Kebijakan Keuangan Publik Dalam Peningka

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

Bab 11 Kebijakan Keuangan Publik
Peningkatan Daya Saing Nasional

201
4
Dalam

Kodrat Wibowo

11.1 Gambaran umum
Keuangan publik merupakan bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari
aktivitas finansial pemerintah yang menjelaskan tentang belanja publik
dan bagaimana pemerintah membiayai belanja tersebut melalui
pendapatannya. Hal yang dipelajari dalam Keuangan publik adalah
bagaimana proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam hal belanja dan penerimaan, karena setiap keputusan
tentunya akan mempunyai pengaruh terhadap ekonomi, keuangan rumah
tangga dan swasta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fokus
keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah,

dan juga menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja
pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi.
Keuangan publik pada dasarnya akan berkaitan erat dengan proses
pengambilan keputusan yang berdasarkan asas demokrasi. Dalam
konteks ini, para wakil rakyat bersama sama dengan Pemerintah
melakukan pembahasan dan memutuskan anggaran yang akan dijalankan
pada tahun anggaran berikutnya, dan di samping itu para wakil rakyat
juga diwajibkan untuk melakukan pengawasan atas penggunaan uang
negara yang berasal dari pembayaran pajak sehingga akan dibelanjakan
dengan sebaik baiknya untuk pencapaian kondisi pelayanan publik yang
lebih baik.
Dalam perekonomian khususnya terkait dengan daya saing nasional,
fungsi sektor publik harus dibedakan dengan fungsi rumah tangga dan
perusahaan. Namun demikian, akan terdapat hubungan yang erat antara
arus sektor swasta (rumah tangga dan perusahaan) dan sektor
pemerintah. Sektor publik (anggaran pemerintah) akan memberikan
kontribusi pada pasar faktor produksi dan pasar produk sehingga
merupakan bagian integral dari sistem pembentukan harga. Itulah
sebabnya dalam merancang suatu kebijakan fiskal, perlu diperhatikan
bagaimana sektor swasta akan bereaksi. Pada akhirnya daya saing

nasional yang meliputi keseluruhan sektor publik maupun swasta dapat
ditingkatkan.
Terdapat sejumlah kriteria dalam menilai pentingnya sektor publik. Kriteria
pertama adalah komposisi output pengeluaran publik haruslah sesuai
dengan keinginan konsumen, kedua adanya preferensi pengambilan
keputusan yang terdesentralisasi, dan ketiga tidak menyerahkan ekonomi
hanya pada kekuatan pasar, karena mekanisme pasar tidak dapat
melaksanakan semua fungsi ekonomi. Dengan demikian karakteristik
103

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

kebijakan publik mempunyai sifat mengarahkan,
melengkapi peranan mekanisme pasar.

201
4

mengoreksi


dan

Secara aturan, upaya meningkatkan daya saing nasional melalui kebijakan
keuangan publik perlu diwujudkan melalui adanya good governance
dalam hal pengelolaan keuangan negara secara profesional, transparan,
dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam UUD 1945. Aturan pokok yang telah ditetapkan dalam
UUD 1945 tersebut dijabarkan oleh UU No. 17/2003 ke dalam asas-asas
umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan negara,
seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas
spesialitas; maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices
(penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan
negara, antara lain akuntabilitas, berorientasi pada hasil, profesionalitas,
proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan
pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Lebih jauh lagi dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah,
penjabaran keuangan negara dalam kaitannya dengan keuangan daerah
provinsi, Kota/Kabupaten dijabarkan dalam UU No. 32/2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah yang menjelaskan mekanisme
transfer pusat daerah melalui asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Guna

memperjelas fungsi keuangan daerah khususnya dalam hal pendapatan,
maka UU No. 29/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah juga
dikeluarkan dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik
dan menunjang pengelolaan keuangan negara secara lebih utuh dan lebih
baik.

