Prosiding SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN JA
ISSN 9-772337-979007
Prosiding
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN JASMANI
“Pendidikan Jasmani dalam Perspektif Gender”
Aula Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta
Kamis, 18 April 2013
PSWPA Lembaga Penelitian dan Jurusan Olahraga Pendidikan FIK
Universitas Negeri Jakarta
ISSN 9-772337-979007
Prosiding
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN JASMANI
“Pendidikan Jasmani dalam Perspektif Gender”
Aula Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta
Kamis, 18 April 2013
PSWPA Lembaga Penelitian dan Jurusan Olahraga Pendidikan FIK
Universitas Negeri Jakarta
Copyright ©2013 by Seminar Nasional Pendidikan Jasmani
Pengarah:
Prof. Dr. Mulyana
Editor
Heni Widyaningsih, SE, M.SE
Reviewer
Dr. Johansyah Lubis, M.Pd
Dr. Hamidah, M.Si
Dr. Ivan Hanafi
Dr. Rini puspitaningrum, M.Bio.Med
Dr. Anan Sutisna, M.Pd
Samadi, M.Pd
Eva Yulianti, SE, M.Sc
Redaksi:
Fitri Lestari Isom, SPd, M.Si
Wahyuningtyas Puspitorini, S.Pd, M.Kes
Eka Fitri Novitasari, M.Pd
Setyo Purwanto, M.Pd
ISSN 9-772337-979007
DAFTAR ISI
Pendidikan Jasmani Dalam Perspektif Gender
1 Johansyah Lubis
Perlindungan Anak dalam Aktivitas Fisik: Persepsi Gender
2 Marlinda Budiningsih
Sikap siswa terhadap Kesehatan Reproduksi
13-25
3 Aan Wasan
Politik, perempuan, dan olahraga di Cina
26-35
4 Mansur Jauhari
Peran aktivitas fisik dalam menurunkaan berat badan
pada perempuan
36-46
5 Wahyudin
Perempuan, karakter, konsep dan prinsip pembelajaran
pendidikan jasmani
47-61
6 Martha Christianti
Peran pendidik PAUD dalam mengoptimalkan perkembangan motorik anak usia dini tanpa perbedaan gender
62-71
Analisis kontribusi Minat terhadap hasi l belajar penjasorkes
72-81
8 Eka Fitri Novita Sari
Proporsi guru pendidikan Jasmani perempuan di DKI
Jakarta
82-94
9 Zulham
Media Massa dan Gender: Konstruksi Sosial Perempuan
dan Relevansinya dalam Pendidikan Jasmani di Indonesia
95-106
10 Mia Kusumawati
Partisipasi Siswi dalam Mengikuti Pendidikan Jasmani
Olahraga dan Kesehatan
107-115
11 Iwan Hermawan
Pelaksanaan Pembelajaran Penjas Siswa Putri Sekolah
Dasar Berdasarkan Teori Motor Ontogenesis
116-132
12 Azwar
Paradigma Gender dalamm Aktivitas Pendidikan jasmani
133-145
7
Syahruddin Saleh & Badarudin
1-12
13 Taryono &Apta Mylsidayu
Minat Siswa Putri dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan melalui Metode Bermain
146-155
14 Kasriman
Sikap dan Motivasi Wanita dalam Pendidikan Jasmani
dan Olahraga
156-172
15 Sujarwo
Peningkatan Kebugaran Jasmani di Sekolah melalui aktivitas ritmik
173-184
16 Kurnia Tahki
Konsep diri Guru Penjas Perempuan di DKI Jakarta
185-193
17 Taufik Rihatno
Gender Dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga
194-204
18 Sri Nuraini
Pendidikan Karakter Siswa Perempuan Melalui Beladiri
Pencak Silat
204-214
19 Sudradjat Wiradihardja
Penjas di Indonesia dan Olahraga di Denmark
215-229
20 Fitri Lestari Issom
Membangun karakter anak melalui Pendidikan Jasmani
230-238
21 Siti Divinubun
Keberpihakan Pendidkan Jasmani, Olahraga dalam Perspektif Gender
239-253
22 Tomi Ari Sadewo
Guru penjas (pria) vs siswa (wanita) di pendidikan menengah (SMA/MA/SMK)
254-261
23 Saharullah
Peranan Perempuan terhadap Pedidikan jasmani dan
olahraga dalam pembentukan
262-268
Olahraga, Rekreasi dan Kesehatan dalam Perspektif Gender
24 Bayu Nugraha
Manfaat Latihan Beban untuk Wanita
270-277
25 Nurhayati Simatupang
Pendidikan Jasmani dan Kepadatan Tulang Perempuan
278-287
26 Widyastuti
Wanita dan Olahraga Beladiri
288-296
27 Ika Novitaria Marani
Perempuan dalam perspektif prestasi olahraga Indonesia
297-310
28 Wahyuningtyas Puspitorini
Pencegahani dan Penatalaksanaan Cedera Overuse
pada atlet Wanita
311-323
29 Yusmawati
Aktivitas Olahraga dan Pengaruh Masa Menstruasi
324-331
30 I Ketut Yoda
Eksklusifitas Wanita dalam Olahraga
332-344
31 Juriana
Perbedaan psychological well-being antara laki-laki dan
perempuan yang rutin berolahraga
345-352
32 Hernawan
Partisipasi Perempuan Dalam Kegiatan Olahraga Dan
Rekreasi
353-360
33 Heni Widyaningsih
Kesetaraan Gender dalam Mengisi Peluang Baru pada
Olahraga Maskulin
361-371
34 Indra Adibudiman
Olahraga dalam perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam Olahraga
372-383
35 Agus Tri Wibowo
Wanita dalam Olahraga
384-389
36 Sukiri
Olahraga dalam perspektif gender
390-402
37 Iwan Setyawan
Gaya Mengajar Dosen FIK UNJ
403-414
38 Ary Subarkah
Peran Masseur Perempuan dalam Dunia Olahraga
415-421
39 Mulyana
Asesmen Pendidikan Jasmani
422-431
40 Eva Yulianti
Aktivitas fisik dan upaya mengurangi perilaku sedentary
pada anak sekolah dasar
432-441
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Olah Raga Dalam Perspektif Gender: Menguak Tabir Marginalisasi
Wanita Dalam Olah Raga
Indra Adi Budiman1
email: indra_adibudiman7@yahoo.co.id
Abstract
This study seeks to highlight the sport in relation to gender equality. There
are at least two things that face each other, the sport as a commodity needed
life and cater for everyone; On the other hand women are marginalized from
sport akitivas respect some of its limitations.Classical view of the years
become an obstacle involvement of women in sport. That sport closer to
masculinity, male-paced world. Along with the changing times and thought
paradigm shift, many women are now involving themselves in sports
activities either directly or indirectly.Movement in encouraging women in
almost all parts of the world. This also answers the perceived
marginalization of women in sport. That women tend to be gentle, sexual,
busy taking care of the household, is no longer a sub-ordinate, but a doer
who moved in front.Gait women in sport more intense about the answer also
sports its entirety into the nuances of gender equality. Some of the woman
managed to achieve good performance in sports, and able to award medals
to the country it represents. Including some women from Indonesia who in
turn were able to break taboos, and received recognition from various
parties paripurnna.
Keywords : Sport, gender, women
Pendahuluan
Wanita, dalam eksistensinya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kekhususankekhususan tertentu, selalu menarik untuk menjadi bahan perbincangan. Strata sosial
mereka kerapkali menjadi perdebatan di berbagai kalangan, dengan persoalan klasik, di
mana mereka seharusnya diposisikan. Sekelompok, atau katakanlah beberapa pihak, dengan
dalih keberpihakan pada wanita, menyatakan bahwa dalam berbagai hal wanita selalu
berada pada posisi yang dirugikan.
Secara klasik dapat diamati, bahwa eksploitasi dan marginalisasi wanita mencuat ke
permukaan dan menjadi isu yang tidak bisa dihindari. Di dunia kerja, wanita hampir tidak
memiliki kesempatan menduduki jabatan pimpinan, karena image yang terbangun di
masyarakat selama ini wanita tidak memiliki hak mutlak memimpin organisasi atau
1
Mahasiswa Program S3 POR PPS UNJ 2012
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
372
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
perusahaan. Walaupun bukan sebuah vonis mutlak, wanita biasanya hanya menduduki
posisi sub-ordinat; artinya posis kedua setelah posisi pertama dan utama diambil laki-laki.
Misalnya, manajer perusahaan biasanya laki-laki, barulah sekretaris diduduki oleh wanita;
dan masih banyak contoh lain yang memposisikan wanita benar-benar sebagai sub ordinat
pada berbagai bidang kehidupan.
Pembeda yang kemudian membuat wanita termarginalkan sebenarnya ada pada
peran reproduksi. Di Indonesia hal ini nyata sekali, ketika wanita dipandang sebagai
makhluk yang memiliki peran khusus, yakni makhluk ‘rumahan’. Lebih-lebih jika
dihubungkan dengan faham paternalistik yang lebih menempatkan posisi laki-laki sebagai
sosok yang selalu harus berada di depan dibandingkan wanita.
