Hubungan Faktor Usia dengan Angka Kejadian Otitis Media Akut di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015 Chapter III VI



17

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN
HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Teori

Faktor Usia

Infeksi virus saluran
pernafasan atas

Struktur Anatomis

Sistem Imun

Tuba Eustachius
pada anak-anak
lebih pendek dan

horizontal
dibandingkan
orang dewasa

Sistem imun pada
anak-anak masih
lebih rendah
dibandingkan
orang dewasa

Disfungsi tuba Eustachius

Tekanan telinga tengah
menjadi negatif

Bakteri di nasofaring ascending
ke dalam telinga tengah melalui
tuba Eustachius

Otitis Media Akut

(OMA)

Faktor Risiko OMA

Gambar 3.1. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara



18

3.2. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah :

Variabel Independen

Variabel Dependen


Faktor Usia

Otitis Media Akut

Gambar 3.2. Kerangka Konsep

3.3. Hipotesis
Ada hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian otitis media akut di
Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

19



BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik yang bertujuan untuk
menilai hubungan antara dua variabel, yaitu faktor usia dan angka kejadian otitis
media akut. Desain penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional dengan
pendekatan retrospektif dimana data yang diambil merupakan data-data yang telah
ada sebelumnya.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2016 - November 2016 di RSUP H.
Adam Malik, Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis sebagai
penderita otitis media akut pada tahun 2014-2015 berdasarkan pendataan dari
Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik.

4.3.2. Sampel penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah penderita OMA yang memenuhi kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi. Sampel akan diambil secara total sampling. Adapun

kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada penelitian ini, yaitu :
a. Kriteria inklusi :
Rekam medis pasien yang didiagnosis otitis media akut di Departemen
THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

20



b. Kriteria eksklusi :
• Pasien memiliki kelainan cleft palate
• Pasien memiliki kelainan kongenital pada tuba Eustachius
• Status rekam medis yang tidak lengkap

4.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui pencatatan
rekam medis pasien otitis media akut di Departemen THT-KL RSUP H. Adam

Malik periode 2014-2015. Hal-hal yang dicantumkan dalam pengambilan data
yaitu usia, jenis kelamin, dan stadium.

4.5. Definisi Operasional
1. Variabel
Definisi
Operasional

: Otitis Media Akut
: Inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung
kurang dari 3 minggu3

Cara ukur

: Analisis rekam medis

Alat ukur

: Rekam medis


Hasil ukur

: Angka kejadian otitis media akut di Departemen THTKL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015

2.

Skala ukur

: Rasio

Variabel

: Usia

Definisi

: Masa hidup yang telah dijalani penderita otitis media

operasional


akut (OMA) di Departemen THT-KL RSUP H. Adam
Malik periode 2014-2015

Cara ukur

: Analisis rekam medis

Alat ukur

: Rekam medis

Hasil ukur

: 1. ≤2 tahun
1. 3-7 tahun
2. 8-12 tahun

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara


21



3. 13-17 tahun
4. ≥18 tahun

3.

Skala ukur

: Interval

Variabel

: Jenis kelamin

Definisi

: Jenis


operasional

kelamin

penderita

otitis

media

akut

di

Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik periode
2014-2015

Cara ukur


: Analisis rekam medis

Alat ukur

: Rekam medis

Hasil ukur

:

1. Laki-laki
2. Perempuan

4.

Skala ukur

: Nominal

Variabel

: Stadium

Definisi

: Stadium penderita otitis media akut di Departemen

operasional

THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015

Cara ukur

: Analisis rekam medis

Alat ukur

: Rekam medis

Hasil ukur

:

1. Oklusi tuba Eustachius
2. Hiperemis
3. Supurasi
4. Perforasi
5. Resolusi

Skala ukur

: Ordinal

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

22



4.6. Alur Penelitian
Mengumpulkan rekam medis penderita OMA di
Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik
periode 2014-2015
Kriteria inklusi dan eksklusi

Mencatat data yang diperlukan
(usia, jenis kelamin, dan stadium)

Analisis hubungan faktor usia
dengan angka kejadian OMA

Menyusun laporan penelitian

4.7. Pengolahan dan Analisa Data
4.7.1. Pengolahan data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut: (1) editing, dilakukan untuk pengecekan dan perbaikan dari datadata yang dikumpulkan, (2) coding yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau
huruf menjadi data angka atau bilangan, (3) entry, yakni memasukkan data-data
ke dalam program atau software komputer, (4) cleaning, pengecekan kembali
untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

