Perbedaan Hasil Laboratorium, Radiologi, dan Tumor Marker pada Pasien Hepatoma Viral hepatitis B dan C di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi Hati
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau

kurang lebih 25% dari berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yang sangat kompleks. Batas antara hati berada sejajar antara ruang
interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga
VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah
transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat
mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatika, vena porta, dan duktus
koledokus. Sistem porta terletak di depan vena kafa dan dibalik kandung empedu.
Permukaan anterior hepar yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh
adanya perlekatan ligamentum fasiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang
berukuran kira-kira dua kali lebih besar dari lobus kiri. Pada daerah antara

ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan ditemukan lobus
kuadratus dan sebuah daerah yang disebut lobus kaudatus yang tertutup oleh vena
kavainferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior.
Hati terbagi atas 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasarnya ,
garis Cantlie tempat mulainya vena kafa sampai kandung empedu telah membagi
hati menjadi dua lobus fungsional. Pembagian 8 segmen hati didasarkan pada
aliran cabang pembuluh darah dan saluran empedu yang dimiliki oleh masingmasing segmen (Husodo, 2009).
Hati menerima darah dari 2 sumber:
1. Darah arteri, yang menyediakan O2 bagi hati dan mengandung metabolit
darah untuk diproses oleh hati, disalurkan oleh arteri hepatika.
2. Darah vena yang berasal dari saluran cerna dibawa oleh vena porta
hepatika ke hati untuk pemrosesan dan penyimpanan nutrien yang baru
diserap. Didalam hati, vena porta kembali bercabang-cabang menjadi

Universitas Sumatera Utara

5

anyaman kapiler (sinusoid hati) untuk memungkinan terjadinya pertukaran
antara darah dan hepatosit sebelum darah mengalir ke dalam vena hepatika

dan kemudian bersatu ke vena kafa inferior. (Sherwood, 2011)

Gambar 2.1. Anatomi Hati (Britannica, 2014)

Gambar 2.2. Segmen Hati (Siriwardena, 2014).

Universitas Sumatera Utara

6

Gambar 2.3. Aliran darah hati (U-toko, 2010).

2.2.

Fungsi Hati
a. Metabolisme
Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Bergantung kepada
kebutuhan tubuh. Ketiganya dapat saling dibentuk.
b. Penyimpanan Zat
Seperti mineral (Cu, Fe) serta vitamin larut lemak (Vit. A, D, E, dan K),

glikogen dan berbagai zat racun yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh
seperti, peptisida DDT.
c. Detoksifikasi
Hati melakukkan inaktivasi hormon dan menguraikan zat sisa tubuh
seperti toksin dan obat.
d. Fagositosis
Fagositosis mikroorganisme dan sel darah merah yang sudah tua maupun
rusak.
e. Pengaktifan vitamin D
Dilakukan bersama dengan ginjal.

Universitas Sumatera Utara

7

f. Fungsi vaskular
Membentuk protein plasma, termasuk protein yang dibutuhkan dalam
proses pembekuan darah, serta mengangkut hormon steroid , tiroid, dan
kolesterol dalam darah (Sherwood, 2011).


2.3.

Hepatoma
2.3.1. Definisi
Hepatoma atau yang dikenal sebagai kanker hati disebut juga
karsinoma hepatoseluler, merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak
normal dimana terjadi pembelahan sel/mitosis yang meningkat dan
berubah menjadi ganas.
Karsinoma hepatoseluler merupakan penyakit keganasan primer
pada hati, bukan merupakan metastasis dari organ lain seperti yang sering
terjadi pada kanker, seperti kanker payudara dan kanker kolon yang
menyebar ke hati. Penyakit ini sering diakibatkan oleh proses kronis di
hati seperti penyakit hepatitis B dan hepatitis C.(Todd,2013).
Menurut Erwin Kuntz (2008) karsinoma hepatoseluler merupakan
keganasan yang berasal langsung dari sel hepar, dimana secara klinis dapat
berubah menjadi sangat ganas dalam waktu yang singkat dan pengobatan
untuk menyembuhkannya sangat terbatas.

