Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambu

Page |1

Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan
dan Perubahan
Karangan: Daniel S. Lev
1. Mahkamah Agung dan Politik Hukum Waris Adat
Perombakan Hukum (legal reform)

yang dilakukan

secara terus menerus pasca revolusi di Indonesia dilakukan
secara terus menerus sebab sistem hukum kolonialisme
belanda masih bercokol di Nusantara.Dalam pembagiannya di
bagi

menjadi

beberapa

golongan


ras

keturunan

Eropa,

Indonesia asli, keturunan Cina dan Timur asing lainnya. Dalam
keturunan Eropa berlaku BW (Burgerlijk Wetboek) dan WvK
(Wetboek van Koophandel, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) kitab hukum ini berlaku untuk golongan keturunan
Eropa, Cina, orang-orang Indonesia Kristen, dan orang-orang
yang menundukan diri secara keseluruhan terhadap hukum
Eropa.
Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku Hukum Adat
sejak empat dasawarsa yang diprakasai oleh dua orang ahli
utama yaitu Cornelis van Vollenhoven dan Barend ter Haar,
mempertahankan

Hukum


Adat

dari

usaha-usaha

penyeragaman hukum Eropa, dengan alasan bahwa orang
Indonesia menata hidup mereka dengan cara yang berbeda
dengan cara yang dilakukan oleh orang Eropa dan mereka
sudah

mempunyai

norma-norma

hukum

yang

mereka


percayai benar. Dalam upaya nya tersebut van Vollenhoven
dan ter Haar berhasil menyakinkan pemerintah Belanda pada
akhir 1920-an. Van Vollenhoven kemudian merumuskan Kitab
Hukum Adat yang dapat bersanding dengan Hukum Tertulis
Eropa.

Page |2

Organisasi peradilan di masa sebelum perang terdiri
dari Pengadilan Distrik, Pengadilan Kabupaten, dan Landraad,
Pengadilan

sehari-hari

yang

Indonesia.

Residentiegerecht


tertinggi
yaitu

bagi

orang-orang

pengadilan

banding

pertama, raad van justitie pengadilan banding kedua dan
Hooggerechtshof yang kemudian disebut Mahkamah Agung di
Batavia (kini Jakarta). Diluar jawa pengadilan berjalan seperti
pengadilan adat-adat lainnya karna kurangnya pengawasan
pemerintah Hindia-Belanda.
Hooggrechtshof hanya menangani dan bertumpu pada
“ketentuan-ketentuan hukum tertulis dan tidak mencakup
hukum


adat

yang

tidak

tertulis”.

Hakim-hakim

yang

menangani perkara orang Eropa ditangani oleh Hakim Eropa,
dan perkara-perkara orang Indonesia ditangani oleh Hakim
Indonesia. Untuk menunjang Hakim-Hakim dari Indonesia
didirikan sekolah hukum (Retchschool) lulusannya kemudian
dikirim

ke


Universitas

Leiden

tempat

mengajar

van

Vollenhoven. Di dalam konteks hakim yang mengurusi perkara
orang Indonesia dituntut untuk memahami kondisi sosial
masyarakatnya

dan

apa

yang


disebut

hukum

adalah

keputusannya hal ini seperti yang dikemukakan ter Haar.
Sistem hukum adat Van Vollenhoven dan Ter Haar tidak
dapat bertahan melewati revolusi (1945-1950), disebabkan
kurangnya perhatian dan sibuknya pemersatuan Indonesia,
bagi sebagian orang pilihannya adalah hukum adat atau
hukum Eropa. Hukum Adat, dimata para pemimpin di masa
pasca revolusi, tidak cukup memadai dan harus menyingkir.
Dikarenakan modernisasi hukum untuk menunjang kemajuan
ekonomi dan kestabilan sosial. Orang indonesia menciptakan
hukumnya sendiri demi kepentingannya sendiri. Pada tahun

Page |3


1955, Profesor V.E Korn menemukakan bahwa, ” Kami
mendapati bahwa sebagian besar cendikiawan Indonesia,
walaupun merindukan modernisasi hukum, tetap berada
dibawah pesona hukum adat ”.
Hukum adat inilah yang menjadi polemik hukum waris
janda sebagai ahlu waris apa tidak yang merupakan perkara
di Mahkamah Agung dari akhir tahun 50-an hingga awal tahun
60-an mengingat adat di Indonesia mempunyai berbagai
aturan yang berbeda-beda seperti bilateral di jawa dan
patrilineal di Tapanuli, Bali, dan Lombok yang pada akhirnya
ditetapkan oleh Mahkamah Agung tentang status hak waris
janda pada tanggal 8 November 1960.

Page |4

Tanggapan Penulis:
Bahwa, apa yang telah disampaikan Danil S Lev dalam
bahasannya tentang Mahkamah Agung dan Politik Hukum
Waris Adat, beliau sangat memahami culture bangsa Indonesia
yang pluralistic sehingga tidak memungkinkan nasionalisasi

hukum khususnya hukum waris adat dikarenakan keaneka
ragaman masyarakat Adat dan Budaya Indonesia sehingga mau
tidak mau Mahkamah Agung tetap konsisten mengadopsi hukum
yang hidup di masyarakat Adat

di masing-masing daerah,

kecuali hukum adat yang sudah mengalami perubahan ketentuan
dan

telah

dijadikan

Yurisprodensi

Tetap

dengan


mempertimbangkan aspek keadilan dan kepatutan yang salah
satu contohnya waris perempuan Bali , dulunya mereka tidak
mempunyai hak waris namun dalam perkembangannya kini anak
perempuan juga mempunyai waris. Dengan demikian meskipun
hukum waris adat tidak tertuang dalam hukum positif namun
keberadaannya tetap diakui oleh Mahkamah Agung dan masih
digunakan sebagai dasar hukum dalam penerapan hukum waris
adat di Indonesia.
Pada zaman

