Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambu
Page |1
Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan
dan Perubahan
Karangan: Daniel S. Lev
1. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat
Perombakan Hukum (legal reform)
yang dilakukan
secara terus menerus pasca revolusi di Indonesia dilakukan
secara terus menerus sebab sistem hukum kolonialisme
belanda masih bercokol di Nusantara.Dalam pembagiannya di
bagi
menjadi
beberapa
golongan
ras
keturunan
Eropa,
Indonesia asli, keturunan Cina dan Timur asing lainnya. Dalam
keturunan Eropa berlaku BW (Burgerlijk Wetboek) dan WvK
(Wetboek van Koophandel, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) kitab hukum ini berlaku untuk golongan keturunan
Eropa, Cina, orang-orang Indonesia Kristen, dan orang-orang
yang menundukan diri secara keseluruhan terhadap hukum
Eropa.
Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku Hukum Adat
sejak empat dasawarsa yang diprakasai oleh dua orang ahli
utama yaitu Cornelis van Vollenhoven dan Barend ter Haar,
mempertahankan
Hukum
Adat
dari
usaha-usaha
penyeragaman hukum Eropa, dengan alasan bahwa orang
Indonesia menata hidup mereka dengan cara yang berbeda
dengan cara yang dilakukan oleh orang Eropa dan mereka
sudah
mempunyai
norma-norma
hukum
yang
mereka
percayai benar. Dalam upaya nya tersebut van Vollenhoven
dan ter Haar berhasil menyakinkan pemerintah Belanda pada
akhir 1920-an. Van Vollenhoven kemudian merumuskan Kitab
Hukum Adat yang dapat bersanding dengan Hukum Tertulis
Eropa.
Page |2
Organisasi peradilan di masa sebelum perang terdiri
dari Pengadilan Distrik, Pengadilan Kabupaten, dan Landraad,
Pengadilan
sehari-hari
yang
Indonesia.
Residentiegerecht
tertinggi
yaitu
bagi
orang-orang
pengadilan
banding
pertama, raad van justitie pengadilan banding kedua dan
Hooggerechtshof yang kemudian disebut Mahkamah Agung di
Batavia (kini Jakarta). Diluar jawa pengadilan berjalan seperti
pengadilan adat-adat lainnya karna kurangnya pengawasan
pemerintah Hindia-Belanda.
Hooggrechtshof hanya menangani dan bertumpu pada
“ketentuan-ketentuan hukum tertulis dan tidak mencakup
hukum
adat
yang
tidak
tertulis”.
Hakim-hakim
yang
menangani perkara orang Eropa ditangani oleh Hakim Eropa,
dan perkara-perkara orang Indonesia ditangani oleh Hakim
Indonesia. Untuk menunjang Hakim-Hakim dari Indonesia
didirikan sekolah hukum (Retchschool) lulusannya kemudian
dikirim
ke
Universitas
Leiden
tempat
mengajar
van
Vollenhoven. Di dalam konteks hakim yang mengurusi perkara
orang Indonesia dituntut untuk memahami kondisi sosial
masyarakatnya
dan
apa
yang
disebut
hukum
adalah
keputusannya hal ini seperti yang dikemukakan ter Haar.
Sistem hukum adat Van Vollenhoven dan Ter Haar tidak
dapat bertahan melewati revolusi (1945-1950), disebabkan
kurangnya perhatian dan sibuknya pemersatuan Indonesia,
bagi sebagian orang pilihannya adalah hukum adat atau
hukum Eropa. Hukum Adat, dimata para pemimpin di masa
pasca revolusi, tidak cukup memadai dan harus menyingkir.
Dikarenakan modernisasi hukum untuk menunjang kemajuan
ekonomi dan kestabilan sosial. Orang indonesia menciptakan
hukumnya sendiri demi kepentingannya sendiri. Pada tahun
Page |3
1955, Profesor V.E Korn menemukakan bahwa, ” Kami
mendapati bahwa sebagian besar cendikiawan Indonesia,
walaupun merindukan modernisasi hukum, tetap berada
dibawah pesona hukum adat ”.
Hukum adat inilah yang menjadi polemik hukum waris
janda sebagai ahlu waris apa tidak yang merupakan perkara
di Mahkamah Agung dari akhir tahun 50-an hingga awal tahun
60-an mengingat adat di Indonesia mempunyai berbagai
aturan yang berbeda-beda seperti bilateral di jawa dan
patrilineal di Tapanuli, Bali, dan Lombok yang pada akhirnya
ditetapkan oleh Mahkamah Agung tentang status hak waris
janda pada tanggal 8 November 1960.
Page |4
Tanggapan Penulis:
Bahwa, apa yang telah disampaikan Danil S Lev dalam
bahasannya tentang Mahkamah Agung dan Politik Hukum
Waris Adat, beliau sangat memahami culture bangsa Indonesia
yang pluralistic sehingga tidak memungkinkan nasionalisasi
hukum khususnya hukum waris adat dikarenakan keaneka
ragaman masyarakat Adat dan Budaya Indonesia sehingga mau
tidak mau Mahkamah Agung tetap konsisten mengadopsi hukum
yang hidup di masyarakat Adat
di masing-masing daerah,
kecuali hukum adat yang sudah mengalami perubahan ketentuan
dan
telah
dijadikan
Yurisprodensi
Tetap
dengan
mempertimbangkan aspek keadilan dan kepatutan yang salah
satu contohnya waris perempuan Bali , dulunya mereka tidak
mempunyai hak waris namun dalam perkembangannya kini anak
perempuan juga mempunyai waris. Dengan demikian meskipun
hukum waris adat tidak tertuang dalam hukum positif namun
keberadaannya tetap diakui oleh Mahkamah Agung dan masih
digunakan sebagai dasar hukum dalam penerapan hukum waris
adat di Indonesia.
Pada zaman
2. Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman
Politik, untuk negara-negara baru seringnya menjadi
ajang saling sikut demi memperebutkan kekuasaan, ini yang
melatar
belakangi
studi
kasus
mengenai
pengaruh
pertentangan yang terjadi diantara para Hakim, Jaksa dan
Polisi. Yang pertama antara Hakim dan Jaksa menyangkut
masalah pretise; apakah para jaksa harus diberi kedudukan
dan gaji yang sama dengan hakim ataukah tidak. Persoalan
kedua sebenarnya masih termasuk yang pertama, namun
Page |5
lebih menekankan pada pembagian kekuasaan substantif
antara pihak kepolisian dan badan penuntut umum (BPU).
Tentang perseteruan ini sudah ada
Belanda
yang
pengadilan
menerapkan
seperti
beberapa
landraad,
raad
sejak kolonial
lembaga-lembaga
van
Justitie,
untuk
memenuhi kemajemukan yang ada di masyarakat. Dalam
badan penuntut umum juga terdapat badan penuntut umum
berjenjang (open-baar Minsterie. Parquet) yang dikepalai oleh
Procereur Generaal dan tenaga pelaksanaannya adalah para
penuntut (Officieren van Justitie), sedangkan Jaksa berbeda
dengan BPU diatas, wilayah Jaksa sangat kecil, dan statusnya
tak
lebih
dari
pegawai
kewedanaan.
Walaupun
Jaksa
memainkan peran sebagai pengusutan awal namun kemudian
diserahkan kepada asisten residen untuk jawa dan Magistraat
untuk luar Jawa.
Bagi
dengan
orang-orang
Indonesia
aturan-aturan
yang
berlaku
Hukum
termaktub
Acara
dalam
Inlandschreglement. Proses ini rampung pada awal 1942,
segera setelah Jepang menduduki kepulauan Indonesia dan
pemerintah Jepang menghapus organisasi kehakiman kolonial
dan
menggantinya
dengan
sistem
yang
disatukan
dan
disederhanaka. Namun Undang-Undangnya sebagian besar
tetap mengambil dari kitab hukum kolonial. Berikutnya, pada
tahun 1945, Kementrian Kehakiman mencabut sebagian besar
perubahan yang dibuat pemerintahan Jepang karna dinilai
bermutu lebih rendah dari Undang-Undang Kolonial, maka,
Undang-Undang Kolonial tersebut belaku hingga ada UndangUndang “nasional” yang menggantikannya tanpa disebutkan
kapan.
Page |6
Badan Penuntut Umum Republik meneruskan sistem
hukum bekas Parquet Eropa dulu, tetapi secara keseluruhan
berbeda dengan yang dulu, dirombak secara total, puncaknya
pada tahun 1948 Pemerintah Republik Indonesia menciptakan
aturan gaji bagi Hakim yang bergaji lebih tinggi daripada
Jaksa, pada tahun 1951 jaksa menuntut kenaikan gaji dan
kedudukan yang sama di depan kementrian kehakiman, pada
tahun 1953-1956 disepakati pembagian kerja yang sama pula,
disebabkan peristiwa inilah dibahas lebih lanjut mengenai HIR,
hukum acara kolonial.
Pada peristiwa tersebut Hakim ‘kalah’ dan pada tanggal
5 Maret 1956 beralih ke Mahkamah Konstitusi yang didirikan
pada tahun 1955 untuk membentuk kontitusi baru, disanalah
hakim
menyampaikan
‘keluh
kesahnya’
didukung
oleh
mahkamah Agung. Di sinilah diusulkan pasal-pasal konstitusi
tentang kekuasaan kehakiman. Polisi versus Penuntut kurang
lebihnya juga serupa seperti kasus yang di atas.
Dalam kedua kasus perseteruan tersebut pihak-pihak
yang berselisih lebih menitik beratkan perjuangannya pada
persoalan status. Pada kurun permulaan transisi politik dan
sosial yang cepat, disebagian besar negara baru di Asia dan
Afrika, Isu keadilan jarang menjadi sasaran perhatian yang
utama
sampai
lama
kemudian,
tatkala
stabitilitas
kelembagaan dan pengawasan politis telah terwujud dan
rakyat telah sadar akan hak-haknya, sampai datangnya saat
itu hubungan kelembagaan yang terus berubah di bidang
peradilan (dan hubungannya dengan pihak-pihak lain) akan
berpengaruh besar terhadap berubah-ubahnya sifat keadilan.
Tanggapan Penulis:
Page |7
Bahwa,
perseteruan
penegak
hukum
di
Negara
berkembang seperti Indonesia masih sering kali dipengaruhi
politik hukum seirama dengan adanya issu hukum yang sedang
terjadi. Daniel S Lev melihat permasalahan hukum yang terjadi
di Negara berkembang mudah dipengaruhi oleh dinamika politik
yang sedang berjalan sehingga sering kali memberikan pengaruh
dampak
negative
dalam
dilakukan.
Institusi
Indonesia
mendapatkan
proses
Kehakiman
penerapan
dalam
kedudukan
system
tertinggi
hukum
yang
peradilan
di
dibandingkan
kejaksaan maupun kepolisian sehingga hal ini seolah-olah
memberikan hak kewenangan yang lebih superior dibanding
dengan
kedua
institusi
tersebut,
kedudukan
yang
selalu
menempatkan institusi Kehakiman lebih dari yang lain inilah juga
menjadi salah satu penyebab yang dapat mempengaruhi dalam
proses penegakkan hukum bilamana apa yang telah menjadi
kehendak Penuntut Umum tidak terealisasi sesuai harapan
mereka.
Meskipun
semua
institusi
mempunyai
domain
kewenangan tersendiri namun bilamana terjadi gesekan diantara
keduanya maka tidak menutup kemungkinan politik hukum
bermain di dalamnya.
