Hubungan Antara Faktor Usia dan Angka Kejadian Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2009-2010

(1)

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR USIA DAN

ANGKA KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

PERIODE 2009-2010

Oleh :

SAMUEL RUDOLF B.

080100149

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR USIA DAN

ANGKA KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

PERIODE 2009-2010

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

SAMUEL RUDOLF B.

NIM: 080100149

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Hubungan Antara Faktor Usia dan Angka Kejadian

Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan

Periode 2009-2010

Nama : SAMUEL RUDOLF B.

NIM : 080100149

Pembimbing Penguji I

(dr. Aliandri, Sp.THT-KL) (dr. H. Delyuzar, Sp.PA(K)) NIP: 19690609 199903 2 001 NIP: 19630219 199003 1 001

Penguji II

(dr. Maya Savira, M.Kes) (NIP: 19761119 200312 2 001)

Medan, Desember 2011

Dekan

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH)


(4)

ABSTRAK

Latar Belakang: Faktor usia sebagai salah satu faktor resiko Otitis Media Akut (OMA) perlu dikaji karena angka kejadian pada tiap kelompok usia tertentu bervariasi dan nilainya berbeda dengan teori dan penelitian sebelumnya.

Tujuan: Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara faktor usia dan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

Metode: Rancangan penelitian adalah studi analitik dengan metode potong lintang (cross sectional). Sampel penelitian ini adalah data rekam medik pasien OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi seluruh kriteria eksklusi. Sampel diambil secara consecutive sampling dan didapatkan ada 39 kasus.

Hasil: Dari 39 kasus yang memenuhi kriteria, 74,4% kejadian OMA tercatat pada tahun 2009 dengan proporsi kejadian 0,22%, sedangkan 25,6 % kejadian OMA tercatat pada tahun 2010 dengan proporsi kejadian 0,08%. Dilihat dari besar angka kejadian pada tiap kelompok usia, Kasus Otitis Media Akut terbanyak ditemukan pada kelompok usia >19 tahun (46,2%), lalu diikuti kelompok usia >12 – 19 tahun (20,5%), lalu diikuti kelompok usia 0 – 2 tahun (15,4%) dan >2 – 7 tahun (15,4%), dan yang terakhir dengan kasus Otitis Media Akut terendah dijumpai pada kelompok usia >7 – 12 tahun (2,6%).

Kesimpulan: Ada hubungan antara faktor usia dan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009 – 2010 (p = 0,030, CI = 95%) dengan derajat korelasi sangat kuat (koefisien korelasi Pearson r = (+) 0,861).


(5)

ABSTRACT

Background: Age, one of the risk factor of Acute Otitis Media (AOM) need to be

analyzed because of the variety of case rate in every age group and facts comparing those values seem to be different to previous theories and researches.

Objectives: This research was purposed to know the correlation between age and

case rate of AOM in H. Adam Malik Central General Hospital on 2009-2010.

Method: Research design was analytical study with cross sectional method. The

samples were the medical records of AOM patients in H. Adam Malik Central General Hospital on 2009-2010, fulfilling the inclusion criterias. The samples fulfilling the exclusion criteria were excluded. Samples were taken with consecutive sampling method, with total of 39 cases.

Result: 39 cases taken as samples of this study showed 74,4% of total AOM case

rate was recorded in 2009, presenting the proportion value 0,22%. Besides, the remaining 25,6% was recorded in 2010, presenting the proportion value 0,08%. Viewing the case rate in every age group, the highest case rate was in >19 years-age-group (46,2%), followed by >12 – 19 years-years-age-group (20,5%), and then 0 – 2 years-age-group (15,4%) and >2 – 7 years-age-group (15,4%), and then the lowest was found in >7 – 12 years-age-group (2,6%).

Conclusion: The correlation between age and case rate of AOM in H. Adam

Malik Central General Hospital on 2009-2010 is remarkable (p = 0,030, CI 95%) and the correlation degree is very strong (Pearson correlation coeficient r = (+) 0,861).


(6)

KATA PENGANTAR

Pujian dan rasa syukur yang begitu besar saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Hubungan Antara Faktor Usia dan Angka Kejadian Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2009-2010”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Aliandri, Sp.THT-KL selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberi arahan, masukan, dan dukungan moril kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. dr. H. Delyuzar Sp.PA(K) selaku Dosen Penguji I dan dr. Maya Savira, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang turut memberi arahan dan masukan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Terima kasih yang tiada tara penulis persembahkan kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Ir. Parlindungan Butar-butar dan Lasmaida F. Tambunan, BA, serta adik saya Simon Christofer Butar-butar, yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

5. Terima kasih kepada senior-senior saya, Edwin Batara Saragih, S.Ked, Ika T. S. Girsang, S.Ked, Threesa Serepina Sinurat S.Ked, Andika Pradana, S.Ked yang telah mau meluangkan waktunya untuk mengajari dan membantu saya menyusun dan menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.


(7)

6. Terima kasih kepada teman-teman satu dosen pembimbing saya, Zulasvini Nurjannah, Ade Kurniadi, dan Bertha G.N. Napitupulu yang telah membantu, bekerja sama, dan mendukung saya sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

7. Terima kasih kepada teman-teman dekat saya, Putri Gaby Yosephine Purba, Ayub Basaldi Nugraha Raharja, Lionir Oktaviandi Rajagukguk, Wawan Harimawan Hardjowinoto, Meilani P. Simarmata, Irene, S. M. Sembiring, Rizki Indah Putri Lubis, Pasca Sari Nauli Tamba, Daniel K. P. Lesmana, Juang Idaman Zebua, William M. T. Simanjuntak, Bramanda S.M.L. Tobing, Rizky Amalia, Martin Susanto, Puja Nastia, dan Indah Afriani Nst. yang telah memberikan banyak dukungan moral, ide, saran, kritik, dan perbaikan yang sangat bernilai dalam memajukan karya tulis ilmiah ini dan saya sangat menghargai semangat yang telah kalian berikan. 8. Terima kasih kepada seluruh staf RSUP H. Adam Malik Medan yang telah

membantu administrasi perizinan untuk melakukan penelitian dan pengambilan data di bagian rekam medik.

9. Terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

10.Terima kasih kepada seluruh temam-teman stambuk 2008 lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan berpartisipasi dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar penulis dapat menyempurnakan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2011 Penulis Samuel Rudolf B.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1. Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus ... 4

1.4.Manfaat penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Anatomi Telinga Tengah ... 6

2.2. Antrum Mastoid dan Tuba Eustachius ... 7

2.3. Otitis Media Akut (OMA) ... 9

2.3.1. Definisi dan Etiologi OMA ... 9

2.3.2. Faktor Resiko OMA ... 12

2.3.3. Usia Sebagai Salah Satu Faktor Resiko OMA ... 14

2.3.4. Patofisiologi OMA ... 17

2.3.5. Diagnosis OMA ... 18

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 19

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 19


(9)

3.2. Hipotesis ... 20

3.2.1. Hipotesis Penelitian... 20

3.2.2. Hipotesis Statistik ... 20

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 21

4.1. Jenis Penelitian ... 21

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 21

4.3.1. Populasi Penelitian ... 21

4.3.2. Sampel Penelitian ... 22

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 22

4.5. Pengolahan dan Analisis Data... 23

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 25

5.1.Hasil Penelitian ... 25

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 25

5.1.2.. Peninjauan Rekam Medik ... 25

5.1.3.. Karakteristik Individu ... 27

5.1.4.. Hasil Analisis Data ... 30

5.2. Pembahasan ... 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1. Kesimpulan ... 40

6.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah... 6

Gambar 2.2. Antrum Mastoid... 8

Gambar 2.3. Tuba Eustachius... 9

Gambar 2.4. Otitis Media Akut (OMA) ... 10

Gambar 2.5. Perbandingan Tuba Eustachius Pada Anak dan Dewasa... 16

Gambar 3.1. Kerangka Konsep... 19

Gambar 4.1. Grafik Korelasi Negatif (-) dan Grafik Korelasi Positif (+)... 24

Gambar 5.1. Diagram Tebar Hubungan Faktor Usia & Angka Kejadian Otitis Media Akut di RSUP H.Adam Malik Medan Periode 2009-2010... 30

Gambar 5.2. Perbandingan Grafik Korelasi Negatif dan Korelasi Positif Berdasarkan Hubungan Perubahan Faktor Usia & Angka Kejadian Otitis Media Akut ... 34


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel 2.1. Mikroorganisme Yang Pernah Dilaporkan

Menyebabkan OMA... 11 Tabel 2.2. Faktor Resiko Yang Berkaitan Dengan

Kejadian OMA ... 13 Tabel 4.1. Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi Pearson ... 23 Tabel 5.1. Distribusi kasus Otitis Media Akut Yang Ditemukan

di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2009-2010 Berdasarkan Tahun Kunjungan... 26 Tabel 5.2. Distribusi Kejadian Otitis Media Akut di RSUP H. Adam

Malik Medan Periode 2009-2010 Berdasarkan Kelompok Usia dan Tahun Terjadinya Kasus ... 27 Tabel 5.3. Hasil Analisis Hubungan Faktor Usia & Angka Kejadian

Otitis Media Akut Berdasarkan Uji Korelasi Pearson Dengan SPSS for Windows 17.0... 31 Tabel 5.4. Rangkuman Hasil Akhir Analisis Uji Korelasi Pearson

Hubungan Antara Faktor Usia & Angka Kejadian Otitis Media Akut ... 31


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Curiculum Vitae

Lampiran 2. Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian

Lampiran 3. Izin Survei Awal Penelitian

Lampiran 4. Izin Penelitian oleh RSUP H. Adam Malik Medan

Lampiran 5. Data Induk

Lampiran 6.


(13)

ABSTRAK

Latar Belakang: Faktor usia sebagai salah satu faktor resiko Otitis Media Akut (OMA) perlu dikaji karena angka kejadian pada tiap kelompok usia tertentu bervariasi dan nilainya berbeda dengan teori dan penelitian sebelumnya.