2. Politik Pengembangan Kekuasaan Kehakiman
Politik, untuk negara-negara baru seringnya menjadi
ajang saling sikut demi memperebutkan kekuasaan, ini yang
melatar

belakangi

studi

kasus


mengenai

pengaruh

pertentangan yang terjadi diantara para Hakim, Jaksa dan
Polisi. Yang pertama antara Hakim dan Jaksa menyangkut
masalah pretise; apakah para jaksa harus diberi kedudukan
dan gaji yang sama dengan hakim ataukah tidak. Persoalan
kedua sebenarnya masih termasuk yang pertama, namun

Page |5

lebih menekankan pada pembagian kekuasaan substantif
antara pihak kepolisian dan badan penuntut umum (BPU).
Tentang perseteruan ini sudah ada
Belanda

yang

pengadilan

menerapkan

seperti

beberapa

landraad,

raad

sejak kolonial

lembaga-lembaga

van

Justitie,

untuk

memenuhi kemajemukan yang ada di masyarakat. Dalam
badan penuntut umum juga terdapat badan penuntut umum
berjenjang (open-baar Minsterie. Parquet) yang dikepalai oleh
Procereur Generaal dan tenaga pelaksanaannya adalah para
penuntut (Officieren van Justitie), sedangkan Jaksa berbeda
dengan BPU diatas, wilayah Jaksa sangat kecil, dan statusnya
tak

lebih

dari

pegawai

kewedanaan.

Walaupun

Jaksa

memainkan peran sebagai pengusutan awal namun kemudian
diserahkan kepada asisten residen untuk jawa dan Magistraat
untuk luar Jawa.
Bagi
dengan

orang-orang

Indonesia

aturan-aturan

yang

berlaku

Hukum

termaktub

Acara
dalam

Inlandschreglement. Proses ini rampung pada awal 1942,
segera setelah Jepang menduduki kepulauan Indonesia dan
pemerintah Jepang menghapus organisasi kehakiman kolonial
dan

menggantinya

dengan

sistem

yang

disatukan

dan

disederhanaka. Namun Undang-Undangnya sebagian besar
tetap mengambil dari kitab hukum kolonial. Berikutnya, pada
tahun 1945, Kementrian Kehakiman mencabut sebagian besar
perubahan yang dibuat pemerintahan Jepang karna dinilai
bermutu lebih rendah dari Undang-Undang Kolonial, maka,
Undang-Undang Kolonial tersebut belaku hingga ada UndangUndang “nasional” yang menggantikannya tanpa disebutkan
kapan.

Page |6

Badan Penuntut Umum Republik meneruskan sistem
hukum bekas Parquet Eropa dulu, tetapi secara keseluruhan
berbeda dengan yang dulu, dirombak secara total, puncaknya
pada tahun 1948 Pemerintah Republik Indonesia menciptakan
aturan gaji bagi Hakim yang bergaji lebih tinggi daripada
Jaksa, pada tahun 1951 jaksa menuntut kenaikan gaji dan
kedudukan yang sama di depan kementrian kehakiman, pada
tahun 1953-1956 disepakati pembagian kerja yang sama pula,
disebabkan peristiwa inilah dibahas lebih lanjut mengenai HIR,
hukum acara kolonial.
Pada peristiwa tersebut Hakim ‘kalah’ dan pada tanggal
5 Maret 1956 beralih ke Mahkamah Konstitusi yang didirikan
pada tahun 1955 untuk membentuk kontitusi baru, disanalah
hakim

menyampaikan

‘keluh

kesahnya’

didukung

oleh

mahkamah Agung. Di sinilah diusulkan pasal-pasal konstitusi
tentang kekuasaan kehakiman. Polisi versus Penuntut kurang
lebihnya juga serupa seperti kasus yang di atas.
Dalam kedua kasus perseteruan tersebut pihak-pihak
yang berselisih lebih menitik beratkan perjuangannya pada
persoalan status. Pada kurun permulaan transisi politik dan
sosial yang cepat, disebagian besar negara baru di Asia dan
Afrika, Isu keadilan jarang menjadi sasaran perhatian yang
utama

sampai

lama

kemudian,

tatkala

stabitilitas

kelembagaan dan pengawasan politis telah terwujud dan
rakyat telah sadar akan hak-haknya, sampai datangnya saat
itu hubungan kelembagaan yang terus berubah di bidang
peradilan (dan hubungannya dengan pihak-pihak lain) akan
berpengaruh besar terhadap berubah-ubahnya sifat keadilan.
Tanggapan Penulis:

Page |7

Bahwa,

perseteruan

penegak

hukum

di

Negara

berkembang seperti Indonesia masih sering kali dipengaruhi
politik hukum seirama dengan adanya issu hukum yang sedang
terjadi. Daniel S Lev melihat permasalahan hukum yang terjadi
di Negara berkembang mudah dipengaruhi oleh dinamika politik
yang sedang berjalan sehingga sering kali memberikan pengaruh
dampak

negative

dalam

dilakukan.

Institusi

Indonesia

mendapatkan

proses

Kehakiman

penerapan

dalam

kedudukan

system
tertinggi

hukum

yang

peradilan

di

dibandingkan

kejaksaan maupun kepolisian sehingga hal ini seolah-olah
memberikan hak kewenangan yang lebih superior dibanding
dengan

kedua

institusi

tersebut,

kedudukan

yang

selalu

menempatkan institusi Kehakiman lebih dari yang lain inilah juga
menjadi salah satu penyebab yang dapat mempengaruhi dalam
proses penegakkan hukum bilamana apa yang telah menjadi
kehendak Penuntut Umum tidak terealisasi sesuai harapan
mereka.