2.3.2. Epidemiologi
Di dunia, hepatoma adalah kanker kelima tersering yang

menyerang laki-laki dan kanker ketujuh tersering untuk wanita, dengan
lebih dari 748.000 kasus baru terdiagnosa setiap tahunnya, tercatat 9,2%
dari seluruh kasus kanker di dunia (7,9% pria; 3,7% wanita). Seluruh
pasien dengan hepatoma 8,4% berada di negara berkembang. 70% dari
kasus hepatoma di dunia terjadi di Asia, seperti pada penderita hepatoma
di Republik Cina tercata sebanyak 55% kasus kematian akibat penyakit

Universitas Sumatera Utara

8

ini setiap tahunnya. Selanjutnya, kasus paling banyak juga ditemui di subSahara Afrika (Kew, 2014).
Di Indonesia, penelitian di RS dr. Hasan Sadikin mengenai
penyakit hati dari tahun 1972 – 1974, didapati hepatoma menempati
urutan ketiga (16,5%) setelah sirosis dan hepatitis. (Hadi, 2000)
Hepatitis B dan hepatitis C yang berkembang menjadi sirosis
ditemukan 80% dari kasus hepatoma. Sekitar 5% dari populasi dunia
(350-400 miliar orang) terinfeksi dengan HBV kronis, dimana 75% nya
berasal dari Asia, dengan prevalensi terendah ditemukan di negara barat.
Sebanyak 50% kasus pada anak-anak dengan hepatoma yang dominan

dijumpai di Asia dan Sub-Sahara Afrika. Sedangkan di Jepang lebih sering
dijumpai hepatoma yang disebabkan oleh infeksi HCV kronis. Hasil
serologi HbsAg yang diteliti pada kasus hepatoma secara global, terdapat
3% di Swedia, 10% di Amerika Serikat,10-15% di Jepang, 19% di Italia,
dan 70% di Korea Utara (El-serag, 2012).
Penelitian yang dilakukan di Pakistan menunjukkan bahwa
proporsi terbesar dari hepatoma disebabkan oleh infeksi virus.
Berdasarkan penelitian sistematik review yang dilakukan terhadap 220
pasien penderita virus hepatitis , dijumpai prevalensi pada pasien dengan
HBsAg positif 2,6% dan pada pasien dengan anti HCV positif 5,3% dari
seluruh populasi. Secara keseluruhan penelitian ini menyimpulkan bahwa
prevalensi hepatoma disebabkan oleh virus baik hepatitis B maupun C
sebesar 87,4% , yang 67,9% disebabkan sirosis oleh karena HCV , dan
21,8% akibat HBV (Munaf et al., 2014).
Di daerah endemik tempat HBV ditemukan angka hepatoma yang
tinggi. Di Taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai resiko 102
kali lebih tinggi menderita hepatoma dibandingkan mereka yang bukan
pengidap.

Universitas Sumatera Utara


9

Pada daerah dengan tingkat infeksi HBV yang rendah,

HCV

merupakan faktor resiko lain yang turut berperan dalam terjadinya
hepatoma. Metaanalisis yang dilakukan terhadap 32 penelitian kasus-kasus
menyimpulkan bahwa orang dengan infeksi HCV beresiko 17 kali lipat
lebih mudah mengidap hepatoma dibandingkan dengan mereka yang
bukan pengidap. Pada negara dengan infeksi HBV yang tinggi ternyata
dijumpai prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada penderita hepatoma
dengan HBsAg negatif daripada HBsAg positif. Hal ini menegaskan
bahwa HCV berperan dalam terjadinya hepatoma pada pasien yang bukan
pengidap HBV (Budihusodo, 2009).
Peningkatan insidensi hepatoma disebabkan oleh meningkatnya
infeksi kronik hepatitis C yang berkembang menjadi obesitas, penyakit
perlemakan hati nonalkoholik, perlemakan hati alkoholik, dan sindrom
metabolik lainnya. Di Amerika Serikat, kejadian hepatoma telah

