik. Evaluasi juga
penting untuk melihat perkembangan terakhir dari klon-klon yang sudah
dianjurkan (Lasminingsih dan situmorang, 1990).
Kemajuan pemuliaan (breeding progress) sangat tergantung kepada
tersedianya sumber keragaman dan potensi genetik. Material populasi dasar yang
ada sekarang berasal dari sumber keragaman yang dibawa oleh wickham tahun
1876 dan hasil ekspedisi IRRDB ke brasil pada tahun 1981. Potensi genetik ini
telah dimanfaatkan para pemuliaan tanaman karet secara optimal, untuk
menghsilkan klon klon unggul baru yang lebih produktif serta adaptif terhadap
lingkungan spesifik sehingga produktivitas klon lebih maksimal. Disamping
keterbatasan sumber genetik, beberapa kendala masih dihadapi oleh para peneliti
pemuliaan karet seperti rendahnya persentasi buah jadi dari persilangan buatan,
efektifitas seleksi pada progeni F1, masalah juvenilitas bahan tanaman dari klon-

Universitas Sumatera Utara

klon yang dianjurkan, adanya pengaruh batang bawah terhadap potensi genetik
kon, pembangunan dan pemeliharaan konservasi plasma nutfah serta keterbatasan
sumber dana penelitian. (Aidi-Daslin dkk, 2009).

Teknik Persilangan
Persilangan pada tanaman keret dapat terjadi secara alami dan buatan.
Untuk terjadinya persilangan secara alami diperlukan penataan klon secara baik
pada pertanaman yang khusus dirancang untuk itu. Kesulitan dalam pemanfaatan
biji silang alami adalah disebabkan tidak ada kriteria yang dapat membedakan
antara

biji-biji

hasil

persilangan

dalam

persilangan

luar

(Woelan dan Azwar, 1990).

Dalam program persilangan tanaman karet, umunya persentase buah jadi
dikatakan rendah, hal ini dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan
interaksi antara genetik dan lingkungan. Pengaruh genetik dapat dilihat dari
adanya perbedaaan kompabilitas dari pasangan klon yang disilangkan. Dengan
adanya faktor tersebut, maka penyediaan bahan yang akan digunakan untuk
seleksi

dapat

menghambat

kemajuan

penemuan

klon

unggul

baru.


(Woelan dan Azwar, 1990).
Biji-biji hasil persilangan buatan diebut biji legitim, karena kedua tetuanya
diketahui dan dikendalikan dengan baik, sehingga kombinasi-kombinasi
persilangan yang diinginkan dapat dirancang dan diatur lebih leluasa, masalah
utama dalam pembentukan keragaman genetik melalui persilangan buatan adalah
rendahnya persentase buah jadi. Disamping itu, waktu pembungaan yang tidak
serentak antara dua klon yang ingin disilangkan selalu menghambat keberhasilan
persilangan (Woelan dan Azwar, 1990).

Universitas Sumatera Utara

Seleksi Tanaman F1
Seleksi tanaman dilakukan pada tanaman F1 hasil persilangan ditanam di
Seedling Evaluation Trial (SET) dengan jarak tanam yang digunakan 2x2m.
Seleksi Individu dilakukan berdasarkan potensi produksi dan sifat-sifat
pertumbuhan. Potensi produksi diamati dengan menggunakan metode sdap HMM
(Hamaker Morris Mann), dengan sistem sadap ½ S d/3 pada ketinggian 50 cm
(Woelan 2008).
Tahapan kegiatan pemuliaan tanaman karet dimulai sejak perakitan

genotipe unggul baru, kemudian dilanjutkan dengan pengujian tanaman F1
(seedling) yang di tanam di pembibitan dan hasil seleksi dari genotipe unggul baru
digunakan sebagai bahan materi di pengujian Pendahuluan (UP) dan Plot Promosi
(PP) selama 10-15 tahun. Hasil klon terbaik kemudian dievaluasi dan diseleksi
kembali di Uji Lanjutan (UL) dan Uji Adaptasi (UA) sebelum klon-klon unggul
baru dilepas sebagai bahan tanam komersial di perkebunan (Woelan dkk., 2008).
Proses seleksi pada tanaman karet untuk mendapatkan klon unggul baru,
sangat diperlukan variasi yang luas, baik itu mendatangkan plasma-plasma nutfah
maupun persilangan dari genotipe-genotipe yang berkerabat jauh. Dengan
demikian, seleksi tanaman karet merupakan bentuk kegiatan yang harus dilakukan
secara bertahap, terperinci dan memerlukan waktu yang cukup lama
(Woelan dan Azwar, 1990)
Kriteria Seleksi Produksi Lateks
Lateks adalah cairan putih dari pohon karet yang diambil dari tanaman
pada proses penyadapan. Lateks berguna bagi tanaman sebagai bahan pengawet
(preservative). Lateks dibentuk dalam pembuluh lateks. Pembuluh ini terdiri dari