4.7.2. Analisa data
Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan program komputer SPSS
(Statistical Product and Service Solutions) menggunakan uji korelasi Pearson
untuk mengetahui hubungan faktor usia dengan angka kejadian otitis media akut
di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 2014-2015.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

23



Nilai p value menginterpretasikan ada atau tidak adanya hubungan antar
variabel. Nilai p value ≤ 0,05 menginterpretasikan H0 ditolak artinya terdapat
hubungan antar variabel penelitian ini, sedangkan nilai p value > 0,05
menginterpretasikan H0 diterima, hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan
antar variabel pada penelitian ini.29
Koefisien korelasi yang bernilai negatif (-) menginterpretasikan kedua
variabel penelitian berbanding terbalik, apabila usia sampel meningkat, angka
kejadian OMA akan menurun dan sebaliknya. Koefisien korelasi yang bernilai
positif (+) menginterpretasikan kedua variabel penelitian berbanding lurus,
semakin tinggi usia sampel maka semakin tinggi angka kejadian OMA.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

24

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik yang
berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan
Medan

Tuntungan,

Kota

Medan.

Sesuai

dengan

SK

Menkes

No.

355/Menkes/SK/VII/1990, rumah sakit ini resmi menjadi rumah sakit umum kelas
A. Selain itu, RSUP H. Adam Malik juga merupakan rumah sakit rujukan untuk
wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera
Barat, dan Riau. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
502/Menkes/IX/1991, RSUP H. Adam Malik ditetapkan sebagai rumah sakit
pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
RSUP H. Adam Malik memiliki instalasi rekam medis yang terletak di lantai
1 gedung A dan merupakan lokasi pengambilan data pada penelitian ini.

5.1.2. Karakteristik Sampel
Berdasarkan hasil peninjauan rekam medis, terdapat 101 kasus otitis media
akut pada tahun 2014-2015. Setelah disesuaikan dengan kriteria inklusi dan
eksklusi, 25 kasus tidak memenuhi ketentuan sehingga sampel pada penelitian ini
berjumlah 76 kasus.

5.1.2.1. Distribusi Kasus Berdasarkan Tahun Kunjungan
Pada Tabel 5.1., 49 kasus (64,5%) dari seluruh sampel yang diambil
merupakan angka kejadian otitis media akut yang tercatat pada tahun 2014,
sementara sisanya, yaitu 27 kasus (35,5%) merupakan angka kejadian otitis media
akut yang tercatat pada tahun 2015.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

25

Tabel 5.1. Distribusi Kasus Otitis Media Akut di Departemen THT-KL
RSUP H. Adam Malik Berdasarkan Tahun 2014-2015
Tahun Kunjungan

Frekuensi

Persentase (%)

2014

49

64,5

2015

27

35,5

Total

76

100

5.1.2.2. Distribusi Kasus Berdasarkan Berdasarkan Rentang Usia
Sampel pada penelitian ini dikelompokan sesuai dengan rentang usia yang
telah ditentukan. Seperti yang terlihat pada Tabel 5.2, kejadian OMA pada usia ≤2
tahun berjumlah 10 kasus atau 13,2% dari seluruh kasus yang ada sedangkan pada
usia 3-7 tahun terdapat 11 kasus (14,5%) dan 14 kasus (18,4%) pada rentang usia
8-12 tahun. Pada rentang usia 13-17 tahun terdapat 15 kasus (19,7%) dan
distribusi terbanyak ada pada kelompok usia ≥18 tahun dengan jumlah kejadian
sebanyak 26 kasus (34,2%). Terdapat beberapa data statistik tambahan, seperti
Mean (rata-rata) usia sampel adalah 19,67 (SD±19,106) dan usia paling muda
(minimum) yang tercatat pada penelitian ini terjadi di usia 1 bulan sedangkan
paling tua (maksimum) 76 tahun sehingga perbedaan usia minimum dan
maksimum (Range) adalah 75,92.