3. Perubahan Hukum Sipil: Dari Dewi Keadilan ke Pohon
Beringin
Perubahan
Hukum
memunculkan
Unifikasi
hukum,
dalam hal ini para kalangan elit (para ahli hukum kolonial
lulusan sekolah hukum) ada yang memakai teori Nederburgh
yang mana keseragaman Hukum perdata harus dilakukan
dikarenakan masyarakat Indonesia telah terbiasa dan siap
dalam hal itu. Tetapi hal tersebut di bantah oleh van
Vollenhoven di Leiden dan Ter Haar di tanah jajahan dengan
Page |8
mementahkannya bahwa Masyarakat mempunyai normanorma sosial tersendiri. Pada akhirnya tidak ada kemajuan
mencolok pada tahun awal-awal kemerdekaan, baik yang
berkenaan dengan kodifikasi maupun Unifikasi.
Konflik unifikasi hukum ini diluar pengadilan menerima
serangan
terus-menurus
menginginkan
unifikasi
dengan
hukum
sarat
Ideologis
yang
sendiri
namun
tidak
menghasilkan kesepakatan mengenai hukum Indonesia yang
baru. Pada tanggal 5 September 1963 Wirjono mengeluarkan
surat edaran mahkamah agung yang menyatakan bahwa BW
tidak berlaku lagi [Lihat, Daniel S.Lev, 1990: 90].
Masalah
perombakan
hukum
di
Indonesia
dan
diberbagai negara baru, bukanlah sekedar penciptaan hukum
baru yang dapat diterapkan dalam interaksi antara swasta
dan pemerintah yang ciri-cirinya sudah dikenal dengan baik.
Upaya tersebut sangat diperuwet oleh ketidakpastian yang
tak terbilang dalam hubungan-hubungan keperdataan yang
nyata ditengah masyarakat yang berubah, oleh keharusan
untuk menampung faktor-faktor ideologis, dan keharusan
untuk penyesuaian karna ketidakmampuan badan peradilan
yang tidak bisa tidak telah mengalami kemunduran sebagai
akibat tekanan dan ketidak mantapan politik. Pada akhirnya
memang harus ada terobosan dari pilihan-pilihan hukum
yang diwariskan di tanah jajahan menuju pilihan-pilihan
hukum dari sebuah negara yang merdeka.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, apa yang menjadi cita-cita bangsa mengenai issue
nasionalisasi hukum perdata Indonesia sebenarnya bisa saja
diwujudkan sepanjang tidak berbenturan dengan hukum adat
Page |9
yang sudah ada di Indonesia sehingga apa yang telah diakomodir
dan diatur di dalam hukum positif tidak terjadi benturan dengan
masyarakat
adat
sehingga
prinsip
pohon
beringin
dapat
dimemenuhi harapan masyarakat.
4. Lembaga-Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di
Indonesia
Essai ini dikembangkan melalui dua konsep, Pertama
“Sistem Hukum” dan Kedua “Budaya Hukum”. Sistem hukum
lebih kepada yang bersifat prosedural yang terdiri dari
berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-lembaga
formal, bersama-sama dengan proses informal disekelilingnya.
Dalam negara modern sistem hukum adalah birokrasi dan
sumber kekuasaannya terletak pada sistem politik.Budaya
hukum merupakan konsep
baru
yang
digunakan untuk
menarik nilai-nilai sosial ke hukum, unsur yang digunakan,
pertama nilai hukum keacaraan (Prosedural legal values) dan
niali nilai hukum subtantif.
Di semua masyarakat yang kompleks terdapat jarak
pemisah antara struktur formal dan prosedur kelembagaan. Di
Indonesia, seperti halnya di berbagai negara bekas jajahan,
ketiadaan
keterpaduan
seperti
ini
sangat
mencolok.
Akibatnya, muncullah hukum kelembagaan Gresham, yakni
proses
formal
cenderung
dihindarkan
dalam
rangka
menyelesaikan perselisihan melalui proses yang lebih bersifat
kekeluargaan dan lebih akomodatif, Masyarakat yang adil
sekurang-kurangnya mempunyai ciri tidak ada perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan.
Tanggapan Penulis:
P a g e | 10
Bahwa, pendapat Daniel S lev sebenarnya telah menjadi
alternative penyelesaian
hukum diluar system peradilan yang
ada, seperti telah dibentuknya lembaga arbitrase, curator,
dll
sehingga keberadaan lembaga tersebut diharapkan memberikan
kontribusi penyelesaian yang lebih persuasive, fleksibel dan
cepat serta juga memberikan kepastian hukum pula.
5. Tentang Prokol Bambu: Perlapisan, Perwakilan dan
Perantaraan
Tulisan ini akan membahas advokat setengah ahli-yang
istilah buruknya sering disebut Prokol Bambu – di Indonesia.
Pokrol
Bambu
adalah
jenis
orang
setengah
ahli
yang
memperoleh pengetahuannya dengan upaya yang keras dan
mudah
dikelirukan
dengan
ahli
yang
sebenarnya.Prokol
Bambu dapat dipakai sebagai prototipe, atau bentuk ideal dari
jenis pekerjaan setengah ahli pada umumnya. Dengan istilah
ahli hukum (advokat) setengah ahli (Para professionals)
dimaksudkan tiap orang yang melakukan pelayanan untuk
menjangkau lembaga-lembaga hukum (birokasi, pengadilan,
kekuasaan politik pada umumnya) atau memberi pelayanan
yang sama dengan yang dilakukan lembaga-lembaga hukum,
tetapi tidak mempunyai pendidikan formal yang lazim dimiliki
oleh para advokat ahli.
Prokol bambu terbentuk pada masa kolonial dikarenakan
kebutuhan masyarakat akan prokol bambu tampak jelas.
Pekerjaan prokol bambu tumbuh dan sepenuhnya, pada tahun
1920-an tatkala beberapa diantara mereka memandang diri
mereka sendiri dalam prespektif keahlian. Mereka banyak
memainkan peranan dalam pemberian nasehat kepada klien
mereka di Landraden.Prokol berasal dari kata procureuer,
istilah belanda untuk pengacara perdata.Bambu ditambahkan
P a g e | 11
para ahli untuk mengejek.Prokol bambu selalu menolak istilah
itu, lebih menyukai istilah pengacara yang secara netral
melukiskan penasehat bagi orang-orang yang berperkara.
Pada suatu waktu ditahun 1927 sejumlah prokol bambu
membentuk organisasi, yang kini dikenal dengan nama PERPI
(Persatuan Pengacara Indonesia). Prokol bambu tak lain
adalah perlapisan, Perwakilan dan perantaraan lembaga
hukum bagi kaum miskin.
Tanggapan Penulis :
Bahwa, keberadaan pokrol bamboo sejak berlakunya uu
advokat no 18 tahun 2003 maka keberadaan mereka sebatas
ditahap non litigasi dan mereka tidak diberikan kewenangan
menangani pada tingkat litigasi sehingga kegiatan mereka
tersebut sangat dibatasi oleh undang-undang. Pembatasan
kewenangan
mereka
semata-mata
demi
kepentingan
para
pencari keadilan itu sendiri (para justisiable) sebab penanganan
perkara di tingkat litigasi dibutuhkan orang-orang yang memiliki
kemampuan lebih professional dan pertanggung jawaban profesi
sebagai jaminan.
6. Unifikasi Pengadilan pada Masa Pasca-Kolonial
Perubahan penting terjadi dalam organisasi pengadilan
pendudukan Jepang, hasilnya adalah disatukannya pengadilan
sekuler secara vertikal.Termasuk kedalamnya districtsgerecht
(yang kini disebut Gun Hȏin) regentschapsgerecht (Ken-Hȏin),
Raad van Justitie (Kȏtȏ Hȏin) dan Hooggerechtshof (Saikȏ
Hȏin).
Hanya
pengadilan
yang
semula
bernama
Residentiegerecht yang benar-benar dihapus, tapi semua
pengadilan itu melayani klien yang sama. Selama revolusi
P a g e | 12
Gun Hȏin dan Keiza Hȏin disatukan kedalam Tihȏ Hȏin yang
kemudian diubah namanya menjadi Pengadilan Negeri.
Unifikasi Struktur pengadilan terjadi di Jawa, diluar jawa
masih mengandalkan sistem pengadilan adat seperti halnya
Aceh yang mengandalkan Ueleubalang dan kuatnya organisasi
Islam di aceh seperti PUSA yang kemudian menjadi Hakim di
Tihȏ Hȏin.Pada tahun 1944 di hapuslah Mahkamah Agung
sebagai tempat banding, namun diletakkan pada setiap tiga
provinsi di Jawa yang masing-masing mempunyai sistem
pengadilan banding sendiri.
Menyusul
menyerahnya
Jepang
dan
proklamasi
kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, kesatuan Nasional
adalah keprihatinan utama para pemimpin Republik, tetapi
sedikit saja pikiran yang dicurahkan untuk pembarahuan
kelembagaan. Sehingga terjadi kerancuan di luar jawa yang
belum terkendali, di masa revolusi pengadilan adat berlahanlahan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan umum yang
belum tersistem secara jelas sehingga banyak terjadi ketidak
pastian yang mudah sekali memicu konflik di masyarakat,
karna memang fokusnya belum kearah tersebut.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, unifikasi system peradilan hanya pada persoalan
hukum formiel sedangkan untuk hukum materiel tetap mengacu
materi perkara sepanjang hal tersebut telah diatur oleh yang
bersifat umum dalam undang-undang dan juga hal-hal yang
bersifat
hukum
yang
diatur
dalam hukum
adat
sehingga
penerapan hukum di system peradilan lebih dapat memberikan
pemenuhan terhadap kekosongan hukum bilamana undangundang tidak mengaturnya.
P a g e | 13
7. Asal –Usul Keadvokatan Indonesia
Model advokat Indonesia dengan sendirinya, adalah
seperti advokat Belanda. Pembela perdata Indonesia berbeda
dengan Lawyer di Amerika walaupun memiliki beberapa
kesamaan tapi ada
perbedaan antara satu sama lain.
Perbedaannya dengan lawyer di Amerika Serikat, yakni
generalis
yang
memadukan
fungsi
pembelaan
dalam
peradilan dengan tugas-tugas dokumenter yang bermacam
ragam, para pembela perdata di Indonesia, seperti halnya
barrister di Inggris, secara formal hampir sepenuhnya berkait
dengan
perkara
gugatan.
Lazimnya
ia
bukan
seorang
penyusun dokumen hukum.
Notaris adalah jantung sistem hukum formal dan banyak
macam transaksi yang tidak mungkin terjadi tanpa jasa
mereka, adanya kantor Notaris mengurangi kebutuhan akan
pengacara
perdata,
tidak
hanya
karna
advokat
dapat
mencurahkan tenaga semata-mata pada kerja di pengadilan,
tetapi juga penyusun dokumen yang dilakukan dengan hatihati
akan
mengurangi
kemungkinan
timbulnya
perkara.
Notaris diatur, diuji, dan diberi izin oleh negara, seringkali
dengan kecermatan yang lebih ketat dari pada advokat.
Jumlah notaris dibatasi namun advokat tidak.
Advokat indonesia yang pertama adalah Mr. Besar
Martokusumo,
yang
juga
membantu
advokat
indonesia
lainnya untuk memulai kariernya menjadi advokat. Hampir
semua advokat pada mulanya terutama terdiri dari orang
jawa, serta satu sama lain mengenal dengan baik berkerja
sama dibidang pekerjaan maupun politik. Hal ini dimulai sejak
tahun 1920. Sebelum itu pada tahun 1908 Boedi Oetomo
P a g e | 14
dibentuk dan menarik beribu-ribu pegawai dan pelajar jawa
kedalam programnya yang bila ditilik dari segi politik tampak
konservatif tetapi dari segi budaya telah memikat beberapa
orang advokat Indonesia sehingga mereka tertarik untuk
menjadi
anggotanya.