Tujuan: Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara faktor usia dan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

Metode: Rancangan penelitian adalah studi analitik dengan metode potong lintang (cross sectional). Sampel penelitian ini adalah data rekam medik pasien OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi seluruh kriteria eksklusi. Sampel diambil secara consecutive sampling dan didapatkan ada 39 kasus.

Hasil: Dari 39 kasus yang memenuhi kriteria, 74,4% kejadian OMA tercatat pada tahun 2009 dengan proporsi kejadian 0,22%, sedangkan 25,6 % kejadian OMA tercatat pada tahun 2010 dengan proporsi kejadian 0,08%. Dilihat dari besar angka kejadian pada tiap kelompok usia, Kasus Otitis Media Akut terbanyak ditemukan pada kelompok usia >19 tahun (46,2%), lalu diikuti kelompok usia >12 – 19 tahun (20,5%), lalu diikuti kelompok usia 0 – 2 tahun (15,4%) dan >2 – 7 tahun (15,4%), dan yang terakhir dengan kasus Otitis Media Akut terendah dijumpai pada kelompok usia >7 – 12 tahun (2,6%).

Kesimpulan: Ada hubungan antara faktor usia dan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009 – 2010 (p = 0,030, CI = 95%) dengan derajat korelasi sangat kuat (koefisien korelasi Pearson r = (+) 0,861).


(14)

ABSTRACT

Background: Age, one of the risk factor of Acute Otitis Media (AOM) need to be

analyzed because of the variety of case rate in every age group and facts comparing those values seem to be different to previous theories and researches.

Objectives: This research was purposed to know the correlation between age and

case rate of AOM in H. Adam Malik Central General Hospital on 2009-2010.

Method: Research design was analytical study with cross sectional method. The

samples were the medical records of AOM patients in H. Adam Malik Central General Hospital on 2009-2010, fulfilling the inclusion criterias. The samples fulfilling the exclusion criteria were excluded. Samples were taken with consecutive sampling method, with total of 39 cases.

Result: 39 cases taken as samples of this study showed 74,4% of total AOM case

rate was recorded in 2009, presenting the proportion value 0,22%. Besides, the remaining 25,6% was recorded in 2010, presenting the proportion value 0,08%. Viewing the case rate in every age group, the highest case rate was in >19 years-age-group (46,2%), followed by >12 – 19 years-years-age-group (20,5%), and then 0 – 2 years-age-group (15,4%) and >2 – 7 years-age-group (15,4%), and then the lowest was found in >7 – 12 years-age-group (2,6%).

Conclusion: The correlation between age and case rate of AOM in H. Adam

Malik Central General Hospital on 2009-2010 is remarkable (p = 0,030, CI 95%) and the correlation degree is very strong (Pearson correlation coeficient r = (+) 0,861).


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu (Donaldson, 2010). Yang dimaksud dengan telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius (Tortora dkk, 2009). Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu efusi telinga tengah yang akan berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, adanya tanda inflamasi akut, serta munculnya gejala otalgia, iritabilitas, dan demam (Linsk dkk, 1997; Kaneshiro, 2010; WHO, 2010).

Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan ekonomi rendah dan Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup bervariasi pada tiap-tiap negara (Aboet, 2006; WHO, 2006; WHO-SEARO, 2007). Penyakit ini juga telah menimbulkan beban lain yang cukup berarti, diantaranya waktu dan biaya. Ramakrishnan menemukan bahwa OMA merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi di Amerika Serikat (Ramakrishnan, 2007). Salah satu laporan Center for Disease Control and Prevention (CDC) dalam salah satu programnya yaitu CDC’s Active Bacterial Core Surveillance (ABCs) di Amerika Serikat tahun 1999 menunjukkan kasus OMA terjadi sebanyak enam juta kasus per tahun. Meropol, dkk juga mendapati 45-62% indikasi pemberian antibiotik pada anak-anak di Amerika Serikat disebabkan OMA (Meropol dkk, 2008). Oleh karena pemakaian antibiotik yang tinggi, beban negara tersebut yang digunakan untuk kasus OMA tergolong signifikan, melebihi 3,8 triliun dolar setiap tahunnya (Heikkinen dkk, 1999). Sementara itu di Kanada, tepatnya di Quebec, biaya penanganan OMA diperkirakan menghabiskan dana lebih dari sepuluh juta dolar setiap tahunnya dan tenaga medis menghabiskan waktu kira-kira 4,9 jam untuk keseluruhan penanganan OMA (Dube dkk, 2011).


(16)

Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan dengan terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa (Tortora dkk, 2009). Hal inilah yang membuat kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim dibandingkan usia dewasa (Torpy, 2010).

Berdasarkan realita yang ada, Donaldson menyatakan bahwa anak-anak berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usia yang lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA (Donaldson, 2010).

Meskipun secara teoritis dinyatakan demikian, pendataan tentang kasus OMA berdasarkan tingkat usia menunjukkan hasil yang bervariasi pada berbagai negara. Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anak-anak, sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi, namun dengan frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010). Di Amerika Serikat, Lanphear, dkk menyatakan bahwa otitis media merupakan diagnosis yang paling sering ditegakkan pada anak-anak pra-sekolah, bahkan kejadiannya meningkat selama dekade terakhir (Lanphear dkk, 1997). Donaldson (2010) bahkan menunjukkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami ≥ 1 kali serangan OMA sebelum usia 2 tahun. Di Kanada, Dube, dkk (2011) melakukan studi di Quebec dan mendapatkan


(17)

bahwa pada usia 3 tahun, 60-70% anak telah mengalami minimal 1 kali episode OMA.

Berbeda dengan para peneliti sebelumnya, Balzanelli, Yonamine, dan Geyik menemukan hasil yang cukup berbeda mengenai kasus OMA pada orang dewasa. Balzanelli, dkk (2003) pada tahun 1993-2000 menemukan 11 pasien OMA yang berusia antara 21-71 tahun Di Brazil, Yonamine, dkk dalam studinya mengemukakan bahwa estimasi insidensi OMA pada orang dewasa berkisar 0,004% dan progresivitas kasus OMA umumnya lebih berat pada orang dewasa (Yonamine dkk, 2009). Hal ini berbeda dengan kasus OMA pada anak-anak, karena meskipun sering terjadi, kasus OMA pada anak-anak umumnya dapat membaik dengan perhatian khusus (watchful waiting) tanpa perlu diberikan antibiotik tertentu, kecuali adanya indikasi lain (Bylander dkk, 2007). Geyik, dkk (2002) dalam studinya di Turki mendapatkan 56 kasus OMA pada orang dewasa.

Di Indonesia sendiri, belum ada data akurat yang ditemukan untuk menunjukkan angka kejadian, insidensi, maupun prevalensi OMA. Suheryanto menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, bahkan di poliklinik THT RSUD Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 1995 dan tahun 1996, OMA menduduki peringkat enam dari sepuluh besar penyakit terbanyak dan pada tahun 1997 menduduki peringkat lima, sedangkan di poliklinik THT RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 1995 menduduki peringkat dua (Suheryanto, 2000). Di sisi lain, penelitian maupun pendataan yang meninjau hubungan faktor usia dan kejadian OMA belum pernah dilakukan di Medan. Situasi ini mencetuskan pemikiran untuk mengetahui hubungan faktor usia dengan terjadinya OMA, secara khusus di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimana hubungan faktor usia dengan terjadinya Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.


(18)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan faktor usia dengan terjadinya Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui angka kejadian Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

b. Untuk mengetahui angka kejadian Otitis Media Akut dalam berbagai tingkat rentang usia di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

c. Untuk mengetahui derajat korelasi faktor usia dengan terjadinya Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Pendidikan Kedokteran

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan, agar dapat merencanakan kegiatan pendidikan secara menyeluruh sehingga lulusannya diharapkan mampu memberikan kontribusinya dalam pelayanan kesehatan telinga. Dalam hal ini, pelayanan difokuskan pada tindakan peninjauan kasus Otitis Media Akut dari segi usia sebagai salah satu faktor resiko terjadinya Otitis Media Akut.

1.4.2. Bagi RSUP H. Adam Malik Medan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam hal perencanaan dan penanggulangan dari sisi faktor usia dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan Otitis Media Akut di RSUP. H. Adam Malik Medan.


(19)

1.4.3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat, terutama pentingnya faktor usia terhadap kecenderungan terjadinya Otitis Media Akut.

1.4.4. Bagi Individu

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan setiap individu dari berbagai kalangan usia agar memperhatikan kesehatan telinganya dan mengantisipasi terjadinya kondisi patologis pada telinga, terutama terhadap Otitis Media Akut.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI TELINGA TENGAH

Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior.

Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic

Gambar 2.1. Anatomi Telinga Tengah

(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K.,2010. Ear Infection – Acute Images: Ear anatomy. Adam, Inc. Diunduh dari: 2011])


(21)

tube) pada bagian anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini dapat tercapai oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulang-tulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial), dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada bagian lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut berfungsi untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran timpani ke telinga dalam (Tortora dkk, 2009; Drake dkk, 2010).

2.2 ANTRUM MASTOID & TUBA EUSTACHIUS

Ada beberapa daerah yang berdekatan dan secara langsung terhubung dengan telinga tengah. Kedua daerah ini adalah antrum mastoid dan tuba Eustachius. Berbeda dengan yang lain, kedua area ini tidak memiliki membran pembatas sehingga langsung terhubung dengan telinga tengah.

Area mastoid yang berada di dekat telinga tengah adalah antrum mastoid yang merupakan kavitas yang terisi dengan sel-sel mastoid yang berisi udara di sepanjang pars mastoideus dari tulang temporal, termasuk bagian prossessus mastoideus. Sesuai dengan yang disebutkan diatas, antrum mastoid berhubungan dengan resessus epitimpanika pada bagian posterior melalui aditus. Antrum mastoid juga berbatasan dengan fossa kranial media hanya oleh tegmen timpani. Membran mukosa yang melapisi sel udara mastoid bersambungan dengan membran mukosa yang melapisi telinga tengah. Oleh karena itu, otitis media dapat dengan mudah menyebar ke area mastoid.