meningkat sebanyak tiga kali selama 2 dekade terakhir (dari 1,4 per
100.000 pada 1975-1977 menjadi 4,8 per 100.000 oada 2005-2008) (Kew,
2014).
2.3.3. Etiologi
1. Virus Hepatitis B (HBV)
Di daerah endemik tempat HBV ditemukan angka hepatoma yang
tinggi. Di Taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai resiko 102
kali lebih tinggi menderita hepatoma dibandingkan mereka yang bukan
pengidap. Vaksinasi HBV pada anak terbukti dapat menurunkan resiko
terjadinya hepatoma. Bahaya dari HBV yang menyerang hati disebabkan
oeh proses inflamasi yang berlangsung kronis, peningkatan proliferasi sel
hepar,integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas
protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen yang terdapat di hati.
Perubahan sel hepar yang awalnya inaktif menjadi sel yang terus
bereplikasi dapat menentukan tingkat karsinogenitas hati. Siklus sel

Universitas Sumatera Utara

10


teraktivasi secara tidak langsung akibat proses nekroinflamasi sel hati
ataupun ekspresi dari gen berlebihan yang dipicu oleh HBV. Terjadinya
hepatoma oleh karena HBV bisa langsung terjadi akibat terpajan agen
onkogenik seperti aflatoksin dan tidak didahului oleh proses sirosis hati
(Budihusodo, 2009).
2. Virus Hepatitis C (HCV)
Pada negara dengan infeksi HBV yang tinggi ternyata dijumpai
prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada penderita hepatoma dengan
HBsAg negatif daripada HBsAg positif. Hal ini menegaskan bahwa HCV
berperan dalam terjadinya hepatoma pada pasien yang bukan pengidap
HBV. Pada pasien dengan anti-HCV positif, interval saat transfusi dan
terjadi hepatoma mencapai 29 tahun. Patogenesis dikaitkan dengan proses
nekroinflamasi kronik dan sirosis hepar yang menyebabkan HCV menjadi
hepatoma (Budihusodo, 2009).
3. Sirosis Hati
80% kasus penyebab terjadinya hepatoma disebabkan oleh sirosis
hati. Hepatoma merupakan penyebab kematian tersering pada SH. Pada
penelitian yang dilakukan ditemukan 60-80% dari SH makronodular dan
3-10% dari SH mikronodular ditemukan hepatoma. Hal yang sering
mengakibatkan terjadinya hepatoma pada SH adalah berjenis kelamin lakilaki, peningkatan AFP serum, beratnya penyakit serta tingginya aktifitas

proliferasi sel hati (Budihusodo, 2009).
4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) adalah mikotoksin yang diproduksi oleh
jamur

Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus. AFB1 bersifat

karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid adalah karsinogen
utama yang dapat mengikat DNA maupun RNA. Salah satu kemampuan
hepatokarsinogenesis nya induksi oleh AFB1 yang menyebabkan mutasi

Universitas Sumatera Utara

11

pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. Penelitian yang dilakukan di
beberapa negara dengan menggunakan biomarker ini menunjukkan adanya
hubungan antara aflatoksin dalam makanan dengan morbiditas dan
mortalitas hepatoma. Risiko relatif yang ditimbulkan dengan aflatoksin
saja adalah 3,4, infeksi HBV kronik resiko relatif 7, dan meningkat

menjadi 59 bila disertai dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan
mengandung aflatoksin (Budihusodo, 2009).
5. Obesitas
Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika, terjadi peningkatan
angka mortalitas sebesar lima kali pada kelompok inividu yang menderita
obesitas (Indeks Masa Tubuh: IMT 35-40Kg/m2) dibandingkan dengan
kelompok individu dengan IMT normal. Hal ini dihubungkan dengan
obesitas merupakan faktor resiko non-alcoholic fatty liver disease
(NAFDL),

khususnya

selanjutnya

menjadi

non-alcoholic

sirosis

dan

steatohepatits

berkembang

(NASH)

