Ekonomi Politik Global dalam studi kasus

Ekonomi Politik Global dalam studi kasus barang Industri Tekstil dan Produk Tekstil
Indonesia di kawasan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)
Oleh Joko Surono, SE

1. PENDAHULUAN
Penulis tertarik menulis Essay dengan memilih tema : the Global Economy,
development and poverty dengan judul

Ekonomi Politik Global dalam studi kasus

barang Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di kawasan ASEAN-China Free
Trade Area (ACFTA) adalah karena kebutuhan sandang (pakaian) merupakan salah
satu dari tiga kebutuhan pokok manusia selain pangan (makanan) dan papan
(perumahan) juga pengalaman travelling penulis ke beberapa negara di Asia Tenggara
(seperti Singapura, Malaysia dan Thailand), Asia Timur (seperti Jepang dan China)
serta Inggris dan Skotlandia dimana penulis acap kali menemukan barang Industri
tekstil berupa pakaian made in Indonesia yang dijual di beberapa toko dan pusat
pertokoan branded di negara-negara tersebut adalah barang yang berkualitas tinggi
dengan harga yang bersaing. Juga travelling ke beberapa kota di Jawa dan Sumatera
seperti Surabaya, Yogyakarta, dan Bandar Lampung. Selain itu, penulis ingin
mengemukakan pendapat mengenai pengaruh secara ekonomi dan politik tentang

keberadaan Indonesia dalam perdagangan bebas di kawasan Association of South East
Asian Nations - China Free Trade Area (selanjutnya disebut ACFTA), apakah
pemberlakuan ACFTA merupakan ancaman bagi Indonesia? Karena pemberlakuan
pasar bebas ini bagaikan membangunkan kita dari tidur. Bagaimana tidak, di satu sisi
kita mendapatkan berbagai macam peluang dari pemberlakuan tersebut, namun di sisi
lain adanya potensi bahaya yang mengancam industri di tanah air bila Indonesia tidak
berbenah diri dan tidak bisa bersaing. Pembukaan pasar dengan raksasa ekonomi
China memang telah membuat gerah banyak industri Indonesia khusus yang
produksinya menjadi andalan ekspor China diantaranya industri tekstil dan produk
tekstil (selanjutnya disebut TPT

yaitu secara teknis dan struktur terbagi dalam tiga sektor industri

yang lengkap, vertikal dan terintegrasi dari hulu sampai hilir, yaitu :
1.Sektor Industri Hulu (upstream), adalah industri yang memproduksi serat/fiber (natural fiber dan
man-made fiber atau synthetic) dan proses pemintalan (spinning) menjadi produk benang

1

(unblended dan blended yarn). Industrinya bersifat padat modal, full automatic, berskala besar,

jumlah tenaga kerja realtif kecil dan out put pertenagakerjanya besar.
2.Sektor Industri Menengah (midstream), meliputi proses penganyaman (interlacing) benang menjadi
kain mentah lembaran (grey fabric) melalui proses pertenunan (weaving) dan rajut (knitting) yang
kemudian diolah lebih lanjut melalui proses pengolahan pencelupan (dyeing), penyempurnaan
(finishing) dan pencapan (printing) menjadi kain-jadi. Sifat dari industrinya semi padat modal,
teknologi madya dan modern – berkembang terus, dan jumlah tenaga kerjanya lebih besar dari
sektor industri hulu.
3.Sektor Industri Hilir (downstream), adalah industri manufaktur pakaian jadi (garment) termasuk
proses cutting, sewing, washing dan finishing yang menghasilkan ready-made garment. Pada sektor
inilah yang paling banyak menyerap tenaga kerja sehingga sifat industrinya adalah padat karya )1,

alas sepatu, elektronika, alat-alat rumah tangga dan mainan anak-anak.
Sebagaimana diketahui, sejak 1 Januari 2010, ACFTA sebagai suatu kawasan
perdagangan bebas untuk barang mulai diberlakukan antara China dengan enam
negara anggota Association of South East Asian Nations (selanjutnya disebut ASEAN),
yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Namun, empat negara anggota ASEAN lainnya seperti Laos, Kamboja, Myanmar dan
Vietnam baru akan memberlakukannya pada tahun 2015. Artinya ACFTA bukan lagi
sekedar konsep melainkan telah menjelma menjadi sebuah realitas politik dan ekonomi.
Secara politik, ACFTA merupakan puncak keputusan strategis para pemimpin

ASEAN yang berani di tengah kuatnya arus regionalisasi yang mencontoh model Uni
Eropa (UE) dan semakin menguatnya arus globalisasi.
Secara ekonomi, kekuatan-kekuatan ekonomi yang membentuk pasar regional
bersinergi dengan aktor-aktor kekuatan ekonomi global yang mengagendakan
mekanisme perdagangan bebas.
Sejak kesepakatan digulirkan, para pihak berusaha menindaklanjuti agar momennya
tetap terjaga sesuai dengan arah dan komitmen bersama yang diwujudkan dalam
bentuk beberapa kesepakatan lainnya. Perjanjian yang mencakup liberalisasi
perdagangan untuk barang berlaku sejak 20 Juli 2005, disamping suatu perjanjian yang
meliputi liberalisasi perdagangan untuk jasa mulai berlaku sejak Juli 2007. Yang
menarik adalah mengapa ASEAN bermitra dengan China? Ada lima alasan utama, yaitu
:

1 http://egismy.wordpress.com/page/2/. Diunduh tanggal 10 Januari 2013.