Tabel 5.2. Distribusi Kasus Otitis Media Akut Berdasarkan Rentang
Usia di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015
Usia

Frekuensi

Persentase (%)

≤2 tahun

10

13,2

3-7 tahun

11

14,5

8-12 tahun

14

18,4

13-17 tahun

15

19,7

≥18 tahun

26

34,2

Total

76

100

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

26

5.1.2.3. Distribusi Kasus Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 34 kasus (44,7%) terjadi pada laki-laki,
sedangkan 42 kasus (55,3%) lainnya terjadi pada perempuan.
Tabel 5.3. Distribusi Kasus Otitis Media Akut Berdasarkan Jenis
Kelamin di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Periode 2014-2015
Jenis Kelamin

Frekuensi

Persentase (%)

Laki-laki

34

44,7

Perempuan

42

55,3

Total

76

100

5.1.2.4. Distribusi Kasus Berdasarkan Stadium
Angka kejadian berdasarkan stadium OMA (Tabel 5.4.) menunjukan bahwa
stadium yang paling sering terjadi adalah perforasi dengan jumlah kejadian
sebanyak 52 kasus (68,4%). Selanjutnya diikuti oleh stadium hiperemis sebanyak
15 kasus (19,7%). Pada stadium supurasi terdapat 5 kasus (6,6%) sedangkan pada
stadium oklusi tuba Eustachius dan resolusi masing-masing berjumlah 2 kasus
(2,6%).
Tabel 5.4. Distribusi Kasus Otitis Media Akut Berdasarkan Stadium di
Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015
Stadium

Frekuensi

Persentase (%)

Oklusi tuba Eustachius

2

2,6

Hiperemis

15

19,7

Supurasi

5

6,6

Perforasi

52

68,4

Resolusi

2

2,6

76

100

Total

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

27

5.1.3. Hasil Analisis Data
Hasil analisis data diawali dengan membuat diagram tebar (scatter plot) untuk
melihat bagaimana pola hubungan antara kedua variabel yaitu faktor usia dan
angka kejadian OMA. Diagram tebar adalah diagram yang memakai garis
koordinat X dan Y dan tiap pengamatan diwakili oleh satu titik. Data kelompok
usia ditampilkan pada sumbu X (aksis), sedangkan angka kejadian OMA disajikan
pada sumbu Y (ordinat). Setelah data-data dimasukan dan diolah menggunakan
aplikasi SPSS, akan terlihat apakah pola yang muncul bersifat linier (menurut
garis lurus), menurut garis lengkung, atau tidak terlihat suatu pola tertentu. Bila
polanya adalah lurus, maka dapat ditelusuri lebih lanjut, apakah linier positif atau
negatif. Uji hipotesis korelasi yang digunakan pada data dengan distribusi normal
atau linier adalah uji korelasi Pearson, sedangkan pada data dengan distribusi
abnormal uji yang digunakan adalah uji korelasi Spearman.
Gambar 5.1. Diagram Tebar Hubungan Faktor Usia dengan Angka Kejadian
OMA di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

28

Sesuai dengan Gambar 5.1., maka dapat dilihat bahwa faktor usia dan angka
kejadian OMA pada penelitian ini memiliki pola hubungan linier yang ditandai
adanya garis lurus pada bagan. Pola garis pada diagram tersebut juga menunjukan
adanya hubungan linier positif yang berarti makin tinggi nilai satu variabel, makin
tinggi pula nilai variabel yang lain. Berdasarkan hal tersebut, uji korelasi yang
digunakan adalah uji korelasi Pearson dan hasil pengolahan data dapat dinyatakan
melalui Tabel 5.5. berikut.
Tabel 5.5. Hasil Analisis Hubungan Faktor Usia dengan Angka Kejadian
OMA Berdasarkan Uji Korelasi Pearson
Angka
Kejadian
OMA
Faktor Usia

Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N

Angka Kejadian OMA
1
6
.892*
.021
5

Faktor Usia
.892*
.021
5
1
5

*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).

Penelitian ini menggunakan hipotesis satu arah (one-tailed) dengan tingkat
kepercayaan 95% yang berarti jika didapati nilai p < 0,05 maka hipotesis nol
ditolak. Hipotesis nol penelitian adalah tidak adanya hubungan antara faktor usia
dengan angka kejadian OMA di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik
periode 2014-2015. Sesuai dengan Tabel 5.5., didapati nilai p = 0,021. Oleh
karena itu, hipotesis nol ditolak dan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara faktor usia dengan angka kejadian otitis media akut di Departemen THTKL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015.
Untuk menentukan kekuatan hubungan antara kedua variabel, dilakukan
interpretasi koefisien korelasi Pearson yang diperoleh yaitu r = (+) 0,892.
Berdasarkan hal tersebut, kekuatan hubungan antara faktor usia dan angka
kejadian OMA dalam penelitian ini adalah sangat kuat dan berbanding lurus.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