Seperti yang sudah disebutkan, tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) menghubungkan nasofaring dan telinga tengah serta menyetarakan tekanan pada kedua sisi membran timpani. Muara tuba Eustachius yang terletak di telinga tengah berada pada dinding anterior dan dari sini akan memanjang ke arah depan,


(22)

Gambar 2.2. Antrum Mastoid

(sumber: Adaptasi dari Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M., 2010. Head and Neck. In : Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M. Gray’s Anatomy for Students International Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 908.)

medial, dan ke bawah hingga memasuki nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu :

1.bagian yang memiliki struktur tulang, terletak pada bagian sepertiga mendekati telinga tengah

2.bagian yang memiliki struktur kartilaginosa, terletak pada bagian dua pertiga yang mendekati nasofaring

Secara umum, tuba Eustachius cenderung selalu menutup. Dengan adanya kontraksi dari m. tensor veli palatini, tuba Eustachius dapat terbuka pada saat menelan, menguap, atau membuka rahang sehingga terjadi keseimbangan tekanan atmosfer antara kedua ruang diantara membran timpani (Levine dkk, 1997).


(23)

Gambar 2.3. Tuba Eustachius

(sumber: Adaptasi dari Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M., 2010. Head and Neck. In : Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M. Gray’s Anatomy for Students International Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 909.)

2.3 OTITIS MEDIA AKUT (OMA) 2.3.1 Definisi & Etiologi OMA

Otitis media akut (OMA) atau Otitis Media Supuratif Akut (OMSA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. (Aboet, 2006; Djaafar, 2007; Donaldson, 2010).

Salah satu penyebab OMA yang cukup sering adalah infeksi oleh berbagai mikroorganisme. Aboet (2006) dan Ramakrishnan,dkk (2007) menyatakan bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan M. catarrhalis merupakan penyebab utama OMA. Hal yang sama juga didapati oleh Donaldson (2010), yang mendapati bahwa ketiga organisme tersebut merupakan patogen yang paling sering


(24)

menyebabkan OMA, ditambah dengan Streptococcus pyogenes. Donaldson mendapati bahwa patogen tersebut merupakan mikroorganisme yang sering

Gambar 2.4. Otitis Media Akut (OMA)

(sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images: Middle ear infection

(otitis media). Adam, Inc. Diunduh dari:

[Diakses 25 Maret 2011]

menyebabkan OMA pada anak-anak, terutama pada pasien usia kurang dari 6 minggu. S. pneumoniae dan H. influenzae merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA dan invasif pada anak-anak dan paling sering menyebabkan rekurensi OMA. S. pneumoniae sendiri sebenarnya merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab OMA untuk berbagai usia. Sementara itu, H. influenzae terutama terjadi pada anak-anak usia pra-sekolah. M. catarrhalis juga dilaporkan menyebabkan OMA, meskipun tidak sering dan pada dasarnya merupakan flora normal dari traktus respiratorius atas. Streptococcus pyogenes merupakan patogen yang juga dilaporkan memicu OMA, meskipun tingkat


(25)

kekerapannya tidak setinggi tiga patogen sebelumnya. Meskipun demikian, patogen ini dapat memicu nekrosis yang cukup cepat dan signifikan dibandingkan patogen lainnya pada telinga tengah, yaitu perforasi yang moderat atau besar. Patogen lain yang pernah ditemukan memicu OMA adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, M. tuberculosis, Chlamydia pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa.

Tabel 2.1. Mikroorganisme Yang Pernah Dilaporkan Menyebabkan OMA

Mikroorganisme (%) Deskripsi Tambahan

S. pneumoniae 40 - 50 Paling sering adalah serotipe 19F, 23F, 14, 6B, 6A, 19A, dan 9V

H. influenzae 30 - 40 memproduksi β - lactamase

M. catarrhalis 10 - 15 memproduksi β - lactamase Streptococcus

grup A

- Umumnya terjadi pada anak-anak dan sering berkaitan dengan perforasi membran timpani

dan mastoiditis Basil

gram-negatif

- Terjadi pada pasien neonatus, imunosupresi, dan OMSK

Virus <10 Respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, rhinovirus, dan influenza virus

Lain-lain Jarang Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia

pneumoniae, Chlamydia trachomatis

(pada bayi usia kurang dari enam bulan), M. tuberculosis (di negara berkembang), parasit (Ascariasis), infeksi jamur (Candidiasis, Aspergillosis, Blastomycosis)

(sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1652.)


(26)

Selain bakteri, virus juga memiliki asosiasi yang cukup kuat dengan terjadinya OMA, yaitu Respiratory Syncytial Virus (RSV). Infeksi virus di daerah nasofaring merupakan salah satu bagian dari patogenesis OMA, meskipun peran virus ini secara lengkap belum sepenuhnya dimengerti. Invasinya di daerah tersebut akan menyebabkan inflamasi pada bagian orifisium dan mukosa tuba Eustachius dan memfasilitasi bakteri lain untuk menginvasi telinga tengah. Infeksi saluran nafas atas yang sering disebabkan oleh virus ini sering berkembang menjadi OMA. Meskipun demikian, virus tersebut jarang ditemukan sebagai patogen di dalam telinga tengah pasien OMA. Umumnya, infeksi virus terjadi pada kasus OMA secara koinfeksi dengan bakteri tertentu dan kasus OMA seperti ini telah terjadi sebanyak lebih dari empat puluh persen anak-anak yang mengalami OMA. Kondisi ini juga diperkirakan merupakan suatu bukti bahwa kondisi sinergi antara infeksi virus dan bakteri secara bersamaan merupakan salah satu dasar terjadinya OMA.

2.3.2 Faktor Resiko OMA

Faktor genetik, infeksi, aspek imunologi, dan faktor lingkungan merupakan beberapa faktor predisposisi yang dapat memicu terjadinya OMA. Pada beberapa situasi tertentu, alergi atau infeksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kongesti dan pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius. Hal ini dapat memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat menghasilkan supurasi dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan dkk, 2007).

Emonts,dkk (2007) menemukan adanya keterkaitan yang cukup kuat antara faktor genetik sehingga dapat mengakibatkan OMA, bahkan sering terjadi secara rekuren. Studi yang dilakukannya menunjukkan adanya keterkaitan gen imunoresponsi TNFA, IL6, IL10, dan TLR4 dalam kecenderungan terjadinya OMA dan hal ini juga membuat OMA terjadi secara episodik.


(27)

Tabel 2.2. Faktor Resiko Yang Berkaitan Dengan Kejadian OMA

(sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1651.)

Faktor Resiko Komentar

Usia Insidensi maksimal berkisar antara enam sampai 24 bulan, karena tuba Eustachius lebih pendek dan lebih landai. Fungsi

fisiologis dan imunologi yang masih rendah membuat anak rentan terkena infeksi

Breastfeeding Menyusui minimal tiga bulan dapat memberikan proteksi pada anak, disamping kandungan yang ada pada ASI

Penitipan anak Kontak dengan beberapa anak dapat meningkatkan penyebaran virus dan bakteri

Etnis Anak-anak Amerika, Alaska, dan Inuit Kanada memiliki insidensi yang lebih tinggi

Paparan asap rokok Insidensi meningkat dengan adanya asap rokok dan polusi udara

Jenis Kelamin Laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi Riwayat penghuni

rumah >1

Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat

Pemakaian dot Insidensi meningkat

Riwayat antibiotik Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat Riwayat OMA Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat

Musim Insidensi meningkat di musim gugur dan musim dingin Patologi lain yang

mendasari

Insidensi meningkat pada anak-anak dengan rinitis alergi, cleft palate, dan Down syndrome


(28)

2.3.3 Usia Sebagai Salah Satu Faktor Resiko OMA

Pada kondisi normal, telinga tengah biasanya dijaga agar tetap steril, sekalipun terdapat mikroorganisme di nasofaring dan faring yang dapat bermigrasi ke telinga tengah. Hal ini disebabkan silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi secara fisiologis memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga tengah. Hal ini juga berlaku pada saat seseorang mengalami infeksi saluran nafas atas. Selain itu, enzim penghasil mukus, seperti muramidase, dan antibodi juga merupakan tambahan dalam mekanisme proteksi telinga tengah yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan bila telinga terpapar dengan patogen pada saat menelan. Di sisi lain, telinga tengah juga memiliki anyaman kapiler subepitel pada bagian permukaannya yang penting karena menyediakan faktor humoral, leukosit polimorfonuklear, dan sel fagosit lainnya. Keseluruhan sistem proteksi ini akan dapat melindungi telinga tengah dari berbagai infeksi jika dapat berfungsi secara optimal (Levine dkk, 1997; Donaldson, 2010). Kegagalan salah satu atau kombinasi fungsi fisiologis tersebut mengakibatkan terjadinya kecenderungan terjadinya OMA menjadi meningkat.

Pada awal perkembangan anatomi dan fisiologi tubuh manusia, mekanisme tersebut belum sepenuhnya matang pada masa neonatus, bayi, dan anak-anak. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan struktur anatomi dari tuba Eustachius pada masa anak-anak dan orang dewasa. Pada anak-anak, tuba Eustachius lebih pendek, lebar, dan terletak cenderung lebih horizontal jika dibandingkan tuba Eustachius pada orang dewasa (Djaafar dkk, 2007). Kondisi ini membuat inflamasi pada tuba Eustachius menjadi sangat sering terjadi pada anak-anak. Inflamasi tersebut akan memicu gangguan fisiologis tuba Eustachius dalam memproteksi telinga tengah sehingga kecenderungan terjadinya infeksi pada telinga tengah meningkat. Seiring dengan perkembangan anak-anak, tuba Eustachius akan bertambah panjang dan sempit serta lebih mengarah ke medial sehingga fisiologi tuba Eustachius akan lebih adekuat. Oleh karena itu, secara umum insidensi OMA akan menurun seiring dengan peningkatan usia manusia (Levine dkk, 1997). Selain itu, kejadian OMA juga didukung oleh gangguan


(29)

sistem imun pada tubuh pasien (Djaafar, 2007). Kombinasi keseluruhan dari seluruh fungsi fisiologis tersebut dapat memicu kejadian OMA.