2

1. Alasan Demografis. Penduduk ASEAN-10 mencapai sekitar 628,3 juta jiwa
merupakan pasar yang sangat potensial. Di bawah ini tabel data populasi ASEAN +
China menurut International Data Base (IDB) 2013 2 :

No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Rank
1
4
12
14
20
24

43
66
102
117
173

Country or Area
China
Indonesia
Philippines
Vietnam
Thailand
Burma
Malaysia
Cambodia
Laos
Singapore
Brunei
Jumlah


Population
1.349.585.838
250.775.663
105.720.644
92.477.857
67.448.120
55.167.330
29.628.392
15.205.539
6.695.166
4.814.421
415.717
1.977.934.687

Data diolah dari http://sasweb.ssd.census.gov/cgi-bin/broker

2. Alasan Geografis. Terjalinnya hubungan baik antara ASEAN dan China terlihat
dalam upaya penyelesaiannya konflik Laut China Selatan. Tercatat enam negara
yang bersengketa dalam perairan tersebut dan memperebutkan kepulauan Paracel
dan Spratly. Enam negara tersebut antara lain China, Vietnam, Filipina, Malaysia,

Taiwan, dan Brunei Darussalam. Mengenai upaya penyelesaian konflik Laut China
Selatan, ASEAN dan China telah membicarakan masalah tersebut dalam ASEAN
Regional Forum di Bali pada tahun 2011 lalu. Sebagai implementasinya, kedua
pihak selanjutnya mengadakan pertemuan pejabat tingkat tinggi ASEAN-China pada
awal tahun 2012. Meskipun dalam sejarahnya China pernah menjadi sosok yang
dihindari kehadirannya, namun pada saat ini hubungan China dengan ASEAN
tetaplah terjaga. Tagline China sebagai negara komunis pada masa kini telah
tertutupi oleh keaktifan China pada tataran internasional. Sosok China yang saat ini
sangat terlihat kooperatif terkait dengan haluan politik luar negerinya yang non
konfrontasi. Sementara dengan ASEAN, China telah sejak lama dapat dengan
mudah masuk ke kawasan ini. Salah satu faktor yang telah berhasil dimanfaatkan
oleh China dengan baik sejak dahulu adalah kedekatan geografis.
2 http://sasweb.ssd.census.gov/cgi-bin/broker. Diunduh tanggal 10 Januari 2013.

3

3. Alasan preferensi produk. China melihat bahwa konsumen di negara-negara ASEAN
menunjukkan preferensi yang lebih terhadap produk dengan harga murah, dan tidak
menuntut standard produk dan kualitas teknik yang tinggi.
4. Alasan pengaruh ekonomi maupun politik China di negara-negara ASEAN.

Pengaruh China secara ekonomi maupun politik sangat menonjol. Secara politik,
pasca Perang Dingin negara seperti Vietnam, Laos dan Kamboja memiliki garis
politik komunisme yang sama dengan China sehingga memudahkan untuk
membuka hubungan diplomatik yang kemudian diperluas menjadi hubungan
perdagangan. Secara ekonomi, pada tahun 2010, ASEAN menuntaskan AFTA dan
ACFTA yang memperlihatkan fakta bahwa ASEAN cenderung berintegrasi berkat
tekanan/ godaan dari aktor eksternalnya yaitu kekuatan ekonomi dan politik China.
5. Alasan China yang mengandalkan ASEAN. China mengandalkan ASEAN, baik bagi
pasokan energi dan bahan baku untuk industrinya maupun pasar ekspor bagi
produk pertanian dan industrinya. Memang, China sangat rajin untuk mencari mitra
kerjasama di bidang energi di kawasan ASEAN, disamping upaya-upaya untuk
mengembangkan perdagangan yang dikaitkan dengan investasi di luar negeri .
Begitu pula sebaliknya, diharapkan ASEAN bisa mendapatkan pertumbuhan
regional 7-8 persen akibat terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2009 yang
dimaksudkan agar ASEAN keluar dari kelesuan ekonomi.
Sejak 1 Januari 2010 itu pula, keenam anggota ASEAN (ASEAN-6), bersama-sama
China secara kolektif meletakkan tonggak sejarah bagi pola hubungan mereka.
Hubungan yang semula dipenuhi oleh kecurigaan tanpa hubungan diplomatik,
kemudian berubah menjadi hubungan yang bersahabat dalam hubungan diplomatik.
Sebagai suatu kawasan perdagangan bebas, ACFTA memiliki sekitar 1,978 miliar

konsumen dengan pendapatan nasional per kapita yang bervariatif diantara negara
anggotanya. Dengan jumlah konsumen sebesar itu, zona ACFTA adalah Free Trade
Area (selanjutnya disebut FTA) terbesar di dunia yang mampu dibentuk oleh negaranegara berkembang atas dasar Gross Domestik Product (selanjutnya disebut GDP
the total market

value of

all final goods and services produced

in

a

country

in

a

given year,


yaitu

equal

total consumer, investment and government spending, plus the value of exports, minus the value of imports)3

to

dan

3 http://www.investorwords.com/2153/GDP.html#ixzz2HxR0QO47. Diunduh tanggal 10
Januari 2013

4

perdagangannya, setelah China bergabung dalam World Trade Organization (WTO).
Dengan demikian ACFTA menjadi bersifat ambisius karena FTA ini tidak hanya
mengamankan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semata melainkan juga
mendorong investasi dan kerjasama ekonomi yang lebih maju, yang bukan sekedar

kawasan perdagangan bebas, melainkan juga mulai mengarah kepada integrasi
ekonomi.
ACFTA di mata pemimpin politik Indonesia adalah suatu sukses diplomasi terbesar
pada era 1990-an, akan tetapi ACFTA di mata para pelaku ekonomi produsen di
Indonesia menjadi sebuah ancaman/ tantangan dan sekaligus peluang yang akan
menentukan arah dinamika perkonomian Indonesia. Artinya, ACFTA pun bisa menjadi
sebuah ancaman/ tantangan dan sekaligus peluang bagi perindustrian Indonesia,
khususnya sektor industri TPT sebagai salah satu sektor yang dimasukkan dalam
kerangka ACFTA.
Secara lebih khusus, ancaman/ tantangan ini diarahkan terhadap China terutama
dalam hal persaingan harga dengan pasar domestik sebagai akibat dari membanjirnya
produk-produk TPT China. Serbuan produk dari China di pasar global sejak 1990-an
sampai kini semakin gencar, seperti alas kaki, elektronik, mainan anak-anak, makanan
dan minuman serta TPT, impor dari China memperlihatkan kecenderungan yang positif
secara bertahap sehingga mampu mencapai posisi dominan. Memang, sebagai bagian
dari perjanjian ACFTA, negara-negara anggota ACFTA bersepakat untuk menghapus
bea masuk hingga nol persen. Sebaliknya, suatu fokus menjadi cukup relevan untuk
mempertimbangkan bagaimana industri TPT Indonesia memanfaatkan peluang yang
tersedia di China atau negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Sebagai suatu ancaman/ tantangan, ancaman mulai dirasakan menyesakkan oleh
sejumlah pabrik TPT di Indonesia. Walaupun merujuk kepada pelaku pedagang di
tingkat grosir, tetapi hal ini sungguh menjadi pertanda yang perlu mendapat perhatian
serius para pelaku ekonomi produsen. Sebagai contoh, para pelaku tingkat grosir TPT
di Jawa Barat mengurangi pesanan mereka hingga sebesar 40% ke pabrik sejak awal
Desember 2009. Para pelaku grosir ini berharap untuk mendapatkan TPT asing dengan
harga yang lebih murah pada awal 2010 sebelum pemberlakuan ACFTA. Apakah