29

5.2. Pembahasan
Jenis kelamin yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah
perempuan (55,3%). Tidak berbeda jauh dengan angka kejadian pada laki-laki
(44,7%). Hal ini dikarenakan tingkat kepedulian perempuan terhadap dirinya
sendiri lebih tinggi dibandingkan laki-laki sehingga perempuan lebih cepat
mencari pertolongan tenaga medis. Sesuai dengan pernyataan Weisberg, dkk30
sifat extraversion dan agreeableness pada wanita lebih tinggi.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa stadium OMA yang paling sering terjadi
adalah perforasi (68,4%) dikarenakan gejala klinis sewaktu membran timpani
ruptur sangat jelas yaitu keluarnya cairan dari dalam telinga. Hal ini sesuai dengan
penelitian Marom, dkk31 yang menyatakan insidensi perforasi membran timpani
secara bertahap meningkat dari 3.721 per 100.000 pasien pada tahun 2001
menjadi 4.542 pada tahun 2011. Berger G.32 dalam studinya juga menemukan 80
(29,5%) dari 271 pasien mengalami perforasi dan peningkatan prevalensi tersebut
berhubungan dengan riwayat penyakit OMA sebelumnya. Namun, pada penelitian
yang dilakukan Giles & Asher33 pada suku Maori di New Zealand didapati
insidensi perforasi membran timpani dari tahun 1978-1987 mengalami penurunan
sebanyak 5%. Perbedaan tersebut kemungkinan terjadi karena perbedaan jumlah
sampel, etnis, dan periode penelitian.
Dari 76 kasus yang terdapat dalam penelitian ini, distribusi angka kejadian
OMA di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik paling banyak terjadi pada
kelompok usia ≥18 tahun dan paling sedikit pada usia ≤2 tahun. Hal ini
menunjukan perbedaan dengan apa yang dikemukakan oleh Post & Kerschner8
bahwa rentang usia yang paling sering terkena OMA adalah usia 6 bulan – 2
tahun. Donaldson3 juga berpendapat bahwa insiden puncak OMA terjadi pada usia
3-18 bulan dan 70% anak-anak akan mengalami 1 atau lebih serangan OMA
sebelum usia 2 tahun.
Meninjau dari tempat pengambilan data, RSUP H. Adam Malik merupakan
rumah sakit rujukan dan biasanya lebih sering menangani kasus-kasus kronik atau
keganasan. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, OMA merupakan
kompetensi 4A. Artinya, dokter umum mampu mendiagnosis, dan melakukan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

30

penatalaksaan secara mandiri hingga tuntas.34 Selain itu, penegakan diagnosis
pada anak memang cukup sulit sehingga dokter umum kadang salah mendiagnosis
OMA dengan infeksi saluran pernafasan atas. Dari beberapa penelitian juga telah
dikemukakan bahwa pemberian ASI eksklusif memberikan dampak yang cukup
signifikan dalam penurunan frekuensi kejadian OMA pada anak. Hal-hal tersebut
diperkirakan menjadi alasan mengapa kasus OMA yang ditemukan cenderung
terjadi pada usia dewasa.
Diagnosis OMA membutuhkan tiga kriteria yang harus dipenuhi: gejala onset
akut, tanda inflamasi telinga tengah, dan efusi.35 Kesulitan penegakan diagnosis
pada anak terjadi karena gejala seperti otalgia, ear-rubbing, demam, iritabilitas,
susah tidur, penurunan nafsu makan, dan menangis terus-menerus tidak spesifik,
gejala-gejala ini juga tidak membantu membedakan OMA dengan infeksi saluran
pernafasan.36 Bahkan setelah pemeriksaan lebih lanjut, OMA tetap sulit ditegakan,
hal ini diungkapkan dalam studi terbaru pada dokter umum di Perancis dengan
misdiagnosis rate sebesar 22%.37 Pemeriksaan warna, posisi, mobilitas, dan
translucency membran timpani mungkin sulit dilakukan karena anak yang tidak
kooperatif atau adanya obstruksi serumen.38
Beberapa studi ilmiah melaporkan bahwa pemberian ASI berhubungan
dengan