Sesungguhnya peran produktif serta peran sosial kemasyarakatan laki-laki dan
wanita hakikatnya sama. Banyak, sekarang, wanita yang melakukan pekerjaan kasar, di
mana wanita bisa saja bekerja 24 jam tanpa ‘perlindungan’. Yang dimaksud dengan
perlindungan adalah bahwa masih banyak orang yang berpikir bahwa seorang wanita akan
terlihat sebagai ‘wanita nakal’ ketika pulang kerja sampai malam ( di atas tengah malam ),
bahkan seringkali sanpai pagi, jika dikejar deadline. Padahal, semua itu dilakukan untuk
membiayai keluarga. Banyak wanita yang bekerja sebagai pegawai restauran yang buka
sampai malam atau pagi, bergantian. Atau yang bekerja di hotel, cafe-cafe, dan mereka
benar-benar bekerja mencari nafkah. (Damayanti, 2012)
‘Perlindungan’ yang dimaksud mungkin belum tentu berupa perlindungan fisik,
tetapi lebih kepada perlindungan budaya dan pola pikir di negara timur, khususnya
Indonesia. Bahkan, masih banyak wanita yang notebene merupakan produk modern, yang
‘kasak kusuk’ dengan jam kerja yang tidak terbatas. Selain ‘perlindungan’, wanita juga
membutuhkan ‘pengaman’, yakni bahwa baik laki-laki dan wanita, mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam hukum. Artinya, baik laki-laki dan wanita seharusnya
mempunyai hak yang sama dalam pekerjaan, gaji, serta fasilitas-fasilitas yang disertakannya
di dalam perusahaan.
Marginalisasi juga dialami wanita dalam bidang olah raga. Wanita dengan segala
kelemahan yang dimilikinya sepertinya menjadi sebuah kodrat yang harus diterima,
termasuk di dunia olah raga. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun, dan jika saja
para aktivis wanita tidak memperjuangkan sendiri eksistensinya, ketermarginalan itu akan
terus berlangsung sampai akhir jaman.
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
373
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Perlu diakui memang, bahwa keterbatasan keterlibatan wanita dalam olah raga
sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain mitos, etika, struktur budaya dan agama.
Hal-hal tersebut telah membelenggu wanita untuk lebih banyak berada di posisi pinggir
lapangan, sebagai penonton atau penikmat olah raga. Maka tercuatlah sebuah dogma bahwa
olah raga merupakan dunia maskulin, dunia unjuk kekuatan dan kejantanan, bukan dunia
wanita yang hakikinya terlahir sebagai makhluk yang dibekali kelenturan, keindahan, tubuh
yang seksi, dan kecantikan. Sejauh mana wanita terlibat dalam olah raga? Kajian di bawah
ini mencoba menarik benang merah olah raga dalam perspektif gender.
Sejak zaman kuno, olahraga telah dikenal sebagai aktivitas yang membawa manfaat
baik bagi pelaku olahraga maupun orang lain yang menonton. Olahraga dianggap sebagai
aktivitas yang menyenangkan dan membawa banyak manfaat antara lain: tubuh menjadi
sehat, hati senang atau bahkan mendapatkan hadiah. Perkembangan olahraga dewasa ini
telah mengubah paradigma olahraga sebagai aktivitas untuk mencari kesehatan menjadi
aktivitas yang bersifat menghibur. Orang bermain sepakbola di halaman rumah, bulu
tangkis di depan masjid dan masih banyak aktivitas olahraga yang bertujuan sebagai
kesenangan.
Olahraga menurut Wann (1997) adalah aktivitas yang melibatkan power dan skill,
kompetisi, strategi, dan/atau kesempatan, dilakukan untuk kesenangan, kepuasan dan/atau
pencapaian pribadi (misal; pendapatan) dari pelaku atau orang lain (mis. penonton),
meliputi olahraga terorganisasi dan olahraga rekreasional, dan olahraga sebagai hiburan.
Menurut definisi tersebut, olahraga adalah aktivitas fisik yang melibatkan power
(tenaga) dan skill (keterampilan). Kedua unsur ini harus hadir dalam setiap olahraga karena
memang olahraga adalah aktivitas fisik yang dipadu dengan keterampilan. Selain itu,
definisi di atas juga menunjuk pada olahraga terorganisasi (prestasi) dan olahraga
rekreasional. Perbedaan utama kedua jenis olahraga ini adalah tujuan akhir yang ingin
dicapai. Olahraga prestasi bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya yang
disimbolkan dengan menjadi juara, mendapat medali emas dan sebagainya. Sedangkan
olahraga rekreasi semata-mata bertujuan untuk mendapatkan kesenangan dan badan yang
sehat.
Melihat betapa pentingnya olah raga bagi kehidupan (semua orang), maka tak ayal
bahwa olah raga pada hakikatnya merupakan milik semua orang pula, baik laki-laki maupun
wanita. Namun ternyata ini menjadi kendala yang luar biasa. Dikotomi laki-laki wanita,
terutama pada peran reproduksi, menjadi palang pintu pemisah hak laki-laki dan wanita
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
374
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
dalam bidang olah raga. Bahwa wanita tidak memiliki power sekuat lelaki dan keterampilan
sekaliber lawan jenisnya, menjadi kendala yang merintangi keterlibatan mereka dalam olah
raga.
Dipandang dari aspek sosial, Anwar dan Saryono (2009) memandang bahwa
dikotomi laki-laki dan wanita dalam olah raga pertama-tama disebabkan oleh perbedaan
gender. Konsep gender memandang perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan wanita.
Manusia lelaki adalah makhluk yang memiliki penis, jakala, testis, dan menghasilkan
sperma. Sementara manusia wanita adalah manusia yang memiliki rahim, melakukan
reproduksi yaitu melahirkan menyusui, dan sebagainya. Alat-alat tersebut melekat pada
jenis kelamin laki-laki dan wanita selamanya, bersifat kodrati dan tidak bisa dipertukarkan
Sedangkan konsep gender adalah konsep yang memilahkan antara kaum aki-laki dan wanita
atas dasar pensifatan yang dikonstruksikan secara sosial, tidak melekat secara permanen dan
bisa dipertukarkan contohnya adalah sifat feminim ( lemah lembut, emosional, sensitif,
cantik, dst.) yang secara sosial cenderung dilabelkan kepada wanita. (Fakih, 1997) Konsep
gender inilah yang memisahkan antara laki-laki dan wanita dalam lah raga.
Kini, di abad yang serba canggih ini, kecenderungan marginalisasi wanita dan olah
raga agaknya bisa disinyalir semakin menipis, seiring dengan terjadinya perubahan yang
signifikan akan minat wanita terhadap olah raga. Markovitch (.......) menyebut bahwa
wanita, tak diragukan lagi, akan menjadi bagian yang besar dari penggemar olah raga ini.
Sementara itu, jumlah wanita yang memproklamirkan diri sebagai penggemar olahraga
telah meningkat secara signifikan selama bertahun-tahun.
Partisipasi wanita dalam bidang olah raga meningkat secara dramatis. Hal ini terjadi
di hampir semua negara industri besar, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Perubahan ini
terjadi juga di negara-negara miskin dan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pada
pertengahan tahun 1970-an manusia seolah-olah tersadarkan akan manfaat olah raga secara
keseluruhan. Bahkan olah kemudian disinyalir mampu menjaga kecantikan wanita,
membuat tubuh menjadi ramping, menyebabkan wanita memiliki pandangan berbeda
terhadap olah raga dibanding sebelumnya. Banyak publikasi tentang gerakan kaum wanita
dipengaruhi oleh ide tradisional tentang feminimisme yaitu bertubuh ramping dan menarik
bagi pria, juga ada penekanan pada perkembangan kekuatan fisik dan kompetensi (Coakley,
2004)
Pada sisi lain, keterbukaan wanita dan sekaligus juga masyarakat terhadap olah raga
dimungkinkan oleh tercuatnya kesetaraan gender yang lebih memberikan kesempatan
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
375
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
kepada wanita untuk lebih banyak terlibat di dalam olah raga. Salah satu payung hukum
yang melindungi hak-hak wanita dalam segala bidang adalah Konstitusi UUD 1945, Pasal
27 (2) dan UU No. 7/1984 yang meratifikasi Konvensi CEDAW (Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). Seperti pula dilansir Sulistyowati Irianto, M.A.dan
Titiek
Kartika Hendrastiti (2009), Indonesia pun telah mengikuti Pertemuan Wanita
Sedunia di Beijing tahun 1995, yang menyepakati tentang 12 area keprihatinan. Keduabelas
isu ini masih menjadi keprihatinan pada pertemuan Beijing Plus Five (2000), dan Beijing
Plus Ten (2005) terdiri atas :
1. Wanita dan kemiskinan,
2. Wanita dan pendidikan,
3. Wanita dan lingkungan,
4. Wanita dan ketenagakerjaan,
5. Wanita dan konflik bersenjata,
6. Wanita dan Ekonomi
7. Wanita dalam politik dan kebijakan,
8. Kekerasan terhadap wanita,
9. Wanita dan hukum,
10. Wanita dan media,
11. Diskriminasi terhadap anak wanita, dan
12. Buruh wanita
Merunut pada kesepakatan tersebut, maka olah raga sebagai bagian dari ranah sosial
menjadi salah satu aspek dalam pengarusutamaan gender. Dengan demikian, tidak dapat
dipungkiri, olah raga secara hakiki adalah juga milik wanita yang seyogyanya dilakukan
juga oleh wanita secara aktif.
Walaupun channel telah terbuka, Andri Markovits dan Emily Albertson mencatat
bahwa masih ada perbedaan minat olah raga pada laki-laki dan wanita. Menurut keduanya,
jangan harap wanita berbicara tentang even olah raga lebih banyak dari pada laki-laki. The
significant ways many women have become fully conversant with sports—acquiring a
knowledge of and passion for them as a way of forging identities that until recently were quite
alien to women. Demikianlah, bahwa untuk hal-hal tertentu, ternyata wanita masih terasing
dalam even-even olah raga.