5

ancaman/ tantangan ini akan menghancurkan kinerja industri TPT Indonesia? Seberapa
besar ACFTA sebagai ancaman atau peluang bagi industri TPT Indonesia?
Sejalan dengan dinamika perekonomian Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945
hingga sekarang ini yang diwujudkan dalam serangkaian krisis, industri TPT di
Indonesia mampu berkontribusi secara signifikan dalam perekonomian nasional.
Industri TPT nasional pernah berpredikat sebagai primadona ekspor non migas walau
sekarang ini predikat itu memudar. Walaupun demikian, industri TPT nasional masih
memperlihatkan

diri

sebagai

salah

satu

produk

ekspor

unggulan.

Status

perkembangannya tidak muncul begitu saja, melainkan dalam konteks kesejarahannya
yang panjang sejak awal keberadaannya di Indonesia.
Pada umumnya, masyarakat suku bangsa yang hidup di sepanjang Kepulauan
Nusantara memiliki kemampuan komunitas dalam memenuhi kebutuhan sandang
mereka. Kemampuan komunitas mereka itu ditunjukkan oleh kemampuan setiap suku
bangsa di Indonesia dalam pembuatan kain tenun tradisional mereka. Mereka dikenal
sebagai pembuat jenis kain tenun dan rajut tradisional yang bernilai tinggi seperti kain
songket, kain tenun Silungkang, disamping tentunya termasuk kegiatan membatik.
Pada awalnya pembuatan kain tenun tersebut dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri dan/ atau kepentingan seni budaya.
Kemampuan tradisional tersebut kemudian ditunjang oleh penggunaan alatnya,
yaitu Alat Tenun Bukan Mesin (selanjutnya disebut ATBM) atau Textile Inrichting
Bandung (TIB) Gethrouw yang ditemukan oleh Daalenmoord pada tahun 1926. Secara
teknis, ATBM merefleksikan cara atau metode petenunan dan perajutan sederhana
untuk memproduksi kain tekstil tradisional seperti sarung, kain panjang, lurik, stagen
atau sabut, dan selendang. Penggunaan alat ini memungkinkan berubahnya
konsentrasi pembuatan kain tenun tradisional maupun batik yang semula hanya untuk
kebutuhan sendiri dan bersifat kultural mulai bergerak kepada kegiatan komersial.
Dengan ditemukannya ATBM ini, industri tekstil berkembang sejak tahun 1929 walau
dalam tahap industri rumahan.
Sepuluh tahun kemudian, industri tekstil memasuki tahap mesin dengan
diciptakannya Alat Tenun Mesin (selanjutnya disebut ATM) yang untuk pertama kalinya
digunakan di daerah Majalaya, Jawa Barat tahun 1939. Penggunaan ATM menjadikan
6

industri tekstil memasuki tahapan komersial. Listrik sebagai bahan bakar energinya
memang sudah masuk ke daerah Majalaya sejak tahun 1935. Sejalan dengan
perkembangannya, para pelaku industri batik rumahan kemudian membentuk Koperasi
Batik pada tahun 1937 dan kemudian semakin marak pembentukan koperasi batik di
berbagai daerah.
Sejalan dengan perkembangan zaman dari masa kemerdekaan sampai dengan
masa orde lama, industri TPT mengalami pasang surut. Kondisi kemandekan industri
TPT selama masa Orde Lama mengalami situasi yang tidak menguntungkan dimana
terjadi kekacauan ekonomi saat diberlakukannya ekonomi terpimpin. Ketika itu,
Pemerintah Indonesia membentuk Organisasi Perusahaan Sejenis (selanjutnya disebut
OPS) sesuai dengan sektornya, seperti OPS Tenun Mesin; OPS Tenun Tangan; OPS
Perajutan; OPS Batik; dan lain sebagainya. OPS ini dikoordinasikan oleh Gabungan
Pengusaha Sejenis (GPS). Pada tahun 1965-an, OPS dan GPS dilebur menjadi satu
dengan nama OPS Tekstil dengan beberapa bagian menurut jenisnya atau sub
sektornya, yaitu pemintalan (spinning), pertenunan (weaving), perajutan (knitting), dan
penyempurnaan (finishing). Disamping organsasi bentukan pemerintah tersebut,
industri TPT di Indonesia pun hingga tahun 1970 diwarnai oleh berbagai macam
organisasi seperti Perteksi; Printer’s Club (kemudian menjadi Textile Club), Perusahaan
milik pemerintah (Industri Sandang, Pinda Sandang Jabar, Pinda Sandang Jateng,
Pinda Sandang Jatim), dan Koperasi (GKBI, Inkopteksi). Pada akhirnya, tanggal 17 Juni
1974, organisasi-organisasi dalam lingkup industri TPT tersebut melaksanakan
Kongresnya dan menyepakati pendirian Asosiasi Pertekstilan Indonesia (selanjutnya
disebut API)4.
Pasca pembentukkan API dan pasca pemberlakuan Undang-Undang Penanaman
Modal Asing (PMA), perkembangan industri TPT memasuki tahap yang baru ketika
investasi asing mulai merambah sektor TPT. Hal ini ditandai dengan masuknya
investasi dari Jepang di subsektor industri hulu (spinning dan man-made fiber making).
Pada periode 1970-1985, industri TPT Indonesia tumbuh lamban serta terbatas hanya
mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik dengan segmen pasar menengahrendah. Setelah tahun 1986, industri TPT Indonesia mengalami pertumbuhan pesat
4

Rahman, Agus R. 2011. Jurnal Penelitian Politik Vol. 8, No. 2. Industri TPT Indonesia
dalam ACFTA : Siapa Juragan di Pasar Domestik. LIPI Press, hal. 265-267.