menjadi

yang

hepatoma

(Budihusodo, 2009).
2.3.4. Patogenesis
Inflamasi, nekrosis, fibrosis dan regenerasi yang mengakibatkan
terjadinya sirosis merupakan penyebab terjadinya hepatoma. Pada pasien
dengan HBV, di hepar tidak hanya terjadi sirosis, fibrosis juga terjadi.
Dengan kontras, pasien HCV kebanyakan memiliki gambaran sirosis.
Perbedaan ini terletak bahwa pada HBV DNA virus bergabung dengan
genom penderita dan akan menghasilkan suatu protein HBV X yang akan
menjadi kunci dari perkembangan hepatoma. Pada HCV RNA virus ini
akan bereplikasi di sitoplasma sel dan tidak menyerang DNA penderita
(Cicalese, 2014).

Universitas Sumatera Utara

12

Gambar 2.4. Patobiologi Hepatoma ( Cicalese, 2014).
Beberapa analisis mengatakan bahwa genetik juga berperan dalam
terjadinya hepatoma. Beberapa gen seperti p53, PIKCA, dan β-catenin
merupakan gen yang paling sering mengalami mutasi pada pasien dengan
hepatoma. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui proses
mana yang terganggu dan mengakibatkan pembelahan sel yang tidak
terkontrol pada hepatoma. Dua jalur yang terlibat pada differensiasi sel
hepar menjadi ganas yaitu Wnt-β-catenin dan Hedgehog. Peningkatan
sinyal regulasi dari WNT akan menyebabkan preneoplasma adenoma
dengan rasio yang lebih besar utnuk berubah menjadi ganas (Cicalese,
2014).
Studi mengenai mutasi inaktif pada remodeling kromatin gen
ARID2 pada 4 subtipe utama hepatoma telah terbukti. Sebanyak 18,2%

pasien dengan hepatoma yang disebabkan HCV di Amerika Serikat
terdapat mutasi ARID2

yang membuktikan bahwa ARID2 merupakan

suatu suatu supresor gen tumor yang telah mengalami mutasi pada
hepatoma (Cicalese, 2014).
Berbagai bentuk nodul yang ditemukan pada sirosis hati, seperti
displasia dan regenerasi nodul, belum dijumpai penjelasan yang pasti
mengenai bagaimana nodul tersebut kemudian bisa berkembang menjadi
suatu hepatoma. Beberapa studi menyatakan bahwa hepatoma berkembang

Universitas Sumatera Utara

13

dari stem sel hepar yang mengalami injuri akibat proses inflamasi kronis
akibat virus, yang nantinya akan membentuk sel displasia kecil akan terus
berkembang bersama dengan stem sel (Cicalese, 2014).
1. Patogenesis Hepatitis B Menjadi Hepatoma
HBV dapat menyebabkan kanker hati baik melalui jalur
langsung maupun tidak langsung. Hal ini terjadi saat HBV yang
secara kronis terus menerus mengakibatkan nekroinflamasi pada
sel hapatosit, yang mengakibatkan tunover sel hepar terus menerus
terjadi. Efek lebih lanjut yang timbul berupa akumulasi dari mutasi
pada genom yang terdapat di hepar, yang akan mengekspansi
klonal dan menjadi keganasan. HBV merupakan kelompok virus
DNA, yang dalam perjalanannya menjadi hepatoma dapat langsung
mempengaruhi DNA penderita (Fung, 2009)
Saat DNA dari HBV sudah berintegrasi dengan DNA
penderita, maka akan mengakibatkan terjadinya duplikasi, delesi,
amplifikasi dan translokasi yang mengakibatkan ketidakstabilan
pada kromosom, pada fase inilah transformasi menjadi suatu
keganasan dimulai. HBV dapat bergabung bersama gen yang
bertanggung jawab untuk proliferasi dan differensiasi del hepar,
seperti gen telomerase yaitu MAPK1 dan pengatur proliferasi sel
yaitu gen cycline A, dan gen yang mengatur kelangsungan hidup
sel yaitu gen pada tumor nekrosi faktor 1 (Fung, 2009).
Dari semua gen HBV , gen HBX merupakan gen yang paling
berhubungan dengan terjadinya hepatokarsinogenitas terkait HBV,
dan gen yang paling umum terintegrasi . Lebih dari 95 % pasien
dengan sirosis berkaitan dengan HBV dan displasia positif untuk
HBX , dan HBX dinyatakan dalam 70 % dari pasien hepatoma
yang disebabkan HBV . Mekanisme yang tepat yang dapat HBX
menginduksi