Guna mendongkrak minat wanita dalam olah raga, di Amerika Serikat muncul
istilah sportista. Menurut Professor Markovits dan Ms. Albertson, istilah sportista merujuk
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
376
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
pada pengertian kegemaran (fun) terhadap olah raga, sebagaimana wanita menggemari
fashion (fashionista). Sportista beranggotakan para wanita yang memiliki minat khusus
akan olah raga, walaupun hanya sebagai penggemar. Namun keterlibatannya dalam
berbicara tentang olah raga dan even-even olah raga besar di dunia merupakan suatu
kemajuan besar.
Charly Sever Bridge dalam jurnal Gender and Sport (2005) mencatat tentang pentingnya
mempertimbangkan gender dalam olah raga. Beberapa alasan dikemukakan, antara lain :
Olah raga secara tradisional dihubungkan dengan maskulinitas.
Praktek olah raga berkaitan dengan asumsi tentang kerja dan kesenangan, yang
berbeda antara laki-laki dan wanita. Dalam hal ini, kesempatan wanita yang lebih
banyak sibuk di rumah, memiliki kesempatan olah raga sebagai leisure lebih sedikit.
Sebagian masyarakat menilai olah raga sebagai sesuatu yang produktif. Sayangnya,
produktivitas olah raga justru akan bernilai lebih jika laki-laki yang melakukannya.
Laki-laki dan wanita bersentuhan dengan olah raga dalam perspektif yang berbeda.
Hal ini disebabkan oleh budaya, etnis, kelompok, kelas sosial ekonomi atau kasta.
Upaya penyetaraan gender dalam olah raga dicanangkan me alui th Brighton
Declaration (1994) yang ditindakaljuti dengan Konferensi Dunia tentang Wanita dan Olah
Raga di Montreal Kanada tahun 2002, yang menghasilkan deklarasi berikut :
Keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat dan olah raga
Perencanaan, desain dan menejamen olah raga harus mempertimbangkan kebutuhan
wanita
Kepemimpinan wanita dalam olah raga termasuk peningkatan jumlahnya.
Pembahasan
Olah Raga dan Wanita. Aktivitas fisik yang sangat populer hampir di seluruh aspek
kehidupan manusia, khususnya bidang kesehatan pada era kehidupan modern sekarang
adalah olah raga. Bila dipandang dari sudut kesehatan ada beberapa nilai positif yang sangat
bermanfaat,
di
antaranya
adalah
:
kegembiraan,
membangkitkan
percaya
diri,
kardiovaskular serta integritas tulang. Manfaat-manfaat positif yang lebih mengarah kepada
manfaat praktis tersebut besar pula manfaatnya bagi wanita.
Sehubungan dengan itu, kini wanita banyak yang melibatkan diri dalam dunia olah
raga. Ini merupakan kemajuan yang dicapai setelah lama sekali wanita terabaikan dari
kegiatan olah raga. Namun kenyataan menunjukkan, bahwa ambiguitas kewanitaan tetap
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
377
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
menjadi kendala yang cukup besar. Di lapangan, wanita tidak bisa menghilangkan
feminimisme yang dimiliki, dan itu cukup menjadi kendala bagi wanita untuk bergerak
bebas sebagaimana laki-laki. Retorika emansipasi kiranya belum cukup layak dialamatkan
kepada dunia olah raga, meskipun di luar negeri muncul sportista dan semacamnya. Sebagai
negara patrialis, Indonesia mengalami kendala yang cukup rumit, meskipun beberapa juara
dunia pada olah raga yang diikuti wanita dimenangkan oleh Indonesia.
Verbal sexual harrasment sebagaimana telaah Charly Sever Bridge (2002)
kerapkali muncul dan itu menjadi sumber perasaan risih bagi olahragawati, yang pada
beberapa bidang olah raga harus mengenakan pakaian minim dan memperlihatkan
sensualitas tubuh. Pada olah raga renang misalnya, penonton dengan bebas dapat melihat
bagian-bagian tubuh wanita yang seksi dan menarik perhatian. Terlebih batas antara publik
penonton dan pelaku olah raga yang bias, yang menyebabkan keduanya memungkinkna
terjadinya kontak fisik langsung, selain tentu saja jarak pandang yang sangat dekat.
Konstruksi bangunan yang tidak memisahkan secara tegas antara publik dengan pelaku,
menyebabkan gangguan bagi keikutsertaan wanita dalam even-even olah raga. Suasana risih
demikian terutama akan sangat dirasakan oleh para wanita yang beragama Islam. Lain
halnya dengan wanita yang lahir di negara non-muslim, suasana risih demikian mungkin
tidak seberat yang dirasakan muslimah.
Walau bagaimanapun, olah raga sebagai konsumsi publik, tidak bisa diredam
hanya karena keterbatasan peluang. Demi sebuah prestasi, dan demi prestise negara,
muslimah maupun non-muslimah, harus mempertimbangkan penampilan terbaiknya dalam
cabang olah raga yang digelutinya. Dalam hal ini, gender memandang olah raga sebagai
sesuatu yang universal dan berlaku bagi siapa saja tanpa pandang bulu.
Sehubungan dengan itu, pengembangan olah raga yang mampu menembus semua
lapisan masyarakat dan menembus dinding pemisah gender dimulai sejak anak usia dini.
Hal ini sejalan dengan Resolusi PBB 58/5 yang menyerukan agar semua negara
menggunakan olah raga sebagai alat untuk mempromosikan pendidikan, kesehatan,
pembangunan dan perdamaian. Tahun 2005 bahkan diumumkan sebagai Tahun Pendidikan
Olah Raga dan Kesehatan. Dari profesional, elit dan internasional menyelenggarakan
kompetisi olah raga yang dimainkan di dalam masyarakat dan institusi pendidikan, pun,
olah raga dapat digunakan untuk mewujudkan sejumlah tujuan pembangunan, termasuk :
Pembangunan manusia; meningkatkan kesehatan dan kehidupan masyarakat,
mendukung pendidikan dan kegiatan rekreasi.
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
378
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Pembangunan sosial; meningkatkan stabilitas, toleransi, pembangunan inklusi
sosial dan masyarakat;
Pembangunan Ekonomi; investasi pemeliharaan dan penyertaan kesempatan
Pembangunan politik dalam rangka mempromosikan perdamaian dan respek
terhadap demokrasi.
Manfaat Olah Raga Bagi Wanita
Masuknya wanita dalam dunia maskulinitas memang berawal dari adanya gerakan
sosial wanita yang terjadi secara global untuk mempertegas para wanita berkembang
menjadi manusia yang sempurna dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan fisik
mereka. Pengembangan intelektual dan fisik wanita telah menjadi fondasi partisipasi
mereka dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Kesadaran akan manfaat aktivitas
jasmani bagi kesehatan telah mendorong para wanita untuk mencoba kesempatan
memainkan berbagai macam olahraga. Aktivitas jasmani yang dilakukan para wanita juga
telah mengubah image feminitas melalui pengembangan kompetensi dan kekuatan fisik
mereka. Kenyataan tersebut di atas merupakan landasan filosofis yang kental bagaimana
mulanya para wanita dapat berkecimpung dengan bebas dalam dunia olahraga.
Olah raga, selain bertujuan untuk meningkatkan partisipasi wanita, juga untuk
mempromosikan tujuan kesetaraan gender secara lebih luas. Olah raga dapat memberikan
akses kepada wanita ke ruang-ruang publik di mana mereka biasa berkumpul,
mengembangkan skill bersama, menghimpun dukungan dari luar dan menikmati kebebasan
ekspresi dan gerak, semuanya itu merupakan hal penting bagi kekuatan wanita.
Olah raga dapat mengembangkan rasa memiliki pada wanita atas diri mereka
sendiri, meningkatkan rasa harga diri dan membuat pilihan yang lebih baik tentang
kehidupan mereka, termasuk kegiatan seksual. Dalam situasi kekurangan dan ketimpangan,
rasa memiliki atas diri sendiri menjadi sangat penting. Lebih dari itu, olah raga dapat
menyediakan channel untuk menginformasikan tentang kesehatan reproduksi dan isu-isu
kesehatan lainnya, khususnya wanita yang belum menikah yang mungkin tidak menerima
informasi.
Prestasi dan Pengakuan. Prestasi para wanita dalam olahraga sangat luar biasa. Para
wanita masuk pada berbagai cabang olahraga dengan semangat yang tinggi untuk
menghapus anggapan bahwa olahraga hanya hegemoni maskulin. Pada olimpiade-olimpiade
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
379
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
awal wanita hanya mengikuti cabang olahraga tenis, berlayar, kriket, menunggang kuda,
dan golf. Sekarang para wanita sudah dapat memainkan berbagai cabang olahraga modern
seperti sepakbola, hoki, olahraga bela diri, triathlon dan bahkan pentathlon. Walaupun
demikian, jumlah olahraga-olahraga untuk wanita di Olimpiade dan pertandinganpertandingan internasional lainnya masih kurang. Hal ini menjadi salah satu masalah dalam
pemberian kesempatan para wanita untuk berpartisipasi dalam olahraga-olahraga kompetitif
tingkat dunia. Begitu juga dengan kesempatan untuk bermain dalam olahraga-olahraga
profesional selalu ada ketakutan untuk para wanita. Meskipun begitu sekarang ini banyak
para wanita berprofesi sebagai atlit yang menggantungkan hidupnya dari prestasi di ajang
olahraga.