Meskipun

semua

institusi

mempunyai

domain

kewenangan tersendiri namun bilamana terjadi gesekan diantara
keduanya maka tidak menutup kemungkinan politik hukum
bermain di dalamnya.
3. Perubahan Hukum Sipil: Dari Dewi Keadilan ke Pohon
Beringin
Perubahan

Hukum

memunculkan

Unifikasi

hukum,

dalam hal ini para kalangan elit (para ahli hukum kolonial
lulusan sekolah hukum) ada yang memakai teori Nederburgh
yang mana keseragaman Hukum perdata harus dilakukan
dikarenakan masyarakat Indonesia telah terbiasa dan siap
dalam hal itu. Tetapi hal tersebut di bantah oleh van
Vollenhoven di Leiden dan Ter Haar di tanah jajahan dengan

Page |8

mementahkannya bahwa Masyarakat mempunyai normanorma sosial tersendiri. Pada akhirnya tidak ada kemajuan
mencolok pada tahun awal-awal kemerdekaan, baik yang
berkenaan dengan kodifikasi maupun Unifikasi.
Konflik unifikasi hukum ini diluar pengadilan menerima
serangan

terus-menurus

menginginkan

unifikasi

dengan
hukum

sarat

Ideologis

yang

sendiri

namun

tidak

menghasilkan kesepakatan mengenai hukum Indonesia yang
baru. Pada tanggal 5 September 1963 Wirjono mengeluarkan
surat edaran mahkamah agung yang menyatakan bahwa BW
tidak berlaku lagi [Lihat, Daniel S.Lev, 1990: 90].
Masalah

perombakan

hukum

di

Indonesia

dan

diberbagai negara baru, bukanlah sekedar penciptaan hukum
baru yang dapat diterapkan dalam interaksi antara swasta
dan pemerintah yang ciri-cirinya sudah dikenal dengan baik.
Upaya tersebut sangat diperuwet oleh ketidakpastian yang
tak terbilang dalam hubungan-hubungan keperdataan yang
nyata ditengah masyarakat yang berubah, oleh keharusan
untuk menampung faktor-faktor ideologis, dan keharusan
untuk penyesuaian karna ketidakmampuan badan peradilan
yang tidak bisa tidak telah mengalami kemunduran sebagai
akibat tekanan dan ketidak mantapan politik. Pada akhirnya
memang harus ada terobosan dari pilihan-pilihan hukum
yang diwariskan di tanah jajahan menuju pilihan-pilihan
hukum dari sebuah negara yang merdeka.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, apa yang menjadi cita-cita bangsa mengenai issue
nasionalisasi hukum perdata Indonesia sebenarnya bisa saja
diwujudkan sepanjang tidak berbenturan dengan hukum adat

Page |9

yang sudah ada di Indonesia sehingga apa yang telah diakomodir
dan diatur di dalam hukum positif tidak terjadi benturan dengan
masyarakat

adat

sehingga

prinsip

pohon

beringin

dapat

dimemenuhi harapan masyarakat.
4. Lembaga-Lembaga Peradilan dan Budaya Hukum di
Indonesia
Essai ini dikembangkan melalui dua konsep, Pertama
“Sistem Hukum” dan Kedua “Budaya Hukum”. Sistem hukum
lebih kepada yang bersifat prosedural yang terdiri dari
berbagai proses formal, yang melahirkan lembaga-lembaga
formal, bersama-sama dengan proses informal disekelilingnya.
Dalam negara modern sistem hukum adalah birokrasi dan
sumber kekuasaannya terletak pada sistem politik.Budaya
hukum merupakan konsep

baru

yang

digunakan untuk

menarik nilai-nilai sosial ke hukum, unsur yang digunakan,
pertama nilai hukum keacaraan (Prosedural legal values) dan
niali nilai hukum subtantif.
Di semua masyarakat yang kompleks terdapat jarak
pemisah antara struktur formal dan prosedur kelembagaan. Di
Indonesia, seperti halnya di berbagai negara bekas jajahan,
ketiadaan

keterpaduan

seperti

ini

sangat

mencolok.

Akibatnya, muncullah hukum kelembagaan Gresham, yakni
proses

formal

cenderung

dihindarkan

dalam

rangka

menyelesaikan perselisihan melalui proses yang lebih bersifat
kekeluargaan dan lebih akomodatif, Masyarakat yang adil
sekurang-kurangnya mempunyai ciri tidak ada perselisihan
yang tidak dapat diselesaikan.
Tanggapan Penulis:

P a g e | 10

Bahwa, pendapat Daniel S lev sebenarnya telah menjadi
alternative penyelesaian

hukum diluar system peradilan yang

ada, seperti telah dibentuknya lembaga arbitrase, curator,

dll

sehingga keberadaan lembaga tersebut diharapkan memberikan
kontribusi penyelesaian yang lebih persuasive, fleksibel dan
cepat serta juga memberikan kepastian hukum pula.
5. Tentang Prokol Bambu: Perlapisan, Perwakilan dan
Perantaraan
Tulisan ini akan membahas advokat setengah ahli-yang
istilah buruknya sering disebut Prokol Bambu – di Indonesia.
Pokrol

Bambu

adalah

jenis

orang

setengah

ahli

yang

memperoleh pengetahuannya dengan upaya yang keras dan
mudah

dikelirukan

dengan

ahli

yang

sebenarnya.Prokol

Bambu dapat dipakai sebagai prototipe, atau bentuk ideal dari
jenis pekerjaan setengah ahli pada umumnya. Dengan istilah
ahli hukum (advokat) setengah ahli (Para professionals)
dimaksudkan tiap orang yang melakukan pelayanan untuk
menjangkau lembaga-lembaga hukum (birokasi, pengadilan,
kekuasaan politik pada umumnya) atau memberi pelayanan
yang sama dengan yang dilakukan lembaga-lembaga hukum,
tetapi tidak mempunyai pendidikan formal yang lazim dimiliki
oleh para advokat ahli.
Prokol bambu terbentuk pada masa kolonial dikarenakan
kebutuhan masyarakat akan prokol bambu tampak jelas.
Pekerjaan prokol bambu tumbuh dan sepenuhnya, pada tahun
1920-an tatkala beberapa diantara mereka memandang diri
mereka sendiri dalam prespektif keahlian. Mereka banyak
memainkan peranan dalam pemberian nasehat kepada klien
mereka di Landraden.Prokol berasal dari kata procureuer,
istilah belanda untuk pengacara perdata.Bambu ditambahkan