11.2 Permasalahan prioritas bidang keuangan publik
Dengan berbagai
dinamika dan perkembangan dasawarsa terakhir,
disadari bahwa daya saing nasional mau tidak mau dipengaruhi oleh
faktor keuangan publik. Tingkat kinerja pengelolaan keuangan publik akan
mempengaruhi kinerja perekonomian dan kesejahteraan secara
keseluruhan melalui peranan keuangan publik dalam peran sosial dan
penentu efisiensi khususnya di sektor swasta. Dalam hal ini jelas terlihat
bahwa peran keuangan publik dalam mendukung daya saing nasional
adalah melalui perannya sebagai penyeimbang antara peran mekanisme
pasar dan campur tangan belanja serta pendapatan pemerintah dalam
pembangunan ekonomi dan pencapaian kesejahteraan nasional.
Berikut adalah 5 (lima) masalah prioritas pengelolaan keuangan publik di
Indonesia terkait dengan peranannya dalam mendukung daya saing

nasional:

104

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

11.2.1
Keuangan publik lebih menjadi produk keputusan
politik dibandingkan supply kebijakan terhadap demand
public interest
Politik anggaran adalah penetapan berbagai kebijakan tentang proses
anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah
membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan
didistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang
apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk
meningkatkan pelayanan publik. Anggaran karenanya merupakan salah
satu dari instrumen politik secara realita di seluruh pemerintahan negara

manapun.
Sudah bukan merupakan rahasia umum untuk mengetahui bahwa
keterlibatan politik dalam keuangan publik sangatlah dominan untuk
beberapa peluang sbb:
 Penentuan rencana program kerja pemerintah, baik mulai dari
perencanaan sistem pembangunan nasional dan daerah, RPJP, RPJM,
RKP, hingga Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
 Penentuan prioritas APBN/APBD, baik sisi belanja maupun
penerimaan.
 Penentuan kebijakan anggaran, yang menentukan perlunya pos
pembiayaan (defisit, surplus, berimbang); dan
 Penentuan besaran alokasi anggaran per pos belanja.
Politik anggaran tentunya memegang peranan penting dalam hal
keuangan publik. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara menciptakan lingkungan pendukung dengan adanya
landasan bagi tatanan kontraktual kinerja antara lembaga-lembaga pusat
(central agency) seperti Kementerian Keuangan dengan Kementerian
Negara/Lembaga teknis. Kesepakatan-kesepakatan ini mencerminkan
platform politik pemerintah. Namun secara teori dan konsep mendasar
kebijakan keuangan publik seharusnya merupakan supply dari adanya

demand dari kepentingan masyarakat yang membutuhkan peran
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan publik masyarakat (public
interest). Walaupun terdapat tentang teori capture yang menyiratkan
bahwa kebijakan keuangan publik bisa saja diputuskan berdasarkan
adanya lobby dari interest kelompok tertentu yang bisa jadi positif
terhadap kepentingan interest masyarakat yang lebih luas, namun
kebijakan keuangan publik di Indonesia masih kental dengan dominannya
peran legislatif dalam pengambilan keputusannya. Keputusan tentang
berapa alokasi anggaran yang akan diberikan pada satu prioritas
pembangunan tertentu atau keputusan tentang berapa pajak penghasilan
akan ditarik dari masyarakat masih sangat tergantung pada pertimbangan
legislatif yang ditenggarai lebih banyak dipengaruhi oleh faktor non
ekonomi apalagi masalah peningkatan daya saing nasional.
Terlibatnya beragam aktor sepanjang proses penganggaran, mulai dari
perencanaan dan penyusunan di lingkungan birokrasi, sampai
105

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201

4

pengesahannya di DPR RI, menjadikan anggaran sebagai arena kontestasi
politik penting terutama menjelang dan setelah Pemilu. Tidak
mengherankan, banyak pihak menilai anggaran sebagai proses politik
arena perebutan sumber daya publik antara berbagai kepentingan, baik
aktor‐aktor di dalam lingkaran sistem politik yang berlaku maupun
kelompok kepentingan lain yang memiliki pengaruh terhadap keputusan
politik anggaran.Dari sisi lain salah satu penyebab korupsi terbesar di
Indonesia adalah “liarnya” partai politik (Parpol) dalam mencari sumber
dana. Kevakuman hukum dimanfaatkan Parpol untuk mencari dana dari
berbagai sumber. Salah satu sumber dana terbesar adalah APBN dan
APBD. Meski tidak gampang dibuktikan, sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa Parpol lewat anggotanya yang ditempatkan di Badan atau
Panitia Anggaran DPR/DPRD memiliki peluang untuk menentukan alokasi
belanja guna kepentingan partai dan konstituennya.
11.2.1.2 Disharmoni kebijakan keuangan publik antar sektor
dan tingkat pemerintahan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa terjadi benturan kepentingan antara
khususnya Bappenas, Kemenkeu, dan Kemendagri dalam pengambilan