Prestasi yang dicapai para wanita dalam olahraga sering pula dikaitkan dengan
pandangan yang tradisional dan modern terhadap mereka. Pandangan tradisional
menyebutkan bahwa wanita adalah makhluk feminis, lemah lembut, serta memiliki image
seksualitas yang tinggi sebagai bentukan budaya di seluruh dunia. Ketika wanita itu
berpartisipasi dalam olahraga dan berprestasi, berbagai pandangan mulai dari tubuh yang
lebih maskulin dan kehidupan seksualitas mereka yang sering kali menjadi bahan
pembicaraan.
Salah satu olahraga yang sering menjadi perhatian dalam masalah wanita dan
olahraga adalah Tenis. Pemain tenis wanita seperti Anna Kournikova, Martina Navratilova,
dan Amelie Mauresmo memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Para pemain
olahraga wanita itu membangun jati diri mereka sendiri di lapangan, tetapi persepsi media
dan orang yang menonton membangun image mereka di luar lapangan. Anna Kournikova
membangun
identitas
dirinya
dengan
bergaya
modis,
memakai
pakaian
yang
memperlihatkan lekuk tubuhnya, rambut diparas cantik sehingga image terhadap dirinya
yang timbul sebagai ”sport babes” merupakan salah satu bentuk pandangan media dan
orang lain. Pria akan memandang pemain olahraga wanita seperti Anna Kournikova
melebihi dari batas-batas seksualitasnya.
Di Indonesia pernah lahir dan akan terus lahir, olahragawati yang masuk dalam
jajaran olahragawati elit dunia, dan ini merupakan contoh kecil prestasi yang dicapai oleh
para wanita olahraga Indonesia. Media dan mayarakat Indonesia waktu itu lebih melihat
bahwa mereka benar-benar berprestasi melalui semangat juang dan jiwa nasionalisme yang
tinggi. Tidak ada pandangan negatif yang diberikan pada mereka karena norma dan nilai
yang ada memberikan perlindungan jaminan kebebasan mengekspresikan diri dalam
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
380
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
olahraga tersebut. Pandangan sexualitas terhadap mereka seolah hilang karena prestasi yang
telah ditunjukkan. Prestasi dan seksualitas wanita olahraga di Indonesia tidak memiliki
hubungan yang kuat karena nilai dan norma yang dimiliki bangsa Indoensia telah memberi
perlindungan bagi perkembangan partisipasi wanita dalam olahraga.
Pada kajian ini akan dikemukakan sebuah kasus seputar kesetaraan gender dalam
olah raga yang dialami dua sosok atlit yang pernah mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Dua nama itu adalah Susy Susanti dan Elizabeth Latif. Mereka adalah manajer dan wakil
tim Piala Uber Indonesia. Kemunculan nama keduanya sekaligus menjawab bahwa
kesetaraan gender di Indonesia telah mendapat kepercayaan dan pengakuan. Sekaligus juga
mencuatkan isu krusial kesetaraan gender di bidang olah raga telah terjadi, dan kemudian
berlangsung hingga sekarang. Sebagai satu-satunya wanita yang pernah meraih medali emas
Olimpiade, Susy Susanti pantas mendapat tempat tersendiri dalam catatan sejarah olah raga
Indonesia.
Nama lain yang cukup mampu mengharumkan nama bangsa di kancah dunia
antara lain Yayuk Basuki pada cabang olah raga tenis lapangan. Sebelumnya, pernah
muncul pula peraih medali di olimpiade, yaitu trio srikandi Indonesia di cabang olah raga
panahan, Nurfitriana, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani. Walaupun bukan medali
emas, namun eksistensi mereka telah memberikan kontribusi yang baik untuk mencuatkan
nama bangsa di kancah dunia. Itu artinya bahwa melalui kesetaraan gender promosi bidang
sosial kemasyarakatan secara teoritis maupun praktis terbukti. Sejumlah nama lain yang
luput disebut di sini juga pantas dicatat dengan tinta emas, karena mereka telah berhasil
menembus batas gender dalam dunia olah raga.
Nilai tambah yang dapat dipetik dari keberhasilan wanita-wanita tersebut adalah
keberhasilan mereka merengkuh sesuatu yang selama ini ditabukan. Dalam sejarah
olahraga, semula wanita tidak menjadi prioritas dalam pengembangan olah jasmani.
Olahraga praktis identik dengan maskulinitas. Wanita yang menekuni olahraga prestasi
dianggap anomali.
Dalam perkembangannya, peran wanita semakin besar dalam olahraga sejalan
pemahaman hak asasi manusia dan kesetaraan gender. AS mengeluarkan Akta Title IX
1972 untuk menegaskan bahwa wanita sederajat dengan pria di olahraga. Sebelumnya,
kesempatan untuk wanita sangat terbatas. Pada tahun 1970, hanya 1 dari 27 wanita
berolahraga, setelah 30 tahun kini ada 1 dari 3 wanita berolahraga di AS. Tiga olahraga
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
381
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
paling diminati adalah bola voli, basket, dan sepakbola. Artinya, jarak perbedaan pelaku
olah raga pada cabng-cabang tertentu antara lelaki dan wanita semakin menipis.
Totalitas Eksistensi. Selain buyer potensial, wanita adalah brand loyalist. Jika sebuah
brand sudah menancap di benak mereka, kesetiaan wanita sangat tinggi. Kesetiaan itu pun
akan diturunkan jika ia memiliki anak atau ditularkan pada komunitasnya jika ia belum
berkeluarga.
Sayangnya potensi wanita di olahraga di Tanah Air belum digarap benar-benar.
Sosok Rita Subowo sebagai Ketua Umum KONI/KOI menjadi bukti bahwa wanita pun bisa
menjadi pemimpin olahraga nomor satu. Dalam kasus gesekan dengan Menegpora beberapa
waktu lalu, lewat naluri kewanitaannya persoalan yang berpotensi tajam itu berhasil
diselesaikan dengan aman.
Wanita akan cenderung memberikan waktu dan menyalurkan energinya untuk
orang lain. Ia pun akan lebih memilih memberikan cintanya untuk yang ia cintai, dalam hal
ini olahraga, daripada memperpanjang konflik dengan orang lain. Secara empirik, ini sudah
terbukti sebagaimana kasus yang dialami Rita Subowo di atas.
Waktu berolahraga memang sangat mahal bagi wanita Indonesia saat ini, apalagi
bagi mereka yang dobel job sebagai wanita karier sekaligus ibu rumah tangga. Padahal
anak-anak mereka hampir semuanya ikut aktivitas olahraga di sekolah. Dari berbagai
referensi, ibu adalah penentu kegiatan ekstrakurikuler seorang anak!
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan dan dianggap enteng. Soalnya sebagai influencer,
wanita memegang kunci terhadap kelangsungan regenerasi atlet Indonesia. Serius tidaknya
seorang anak berkarier di olahraga sangat tergantung apa kata ibu.
Kini, dalam usianya yang sudah mulai lanjut, di samping sebagai ibu rumah
tangga, Susy atau Elizabeth kembali ke lapangan, untuk memenej dan memimpin cabang
olah raga yang dikuasainya. Kehadiran mereka perlu diberikan acungan jempol. Jika perlu,
kepada mereka sewajarnya diberikan bantuan agar mereka bertambah kaya ilmu
manajemen, psikologi, dan pedagogi dalam mendampingi para juniornya. Figur-figur
wanita lain pun harus berani dimunculkan.
Wanita yang mau berkarier sebagai pelatih nasional juga harus didukung penuh,
jangan malah dihambat. Mereka memiliki kelebihan mendasar dibanding pria, yakni naluri
melayani orang lain secara total. Itulah bagian dari kodrat wanita yang membedakannya
dengan pria.
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
382
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Simpulan
Akhirnya perlu diakui, bahwa olahraga dengan berbagai manfaat yang dijanjikan,
memberikan peluang yang cukup banyak bagi perempuan untuk berkiprah di dalamnya.
Tanpa mengesampingkan kodratnya sebagai wanita, yang dibekali Tuhan dengan sifat
lemah lembut dan kecantikan yang dimiliki, wanita tidak lagi harus merasa risih dengan
dunia luar yang menyaksikannya. Keberterimaan dunia akan eksistensi mereka di dunia
olah raga memberikan keleluasaan yang luar biasa.
Demikianlah, olah raga dalam perspektif kesetaraan gender dapat diterima, dan
seyogyanya didukung oleh semua pihak agar boomingny lebih terasa. Wanita bukan lagi
sub ordinta. Bukan saja untuk bidang olah raga, namun juga untuk semua sisi kehidupan.
Daftar Rujukan
Charly Sever Bridge. (2005) Gender & Sport. Mainstreaming Gender in Sport Project.
Brighton, UK : University of Sussex.
Coakley (2004). Sport in Sociaty : issues and controversies. University of Calivornia :Times
Mirror/Mosby College Pub
Komarudin MK (2012) Pengantar Psikologi Olah Raga. Yogyakarta : UNY.
M. Hamid Anwar dan Sarjono. (2009) Kontroversi Citra Perempuan dalam Olah Raga.
Yogyakarta : UNY.
Rea Abada Chiongson (2010). Apakah Hukum Kita Meningkatkan Kesetaraan Gender?
Buku Pegangan Untuk Tinjauan Hukum Berbasis Cedaw. Bangkok : UN WOMEN
East and Southeast Asia Regional Office
Wann, D.J. (1997) Sport Psychology. Upper Saddle River, New Jersey.