pengembangan

HCC

masih

belum

diketahui

sepenuhnya. HBX dapat mengganggu hepatosit dalam sistem

Universitas Sumatera Utara

14

perbaikan DNA dan mengendalikan elemen proliferasi sel . Selain
itu, HBX juga dapat berikatan dengan p53 , yang menginhibisi p53
dan memicu terjadinya apoptosis (Fung, 2009).

2. Patogenesis Hepatitis C Menjadi Hepatoma
HCV adalah virus RNA untai positif yang mengandung sekitar
9500 nukleotida .Tidak seperti HBV , HCV tidak memiliki
aktivitas transkripsi , oleh karena itu HCV tidak berintegrasi ke
dalam DNA inang . HCV bereplikasi didalam sel melalui
sitoplasma. hipotesis utama untuk HCV karsinogenesis adalah
bahwa hal itu terjadi melalui jalur tidak langsung melalui efek
peradangan kronis dan cedera pada sel hepar. Hal ini dapat
mekanisme utama hepatokarsinogenesis terjadinya hepatoma
disebabkan HCV . Hal ini didukung dengan fakta bahwa setiap
terjadinya sirosis hampir dapat dipastikan pertanda untuk
terjadinya hepatoma (Fung, 2009).
Berbagai protein HCV telah dilaporkan memiliki peran dalam
pengembangan HCC . Dalam studi eksperimental yang melibatkan
sel hewan menunjukkan bahwa Protein inti HCV terlibat dalam
perakitan partikel virus dan generasi lengkap virion. Namun,
protein inti juga terlibat dalam signaling sel, aktivasi transkripsi,
apoptosis, metabolisme lipid dan transformasi . Dalam model tikus
transgenik, HCV protein inti telah terbukti menginduksi HCC,
meskipun Mekanisme yang tepat dimana itu jadi masih belum jelas
.Salah satu mekanisme potensial termasuk induksi stres oksidatif.
Protein inti HCV telah terbukti menginduksi spesies oksigen
reaktif dalam ketiadaan peradangan. stres oksidatif dapat
menurunkan proses metabolisme dalam mitokondria, dengan
penurunan mikrosomal trigliserida mentransfer aktivitas protein,
sehingga dapat berkembang menjadi steatosis. Protein inti HCV

Universitas Sumatera Utara

15

juga telah terbukti mempengaruhi modulasi produk gen seluler dan
beberapa jalur regulasi seluler yang terlibat dalam proliferasi sel,
kontrol siklus sel dan pembentukan tumor. Inti HCV dapat
mengikat protein p53 dan PRB protein supresor tumor,
memodulasi ekspresi p21 / Waf, yang terlibat dalam kontrol siklus
sel, dan berinteraksi dengan sinyal sitoplasma molekul transduksi
untuk mengatur transkripsi (Fung, 2009).
Terkait dengan penjelasan diatas hubungan antara HCV dan
hepatoma cenderung terjadi akibat hasil dari kombinasi efek tidak
langsung antara HCV pada hepatocarcinogenesis dan efek tidak
langsung dari terjadinya sirosis ( Fung, 2009).