Akan
tetapi
pengaruhnya
hanya
sebentar, meskipun dalam dua dasa warsa berikutnya cikalbakal pertai-partai besar yang merajai politik Indonesia
melalui masa sesudah kemerdekaan sampai dengan tahun
1960-an. Partai serikat Islam terbentuk pertama kali pada
tahun 1912, PKI menyusul pada tahun 1920, dan Soekarno
bersama yang lain membentuk PNI Partai Nasional Indonesia
pada
tahun
1927.
Sebelum
tahun
1920
kemerdekaan
indonesia telah dipersoalkan. Advokat kemudian masuk dalam
Partai Nasional Indonesia, dan terlibat dalam Politik. Advokat
juga menolak Pengadilan adat dan menuntut Pengadilan
formal sebab pengadilan adat tidak dapat mereka masuki.
Tanggapan Penulis:
Bahwa,
keberadaan
profesi
memang
mengalami
kedinamisan dari masa ke masa yang mana keberadaan advokat
dulunya tidak diberikan payung hukum oleh undang-undang dan
baru saja di tahun 2003 yang lalu Advokat mulai dapat
menunjukkan
profesi
ini
eksistensinya
berdasarkan
UU
sebagaimana
no
18
yang
tahun
diharapkan
2003
sehingga
kepentingan dan kewenangan Advokat lebih terlindungi dengan
hadirnya
undang-undang
tersebut.
Bahwa,
bukan
Advokat
menolak pengadilan Adat secara langsung namun keberadaan
pengadilan adat belum bisa
secara normative.
memberikan kepastian hukum
P a g e | 15
8. Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum :
Sebuah Sketsa Politik
Di
bawah
demokrasi
terpimpin
pengadilan
menyebabkan presiden Soekarno gusar, untuk sebagian
karena beberapa orang hakim menolak untuk didikte; akan
tetapi selain itu juga karena ia mengira, dengan tepat, bahwa
pada
umumnya,
mendukung
para
Pemerintah
ahli
hukum
dengan
dan
advokat
sepenuh
tidak
hati.
Asas
kemandirian badan kehakiman dan pemisahan kekuasaan –
Trias
Politica,
yang
dipuja
oleh
para
ahli
hukum
dan
dicemoohkan oleh Soekarno – yang dalam asas itu para hakim
mendapatkan arti penting fungsinya menentang benih-benih
demokrasi
terpimpin
yang
menekankan
pentingnya
kekuasaan dibawah tokoh sentral, yakni diri Soekarno sendiri.
Trias Politica juga jadi pengganggu yang mengingatkan pada
tertib parlementer, suatu tertib yang oleh Soekarno atas
tekanan dari pihak tentara, harus dihapuskan, UndangUndang
19/1964
meempurnakan
Patrionalisme
formal.
Demokrasi terpimpin membungkam para hakim, advokat, dan
para intelektual liberal dengan ketentuan pasal 19 yang
menyatakan bahwa Presiden boleh campur tangan dengan
leluasa dalam tiap tahap proses peradilan demi kelangsungan
revolusi atau kepentingan nasional.
Pada tahun 1966 awal, MPR (S), badan tertinggi
menurut
Konstitusi,
menetapkan
agar
pemerintah
dan
parlemen meninjau kembali peraturan perundangan produk
demokrasi terpimpin sehingga sejalan dengan undang-undang
dasar 1945. Undang-Undang 19/1964 tercantum dalam urutan
atas
dalam
daftar
peraturan
perundangan
yang
harus
dipertimbangkan kembali. Barulah pada tahun 1969 Parlemen
P a g e | 16
mencabut berlakunya Undang-Undang tersebut, bersamaan
dengan diundangkannya undang-undang baru, tetapi tertunda
untuk sebagian karna diprioritaskannya persoalan-persoalan
politik lainnya. Setelah melalui perundingan secara luas
Undang-Undang 14/1970 diundangkan yang Pada akhirnya
para hakim dan para pendukungnya memang kalah. UndangUndang 14/1970 hanya menghapus pasal 19 Undang-Undang
19/1964 dengan mengatur kembali dalam (pasal 4, paragraph
3) ketentuan konstitusional mengenai pemandirian badan
peradilan.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, ketakutan Penguasa atas kemandirian Lembaga
Kehakiman memang cukup beralasan hal ini dikuatirkan akan
menjadi
boomerang
penguasa
melakukan
bagi
penguasa
kesalahan
itu
hukum
sendiri
namun
bilamana
sejak
era
reformasi Kemandirian Lembaga Kehakiman lebih Independen
dan terlepas dari pengaruh penguasa secara langsung sehingga
lembaga Yudikatif dapat menjalankan fungsi penegakkan lebih
optimal dan tidak selalu berpihak kepada Penguasa.
9. Van Vollenhoven dan Hukum Adat
Van
Vollenhoven
mempelajari
adat
Indonesia
dari
laporan penelitian para pejabat, yang ia bantu dengan melatih
mereka
cara-cara
penelitian
para
menghimpun
mahasiswanya.
data,
Ia
dan
dari
berbeda
laporan
dengan
penyelidikan besar Belanda lainnya, C. Snouck Hurgronje yang
menkaji adat dan Islam. Tidak ada hukum yang berlaku bagi
rakyat pribumi Hindia-Belanda, kata dia (Van Vollenhoven)
karna hukum demikian bukan hukum mereka. Kitab undang-
P a g e | 17
undang
yang
berlaku
umum
niscaya
melanggar
hak
masyarakat yang berbhineka itu untuk hidup berdasarkan
nilai-nilai mereka sendiri. Pandangan sebaliknya – yang
dikemukakan oleh Nedburgh, misalnya – menyatakan bahwa
sesungguhnya orang Indonesia harus dihela memasuki negara
modern, bahwa hukum yang tunggal akan memungkinkan
terselenggaranya pemerintahan yang lebih effesien dan
memberi kesempatan yang sama kepada orang Indonesia
untuk bersaing berdasarkan kerangka aturan yang sama yang
berlaku bagi setiap orang.
Ia telah mengarahkan banyak energi intelektualnya
untuk menunjukkan bahwa hukum Indonesia itu asli dan
bukan sekedar turunan dari hukum Hindu atau Islam. Pada
penutup perbincangannya tentang Aceh, pada halaman 122
dalam
buku
yang
baru
itu,
Van
Vollenhoven
menulis:
“Penghancuran hukum adat tidak akan meratakan jalan ke
arah hukum kodifikasi, tetapi membuka jalan bagi kekacaubalauan dan Islam”. Tidak mengherankan bila para pemimpin
Islam membenci Adatrechtpolitiek.
Van Vollenhoven mungkin mempunyai pikiran yang
sama tentang masa depan adat yang perlu dipertimbangkan.
Hal yang ingin saya tampilkan adalah bahwa, sebagai salah
satu sumber keprihatiannya akan hukum adat, ia sangat tidak
menyukai negara modern, yang ia pandang sebagai paksaan
yang disegi budaya akan merusak kehidupan masyarakat
“yang sebenarnya”. Akan tetapi dalam tulisan yang tidak
lazim tentang hukum internasional, yakni Du Droit de Paix,
kebenciannya terhadap negara sangat jelas.Orang Indonesia
yang mengenalnya atau membaca tulisannya mengakui sifat
paradoksal pakar terkenal itu, yang masih melekat tapi
P a g e | 18
dengan cepat memudar, dalam pengetahuan hukum adat
Indonesia.
Akan tetapi bila Adatrechtpolitiek dimusnahkan, dengan
tujuan baik atau buruk, masih juga ada sesuatu yang tetap
tersisa, yang boleh merupakan warisan karya Van Vollenhoven
yang paling menarik.Warisan itu adalah penghormatannya
yang asasi terhadap hukum dan nilai-nilai lokal, penghargaan
yang benar-benar penuh dengan perasaan kasih sayang
terhadap perbedaan-perbedaan diantara umat manusia.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, penulis berpendapat hukum adat tetap dalam
domain hukum adat yang bersifat unik dan tetap sebagai hukum
yang masih mempunyai nilai dan hidup dalam masyarakat
sepanjang belum diatur dalam undang-undang namun tetap
digunakan sebagai sumber hukum yang
juga memberikan
kontribusi yang lebih dapat diterima oleh masyarakat adat.
10.
Hukum Kolonial dan Asal-Usul Pembentukan Negara
Indonesia
Kiranya sudah jelas bahwa negara-negara baru mewarisi
banyak hal dari pendahulunya di masa kolonial, karena
berbagai revolusi yang dibarengi dengan penghancuran total
sekalipun, yang jarang terjadi pada negara-negara baru, tidak
dapat menyapu bersih bekas-bekas masa silam. Tujuan VOC
sebenarnya
perbedaan
eksploitasi
pendapat
ekonomi,
yang
tajam
tambahan
mengenai
lagi,
ada
persoalan
kebijakan hukum, dari tahun 1790-an sampai tahun 1820-an.
Pada pokoknya yang diperselisihkan adalah manakah yang
perlu dibentuk: masyarakat kolonial yang terpadu atau
P a g e | 19
terpisah-pisah dalam kerangka hukum, satu hukum untuk
semua golongan penduduk atau hukum yang majemuk untuk
golongan penduduk yang majemuk pula. Pandangan pertama
seperti yang diterapkan Inggris ke India yang cenderung
membentuk negara Kolonial.Pandangan kedua, berpendirian
perlunya perciptaan sebuah sistem administrasi dan bukan
sebuah negara.
“Untuk tiap golongan berlaku hukumnya sendiri” benarbenar tidak berlaku. Kaulanegara asal Eropa mempunyai dua
kitab undang-undang hukum acara, sebuah untuk perkara
perdata (Burgelijk Rechtsvordering) dan sebuah untuk perkara
pidana
(Strafvordering).
Ini
yang
dipakai
di
pengadilan
landraad sedangkan untuk Indonesia diberlakukan Indisch
Reglement (IR) yang diundangkan pada tahun 1848, ditinjau
kembali
pada
tahun
1926,
dan
selanjutnya
dilakukan
amandemen pada tahun 1941 dengan nama Herzeins Indisch
(Indonesisch) Reglement (HIR). Sebagai contoh lebih mudah
menangkap,
menahan,
dan
memidana
orang
Indonesia
berdasar HIR dari pada terhadap orang kaulanegara Belanda
berdasar Stafvoerdering.
Dengan datangnya kemerdekaan, Indonesia mempunyai
dua tradisi hukum untuk dipilih.Para Advokat Indonesia dan
sejumlah cendikiawan lainnya menginginkan negara yang
terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku dimasa
kolonial.Akan tetapi yang menang adalah sistem hukum yang
semasa kolonial diperuntukan untuk orang Indonesia (asli).
Pelestarian
hukum
yang
lama
bukanlah
karena
kekhilafan.Hal itu dinyatakan dengan tegas dalam undangundang dasar 1945 maupun kedua undang-undang dasar
lainnya tahun 1949 dan 1950. Bukannya tidak ada protes
P a g e | 20
sesudah
tahun
1950
tentang
tetap
berlakunya
hukum
“kolonial” akan tetapi hukum Kolonial sudah menjadi hukum
nasional. Dalam segi politik dari orde lama ke orde baru tidak
mengalami
banyak
perubahan
dalam
sistem
lembaga
pengadilan walaupun orde baru lebih sigap dalam menangani
isu keagamaan dan politik.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, meskipun negera Indonesia telah lama merdeka
namun keberadaan hukum peninggalan colonial masih tetap
digunakan dalam system hukum dan peradilan di Indonesia hal
ini karena alasan hukum colonial ternyata masih koorporatif
digunakan dan sepertinya masih bisa diterapkan seiring dengan
wacana pembaharuan hukum yang lebih memahami culture
bangsa Indonesia.