Catatan tentang : Professor Andrei Markovits Talks about Gender and Sports
eko@bolanews.com
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
383
Prosiding
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN JASMANI
“Pendidikan Jasmani dalam Perspektif Gender”
Aula Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta
Kamis, 18 April 2013
PSWPA Lembaga Penelitian dan Jurusan Olahraga Pendidikan FIK
Universitas Negeri Jakarta
ISSN 9-772337-979007
Prosiding
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN JASMANI
“Pendidikan Jasmani dalam Perspektif Gender”
Aula Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta
Kamis, 18 April 2013
PSWPA Lembaga Penelitian dan Jurusan Olahraga Pendidikan FIK
Universitas Negeri Jakarta
Copyright ©2013 by Seminar Nasional Pendidikan Jasmani
Pengarah:
Prof. Dr. Mulyana
Editor
Heni Widyaningsih, SE, M.SE
Reviewer
Dr. Johansyah Lubis, M.Pd
Dr. Hamidah, M.Si
Dr. Ivan Hanafi
Dr. Rini puspitaningrum, M.Bio.Med
Dr. Anan Sutisna, M.Pd
Samadi, M.Pd
Eva Yulianti, SE, M.Sc
Redaksi:
Fitri Lestari Isom, SPd, M.Si
Wahyuningtyas Puspitorini, S.Pd, M.Kes
Eka Fitri Novitasari, M.Pd
Setyo Purwanto, M.Pd
ISSN 9-772337-979007
DAFTAR ISI
Pendidikan Jasmani Dalam Perspektif Gender
1 Johansyah Lubis
Perlindungan Anak dalam Aktivitas Fisik: Persepsi Gender
2 Marlinda Budiningsih
Sikap siswa terhadap Kesehatan Reproduksi
13-25
3 Aan Wasan
Politik, perempuan, dan olahraga di Cina
26-35
4 Mansur Jauhari
Peran aktivitas fisik dalam menurunkaan berat badan
pada perempuan
36-46
5 Wahyudin
Perempuan, karakter, konsep dan prinsip pembelajaran
pendidikan jasmani
47-61
6 Martha Christianti
Peran pendidik PAUD dalam mengoptimalkan perkembangan motorik anak usia dini tanpa perbedaan gender
62-71
Analisis kontribusi Minat terhadap hasi l belajar penjasorkes
72-81
8 Eka Fitri Novita Sari
Proporsi guru pendidikan Jasmani perempuan di DKI
Jakarta
82-94
9 Zulham
Media Massa dan Gender: Konstruksi Sosial Perempuan
dan Relevansinya dalam Pendidikan Jasmani di Indonesia
95-106
10 Mia Kusumawati
Partisipasi Siswi dalam Mengikuti Pendidikan Jasmani
Olahraga dan Kesehatan
107-115
11 Iwan Hermawan
Pelaksanaan Pembelajaran Penjas Siswa Putri Sekolah
Dasar Berdasarkan Teori Motor Ontogenesis
116-132
12 Azwar
Paradigma Gender dalamm Aktivitas Pendidikan jasmani
133-145
7
Syahruddin Saleh & Badarudin
1-12
13 Taryono &Apta Mylsidayu
Minat Siswa Putri dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan melalui Metode Bermain
146-155
14 Kasriman
Sikap dan Motivasi Wanita dalam Pendidikan Jasmani
dan Olahraga
156-172
15 Sujarwo
Peningkatan Kebugaran Jasmani di Sekolah melalui aktivitas ritmik
173-184
16 Kurnia Tahki
Konsep diri Guru Penjas Perempuan di DKI Jakarta
185-193
17 Taufik Rihatno
Gender Dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga
194-204
18 Sri Nuraini
Pendidikan Karakter Siswa Perempuan Melalui Beladiri
Pencak Silat
204-214
19 Sudradjat Wiradihardja
Penjas di Indonesia dan Olahraga di Denmark
215-229
20 Fitri Lestari Issom
Membangun karakter anak melalui Pendidikan Jasmani
230-238
21 Siti Divinubun
Keberpihakan Pendidkan Jasmani, Olahraga dalam Perspektif Gender
239-253
22 Tomi Ari Sadewo
Guru penjas (pria) vs siswa (wanita) di pendidikan menengah (SMA/MA/SMK)
254-261
23 Saharullah
Peranan Perempuan terhadap Pedidikan jasmani dan
olahraga dalam pembentukan
262-268
Olahraga, Rekreasi dan Kesehatan dalam Perspektif Gender
24 Bayu Nugraha
Manfaat Latihan Beban untuk Wanita
270-277
25 Nurhayati Simatupang
Pendidikan Jasmani dan Kepadatan Tulang Perempuan
278-287
26 Widyastuti
Wanita dan Olahraga Beladiri
288-296
27 Ika Novitaria Marani
Perempuan dalam perspektif prestasi olahraga Indonesia
297-310
28 Wahyuningtyas Puspitorini
Pencegahani dan Penatalaksanaan Cedera Overuse
pada atlet Wanita
311-323
29 Yusmawati
Aktivitas Olahraga dan Pengaruh Masa Menstruasi
324-331
30 I Ketut Yoda
Eksklusifitas Wanita dalam Olahraga
332-344
31 Juriana
Perbedaan psychological well-being antara laki-laki dan
perempuan yang rutin berolahraga
345-352
32 Hernawan
Partisipasi Perempuan Dalam Kegiatan Olahraga Dan
Rekreasi
353-360
33 Heni Widyaningsih
Kesetaraan Gender dalam Mengisi Peluang Baru pada
Olahraga Maskulin
361-371
34 Indra Adibudiman
Olahraga dalam perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam Olahraga
372-383
35 Agus Tri Wibowo
Wanita dalam Olahraga
384-389
36 Sukiri
Olahraga dalam perspektif gender
390-402
37 Iwan Setyawan
Gaya Mengajar Dosen FIK UNJ
403-414
38 Ary Subarkah
Peran Masseur Perempuan dalam Dunia Olahraga
415-421
39 Mulyana
Asesmen Pendidikan Jasmani
422-431
40 Eva Yulianti
Aktivitas fisik dan upaya mengurangi perilaku sedentary
pada anak sekolah dasar
432-441
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Olah Raga Dalam Perspektif Gender: Menguak Tabir Marginalisasi
Wanita Dalam Olah Raga
Indra Adi Budiman1
email: indra_adibudiman7@yahoo.co.id
Abstract
This study seeks to highlight the sport in relation to gender equality. There
are at least two things that face each other, the sport as a commodity needed
life and cater for everyone; On the other hand women are marginalized from
sport akitivas respect some of its limitations.Classical view of the years
become an obstacle involvement of women in sport. That sport closer to
masculinity, male-paced world. Along with the changing times and thought
paradigm shift, many women are now involving themselves in sports
activities either directly or indirectly.Movement in encouraging women in
almost all parts of the world. This also answers the perceived
marginalization of women in sport. That women tend to be gentle, sexual,
busy taking care of the household, is no longer a sub-ordinate, but a doer
who moved in front.Gait women in sport more intense about the answer also
sports its entirety into the nuances of gender equality. Some of the woman
managed to achieve good performance in sports, and able to award medals
to the country it represents. Including some women from Indonesia who in
turn were able to break taboos, and received recognition from various
parties paripurnna.
Keywords : Sport, gender, women
Pendahuluan
Wanita, dalam eksistensinya sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kekhususankekhususan tertentu, selalu menarik untuk menjadi bahan perbincangan. Strata sosial
mereka kerapkali menjadi perdebatan di berbagai kalangan, dengan persoalan klasik, di
mana mereka seharusnya diposisikan. Sekelompok, atau katakanlah beberapa pihak, dengan
dalih keberpihakan pada wanita, menyatakan bahwa dalam berbagai hal wanita selalu
berada pada posisi yang dirugikan.
Secara klasik dapat diamati, bahwa eksploitasi dan marginalisasi wanita mencuat ke
permukaan dan menjadi isu yang tidak bisa dihindari. Di dunia kerja, wanita hampir tidak
memiliki kesempatan menduduki jabatan pimpinan, karena image yang terbangun di
masyarakat selama ini wanita tidak memiliki hak mutlak memimpin organisasi atau
1
Mahasiswa Program S3 POR PPS UNJ 2012
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
372
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
perusahaan. Walaupun bukan sebuah vonis mutlak, wanita biasanya hanya menduduki
posisi sub-ordinat; artinya posis kedua setelah posisi pertama dan utama diambil laki-laki.
Misalnya, manajer perusahaan biasanya laki-laki, barulah sekretaris diduduki oleh wanita;
dan masih banyak contoh lain yang memposisikan wanita benar-benar sebagai sub ordinat
pada berbagai bidang kehidupan.
Pembeda yang kemudian membuat wanita termarginalkan sebenarnya ada pada
peran reproduksi. Di Indonesia hal ini nyata sekali, ketika wanita dipandang sebagai
makhluk yang memiliki peran khusus, yakni makhluk ‘rumahan’. Lebih-lebih jika
dihubungkan dengan faham paternalistik yang lebih menempatkan posisi laki-laki sebagai
sosok yang selalu harus berada di depan dibandingkan wanita.