kebijakan dalam hal perencanaan dan penganggaran. Intinya terdapat dua
undang-undang yang tarik menarik dalam hal perencanaan dan
penganggaran yaitu munculnya UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembanguan Nasional (SPPN). Belum lagi dengan eksistensi UU No.32
tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004 yang pada pelaksanaannya
menunjukkan adanya kecenderungan dari tidak selarasnya kebijakan
keuangan publik terkait kegiatan perencanaan dan penganggaran
khususnya pada lingkup perencanaan dan penganggaran daerah (APBD).
Dalam UU 25 tahun 2004 tentang SPPN, rencana jangka panjang yang
disebut Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) berperiode 20
tahun, diamanatkan bahwa RPJP Provinsi memperhatikan RPJP Nasional
dan RPJP Daerah memperhatikan RPJP Provinsi. Namun bila melihat UU No.
32 tahun 2004 yang juga mengatur seluruh aspek kegiatan pemerintahan
di tingkat daerah termasuk perencanaan dan penganggaran; walaupun
jabaran pasal per pasalnya memang terlihat umum, namun disadari telah
memicu masalah perbedaan interpretasi dalam proses pengambilan
kebijakan perencanaan dan penganggaran.
Sesuai dengan UU SPPN, RPJP di tingkat nasional nantinya menjadi
pedoman bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) yang

berperiode 5 (lima) tahunan. RPJMD ini merupakan penjabaran dari visi,
misi, dan program dari kepala daerah terpilih. Artinya calon kepala daerah
dalam ketika menyampaikan visi dan misinya dalam pilkada tidak boleh
melenceng dari RPJP. Sebagai contoh adalah: landasan hukum penetapan
RPJMD. Dalam UU No. 25 tahun 2004 SPPN, RPJMD cukup ditetapkan oleh
Kepala Daerah melalui peraturan kepala daerah. Namun dalam UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penetapan RPJMD melalui
106

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

peraturan daerah yang ditetapkan oleh DPRD. Dapat dibayangkan
bagaimana landasan hukum yang “agak” berbeda ini dapat
mengakibatkan perdebatan khususnya di politik lokal yang akhirnya
mengakibatkan kualitas dari RPJMD maupun pemenuhan ketepatan waktu
penyususunan menjadi tidak optimal.
Demikian pula halnya dengan implementasi UU No. 17 tahun 2003

dengan UU. No. 33 Tahun 2004 yang lagi-lagi menunjukkan banyaknya
kemiripan-kemiripan dalam pasal-pasal yang tercantum dalam kedua
Undang-undang tersebut. Memang relatif terjadi minimal benturan antara
kedua Undang-undang tersebut, namun dikhawatirkan dapat saja
menimbulkan inefisiensi dan inefektivitas dalam proses perencanaan dan
penganggaran serta mempengaruhi implementasinya.
Berbagai permasalahan terkait kebijakan dan implementasi keuangan
publik di tingkat pemerintahan daerah yang merupakan refleksi
permasalahan disharmoni kebijakan keuangan publik di tingkat pusat,
antara lain: (1) terjadinya duplikasi program dan kegiatan yang diusulkan
oleh beberapa SKPD, (2 tidak ada perda khusus yang mengatur
penyusunan anggaran, selama ini peraturannya terlalu banyak, (3)
pengaturan nomenklatur anggaran masih memungkinkan terjadinya
anggaran ganda, (4) anggaran belanja langsung biasanya lebih kecil
dibandingkan anggaran belanja tidak langsungterlebih lagi prioritas
pembangunan belum tercermin dalam APBD, (5) persaingan antara
Bappeda dan Biro Keuangan dalam penentuan anggaran, (6) terbatasnya
keterlibatan publik dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan
pengawasan pengelolaan anggaran publik, (7) Musrenbang masih
didominasi oleh aparat sehingga prioritas program dan kegiatan sebagian
besar untuk aparat dan (8) terbatasnya anggaran.
11.2.3