11.
Bantuan Hukum di Indonesia: Biografi LBH
Tatkala Lembaga Bantuan Hukum (selanjutnya disingkat
LBH) Jakarta membukakan pintunya, pada tahun 1971, bagi
klien-klien miskin yang berjubel kecil alasan untuk berharap
banyak terhadapnya. Yang memperhatikan LBH yang baru itu
dengan sungguh-sungguh; dalam waktu yang dekat, banyak
yang menduga, bahwa LBH, seperti banyak organisasi lainnya
yang beritikad baik, kehabisan minat, tenaga, dana atau
dukungan dari pihak resmi.
Sebelum tahun 1965 satu-satunya bentuk bantuan
hukum yang dikenal oleh sebagian besar advokat adalah
pembela perkara yang ditunjuk oleh pengadilan. Bagi para
advokat, kurun parlementer yang berawal dari tahun 1950
dan berakhir tahun 1957 adalah tahun-tahun yang optimis.
P a g e | 21
Negara
hukum
tampak
tumbuh
dengan
baik
sesudah
revolusi.Sistem peradilan walaupun kekurangan tenaga yang
terlatih, bersifat jujur dan terhormat. Dan para advokat,
diantara para ahli hukum yang paling pandai dinegeri ini,
beralasan untuk mengira bahwa kedudukan profesionalnya
mantap. Namun kemudian ada Undang-Undang tahun 1964
sebuah undang-undang baru tentang organisasi peradilan
tahun 1964 secara tegas memberi peluang kepada presiden
untuk
campur
tangan
dalam
proses
peradilan
demi
kepentingan Nasional.
Kegiatan kerja advokat tidak berkembang dengan baik
dalam kurun ini, dan jumlah advokat menurun jadi tinggal
kira-kira 200 orang saja diseluruh Indonesia pada akhir 1965.
(Dua tahun sebelum itu) pada tahun 1963 Advokat mendirikan
PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) yang mempertegas
kehadiran mereka. Pada tahun 1966 PERADIN bekerjasama
dengan
himpunan-himpunan
hakim,
jaksa,
dan
polisi
membentuk organisasi Pengabdi Hukum yang tujuannya
meluruskan
penyelewengan
proses
hukum
dan
mulai
mengadakan perombakan dari dalam sistem hukum sendiri.
Sebagai contoh ketika Yap Thiam Hien, utusan PERADIN ke
organisasi itu, ditahan oleh seorang jaksa dan polisi yang
korup, Pengabdi Hukum membantu dengan menekan agar ia
dibebaskan dalam waktu sepekan.
LBH
terbagi
menjadi
beberapa
kelompok,
dalam
Kelompok pertama duduk almarhum R.Sudarsono, seorang
pensiunan hakim dari Surabaya, tetapi juga Yap Thiem Hein,
seorang pembela hak-hak kebebasan warga Negara, H.J.
Princen dari Lembaga Hak-Hak Asasi Manusia, dan Arief
Budiman,
seorang
aktivis
dan
kritikus
dari
kalangan
P a g e | 22
cendikiawan. Dewan Kurator sendiri terdiri dari ketua dewan
perwakilan rakyat jakarta, almarhum Besar Martokoesoemo,
advokat Indonesia yang pertama, Lukman Wiriadinata dari
PERADIN, Mochtar Lubis, redaktur koran Liberal dan penulis
terkenal, dan mendiang Ojong Peng Koen, seorang penerbit
yang dihormati.
Pada tahun 1970 sebagian besar LBH adalah gagasan
Nasution (Adnan Buyung Nasution), kerja pokok LBH adalah
memberi konsultasi hukum kepada orang-orang miskin –
konsultasi dikantor LBH dan dalam berperkara di Pengadilan.
Kantornya
di
Jakarta
satu-satunya
sampai
tahun
1978
menangani kira-kira 22.290 buah kasus antara tahun 1971
dan 1986 lebih dari 1600 kasus setiap tahun sesudah tahun
pertama. Samapi tahun 1986 keseluruhan kasus berjumlah
kira-kira 60.000 kasus (dalam kasus Pidana maupun Perdata).
Banyak lembaga bantuan hukum lain yang kemudian tumbuh
diluar LBH atau kemudian bermaksud menyaingi LBH seperti
LPPH (Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum) milik
Golkar.
Tanggapan Penulis:
Bahwa,
keberadaan
lembaga
Bantuan
Hukum
dalam
perkembangannya sangat dibutuhkan para pencari keadilan
(justisiable) dari golongan masyarakat yang kurang mampu baik
dari segi kemampuan ekonomi maupun kemampuan cakap
hukum. Dengan adanya LBH adalah merupakan sebuah solusi
agar masyarakat yang kurang mampu dapat memperoleh
pembelaan hukum sebagaimana mestinya dan sejak pemerintah
memberikan
undang-undang
tentang
bantuan
hukum
masyarakat yang kurang mampu dapat menikmati hak-haknya
P a g e | 23
untuk sama-sama memperoleh hak bantuan hukum karena
Negara sudah memberikan bantuan secara financial melalui
mekanisme yang ada.
Sejarah Lembaga bantuan Hukum di Indonesia tidak
terhenti sampai di situ saja, namun dengan lahirnya UU No. 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, ini membuktikan bahwa
pemerintah tidak menutup mata pada masyarakat atau golongan
tidak mampu yang memerlukan bantuan hukum, dan tidak
semua Lembaga Bantuan Hukum yang bisa mendampingi,
namun ada beberapa criteria agar lolos dari verifikasi (dalam hal
ini, Kementerian Hukum dan HAM) yang menaungi program
tersebut, mulai dari tahap akreditasi sampai pada pelaporan.
Namun dalam prakteknya, masih banyak masyarakat yang tidak
tertampung
karena
masing-masing
LBH
mempunyai
kuota
perkara yang diterima. Semoga ke depan dengan adanya LBH,
bantuan hukum dapat merata seluruh Indonesia.
12.
Gerakan Sosial, Konstitusionalisme dan Hak Asasi
Tak lama setelah revolusi (1945-1950) nampak seakan-
akan Indonesia telah memiliki sebuah sistem konstitusional
yang kuat, dilengkapi dengan sebuah pemerintah parlementer
yang secara eksplesit didasarkan pada prinsip-prinsip rule of
law. Sebagaimana si bekas-bekas tanah jajahan lain, sistem
itu hanya berusia singkat, sekitar tujuh tahun saja. Seperti
juga di negara-negara lainnya yang baru merdeka, pola
sistem segera berubah sama sekali melalui suatu periode
patrionalisme yang intens – di bawah demokrasi terpimpin
pada masa Soekarno – untuk sampai pada pemerintah militer
sejak 1965.
P a g e | 24
Mengapa
utamanya
pemerintah
adalah
untuk
parlementer
gagal?
menganstipasi
Alasan
perdebatan-
perdebatan mengenai pembaruan yang muncul belakangan.
Untuk satu hal, struktur konstitusional dan politik formal telah
disepelekan dan tidak bisa memuaskan banyak kelompok
baru yang energinya telah tercurahkan melalui revolusi.Yang
terpeting diantaranya adalah tentara, yang akhirnya memang
berhasil
menumbangkan
sistem
parlementer
dan
juga
Soekarno.Tapi terdapat pula kelompok-kelompok lain yang
telah
termobilisasi
secara
sosial
yang
tidak
merasa
terpuaskan, secara praktis maupun simbolis, didalam instuisiinstuisi negara parlementer.
Ketika demokrasi terpimpin rontok dengan pertumpahan
darah besar-besaran setelah kudeta yang dilakukan pada
Oktober 1965, salah satu tuntutan keras dalam suasana hirukpikuk yang menyertai adalah berlakunya kembali negara
hukum
(rechtsstate),
suatu
negara
konstitusional
yang
diselenggarakan oleh aturan-aturan hukum.Ia tetap menjadi
simbol penting untuk reformasi kritis hingga sekarang. Tapi
rupanya ia tak pernah terlaksana, karena tentara – setelah
berhasil menaklukkan partai komunis – mulai menegaskan
hak-hak preogratif politiknya, dan kemudian menyingkirkan
aliansi-aliansi sipil penentang orde lama seperti kelompokkelompok
Islam,
gerakan
mahasiswa,
serta
makin
menegaskan cengkeramannya yang ketat pada lembagalembaga politik yang ada.
Kontras Malaysia dengan Indonesia sangat mencolok, di
Malaysia orde konstitusional bisa bertahan begitu lama sejak
Malaysia merdeka pada tahun 1957. Di Malaysia munculnya
kelompok-kelompok etnis pada akhir 1940-an – UMNO (United
P a g e | 25
Malay
National
Organization),
MCA
(Malayan
Chinese
Associaton), serta MIC (Malayan Indian Conggres) – dan
terbentuknya partai koalisi diantara mereka pada awal 1950an, menjadi preseden bagi diciptakannya sebuah konstitusi
yang sesuai dan juga kemerdekaan bersama. Mereka samasama
terpuaskan
dengan
sistem
hukum,
yang
keberlangsungannya sejak masa penjajahan secara signifikan
mengidealkan
adanya
pemberontakan komunis
tertib
konstitusional.
(1948-1960)
Pada
saat
pemerintah Inggris
mengundang-undang kan keamanan dalam negeri.
Ketika
kerusuhan-kerusuhan bergejolak
pada
tahun
1969 Pemerintah menetapkan Kebijakan Ekonomi Baru (KEB)
agar kerusuhan tidak berimbas pada sektor ekonomi. Mulai
tahun 1980 kelompok kelompok swasta mulai menguat yang
mengakbatkan berbagai krisis sosial-ekonomi MCA keluar dan
UMNO yang diwakili oleh datuk Seri Mahattir Mohammad
menjadi Perdana Menteri untuk menanggulangi krisis.Pada
saat itu pula ada campur tangan pemerintah Inggris.
Meskipun ada perbedaan, kasus Indonesia dan Malaysia
tetap menampakkan pola-pola konflik kelembagaan dan
ideologis yang mirip.Dalam pertarungan antara kekuasaan,
masyarakat dan negara ini, kelompok-kelompok pembaharu
Indonesia dan Malaysia memberi perhatian besar pada proses
hukum, lembaga-lembaga peradilan, dan hak-hak asasi.
Setiap butir itu memperlihatkan adanya perbedaan yang
secara sepintas membatasi pelaksanaan kekuasaan negara
melalui digantikannya sumber-sumber kekuasaan yang sah –
dari pengaruh personal atau kelompok kepada supermasi
hukum, dari kekuasaan eksekutif kepada peradilan, dan
P a g e | 26
(dalam bebrapa hal) dari doktrin politik lokal kepada nilai- nilai
trasedental.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, keberadaan gerakan-gerakan social dan hak asasi
manusia kehadirannya memberikan warna dalam mensikapi
permasalahan baik politik maupun hukum dan sebagai control
social terhadap tindakan penguasa dalam penegakkan dan
penerapan hukum di masyarakat. Dengan adanya lembaga dan
gerakan social sebagaimana tersebut paling tidak penguasa dan
para
penegak
hukum
lebih
hati-hati
dan
tidak
gampang
melakukan tindakan sewenang-wenang di luar prosedural.
Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan
dan Perubahan
Karangan: Daniel S. Lev
1. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat
Perombakan Hukum (legal reform)
yang dilakukan
secara terus menerus pasca revolusi di Indonesia dilakukan
secara terus menerus sebab sistem hukum kolonialisme
belanda masih bercokol di Nusantara.Dalam pembagiannya di
bagi
menjadi
beberapa
golongan
ras
keturunan
Eropa,
Indonesia asli, keturunan Cina dan Timur asing lainnya. Dalam
keturunan Eropa berlaku BW (Burgerlijk Wetboek) dan WvK
(Wetboek van Koophandel, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) kitab hukum ini berlaku untuk golongan keturunan
Eropa, Cina, orang-orang Indonesia Kristen, dan orang-orang
yang menundukan diri secara keseluruhan terhadap hukum
Eropa.
Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku Hukum Adat
sejak empat dasawarsa yang diprakasai oleh dua orang ahli
utama yaitu Cornelis van Vollenhoven dan Barend ter Haar,
mempertahankan
Hukum
Adat
dari
usaha-usaha
penyeragaman hukum Eropa, dengan alasan bahwa orang
Indonesia menata hidup mereka dengan cara yang berbeda
dengan cara yang dilakukan oleh orang Eropa dan mereka
sudah
mempunyai
norma-norma
hukum
yang
mereka
percayai benar. Dalam upaya nya tersebut van Vollenhoven
dan ter Haar berhasil menyakinkan pemerintah Belanda pada
akhir 1920-an. Van Vollenhoven kemudian merumuskan Kitab
Hukum Adat yang dapat bersanding dengan Hukum Tertulis
Eropa.
Page |2
Organisasi peradilan di masa sebelum perang terdiri
dari Pengadilan Distrik, Pengadilan Kabupaten, dan Landraad,
Pengadilan
sehari-hari
yang
Indonesia.
Residentiegerecht
tertinggi
yaitu
bagi
orang-orang
pengadilan
banding
pertama, raad van justitie pengadilan banding kedua dan
Hooggerechtshof yang kemudian disebut Mahkamah Agung di
Batavia (kini Jakarta). Diluar jawa pengadilan berjalan seperti
pengadilan adat-adat lainnya karna kurangnya pengawasan
pemerintah Hindia-Belanda.
Hooggrechtshof hanya menangani dan bertumpu pada
“ketentuan-ketentuan hukum tertulis dan tidak mencakup
hukum
adat
yang
tidak
tertulis”.
Hakim-hakim
yang
menangani perkara orang Eropa ditangani oleh Hakim Eropa,
dan perkara-perkara orang Indonesia ditangani oleh Hakim
Indonesia. Untuk menunjang Hakim-Hakim dari Indonesia
didirikan sekolah hukum (Retchschool) lulusannya kemudian
dikirim
ke
Universitas
Leiden
tempat
mengajar
van
Vollenhoven. Di dalam konteks hakim yang mengurusi perkara
orang Indonesia dituntut untuk memahami kondisi sosial
masyarakatnya
dan
apa
yang
disebut
hukum
adalah
keputusannya hal ini seperti yang dikemukakan ter Haar.
Sistem hukum adat Van Vollenhoven dan Ter Haar tidak
dapat bertahan melewati revolusi (1945-1950), disebabkan
kurangnya perhatian dan sibuknya pemersatuan Indonesia,
bagi sebagian orang pilihannya adalah hukum adat atau
hukum Eropa. Hukum Adat, dimata para pemimpin di masa
pasca revolusi, tidak cukup memadai dan harus menyingkir.
Dikarenakan modernisasi hukum untuk menunjang kemajuan
ekonomi dan kestabilan sosial. Orang indonesia menciptakan
hukumnya sendiri demi kepentingannya sendiri. Pada tahun
Page |3
1955, Profesor V.E Korn menemukakan bahwa, ” Kami
mendapati bahwa sebagian besar cendikiawan Indonesia,
walaupun merindukan modernisasi hukum, tetap berada
dibawah pesona hukum adat ”.
Hukum adat inilah yang menjadi polemik hukum waris
janda sebagai ahlu waris apa tidak yang merupakan perkara
di Mahkamah Agung dari akhir tahun 50-an hingga awal tahun
60-an mengingat adat di Indonesia mempunyai berbagai
aturan yang berbeda-beda seperti bilateral di jawa dan
patrilineal di Tapanuli, Bali, dan Lombok yang pada akhirnya
ditetapkan oleh Mahkamah Agung tentang status hak waris
janda pada tanggal 8 November 1960.
Page |4
Tanggapan Penulis:
Bahwa, apa yang telah disampaikan Danil S Lev dalam
bahasannya tentang Mahkamah Agung dan Politik Hukum
Waris Adat, beliau sangat memahami culture bangsa Indonesia
yang pluralistic sehingga tidak memungkinkan nasionalisasi
hukum khususnya hukum waris adat dikarenakan keaneka
ragaman masyarakat Adat dan Budaya Indonesia sehingga mau
tidak mau Mahkamah Agung tetap konsisten mengadopsi hukum
yang hidup di masyarakat Adat
di masing-masing daerah,
kecuali hukum adat yang sudah mengalami perubahan ketentuan
dan
telah
dijadikan
Yurisprodensi
Tetap
dengan
mempertimbangkan aspek keadilan dan kepatutan yang salah
satu contohnya waris perempuan Bali , dulunya mereka tidak
mempunyai hak waris namun dalam perkembangannya kini anak
perempuan juga mempunyai waris. Dengan demikian meskipun
hukum waris adat tidak tertuang dalam hukum positif namun
keberadaannya tetap diakui oleh Mahkamah Agung dan masih
digunakan sebagai dasar hukum dalam penerapan hukum waris
adat di Indonesia.
Pada zaman
2. Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman
Politik, untuk negara-negara baru seringnya menjadi
ajang saling sikut demi memperebutkan kekuasaan, ini yang
melatar
belakangi
studi
kasus
mengenai
pengaruh
pertentangan yang terjadi diantara para Hakim, Jaksa dan
Polisi. Yang pertama antara Hakim dan Jaksa menyangkut
masalah pretise; apakah para jaksa harus diberi kedudukan
dan gaji yang sama dengan hakim ataukah tidak. Persoalan
kedua sebenarnya masih termasuk yang pertama, namun
Page |5
lebih menekankan pada pembagian kekuasaan substantif
antara pihak kepolisian dan badan penuntut umum (BPU).
Tentang perseteruan ini sudah ada
Belanda
yang
pengadilan
menerapkan
seperti
beberapa
landraad,
raad
sejak kolonial
lembaga-lembaga
van
Justitie,
untuk
memenuhi kemajemukan yang ada di masyarakat. Dalam
badan penuntut umum juga terdapat badan penuntut umum
berjenjang (open-baar Minsterie. Parquet) yang dikepalai oleh
Procereur Generaal dan tenaga pelaksanaannya adalah para
penuntut (Officieren van Justitie), sedangkan Jaksa berbeda
dengan BPU diatas, wilayah Jaksa sangat kecil, dan statusnya
tak
lebih
dari
pegawai
kewedanaan.
Walaupun
Jaksa
memainkan peran sebagai pengusutan awal namun kemudian
diserahkan kepada asisten residen untuk jawa dan Magistraat
untuk luar Jawa.
Bagi
dengan
orang-orang
Indonesia
aturan-aturan
yang
berlaku
Hukum
termaktub
Acara
dalam
Inlandschreglement. Proses ini rampung pada awal 1942,
segera setelah Jepang menduduki kepulauan Indonesia dan
pemerintah Jepang menghapus organisasi kehakiman kolonial
dan
menggantinya
dengan
sistem
yang
disatukan
dan
disederhanaka. Namun Undang-Undangnya sebagian besar
tetap mengambil dari kitab hukum kolonial. Berikutnya, pada
tahun 1945, Kementrian Kehakiman mencabut sebagian besar
perubahan yang dibuat pemerintahan Jepang karna dinilai
bermutu lebih rendah dari Undang-Undang Kolonial, maka,
Undang-Undang Kolonial tersebut belaku hingga ada UndangUndang “nasional” yang menggantikannya tanpa disebutkan
kapan.
Page |6
Badan Penuntut Umum Republik meneruskan sistem
hukum bekas Parquet Eropa dulu, tetapi secara keseluruhan
berbeda dengan yang dulu, dirombak secara total, puncaknya
pada tahun 1948 Pemerintah Republik Indonesia menciptakan
aturan gaji bagi Hakim yang bergaji lebih tinggi daripada
Jaksa, pada tahun 1951 jaksa menuntut kenaikan gaji dan
kedudukan yang sama di depan kementrian kehakiman, pada
tahun 1953-1956 disepakati pembagian kerja yang sama pula,
disebabkan peristiwa inilah dibahas lebih lanjut mengenai HIR,
hukum acara kolonial.
Pada peristiwa tersebut Hakim ‘kalah’ dan pada tanggal
5 Maret 1956 beralih ke Mahkamah Konstitusi yang didirikan
pada tahun 1955 untuk membentuk kontitusi baru, disanalah
hakim
menyampaikan
‘keluh
kesahnya’
didukung
oleh
mahkamah Agung. Di sinilah diusulkan pasal-pasal konstitusi
tentang kekuasaan kehakiman. Polisi versus Penuntut kurang
lebihnya juga serupa seperti kasus yang di atas.
Dalam kedua kasus perseteruan tersebut pihak-pihak
yang berselisih lebih menitik beratkan perjuangannya pada
persoalan status. Pada kurun permulaan transisi politik dan
sosial yang cepat, disebagian besar negara baru di Asia dan
Afrika, Isu keadilan jarang menjadi sasaran perhatian yang
utama
sampai
lama
kemudian,
tatkala
stabitilitas
kelembagaan dan pengawasan politis telah terwujud dan
rakyat telah sadar akan hak-haknya, sampai datangnya saat
itu hubungan kelembagaan yang terus berubah di bidang
peradilan (dan hubungannya dengan pihak-pihak lain) akan
berpengaruh besar terhadap berubah-ubahnya sifat keadilan.
Tanggapan Penulis:
Page |7
Bahwa,
perseteruan
penegak
hukum
di
Negara
berkembang seperti Indonesia masih sering kali dipengaruhi
politik hukum seirama dengan adanya issu hukum yang sedang
terjadi. Daniel S Lev melihat permasalahan hukum yang terjadi
di Negara berkembang mudah dipengaruhi oleh dinamika politik
yang sedang berjalan sehingga sering kali memberikan pengaruh
dampak
negative
dalam
dilakukan.
Institusi
Indonesia
mendapatkan
proses
Kehakiman
penerapan
dalam
kedudukan
system
tertinggi
hukum
yang
peradilan
di
dibandingkan
kejaksaan maupun kepolisian sehingga hal ini seolah-olah
memberikan hak kewenangan yang lebih superior dibanding
dengan
kedua
institusi
tersebut,
kedudukan
yang
selalu
menempatkan institusi Kehakiman lebih dari yang lain inilah juga
menjadi salah satu penyebab yang dapat mempengaruhi dalam
proses penegakkan hukum bilamana apa yang telah menjadi
kehendak Penuntut Umum tidak terealisasi sesuai harapan
mereka.
Meskipun
semua
institusi
mempunyai
domain
kewenangan tersendiri namun bilamana terjadi gesekan diantara
keduanya maka tidak menutup kemungkinan politik hukum
bermain di dalamnya.