Sesungguhnya peran produktif serta peran sosial kemasyarakatan laki-laki dan
wanita hakikatnya sama. Banyak, sekarang, wanita yang melakukan pekerjaan kasar, di
mana wanita bisa saja bekerja 24 jam tanpa ‘perlindungan’. Yang dimaksud dengan
perlindungan adalah bahwa masih banyak orang yang berpikir bahwa seorang wanita akan
terlihat sebagai ‘wanita nakal’ ketika pulang kerja sampai malam ( di atas tengah malam ),
bahkan seringkali sanpai pagi, jika dikejar deadline. Padahal, semua itu dilakukan untuk
membiayai keluarga. Banyak wanita yang bekerja sebagai pegawai restauran yang buka
sampai malam atau pagi, bergantian. Atau yang bekerja di hotel, cafe-cafe, dan mereka
benar-benar bekerja mencari nafkah. (Damayanti, 2012)
‘Perlindungan’ yang dimaksud mungkin belum tentu berupa perlindungan fisik,
tetapi lebih kepada perlindungan budaya dan pola pikir di negara timur, khususnya
Indonesia. Bahkan, masih banyak wanita yang notebene merupakan produk modern, yang
‘kasak kusuk’ dengan jam kerja yang tidak terbatas. Selain ‘perlindungan’, wanita juga
membutuhkan ‘pengaman’, yakni bahwa baik laki-laki dan wanita, mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dalam hukum. Artinya, baik laki-laki dan wanita seharusnya
mempunyai hak yang sama dalam pekerjaan, gaji, serta fasilitas-fasilitas yang disertakannya
di dalam perusahaan.
Marginalisasi juga dialami wanita dalam bidang olah raga. Wanita dengan segala
kelemahan yang dimilikinya sepertinya menjadi sebuah kodrat yang harus diterima,
termasuk di dunia olah raga. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun, dan jika saja
para aktivis wanita tidak memperjuangkan sendiri eksistensinya, ketermarginalan itu akan
terus berlangsung sampai akhir jaman.
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
373
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Perlu diakui memang, bahwa keterbatasan keterlibatan wanita dalam olah raga
sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain mitos, etika, struktur budaya dan agama.
Hal-hal tersebut telah membelenggu wanita untuk lebih banyak berada di posisi pinggir
lapangan, sebagai penonton atau penikmat olah raga. Maka tercuatlah sebuah dogma bahwa
olah raga merupakan dunia maskulin, dunia unjuk kekuatan dan kejantanan, bukan dunia
wanita yang hakikinya terlahir sebagai makhluk yang dibekali kelenturan, keindahan, tubuh
yang seksi, dan kecantikan. Sejauh mana wanita terlibat dalam olah raga? Kajian di bawah
ini mencoba menarik benang merah olah raga dalam perspektif gender.
Sejak zaman kuno, olahraga telah dikenal sebagai aktivitas yang membawa manfaat
baik bagi pelaku olahraga maupun orang lain yang menonton. Olahraga dianggap sebagai
aktivitas yang menyenangkan dan membawa banyak manfaat antara lain: tubuh menjadi
sehat, hati senang atau bahkan mendapatkan hadiah. Perkembangan olahraga dewasa ini
telah mengubah paradigma olahraga sebagai aktivitas untuk mencari kesehatan menjadi
aktivitas yang bersifat menghibur. Orang bermain sepakbola di halaman rumah, bulu
tangkis di depan masjid dan masih banyak aktivitas olahraga yang bertujuan sebagai
kesenangan.
Olahraga menurut Wann (1997) adalah aktivitas yang melibatkan power dan skill,
kompetisi, strategi, dan/atau kesempatan, dilakukan untuk kesenangan, kepuasan dan/atau
pencapaian pribadi (misal; pendapatan) dari pelaku atau orang lain (mis. penonton),
meliputi olahraga terorganisasi dan olahraga rekreasional, dan olahraga sebagai hiburan.
Menurut definisi tersebut, olahraga adalah aktivitas fisik yang melibatkan power
(tenaga) dan skill (keterampilan). Kedua unsur ini harus hadir dalam setiap olahraga karena
memang olahraga adalah aktivitas fisik yang dipadu dengan keterampilan. Selain itu,
definisi di atas juga menunjuk pada olahraga terorganisasi (prestasi) dan olahraga
rekreasional. Perbedaan utama kedua jenis olahraga ini adalah tujuan akhir yang ingin
dicapai. Olahraga prestasi bertujuan untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya yang
disimbolkan dengan menjadi juara, mendapat medali emas dan sebagainya. Sedangkan
olahraga rekreasi semata-mata bertujuan untuk mendapatkan kesenangan dan badan yang
sehat.
Melihat betapa pentingnya olah raga bagi kehidupan (semua orang), maka tak ayal
bahwa olah raga pada hakikatnya merupakan milik semua orang pula, baik laki-laki maupun
wanita. Namun ternyata ini menjadi kendala yang luar biasa. Dikotomi laki-laki wanita,
terutama pada peran reproduksi, menjadi palang pintu pemisah hak laki-laki dan wanita
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
374
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
dalam bidang olah raga. Bahwa wanita tidak memiliki power sekuat lelaki dan keterampilan
sekaliber lawan jenisnya, menjadi kendala yang merintangi keterlibatan mereka dalam olah
raga.
Dipandang dari aspek sosial, Anwar dan Saryono (2009) memandang bahwa
dikotomi laki-laki dan wanita dalam olah raga pertama-tama disebabkan oleh perbedaan
gender. Konsep gender memandang perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan wanita.
Manusia lelaki adalah makhluk yang memiliki penis, jakala, testis, dan menghasilkan
sperma. Sementara manusia wanita adalah manusia yang memiliki rahim, melakukan
reproduksi yaitu melahirkan menyusui, dan sebagainya. Alat-alat tersebut melekat pada
jenis kelamin laki-laki dan wanita selamanya, bersifat kodrati dan tidak bisa dipertukarkan
Sedangkan konsep gender adalah konsep yang memilahkan antara kaum aki-laki dan wanita
atas dasar pensifatan yang dikonstruksikan secara sosial, tidak melekat secara permanen dan
bisa dipertukarkan contohnya adalah sifat feminim ( lemah lembut, emosional, sensitif,
cantik, dst.) yang secara sosial cenderung dilabelkan kepada wanita. (Fakih, 1997) Konsep
gender inilah yang memisahkan antara laki-laki dan wanita dalam lah raga.
Kini, di abad yang serba canggih ini, kecenderungan marginalisasi wanita dan olah
raga agaknya bisa disinyalir semakin menipis, seiring dengan terjadinya perubahan yang
signifikan akan minat wanita terhadap olah raga. Markovitch (.......) menyebut bahwa
wanita, tak diragukan lagi, akan menjadi bagian yang besar dari penggemar olah raga ini.
Sementara itu, jumlah wanita yang memproklamirkan diri sebagai penggemar olahraga
telah meningkat secara signifikan selama bertahun-tahun.
Partisipasi wanita dalam bidang olah raga meningkat secara dramatis. Hal ini terjadi
di hampir semua negara industri besar, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Perubahan ini
terjadi juga di negara-negara miskin dan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pada
pertengahan tahun 1970-an manusia seolah-olah tersadarkan akan manfaat olah raga secara
keseluruhan. Bahkan olah kemudian disinyalir mampu menjaga kecantikan wanita,
membuat tubuh menjadi ramping, menyebabkan wanita memiliki pandangan berbeda
terhadap olah raga dibanding sebelumnya. Banyak publikasi tentang gerakan kaum wanita
dipengaruhi oleh ide tradisional tentang feminimisme yaitu bertubuh ramping dan menarik
bagi pria, juga ada penekanan pada perkembangan kekuatan fisik dan kompetensi (Coakley,
2004)
Pada sisi lain, keterbukaan wanita dan sekaligus juga masyarakat terhadap olah raga
dimungkinkan oleh tercuatnya kesetaraan gender yang lebih memberikan kesempatan
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
375
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
kepada wanita untuk lebih banyak terlibat di dalam olah raga. Salah satu payung hukum
yang melindungi hak-hak wanita dalam segala bidang adalah Konstitusi UUD 1945, Pasal
27 (2) dan UU No. 7/1984 yang meratifikasi Konvensi CEDAW (Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita). Seperti pula dilansir Sulistyowati Irianto, M.A.dan
Titiek
Kartika Hendrastiti (2009), Indonesia pun telah mengikuti Pertemuan Wanita
Sedunia di Beijing tahun 1995, yang menyepakati tentang 12 area keprihatinan. Keduabelas
isu ini masih menjadi keprihatinan pada pertemuan Beijing Plus Five (2000), dan Beijing
Plus Ten (2005) terdiri atas :
1. Wanita dan kemiskinan,
2. Wanita dan pendidikan,
3. Wanita dan lingkungan,
4. Wanita dan ketenagakerjaan,
5. Wanita dan konflik bersenjata,
6. Wanita dan Ekonomi
7. Wanita dalam politik dan kebijakan,
8. Kekerasan terhadap wanita,
9. Wanita dan hukum,
10. Wanita dan media,
11. Diskriminasi terhadap anak wanita, dan
12. Buruh wanita
Merunut pada kesepakatan tersebut, maka olah raga sebagai bagian dari ranah sosial
menjadi salah satu aspek dalam pengarusutamaan gender. Dengan demikian, tidak dapat
dipungkiri, olah raga secara hakiki adalah juga milik wanita yang seyogyanya dilakukan
juga oleh wanita secara aktif.
Walaupun channel telah terbuka, Andri Markovits dan Emily Albertson mencatat
bahwa masih ada perbedaan minat olah raga pada laki-laki dan wanita. Menurut keduanya,
jangan harap wanita berbicara tentang even olah raga lebih banyak dari pada laki-laki. The
significant ways many women have become fully conversant with sports—acquiring a
knowledge of and passion for them as a way of forging identities that until recently were quite
alien to women. Demikianlah, bahwa untuk hal-hal tertentu, ternyata wanita masih terasing
dalam even-even olah raga.