Maraknya praktek pork barrel politics

Istilah “gentong babi” (pork barrel) mengacu pada pengeluaran yang
diusahakan oleh politisi atau anggota parlemen untuk konstituennya
sebagai imbalan atas dukungan politik, baik dalam bentuk kampanye atau
suara pada pemilihan umum. Tujuannya agar mereka dapat terpilih
kembali dalam pemilu berikutnya. Praktik politik ini terus dikecam karena
cenderung menguntungkan kepentingan pribadi daripada kepentingan
umum serta rawan penyelewengan dan salah siasaran. Secara sistem
politik yang berlaku di Indonesia sekarang memang anggota perwakilan
rakyat (DPR/DPRD) dipilih berdasarkan daerah konstituen-nya. Karenanya
tidak mengherankan ada kecenderungan bahwa para wakil rakyat terpilih
akan memanfaatkan hak budgeting-nya guna memenuhi keinginan dan
kepentingan konstituen-nya di daerah bahkan lebih parah untuk
kepentingan pribadi dan partai politik pengusungnya dengan
mengenyampingkan kepentingan nasional yang lebih tinggi.
Dana aspirasi yang pernah diusulkan oleh DPR khususnya Fraksi Partai
Golkar sekitar tahun 2010 merupakan salah satu bentuk paling jelas
bagaimana kebijakan keuangan publik sangat rawan untuk diselewengkan
107

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

pada kepentingan yang tidak menyentuh sama sekali peningkatan daya
saing nasional. Sampai saat inipun kecenderungan pork barrel politics ini
masih sering ditemui baik di tingkat pusat atau daerah dalam bentuk
alokasi anggaran publik dalam bentuk belanja-belanja pemerintah yang
lebih tidak kentara tujuan pemenuhan diluar kepentingan publik yang
lebih diprioritaskan.
.2.4 Biasnya prinsip kebijakan keuangan publik dari money
follow function kepada prinsip resource envelope
Salah satu hal yang memang cukup menarik dalam UU No 32 tahun 2004
ini adalah ditetapkannya konsep “money follows the function” yang
diharapkan akan berdampak baik bagi kebijakan keuangan publik di
daerah. Konsep “money follows the function” secara sederhana
menjelaskan bahwa pengalokasian anggaran harus didasarkan pada
fungsi masing-masing unit/satuan kerja yang telah ditetapkan undangundang. Prinsip ini mengamanatkan pula bahwa penyerahan atau
pelimpahan wewenang pemerintah membawa konsekuensi anggaran
yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut
Dengan demikian, maka syarat awal yang harus dipenuhi dalam
penerapan konsep ini adalah “the right man in the right place”agar
konsep ini semakin tepat sasaran. Konsep ini ditetapkan dengan harapan
akan mengoptimalkan kinerja dari setiap instansi pemerintah dengan
anggapan jika setiap orang telah ditempatkan di posisi yang tepat/sesuai
dengannya, tentu kinerja yang dihasilkan akan lebih baik. Dengan
demikian daya saing dari daerah khususnya para pengelola kebijakan
keuangan publik daerah harus menjadi kondisi utama.
Namun, jika melihat kenyataannya saat ini, banyak daerah otonom yang
masih belum mampu menerapkan konsep ini dengan baik. Banyak
diantara satuan kerja/unit dalam instansi pemerintah daerah bukan
merupakan orang yang benar-benar ahli sehingga yang didapat hanyalah
kinerja yang kurang maksimal serta banyaknya tumpang tindih pekerjaan
karena tidak mengetahui dengan baik fungsinya masing-masing.
Namun sebenarnya hal yang lebih mendasar adalah kebijakan money
follow function pada prakteknya tidak dapat dilaksanakan dengan baik di
Indonesia karena kebijakan keuangan publik khususnya dalam hal
penganggaran lebih jelas didasarkan pada prinsip resource envelopes,
dimana alokasi anggaran khususnya pengeluaran tidak memperhatikan
fungsi yang diemban pemerintah daerah tapi lebih banyak didasarkan
pada batasan-batasan persentase atau praktek persentase pembagian
anggaran yang dikuatkan dengan keputusan politik di atas kertas. Sudah
jelas kewajiban 20% belanja APBN/APBD adalah dialokasikan pada bidang
pendidikan, belum lagi bidang kesehatan yang secara umum sering
dipatok 10% karena bidang kesehatan juga dianggap bidang prioritas
yang harus dipenuhi. Sehingga praktik ini mengakibatkan adanya upaya
politik agar ada pula batasan-batasan serupa untuk bidang-bidang yang
dibelanjai oleh negara/daerah contohnya belanja pertahanan/keamanan,
108