7

karena dua sebab, Pertama, iklim usaha di dalam negeri sudah kondusif, seperti
regulasi pemerintah yang efektif dengan fokus pada ekspor non-migas. Kedua, industri
TPT Indonesia mampu memenuhi standar kualitas yang tinggi untuk memasuki pasar
ekspor di segmen pasar atas-fashion.
Periode 1986-1997 adalah masa Globalisasi industri TPT yang ditandai oleh
masuknya produk TPT dalam Babak Perundingan Uruguay. Kinerja ekspor industri TPT
Indonesia terus meningkat dan membuktikan sebagai industri andalan penghasil devisa
negara sektor non-migas.
Menurut siaran pers yang diberitakan Biro Hubungan Masyarakat Departemen Perindustrian dan Perdagangan
: Ekspor TPT periode 1997 s/d 1999 mengalami penurunan dari US$ 7,4 milyar menjadi US$ 7,24 milyar, namun
tahun 2000 mengalami kenaikan cukup signifikan dan menembus angka US$ 8 milyar. Kenaikan ekspor
terutama terjadi pada produksi pakaian jadi bukan rajutan, barang-barang rajutan, filamen buatan dan serat
staple buatan. Untuk beberapa kategori ekspor TPT yang telah dibebaskan kuotanya juga mengalami kenaikan
dari US$ 182 juta tahun 1999 menjadi US$ 234 juta pada tahun 2000 atau meningkat 28,4%, terutama untuk
negara tujuan Amerika Serikat. Porsi ekspor TPT ke negara kuota rata-rata 40% dan ke negara non kuota 60%
dari total ekspor TPT. Pemanfaatan kuota Indonesia relatif cukup baik dibandingkan negara-negara lain di Asia,
yaitu sekitar 70,3%.5

Pada periode ini pakaian jadi merupakan komoditas primadona, sedangkan periode
1998-2002, industri TPT memasuki masa paling sulit. Kinerja ekspor TPT nasional
menunjukkan arah yang bersifat fluktuatif. Pada periode ini, kinerjanya dapat dikatakan
sebagai periode chaos, resque, dan survival. Industri TPT Indonesia memasuki masa
senja karena berbagai hambatan baik dalam negeri maupun internasional, yang
memerlukan perjuangan panjang dan berkelanjutan.
Bahkan sejak tahun 2002, industri TPT Indonesia dihadapkan pada kondisi
persaingan sejalan dengan pemberlakuan AFTA yang membuka persaingan yang
semakin meningkat. Pasar TPT domestik akan disusupi produk sejenis dari sesama
negara-negara anggota ASEAN. Konon, industri TPT kurang maksimal untuk
mempersiapkan diri sehingga daya kompetitif industri TPT Indonesia rendah karena
tidak dipersiapkan sejak dulu.
Hal ini menandakan fakta bahwa industri TPT di Indonesia memasuki tahap krisis
pertama, yang sesungguhnya industri TPT Indonesia belum selesai secara tuntas
mengantisipasi kondisi kritis. Pada waktu berikutnya, industri TPT Indonesia pun
5

http://kemenperin.go.id/artikel/628/Optimalisasi-Pemanfaatan-Kuota-Ekspor-Tekstil-DanProduk-Tekstil-(TPT). Diunduh 10 Januari 2013

8

memasuki tahap krisis kedua pada tahun 2005, kuota tekstil TPT di negara maju
dihapuskan serta negara-negara anggota ASEAN berancang-ancang mengembangkan
AFTA menjadi ACFTA.
Pada

periode

2003-2006

merupakan

periode

outstanding

rehabilitation,

normalization, dan expansion. Upaya revitalisasi ini berlangsung seperti jalan di tempat.
Hal ini disebabkan oleh dua kendala utama yaitu : (1) sulitnya sumber pembiayaan, dan
(2) iklim usaha yang tidak kondusif.6
Periode pertengahan tahun 2007, industri TPT memasuki tahap restrukturisasi
permesinan, bersamaan dengan ancaman/ tantangan dan peluang dari terbentuknya
ACFTA. Dalam pembentukan ini, China menjadi motor penggerak dalam konteks
ACFTA, adanya ACFTA sendiri tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan
pengembangan dari AFTA yang terbentuk lebih dahulu.
Dengan periode sejarah yang cukup panjang ini, industri TPT Indonesia sungguh
memperlihatkan kekuatan alamiahnya sebagai salah satu industri asli Indonesia.
Kinerja industri TPT pada 2009 menjadi titik tolak bagi masa depan industri TPT
Indonesia karena pada awal tahun 2010, industri TPT Indonesia didera oleh konsep
perdagangan bebas kawasan ACFTA.
2. Kerangka Analisis
Kebijakan pemerintah diperlukan untuk menunjang kegiatan perdagangan dengan
menerapkan

kebijakan

yang

menguntungkan

perdagangan

Indonesia

dalam

hubungannya dengan ekonomi politik global. Indonesia jangan menjadi penonton saja
di kawasan ACFTA. Negara kita kaya akan sumber daya alam, bahan baku yang
berlimpah, alur pantai terpanjang di dunia dan beberapa keunggulan lainnya yang
seharusnya bisa dimanfaatkan dengan ditunjang oleh peraturan dan kebijakan
pemerintah dalam hal peraturan perdagangan bebas di kawasan ACFTA seperti
kebijakan membenahi infrastruktur yang menopang sektor perekonomian Indonesia.
Bagi Indonesia, Kawasan ACFTA harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kepentingan politik dan ekonomi Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan.
Pertumbuhan perekonomian China yang relatif pesat saat ini menjadikan China sebagai
kekuatan politik dan ekonomi dunia yang patut diperhitungkan Indonesia dan ASEAN.
6 http://egismy.wordpress.com/page/2/. Diunduh 10 Januari 2013

9

Akan tetapi kesepakatan perdagangan ACFTA ini berpotensi akan tergusurnya serta
ambruknya industri domestik di Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan
dari membanjirnya impor produk murah dari China. Sebagaimana diketahui bahwa
perdagangan bebas (liberalization of trade) tidak bisa dihindari dari suatu perekonomian
negara yang terbuka. Perdagangan bebas telah menciptakan sebuah akselerasi dalam
pertumbuhan ekonomi dunia.
Dalam menilai fungsi negara Indonesia pada perdagangan ACFTA, para negarawan
selayaknya untuk mengendalikan aktivitas ekonomi lewat Undang-Undang dan
ketetapan demi kekuatan nasional. Hal ini seperti dikenal dalam Sistem Merkantilis
(mercantile system). Sistem Merkantilis dibangun atas dasar keyakinan bahwa
kemakmuran hanya diukur semata-mata dari banyaknya uang dan logam mulia, siapa
saja yang memilikinya berarti memiliki kekuatan nasional. Secara umum pendapat para
Merkantilis menekankan pada : (1) peningkatan kekuatan negara nasional yang
diperoleh melalui; (2) surplus neraca perdagangan dengan luar negeri, dengan (3)
mengutamakan ekspor barang hasil industri, bukan hasil produksi pertanian; dan (4)
pemberian hak monopoli dan perlindungan pemerintah terhadap kegiatan para
pedagang.7
Dalam hal politik luar negeri, sistem merkantilis sebagian besar bertanggung jawab
atas terjadinya peperangan di Eropa dan daerah jajahannya yang berlangsung selama
abad

ke-18.