Guna mendongkrak minat wanita dalam olah raga, di Amerika Serikat muncul
istilah sportista. Menurut Professor Markovits dan Ms. Albertson, istilah sportista merujuk
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
376
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
pada pengertian kegemaran (fun) terhadap olah raga, sebagaimana wanita menggemari
fashion (fashionista). Sportista beranggotakan para wanita yang memiliki minat khusus
akan olah raga, walaupun hanya sebagai penggemar. Namun keterlibatannya dalam
berbicara tentang olah raga dan even-even olah raga besar di dunia merupakan suatu
kemajuan besar.
Charly Sever Bridge dalam jurnal Gender and Sport (2005) mencatat tentang pentingnya
mempertimbangkan gender dalam olah raga. Beberapa alasan dikemukakan, antara lain :
Olah raga secara tradisional dihubungkan dengan maskulinitas.
Praktek olah raga berkaitan dengan asumsi tentang kerja dan kesenangan, yang
berbeda antara laki-laki dan wanita. Dalam hal ini, kesempatan wanita yang lebih
banyak sibuk di rumah, memiliki kesempatan olah raga sebagai leisure lebih sedikit.
Sebagian masyarakat menilai olah raga sebagai sesuatu yang produktif. Sayangnya,
produktivitas olah raga justru akan bernilai lebih jika laki-laki yang melakukannya.
Laki-laki dan wanita bersentuhan dengan olah raga dalam perspektif yang berbeda.
Hal ini disebabkan oleh budaya, etnis, kelompok, kelas sosial ekonomi atau kasta.
Upaya penyetaraan gender dalam olah raga dicanangkan me alui th Brighton
Declaration (1994) yang ditindakaljuti dengan Konferensi Dunia tentang Wanita dan Olah
Raga di Montreal Kanada tahun 2002, yang menghasilkan deklarasi berikut :
Keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat dan olah raga
Perencanaan, desain dan menejamen olah raga harus mempertimbangkan kebutuhan
wanita
Kepemimpinan wanita dalam olah raga termasuk peningkatan jumlahnya.
Pembahasan
Olah Raga dan Wanita. Aktivitas fisik yang sangat populer hampir di seluruh aspek
kehidupan manusia, khususnya bidang kesehatan pada era kehidupan modern sekarang
adalah olah raga. Bila dipandang dari sudut kesehatan ada beberapa nilai positif yang sangat
bermanfaat,
di
antaranya
adalah
:
kegembiraan,
membangkitkan
percaya
diri,
kardiovaskular serta integritas tulang. Manfaat-manfaat positif yang lebih mengarah kepada
manfaat praktis tersebut besar pula manfaatnya bagi wanita.
Sehubungan dengan itu, kini wanita banyak yang melibatkan diri dalam dunia olah
raga. Ini merupakan kemajuan yang dicapai setelah lama sekali wanita terabaikan dari
kegiatan olah raga. Namun kenyataan menunjukkan, bahwa ambiguitas kewanitaan tetap
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
377
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
menjadi kendala yang cukup besar. Di lapangan, wanita tidak bisa menghilangkan
feminimisme yang dimiliki, dan itu cukup menjadi kendala bagi wanita untuk bergerak
bebas sebagaimana laki-laki. Retorika emansipasi kiranya belum cukup layak dialamatkan
kepada dunia olah raga, meskipun di luar negeri muncul sportista dan semacamnya. Sebagai
negara patrialis, Indonesia mengalami kendala yang cukup rumit, meskipun beberapa juara
dunia pada olah raga yang diikuti wanita dimenangkan oleh Indonesia.
Verbal sexual harrasment sebagaimana telaah Charly Sever Bridge (2002)
kerapkali muncul dan itu menjadi sumber perasaan risih bagi olahragawati, yang pada
beberapa bidang olah raga harus mengenakan pakaian minim dan memperlihatkan
sensualitas tubuh. Pada olah raga renang misalnya, penonton dengan bebas dapat melihat
bagian-bagian tubuh wanita yang seksi dan menarik perhatian. Terlebih batas antara publik
penonton dan pelaku olah raga yang bias, yang menyebabkan keduanya memungkinkna
terjadinya kontak fisik langsung, selain tentu saja jarak pandang yang sangat dekat.
Konstruksi bangunan yang tidak memisahkan secara tegas antara publik dengan pelaku,
menyebabkan gangguan bagi keikutsertaan wanita dalam even-even olah raga. Suasana risih
demikian terutama akan sangat dirasakan oleh para wanita yang beragama Islam. Lain
halnya dengan wanita yang lahir di negara non-muslim, suasana risih demikian mungkin
tidak seberat yang dirasakan muslimah.
Walau bagaimanapun, olah raga sebagai konsumsi publik, tidak bisa diredam
hanya karena keterbatasan peluang. Demi sebuah prestasi, dan demi prestise negara,
muslimah maupun non-muslimah, harus mempertimbangkan penampilan terbaiknya dalam
cabang olah raga yang digelutinya. Dalam hal ini, gender memandang olah raga sebagai
sesuatu yang universal dan berlaku bagi siapa saja tanpa pandang bulu.
Sehubungan dengan itu, pengembangan olah raga yang mampu menembus semua
lapisan masyarakat dan menembus dinding pemisah gender dimulai sejak anak usia dini.
Hal ini sejalan dengan Resolusi PBB 58/5 yang menyerukan agar semua negara
menggunakan olah raga sebagai alat untuk mempromosikan pendidikan, kesehatan,
pembangunan dan perdamaian. Tahun 2005 bahkan diumumkan sebagai Tahun Pendidikan
Olah Raga dan Kesehatan. Dari profesional, elit dan internasional menyelenggarakan
kompetisi olah raga yang dimainkan di dalam masyarakat dan institusi pendidikan, pun,
olah raga dapat digunakan untuk mewujudkan sejumlah tujuan pembangunan, termasuk :
Pembangunan manusia; meningkatkan kesehatan dan kehidupan masyarakat,
mendukung pendidikan dan kegiatan rekreasi.
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
378
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Pembangunan sosial; meningkatkan stabilitas, toleransi, pembangunan inklusi
sosial dan masyarakat;
Pembangunan Ekonomi; investasi pemeliharaan dan penyertaan kesempatan
Pembangunan politik dalam rangka mempromosikan perdamaian dan respek
terhadap demokrasi.
Manfaat Olah Raga Bagi Wanita
Masuknya wanita dalam dunia maskulinitas memang berawal dari adanya gerakan
sosial wanita yang terjadi secara global untuk mempertegas para wanita berkembang
menjadi manusia yang sempurna dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan fisik
mereka. Pengembangan intelektual dan fisik wanita telah menjadi fondasi partisipasi
mereka dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Kesadaran akan manfaat aktivitas
jasmani bagi kesehatan telah mendorong para wanita untuk mencoba kesempatan
memainkan berbagai macam olahraga. Aktivitas jasmani yang dilakukan para wanita juga
telah mengubah image feminitas melalui pengembangan kompetensi dan kekuatan fisik
mereka. Kenyataan tersebut di atas merupakan landasan filosofis yang kental bagaimana
mulanya para wanita dapat berkecimpung dengan bebas dalam dunia olahraga.
Olah raga, selain bertujuan untuk meningkatkan partisipasi wanita, juga untuk
mempromosikan tujuan kesetaraan gender secara lebih luas. Olah raga dapat memberikan
akses kepada wanita ke ruang-ruang publik di mana mereka biasa berkumpul,
mengembangkan skill bersama, menghimpun dukungan dari luar dan menikmati kebebasan
ekspresi dan gerak, semuanya itu merupakan hal penting bagi kekuatan wanita.
Olah raga dapat mengembangkan rasa memiliki pada wanita atas diri mereka
sendiri, meningkatkan rasa harga diri dan membuat pilihan yang lebih baik tentang
kehidupan mereka, termasuk kegiatan seksual. Dalam situasi kekurangan dan ketimpangan,
rasa memiliki atas diri sendiri menjadi sangat penting. Lebih dari itu, olah raga dapat
menyediakan channel untuk menginformasikan tentang kesehatan reproduksi dan isu-isu
kesehatan lainnya, khususnya wanita yang belum menikah yang mungkin tidak menerima
informasi.
Prestasi dan Pengakuan. Prestasi para wanita dalam olahraga sangat luar biasa. Para
wanita masuk pada berbagai cabang olahraga dengan semangat yang tinggi untuk
menghapus anggapan bahwa olahraga hanya hegemoni maskulin. Pada olimpiade-olimpiade
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
379
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
awal wanita hanya mengikuti cabang olahraga tenis, berlayar, kriket, menunggang kuda,
dan golf. Sekarang para wanita sudah dapat memainkan berbagai cabang olahraga modern
seperti sepakbola, hoki, olahraga bela diri, triathlon dan bahkan pentathlon. Walaupun
demikian, jumlah olahraga-olahraga untuk wanita di Olimpiade dan pertandinganpertandingan internasional lainnya masih kurang. Hal ini menjadi salah satu masalah dalam
pemberian kesempatan para wanita untuk berpartisipasi dalam olahraga-olahraga kompetitif
tingkat dunia. Begitu juga dengan kesempatan untuk bermain dalam olahraga-olahraga
profesional selalu ada ketakutan untuk para wanita. Meskipun begitu sekarang ini banyak
para wanita berprofesi sebagai atlit yang menggantungkan hidupnya dari prestasi di ajang
olahraga.