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

belanja infrastruktur, dan lain-lain. Jelas praktik resource envelope ini
sangat membatasi keleluasaan dari pemerintah pusat maupun daerah
dalam mengeluarkan kebijakan pengelolaan keuangan publik-nya.
.2.5 Kebijakan keuangan publik yang cenderung responsif namun
tidak antisipatif
Kebijakan keuangan publik sangat mempengaruhi kegiatan masyarakat
sektor swasta sesuai dengan fungsinya sebagai alat memperbaiki
kegagalan pasar. Dalam hal ini seyogyanya memang kebijakan keuangan
publik harus responsif terhadap berbagai shock dan dinamika perubahan
situasi apapun yang terkait dengan jalannya perekonomian dan
pembangunan termasuk situasi ekonomi global yang makin hari makin
tidak menentu.
Sudah diketahui bahwa kebijakan keuangan publik tidak dapat secara
murni fleksibel perubahannya. Respon keuangan publik sangat dibatasi
oleh siklus anggaran dimana perubahan anggaran sangat terbatas, hanya
sekali setahun untuk perubahan anggaran. Karenanya unsur responsif
sangat terasa pada setiap warna RAPBN/RAPBD dan pengesahannya,
terutama melalui asumsi makro yang dibuat secara rasional dan
memenuhi aspek prudential.
Namun kelemahan dimana APBN/APBD yang disusun tidak antisipatif
terhadap kemungkinan perubahan lanjutan masih terasa kental. Hal ini
memang tidak mudah karena membutuhkan kemampuan mumpuni dalam
memperkirakan kemungkinan terjadinya perubahan mendasar dari
fundamental ekonomi domestik maupun internasional, khususnya krisis
dari negara-negara besar yang notabene berdampak langsung terhadap
daya saing nasional khususnya bidang perekonomian.

11.3 Solusi prioritas dalam peran kebijakan keuangan
publik terhadap peningkatan daya saing nasional
Dalam rangka memecahkan masalah-masalah prioritas yang dibahas
sebelumnya, dalam rangka meningkatkan daya saing nasional dengan
ditopang oleh kebijakan keuangan publik di tingkat pusat maupun daerah
yang efisien, efektif serta maka diperlukan solusi-solusi dibawah ini.
11.3.1
Proses politik dalam penetapan anggaran yang
mengutamakan pengujian efisiensi dari setiap anggaran
yang diajukan
Masih kentalnya kebijakan keuangan publik sebagai produk politik
memang merupakan hal yang terjadi bukan hanya di tingkat
pemerintahan pusat, namun juga di daerah. Disadari bahwa masih
panjang dan berjenjangnya proses siklus penganggaran merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan panjangnya proses penganggaran. Kondisi
saat ini, dimana terdapat sekitar 3 bulan rentang waktu antara penetapan
109