Faktor imunologis pada tuba Eustachius juga berperan dalam terjadinya OMA. Maturitas perkembangan sistem imun pada anak masih sangat minimal dan sedang berkembang, termasuk dalam proses pembentukan Immunoglobulin (Ig) di dalam tubuh. Rendahnya IgA, IgG2, dan IgG4 pada anak, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, meningkatkan kecenderungan terjadinya OMA pada anak dibandingkan kalangan usia yang lebih tua. Hal ini juga ditemukan pada anak-anak yang mengalami kelainan immunodefisiensi kongenital, seperti pada kasus Down Syndrome. Kondisi immunodefisiensi ini menyebabkan OMA karena infeksi lebih rentan terjadi pada usia yang lebih muda. Hal yang berbeda terjadi pada orang dewasa, dimana perkembangan sistem immunologis telah berkembang lebih adekuat sehingga invasi mikroorganisme dapat diantisipasi lebih baik (Donaldson, 2010).

Secara umum, angka kejadian OMA bervariasi pada berbagai tingkat usia manusia. Donaldson di dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak-anak berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usia yang lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA (Donaldson, 2010).

Kaneshiro, Lanphear, dan Donaldson melakukan suatu studi yang juga mempertimbangkan faktor usia dengan terjadinya OMA. Kaneshiro menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang umum terjadi pada bayi, balita, dan anak-anak, sedangkan kasus OMA pada orang dewasa juga pernah dilaporkan terjadi,


(30)

namun dengan frekuensi yang tidak setinggi pada anak-anak (Kaneshiro, 2010). Di Amerika Serikat, Lanphear, dkk menyatakan bahwa otitis media merupakan diagnosis yang paling sering ditegakkan pada anak-anak pra-sekolah, bahkan kejadiannya meningkat selama dekade terakhir (Lanphear dkk, 1997). Donaldson (2010) bahkan menunjukkan bahwa 70% dari anak-anak mengalami ≥ 1 kali serangan OMA sebelum usia 2 tahun. Di Kanada, Dube, dkk (2011) melakukan studi di Quebec dan mendapatkan bahwa pada usia 3 tahun, 60-70% anak telah mengalami minimal 1 kali episode OMA.

Gambar 2.5. Perbandingan Tuba Eustachius Pada Anak dan Dewasa (sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images: Eustachian tube. Adam, Inc. Diunduh dari: Maret 2011)

Berbeda dengan para peneliti sebelumnya, Balzanelli, Yonamine, dan Geyik mengobservasi penelitian yang berbeda mengenai kasus OMA pada orang dewasa. Balzanelli dkk (2003) pada tahun 1993-2000 menemukan 11 pasien OMA yang berusia antara 21-71 tahun Di Brazil, Yonamine, dkk dalam studinya mengemukakan bahwa estimasi insidensi OMA pada orang dewasa berkisar


(31)

0,004% dan progresivitas kasus OMA umumnya lebih berat pada orang dewasa (Yonamine dkk, 2009). Hal ini berbeda dengan kasus OMA pada anak-anak, karena meskipun sering terjadi, kasus OMA pada anak-anak umumnya dapat membaik dengan perhatian khusus (watchful waiting) tanpa perlu diberikan antibiotik tertentu, kecuali adanya indikasi lain (Bylander dkk, 2007). Geyik, dkk (2002) dalam studinya di Turki mendapatkan 56 kasus OMA pada orang dewasa.

2.3.4 Patofisiologi OMA

Secara umum, OMA didasari inflamasi pada tuba Eustachius. Hal yang paling sering memicu kondisi tersebut sehingga terjadi OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas yang melibatkan nasofaring, walaupun beberapa kondisi lainny seperti infeksi (terutama infeksi virus), alergi, dan kondisi inflamasi lainnya yang berkaitan dengan tuba Eustachius juga akan memicu manifestasi yang sama. Manifestasi inflamasi dalam hal ini akan menjalar dari nasofaring hingga mencapai ujung medial tuba Eustachius atau secara langsung terjadi di tuba Eustachius, sehingga memicu stasis sehingga mengubah tekanan di dalam telinga tengah. Di sisi lain, stasis juga akan memicu infeksi bakteri patogenik yang berasal dari nasofaring dan masuk ke dalam telinga tengah dengan cara refluks, aspirasi, atau insuflasi aktif. Beberapa variasi juga terdapat pada anak-anak yang cenderung mengalami otitis (otitis-prone children). Pada pasien ini, adanya gangguan neuromuskular atau atau abnormalitas pada tuba Eustachius (tuba Eustachius cenderung terbuka) membuat konten nasofaring dapat dengan mudah mengalami refluks ke telinga tengah, termasuk bakteri patogenik yang berada di nasofaring. Pada akhirnya, semua kondisi ini akan memicu reaksi inflamasi akut yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi, invasi leukosit, fagositosis, dan respon imun lokal yang terjadi di telinga tengah, yang akan bermanifestasi pada gejala-gejala klinis OMA.

Infeksi virus pada telinga tengah cukup sering terjadi pada pasien OMA dan umumnya diikuti dengan infeksi bakteri. Kondisi demikian disebabkan virus memfasilitasi bakteri supaya melekat di mukosa dan memicu inflamasi. Dalam hal ini, virus akan terlebih dahulu merusak lapisan mukosa sehingga mukosa menjadi


(32)

terpapar dan kondisi ini akan memicu bakteri menjadi patogenik dengan cara melakukan adhesi di permukaan mukosa nasofaring, tuba Eustachius, dan telinga tengah yang sudah mengalami kerusakan. Data lain juga menunjukkan bahwa kerusakan mukosa juga dapat diakibatkan endotoksin oleh invasi bakteri sehingga pada akhirnya patogen dapat melekat di permukaan mukosa (Donaldson, 2010).

2.3.5 Diagnosis OMA

Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut, efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti eritema membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari. OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani, atau adanya air-fluid level di belakang membran timpani. Pemeriksaan membran timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan timpanometri. Gejala non-spesifik seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, anoreksia, emesis, dan diare umum terjadi pada bayi dan anak-anak. Otalgia jarang terjadi pada anak-anak berusia kurang dari dua tahun dan lebih sering terjadi pada remaja dan dewasa (Ramakrishnan, 2007). Secara lebih akurat, Timpanocentesis merupakan “gold standard” untuk mengetahui mengidentifikasi patogen spesifik yang menyebabkan OMA (Linsk dkk, 2002). Hal ini diperlukan untuk mengetahui antibiotik serta terapi lain yang diperlukan untuk pasien OMA.


(33)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah faktor usia, yaitu usia saat mengalami Otitis Media Akut , sedangkan variabel terikatnya (dependen) adalah angka kejadian Otitis Media Akut.

3.2 Definisi Operasional

Faktor usia merupakan masa hidup yang sudah dijalani pasien Otitis Media Akut (OMA) di RSUP H. Adam Malik Medan pada saat pengambilan rekam medis periode 2009-2010 dengan satuan tahun.

Angka Kejadian OMA merupakan total pasien OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

Angka kejadian OMA akan disusun didalam suatu tabulasi interval yang menunjukkan rentang usia dengan ketentuan berikut.

a. 0 – 2 tahun

Pasien berusia nol tahun hingga mencapai sama dengan dua tahun dikategorikan kelompok rentang usia 0 – 2 tahun.

Faktor Usia Angka Kejadian Otitis


(34)

b. > 2 – 7 tahun

Pasien berusia lebih dari dua tahun hingga mencapai sama dengan tujuh tahun

c. > 7 – 12 tahun

dikategorikan kelompok rentang usia > 2 – 7 tahun.

Pasien berusia lebih dari tujuh tahun hingga mencapai sama dengan dua belas tahun

d. > 12 – 19 tahun

dikategorikan kelompok rentang usia > 7 – 12 tahun.

Pasien berusia lebih dari dua belas tahun hingga mencapai sama dengan sembilan belas tahun

e. > 19 tahun

dikategorikan kelompok rentang usia > 12 – 19 tahun.

Pasien yang berusia lebih dari sembilan belas tahun

3.3 Hipotesis

dikategorikan kelompok rentang usia > 19 tahun.

Pada penelitian ini, angka kejadian OMA akan diakumulasikan secara keseluruhan dan dikelompokkan berdasarkan rentang usia untuk diperbandingkan. Media pengukuran : Rekam medis

Teknik pengukuran : Analisis rekam medis untuk mendapatkan data usia pasien Hasil pengukuran : Data numerik berupa usia pasien

Skala pengukuran : Numerik - Rasio

3.3.1 Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010. Secara teoritis, korelasi akan bernilai negatif (-), yaitu angka kejadian OMA menurun seiring dengan pertambahan usia.

3.3.2 Hipotesis Statistik

Ho : Tidak ada hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010

Ha : Ada hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010


(35)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik yang bertujuan untuk menggambarkan hubungan antara faktor usia dan angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik periode 2009-2010 (Alatas dkk, 2008).

Penelitian ini disusun dengan rancangan desain studi cross sectional, yaitu pengumpulan dan pengamatan rekam medik akan dilakukan satu kali, pada satu saat (Ghazali dkk, 2008).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 3 (tiga) bulan, yaitu Juli 2011 s.d. September 2011 di RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang telah terdiagnosis mengalami OMA di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010 berdasarkan pendataan dari Instalasi Rekam Medis. Populasi ini juga ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi tertentu. Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada penelitian ini ditetapkan dengan perincian sebagai berikut.

a. Kriteria inklusi adalah semua pasien di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010 yang telah terdiagnosis mengalami Otitis Media Akut berdasarkan data yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medis. b. Kriteria eksklusi mencakup aspek-aspek berikut.