Universitas Sumatera Utara

2 macam. Pertama pembuluh lateks yang berasal dari 1 sel yang kemudian

bercabang-cabang membentuk suatu pembuluh seperti amuba. Pembuluh lateks
seperti ini disebut pembuluh lateks simple, misalnya terdapat pada biji. Kedua
pembuluh lateks yang berasal dari deretan sel-sel dimana dinding-dinding sel
kearah tegak lurus masing-masing melebur membentuk suatu pembuluh.
Pembuluh lateks ini disebut pembuluh kompoun dan inilah yang terdapat pada
tanaman karet yaitu pada kulit lunak dan kulit keras (Lukman, 1984).
Sifat-sifat fisiologi aliran lateks antara lain dicirikan oleh indeks
penyumbatan, kecepatan aliran lateks, indeks produksi, kadar karet kering, total
solud konten serta anatomi kulit yang meliputi jumlah, diameter dan kerapatan
pembuluh lateks (Rasjidin, 1989).
Tebal kulit merupakan kriteria yang cukup penting didalam melakukan
identifikasi suatu klon yang mempunyai keunggulan di dalam produksi lateks
tinggi. Potensi produksi tinggi mempunyai kolerasi yang positif dengan tebal
kulit. Jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, tebal kulit dan lilit
batang berpengaruh nyata terhadap hasil karet. Artinya bahwa apabila ada
peningkatan komponen hasil lateks maka hasil lateks akan lebih tinggi
(Woelan dkk., 2001)
Kriteria Seleksi Produksi Kayu
Peubah pertumbuhan tanaman yang berhubungan dengan potensi kayu
adalah lilit batang dan panjang log bebas cabang. Lilit batang selain berhubungan

dengan hasil lateks, juga mempengaruhi volume kayu yang akan dihasilkan.
Namun tidak ada korelasi antara lilit batang dengan panjang log pada setiap umur
tanaman. Oleh karena volume kayu log diduga melalui subtitusi lilit batang dan

Universitas Sumatera Utara

panjang log, maka kondisi ideal tanaman penghasil kayu adalah memiliki batang
besar dan percabangan tinggi (Suhendry, 2002).
Berdasarkan literatur Wan Razali Mohd dkk. (1983) bahwa volume kayu
karet sangat ditentukan oleh besaran lilit batang dan tinggi tanaman, semakin
besar lilit batang dan tinggi tanaman maka volume kayu karet yang dihasilkan
semakin besar dan sebaliknya semakin kecil lilit batang dan ketinggian tanaman
maka volume kayu yang dihasilkan semakin kecil. Demikian halnya dengan
semakin tinggi cabang primer dan tebal kulit maka kayu log yang dihasilkan
semakin besar.
Untuk mencari suatu genotipe yang memiliki keunggulan pada sifat
produksi dan kayu sekaligus tampaknya sulti ditemukan. Genotipe yang memiliki
potensi kayu besar umumnya menghasilkan lateks yang rendah, begitu juga
dengan genotipe yang berproduksi tinggi cenderung memiliki potensi kayu yang
rendah dengan lilit batang yang lebih kecil (Suhendry, dkk., 2001).


Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Betina Dan Jantan Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.) Sebagai Klon Unggul Penghasil Lateks Dan Lateks Kayu

0 42 72

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Tetua Betina IRR 111 dengan Beberapa Tetua Jantan Tahun 2006-2008 pada Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.)

0 67 75

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan 2009 Berdasarkan Karakteristik Produksi Dan Fisiologi Pada Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.)

1 5 49

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan 2009 Berdasarkan Karakteristik Produksi Dan Fisiologi Pada Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.)

0 0 12

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan 2009 Berdasarkan Karakteristik Produksi Dan Fisiologi Pada Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.)

0 0 2

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan 2009 Berdasarkan Karakteristik Produksi Dan Fisiologi Pada Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.)

0 0 4

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan 2009 Berdasarkan Karakteristik Produksi Dan Fisiologi Pada Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.)

0 0 2

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Betina Dan Jantan Tanaman Karet (Hevea Brassiliensis Muell. Arg.) Sebagai Klon Unggul Penghasil Lateks Dan Lateks Kayu

0 0 10

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Tetua Betina IRR 111 dengan Beberapa Tetua Jantan Tahun 2006-2008 pada Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.)

0 0 11

Seleksi Progeni F1 Hasil Persilangan Tetua Betina IRR 111 dengan Beberapa Tetua Jantan Tahun 2006-2008 pada Tanaman Karet (Hevea brassiliensis Muell. Arg.)

0 0 11