PELEMAHAN PERAN MAHASISWA AKIBAT DAMPAK

PELEMAHAN PERAN MAHASISWA
AKIBAT DAMPAK NEGATIF DARI PROGRAM KULIAH 5 TAHUN UNTUK S1
Oleh Anju Nofarof H1

Penulis ingin mengingatkan kembali kepada kita mengenai isu tentang pelemahan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tahun 2012. Isu pelemahan institusi KPK
bukan sembarangan muncul kepermukaan masyarakat Indonesia. Melainkan, karena
ada rencana untuk mungurangi dalam arti melemahkan peran dan kewenangan KPK
sebagai motor penggerak pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini juga yang
menjadi latarbelakang mengapa penulis mengatakan dengan diterapkan program kuliah
lima tahun untuk strata satu (S1) dalam menyelesaikan kuliahnya maka akan terjadi
pelemahan peran mahasiswa (maha+siswa).
Mengapa demikian ? Sebagaimana kita ketahui bahwa mahasiswa baik secara
terminologi maupun filsofi berbeda dengan siswa, ada kata maha yang mendampingi
dan diletak di posisi depan. Sederhananya, maha ialah sesuatu yang lebih tinggi atau
besar. Sehingga, mahasiswa punya peran dan posisi yang lebih tinggi dan besar
dibandingkan siswa.
Untuk itulah mahasiswa dituntut tidak hanya fokus pada apa yang sedang siswa
fokuskan, mahasiswa tidak boleh fokus pada diri sendiri, termasuk akademis. Karena,
sejarah membuktikan mahasiswa punya peran yang sangat besar dalam menentukan
masa depan bangsa, bahkan eksistensi seorang Presiden. Dimulai dari angkatan 1908,

1928, 1945, 1966, 1974, 1978, dan 1998. Mahasiswa ″kupu-kupu″2 adalah mahasiswa
yang apatis, egois, individualistik, dan pragmatis atas apa yang terjadi baik dikampus,
masyarakat bahkan bangsa sekalipun.
1 Penulis adalah Mah. Pendidikan Sejarah tahun 2011, pernah menjabat sebagai
Kadiv. Sosial dan Politik Hima Sejarah tahun 2012 dan Ketua Umum Olimpiade
Sejarah 3 tahun 2014 dan lainnya.
2Ketika penulis menjadi mahasiswa baru tahun 2011, para pemimpin dikampus
memunculkan sebuah istilah Mahasiswa ″kupu-kupu″ untuk mahasiswa yang tidak
peduli dengan kondisi kampus, hanya kuliah saja, dan cenderung pragmatis.

Walaupun demikian tidak semua mahasiswa yang bertahan dan nyaman akan apa yang
dipahami oleh mahasiswa ″kupu-kupu″, tetap ada mahasiswa yang tidak ingin dengan
sengaja melemahkan peran dan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa. Mereka adalah
para mahasiswa yang sadar dan tahu status yang diemban sebagai mahasiswa, agent of
change (agen perubahan ) and agent of control (agen pengawasan).
Tetapi, dengan adanya Permendikbud No 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi resmi disahkan pada 11 Juni 2014 lalu. Aturan itu sebagai turunan
dari pasal 52 ayat (3) dan pasal 54 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi. Permendikbud tersebut yang mengatur mengenai
durasi kuliah (pasal 17 ayat 3 huruf d).

Aturan ini menciptakan kondisi yang sulit bagi para mahasiswa non-″kupu-kupu″
sekaligus melemahkan peran mahasiswa. Dengan aturan Kemendikbud yang baru ini
maka akan menambah mahasiswa Indonesia yang apatis, egois, individualistik, dan
pragmatis.
Niscaya, dalam perjalanan bangsa Indonesia kedepannya maka kita tidak akan pernah
mendengar bagaimana mahasiswa sebagai universal oposisi bagi setiap pemerintahan
yang ada. Indonesia akan kehilangan oposisi yang sejati karena, para mahasiswanya
akan

sibuk

untuk

memikirkan

bagaimana

mereka

dapat


secepat

mungkin

menyelesaikan kuliahnya, dan selanjutnya mancari uang sebanyak-banyaknya demi
kepentingannya sendiri. Dan penulis ingin memberitahu kepada kita semua, bahwa ini
adalah sebuah skenario sistematis yang pemerintah lakukan untuk melemahkan peran
mahasiswa indonesia. Mahasiswa dibentuk untuk tidak lagi sebagai mahasiswa yang
idealis dan kontrol bagi pemerintah.
Sebelumnya, Kemendikbud juga telah menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT)
yang salah satu poin pentingnya adalah sistem kontrak kuliah selama delapan semester
(4 tahun) bagi mahasiswa baru. Jika, mahasiswa tersebut tidak berhasil dalam
menyelesaikan kontrak kuliah selama delapan semester. Maka, kontrak ini akan
diperbaruhi dan UKT nya akan lebih mahal dari kontrak sebelumnya. Apa artinya ?
Mahasiswa dituntut untuk meninggalkan dan melupakan kodratnya sebagai agen

perubahan dan agen pengawasan melainkan dibentuk kembali yang disebut mental
inlander, penyedia birokrasi pemerintah.
Bukan karena cepat menyelesaikan kuliahlah mahasiswa berhasil dalam hidupnya,

tetapi penelitian mengatakan bahwa kemampuan mahasiswa dalam berkomunikasi
yang didapat dalam organisasi yang menentukan.