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

APBN dan APBD berpengaruh pada lambatnya timing eksekusi dari
anggaran pemerintah daerah, padahal keterlambatan eksekusi anggaran
terjadi pula di tingkat pusat. Selain itu, penerimaan pemerintah daerah
yang sebagian besar disalurkan oleh pemerintah pusat melalui dana
perimbangan, juga belum di smoothing out alokasinya oleh pemerintah
pusat sehingga menghambat efektivitas pengeluaran pemerintah daerah.
Pada saat ini saja, anggaran belanja daerah disusun dan direncanakan
tidak berdasarkan suatu analisis kebutuhan yang nyata yang harus
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah tapi lebih banyak disusun secara
ekletik, dengan anggaran tahun sebelumnya sebagai acuan utama tanpa
ada proses penentuan kriteria program kegiatan seperti benefit cost
analysis dan penghitungan Net Present Value (NPV) atau Internal Rate of
Return (IRR).
Selain itu proses review dari anggaran pemerintah di tingkat legislatif
(DPR/DPRD) harus diperkuat dan ditekankan agar selanjutnya dapat
menguatkan program pengeluaran yang didasarkan atas pelibatan
partisipasi masyarakat (contoh: melalui Musrenbang), dan bukan untuk
melakukan perubahan drastis dari program pengeluaran pemerintah. Pola
hubungan dan komunikasi antara pemerintah dan legislatif harus
diarahkan pada setting kolaborasi dimana tiap pihak harus memiliki satu
tujuan yang sama yaitu menyejahterakan masyarakat, Tidak lupa bahwa
pihak yudikatif dalam hal ini perlu juga dilibatkan.
Terakhir, keseimbangan antara penguatan desentralisasi pengeluaran dan
desentralisasi penerimaan di daerah harus segera dimatangkan dalam
upaya efisiensi kebijakan keuangan publik. Hal ini tentunya harus
dibarengi dengan upaya peningkatan kompetensi SDM pengelola
keuangan baik nasional maupun daerah, serta penegakan hukum oleh
pihak yudikatif. Guna menjamin adanya efisiensi anggaran yang baik
maka penerapan Multi Term Expenditure Framework (MTEF) dalam
pembiayaan program-program relatif membutuhkan dana besar harus
diimplementasikan. MTEF akan menjamin bahwa belanja publik akan
mencerminkan kebijakan dan prioritas program pemerintah dengan lebih
baik karena MTEF adalah proses bergulir dan selalu dilakukan setiap
tahun, dan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara
ketersediaan
dengan
permintaan
dana
oleh
lembaga
publik/kementerian/dinas.
Terkait dengan kerangka peraturan perundang-undangan,ketentuan saat
ini memang telah mengatur bagaimana menerapkan MTEF, namun sama
sekali belum mengaturpenerapan prakiraan maju untuk dana transfer.
Dalam mempersiapkan anggaran Kementerian/Lembaga /Dinas dan
prakiraan majunya semua pihak harus dilibatkan . Terkaitdengan
prakiraan
maju
dana
transfer,
yang
bertanggungjawab
untukmenyiapkannya belum tegas. Meskipun Direktorat Jenderal
Anggaran
(DJA-Kemenkeu)
m e n y a t a ka n
bahwa
m e re ka
b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k m e m p e r s i a p ka n prakiraan maju jumlah
keseluruhan untuk tiap jenis dana transfer, namun institusi lainnya di
110