1. Pasien memiliki kelainan bawaan pada tuba Eustachius 2. Pasien mengalami kelainan bawaan palatoskisis


(36)

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah pasien OMA pada populasi di atas yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi seluruh kriteria eksklusi. Sampel akan diambil secara consecutive sampling. Besar sampel yang akan digunakan ditentukan dengan rumus untuk penelitian analitik korelasi sebagai berikut.

n = besar sampel

Zα = nilai distribusi Z pada kesalahan tipe I ( 1,645) Zβ = nilai distribusi Z pada kesalahan tipe II (1,645)

( CI = 95%, Uji Hipotesis Satu Arah ) r = koefisien korelasi minimal (0,6)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data sekunder. Dari seluruh sampel subjek penelitian, data rekam medik pasien Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik periode 2009-2010 akan dikumpulkan dan dicatat terfokus pada pencatatan usia


(37)

pasien tersebut. Tanggal lahir dan tanggal rawat inap atau rawat jalan juga dicantumkan dalam pengambilan data untuk mendukung usia aktual sampel pada saat mengalami OMA.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah didapat akan disajikan di dalam tabel interval. Data kemudian akan diolah dan dianalisis dengan program komputer SPSS (Statistical Package for Social Science) for Windows 17.0 dan menggunakan tes korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara faktor usia dan angka kejadian Otitis Media Akut pada pasien Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan periode 2009-2010.

Nilai p value menginterpretasikan ada atau tidak adanya hubungan antar variabel. Nilai p value ≤ 0,05 menginterpretasikan H0 ditolak dan Ha diterima sehingga menunjukkan adanya hubungan antar variabel penelitian ini, sedangkan nilai p value > 0,05 menginterpretasikan H0 diterima sehingga menunjukkan tidak adanya hubungan antar variabel penelitian ini (Wahyuni, 2007).

Setelah didapatkan gambaran pola hubungan kedua variabel, analisis dilanjutkan dengan menguji kekuatan hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian Otitis Media Akut yang dinyatakan dengan koefisien korelasi Pearson (r). Nilai r terletak antara 0 sampai 1 dengan kemaknaan tersendiri sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi Pearson Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,0 – 0,199 Sangat rendah

0,2 – 0,399 Rendah

0,4 – 0,599 Sedang

0,6 – 0,799 Kuat

0,8 – 1,0 Sangat Kuat

(sumber: Adaptasi dari Wahyuni, A.S, 2007. Statistika Kedokteran Disertai Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: Bamboedoea Communication.)


(38)

Setelah koefisien korelasi Pearson diperoleh, pola perubahan nilai antar variabel dapat dilihat dari nilai koefisien tersebut secara langsung. Koefisien korelasi yang bernilai negatif (-) menginterpretasikan kedua variabel penelitian berbanding terbalik, dalam hal penelitian ini, faktor usia akan berbanding terbalik dengan angka kejadian OMA. Apabila usia sampel meningkat, angka kejadian OMA akan menurun, dan sebaliknya. Koefisien korelasi yang bernilai (+) menginterpretasikan kedua variabel penelitian berbanding lurus, dalam hal penelitian ini, faktor usia berbanding lurus dengan angka kejadian OMA. Semakin tinggi usia sampel, maka semakin tinggi angka kejadian OMA (Wahyuni, 2007). Bila kedua pola perubahan ini dikonversi ke dalam grafik, maka akan terlihat dalam Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Grafik Korelasi Negatif (-) dan Grafik Korelasi Positif (+)

Grafik Korelasi Positif (+) Grafik Korelasi Negatif (-)


(39)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 355/ Menkes/ SK/ VII/ 1990. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP H. Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP H. Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP H. Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

RSUP H. Adam Malik Medan memiliki instalasi rekam medis yang terletak di lantai 1 gedung A dan merupakan lokasi pengambilan data pada penelitian ini.

5.1.2. Peninjauan Rekam Medik

Rekam medik yang dibuka dan digunakan dalam penelitian ini merupakan sumber data yang diseleksi lebih lanjut dan lebih terperinci oleh karena mengingat adanya variasi pada terminologi penyakit, petugas kesehatan yang menegakkan diagnosis, serta kelengkapan isi rekam medik. Berdasarkan International


(40)

Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 10th Revision Version for 2007 (ICD-10), rekam medik yang dikategorikan sebagai OMA yaitu:

1. acute serous otitis media (H65.0)

2. other acute nonsuppurative otitis media (H65.1)

3. nonsuppurative otitis media, unspecified (H65.9)

4. acute suppurative otitis media (H66.0)

5. suppurative otitis media, unspecified (H66.4)

6. otitis media, unspecified (H66.9)

7. eustachian salpingitis (H68.0)

8. acute mastoiditis (H70.0)

9. acute myringitis (H73.0)

Seluruh terminologi ini akan dipakai untuk menyaring rekam medik yang memang harus digunakan sehingga memenuhi kriteria sampel penelitian yang sesuai untuk penelitian ini. Setelah penentuan rekam medik yang akan digunakan dilakukan, isi rekam medik juga ditinjau untuk melihat relevansi isi rekam medik dengan kebutuhan penelitian ini. Rekam medik tersebut harus memenuhi beberapa hal berikut.

1. Petugas kesehatan yang menegakkan diagnosis harus berasal dari departemen THT-KL. Diagnosis OMA yang ditegakkan petugas kesehatan dari departemen lain tidak digunakan karena diagnosis tersebut dinilai tidak dilakukan berdasarkan pemeriksaan rutin khusus dan kriteria otolaringologis yang ditetapkan untuk menegakkan OMA. Salah satu pemeriksaan rutin yang merupakan standar deteksi OMA adalah penggunaan otoskopi pneumatik yang memiliki sensitivitas bernilai 90% dan spesifisitas bernilai 80% untuk mendiagnosis OMA dan hanya dilakukan oleh ahli otolaringologi (Donaldson, 2010).


(41)

2. Peninjauan lampiran pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada rekam medik, terutama yang diklasifikasikan sebagai ‘unclassified’. Hal ini dilakukan untuk menentukan apakah rekam medik tersebut benar-benar memuat kasus OMA atau kasus non-OMA.

Mengingat bahwa salah satu variabel dalam penelitian ini adalah faktor usia, pencatatan tanggal lahir dan tanggal kunjungan dilakukan untuk meningkatkan akurasi data sampel yang diambil.

5.1.3. Karakteristik Individu

Berdasarkan data terkomputerisasi, total kasus yang terdiagnosis sebagai penyakit THT-KL periode 2009-2010 berjumlah 26294 kasus, yaitu 13207 kasus pada tahun 2009 dan 13087 pada tahun 2010. Dari keseluruhan kasus THT-KL yang dijumpai periode 2009-2010, rekam medik pasien dengan kasus OMA berjumlah 159 kasus. Setelah disesuaikan dengan availabilitas, kriteria inklusi, dan kriteria eksklusi, rekam medik yang memenuhi ketentuan berjumlah 39 kasus. Nilai ini memenuhi ketentuan besar sampel minimal, yaitu 26 kasus, dan telah diambil seluruhnya untuk meningkatkan akurasi hasil penelitian ini. Distribusi kasus ini disajikan berdasarkan tahun kunjungan sebagai berikut.

Tabel 5.1. Distribusi kasus Otitis Media Akut Yang Ditemukan di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2009-2010 Berdasarkan Tahun Kunjungan

Tahun Kunjungan Frekuensi % % Kumulatif Proporsi (%)

2009 29 74,4 74,4 0,22

2010 10 25,6 100,0 0,08

Total 39 100,0 100,0

Dari Tabel 5.1, 29 kasus (74,4%) dari seluruh sampel yang diambil merupakan jumlah kejadian Otitis Media Akut yang tercatat pada tahun 2009 dengan proporsi kejadian 0,22%, sementara sisanya, yaitu 10 kasus (25,6 %),


(42)

merupakan jumlah kejadian Otitis Media Akut yang tercatat pada tahun 2010 dengan proporsi kejadian 0,08%.

Untuk memenuhi kebutuhan pengolahan data dan meningkatkan ketelitian dalam menganalisis data, keseluruhan data kasus yang dikumpulkan tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan kelompok usia yang telah ditentukan sebelumnya. Penyusunan data tersebut dilakukan dalam data interval dan juga berdasarkan tahun kejadian kasus tersebut sehingga disajikan sebagai berikut.

Tabel 5.2. Distribusi Kejadian Otitis Media Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Periode 2009-2010 Berdasarkan Kelompok Usia dan Tahun

Terjadinya Kasus

Kelompok Usia (Tahun)

Angka Kejadian Per Tahun Angka

Kejadian Total

2009 2010

N %* N %** N %

0 – 2 5 17,2% (12,82%) 1 10% (2,56%) 6 15,4%

>2 – 7 5 17,2% (12,82%) 1 10% (2,56%) 6 15,4%

>7 – 12 0 0% (0%) 1 10% (2,6%) 1 2,6%

>12 – 19 6 20,7% (15,38%) 2 20% (5,13%) 8 20,5%

>19 13 44,8% (33%) 5 50% (12,82%) 18 46,2%

Total 29 100% (74,35%) 10 100% (25,64%) 39 100%

Data Nilai Statistik lain***

Mean (Rata-rata) usia 21.92 Modus 2 Std. Deviation 19.615 Range 77 Minimum 0 Maximum 77

*Persentase angka kejadian pada tiap kelompok usia di tahun 2009 yang ditampilkan pada tabel ini merupakan perbandingan angka kejadian pada kelompok usia tersebut dengan keseluruhan kasus pada tahun 2009 dan dengan seluruh kasus yang ada. **Persentase angka kejadian pada tiap kelompok usia di tahun 2010 yang ditampilkan pada tabel ini merupakan perbandingan angka kejadian pada kelompok usia tersebut dengan keseluruhan kasus pada tahun 2010 dan dengan seluruh kasus yang ada. ***Nilai statistik yang diperoleh dikalkulasi berdasarkan perhitungan dengan data tunggal. Perhitungan lebih lanjut dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menyusun seluruh data tunggal yang diperoleh ke dalam data interval, sehingga perhitungan statistik untuk uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan data interval.

