Inflasi dan Pengangguran di indonesia

MAKALAH PENGANTAR ILMU EKONOMI
INFLASI DAN PENGANGGURAN

QEIS MUHAMMAD

2014140020

RAISHA FITRA UTAMI

2013120010

KHALDA SUCI W

2014120036

JIHAN NASIR

2012110088

RAHIMIN


2013110111

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA
JAKARTA SELATAN
2016

Inflasi dan Pengangguran

Inflasi dan pengangguran adalah 2 masalah ekonomi yang sering diangkat menjadi
komoditas politik. Sebuah pemerintahan dianggap gagal bila tidak berhasil mengatasi kedua
masalah tersebut. Mari kita bahas keduanya.
1. Inflasi
a. Definisi dan Pengertian Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-menerus. Dari
definisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan terlah terjadi
inflasi, yakni:
1) Kenaikan Harga
Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi daripada harga
periode sebelumnya. Perbandingan tingkat harga bisa dilakukan dengan berbagai
jarak waktu, yakni: sehari, seminggu, sebulan, triwulan dan setahun. Perbandingan

harga juga bisa dilakukan berdasarkan patokan musim.
2) Bersifat Umum
Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut
tidak menyebabkan harga-harga secara umum naik. Sebagai contoh, mangga Harum
Manis bukanlah komoditas pokok, sehingga tidak memiliki dampak besar terhadap
stabilitas harga.
Contoh komoditas yang bersifat umum adalah Bahan Bakar Minyak (BBM), berdasar
pengalaman negeri ini, bila pemerintah menaikkan harga BBM, maka harga-harga
komoditas lain ikut naik.
3) Berlangsung Terus-menerus
Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi jika
terjadinya hanya sesaat. Maka dari itu, perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang
waktu minimal bulanan. Sebab, dalam sebulan akan terlihat apakah kenaikan harga
bersifat umum dan terus-menerus. Jika pemerintah melaporkan bahwa inflasi tahun
ini adalah 10%, berarti akumulasi inflasi adalah 10% per tahun. Artinya, inflasi
bulanannya 10% : 12 = 0,83%.
b. Analisis Permintaan Agregat dan Penawaran Agregat
Kenaikan harga barang adalah proses penyesuaian dari gejala terjadinya peningkatan
permintaan. Begitu juga sebaliknya dengan penurunan harga barang. Analogi ini dapat
dipakai dalam analisis inflasi. Karena inflasi adalah gejala di tingkat makro, maka permintaan

dan penawaran yang dianalisis adalah bersifat agregat (menyeluruh) pada satu periode
tertentu.

1) Permintaan Agregat
Permintaan agregat adalah total permintaan barang dan jasa dalam suatu perekonomian
selama satu periode tertentu. Berikut adalah 2 faktor yang sangat mempengaruhi
permintaan agregat:
a) Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Permintaan Agregat
Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang bertujuan mengarahkan ekonomi makro
ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik tentunya), dengan mengatur jumlah
uang yang beredar. Kebijakan uang ketat (kebijakan moneter kontraktif) akan
mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Kebalikannya, kebijakan
moneter ekspansif akan menambah jumlah uang yang beredar.
Jika pemerintah mengambil kebijakan uang ketat, jumlah uang beredar akan
berkurang. Besar kemungkinan hal ini akan dapat mengurangi daya beli secara
agregat. Hal sebaliknya, yang terjadi dengan kebijakan moneter ekspansif
menyebabkan uang beredar bertambah sehingga menambah daya beli secara
agregat.
b) Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Permintaan Agregat
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang bertujuan mengarahkan ekonomi

makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik tentunya) dengan mengatur
anggaran pemerintah, terutama sisi penerimaan dan pengeluaran. Alat utama
kebijakan fiskal pemerintah adalah pajak dan subsidi. Jika pemerintah menempuh
kebijakan anggaran defisit (pengeluaran lebih banyak daripada penerimaan), maka
permintaan agregat akan meningkat, sebab untuk menempuh kebijakan anggaran
defisit, pemerintah harus mengurangi pendapatannya dengan mengurangi pajak
dan atau menambah pengeluaran. Keduanya akan meningkatkan daya beli
masyarakat. Sebaliknya, jika pemerintah menempuh kebijakan fiskal surplus
(penerimaan lebih banyak daripada pengeluaran), maka daya beli masyarakat akan
berkurang.
2) Penawaran Agregat
Kebijakan pemerintah juga sangat berpengaruh terhadap penawaran agregat.
Kebijakan moneter ekspansif misalnya, dengan memberikan bantuan kredit, dapat
meningkatkan penawaran agregat. Demikian halnya dengan kebijakan fiskal,
kebijakan fiskal ekspansif juga akan meningkatkan penawaran agregat.
3) Inflasi Tekanan Permintaan
Inflasi tekanan permintaan (demand-pull inflation) adalah inflasi yang terjadi karena
dominannya tekanan permintaan agregat. Tekanan permintaan menyebabkan output
perekonomian bertambah tetapi disertai inflasi, dilihat dari makin tingginya tingkat
harga umum.


4) Inflasi Dorongan Biaya
Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation) terjadi karena kenaikan biaya produksi.
Biasanya, menyebabkan penawaran agregat berkurang. Naiknya biaya produksi
disebabkan oleh naiknya harga input pokok. Misalnya, kenaikan upah minimum
provinsi dan BBM akan menyebabkan biaya produksi barang-barang output sektor
industri menjadi lebih mahal dan mengurangi penawaran agregat.
5) Stagflasi
Stagflasi adalah kombinasi dari dua keadaan buruk, yakni stagnasi dan inflasi. Stagnasi
adalah kondisi dimana tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar nol persen per tahun.
Jumlah output relatif tidak bertambah. Sayangnya, kondisi ini disertai inflasi.
c. Beberapa Indikator Inflasi
Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengetahui laju inflasi
selama satu periode tertentu, yakni:
1) Indeks Harga Konsumen
Indeks harga konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukkan tingkat harga
barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode tertentu. Angka IHK
diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi
masyarakat dalam satu periode tertentu.
Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan sekitar

beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang
sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perkembangan regional,
yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar, terutama ibukotaibukota provinsi di Indonesia.
Contoh :
Indeks Harga Konsumen Gabungan 27 Kota di Indonesia
Tahun 1994-1998
Akhir Periode
1994
1995
1996
1997
1998

IHK
163,17
177,83
189,62
211,62
375,89


Jika angka IHK semakin besar, maka telah terjadi inflasi.

Perubahan IHK (%)
9,60
8,98
6,63
11,60
77,63

2) Indeks Harga Perdagangan Besar
Jika IHK melihat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Perdagangan Besar
(IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu, IHPB juga sering disebut
sebagai indeks harga produsen. IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima
produsen pada berbagai tingkat produksi.
Contoh :
Indeks Harga Perdagangan Besar
Tahun 1995-1998
Akhir Periode
1995
1996

1997
1998

IHPB
240
259
282
568

Perubahan IHPB (%)
11,62
7,92
8,88
101,42

Jika angka IHPB semakin besar, maka telah terjadi inflasi.
3) Indeks Harga Implisit
IHK dan IHPB masih memberikan gambaran yang sangat terbatas. Sebab, dilihat dari
metode penghitungannya, kedua indikator tersebut hanya meliputi beberapa puluh atau
ratus jenis barang dan jasa, di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam kenyataan,

jenis barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi dalam sebuah perekonomian
dapat mencapai ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu jenis. Kegiatan
ekonominya juga seharusnya meliputi seluruh pelosok wilayah. Untuk
menggambarkan inflasi yang paling mewakili keadaan sebenarnya, ekonom
menggunakan indeks harga implisit yang disingkat IHI.
Contoh :
Indeks Harga Implisit
Tahun 1992-1996
Akhir Periode
1992
1993
1994
1995
1996