P a g e | 11

para ahli untuk mengejek.Prokol bambu selalu menolak istilah
itu, lebih menyukai istilah pengacara yang secara netral
melukiskan penasehat bagi orang-orang yang berperkara.
Pada suatu waktu ditahun 1927 sejumlah prokol bambu
membentuk organisasi, yang kini dikenal dengan nama PERPI
(Persatuan Pengacara Indonesia). Prokol bambu tak lain
adalah perlapisan, Perwakilan dan perantaraan lembaga
hukum bagi kaum miskin.
Tanggapan Penulis :
Bahwa, keberadaan pokrol bamboo sejak berlakunya uu
advokat no 18 tahun 2003 maka keberadaan mereka sebatas
ditahap non litigasi dan mereka tidak diberikan kewenangan
menangani pada tingkat litigasi sehingga kegiatan mereka
tersebut sangat dibatasi oleh undang-undang. Pembatasan
kewenangan

mereka

semata-mata

demi

kepentingan

para

pencari keadilan itu sendiri (para justisiable) sebab penanganan
perkara di tingkat litigasi dibutuhkan orang-orang yang memiliki
kemampuan lebih professional dan pertanggung jawaban profesi
sebagai jaminan.
6. Unifikasi Pengadilan pada Masa Pasca-Kolonial
Perubahan penting terjadi dalam organisasi pengadilan
pendudukan Jepang, hasilnya adalah disatukannya pengadilan
sekuler secara vertikal.Termasuk kedalamnya districtsgerecht
(yang kini disebut Gun Hȏin) regentschapsgerecht (Ken-Hȏin),
Raad van Justitie (Kȏtȏ Hȏin) dan Hooggerechtshof (Saikȏ
Hȏin).

Hanya

pengadilan

yang

semula

bernama

Residentiegerecht yang benar-benar dihapus, tapi semua
pengadilan itu melayani klien yang sama. Selama revolusi

P a g e | 12

Gun Hȏin dan Keiza Hȏin disatukan kedalam Tihȏ Hȏin yang
kemudian diubah namanya menjadi Pengadilan Negeri.
Unifikasi Struktur pengadilan terjadi di Jawa, diluar jawa
masih mengandalkan sistem pengadilan adat seperti halnya
Aceh yang mengandalkan Ueleubalang dan kuatnya organisasi
Islam di aceh seperti PUSA yang kemudian menjadi Hakim di
Tihȏ Hȏin.Pada tahun 1944 di hapuslah Mahkamah Agung
sebagai tempat banding, namun diletakkan pada setiap tiga
provinsi di Jawa yang masing-masing mempunyai sistem
pengadilan banding sendiri.
Menyusul

menyerahnya

Jepang

dan

proklamasi

kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, kesatuan Nasional
adalah keprihatinan utama para pemimpin Republik, tetapi
sedikit saja pikiran yang dicurahkan untuk pembarahuan
kelembagaan. Sehingga terjadi kerancuan di luar jawa yang
belum terkendali, di masa revolusi pengadilan adat berlahanlahan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan umum yang
belum tersistem secara jelas sehingga banyak terjadi ketidak
pastian yang mudah sekali memicu konflik di masyarakat,
karna memang fokusnya belum kearah tersebut.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, unifikasi system peradilan hanya pada persoalan
hukum formiel sedangkan untuk hukum materiel tetap mengacu
materi perkara sepanjang hal tersebut telah diatur oleh yang
bersifat umum dalam undang-undang dan juga hal-hal yang
bersifat

hukum

yang

diatur

dalam hukum

adat

sehingga

penerapan hukum di system peradilan lebih dapat memberikan
pemenuhan terhadap kekosongan hukum bilamana undangundang tidak mengaturnya.

P a g e | 13

7. Asal –Usul Keadvokatan Indonesia
Model advokat Indonesia dengan sendirinya, adalah
seperti advokat Belanda. Pembela perdata Indonesia berbeda
dengan Lawyer di Amerika walaupun memiliki beberapa
kesamaan tapi ada

perbedaan antara satu sama lain.

Perbedaannya dengan lawyer di Amerika Serikat, yakni
generalis

yang

memadukan

fungsi

pembelaan

dalam

peradilan dengan tugas-tugas dokumenter yang bermacam
ragam, para pembela perdata di Indonesia, seperti halnya
barrister di Inggris, secara formal hampir sepenuhnya berkait
dengan

perkara

gugatan.

Lazimnya

ia

bukan

seorang

penyusun dokumen hukum.
Notaris adalah jantung sistem hukum formal dan banyak
macam transaksi yang tidak mungkin terjadi tanpa jasa
mereka, adanya kantor Notaris mengurangi kebutuhan akan
pengacara

perdata,

tidak

hanya

karna

advokat

dapat

mencurahkan tenaga semata-mata pada kerja di pengadilan,
tetapi juga penyusun dokumen yang dilakukan dengan hatihati

akan

mengurangi

kemungkinan

timbulnya

perkara.

Notaris diatur, diuji, dan diberi izin oleh negara, seringkali
dengan kecermatan yang lebih ketat dari pada advokat.
Jumlah notaris dibatasi namun advokat tidak.
Advokat indonesia yang pertama adalah Mr. Besar
Martokusumo,

yang

juga

membantu

advokat

indonesia

lainnya untuk memulai kariernya menjadi advokat. Hampir
semua advokat pada mulanya terutama terdiri dari orang
jawa, serta satu sama lain mengenal dengan baik berkerja
sama dibidang pekerjaan maupun politik. Hal ini dimulai sejak
tahun 1920. Sebelum itu pada tahun 1908 Boedi Oetomo

P a g e | 14

dibentuk dan menarik beribu-ribu pegawai dan pelajar jawa
kedalam programnya yang bila ditilik dari segi politik tampak
konservatif tetapi dari segi budaya telah memikat beberapa
orang advokat Indonesia sehingga mereka tertarik untuk
menjadi

anggotanya.