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

Kementerian Keuangan tidak memiliki peranan yang jelas. Akibatnya,
diperlukan
sebuah
aturan
untuk
mengatur
prosedur
dan
pendelegasian
pekerjaan
ke
berbagai
institusi
yang
bertanggung jawab dalam mempersiapkan prakiraan maju dana transfer.
Peraturan tersebut sebaiknya merupakan sebuah Peraturan Pemerintah
stand alone karena peraturan saat ini yakni PP21/2004 dibatasi untuk
mengatur RKA-KL yang tidak memuat tentang dana transfer dan PP ini
belum menyentuh mekasime MTEF di tingkat daerah. Peraturan tersebut
harus berisi prosedur untuk menghitung proyeksi ke depan tersebut
secara standar. Begitu angka prakiraan maju pendapatan negara
mengalami perubahan, secara otomatis proyeksi dana transfer terkait
dengan jenis pendapatan tersebut akan berubah. Lebih lanjut, prosedur
tersebut dapat digunakan setiap tahunnya kecuali ada perubahan
kebijakan di kemudian hari.
11.3.2
Harmonisasi proses kebijakan keuangan publik secara
horizontal dan vertical pemerintahan
Harmonisasi yang baik antara desentralisasi politik, administrasi, dan
fiskal adalah hal pertama yang harus diupayakan guna menjadikan
kebijakan keuangan publik sebagai pendorong daya saing nasional.
Mengaitkan kebijakan, perencanaan, dan penganggaran juga merupakan
hal yang tidak kalah penting guna menghasilkan kebijakan keuangan
publik yang mumpuni.
Revitalisasi dan/atau revisi terhadap UU No. 25/2004, UU No. 17/2003, UU
No. 33/2004 dan aturan serta perundang-undangan terkait perpajakan,
kewenangan pengelolaan keuangan baik pusat dan daerah juga harus
dilakukan. Beberapa ketidak-selarasan aturan dan teknis operasional
terkait perencanaan anggaran sudah terpetakan dan seyogyanya segera
diperbaiki agar kebijakan keuangan publik lebih mengarah pada
peningkatan daya saing nasional.
Efisiensi
kebijakan
pengelolaan
keuangan
publik
telah
lama
dikesampingkan pula oleh tidak harmonisnya hubungan antar daerah
kabupaten/kota. Banyak terjadi overlapping dan pemborosan dari
kebijakan alokasi anggaran pemerintah daerah yang cenderung
mengedepankan arogansi daerah dan menafikan pentingnya kerjasama
antar daerah secara horisontal. Karenanya tetap dibutuhkan kebijakankebijakan keuangan publik yang mengedepankan semangat kerjasama
daerah dan ketergantungan antar daerah melalui skema insentivedisincentive.
11.3.3
Memperkuat peranan partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas publik
Sistem keuangan publik terutama kebijakan di perencanaan dan
penganggaran sudah jelas melibatkan banyak pihak dari berbagai
kepentingan. Pelibatan stakeholders dalam setiap fase proses
perencanaan, penganggaran dan evaluasi keuangan publik baik pusat dan
111

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

daerah masih perlu upaya revitalisasi terstruktur yang bisa menjamin
bahwa kebijakan keuangan memang benar-benar merupakan produk
kebijakan publik dan bukan hanya sekedar produk politik. Pemanfaatan
teknologi khususnya bidang informasi merupakan keniscayaan yang harus
dibangun dan dibentuk dalam kerangka kebijakan pusat-daerah dalam
bidang keuangan publik.
Dibutuhkan pula adanya pergeseran secara proporsional dari fokus
Belanja tidak langsung menjadi belanja langsung khususnya belanja
modal sebagai stimulus pembangunan ekonomi. Sekarang ini ditenggarai
bahwa pemerintah provinsi memiliki kesulitan dalam pengalokasian
belanja modal karena terbatasnya kewenangan dan sumber daya yang
dimiliki pemerintah provinsi. Kebanyakan pemerintah provinsi memilih
untuk mentransfer anggarannya dengan alokasi hibah, bansos dan
bantuan kabupaten/kota yang dalam kacamata provinsi dikategorikan
sebagai belanja tidak langsung, namun menjadi belanja langsung di
tingkat kabupaten/kota melalui pengawasan pemerintah provinsi. Praktek
ini disadari cukup mengkhawatirkan karena dapat memberikan justifikasi
terhadap tidak pentingnya mengalokasikan anggaran pada belanja modal
dibandingkan belanja non modal seperti belanja pegawai, dan lain-lain.
Penguatan kapasitas fiskal sektor publik perlu juga melibatkan langsung
sektor swasta dalam pendanaan dan pembiayaan langsung swasta
kepada proyek dan program sektor publik via penerapan Public Private
Partnership (PPP). Namun disadari bahwa skema PPP ini masih sulit
diterapkan secara sempurna dan ideal pada kenyataan di lapangan
karena mengundang pihak swasta dalam berinvestasi di bidang
infrastruktur bukanlah suatu hal yang mudah. Sangat tingginya
pembiayaan penyediaan infrastruktur dan jangka waktu pengembalian
investasi yang sangat panjang merupakan faktor utama sulitnya menarik
minat investasi pihak swasta. Selain itu, masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi daya minat pihak swasta untuk berinvestasi di bidang
infrastruktur, antara lain adalah ketidakpercayaan pihak swasta terhadap
kinerja pemerintahan Indonesia terutama pemerintah daerah atau
sulitnya pembebasan lahan, dan faktor-faktor lainnya. Untuk itu,
pemerintah pusat dan daerah harus mewujudkan prinsip good
governance dalam penyelenggaraan PPP.
Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa memilih swasta secara
serampangan dalam penyediaan infrastruktur. Pemilihan swasta yang
salah akan menyebabkan gagalnya proyek penyediaan infrastruktur yang
mengakibatkan gagalnya pembangunan perekonomian masyarakat pada
umumnya. Biar
bagaimanapun juga, ketersediaan infrastruktur
merupakan tanggung jawab Pemerintah untuk memenuhinya. Jadi,
kegagalan pihak swasta dalam memberikan pelayanan penyediaan
infrastruktur merupakan kegagalan pemerintah juga, dan pemerintah
yang harus bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. Untuk itu
diperlukan suatu aturan main yang menganut prinsip good governance
dan kompetitif dalam suatu penyelenggaraan PPP yang baik.
112