IHI
116,7
139
149,9
163,9

177,8

Perubahan IHI (%)
7,36
19,10
7,84
9,34
8,48

Jika angka IHI semakin besar, maka telah terjadi inflasi.
d. Biaya Sosial dari Inflasi
Sampai tingkat tertentu, inflasi dibutuhkan untuk memicu pertumbuhan penawaran
agregat. Sebab, kenaikan harga akan memacu produsen untuk meningkatkan output-nya. Ada
beberapa masalah sosial (biaya sosial) yang muncul dari inflasi yang tinggi (lebih dari 10%
per tahun) yakni:

1) Menurunnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat
Inflasi menyebabkan daya beli makin rendah, khususnya bagi masyarakat yang
berpenghasilan kecil dan tetap (kecil).
2) Makin Buruknya Distribusi Pendapatan

Adalah masalah bila inflasi mencapai 20% per tahun, namun hanya segelintir orang
yang mampu meningkatkan pendapatannya lebih dari 20% per tahun. Akibatnya, ada
sekelompok masyarakat yang mampu meningkatkan pendapatan riil, yaitu
pertumbuhan pendapatan nominalnya dikurangi laju inflasi lebih besar dari 0% per
tahun. Tetapi sebagian besar masyarakat mengalami penurunan pendapatan riil.
Artinya distribusi pendapatan dilihat dari pendapatan riil, makin memburuk.
3) Terganggunya Stabilitas Ekonomi
Produsen berproduksi pada kapasitas penuh (optimal), konsumen juga memakai
barang dan jasa secara optimal sesuai kebutuhan mereka. Kondisi nyaman ini mulai
terganggu bila inflasi yang relatif tinggi menjadi kronis. Inflasi mengganggu stabilitas
ekonomi dengan merusak perkiraan tentang masa depan (ekspektasi) para pelaku
ekonomi. Inflasi yang kronis menumbuhkan perkiraan bahwa harga-harga barang dan
jasa akan terus naik. Bagi konsumen, perkiraan ini mendorong pembelian barang dan
jasa lebih banyak dari yang seharusnya atau biasanya. Tujuannya untuk lebih
menghemat pengeluaran konsumsi. Akibatnya, permintaan barang dan jasa justru dapat
meningkat. Bagi produsen, perkiraan akan naiknya harga barang dan jasa mendorong
mereka menunda penjualan, untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Penawaran
barang dan jasa berkurang. Akibatnya, kelebihan permintaan membesar dan
mempercepat laju inflasi. Tentu saja, kondisi ekonomi akan menjadi semakin
memburuk.
2. Pengangguran
a. Definisi dan Pengertian Pengangguran
Menganggur tidak sama dengan tidak bekerja atau tidak mau bekerja. Orang yang
tidak mau bekerja tidak dapat dikatakan sebagai pengangguran. Seseorang baru
dikatakan menganggur bila dia ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun
tidak mendapatkannya.
Dalam ilmu kependudukan, orang yang mencari kerja masuk dalam kelompok
penduduk yang disebut angkatan kerja. Yang dihitung sebagai angkatan kerja adalah
penduduk berusia 15-64 tahun yang bekerja dan sedang mencari kerja, sedangkan yang
tidak mencari kerja tidak masuk angkatan kerja.
Tingkat pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak atau belum
mendapatkan pekerjaan. Lebih jelasnya, perhatikan diagram berikut:

Pada diagram dapat terlihat bahwa yang disebut pengangguran adalah angkatan
kerja yang mencari kerja namun belum atau tidak mendapatkannya.

1) Pendekatan Angkatan Kerja
Pendekatan ini mendefinisikan penganggur sebagai angkatan kerja yang
tidak bekerja.
2) Pendekatan Pemanfaatan Tenaga Kerja
Dalam pendekatan ini, angkatan kerja dibedakan menjadi 3 kelompok,
yakni:
a.

Manganggur
Yaitu mereka yang sama sekali tidak bekerja atau sedang mencari
pekerjaan. Kelompok ini sering disebut juga pengangguran terbuka.

b.