Sistem

ini

berkarakteristik proteksionisme

mendorong

terjadinya

penjajahan Barat atas negara-negara di Asia dan Afrika. Tujuan dari Merkantilisme
adalah untuk memperkuat kekuasaan politik dan kekayaan negara. Melalui intervensi
langsung dalam ekonomi, pemerintah dapat memastikan agar perkembangan ekonomi
yang terjadi sejalan dengan tujuan dan kepentingan negara. Negara Baratlah yang
pertama kali memperkenalkan perdagangan bebas ke negara-negara Asia dan banyak
yang menanggapinya dengan skeptisisme/ meragukan, mencurigakan bahkan melihat
hal ini tak lain adalah bentuk imperialisme gaya baru. Perdagangan bebas di Asia
terutama di Asia Timur seperti Jepang, China dan Korea Selatan kini telah
7

W.I.M. Poli. 2010. Tonggak-tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi. Surabaya. Brilian
Internasional hal. 24-25

10

bertransformasi dan menjadikan mereka menjadi macan-macan Asia yang sekarang
malah sebaliknya membuat takut negara-negara Barat yang dulu memperkenalkan
Pasar Bebas.
Pasar Bebas ini mengeliminasi total terhadap hambatan dalam perdagangan untuk
mengurangi puluhan juta orang dari kemiskinan dan bagi negara-negara berkembang
seperti Indonesia, liberalisasi perdagangan dapat menjadi powerful tool bagi
penghilangan kemiskinan dalam masyarakat karena dengan dihilangkannya hambatan
perdagangan, tentu akan membuat harga barang semakin murah sehingga purchasing
power masyarakat semakin meningkat. Perdagangan bebas menjadi satu instrumen
dalam menciptakan kemakmuran. Akan tetapi dilain pihak akan terjadi permasalahan
terutama bagi pengusaha lokal yaitu ketidakseimbangan antara produk impor dengan
harga produk yang dihasilkan oleh para pengusaha lokal tersebut sehingga harga
produk yang dihasilkan oleh pengusaha lokal relatif lebih mahal dari produk impor
terutama dari China. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat diharapkan terhadap
kebijakan politik luar negerinya yang bebas aktif, ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial saja tetapi mulai
diarahkan ke peran dan tujuan ekonomi, perindustrian dan perdagangan dalam upaya
bersaing dengan negara ASEAN dan China dalam kerangka ACFTA. Seperti yang
terjadi di China, mereka menerapkan politik Comprehensive National Power (CNP)
sebagai perumusan nasionalisme pragmatiknya dalam praktik dimana konsep power
mengacu pada kekuatan bangsa yang mencakup seluruh sumber daya aktual maupun
potensial yang dimilikinya, sehingga Regulasi ditetapkan oleh presiden dan Politbiro
Partai Komunis dengan menerapkan Isu-isu Kemanusiaan (pengendalian jumlah
penduduk), kesenjangan ekonomi, kerusakan lingkungan dan pembajakan produk
sehingga China bisa bangkit sebagai kekuatan ekonomi dunia.
Dalam bidang politik dalam negeri, sistem Merkantilis menyebabkan bertambahnya
jumlah larangan dalam perdagangan dan industri yang dibebankan kepada negara.
Perdagangan bebas ACFTA dapat berdampak cukup serius terhadap kelangsungan
kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di dalam negeri. Tetapi dalam hal ini ada banyak
faktor yang bisa menghambat bahkan merugikan posisi Indonesia dalam perdagangan
bebas ACFTA diantaranya ketidaksiapan Pemerintah yang sangat beragam dimulai dari
kurangnya sosialisasi mengenai implementasi ACFTA, terutama di bidang industri TPT
11

yaitu ketakutan akan tergusur oleh produk-produk China, dan akan menyebabkan
hancurnya sektor Usaha Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut UKM) serta
hilangnya lapangan pekerjaan maupun performa sektor-sektor Industri TPT yang
kurang kompetitif.
Jika keterlambatan dan kegagalan pemerintah dalam berbenah diri maka akan
melahirkan keadaan yang beresiko akibat kalah bersaing. Penulis bukannya pesimis
melainkan menilai bahwa resiko ini bisa saja terjadi karena beberapa alasan berikut :
1. Pertama, antara Indonesia versus China bukanlah lawan yang seimbang. China
adalah aktor global yang sangat diperhitungkan dan merupakan negara dengan
GDP terbesar ketiga setelah AS dan Jepang di tahun 2009 tetapi di 2010 sudah
bisa menggeser Jepang menjadi nomor dua setelah AS. 8
2. Kedua, kondisi domestik Indonesia sendiri yang sebenarnya belum cukup
kompetitif untuk bersaing. Penyebabnya adalah belum memadainya infrastruktur
yang menopang efektivitas dan efisiensi produksi dan faktor pendukung daya
saing lainnya seperti jalan, pelabuhan, bandara, listrik dan suku bunga
perbankan yang tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN dan China
menyebabkan industri domestik tidak kompetitif, belum lagi sistem birokrasi yang
justru mempersulit industri lokal untuk maju misalnya ada produk impor yang
semestinya bisa dibuat di dalam negeri tetapi dipersulit dalam hal perizinannya.
Perizinan membutuhkan waktu yang lama sementara produk impor dibiarkan
menyerbu pasar domestik.
3. Ketiga, kurangnya komunikasi, konsultasi, dan koordinasi antar pemangku
kepentingan. Pada saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, yang
notabene

menandatangani

perjanjian ACFTA, melakukannya

tanpa

ada

konsultasi dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sosialisasi
sangat terkait dengan bagaimana koordinasi antara pemerintah dengan sektor
swasta/ bisnis. Juga koordinasi tidak hanya terjadi antara pemerintah dan
swasta/ bisnis tetapi koordinasi penting dilakukan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta koordinasi antara regulasi dan penegakkannya.
4. Keempat, kurang tersedianya data yang akurat dari pihak China sehingga
pemetaan kebutuhan pasar ke China sangat minim. Angka perdagangan China
8 http://gusschool.wordpress.com/2011/08/07/produk-domestik-bruto-gross-domesticproductgdp-negara-di-dunia-menurut-world-bank/