3. Perubahan Hukum Sipil: Dari Dewi Keadilan ke Pohon
Beringin
Perubahan
Hukum
memunculkan
Unifikasi
hukum,
dalam hal ini para kalangan elit (para ahli hukum kolonial
lulusan sekolah hukum) ada yang memakai teori Nederburgh
yang mana keseragaman Hukum perdata harus dilakukan
dikarenakan masyarakat Indonesia telah terbiasa dan siap
dalam hal itu. Tetapi hal tersebut di bantah oleh van
Vollenhoven di Leiden dan Ter Haar di tanah jajahan dengan
Page |8
mementahkannya bahwa Masyarakat mempunyai normanorma sosial tersendiri. Pada akhirnya tidak ada kemajuan
mencolok pada tahun awal-awal kemerdekaan, baik yang
berkenaan dengan kodifikasi maupun Unifikasi.
Konflik unifikasi hukum ini diluar pengadilan menerima
serangan
terus-menurus
menginginkan
unifikasi
dengan
hukum
sarat
Ideologis
yang
sendiri
namun
tidak
menghasilkan kesepakatan mengenai hukum Indonesia yang
baru. Pada tanggal 5 September 1963 Wirjono mengeluarkan
surat edaran mahkamah agung yang menyatakan bahwa BW
tidak berlaku lagi [Lihat, Daniel S.Lev, 1990: 90].
Masalah
perombakan
hukum
di
Indonesia
dan
diberbagai negara baru, bukanlah sekedar penciptaan hukum
baru yang dapat diterapkan dalam interaksi antara swasta
dan pemerintah yang ciri-cirinya sudah dikenal dengan baik.
Upaya tersebut sangat diperuwet oleh ketidakpastian yang
tak terbilang dalam hubungan-hubungan keperdataan yang
nyata ditengah masyarakat yang berubah, oleh keharusan
untuk menampung faktor-faktor ideologis, dan keharusan
untuk penyesuaian karna ketidakmampuan badan peradilan
yang tidak bisa tidak telah mengalami kemunduran sebagai
akibat tekanan dan ketidak mantapan politik. Pada akhirnya
memang harus ada terobosan dari pilihan-pilihan hukum
yang diwariskan di tanah jajahan menuju pilihan-pilihan
hukum dari sebuah negara yang merdeka.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, apa yang menjadi cita-cita bangsa mengenai issue
nasionalisasi hukum perdata Indonesia sebenarnya bisa saja
diwujudkan sepanjang tidak berbenturan dengan hukum adat
Page |9
yang sudah ada di Indonesia sehingga apa yang telah diakomodir
dan diatur di dalam hukum positif tidak terjadi benturan dengan
masyarakat
adat
sehingga
prinsip
pohon
beringin
dapat
dimemenuhi harapan masyarakat.
4. Lembaga-Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di
Indonesia
Essai ini dikembangkan melalui dua konsep, Pertama
“Sistem Hukum” dan Kedua “Budaya Hukum”. Sistem hukum
lebih kepada yang bersifat prosedural yang terdiri dari
berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-lembaga
formal, bersama-sama dengan proses informal disekelilingnya.
Dalam negara modern sistem hukum adalah birokrasi dan
sumber kekuasaannya terletak pada sistem politik.Budaya
hukum merupakan konsep
baru
yang
digunakan untuk
menarik nilai-nilai sosial ke hukum, unsur yang digunakan,
pertama nilai hukum keacaraan (Prosedural legal values) dan
niali nilai hukum subtantif.
Di semua masyarakat yang kompleks terdapat jarak
pemisah antara struktur formal dan prosedur kelembagaan. Di
Indonesia, seperti halnya di berbagai negara bekas jajahan,
ketiadaan
keterpaduan
seperti
ini
sangat
mencolok.
Akibatnya, muncullah hukum kelembagaan Gresham, yakni
proses
formal
cenderung
dihindarkan
dalam
rangka
menyelesaikan perselisihan melalui proses yang lebih bersifat
kekeluargaan dan lebih akomodatif, Masyarakat yang adil
sekurang-kurangnya mempunyai ciri tidak ada perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan.
Tanggapan Penulis:
P a g e | 10
Bahwa, pendapat Daniel S lev sebenarnya telah menjadi
alternative penyelesaian
hukum diluar system peradilan yang
ada, seperti telah dibentuknya lembaga arbitrase, curator,
dll
sehingga keberadaan lembaga tersebut diharapkan memberikan
kontribusi penyelesaian yang lebih persuasive, fleksibel dan
cepat serta juga memberikan kepastian hukum pula.
5. Tentang Prokol Bambu: Perlapisan, Perwakilan dan
Perantaraan
Tulisan ini akan membahas advokat setengah ahli-yang
istilah buruknya sering disebut Prokol Bambu – di Indonesia.
Pokrol
Bambu
adalah
jenis
orang
setengah
ahli
yang
memperoleh pengetahuannya dengan upaya yang keras dan
mudah
dikelirukan
dengan
ahli
yang
sebenarnya.Prokol
Bambu dapat dipakai sebagai prototipe, atau bentuk ideal dari
jenis pekerjaan setengah ahli pada umumnya. Dengan istilah
ahli hukum (advokat) setengah ahli (Para professionals)
dimaksudkan tiap orang yang melakukan pelayanan untuk
menjangkau lembaga-lembaga hukum (birokasi, pengadilan,
kekuasaan politik pada umumnya) atau memberi pelayanan
yang sama dengan yang dilakukan lembaga-lembaga hukum,
tetapi tidak mempunyai pendidikan formal yang lazim dimiliki
oleh para advokat ahli.
Prokol bambu terbentuk pada masa kolonial dikarenakan
kebutuhan masyarakat akan prokol bambu tampak jelas.
Pekerjaan prokol bambu tumbuh dan sepenuhnya, pada tahun
1920-an tatkala beberapa diantara mereka memandang diri
mereka sendiri dalam prespektif keahlian. Mereka banyak
memainkan peranan dalam pemberian nasehat kepada klien
mereka di Landraden.Prokol berasal dari kata procureuer,
istilah belanda untuk pengacara perdata.Bambu ditambahkan
P a g e | 11
para ahli untuk mengejek.Prokol bambu selalu menolak istilah
itu, lebih menyukai istilah pengacara yang secara netral
melukiskan penasehat bagi orang-orang yang berperkara.
Pada suatu waktu ditahun 1927 sejumlah prokol bambu
membentuk organisasi, yang kini dikenal dengan nama PERPI
(Persatuan Pengacara Indonesia). Prokol bambu tak lain
adalah perlapisan, Perwakilan dan perantaraan lembaga
hukum bagi kaum miskin.
Tanggapan Penulis :
Bahwa, keberadaan pokrol bamboo sejak berlakunya uu
advokat no 18 tahun 2003 maka keberadaan mereka sebatas
ditahap non litigasi dan mereka tidak diberikan kewenangan
menangani pada tingkat litigasi sehingga kegiatan mereka
tersebut sangat dibatasi oleh undang-undang. Pembatasan
kewenangan
mereka
semata-mata
demi
kepentingan
para
pencari keadilan itu sendiri (para justisiable) sebab penanganan
perkara di tingkat litigasi dibutuhkan orang-orang yang memiliki
kemampuan lebih professional dan pertanggung jawaban profesi
sebagai jaminan.
6. Unifikasi Pengadilan pada Masa Pasca-Kolonial
Perubahan penting terjadi dalam organisasi pengadilan
pendudukan Jepang, hasilnya adalah disatukannya pengadilan
sekuler secara vertikal.Termasuk kedalamnya districtsgerecht
(yang kini disebut Gun Hȏin) regentschapsgerecht (Ken-Hȏin),
Raad van Justitie (Kȏtȏ Hȏin) dan Hooggerechtshof (Saikȏ
Hȏin).
Hanya
pengadilan
yang
semula
bernama
Residentiegerecht yang benar-benar dihapus, tapi semua
pengadilan itu melayani klien yang sama. Selama revolusi
P a g e | 12
Gun Hȏin dan Keiza Hȏin disatukan kedalam Tihȏ Hȏin yang
kemudian diubah namanya menjadi Pengadilan Negeri.
Unifikasi Struktur pengadilan terjadi di Jawa, diluar jawa
masih mengandalkan sistem pengadilan adat seperti halnya
Aceh yang mengandalkan Ueleubalang dan kuatnya organisasi
Islam di aceh seperti PUSA yang kemudian menjadi Hakim di
Tihȏ Hȏin.Pada tahun 1944 di hapuslah Mahkamah Agung
sebagai tempat banding, namun diletakkan pada setiap tiga
provinsi di Jawa yang masing-masing mempunyai sistem
pengadilan banding sendiri.
Menyusul
menyerahnya
Jepang
dan
proklamasi
kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, kesatuan Nasional
adalah keprihatinan utama para pemimpin Republik, tetapi
sedikit saja pikiran yang dicurahkan untuk pembarahuan
kelembagaan. Sehingga terjadi kerancuan di luar jawa yang
belum terkendali, di masa revolusi pengadilan adat berlahanlahan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan umum yang
belum tersistem secara jelas sehingga banyak terjadi ketidak
pastian yang mudah sekali memicu konflik di masyarakat,
karna memang fokusnya belum kearah tersebut.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, unifikasi system peradilan hanya pada persoalan
hukum formiel sedangkan untuk hukum materiel tetap mengacu
materi perkara sepanjang hal tersebut telah diatur oleh yang
bersifat umum dalam undang-undang dan juga hal-hal yang
bersifat
hukum
yang
diatur
dalam hukum
adat
sehingga
penerapan hukum di system peradilan lebih dapat memberikan
pemenuhan terhadap kekosongan hukum bilamana undangundang tidak mengaturnya.
P a g e | 13
7. Asal –Usul Keadvokatan Indonesia
Model advokat Indonesia dengan sendirinya, adalah
seperti advokat Belanda. Pembela perdata Indonesia berbeda
dengan Lawyer di Amerika walaupun memiliki beberapa
kesamaan tapi ada
perbedaan antara satu sama lain.
Perbedaannya dengan lawyer di Amerika Serikat, yakni
generalis
yang
memadukan
fungsi
pembelaan
dalam
peradilan dengan tugas-tugas dokumenter yang bermacam
ragam, para pembela perdata di Indonesia, seperti halnya
barrister di Inggris, secara formal hampir sepenuhnya berkait
dengan
perkara
gugatan.
Lazimnya
ia
bukan
seorang
penyusun dokumen hukum.
Notaris adalah jantung sistem hukum formal dan banyak
macam transaksi yang tidak mungkin terjadi tanpa jasa
mereka, adanya kantor Notaris mengurangi kebutuhan akan
pengacara
perdata,
tidak
hanya
karna
advokat
dapat
mencurahkan tenaga semata-mata pada kerja di pengadilan,
tetapi juga penyusun dokumen yang dilakukan dengan hatihati
akan
mengurangi
kemungkinan
timbulnya
perkara.
Notaris diatur, diuji, dan diberi izin oleh negara, seringkali
dengan kecermatan yang lebih ketat dari pada advokat.
Jumlah notaris dibatasi namun advokat tidak.
Advokat indonesia yang pertama adalah Mr. Besar
Martokusumo,
yang
juga
membantu
advokat
indonesia
lainnya untuk memulai kariernya menjadi advokat. Hampir
semua advokat pada mulanya terutama terdiri dari orang
jawa, serta satu sama lain mengenal dengan baik berkerja
sama dibidang pekerjaan maupun politik. Hal ini dimulai sejak
tahun 1920. Sebelum itu pada tahun 1908 Boedi Oetomo
P a g e | 14
dibentuk dan menarik beribu-ribu pegawai dan pelajar jawa
kedalam programnya yang bila ditilik dari segi politik tampak
konservatif tetapi dari segi budaya telah memikat beberapa
orang advokat Indonesia sehingga mereka tertarik untuk
menjadi
anggotanya.
Akan
tetapi
pengaruhnya
hanya
sebentar, meskipun dalam dua dasa warsa berikutnya cikalbakal pertai-partai besar yang merajai politik Indonesia
melalui masa sesudah kemerdekaan sampai dengan tahun
1960-an. Partai serikat Islam terbentuk pertama kali pada
tahun 1912, PKI menyusul pada tahun 1920, dan Soekarno
bersama yang lain membentuk PNI Partai Nasional Indonesia
pada
tahun
1927.
Sebelum
tahun
1920
kemerdekaan
indonesia telah dipersoalkan. Advokat kemudian masuk dalam
Partai Nasional Indonesia, dan terlibat dalam Politik. Advokat
juga menolak Pengadilan adat dan menuntut Pengadilan
formal sebab pengadilan adat tidak dapat mereka masuki.
Tanggapan Penulis:
Bahwa,
keberadaan
profesi
memang
mengalami
kedinamisan dari masa ke masa yang mana keberadaan advokat
dulunya tidak diberikan payung hukum oleh undang-undang dan
baru saja di tahun 2003 yang lalu Advokat mulai dapat
menunjukkan
profesi
ini
eksistensinya
berdasarkan
UU
sebagaimana
no
18
yang
tahun
diharapkan
2003
sehingga
kepentingan dan kewenangan Advokat lebih terlindungi dengan
hadirnya
undang-undang
tersebut.
Bahwa,
bukan
Advokat
menolak pengadilan Adat secara langsung namun keberadaan
pengadilan adat belum bisa
secara normative.
memberikan kepastian hukum
P a g e | 15
8. Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum :
Sebuah Sketsa Politik
Di
bawah
demokrasi
terpimpin
pengadilan
menyebabkan presiden Soekarno gusar, untuk sebagian
karena beberapa orang hakim menolak untuk didikte; akan
tetapi selain itu juga karena ia mengira, dengan tepat, bahwa
pada
umumnya,
mendukung
para
Pemerintah
ahli
hukum
dengan
dan
advokat
sepenuh
tidak
hati.
Asas
kemandirian badan kehakiman dan pemisahan kekuasaan –
Trias
Politica,
yang
dipuja
oleh
para
ahli
hukum
dan
dicemoohkan oleh Soekarno – yang dalam asas itu para hakim
mendapatkan arti penting fungsinya menentang benih-benih
demokrasi
terpimpin
yang
menekankan
pentingnya
kekuasaan dibawah tokoh sentral, yakni diri Soekarno sendiri.
Trias Politica juga jadi pengganggu yang mengingatkan pada
tertib parlementer, suatu tertib yang oleh Soekarno atas
tekanan dari pihak tentara, harus dihapuskan, UndangUndang
19/1964
meempurnakan
Patrionalisme
formal.
Demokrasi terpimpin membungkam para hakim, advokat, dan
para intelektual liberal dengan ketentuan pasal 19 yang
menyatakan bahwa Presiden boleh campur tangan dengan
leluasa dalam tiap tahap proses peradilan demi kelangsungan
revolusi atau kepentingan nasional.
Pada tahun 1966 awal, MPR (S), badan tertinggi
menurut
Konstitusi,
menetapkan
agar
pemerintah
dan
parlemen meninjau kembali peraturan perundangan produk
demokrasi terpimpin sehingga sejalan dengan undang-undang
dasar 1945. Undang-Undang 19/1964 tercantum dalam urutan
atas
dalam
daftar
peraturan
perundangan
yang
harus
dipertimbangkan kembali. Barulah pada tahun 1969 Parlemen
P a g e | 16
mencabut berlakunya Undang-Undang tersebut, bersamaan
dengan diundangkannya undang-undang baru, tetapi tertunda
untuk sebagian karna diprioritaskannya persoalan-persoalan
politik lainnya. Setelah melalui perundingan secara luas
Undang-Undang 14/1970 diundangkan yang Pada akhirnya
para hakim dan para pendukungnya memang kalah. UndangUndang 14/1970 hanya menghapus pasal 19 Undang-Undang
19/1964 dengan mengatur kembali dalam (pasal 4, paragraph
3) ketentuan konstitusional mengenai pemandirian badan
peradilan.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, ketakutan Penguasa atas kemandirian Lembaga
Kehakiman memang cukup beralasan hal ini dikuatirkan akan
menjadi
boomerang
penguasa
melakukan
bagi
penguasa
kesalahan
itu
hukum
sendiri
namun
bilamana
sejak
era
reformasi Kemandirian Lembaga Kehakiman lebih Independen
dan terlepas dari pengaruh penguasa secara langsung sehingga
lembaga Yudikatif dapat menjalankan fungsi penegakkan lebih
optimal dan tidak selalu berpihak kepada Penguasa.
9. Van Vollenhoven dan Hukum Adat
Van
Vollenhoven
mempelajari
adat
Indonesia
dari
laporan penelitian para pejabat, yang ia bantu dengan melatih
mereka
cara-cara
penelitian
para
menghimpun
mahasiswanya.
data,
Ia
dan
dari
berbeda
laporan
dengan
penyelidikan besar Belanda lainnya, C. Snouck Hurgronje yang
menkaji adat dan Islam. Tidak ada hukum yang berlaku bagi
rakyat pribumi Hindia-Belanda, kata dia (Van Vollenhoven)
karna hukum demikian bukan hukum mereka. Kitab undang-
P a g e | 17
undang
yang
berlaku
umum
niscaya
melanggar
hak
masyarakat yang berbhineka itu untuk hidup berdasarkan
nilai-nilai mereka sendiri. Pandangan sebaliknya – yang
dikemukakan oleh Nedburgh, misalnya – menyatakan bahwa
sesungguhnya orang Indonesia harus dihela memasuki negara
modern, bahwa hukum yang tunggal akan memungkinkan
terselenggaranya pemerintahan yang lebih effesien dan
memberi kesempatan yang sama kepada orang Indonesia
untuk bersaing berdasarkan kerangka aturan yang sama yang
berlaku bagi setiap orang.
Ia telah mengarahkan banyak energi intelektualnya
untuk menunjukkan bahwa hukum Indonesia itu asli dan
bukan sekedar turunan dari hukum Hindu atau Islam. Pada
penutup perbincangannya tentang Aceh, pada halaman 122
dalam
buku
yang
baru
itu,
Van
Vollenhoven
menulis:
“Penghancuran hukum adat tidak akan meratakan jalan ke
arah hukum kodifikasi, tetapi membuka jalan bagi kekacaubalauan dan Islam”. Tidak mengherankan bila para pemimpin
Islam membenci Adatrechtpolitiek.
Van Vollenhoven mungkin mempunyai pikiran yang
sama tentang masa depan adat yang perlu dipertimbangkan.
Hal yang ingin saya tampilkan adalah bahwa, sebagai salah
satu sumber keprihatiannya akan hukum adat, ia sangat tidak
menyukai negara modern, yang ia pandang sebagai paksaan
yang disegi budaya akan merusak kehidupan masyarakat
“yang sebenarnya”. Akan tetapi dalam tulisan yang tidak
lazim tentang hukum internasional, yakni Du Droit de Paix,
kebenciannya terhadap negara sangat jelas.Orang Indonesia
yang mengenalnya atau membaca tulisannya mengakui sifat
paradoksal pakar terkenal itu, yang masih melekat tapi
P a g e | 18
dengan cepat memudar, dalam pengetahuan hukum adat
Indonesia.
Akan tetapi bila Adatrechtpolitiek dimusnahkan, dengan
tujuan baik atau buruk, masih juga ada sesuatu yang tetap
tersisa, yang boleh merupakan warisan karya Van Vollenhoven
yang paling menarik.Warisan itu adalah penghormatannya
yang asasi terhadap hukum dan nilai-nilai lokal, penghargaan
yang benar-benar penuh dengan perasaan kasih sayang
terhadap perbedaan-perbedaan diantara umat manusia.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, penulis berpendapat hukum adat tetap dalam
domain hukum adat yang bersifat unik dan tetap sebagai hukum
yang masih mempunyai nilai dan hidup dalam masyarakat
sepanjang belum diatur dalam undang-undang namun tetap
digunakan sebagai sumber hukum yang
juga memberikan
kontribusi yang lebih dapat diterima oleh masyarakat adat.
10.
Hukum Kolonial dan Asal-Usul Pembentukan Negara
Indonesia
Kiranya sudah jelas bahwa negara-negara baru mewarisi
banyak hal dari pendahulunya di masa kolonial, karena
berbagai revolusi yang dibarengi dengan penghancuran total
sekalipun, yang jarang terjadi pada negara-negara baru, tidak
dapat menyapu bersih bekas-bekas masa silam. Tujuan VOC
sebenarnya
perbedaan
eksploitasi
pendapat
ekonomi,
yang
tajam
tambahan
mengenai
lagi,
ada
persoalan
kebijakan hukum, dari tahun 1790-an sampai tahun 1820-an.
Pada pokoknya yang diperselisihkan adalah manakah yang
perlu dibentuk: masyarakat kolonial yang terpadu atau
P a g e | 19
terpisah-pisah dalam kerangka hukum, satu hukum untuk
semua golongan penduduk atau hukum yang majemuk untuk
golongan penduduk yang majemuk pula. Pandangan pertama
seperti yang diterapkan Inggris ke India yang cenderung
membentuk negara Kolonial.Pandangan kedua, berpendirian
perlunya perciptaan sebuah sistem administrasi dan bukan
sebuah negara.
“Untuk tiap golongan berlaku hukumnya sendiri” benarbenar tidak berlaku. Kaulanegara asal Eropa mempunyai dua
kitab undang-undang hukum acara, sebuah untuk perkara
perdata (Burgelijk Rechtsvordering) dan sebuah untuk perkara
pidana
(Strafvordering).
Ini
yang
dipakai
di
pengadilan
landraad sedangkan untuk Indonesia diberlakukan Indisch
Reglement (IR) yang diundangkan pada tahun 1848, ditinjau
kembali
pada
tahun
1926,
dan
selanjutnya
dilakukan
amandemen pada tahun 1941 dengan nama Herzeins Indisch
(Indonesisch) Reglement (HIR). Sebagai contoh lebih mudah
menangkap,
menahan,
dan
memidana
orang
Indonesia
berdasar HIR dari pada terhadap orang kaulanegara Belanda
berdasar Stafvoerdering.
Dengan datangnya kemerdekaan, Indonesia mempunyai
dua tradisi hukum untuk dipilih.Para Advokat Indonesia dan
sejumlah cendikiawan lainnya menginginkan negara yang
terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku dimasa
kolonial.Akan tetapi yang menang adalah sistem hukum yang
semasa kolonial diperuntukan untuk orang Indonesia (asli).
Pelestarian
hukum
yang
lama
bukanlah
karena
kekhilafan.Hal itu dinyatakan dengan tegas dalam undangundang dasar 1945 maupun kedua undang-undang dasar
lainnya tahun 1949 dan 1950. Bukannya tidak ada protes
P a g e | 20
sesudah
tahun
1950
tentang
tetap
berlakunya
hukum
“kolonial” akan tetapi hukum Kolonial sudah menjadi hukum
nasional. Dalam segi politik dari orde lama ke orde baru tidak
mengalami
banyak
perubahan
dalam
sistem
lembaga
pengadilan walaupun orde baru lebih sigap dalam menangani
isu keagamaan dan politik.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, meskipun negera Indonesia telah lama merdeka
namun keberadaan hukum peninggalan colonial masih tetap
digunakan dalam system hukum dan peradilan di Indonesia hal
ini karena alasan hukum colonial ternyata masih koorporatif
digunakan dan sepertinya masih bisa diterapkan seiring dengan
wacana pembaharuan hukum yang lebih memahami culture
bangsa Indonesia.