Akan

tetapi

pengaruhnya

hanya

sebentar, meskipun dalam dua dasa warsa berikutnya cikalbakal pertai-partai besar yang merajai politik Indonesia
melalui masa sesudah kemerdekaan sampai dengan tahun
1960-an. Partai serikat Islam terbentuk pertama kali pada
tahun 1912, PKI menyusul pada tahun 1920, dan Soekarno
bersama yang lain membentuk PNI Partai Nasional Indonesia
pada

tahun

1927.

Sebelum

tahun

1920

kemerdekaan

indonesia telah dipersoalkan. Advokat kemudian masuk dalam
Partai Nasional Indonesia, dan terlibat dalam Politik. Advokat
juga menolak Pengadilan adat dan menuntut Pengadilan
formal sebab pengadilan adat tidak dapat mereka masuki.
Tanggapan Penulis:
Bahwa,

keberadaan

profesi

memang

mengalami

kedinamisan dari masa ke masa yang mana keberadaan advokat
dulunya tidak diberikan payung hukum oleh undang-undang dan
baru saja di tahun 2003 yang lalu Advokat mulai dapat
menunjukkan
profesi

ini

eksistensinya

berdasarkan

UU

sebagaimana
no

18

yang

tahun

diharapkan

2003

sehingga

kepentingan dan kewenangan Advokat lebih terlindungi dengan
hadirnya

undang-undang

tersebut.

Bahwa,

bukan

Advokat

menolak pengadilan Adat secara langsung namun keberadaan
pengadilan adat belum bisa
secara normative.

memberikan kepastian hukum

P a g e | 15

8. Kekuasaan Kehakiman dan Penegakan Negara Hukum :
Sebuah Sketsa Politik
Di

bawah

demokrasi

terpimpin

pengadilan

menyebabkan presiden Soekarno gusar, untuk sebagian
karena beberapa orang hakim menolak untuk didikte; akan
tetapi selain itu juga karena ia mengira, dengan tepat, bahwa
pada

umumnya,

mendukung

para

Pemerintah

ahli

hukum

dengan

dan

advokat

sepenuh

tidak

hati.

Asas

kemandirian badan kehakiman dan pemisahan kekuasaan –
Trias

Politica,

yang

dipuja

oleh

para

ahli

hukum

dan

dicemoohkan oleh Soekarno – yang dalam asas itu para hakim
mendapatkan arti penting fungsinya menentang benih-benih
demokrasi

terpimpin

yang

menekankan

pentingnya

kekuasaan dibawah tokoh sentral, yakni diri Soekarno sendiri.
Trias Politica juga jadi pengganggu yang mengingatkan pada
tertib parlementer, suatu tertib yang oleh Soekarno atas
tekanan dari pihak tentara, harus dihapuskan, UndangUndang

19/1964

meempurnakan

Patrionalisme

formal.

Demokrasi terpimpin membungkam para hakim, advokat, dan
para intelektual liberal dengan ketentuan pasal 19 yang
menyatakan bahwa Presiden boleh campur tangan dengan
leluasa dalam tiap tahap proses peradilan demi kelangsungan
revolusi atau kepentingan nasional.
Pada tahun 1966 awal, MPR (S), badan tertinggi
menurut

Konstitusi,

menetapkan

agar

pemerintah

dan

parlemen meninjau kembali peraturan perundangan produk
demokrasi terpimpin sehingga sejalan dengan undang-undang
dasar 1945. Undang-Undang 19/1964 tercantum dalam urutan
atas

dalam

daftar

peraturan

perundangan

yang

harus

dipertimbangkan kembali. Barulah pada tahun 1969 Parlemen

P a g e | 16

mencabut berlakunya Undang-Undang tersebut, bersamaan
dengan diundangkannya undang-undang baru, tetapi tertunda
untuk sebagian karna diprioritaskannya persoalan-persoalan
politik lainnya. Setelah melalui perundingan secara luas
Undang-Undang 14/1970 diundangkan yang Pada akhirnya
para hakim dan para pendukungnya memang kalah. UndangUndang 14/1970 hanya menghapus pasal 19 Undang-Undang
19/1964 dengan mengatur kembali dalam (pasal 4, paragraph
3) ketentuan konstitusional mengenai pemandirian badan
peradilan.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, ketakutan Penguasa atas kemandirian Lembaga
Kehakiman memang cukup beralasan hal ini dikuatirkan akan
menjadi

boomerang

penguasa

melakukan

bagi

penguasa

kesalahan

itu

hukum

sendiri
namun

bilamana
sejak

era

reformasi Kemandirian Lembaga Kehakiman lebih Independen
dan terlepas dari pengaruh penguasa secara langsung sehingga
lembaga Yudikatif dapat menjalankan fungsi penegakkan lebih
optimal dan tidak selalu berpihak kepada Penguasa.
9. Van Vollenhoven dan Hukum Adat
Van

Vollenhoven

mempelajari

adat

Indonesia

dari

laporan penelitian para pejabat, yang ia bantu dengan melatih
mereka

cara-cara

penelitian

para

menghimpun
mahasiswanya.

data,
Ia

dan

dari

berbeda

laporan
dengan

penyelidikan besar Belanda lainnya, C. Snouck Hurgronje yang
menkaji adat dan Islam. Tidak ada hukum yang berlaku bagi
rakyat pribumi Hindia-Belanda, kata dia (Van Vollenhoven)
karna hukum demikian bukan hukum mereka. Kitab undang-

P a g e | 17

undang

yang

berlaku

umum

niscaya

melanggar

hak

masyarakat yang berbhineka itu untuk hidup berdasarkan
nilai-nilai mereka sendiri. Pandangan sebaliknya – yang
dikemukakan oleh Nedburgh, misalnya – menyatakan bahwa
sesungguhnya orang Indonesia harus dihela memasuki negara
modern, bahwa hukum yang tunggal akan memungkinkan
terselenggaranya pemerintahan yang lebih effesien dan
memberi kesempatan yang sama kepada orang Indonesia
untuk bersaing berdasarkan kerangka aturan yang sama yang
berlaku bagi setiap orang.
Ia telah mengarahkan banyak energi intelektualnya
untuk menunjukkan bahwa hukum Indonesia itu asli dan
bukan sekedar turunan dari hukum Hindu atau Islam. Pada
penutup perbincangannya tentang Aceh, pada halaman 122
dalam

buku

yang

baru

itu,

Van

Vollenhoven

menulis:

“Penghancuran hukum adat tidak akan meratakan jalan ke
arah hukum kodifikasi, tetapi membuka jalan bagi kekacaubalauan dan Islam”. Tidak mengherankan bila para pemimpin
Islam membenci Adatrechtpolitiek.
Van Vollenhoven mungkin mempunyai pikiran yang
sama tentang masa depan adat yang perlu dipertimbangkan.
Hal yang ingin saya tampilkan adalah bahwa, sebagai salah
satu sumber keprihatiannya akan hukum adat, ia sangat tidak
menyukai negara modern, yang ia pandang sebagai paksaan
yang disegi budaya akan merusak kehidupan masyarakat
“yang sebenarnya”. Akan tetapi dalam tulisan yang tidak
lazim tentang hukum internasional, yakni Du Droit de Paix,
kebenciannya terhadap negara sangat jelas.Orang Indonesia
yang mengenalnya atau membaca tulisannya mengakui sifat
paradoksal pakar terkenal itu, yang masih melekat tapi

P a g e | 18

dengan cepat memudar, dalam pengetahuan hukum adat
Indonesia.
Akan tetapi bila Adatrechtpolitiek dimusnahkan, dengan
tujuan baik atau buruk, masih juga ada sesuatu yang tetap
tersisa, yang boleh merupakan warisan karya Van Vollenhoven
yang paling menarik.Warisan itu adalah penghormatannya
yang asasi terhadap hukum dan nilai-nilai lokal, penghargaan
yang benar-benar penuh dengan perasaan kasih sayang
terhadap perbedaan-perbedaan diantara umat manusia.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, penulis berpendapat hukum adat tetap dalam
domain hukum adat yang bersifat unik dan tetap sebagai hukum
yang masih mempunyai nilai dan hidup dalam masyarakat
sepanjang belum diatur dalam undang-undang namun tetap
digunakan sebagai sumber hukum yang

juga memberikan

kontribusi yang lebih dapat diterima oleh masyarakat adat.
10.

Hukum Kolonial dan Asal-Usul Pembentukan Negara

Indonesia
Kiranya sudah jelas bahwa negara-negara baru mewarisi
banyak hal dari pendahulunya di masa kolonial, karena
berbagai revolusi yang dibarengi dengan penghancuran total
sekalipun, yang jarang terjadi pada negara-negara baru, tidak
dapat menyapu bersih bekas-bekas masa silam. Tujuan VOC
sebenarnya
perbedaan

eksploitasi
pendapat

ekonomi,
yang

tajam

tambahan
mengenai

lagi,

ada

persoalan

kebijakan hukum, dari tahun 1790-an sampai tahun 1820-an.
Pada pokoknya yang diperselisihkan adalah manakah yang
perlu dibentuk: masyarakat kolonial yang terpadu atau

P a g e | 19

terpisah-pisah dalam kerangka hukum, satu hukum untuk
semua golongan penduduk atau hukum yang majemuk untuk
golongan penduduk yang majemuk pula. Pandangan pertama
seperti yang diterapkan Inggris ke India yang cenderung
membentuk negara Kolonial.Pandangan kedua, berpendirian
perlunya perciptaan sebuah sistem administrasi dan bukan
sebuah negara.
“Untuk tiap golongan berlaku hukumnya sendiri” benarbenar tidak berlaku. Kaulanegara asal Eropa mempunyai dua
kitab undang-undang hukum acara, sebuah untuk perkara
perdata (Burgelijk Rechtsvordering) dan sebuah untuk perkara
pidana

(Strafvordering).

Ini

yang

dipakai

di

pengadilan

landraad sedangkan untuk Indonesia diberlakukan Indisch
Reglement (IR) yang diundangkan pada tahun 1848, ditinjau
kembali

pada

tahun

1926,

dan

selanjutnya

dilakukan

amandemen pada tahun 1941 dengan nama Herzeins Indisch
(Indonesisch) Reglement (HIR). Sebagai contoh lebih mudah
menangkap,

menahan,

dan

memidana

orang

Indonesia

berdasar HIR dari pada terhadap orang kaulanegara Belanda
berdasar Stafvoerdering.
Dengan datangnya kemerdekaan, Indonesia mempunyai
dua tradisi hukum untuk dipilih.Para Advokat Indonesia dan
sejumlah cendikiawan lainnya menginginkan negara yang
terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku dimasa
kolonial.Akan tetapi yang menang adalah sistem hukum yang
semasa kolonial diperuntukan untuk orang Indonesia (asli).
Pelestarian

hukum

yang

lama

bukanlah

karena

kekhilafan.Hal itu dinyatakan dengan tegas dalam undangundang dasar 1945 maupun kedua undang-undang dasar
lainnya tahun 1949 dan 1950. Bukannya tidak ada protes

P a g e | 20

sesudah

tahun

1950

tentang

tetap

berlakunya

hukum

“kolonial” akan tetapi hukum Kolonial sudah menjadi hukum
nasional. Dalam segi politik dari orde lama ke orde baru tidak
mengalami

banyak

perubahan

dalam

sistem

lembaga

pengadilan walaupun orde baru lebih sigap dalam menangani
isu keagamaan dan politik.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, meskipun negera Indonesia telah lama merdeka
namun keberadaan hukum peninggalan colonial masih tetap
digunakan dalam system hukum dan peradilan di Indonesia hal
ini karena alasan hukum colonial ternyata masih koorporatif
digunakan dan sepertinya masih bisa diterapkan seiring dengan
wacana pembaharuan hukum yang lebih memahami culture
bangsa Indonesia.
11.