penurunan

frekuensi

atau

durasi

OMA,

meskipun

mekanisme

perlindungannya sendiri belum diketahui secara pasti.39 ASI mengandung zat aktif
biologis yang unik seperti immunomodulatory, anti-inflamasi, dan anti-mikroba
yang memberikan perlindungan kepada bayi sewaktu pematangan sistem imun.
Zat-zat tersebut juga memberikan perlindungan terhadap bakteri patogen dengan
menghambat kemampuan bakteri berikatan dengan sel epitel.40 Selain itu, ASI
mengandung banyak sekali human milk oligosaccharides (HMOs) yang bertindak
sebagai prebiotik. HMOs adalah karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan secara
selektif membantu pertumbuhan bakteri komensal. Bakteri intestinal neonatus
memiliki peran penting dalam membentuk respon imun. Kombinasi dari
mikrobiota dan HMOs dapat memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap
OMA pada anak yang diberi ASI.40 Rekomendasi lamanya pemberian ASI untuk
mencapai hasil optimal melawan OMA bervariasi. Studi yang dilakukan Duncan,

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

31

dkk.41 menyebutkan bahwa ASI eksklusif setidaknya 4 bulan cukup untuk
melindungi bayi dari satu atau episode berulang OMA sedangkan menurut Daly,
dkk.42 anak yang diberi ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki episode OMA
yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan anak yang tidak diberi ASI selama
itu. Studi lain bahkan menunjukan bahwa pemberian ASI dalam jangka waktu
yang lama tidak memiliki efek terhadap kesehatan bayi dan tidak memberikan
perlindungan ekstra terhadap OMA.43 World Health Organization (WHO) sendiri
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan dan dilanjutkan
bersama makanan pendamping hingga usia 2 tahun atau lebih. Di Indonesia,
meskipun keberhasilan program ASI eksklusif di berbagai daerah bervariasi,
secara keseluruhan pelaksanaan program ini mengalami peningkatan sebanyak 113% di daerah perkotaan dan 2-13% di daerah pedesaan.44 Hal ini tentunya
mendukung peningkatan sistem imun pada anak sehingga kecenderungan untuk
mengalami infeksi telinga tengah menurun.
Aktivitas merokok baik perokok pasif maupun aktif dan otitis-prone ternyata
memberikan dampak dalam peningkatan angka kejadian OMA pada usia dewasa
yang awalnya diprediksi rendah.
Pada orang dewasa, merokok dan paparan lingkungan asap rokok
meningkatkan risiko infeksi yang disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
saluran pernafasan seperti S. Pneumoniae, Neisseria meningitidis, dan Legionella
pneumophila.45 S. pneumoniae adalah patogen yang paling sering bertanggung
jawab atas terjadinya OMA dan kejadian OMA berulang pada berbagai kalangan
usia.3 Merokok mengurangi pembersihan mukosiliar oleh epitel respirasi,
berpotensi memfasilitasi kolonisasi bakteri. Merokok juga merupakan faktor
risiko independen terkuat untuk penyakit pneumokokal invasif diantara orang
dewasa dan imunokompeten.45 Secara statistik, 51% beban penyakit pada
kelompok usia dewasa berkaitan dengan kebiasaan merokok.46 Dalam studi yang
dilakukan Gaur, dkk.47 terbukti bahwa perokok memiliki risiko yang lebih besar
untuk terkena penyakit telinga tengah dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Waseem, dkk.48 juga menemukan adanya hubungan langsung antara perokok pasif
dengan insidensi OMA. Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara ketiga