11.
Bantuan Hukum di Indonesia: Biografi LBH
Tatkala Lembaga Bantuan Hukum (selanjutnya disingkat
LBH) Jakarta membukakan pintunya, pada tahun 1971, bagi
klien-klien miskin yang berjubel kecil alasan untuk berharap
banyak terhadapnya. Yang memperhatikan LBH yang baru itu
dengan sungguh-sungguh; dalam waktu yang dekat, banyak
yang menduga, bahwa LBH, seperti banyak organisasi lainnya
yang beritikad baik, kehabisan minat, tenaga, dana atau
dukungan dari pihak resmi.
Sebelum tahun 1965 satu-satunya bentuk bantuan
hukum yang dikenal oleh sebagian besar advokat adalah
pembela perkara yang ditunjuk oleh pengadilan. Bagi para
advokat, kurun parlementer yang berawal dari tahun 1950
dan berakhir tahun 1957 adalah tahun-tahun yang optimis.
P a g e | 21
Negara
hukum
tampak
tumbuh
dengan
baik
sesudah
revolusi.Sistem peradilan walaupun kekurangan tenaga yang
terlatih, bersifat jujur dan terhormat. Dan para advokat,
diantara para ahli hukum yang paling pandai dinegeri ini,
beralasan untuk mengira bahwa kedudukan profesionalnya
mantap. Namun kemudian ada Undang-Undang tahun 1964
sebuah undang-undang baru tentang organisasi peradilan
tahun 1964 secara tegas memberi peluang kepada presiden
untuk
campur
tangan
dalam
proses
peradilan
demi
kepentingan Nasional.
Kegiatan kerja advokat tidak berkembang dengan baik
dalam kurun ini, dan jumlah advokat menurun jadi tinggal
kira-kira 200 orang saja diseluruh Indonesia pada akhir 1965.
(Dua tahun sebelum itu) pada tahun 1963 Advokat mendirikan
PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) yang mempertegas
kehadiran mereka. Pada tahun 1966 PERADIN bekerjasama
dengan
himpunan-himpunan
hakim,
jaksa,
dan
polisi
membentuk organisasi Pengabdi Hukum yang tujuannya
meluruskan
penyelewengan
proses
hukum
dan
mulai
mengadakan perombakan dari dalam sistem hukum sendiri.
Sebagai contoh ketika Yap Thiam Hien, utusan PERADIN ke
organisasi itu, ditahan oleh seorang jaksa dan polisi yang
korup, Pengabdi Hukum membantu dengan menekan agar ia
dibebaskan dalam waktu sepekan.
LBH
terbagi
menjadi
beberapa
kelompok,
dalam
Kelompok pertama duduk almarhum R.Sudarsono, seorang
pensiunan hakim dari Surabaya, tetapi juga Yap Thiem Hein,
seorang pembela hak-hak kebebasan warga Negara, H.J.
Princen dari Lembaga Hak-Hak Asasi Manusia, dan Arief
Budiman,
seorang
aktivis
dan
kritikus
dari
kalangan
P a g e | 22
cendikiawan. Dewan Kurator sendiri terdiri dari ketua dewan
perwakilan rakyat jakarta, almarhum Besar Martokoesoemo,
advokat Indonesia yang pertama, Lukman Wiriadinata dari
PERADIN, Mochtar Lubis, redaktur koran Liberal dan penulis
terkenal, dan mendiang Ojong Peng Koen, seorang penerbit
yang dihormati.
Pada tahun 1970 sebagian besar LBH adalah gagasan
Nasution (Adnan Buyung Nasution), kerja pokok LBH adalah
memberi konsultasi hukum kepada orang-orang miskin –
konsultasi dikantor LBH dan dalam berperkara di Pengadilan.
Kantornya
di
Jakarta
satu-satunya
sampai
tahun
1978
menangani kira-kira 22.290 buah kasus antara tahun 1971
dan 1986 lebih dari 1600 kasus setiap tahun sesudah tahun
pertama. Samapi tahun 1986 keseluruhan kasus berjumlah
kira-kira 60.000 kasus (dalam kasus Pidana maupun Perdata).
Banyak lembaga bantuan hukum lain yang kemudian tumbuh
diluar LBH atau kemudian bermaksud menyaingi LBH seperti
LPPH (Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum) milik
Golkar.
Tanggapan Penulis:
Bahwa,
keberadaan
lembaga
Bantuan
Hukum
dalam
perkembangannya sangat dibutuhkan para pencari keadilan
(justisiable) dari golongan masyarakat yang kurang mampu baik
dari segi kemampuan ekonomi maupun kemampuan cakap
hukum. Dengan adanya LBH adalah merupakan sebuah solusi
agar masyarakat yang kurang mampu dapat memperoleh
pembelaan hukum sebagaimana mestinya dan sejak pemerintah
memberikan
undang-undang
tentang
bantuan
hukum
masyarakat yang kurang mampu dapat menikmati hak-haknya
P a g e | 23
untuk sama-sama memperoleh hak bantuan hukum karena
Negara sudah memberikan bantuan secara financial melalui
mekanisme yang ada.
Sejarah Lembaga bantuan Hukum di Indonesia tidak
terhenti sampai di situ saja, namun dengan lahirnya UU No. 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, ini membuktikan bahwa
pemerintah tidak menutup mata pada masyarakat atau golongan
tidak mampu yang memerlukan bantuan hukum, dan tidak
semua Lembaga Bantuan Hukum yang bisa mendampingi,
namun ada beberapa criteria agar lolos dari verifikasi (dalam hal
ini, Kementerian Hukum dan HAM) yang menaungi program
tersebut, mulai dari tahap akreditasi sampai pada pelaporan.
Namun dalam prakteknya, masih banyak masyarakat yang tidak
tertampung
karena
masing-masing
LBH
mempunyai
kuota
perkara yang diterima. Semoga ke depan dengan adanya LBH,
bantuan hukum dapat merata seluruh Indonesia.
12.
Gerakan Sosial, Konstitusionalisme dan Hak Asasi
Tak lama setelah revolusi (1945-1950) nampak seakan-
akan Indonesia telah memiliki sebuah sistem konstitusional
yang kuat, dilengkapi dengan sebuah pemerintah parlementer
yang secara eksplesit didasarkan pada prinsip-prinsip rule of
law. Sebagaimana si bekas-bekas tanah jajahan lain, sistem
itu hanya berusia singkat, sekitar tujuh tahun saja. Seperti
juga di negara-negara lainnya yang baru merdeka, pola
sistem segera berubah sama sekali melalui suatu periode
patrionalisme yang intens – di bawah demokrasi terpimpin
pada masa Soekarno – untuk sampai pada pemerintah militer
sejak 1965.
P a g e | 24
Mengapa
utamanya
pemerintah
adalah
untuk
parlementer
gagal?
menganstipasi
Alasan
perdebatan-
perdebatan mengenai pembaruan yang muncul belakangan.
Untuk satu hal, struktur konstitusional dan politik formal telah
disepelekan dan tidak bisa memuaskan banyak kelompok
baru yang energinya telah tercurahkan melalui revolusi.Yang
terpeting diantaranya adalah tentara, yang akhirnya memang
berhasil
menumbangkan
sistem
parlementer
dan
juga
Soekarno.Tapi terdapat pula kelompok-kelompok lain yang
telah
termobilisasi
secara
sosial
yang
tidak
merasa
terpuaskan, secara praktis maupun simbolis, didalam instuisiinstuisi negara parlementer.
Ketika demokrasi terpimpin rontok dengan pertumpahan
darah besar-besaran setelah kudeta yang dilakukan pada
Oktober 1965, salah satu tuntutan keras dalam suasana hirukpikuk yang menyertai adalah berlakunya kembali negara
hukum
(rechtsstate),
suatu
negara
konstitusional
yang
diselenggarakan oleh aturan-aturan hukum.Ia tetap menjadi
simbol penting untuk reformasi kritis hingga sekarang. Tapi
rupanya ia tak pernah terlaksana, karena tentara – setelah
berhasil menaklukkan partai komunis – mulai menegaskan
hak-hak preogratif politiknya, dan kemudian menyingkirkan
aliansi-aliansi sipil penentang orde lama seperti kelompokkelompok
Islam,
gerakan
mahasiswa,
serta
makin
menegaskan cengkeramannya yang ketat pada lembagalembaga politik yang ada.
Kontras Malaysia dengan Indonesia sangat mencolok, di
Malaysia orde konstitusional bisa bertahan begitu lama sejak
Malaysia merdeka pada tahun 1957. Di Malaysia munculnya
kelompok-kelompok etnis pada akhir 1940-an – UMNO (United
P a g e | 25
Malay
National
Organization),
MCA
(Malayan
Chinese
Associaton), serta MIC (Malayan Indian Conggres) – dan
terbentuknya partai koalisi diantara mereka pada awal 1950an, menjadi preseden bagi diciptakannya sebuah konstitusi
yang sesuai dan juga kemerdekaan bersama. Mereka samasama
terpuaskan
dengan
sistem
hukum,
yang
keberlangsungannya sejak masa penjajahan secara signifikan
mengidealkan
adanya
pemberontakan komunis
tertib
konstitusional.
(1948-1960)
Pada
saat
pemerintah Inggris
mengundang-undang kan keamanan dalam negeri.
Ketika
kerusuhan-kerusuhan bergejolak
pada
tahun
1969 Pemerintah menetapkan Kebijakan Ekonomi Baru (KEB)
agar kerusuhan tidak berimbas pada sektor ekonomi. Mulai
tahun 1980 kelompok kelompok swasta mulai menguat yang
mengakbatkan berbagai krisis sosial-ekonomi MCA keluar dan
UMNO yang diwakili oleh datuk Seri Mahattir Mohammad
menjadi Perdana Menteri untuk menanggulangi krisis.Pada
saat itu pula ada campur tangan pemerintah Inggris.
Meskipun ada perbedaan, kasus Indonesia dan Malaysia
tetap menampakkan pola-pola konflik kelembagaan dan
ideologis yang mirip.Dalam pertarungan antara kekuasaan,
masyarakat dan negara ini, kelompok-kelompok pembaharu
Indonesia dan Malaysia memberi perhatian besar pada proses
hukum, lembaga-lembaga peradilan, dan hak-hak asasi.
Setiap butir itu memperlihatkan adanya perbedaan yang
secara sepintas membatasi pelaksanaan kekuasaan negara
melalui digantikannya sumber-sumber kekuasaan yang sah –
dari pengaruh personal atau kelompok kepada supermasi
hukum, dari kekuasaan eksekutif kepada peradilan, dan
P a g e | 26
(dalam bebrapa hal) dari doktrin politik lokal kepada nilai- nilai
trasedental.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, keberadaan gerakan-gerakan social dan hak asasi
manusia kehadirannya memberikan warna dalam mensikapi
permasalahan baik politik maupun hukum dan sebagai control
social terhadap tindakan penguasa dalam penegakkan dan
penerapan hukum di masyarakat. Dengan adanya lembaga dan
gerakan social sebagaimana tersebut paling tidak penguasa dan
para
penegak
hukum
lebih
hati-hati
dan
tidak
gampang
melakukan tindakan sewenang-wenang di luar prosedural.