Bantuan Hukum di Indonesia: Biografi LBH
Tatkala Lembaga Bantuan Hukum (selanjutnya disingkat

LBH) Jakarta membukakan pintunya, pada tahun 1971, bagi
klien-klien miskin yang berjubel kecil alasan untuk berharap
banyak terhadapnya. Yang memperhatikan LBH yang baru itu
dengan sungguh-sungguh; dalam waktu yang dekat, banyak
yang menduga, bahwa LBH, seperti banyak organisasi lainnya
yang beritikad baik, kehabisan minat, tenaga, dana atau
dukungan dari pihak resmi.
Sebelum tahun 1965 satu-satunya bentuk bantuan
hukum yang dikenal oleh sebagian besar advokat adalah
pembela perkara yang ditunjuk oleh pengadilan. Bagi para
advokat, kurun parlementer yang berawal dari tahun 1950
dan berakhir tahun 1957 adalah tahun-tahun yang optimis.

P a g e | 21

Negara

hukum

tampak

tumbuh

dengan

baik

sesudah

revolusi.Sistem peradilan walaupun kekurangan tenaga yang
terlatih, bersifat jujur dan terhormat. Dan para advokat,
diantara para ahli hukum yang paling pandai dinegeri ini,
beralasan untuk mengira bahwa kedudukan profesionalnya
mantap. Namun kemudian ada Undang-Undang tahun 1964
sebuah undang-undang baru tentang organisasi peradilan
tahun 1964 secara tegas memberi peluang kepada presiden
untuk

campur

tangan

dalam

proses

peradilan

demi

kepentingan Nasional.
Kegiatan kerja advokat tidak berkembang dengan baik
dalam kurun ini, dan jumlah advokat menurun jadi tinggal
kira-kira 200 orang saja diseluruh Indonesia pada akhir 1965.
(Dua tahun sebelum itu) pada tahun 1963 Advokat mendirikan
PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) yang mempertegas
kehadiran mereka. Pada tahun 1966 PERADIN bekerjasama
dengan

himpunan-himpunan

hakim,

jaksa,

dan

polisi

membentuk organisasi Pengabdi Hukum yang tujuannya
meluruskan

penyelewengan

proses

hukum

dan

mulai

mengadakan perombakan dari dalam sistem hukum sendiri.
Sebagai contoh ketika Yap Thiam Hien, utusan PERADIN ke
organisasi itu, ditahan oleh seorang jaksa dan polisi yang
korup, Pengabdi Hukum membantu dengan menekan agar ia
dibebaskan dalam waktu sepekan.
LBH

terbagi

menjadi

beberapa

kelompok,

dalam

Kelompok pertama duduk almarhum R.Sudarsono, seorang
pensiunan hakim dari Surabaya, tetapi juga Yap Thiem Hein,
seorang pembela hak-hak kebebasan warga Negara, H.J.
Princen dari Lembaga Hak-Hak Asasi Manusia, dan Arief
Budiman,

seorang

aktivis

dan

kritikus

dari

kalangan

P a g e | 22

cendikiawan. Dewan Kurator sendiri terdiri dari ketua dewan
perwakilan rakyat jakarta, almarhum Besar Martokoesoemo,
advokat Indonesia yang pertama, Lukman Wiriadinata dari
PERADIN, Mochtar Lubis, redaktur koran Liberal dan penulis
terkenal, dan mendiang Ojong Peng Koen, seorang penerbit
yang dihormati.
Pada tahun 1970 sebagian besar LBH adalah gagasan
Nasution (Adnan Buyung Nasution), kerja pokok LBH adalah
memberi konsultasi hukum kepada orang-orang miskin –
konsultasi dikantor LBH dan dalam berperkara di Pengadilan.
Kantornya

di

Jakarta

satu-satunya

sampai

tahun

1978

menangani kira-kira 22.290 buah kasus antara tahun 1971
dan 1986 lebih dari 1600 kasus setiap tahun sesudah tahun
pertama. Samapi tahun 1986 keseluruhan kasus berjumlah
kira-kira 60.000 kasus (dalam kasus Pidana maupun Perdata).
Banyak lembaga bantuan hukum lain yang kemudian tumbuh
diluar LBH atau kemudian bermaksud menyaingi LBH seperti
LPPH (Lembaga Pelayanan dan Penyuluhan Hukum) milik
Golkar.
Tanggapan Penulis:
Bahwa,

keberadaan

lembaga

Bantuan

Hukum

dalam

perkembangannya sangat dibutuhkan para pencari keadilan
(justisiable) dari golongan masyarakat yang kurang mampu baik
dari segi kemampuan ekonomi maupun kemampuan cakap
hukum. Dengan adanya LBH adalah merupakan sebuah solusi
agar masyarakat yang kurang mampu dapat memperoleh
pembelaan hukum sebagaimana mestinya dan sejak pemerintah
memberikan

undang-undang

tentang

bantuan

hukum

masyarakat yang kurang mampu dapat menikmati hak-haknya

P a g e | 23

untuk sama-sama memperoleh hak bantuan hukum karena
Negara sudah memberikan bantuan secara financial melalui
mekanisme yang ada.
Sejarah Lembaga bantuan Hukum di Indonesia tidak
terhenti sampai di situ saja, namun dengan lahirnya UU No. 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, ini membuktikan bahwa
pemerintah tidak menutup mata pada masyarakat atau golongan
tidak mampu yang memerlukan bantuan hukum, dan tidak
semua Lembaga Bantuan Hukum yang bisa mendampingi,
namun ada beberapa criteria agar lolos dari verifikasi (dalam hal
ini, Kementerian Hukum dan HAM) yang menaungi program
tersebut, mulai dari tahap akreditasi sampai pada pelaporan.
Namun dalam prakteknya, masih banyak masyarakat yang tidak
tertampung

karena

masing-masing

LBH

mempunyai

kuota

perkara yang diterima. Semoga ke depan dengan adanya LBH,
bantuan hukum dapat merata seluruh Indonesia.
12.