Pada Tabel 5.2., data yang telah didapat disusun berdasarkan kelompok usia tertentu dan tahun kejadian Otitis Media Akut tersebut terjadi.


(43)

Kejadian Otitis Media Akut pada tiap kelompok usia pada tahun 2009 dijabarkan sebagai berikut. Kejadian Otitis Media Akut pada usia 0 – 2 tahun berjumlah 5 kasus atau 17,2% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2009 atau 12,82% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >2 - 7 tahun berjumlah 5 kasus atau 17,2% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2009 atau 12,82% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >7 - 12 tahun berjumlah 0 kasus atau 0% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2009 atau 0% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >12 – 19 tahun berjumlah 6 kasus atau 20,7% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2009 atau 15,38% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >19 tahun berjumlah 13 kasus atau 44,8% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2009 atau 33% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Secara keseluruhan, kejadian Otitis Media Akut pada tahun 2009 berjumlah 29 kasus atau 74,35% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada.

Kejadian Otitis Media Akut pada tiap kelompok usia pada tahun 2010 dijabarkan sebagai berikut. Kejadian Otitis Media Akut pada usia 0 – 2 tahun berjumlah 1 kasus atau 10% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2010 atau 2,56% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >2 - 7 tahun berjumlah 1 kasus atau 10% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2010 atau 2,56% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >7 - 12 tahun berjumlah 1 kasus atau 10% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2010 atau 2,6% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >12 – 19 tahun berjumlah 2 kasus atau 20% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2010 atau 5,13% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >19 tahun berjumlah 5 kasus atau 50% dari semua kasus yang ditemukan pada tahun 2010 atau 12,82% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Secara keseluruhan, kejadian Otitis


(44)

Media Akut pada tahun 2010 berjumlah 10 kasus atau 25,64% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada.

Kejadian Otitis Media Akut total, yaitu pada periode 2009 – 2010, pada tiap kelompok usia secara keseluruhan dijabarkan sebagai berikut. Kejadian Otitis Media Akut pada usia 0 – 2 tahun berjumlah 6 kasus atau 15,4% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >2 - 7 tahun berjumlah 6 kasus atau 15,4% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >7 - 12 tahun berjumlah 1 kasus atau 2,6% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >12 – 19 tahun berjumlah 8 kasus atau 20,5% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Kejadian Otitis Media Akut pada usia >19 tahun berjumlah 18 kasus atau 46,2% jika dibandingkan dengan seluruh kasus yang ada. Secara keseluruhan, kejadian Otitis Media Akut pada periode 2009 - 2010 berjumlah 39 kasus.

Beberapa data statistik tambahan juga dicantumkan untuk memberikan distribusi angka kejadian berdasarkan kelompok usia tertentu. Mean (rata-rata) usia pasien adalah 21,92 (SD±19,615). Tabel 5.2 juga menunjukkan bahwa kasus Otitis Media Akut yang tercatat di lokasi penelitian terjadi pada usia paling muda (Usia Minimum) 0 tahun dan paling tua (Usia Maksimum) 77 tahun sehingga perbedaan usia minimum dan usia maksimum pada penelitian ini (Range) adalah 77 tahun. Secara keseluruhan, kasus yang tercatat paling sering terjadi (Modus) pada usia 2 tahun.

5.1.4. Hasil Analisis Data

Analisis data diawali dengan membuat suatu diagram tebar (scatter plot) guna melihat bagaimana pola hubungan antara kedua variabel numerik yang ada dalam penelitian ini. Data kelompok usia ditampilkan pada sumbu X (aksis), sementara data angka kejadian disajikan pada sumbu Y (ordinat) sedemikian sehingga setiap pengamatan diwakili oleh satu titik, sedemikian sehingga semua data yang terkumpul dapat ditampilkan melalui diagram tebar berikut.


(45)

Gambar 5.1. Diagram Tebar Hubungan Faktor Usia & Angka Kejadian Otitis Media Akut di RSUP H.Adam Malik Medan Periode 2009-2010

Diagram tebar diatas menunjukkan bahwa faktor usia dan angka kejadian Otitis Media Akut dalam penelitian ini memiliki pola hubungan yang linear, yang ditandai dengan pola garis lurus. Hal ini menunjukkan bahwa variabel dalam penelitian ini dapat diujikan dengan uji hipotesis korelasi Pearson.

Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji hipotesis Korelasi Pearson dan hasilnya dinyatakan melalui tabel berikut.


(46)

Tabel 5.3. Hasil Analisis Hubungan Faktor Usia & Angka Kejadian Otitis Media Akut Berdasarkan Uji Korelasi Pearson Dengan SPSS for Windows 17.0

Angka Kejadian Faktor Usia

Angka Kejadian Pearson Correlation 1 .861*

Sig. (1-tailed) .030

N 5 5

Faktor Usia Pearson Correlation .861* 1

Sig. (1-tailed) .030

N 5 5

*. Correlation is significant at the 0.05 level (1-tailed).

Tabel 5.3. menunjukkan uji analisis dengan korelasi Pearson antara kedua variabel penelitian signifikan dan sesuai untuk uji hipotesis satu arah (one-tailed) dengan level signifikansi (α) bernilai 0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara faktor usia dan angka kejadian OMA. Keseluruhan data yang tersedia kemudian dirangkum dengan menyajikan beberapa data yang representatif untuk penelitian dalam tabel berikut.

Tabel 5.4. Rangkuman Hasil Akhir Analisis Uji Korelasi Pearson Hubungan Antara Faktor Usia & Angka Kejadian Otitis Media Akut

Variabel Penelitian

Rata-rata (Mean)* p - value Pearson Correlation (r)

Angka Kejadian 7.8 ( SD ±6.2610 ) 0.030 (+) 0.861 Usia 21.92 ( SD ±19.615)

*Perhitungan dilakukan dengan menggunakan metode kalkulasi untuk data interval.

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa rata-rata angka kejadian untuk tiap kelompok usia adalah 7.8 dengan standard deviasi (SD) 6.2610 dan rata-rata usia saat mengalami Otitis Media Akut adalah 48,4 tahun dengan SD 19.615.


(47)

Penelitian ini menggunakan hipotesis satu arah (one-tailed) dengan tingkat kepercayaan 95%, yang berarti jika didapati nilai p < 0,05, berarti hipotesis nol penelitian ditolak. Setelah dianalisis, didapati nilai p = 0,030. Karena nilai p yang diperoleh lebih kecil dari 0,05, maka hipotesis nol dalam penelitian ini ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian Otitis Media Akut (p < 0,05).

Untuk menentukan kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut, dilakukan interpretasi dari nilai koefisien korelasi Pearson penelitian ini yaitu r = (+) 0,861. Dengan kata lain, besarnya kekuatan hubungan antara faktor usia dengan angka kejadian OMA dalam penelitian ini adalah sangat kuat dan nilai kedua variabel penelitian ini berbanding lurus.

5.2. Pembahasan

Dari 39 rekam medik yang diperoleh dalam penelitian ini, distribusi angka kejadian OMA di RSUP H. Adam Malik Medan paling banyak pada kelompok usia >19 tahun, yaitu 18 kasus (46,2%) dan paling sedikit pada kelompok usia >7 – 12 tahun, yaitu 1 kasus (2,6%). Di satu sisi, angka kejadian kelompok usia 0 – 2 tahun sebagai kelompok usia yang paling kecil berjumlah 6 kasus (15,4%). Nilai ini menunjukkan perbedaan dengan yang dikemukakan Tortora, dkk (2009) bahwa anak lebih rentan mengalami infeksi telinga tengah dibandingkan kalangan dewasa. Pernyataan Tortora juga didukung studi yang dilakukan Donaldson (2010) yang menyatakan bahwa OMA lebih sering terjadi pada anak berusia <5 tahun. Pada kalangan usia tersebut, frekuensi kejadian OMA mulai signifikan pada usia 6 – 11 bulan, dengan puncak kejadian tertinggi pada usia 13 – 18 bulan, lalu mulai menurun pada usia 18 – 20 bulan. Setelah masa usia ini terlewati, kejadian OMA tetap ada, walaupun dengan selisih frekuensi yang sangat besar jika dibandingkan dengan kasus pada usia 6 – 20 bulan. Kalaupun ada, kasus OMA paling banyak didapatkan pada usia 4 – 5 tahun, dan akan terus menurun seiring peningkatan usia individu (Donaldson, 2010). Oleh karena hasil penelitian yang dikemukakan Donaldson tersebut, seharusnya kelompok usia 0 – 2 tahun yang merupakan kelompok usia termuda dalam penelitian ini diprediksi memiliki


(48)

angka kejadian terbesar, sedangkan kelompok usia >19 tahun sebagai kelompok usia tertua diprediksi memiliki angka kejadian terkecil. Meskipun demikian, prediksi ini tidak sesuai dengan perolehan angka kejadian yang telah dilakukan dalam penelitian ini.

Angka kejadian pada usia muda yang pada awalnya diprediksi cenderung tinggi namun ternyata dalam penelitian ini relatif lebih rendah diperkirakan terjadi karena beberapa faktor, yaitu kesulitan penegakan diagnosis OMA pada anak dan keberhasilan pemberian ASI eksklusif. Kesulitan penegakan diagnosis OMA pada anak terjadi karena tanda dan gejala klinis OMA pada anak umumnya tidak spesifik (Donaldson, 2010). Anak dengan OMA umumnya dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan – keluhan seperti demam, gelisah, menangis, iritabilitas, dan letargi (Kaneshiro, 2009). Walaupun demikian, demam yang merupakan tanda inflamasi dan infeksi sering tidak muncul pada neonatus dan bayi muda, sehingga bayi tersebut sering dianggap tidak mengalami OMA. Pada anak yang lebih tua, demam juga sering tidak muncul, namun anak menjadi gelisah atau lemah disertai manifestasi gangguan pencernaan, seperti anoreksia, mual, muntah, dan diare. Gejala – gejala seperti ini tentunya tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa anak tersebut mengalami OMA.