Prestasi yang dicapai para wanita dalam olahraga sering pula dikaitkan dengan
pandangan yang tradisional dan modern terhadap mereka. Pandangan tradisional
menyebutkan bahwa wanita adalah makhluk feminis, lemah lembut, serta memiliki image
seksualitas yang tinggi sebagai bentukan budaya di seluruh dunia. Ketika wanita itu
berpartisipasi dalam olahraga dan berprestasi, berbagai pandangan mulai dari tubuh yang
lebih maskulin dan kehidupan seksualitas mereka yang sering kali menjadi bahan
pembicaraan.
Salah satu olahraga yang sering menjadi perhatian dalam masalah wanita dan
olahraga adalah Tenis. Pemain tenis wanita seperti Anna Kournikova, Martina Navratilova,
dan Amelie Mauresmo memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Para pemain
olahraga wanita itu membangun jati diri mereka sendiri di lapangan, tetapi persepsi media
dan orang yang menonton membangun image mereka di luar lapangan. Anna Kournikova
membangun
identitas
dirinya
dengan
bergaya
modis,
memakai
pakaian
yang
memperlihatkan lekuk tubuhnya, rambut diparas cantik sehingga image terhadap dirinya
yang timbul sebagai ”sport babes” merupakan salah satu bentuk pandangan media dan
orang lain. Pria akan memandang pemain olahraga wanita seperti Anna Kournikova
melebihi dari batas-batas seksualitasnya.
Di Indonesia pernah lahir dan akan terus lahir, olahragawati yang masuk dalam
jajaran olahragawati elit dunia, dan ini merupakan contoh kecil prestasi yang dicapai oleh
para wanita olahraga Indonesia. Media dan mayarakat Indonesia waktu itu lebih melihat
bahwa mereka benar-benar berprestasi melalui semangat juang dan jiwa nasionalisme yang
tinggi. Tidak ada pandangan negatif yang diberikan pada mereka karena norma dan nilai
yang ada memberikan perlindungan jaminan kebebasan mengekspresikan diri dalam
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
380
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
olahraga tersebut. Pandangan sexualitas terhadap mereka seolah hilang karena prestasi yang
telah ditunjukkan. Prestasi dan seksualitas wanita olahraga di Indonesia tidak memiliki
hubungan yang kuat karena nilai dan norma yang dimiliki bangsa Indoensia telah memberi
perlindungan bagi perkembangan partisipasi wanita dalam olahraga.
Pada kajian ini akan dikemukakan sebuah kasus seputar kesetaraan gender dalam
olah raga yang dialami dua sosok atlit yang pernah mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Dua nama itu adalah Susy Susanti dan Elizabeth Latif. Mereka adalah manajer dan wakil
tim Piala Uber Indonesia. Kemunculan nama keduanya sekaligus menjawab bahwa
kesetaraan gender di Indonesia telah mendapat kepercayaan dan pengakuan. Sekaligus juga
mencuatkan isu krusial kesetaraan gender di bidang olah raga telah terjadi, dan kemudian
berlangsung hingga sekarang. Sebagai satu-satunya wanita yang pernah meraih medali emas
Olimpiade, Susy Susanti pantas mendapat tempat tersendiri dalam catatan sejarah olah raga
Indonesia.
Nama lain yang cukup mampu mengharumkan nama bangsa di kancah dunia
antara lain Yayuk Basuki pada cabang olah raga tenis lapangan. Sebelumnya, pernah
muncul pula peraih medali di olimpiade, yaitu trio srikandi Indonesia di cabang olah raga
panahan, Nurfitriana, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani. Walaupun bukan medali
emas, namun eksistensi mereka telah memberikan kontribusi yang baik untuk mencuatkan
nama bangsa di kancah dunia. Itu artinya bahwa melalui kesetaraan gender promosi bidang
sosial kemasyarakatan secara teoritis maupun praktis terbukti. Sejumlah nama lain yang
luput disebut di sini juga pantas dicatat dengan tinta emas, karena mereka telah berhasil
menembus batas gender dalam dunia olah raga.
Nilai tambah yang dapat dipetik dari keberhasilan wanita-wanita tersebut adalah
keberhasilan mereka merengkuh sesuatu yang selama ini ditabukan. Dalam sejarah
olahraga, semula wanita tidak menjadi prioritas dalam pengembangan olah jasmani.
Olahraga praktis identik dengan maskulinitas. Wanita yang menekuni olahraga prestasi
dianggap anomali.
Dalam perkembangannya, peran wanita semakin besar dalam olahraga sejalan
pemahaman hak asasi manusia dan kesetaraan gender. AS mengeluarkan Akta Title IX
1972 untuk menegaskan bahwa wanita sederajat dengan pria di olahraga. Sebelumnya,
kesempatan untuk wanita sangat terbatas. Pada tahun 1970, hanya 1 dari 27 wanita
berolahraga, setelah 30 tahun kini ada 1 dari 3 wanita berolahraga di AS. Tiga olahraga
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
381
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
paling diminati adalah bola voli, basket, dan sepakbola. Artinya, jarak perbedaan pelaku
olah raga pada cabng-cabang tertentu antara lelaki dan wanita semakin menipis.
Totalitas Eksistensi. Selain buyer potensial, wanita adalah brand loyalist. Jika sebuah
brand sudah menancap di benak mereka, kesetiaan wanita sangat tinggi. Kesetiaan itu pun
akan diturunkan jika ia memiliki anak atau ditularkan pada komunitasnya jika ia belum
berkeluarga.
Sayangnya potensi wanita di olahraga di Tanah Air belum digarap benar-benar.
Sosok Rita Subowo sebagai Ketua Umum KONI/KOI menjadi bukti bahwa wanita pun bisa
menjadi pemimpin olahraga nomor satu. Dalam kasus gesekan dengan Menegpora beberapa
waktu lalu, lewat naluri kewanitaannya persoalan yang berpotensi tajam itu berhasil
diselesaikan dengan aman.
Wanita akan cenderung memberikan waktu dan menyalurkan energinya untuk
orang lain. Ia pun akan lebih memilih memberikan cintanya untuk yang ia cintai, dalam hal
ini olahraga, daripada memperpanjang konflik dengan orang lain. Secara empirik, ini sudah
terbukti sebagaimana kasus yang dialami Rita Subowo di atas.
Waktu berolahraga memang sangat mahal bagi wanita Indonesia saat ini, apalagi
bagi mereka yang dobel job sebagai wanita karier sekaligus ibu rumah tangga. Padahal
anak-anak mereka hampir semuanya ikut aktivitas olahraga di sekolah. Dari berbagai
referensi, ibu adalah penentu kegiatan ekstrakurikuler seorang anak!
Kondisi ini tidak boleh dibiarkan dan dianggap enteng. Soalnya sebagai influencer,
wanita memegang kunci terhadap kelangsungan regenerasi atlet Indonesia. Serius tidaknya
seorang anak berkarier di olahraga sangat tergantung apa kata ibu.
Kini, dalam usianya yang sudah mulai lanjut, di samping sebagai ibu rumah
tangga, Susy atau Elizabeth kembali ke lapangan, untuk memenej dan memimpin cabang
olah raga yang dikuasainya. Kehadiran mereka perlu diberikan acungan jempol. Jika perlu,
kepada mereka sewajarnya diberikan bantuan agar mereka bertambah kaya ilmu
manajemen, psikologi, dan pedagogi dalam mendampingi para juniornya. Figur-figur
wanita lain pun harus berani dimunculkan.
Wanita yang mau berkarier sebagai pelatih nasional juga harus didukung penuh,
jangan malah dihambat. Mereka memiliki kelebihan mendasar dibanding pria, yakni naluri
melayani orang lain secara total. Itulah bagian dari kodrat wanita yang membedakannya
dengan pria.
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
382
Olahraga dalam Perspektif Gender: menguak tabir marginalisasi wanita dalam olahraga
Simpulan
Akhirnya perlu diakui, bahwa olahraga dengan berbagai manfaat yang dijanjikan,
memberikan peluang yang cukup banyak bagi perempuan untuk berkiprah di dalamnya.
Tanpa mengesampingkan kodratnya sebagai wanita, yang dibekali Tuhan dengan sifat
lemah lembut dan kecantikan yang dimiliki, wanita tidak lagi harus merasa risih dengan
dunia luar yang menyaksikannya. Keberterimaan dunia akan eksistensi mereka di dunia
olah raga memberikan keleluasaan yang luar biasa.
Demikianlah, olah raga dalam perspektif kesetaraan gender dapat diterima, dan
seyogyanya didukung oleh semua pihak agar boomingny lebih terasa. Wanita bukan lagi
sub ordinta. Bukan saja untuk bidang olah raga, namun juga untuk semua sisi kehidupan.
Daftar Rujukan
Charly Sever Bridge. (2005) Gender & Sport. Mainstreaming Gender in Sport Project.
Brighton, UK : University of Sussex.
Coakley (2004). Sport in Sociaty : issues and controversies. University of Calivornia :Times
Mirror/Mosby College Pub
Komarudin MK (2012) Pengantar Psikologi Olah Raga. Yogyakarta : UNY.
M. Hamid Anwar dan Sarjono. (2009) Kontroversi Citra Perempuan dalam Olah Raga.
Yogyakarta : UNY.
Rea Abada Chiongson (2010). Apakah Hukum Kita Meningkatkan Kesetaraan Gender?
Buku Pegangan Untuk Tinjauan Hukum Berbasis Cedaw. Bangkok : UN WOMEN
East and Southeast Asia Regional Office
Wann, D.J. (1997) Sport Psychology. Upper Saddle River, New Jersey.
Catatan tentang : Professor Andrei Markovits Talks about Gender and Sports
eko@bolanews.com
Seminar Nasional Pendidikan Jasmani 2013
383