Gerakan Sosial, Konstitusionalisme dan Hak Asasi
Tak lama setelah revolusi (1945-1950) nampak seakan-

akan Indonesia telah memiliki sebuah sistem konstitusional
yang kuat, dilengkapi dengan sebuah pemerintah parlementer
yang secara eksplesit didasarkan pada prinsip-prinsip rule of
law. Sebagaimana si bekas-bekas tanah jajahan lain, sistem
itu hanya berusia singkat, sekitar tujuh tahun saja. Seperti
juga di negara-negara lainnya yang baru merdeka, pola
sistem segera berubah sama sekali melalui suatu periode
patrionalisme yang intens – di bawah demokrasi terpimpin
pada masa Soekarno – untuk sampai pada pemerintah militer
sejak 1965.

P a g e | 24

Mengapa
utamanya

pemerintah

adalah

untuk

parlementer

gagal?

menganstipasi

Alasan

perdebatan-

perdebatan mengenai pembaruan yang muncul belakangan.
Untuk satu hal, struktur konstitusional dan politik formal telah
disepelekan dan tidak bisa memuaskan banyak kelompok
baru yang energinya telah tercurahkan melalui revolusi.Yang
terpeting diantaranya adalah tentara, yang akhirnya memang
berhasil

menumbangkan

sistem

parlementer

dan

juga

Soekarno.Tapi terdapat pula kelompok-kelompok lain yang
telah

termobilisasi

secara

sosial

yang

tidak

merasa

terpuaskan, secara praktis maupun simbolis, didalam instuisiinstuisi negara parlementer.
Ketika demokrasi terpimpin rontok dengan pertumpahan
darah besar-besaran setelah kudeta yang dilakukan pada
Oktober 1965, salah satu tuntutan keras dalam suasana hirukpikuk yang menyertai adalah berlakunya kembali negara
hukum

(rechtsstate),

suatu

negara

konstitusional

yang

diselenggarakan oleh aturan-aturan hukum.Ia tetap menjadi
simbol penting untuk reformasi kritis hingga sekarang. Tapi
rupanya ia tak pernah terlaksana, karena tentara – setelah
berhasil menaklukkan partai komunis – mulai menegaskan
hak-hak preogratif politiknya, dan kemudian menyingkirkan
aliansi-aliansi sipil penentang orde lama seperti kelompokkelompok

Islam,

gerakan

mahasiswa,

serta

makin

menegaskan cengkeramannya yang ketat pada lembagalembaga politik yang ada.
Kontras Malaysia dengan Indonesia sangat mencolok, di
Malaysia orde konstitusional bisa bertahan begitu lama sejak
Malaysia merdeka pada tahun 1957. Di Malaysia munculnya
kelompok-kelompok etnis pada akhir 1940-an – UMNO (United

P a g e | 25

Malay

National

Organization),

MCA

(Malayan

Chinese

Associaton), serta MIC (Malayan Indian Conggres) – dan
terbentuknya partai koalisi diantara mereka pada awal 1950an, menjadi preseden bagi diciptakannya sebuah konstitusi
yang sesuai dan juga kemerdekaan bersama. Mereka samasama

terpuaskan

dengan

sistem

hukum,

yang

keberlangsungannya sejak masa penjajahan secara signifikan
mengidealkan

adanya

pemberontakan komunis

tertib

konstitusional.

(1948-1960)

Pada

saat

pemerintah Inggris

mengundang-undang kan keamanan dalam negeri.
Ketika

kerusuhan-kerusuhan bergejolak

pada

tahun

1969 Pemerintah menetapkan Kebijakan Ekonomi Baru (KEB)
agar kerusuhan tidak berimbas pada sektor ekonomi. Mulai
tahun 1980 kelompok kelompok swasta mulai menguat yang
mengakbatkan berbagai krisis sosial-ekonomi MCA keluar dan
UMNO yang diwakili oleh datuk Seri Mahattir Mohammad
menjadi Perdana Menteri untuk menanggulangi krisis.Pada
saat itu pula ada campur tangan pemerintah Inggris.
Meskipun ada perbedaan, kasus Indonesia dan Malaysia
tetap menampakkan pola-pola konflik kelembagaan dan
ideologis yang mirip.Dalam pertarungan antara kekuasaan,
masyarakat dan negara ini, kelompok-kelompok pembaharu
Indonesia dan Malaysia memberi perhatian besar pada proses
hukum, lembaga-lembaga peradilan, dan hak-hak asasi.
Setiap butir itu memperlihatkan adanya perbedaan yang
secara sepintas membatasi pelaksanaan kekuasaan negara
melalui digantikannya sumber-sumber kekuasaan yang sah –
dari pengaruh personal atau kelompok kepada supermasi
hukum, dari kekuasaan eksekutif kepada peradilan, dan

P a g e | 26

(dalam bebrapa hal) dari doktrin politik lokal kepada nilai- nilai
trasedental.
Tanggapan Penulis:
Bahwa, keberadaan gerakan-gerakan social dan hak asasi
manusia kehadirannya memberikan warna dalam mensikapi
permasalahan baik politik maupun hukum dan sebagai control
social terhadap tindakan penguasa dalam penegakkan dan
penerapan hukum di masyarakat. Dengan adanya lembaga dan
gerakan social sebagaimana tersebut paling tidak penguasa dan
para

penegak

hukum

lebih

hati-hati

dan

tidak

gampang

melakukan tindakan sewenang-wenang di luar prosedural.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24