Beberapa keluhan tambahan lain yang dialami seorang anak yang mengalami OMA juga dilaporkan muncul, walaupun lebih sering pada anak yang lebih besar, seperti otalgia, sakit kepala, hipoaktif atau inatentif, batuk, rhinitis, gangguan pencernaan, dan kongesti sinus (Ramakrishnan, 2007). Meskipun demikian, tanda dan gejala klinis ini tidak spesifik untuk OMA, bahkan sering disalahartikan sebagai tanda dan gejala penyakit lain. Petugas medis maupun orang tua sering mengalami misinterpretasi terhadap anak yang hipoaktif atau inatentif karena sering dianggap sebagai bentuk kelainan kejiwaan atau psikososial anak. Padahal, anak dapat menjadi hipoaktif atau inatentif karena pendengarannya berkurang atau tuli (deafness) sehingga tidak berespon terhadap stimulasi suara. Salah satu manifestasi OMA adalah ketulian, termasuk pada anak, sehingga anak dapat menjadi hipoaktif maupun inatentif (Kaneshiro, 2009). Selain itu, manifestasi klinis seperti batuk, rhinitis, dan kongesti sinus umumnya tidak


(49)

spesifik untuk gangguan telinga dan umumnya dianggap sebagai ISPA. OMA sebagai komplikasi maupun penyakit penyerta ISPA umumnya tidak diperkirakan, kecuali manifestasi klinis spesifik telinga sudah muncul.

Keberhasilan program ASI eksklusif ternyata diprediksi memiliki kontribusi dengan penurunan insidensi OMA. Donaldson (2010) menyatakan bahwa komponen Immunoglobulin (Ig) dalam ASI yang relatif tinggi dapat mencegah anak mengalami OMA. Hal ini juga didukung penelitian Waseem, dkk (2010) yang menemukan insidensi OMA menurun sebanyak 13%, terutama pada bayi yang berhasil mendapatkan ASI eksklusif saat berusia 3 – 6 bulan. Dalam hal ini, ASI memiliki kontribusi yang positif dalam meningkatkan kemampuan sistem imun bayi untuk mengantisipasi adanya infeksi di area telinga, hidung, tenggorokan, serta saluran nafas atas. Di Indonesia sendiri, meskipun keberhasilan program ASI eksklusif bervariasi di berbagai daerah, secara keseluruhan tingkat pelaksanaan program ini mengalami peningkatan sebanyak 1 - 13% di daerah perkotaan dan 2 – 13% di daerah pedesaan (DepKes RI, 2004). Hal ini tentunya mendukung peningkatan derajat imunitas anak sehingga membuat kecenderungan infeksi telinga tengah pada anak-anak menurun.

Angka kejadian pada usia dewasa yang pada awalnya diprediksi cenderung rendah namun ternyata dalam penelitian ini relatif lebih tinggi diperkirakan terjadi karena beberapa faktor, yaitu aktivitas merokok baik pada perokok aktif & perokok pasif dan otitis-prone individual. Kebiasaan merokok maupun paparan asap rokok yang cukup sering juga diteliti memiliki kontribusi terhadap terjadinya OMA pada kalangan usia dewasa, terutama pada perokok pasif. Waseem, dkk (2010) menemukan adanya hubungan peningkatan paparan asap rokok pada perokok pasif dengan insidensi OMA. Berdasarkan peninjauannya mengenai hubungan riwayat merokok dengan kejadian OMA, hasilnya menunjukkan nilai OR = 1,3. Hal ini juga perlu dipertimbangkan dengan aktivitas merokok pada penduduk Indonesia. Pada tahun 2004, jumlah penduduk Indonesia yang menjadi perokok aktif berjumlah 57 juta jiwa, dengan jumlah perokok aktif usia dewasa berjumlah 67,5% (DepKes RI, 2004). Di satu sisi, pada tahun 2001 jumlah perokok pasif mencapai nilai yang cukup signifikan yaitu ±97


(50)

juta jiwa dan perokok pasif pada kalangan usia ≥15 tahun mencapai 31,5% (Balitbangkes DepKes RI, 2001). Peningkatan kalangan perokok di Indonesia ini diestimasi meningkatkan kejadian OMA pada kalangan usia dewasa.

Kasus OMA pada kalangan dewasa ternyata ada yang cenderung terjadi secara berulang (otitis-prone individuals) bahkan sejak individu tersebut masih anak-anak (Donaldson, 2010). Setelah individu tersebut diperiksa secara intensif, individu ini ternyata memiliki tuba Eustachius yang hipotonus, dikenal sebagai Patulous Eustachian Tube. Etiologi definitif gangguan ini belum diketahui dengan jelas, namun manifestasi spesifiknya adalah penurunan tonus m. tensor veli palatini pada tuba Eustachius sehingga membuat kanal ini cenderung terbuka. Hal ini membuat patogen yang sedang menginvasi dan memicu infeksi saluran nafas atas dapat lebih mudah berpindah ke area telinga tengah melalui nasofaring dan tuba Eustachius. Di sisi lain, deteksi gangguan ini umumnya sulit dikenali pada usia anak-anak. Patel, dkk (2011) menemukan insidensi gangguan ini lebih sering terdeteksi pada orang dewasa dengan jumlah 0,3 – 6,6 % dan sangat jarang terdeteksi pada anak-anak. Oleh karena itu, hal ini juga memberikan kontribusi pada jumlah kasus pada usia dewasa yang relatif lebih tinggi.

Selain peninjauan setiap kelompok usia secara terpisah, peninjauan kelompok usia secara keseluruhan melalui analisis dengan uji korelasi Pearson menunjukkan hal yang berbeda. Hasil pengujian dengan menggunakan sampel penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara faktor usia dengan kejadian OMA, dengan koefisien korelasi Pearson (r) bernilai (+) 0,861. Memang, penelitian yang dilakukan Donaldson (2010) sebelumnya menunjukkan adanya hubungan, namun studinya memperlihatkan angka kejadian yang semakin rendah seiring peningkatan usia. Jika hal ini ditransformasi ke dalam uji korelasi, studi tersebut akan memiliki koefisien r akan bernilai (-), berbeda dengan koefisien r dalam penelitian ini yang bernilai (+), yang justru menunjukkan nilai angka kejadian yang berbanding lurus dengan faktor usia. Untuk lebih jelasnya, hal ini dapat dilihat pada gambar perbandingan grafik berikut.


(51)

Gambar 5.2. Perbandingan Grafik Korelasi Negatif dan Korelasi Positif Berdasarkan Hubungan Perubahan Faktor Usia & Angka Kejadian Otitis

Media Akut

Perbedaan yang timbul antara kedua kondisi ini diprediksi terjadi karena adanya perbedaan teknik penelitian, terutama dari metode dan besar sampel penelitian. Penelitian yang menunjukkan hubungan antara faktor usia untuk seluruh kalangan usia dan angka kejadian OMA sejauh ini memang belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, penelitian terdahulu yang meninjau kejadian OMA pada kalangan usia tertentu membutuhkan sampel yang berbeda. Dube, dkk (2011) meneliti kasus OMA pada bayi dan anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun di Kanada dan menentukan 551 sampel yang diperlukan. Dari 551 sampel tersebut, 502 sampel memenuhi kriteria dan diambil sebagai bagian dari studi tersebut. Berbeda dengan yang dilakukan Dube, Williamson, dkk (2006) melakukan analisis case-linked cohort pada berbagai tempat di Inggris dengan menggunakan rekam medik berasal dari GPRD (General Practice Research Database) sejak

Grafik Korelasi Negatif

Proyeksi Sesuai Perubahan Tuba Eustachius

Grafik Korelasi Positif

Proyeksi Sesuai Perolehan Sampel Penelitian


(52)

tahun 1991 hingga tahun 2001. Williamson, dkk pada akhirnya melakukan studi pada anak berusia 0 – 10 tahun menggunakan 322108 sampel, dengan insidensi pada anak berusia <2 tahun berjumlah 63,3% dan selebihnya 37,7% pada anak berusia ≥2 tahun. Studi ini juga menunjukkan adanya penurunan angka kejadian seiring peningkatan usia. Pada kalangan usia yang berbeda, Geyik, dkk (2002) melakukan penelitian dengan analisis univariat dan analisis multifaktorial dengan metode regresi logistik untuk meninjau OMA pada dewasa dan menggunakan 269 pasien tersebut. Dari keseluruhan sampel tersebut, 56 pasien ternyata telah sering mengalami Otitis Media Akut sejak masih kecil. Data tersebut kemudian diuji dengan Chi-Square’s Test dan Student’s Test untuk melihat hubungan antar variabel. Bila dibandingkan keseluruhan, studi yang dilakukan oleh Dube, Williamson, maupun Geyik menunjukkan besar sampel pada penelitian ini relatif sedikit dibandingkan dengan studi terdahulu. Selain itu, beberapa studi juga menggunakan metode analisis dan uji hipotesis yang berbeda sehingga hasil penelitian ini dapat menunjukkan nilai korelasi yang positif.

Selain perbandingan terhadap studi dan literatur terdahulu, kendala-kendala penelitian ini diprediksi bisa mempengaruhi hasil penelitian. Kendala-kendala ini membuat banyak rekam medik yang harus dieksklusi sehingga mempengaruhi jumlah rekam medik yang memenuhi persyaratan penelitian. Hal ini dapat terlihat dari selisih antara jumlah rekam medik tentang OMA yang terdata secara terkomputerisasi (156 rekam medik) dan rekam medik yang memenuhi syarat penelitian (39 rekam medik) cukup signifikan.

Kendala-kendala yang sering muncul dalam penelitian ini meliputi tidak tersedianya rekam medik, isi rekam medik yang tidak lengkap, atau penegak diagnosis OMA bukan dari pihak Departemen THT-KL. Rekam medik yang tidak tersedia tentunya harus dieksklusi, oleh karena tidak bisa dipastikan apakah rekam medik tersebut memuat kasus OMA atau non-OMA dan apakah memang pasien yang tercatat dalam rekam medik tersebut tidak memiliki rekam medik lain. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaannya, beberapa rekam medik yang ditemukan ternyata dimiliki oleh satu pasien yang sama. Selain itu, isi rekam medik yang tidak lengkap dan penegakan diagnosis yang tidak dilakukan oleh Departemen


(53)

THT-KL mengurangi kesahihan isi rekam medik tersebut. Isi rekam medik yang tidak lengkap, terutama meliputi kurangnya deskripsi tanda dan gejala klinis pasien serta prosedur diagnostik untuk OMA menimbulkan keraguan apakah memang rekam medik tersebut benar-benar berisi kasus OMA atau tidak. Selain itu, salah satu prosedur diagnostik untuk OMA, yaitu otoskopi, adalah pemeriksaan yang kompetensi pelaksanaannya hanya dimiliki spesialis THT-KL, sehingga OMA yang ditegakkan oleh petugas medis lain diragukan karena tidak melakukan prosedur ini. Oleh karena itu, rekam medik dengan kendala-kendala demikian tidak dijadikan sampel, padahal ada kemungkinan bahwa rekam medik tersebut memang memuat kasus OMA, namun harus dieksklusi dan tidak terdeteksi karena kendala-kendala tersebut. Minimnya angka kejadian pada kelompok usia tertentu dalam penelitian juga diprediksi oleh karena faktor ini. Walaupun demikian, uji hipotesis korelasi Pearson tetap dapat dilakukan karena besar sampel yang memenuhi persyaratan telah memenuhi besar sampel minimal.


(1)

sampel minimal dan atau metode sampel yang dilakukan dalam penelitian di masa depan.

3. Mengingat beberapa faktor dapat mempengaruhi angka kejadian pada kelompok usia tertentu, perlu dilaksanakan lebih banyak penelitian guna mengidentifikasi lebih jauh peran faktor-faktor tersebut yang turut mempengaruhi angka kejadian pada tiap kelompok usia serta untuk mengetahui faktor yang paling dominan yang mempengaruhi angka kejadian Otitis Media Akut tersebut.

4. Tanda dan gejala klinis OMA pada anak umumnya tidak spesifik sehingga sering terjadi misdiagnosis. Petugas medis dan orang tua diharapkan lebih kritis dan intensif dalam melakukan pendekatan dan identifikasi tanda dan gejala klinis sehingga kasus OMA lebih banyak ditemukan.

5. Manajemen penyusunan dan pengisian rekam medik mengenai OMA sebaiknya lebih diperhatikan. Satu pasien sebaiknya hanya memiliki satu rekam medik sehingga manajemen medis pasien tersebut dapat diikuti secara teratur dan menyeluruh. Rekam medik juga sebaiknya memuat deskripsi penyakit pasien OMA yang lebih lengkap dan mendetail, terutama gambaran mengenai tanda dan gejala klinis pasien serta laporan prosedur diagnostik yang telah dilakukan terhadap pasien tersebut sehingga penegakan diagnosis pasien OMA dapat lebih akurat dan sahih.

6. Sebaiknya pasien yang mengalami OMA atau diduga OMA diperiksa oleh petugas medis dari Departemen THT-KL. Hal ini ditujukan supaya prosedur diagnostik yang dilakukan terhadap pasien tersebut lebih lengkap dan lebih tepat. Jika memang pasien tersebut datang kepada petugas medis yang berasal dari Departemen THT-KL, perlu ada kriteria khusus untuk deteksi dini yang dapat membantu petugas medis tersebut untuk memperkirakan apakah pasien tersebut mengalami OMA atau non-OMA.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aboet, A., 2006. Terapi pada Otitis Media Supuratif Akut. Majalah Kedokteran Nusantara, 39 (3): 356.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2002. Perokok Pasif Beban Yang Terlupakan. Jakarta.

Balzanelli, C., Gamba, P., Redaelli de Zinis, L. O., 2003. Acute Otitis Media and Facial Nerve Paralysis in Adults, Otology and Neurotology. Diunduh dari: Otitis Media_and_Facial_Nerve_Paralysis_in.22.aspx [Diakses 27 Maret 2011].

Bylander, A., Gisselsson-Solen, M., Wilhelmsson, C., Hermansson, A. Melhus, A., 2007. Journals of Clinical Microbiology, 45 (9): 3003 – 3005.

Dahlan, M. Sopiyudin., 2010. Konsistensi V Menentukan Besar Sampel. Dalam: Hariyanto, B., Riefmanto, ed. Langkah-langkah Membuat Proposal Penelitian Bidang Kedokteran dan Kesehatan Seri Evidence Based Medicine : Seri 3 cetakan 2. Jakarta: Segung Seto, 83.

Departemen Kesehatan RI, 2004. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2004. Beban Kesehatan Akibat Penggunaan Tembakau). Jakarta.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R. D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R. D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 64 - 66.


(3)

Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M., 2010. Head and Neck. Dalam: Schmitt, W., dkk, ed. Gray’s Anatomy for Students International Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 906 -909.

Donaldson, J. D 2010. Middle Ear, Acute Acute Otitis Media, Medical Treatment: Overview, eMedicine. Diunduh dari:

Dube, E., dkk, 2011. Burden of Acute Otitis Media on Canadian Families. Canadian Family Physician, 57: 60, 62 – 64.

Emonts, M., dkk, 2007. Genetic Polymorphisms in Immunoresponse Gene TNFA, IL6, IL10, and TLR4 Are Associated With Recurrent Acute Otitis Media. Pediatrics, 120 (4): 814 – 815.

Geyik, M. F., Kokoglu, O. F., Hosoglu, S., Ayaz, C., 2002. Acute Bacterial Meningitis as A Complication of Otitis Media and Related Mortality Factors. Yonsei Medical Journal, 43 (5): 573 – 575.

Ghazali, M. V., Sastromihardjo, S., S., Rochani S.,Soelaryo, T., Pramulyo, H., 2008. Studi Cross-Sectional. Dalam: Sastroasmoro, S., Ismael, S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-3. Jakarta: Sagung Seto, 112. Heikkinen, T., Thint, M., Chonmaitree, T., 1999. Prevalence of Various

Respiratory Viruses in The Middle Ear During Acute Otitis Media. The New England Journal of Medicine (NEJM), 340 (4): 260 – 261.

International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems 10th Revision Version for 2007 (ICD-10). Disease of Middle Ear and Mastoid: 262-4.

Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute. Adam, Inc. Diunduh dari:


(4)

Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images: Ear anatomy. Adam, Inc. Diunduh dari: [Diakses 25 Maret 2011]

Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images: Eustachian tube. Adam, Inc. Diunduh dari: [Diakses 25 Maret 2011]

Kaneshiro, N. K., 2010. Ear Infection – Acute Images: Middle ear infection (otitis media). Adam, Inc. Diunduh dari:

Lanphear, B. P., Byrd, R. S., Auinger, P., Hall, C. B., 1997. Increasing Prevalence of Recurrent Otitis Media Among Children in The United States. Pediatrics, 99 (3): 1 – 3.

Levine, S.C., Paparella, M. M., Adams, G. L., 1997. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Dalam: Effendi, H., Santoso, R.A.K., ed. Boies : Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC, 90, 95, 97.

Linsk, R., dkk., 2002. Otitis Media Guideline. University of Michigan Health System: 1 – 4.

Meropol, S. B., Glick, H. A., Asch, D. A., 2008. Age Inconsistency in The American Academy of Pediatrics Guidelines for Acute Otitis Media. Pediatrics, 121 (4): 657 – 663.

Patel, A. A., Levine, S. C., 2011. Patulous Eustachian Tube, Overview, eMedicine. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/858909-overview#showall. [Diakses 01 Desember 2011].

Ramakrishnan, K., Sparks, R. A., Berryhill, W. E., 2007. Diagnosis and Treatment of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1650 – 1653.


(5)

Suheryanto, R., 2000. Efektifitas Ofloxacin Tetes Telinga pada Otitis Media Purulenta Akuta Perforata di Poliklinik THT RSUD Dr Saiful Anwar Malang: Uji Klinis, Spektrum, dan Uji Kepekaan Kuman Aerob. Cermin Dunia Kedokteran, 128: 45 – 46.

Torpy, J. M., 2010. Acute Otitis Media. The Journal of the American Medical Association (JAMA), 304 (19): 2194.

Tortora, G. J., Derrickson, B. H., 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch, B., dkk, ed. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International Student Version Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620 – 621. U.S. Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Active Bacterial Core

Surveillance Report, Emerging Infections Program Network, Streptococcus pneumoniae, 2008. Diunduh dari: http:/www.cdc.gov/abcs/reports-findings/survreports/spneu08.pdf. [Diakses 27 Maret 2011].

Wahyuni, A.S, 2007. Statistika Kedokteran Disertai Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: Bamboedoea Communication.

Waseem, M., Aslam, M., 2010. Otitis Media: Overview, eMedicine. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/994656-overview. [Diakses 14 Maret 2011].

Williamson, I., dkk, 2006. Consultations for middle ear disease, antibiotic prescribing and risk factor for reattendance: a case-linked cohort study. British Journal of General Practice, 56: 170, 172 – 4.

World Health Organization (WHO)., 2006. Primary Ear and Hearing Care Training Resource: Advanced Level. WHO Press: 14 – 15.

World Health Organization (WHO)., 2010. Second Hand Smoke: Accessing The Burden of Disease at National and Local Levels. Enviromental of Disease


(6)

World Health Organization Regional Office for South Asia (WHO-SEARO)., 2007. Situation Review and Update on Deafness, Hearing Lossand Intervention Programmes Proposed Plans of Action for Preventionand Alleviation of Hearing Impairment in Countries of the South-East Asia Region. 11 – 12.

Yonamine, F. K., dkk., 2009. Facial Paralysis Associated With Acute Otitis Media. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology, 75 (2): 228 – 230.