2.3.5. Patologi
Hepatoma secara makroskopik permukaannya luarnya lembut,
hemoragik dan berbentuk masa di dalam hati. Dalam beberapa kasus
tumor soliter besar dapat menempati sebagian besar ruang di hati, tetapi
tumor bentuk kecil juga dapat dijumpai. Tumor memiliki kecenderungan
untuk tumbuh di vena porta dan meluas ke vena kava, bahkan bisa meluas
ke atrium kanan melalui vena hepatika. Hepatoma memiliki beberapa
bentuk antara lain :
1. Unifokal : bentuk tumor besar
2. Multifokal : bentuk nodul dan berbagai ukuran
3. Diffus : pola menyebar bisa mengenai seluruh bagian di hati
(Kumar, 2007).
Secara histologi, kebanyakan hepatoma menunjukkan pola trabekula
atau suatu bentuk lempengan yang menyerupai hati normal. Lempeng
tersebut dipisahkan oleh sinusoid edotelium yang berlapis. Bentuk
histologi kedua adalah pseudoglandular (adenoid,asinar). Pada jenis ini

Universitas Sumatera Utara

16

hepatosit sudah menjadi ganas dan tersusun di sekitar lumen dan
menyerupai kelenjar (Rubin,2007)
2.3.6. Stadium Klinis
Tingkat penyakit kanker hati terdiri dari :
I

- differensiasi sel tumor yang terbentuk dalam trabekula kecil.

II

- sel membesar dengan nuklei yang abnormal disertai glandular.

III - nuklei lebih besar dan hiperkromatik daripada grade II dan
sitoplasma granular dan asidopilik.
IV - sel tumor berdiferensiasi dengan nuklei hiperkromatik dan bentuk
Trabekular menghilang (Paradis, 2013).
2.3.7. Diagnosa
1. Anamnesa
Pasien dengan hepatoma sering datang dengan keluhan nyeri di
perut kanan atas atau tengah, benjolan di perut kanan atas atau
epigastrium, perut membuncit, badan lemah, hematememesis dan melena.
Pada pemeriksaan pasien bisa tampak dengan ikterus (Hussodo ,2000).

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dijumpai hepatomegali, asites, ikterus,
splenomegali, serta arterial murmur (Hussodo, 2000).

3. Pemeriksaan Penunjang
3a. Pemeriksaan Laboratorium
Tes fungsi hati merupakan tes yang digunakan
untuk melihat enzim-enzim yang disintesis oleh sel hati.
Tes ini meliputi tes albumin,alanin transaminase (ALT),

Universitas Sumatera Utara

17

aspartat transaminase (AST), alkalin phospatase (ALP),
gammaglutamyl-transpeptidase (GGT), dan Prothrombin
time (PT). Tes ini dapat memonitor kerusakan hati.
Peningkatan enzim-enzim ini dapat disebabkan oleh
penggunaan NSAID, alkohol, virus hepatitis, dan tumor di
dalam hati (Tortora,2012).
Pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan
meliputi pemeriksaan hemoglobin dan trombosit. Pada
pasien hepatoma dapat terjadi penurunan jumlah dari
hemoglobin dan trombosit.
1. Pemeriksaan Antibodi Terhadap Hepatitis
1.1. Hepatitis B
Diagnosis

serologis

yaitu

ditemukannya

IgM

antibodi terhadap antigene core hepatitis (IgM anti
HBc dan HBsAg). HBsAg mendahului IgM anti HBc,
serta merupakan penanda pertama yang diperiksa
secara rutin ( Sanityoso,2009).
1.2. Hepatitis C
Diagnosis serologis melalui deteksi anti HCV. Anti
HCV akan tetap terdeteksi untuk periode yang panjang,
baik pada pasien yang mengalami kesembuhan spontan
ataupun berlanjut menjadi kronis ( Sanityoso,2009).
2. Pemeriksaan Fungsi Hati
2.1. Aminotransferase
Pemeriksaan ini meliputi AST dan ALT. Enzim ini
merupakan penanda terjadinya kerusakan pada sel
hepar. AST banyak ditemukan pada sitoplasma dan

Universitas Sumatera Utara

18

mitokondria di hepar, otot jantung, dan otot rangka.
Nilai normal dari AST berkisar 0-35 IU/l. Sedangkan
ALT merupakan enzim yang terdapat pada sitoplasma
hati dan paling banyak terdapat di hati, nilai normal
ALT berkisar 0-45 IU/l. (Limdi,2003).
Pada hepatoma serum AST dan ALT pasien
meningkat lebih tinggi pada pasien hepatoma dengan
HCV dibandingkan pasien hepatoma dengan HBV. Hal
ini disebabkan karena ALT merupakan penanda yang
sensitif untuk menilai derajat nekroinflamasi dari sel
hepar (tanabe et al., 2007).
2.2. ALP dan Gamma glutamyl Transaminase
ALP berasal dari dua sumber yaitu hati dan tulang.
Peningkatannya bisa saja secara fisiologis maupun
patologis. Nilai normal ALP berkisar 30-120 IU/l. ΓGTP merupakan enzim yang ditemukan di sel hepar
dan

epitel

bilier.

Peningkatan

enzim

ini

bisa

dikarenakan penyakit prankreas, diabetes, gagal ginjal,
dan alkohol. Nilai normal Γ-GTP berkisar 0-30 IU/l.
(Limdi,2003).
Pada

pasien

hepatoma

baik

gamma-glutamyl

transaminase dan ALP sama-sama meningkat pada
pasien hepatoma dengan HCV dibandingakan pasien
hepatoma dengan HBV (tanabe et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara

19

2.3. Albumin dan Prothrombin Time
Sintesis albumin merupakan salah satu fungsi dari
hati. Sekitar 10g

albumin disintesis setiap harinya.

Nilai normal albumin berkisar 40-60 g/l. (Limdi,2003).
Prothrombin time merupakan faktor pembekuan
darah ( kecuali faktor VIII) dan merupakan fungsi dari
hati

untuk mensintesisnya. Nilai normal 10.9-12.5

detik.
Pada pasien hepatoma yang disebabkan hepatitis B
dan C nilai dari prothrombin time sama-sama
memanjang. Dan nilai albumin pada pasien hepatoma
dengan HCV cenderung menurun dibandingkan pasien
hepatoma dengan HBV(tanabe et al., 2007).
2.4. Hemoglobin dan Trombosit
Pada hepatoma sering dijumpai perdarahan yang
bisa berasal dari varises maupun perdarahan sumber
lainnya, yang dapat memungkinkan terjadinya anemia.
Keadaan seperti hipertensi porta dan splenomegali
dapat menyebabkan terjadinya trombositopenia, dimana
jumlah trombosit dibawah 100.000/mL (Cicalese,
2014).
3b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT-Scan merupakan pemeriksaan yang dapat
mendeteksi masa di hati dan dapat mengevaluasi liver sirosis pada
hepatoma secara keseluruhan tanpa terhalang oleh costa maupun
gas. Dibandingkan dengan USG, CT-Ccan jauh lebih baik untuk
melihat evaluasi secara keseluruhan untuk melihat metatastasis
ekstrahepatik. Kontras intravena sangat baik digunakan untuk
mengevaluasi hepatoma, dan pada hepatoma akan tampak

Universitas Sumatera Utara

20

peningkatan atau penurunan dari daerah sekitar hepar, hal ini
bergantung pada waktu pengisian kontras setelah disuntikkan. CT
dapat mengevaluasi parenkim hepar secara keseluruhan, vena
hepar, vena porta, dan arteri hepar, teknologi seperti ini sering
disebut dengan pemeriksaan multiphasik. Multiphasik scan lebih
dominan pada peningkatan arteri hepar, ketika pengisian kontras
dilakukan pada arteri hepar sebelum ada peningkatan tambahan
pada vena porta di hati, kemudian selama fase predominan porta
dari pembesaran kontras (saat sejumlah besar kontras yang
diinjeksikan telah mencapai hati melalui vena porta).
Karena karakteristik variasi peningkatan terjadi pada
hepatoma, Scan pada hati dan banyak fase akan meningkatkan
sensitifitas dari hepatoma yang masih kecil. Hepatoma berukuran
kecil akan menunjukkan hipervaskularisasi selama masa pengisian
arteri . Pada masa penundaan, dimana kontras akan keluar dari
tumor , maka akan terlihat peningkatan tumor yang lebih banyak
daripada yang terlihat mengeliligi hati. Nodul-nodul kecil akan
tampak seperti lesi yang kecil dan tipis yang mengelilingi hati. CT
dapat mendemonstrasikan lokasi, suplai arteri dan drainase vena
pada hepatoma. Invasi pada hepar dan vena porta , serta metastasis
yang terjadi di pembuluh limfe dan daerah sekitarnya.