12

seringkali tidak dapat dijadikan acuan. Bahkan ekspor China ke ASEAN jauh
lebih besar dari apa yang dilaporkan dalam laporan neraca perdagangan. Data
pasar China yang ada masih terbilang tidak cukup tersebar sehingga pelaku
usaha nasional masih meraba-meraba kebutuhan dan karakteristik pasar China.
Hal ini tentu mempersulit kebijakan pemerintah Indonesia untuk membuat
kebijakan yang tepat.
5. Kelima, kondisi dalam menciptakan iklim investasi belumlah sempurna. Pulau
Jawa dan Sumatera serta beberapa tempat di Indonesia bagian Timur adalah
tempat kawasan industri yang paling diminati akan tetapi kesiapan jalur
transportasi yang sangat padat bahkan macet yang mendera sehingga
memperlambat proses pengiriman barang (berkorelasi tinggi pada biaya secara
keseluruhan), disamping itu juga faktor kepastian hukum dan stabilitas politik
dalam negeri. Masalah korupsi juga sering menjadi pertimbangan bagi calon
investor datang ke Indonesia.

3. Pembahasan
Perdagangan bebas sudah menjadi prinsip yang dipuja-puja oleh penganut teori
ekonomi modern, sebagai dogma moral yang sudah umum diterima. Oleh karena itu
sangatlah sulit untuk menghimbau politisi dan para ekonom dunia untuk menilai kembali
dampaknya terhadap perkonomian dunia yang berubah secara radikal karena tujuan
akhir perdagangan bebas adalah untuk menciptakan pasar bagi produk barang, jasa,
modal dan tenaga kerja di seluruh dunia. Dengan perdagangan bebas akan
menimbulkan

sebuah

kompetisi

yang

ketat,

untuk

meningkatkan

GDP

dan perdagangan luar negeri.
Berkenaan dengan sektor industri TPT, ada beberapa permasalahan pokok yang
penulis temukan. Pertama, problem utama industri TPT Indonesia adalah ketersediaan
bahan baku, yakni KAPAS. Penyebabnya adalah terkendalanya pengembangan benih
yang masih sangat terbatas. Selama ini, industri tekstil di Indonesia mengandalkan
pada impor bahan baku kapas yang diimpor dari Afrika Barat seperti Kenya dan lainnya
dan tentunya akan sangat tergantung dari harga yang ditawarkan. Hal ini merupakan
13

titik lemah industri tekstil Indonesia sehingga pemerintah dan para pengusaha perlu
mendesain ulang konsep pemenuhan bahan baku dalam jangka panjang. Harus dicari
solusi konkrit agar ketersediaan bahan baku Kapas tidak lagi menjadi kendala utama
seperti dibuatkan kebijakan menanam Kapas di dalam negeri dalam skala luas dan
besar sehingga ketersediaan bahan baku adalah wajib hukumnya untuk efisiensi dalam
industri TPT sehingga mampu bersaing dalam harga dan meraih keuntungan.
Permasalahan utama Kedua adalah permesinan yang sudah cukup tua sehingga
industri TPT memerlukan restrukturisasi permesinan. Pemerintah sejak tahun 2007
meluncurkan kebijakan restrukturisasi permesinan tekstil hingga tahun 2010 dan 2011.
Dalam hal ini Pemerintah menerapkan dua skema, yaitu Skema A yang berupa
potongan harga terhadap nilai investasi mesin baru dan Skema B dalam bentuk
bantuan kredit berbunga rendah bagi perusahaan TPT berskala kecil dan menengah.
Akan tetapi, realisasi program restrukturisasi program ini terkendala seperti pailit dan
terjadinya perubahan manajemen. Tentunya, industri TPT Indonesia juga masih
menyimpan permasalahan lainnya yang cukup krusial, yaitu pasokan energi dan buruh.
Akan tetapi dalam hal pasar ekspor TPT Indonesia, selama ini tampaknya bukan ke
pasar ACFTA melainkan ke Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa walaupun beberapa
negara ACFTA menyerap impor TPT dari Indonesia dengan cukup besar. Kawasan
ACFTA memang memperlihatkan pasar yang sangat besar karena 1,978 miliar
konsumen di kawasan ini memerlukan TPT dalam segala bentuk, baik bahan jadi,
pakaian jadi, pakaian dalam (under wear), dan lain-lain.
Sasaran TPT China di kawasan ACFTA khususnya di pasar domestik adalah
konsumen menengah ke bawah dengan harga yang sangat murah dan kualitas yang
rendah terutama batik cap dengan motif dan sapuan warna khas China yang berbeda.
Dari pengamatan penulis, dari sekitar seratus pabrik tekstil yang ada di Jawa Timur
sebagian besar fokus pada pasar kelas menengah, hampir tidak ada yang bermain
pada pasar menengah ke bawah. Dengan demikian TPT China dan TPT Jawa Timur
memperlihatkan pasar yang berbeda sehingga di Jawa Timur TPT China mendominasi
pasar menengah ke bawah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masuknya produksi
tekstil China di Jawa Timur tidak terlalu berpengaruh bahkan pada satu sisi, tidak
selamanya perdagangan bebas ACFTA itu berdampak buruk. Pada sisi lainnya ACFTA
14