White Paper Solusi Peningkatan Daya Saing Indonesia

201
4

11.3.4
Perubahan paradigma tentang konsep “public goods”
serta pembagian urusan dan kewenangan
Pelayanan publik selalu dikumandangkan bila dikaitkan dengan fungsi
kebijakan publik terutama kebijakan keuangan publik. Masalah pelayanan
publik seringkali dikaitkan dengan masalah birokrasi pemerintahan.
Kualitas pelayanan publik di Indonesia terutama di tingkat daerah
memang merupakan masalah laten yang memperlemah daya saing
nasional terutama dalam persaingan di era global saat ini.
Namun pada prakteknya implementasi pelayanan publik masih dinomorduakan dalam berbagai kebijakan, utamanya kebijakan keuangan publik.
Secara praktek urusan pelayanan publik yang notabene dapat
disandingkan sebagai pengejawantahan urusan wajib pemerintah daerah
lebih sedikit jumlah programnya yang otomatis mengakibatkan alokasi
anggaran publik juga yang semakin rendah. Dalam RPJPD, RPJMD, dan
RKPD, dengan jelas terlihat bahwa proporsi program yang disusun dan
direncanakan sangat didominasi oleh program-program yang notabene
masuk dalam kategori program pilihan, sehingga program-program terkait
pelayanan publik menjadi bukan prioritas. Hal ini memang merupakan
kelemahan dari PP No. 38/2009 yang membagi urusan dan kewenangan
pemerintahan di berbagai tingkat yang tidak secara jelas memberikan
batasan-batasan yang rinci tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan oleh pemerintah daerah. Solusi yang harus dilakukan
adalah sesegera mungkin merevisi PP tersebut agar menjadi lebih jelas.
11.3.5

Revitalisasi prinsip “money follow function”

Guna
memuluskan
penerapan
prinsip
“money
follow
function”revitalisasi prinsip Performance Planning Budgeting System
(PPBS) harus dilakukan. Selama hampir satu dasawarsa praktek
perencanaan dan penganggaran dalam keuangan publik masih belum
lepas dari paradigma lama yaitu penekanan pada input (input based).
Lebih lengkapnya dibutuhkan pula adanya penentuan ulang skala prioritas
dan bidang pembangunan tahunan, jangka menengah dan jangka
panjang.
Penerapan penganggaran berbasis kinerja paling sedikit harus
mengandung tiga prinsip, yaitu: (a) prinsip alokasi anggaran program
dan kegiatan didasarkan pada tugas-fungsi unit kerja yang dilekatkan
pada stuktur organisasi (money follow function); (b) prinsip alokasi
anggaran berorientasi pada kinerja (output and outcomeoriented);
dan (c) prinsip fleksibilitas pengelolaan anggaran dengan tetap menjaga
prinsip akuntabilitas.

113