Gambar 2.5. Deteksi Hepatoma dengan CT scan (Outwater,2009)

Keterangan gambar :
Gambar 1 : Ct sebelum kontras dimasukkan ,terlihat masa tumor
dan pseudokapsul tipis.
Gambar 2: Fase arterial , tampak pembesaran dua masa tumor.

Universitas Sumatera Utara

21

Gambar 3 : waktu penundaan, dimana kontras akan dikeluarkan,
tampak masa tumor yang mengecil di hepar (Outwater,2009).
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan juga dengan
USG, secara umum gambaran yang akan didapatkan antara lain
pembesaran hepar, permukaan yang bergelombang dan lesi-lesi
fokal intrahepatik dengan struktur eko yang berbeda dengan
parenkim hati normal. Yang paling sulit adalah menentukan
hepatoma stadium awal dimana gambaran struktur eko yang masih
isoekoik dengan parenkim hati normal (Ijas, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendri Hidayat
pada tahun 2007, dijumpai tipe tumor pada hepatoma dengan HBV
bentuk multinoduler 20 kasus (54,1%) dan massive 8 kasus
(21,6%). Sedangkan HCV bentuk multinoduler 5 kasus (71,4%).
3c. Tumor Marker
Alfa-fetoprotein(AFP) merupakan protein serum normal
yang disintesis oleh sel hati fetal. Sel yolk-sac dan sedikit oleh
saluran cerna fetal. Kadar normal AFP dalam serum adalah 0-20
ng/mL. Kadar AFP dapat meningkat pada 60%-70% pada pasien
hepatoma, dan kadar lebih dari 400 ng/mL merupakan diagnostik
untuk menegakkan hepatoma. Penanda tumor lain yang dapat
ditemukan adalah des-gamma carboxy prothrombin (DCP) atau
PIVKA-2, yang kadarnya dapat meningkat pada 91% pasien
hepatoma, tetapi juga dapat meningkat pada keadaan defisiensi
vitamin K, hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma.
Penanda hepatoma lain adalah AFP-L3 (suatu subfraksi AFP)
(Husodo, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Indian Bagian
Selatan, kadar AFP pada pasien hepatoma dipengaruhi oleh infeksi
virus, dan bahkan cenderung lebih tinggi nilainya pada orang yang
terinfeksi HBV (Murugavel, 2008).

Universitas Sumatera Utara

22

2.3.8. Terapi
1.Reseksi Hepatik
Pada pasien non-sirosis reseksi hepatik merupakan pilihan terapi
karena fungsi hatinya masih baik. Sedangkan pada kelompok sirosis
hal ini masih menjadi pertimbangan, disebabkan dapat menimbulkan
gagal hati sehingga menurunkan angka harapan hidup. Kontraindikasi
tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik, hepatoma difus
atau multifokal, dan sirosis stadium lanjut.
2.Transplantasi Hati
Transplantasi hati dapat menyingkirkan tumor dan mengganti
parenkim yang mengalami kerusakan. Dilaporkan angka harapan hidup
selama 3 tahun mencapai 80%, bahkan dengan dibantu terapi obat
antiviral seperti lamivudin, ribavirin, dan interferon dapat mencapai
angka harapan hidup 5 tahun sebesar 92%. Pasca transplantasi,
kematian sering terjadi akibat rekurensi tumor baik diluar transplan
maupun didalam transplan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm
lebih jarang menimbulkan rekurensi daripada tumor yang berdiameter
5 cm.
3.Ablasi Tumor Perkutan
Pengrusakan sel neoplastik dapat dibantu dengan bahan kimia
(alkohol dan asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya. Injeksi
etanol perkutan (PEI) dapat digunakan pada tumor yang kecil (
diameter