banyak juga manfaatnya. Misalnya banyak perusahaan tekstil dari China yang
menjajaki kerjasama dengan perusahaan tekstil di Jawa Timur. Bahkan pengaruh
ACFTA di Jawa Timur sesungguhnya menjadikan sebagai basis produksi TPT dunia.
Untuk wilayah DI Yogyakarta, industri TPT dihadapkan pada situasi dan kondisi
paling sulit karena hanya mengandalkan pasar domestik. Sebagian besar industri TPT
yang berskala pasar domestik merupakan UKM yang diperkirakan akan kalah bersaing
dengan produk TPT China yang membanjiri pasar domestik. Walaupun industri TPT DI
Yogyakarta yang berskala UKM sekarang ini memang telah memiliki daya saing,
sayangnya daya saing mereka lemah.
Sementara itu, TPT China makin banyak dipasarkan di mal dan pertokoan Bandar
Lampung bahkan merambat ke pasar-pasar tradisional seperti Pasar Bambu Kuning di
Tanjung Karang. Produk dari China paling gencar dipasarkan oleh sejumlah mal dengan
potongan harga yang fantastis. Selain itu, pembeli di kota Bandar Lampung sangat
beranimo untuk membeli TPT China karena harganya relatif murah daripada TPT
Indonesia dan modelnya lebih kaya dan variatif. Yang menyedihkan justru diperlihatkan
oleh beberapa konsumen domestik ini, mereka tidak mengetahui jikalau TPT yang
hendak dibelinya adalah buatan China.
ACFTA telah menghasilkan Framework Agreement dalam Tujuan dari Persetujuan
ACFTA (Artikel 1) adalah untuk9 :
1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi
diantara para pihak (parties);
2. Meliberalisasikan secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan
jasa serta menciptakan suatu rezim investasi yang transparan, liberal, dan
mudah;
3. Menggali bidang-bidang baru dan langkah-langkah pengembangan yang tepat
untuk kerjasama ekonomi yang lebih erat diantara para pihak; dan
4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari negara-negara anggota
ASEAN yang baru dan menjembatani perbedaan pembangunan diantara para
pihak.

9

Sinaga, Lidya Christin. , 2010. Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No. 2. Indonesia di tengah
kesepakatan ACFTA. LIPI Press hal. 6

15

Para pihak sepakat pendirian ASEAN-China FTA untuk memperkuat serta
meningkatkan kerjasama ekonomi melalui hal-hal sebagai berikut (Artikel 2) 10 :
1. Penghapusan secara progresif hambatan-hambatan tarif dan nontarif dalam
semua perdagangan barang.
2. Liberalisasi perdagangan barang dan jasa secara progresif dengan cakupan
sektor yang signifikan.
3. Pendirian rezim investasi yang terbuka dan berdaya saing yang memfasilitasi
dan mendorong investasi dalam perdagangan bebas ASEAN-China.
4. Ketentuan perlakuan khusus dan berbeda serta fleksibilitas untuk negara-negara
anggota ASEAN yang baru.
5. Ketentuan fleksibilitas bagi para pihak dalam negosiasi ASEAN-China FTA untuk
menanggulangi bidang-bidang sensitive dalam sektor barang, jasa, dan investasi
dimana fleksibilitas akan dinegosiasikan dan disepakati bersama berdasarkan
prinsip timbal balik dan saling menguntungkan.
6. Pembentukan langkah-langkah fasilitasi perdagangan dan investasi yang efektif,
tidak terbatas pada penyederhanaan prosedur kepabeanan dan pengembangan
pengaturan pengakuan yang saling menguntungkan.
7. Perluasan kerjasama ekonomi dalam bidang-bidang yang mungkin disepakati
bersama diantara para pihak yang akan melengkapi pendalaman hubungan
perdagangan dan investasi antara para pihak dan perumusan rencana-rencana
aksi dan program-program dalam rangka mengimplementasikan kerjasama dari
sektor/ bidang yang telah disepakati.
8. Pembentukan mekanisme yang tepat bagi efektivitas implementasi persetujuan
ini.
Proses penentuan tarif dalam ACFTA dibagi tiga tahap, yaitu : Early Harvest
Programme (EHP), jalur normal dan jalur sensitive seperti tergambar pada tabel
berikut11 :
Tahap I

Tahap II

Tahap III

Early Harvest Programme (EHP)

Normal Track I dan II

Sensitive/High Sensitive List

Chapter

1

sampai

dengan

chapter 8, yaitu : Binatang Hidup,

Sensitive list : (a) Tahun 2012 =
Normal Track tahap I Tarif akan

maks. 20%; (b) Pengurangan

10 Ibid
11 Sinaga, Lidya Christin. , 2010. Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No. 2. Indonesia di tengah
kesepakatan ACFTA. LIPI Press, hal. 6-7

16

Ikan, Dairy Product, Tumbuhan,
Sayuran,

dan

Kesepakatan

menjadi 0% pada tahun 2010

Buah-buahan.

Bilateral

(produk

spesifik) antara lain Kopi, Minyak

menjadi 0-5% pada tahun 2018.
Dengan 304 produk (HS 6 Digit)

Normal Track tahap II Tarif akan

antara lain Barang Jadi kulit; Tas,

menjadi 0% pada tahun 2012

Dompet;

Alas
kulit;

kaki;

sepatu,

Kelapa (CPO), Coklat, Barang

casual,

Kacamata;

dari karet, dan Perabotan. Tarif

Musik; Besi dan Baja; Spare

akan 0% pada tahun 2006

parts; Alat angkut; Glokasida dan
Alkaloid

Nabati;

Organik;

Antibiotik;

Alat

Senyawa
Kaca;

Barang-barang Plastik
High Sensitive List : Tahun 2015
tarifnya maks. 50%. Dengan 47
Produk (HS 6 Digit), antara lain
terdiri atas Produk Pertanian,
seperti Beras, Gula, Jagung, dan
Kedelai; Produk Industri Teksil
dan

Produk

Produk

Tekstil

Otomotif;

(ITPT);
Produk

Ceramic Tableware

Seiring dengan perjalanan waktu, industri TPT Indonesia dihadapkan kepada
ancaman/ tantangan yang serius ketika dihadapkan pada kompetisi dalam konteks
ACFTA. Para pelaku industri TPT berskala besar, kemungkinan mampu berkompetisi.
Namun bagi para pelaku industri TPT berskala kecil dan menengah, mereka masih
memerlukan dukungan Pemerintah dan konsumen domestik agar dapat bertahan.
Suatu hal yang menjadi magnet bagi industri TPT berskala kecil dan menengah adalah
penetapan United Nations for Education, Social and Cultural Organization (UNESCO)
terhadap batik sebagai warisan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan. Industri batik
kemudian sontak bangkit kembali untuk menjadikan batik menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Memang, sekarang ini batik China masuk ke Indonesia, tetapi batiknya
merupakan jenis batik cap, baik motif dan sapuan warnanya juga berbeda. Justru,
perbedaan ini akan menjadi persaingan dengan produk batik asli Indonesia.
4. Kesimpulan
17

Kawasan perdagangan bebas ACFTA merupakan pengembangan dari AFTA yang
dirasakan masih kurang maksimal. Oleh karena itu, dalam rangka revitalisasi inilah,
ASEAN memerlukan aktor diluar ASEAN untuk memicu FTA agar semakin berani dan
komitmen menuju integrasi ekonomi kawasan.
Masuknya aktor China ke dalam mekanisme perdagangan ACFTA selanjutnya
membuka persaingan yang frontal antara produk TPT impor China dengan produk
domestik yang sebagian besar adalah berskala kecil dan menengah, menyebabkan
industri TPT domestik tidak mampu menghadapi produk TPT China.
Pemberlakuan ACFTA memang dapat menjadi ancaman/ tantangan bagi industri
TPT domestik, tetapi sesungguhnya ACFTA sendiri menciptakan peluang. Dalam hal ini,
industri TPT domestik yang berskala kecil dan menengah perlu mendapat perhatian
Pemerintah agar tidak ketinggalan dalam menghadapi persaingan global dan dapat
mempertahankan pasarnya sendiri khususnya batik yang sekarang ini menjadi pusat
dari revitalisasi industri TPT Indonesia yang harus berimprovisasi, baik dari sisi teknik
maupun motif dan warna. Artinya, Batik di masa depan agar tetap menjadi Ikon
kebanggaan nasional. Dengan demikian, industri batik Indonesia bukanlah industri
kelas senja tetapi menjadi industri sepanjang masa karena batik akan dipertahankan
sepanjang masa menjadi kebanggaan industri TPT Indonesia.
Langkah-langkah pemerintah dalam memperbaiki kondisi dan kapasitas industri TPT
domestik adalah menuntaskan dua permasalahan utama yaitu penyediaan bahan baku
yakni KAPAS dengan dibuat kebijakan ditanam di dalam negeri dan tidak lagi
mengandalkan pada impor dari Afrika Barat dan membuat kebijakan perihal pengadaan
permesinan sehingga industri TPT Indonesia menjadi efisien dan kompetitif.
Langkah-langkah penting lainnya harus dilakukan oleh industri TPT Indonesia
bersama dengan Pemerintah yaitu : (1) harus mempunyai strategi menembus pasar
ASEAN-China, (2) memperbaiki dan memperkuat infrastruktur yang menopang industri
TPT, (3) meningkatkan daya saing industri TPT domestik untuk mendongkrak daya
saing internasional, serta (4) penguatan reformasi birokrasi dan penciptaan regulasi
yang benar-benar pro terhadap industri TPT domestik sebagai bagian strategi
Indonesia.
18

Industri TPT Indonesia harus punya strategi, work plan yang ketat dan hasil yang
terukur sehingga industri TPT kita tidak tertekan oleh derasnya produk TPT China.
Strategi tersebut diperlukan sebagai upaya agar hasil industri TPT Indonesia menjadi
tuan rumah di negeri sendiri, bahkan bisa menyerbu pasar internasional. Dengan cara
ini, dapatlah diselamatkan nasib industri TPT Indonesia dan para pekerjanya dari
ancaman kebangkrutan.

5. Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
1. Rahman, Agus R. 2011. Jurnal Penelitian Politik Vol. 8, No. 2. Industri TPT
Indonesia dalam ACFTA : Siapa Juragan di Pasar Domestik. LIPI Press, hal. 265267.
2. Sinaga, Lidya Christin. , 2010. Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No. 2. Indonesia di
tengah kesepakatan ACFTA. LIPI Press hal. 6-7
3. Azis, Iwan Jaya. 1994, “Indonesia”. Dalam John Williamson (Ed.). The Political
Economy of Policy Reform. Washington. D.C. : Institute for International Economics.
4. Nuke Pudjiastuti, Tri. ASEAN FTAs dan Liberalisasi Perdagangan Jasa : Tantangan
Jasa Tenaga Kerja bagi Indonesia. Jakarta. Jurnal Penelitian Politik Vol. 7, No. 2,
2010. LIPI Press.
5. Pangestu, Mari. 1995. “Sekilas Pandang Perekonomian Indonesia selama 50 Tahun
Merdeka”. Dalam Bantarto Bandoro et al. (Ed.). Refleksi Setengah Abad
Kemerdekaan Indonesia. Jakarta. CSIS.
6. Soeri Suroto. “Sejarah Kerajinan di Indonesia”. Prisma No. 8 (Agustus, 1983).
7. Sungkar, Yasmin. 2006. “ASEAN-China FTA : Komitmen dan Implikasi Ekonominya”.
Dalam Ratna S. Inayati (Ed.). ASEAN-China FTA : Akselerasi Menuju East Asia
Community (EAC). Jakarta. LIPI Press
8. W.I.M. Poli. 2010. Tonggak-tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi. Surabaya. Brilian
Internasional.
Internet
1. http://egismy.wordpress.com/page/2/. Diunduh tanggal 10 Januari 2013.
2. International Data Base (IDB) tahun 2013, mengolah data populasi ASEAN + China.

Diunduh dari http://sasweb.ssd.census.gov/cgi-bin/broker, pada tanggal 10 Januari
2013.
19

3. Pengertian Gross Domestic Product. Diunduh dari

http://www.investorwords.com/2153/GDP.html#ixzz2HxR0QO47, pada tanggal 10
Januari 2013.
4. http://kemenperin.go.id/artikel/628/Optimalisasi-Pemanfaatan-Kuota-Ekspor-Tekstil5.

6.
7.
8.

Dan-Produk-Tekstil-(TPT). Diunduh 10 Januari 2013.
http://egismy.wordpress.com/page/2/. Diunduh 10 Januari 2013
http://gusschool.wordpress.com/2011/08/07/produk-domestik-bruto-gross-domesticproductgdp-negara-di-dunia-menurut-world-bank/ . Diunduh 10 Januari 2013
Asosiasi Pertekstilan Indonesia, “Indonesia Textile & Apparel Highlight”. Diunduh
dari www.indonesiatextile.com, pada 12 Januari 2013.
http://www.asean.org

20

Dokumen yang terkait

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84