Setengah Menganggur
Yaitu mereka yang bekerja tetapi belum dimanfaatkan secara penuh.
Artinya, jam kerja mereka dalam seminggu kurang dari 35 jam.

c.

Bekerja Penuh
Yaitu orang-orang yang bekerja penuh atau jam kerjanya mencapai 35
jam per minggu.

b. Jenis-Jenis Pengangguran

Dalam studi ekonomi makro lebih lanjut, ada istilah pengangguran sukarela dan
pengangguran dukalara. Pengangguran sukarela adalah pengangguran yang bersifat
sementara karena seseorang ingin mencari pekerjaan yang lebih baik atau lebih cocok.
Pengangguran dukalara adalah pengangguran yang terpaksa diterima oleh seseorang,
walaupun sebenarnya dia masih ingin bekerja. Pengangguran sukarela dan dukalara
berkaitan erat dengan jenis-jenis pengangguran berikut ini:
1) Pengangguran Friksional
Pengangguran friksional bersifat sementara dan terjadi karena adanya
kesenjangan antara pencari kerja dengan lowongan kerja. Kesenjangan ini
dapat berupa kesenjangan waktu, informasi ataupun jarak antara pencari kerja
dengan kesempatan kerja. Mereka yang masuk kategori pengangguran
sementara umumnya rela menganggur untuk mendapat pekerjaan.
Pengangguran friksional bukanlah wujud akibat dari ketidakmampuan
seseorang memperoleh pekerjaan, melainkan akibat dari keinginan untuk
mencari kerja yang lebih baik.
2) Pengangguran Struktural
Dikatakan pengangguran struktural karena sifatnya yang mendasar. Pencari
kerja tidak mampu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk lowongan
pekerjaan yang tersedia. Semakin rumitnya teknologi produksi, maka
dibutuhkan pekerja yang handal dan memiliki skill khusus.
3) Pengangguran Siklis
Pengangguran siklis adalah pengangguran yang diakibatkan oleh perubahanperubahan dalam tingkat perekonomian. Pada waktu kegiatan ekonomi
mengalami kemunduran, maka jam kerja atau bahkan pekerja akan dikurangi
sehingga menimbulkan pengangguran.
4) Pengangguran Musiman
Pengangguran ini berkaitan dengan fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek,
terutama terjadi di sektor pertanian. Misalnya, di luar musim panen dan tanam,
petani umumnya menganggur, sampai menunggu musim tanam dan panen
berikutnya.

c. Biaya Sosial dari Pengangguran

Sama halnya dengan inflasi, pengangguran juga memiliki dampak negatif,
diantaranya:
1) Terganggunya Stabilitas Perekonomian
Pengangguran struktural atau kronis akan mengganggu stabilitas perekonomian
dilihat dari sisi permintaan dan penawaran agregat.
a. Melemahnya Permintaan Agregat
Untuk dapat bertahan hidup, manusia harus bekerja. Jika tingkat
pengangguran tinggi, maka daya beli akan menurun karena mereka tidak
memiliki cukup uang untuk membeli kebutuhan mereka.
b. Melemahnya Penawaran Agregat
Bila dilihat dari peranan tenaga kerja sebagai faktor produksi utama, makin
sedikit tenaga kerja maka makin kecil penawaran agregat. Dampak
pengangguran dalam penawaran agregat makin terasa ketika seseorang
terlalu lama menganggur, maka ia akan mengalami penurunan
keterampilan, produktivitas maupun etika kerjanya akan mengalami
penurunan.
2) Terganggunya Stabilitas Sosial Politik
Pengangguran yang tinggi akan meningkatkan kriminalitas, baik berupa
kejahatan pencurian, perampokan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang
maupun kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal lainnya. Biaya ekonomi yang
dikeluarkan untuk mengatasi masalah-masalah sosial ini sangat besar dan
susah diukur tingkat efisiensi dan efektifitasnya.

Referensi

: Raharja, Pratama. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Lembaga
Penerbit FE UI, 2008.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24