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

32

dengan jumlah perokok terbesar setelah Cina dan India. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, sebesar 85% rumah tangga di Indonesia
terpapar asap rokok. Di Provinsi Sumatera Utara sendiri prevalensi perokok lakilaki usia > 15 tahun mencapai 61–67,1%.49 Tentu, hal ini berpengaruh terhadap
peningkatan kejadian penyakit khususnya pada kalangan usia dewasa.
Kasus OMA pada usia dewasa ternyata ada yang cenderung terjadi secara
berulang (otitis-prone) bahkan sejak masih anak-anak. Hal ini bisa terjadi
kemungkinan karena kondisi tuba Eustachius yang hipotonus atau dikenal dengan
patulous Eustachian tube. Penurunan tonus m. tensor veli palatini pada tuba
Eustachius membuat tuba cenderung terbuka dan bakteri patogen yang sedang
menginvasi saluran pernafasan atas lebih mudah masuk ke telinga tengah.50
Etiologi definitif dari kondisi tersebut masih belum diketahui dengan jelas, namun
penurunan berat badan, dehidrasi, kehamilan, dan otitis media adalah beberapa
faktor yang diduga kuat menyebabkan hal tersebut.51 Di Taiwan, Kuo & Wang52
menemukan seorang pasien laki-laki berusia 20 tahun dengan keluhan terdapat
suara “popping” di kedua telinga apabila pasien menarik nafas dalam. Keluhan
tersebut telah dialami sejak 6 tahun yang lalu. Melalui anamnesis, ternyata pasien
memiliki riwayat otitis media berulang sejak masih anak-anak dan setelah
diperiksa pasien tersebut didiagnosis dengan patulous Eustachian tube. Patel,
dkk49 mengemukakan bahwa insidensi gangguan tuba Eustachius ini berkisar
antara 0,3-6,6% dan hanya 10-20% yang merasa terganggu dengan kondisi
tersebut hingga akhirnya mencari pertolongan tenaga medis. Kondisi ini juga
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria dan biasanya ditemukan pada
remaja atau orang dewasa; jarang ditemukan pada anak-anak.
Selain itu, kendala yang muncul pada penelitian ini meliputi tidak tersedianya
rekam medis dan isi rekam medis yang tidak lengkap. Data di Instalasi Rekam
Medis RSUP H. Adam Malik telah terkomputerisasi dan untuk melihat kasus
OMA digunakan kode H66.9 sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh
International Standard of Diseases and Related Helath Problems 10th Revision
(ICD 10 Version:2010). Setelah itu, peneliti baru bisa mencari dan membuka
rekam medis satu per satu karena kode H66.9 merupakan kode untuk otitis media,

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

33

unspecified dimana otitis media akut, otitis media supuratif kronik, dan otitis
media nonsupuratif termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, rekam medis yang
tidak tersedia harus dieksklusi karena tidak bisa dipastikan apakah rekam medis
tersebut memuat kasus OMA.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

34



BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan karakteristik sampel dan hasil analisis data, kesimpulan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian OMA di Departemen
THT-KL RSUP H. Adam Malik periode 2014-2015 (p = 0,021, CI = 95%)
dengan derajat korelasi sangat kuat dimana semakin bertambah usia, semakin
tinggi angka kejadian OMA (koefisien korelasi Pearson r = (+) 0,892)
2. Angka kejadian OMA di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik
periode 2014-2015 berjumlah 76 kasus dan paling banyak ditemukan pada
tahun 2014 dengan jumlah kejadian sebanyak 49 kasus (64,5%)
3. Angka kejadian OMA di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik
periode 2014-2015 paling banyak ditemukan pada kelompok usia ≥18 tahun
(34,2%)
4. Angka kejadian OMA di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik
periode 2014-2015 menunjukan jenis kelamin yang paling banyak ditemukan
adalah perempuan dengan jumlah kejadian sebanyak 42 kasus (55,3%)
5. Angka kejadian OMA di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik
periode 2014-2015 menunjukan stadium yang paling sering terjadi adalah
perforasi dengan jumlah kejadian sebanyak 52 kasus (68,4%)

6.2. Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh peneliti, maka dapat
diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut yaitu:
1. Bagi yang ingin melakukan penelitian yang sama, disarankan agar melakukan
penelitian di tingkat pelayanan kesehatan primer dan dilakukan dengan
pendekatan prospektif untuk melihat kebiasaan dan riwayat hidup pasien
yang berpengaruh terhadap perkembangan penyakit OMA.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

35



2. Manajemen penyusunan dan pengisian rekam medis khususnya mengenai
otitis media akut sebaiknya lebih diperhatikan. Informasi lengkap baik dari
tanda dan gejala klinis pasien hingga laporan prosedur diagnostik yang telah
dilakukan akan membantu proses penegakan diagnosis sehingga dapat lebih
akurat.
3. Tanda dan gejala klinis otitis media akut pada anak umumnya tidak spesifik
sehingga sering terjadi misdiagnosis. Tenaga medis dan orang tua diharapkan
lebih kritis dan intensif dalam melakukan identifikasi gejala sehingga kasus
otitis media akut dapat ditangani lebih baik.



Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara