Pengaruh Sosialisasi Dan Konseling Tentang Infeksi Menular Seksual (Ims) Hiv Aids Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Waria Di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2015
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Waria
Waria merupakan kependekan dari wanita pria, atau yang lebih lazim dikenal
banci alias bencong. Waria adalah pria yang jiwa dan tingkah lakunya seperti wanita.
Menurut Salviana (2005), mengatakan bahwa transeksual adalah gejala merasa
memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Waria merupakan
seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna namun secara
psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis. Waria terkadang
dipandang sama dengan transvestisme dan juga hooseksualisme.
Pengertian yang lebih sederhana dikemukakan oleh Devault & Lyarber
(2005), transseksual adalah individu yang identitas gender dan anatomi seksualnya
tidak cocok. Transeksual merupakan keinginan untuk hidup dan diterima sebagai
anggota kelompok lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak
sesuai dengan jenis kelamin anatominya, dan menginginkan untuk membedah jenis
kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan mungkin dengan
jenis kelamin.Pendapat lain mengenai waria adalah kecenderungan seseorang yang
tertarik dan mencintai sesama jenis, dan individu-individu yang ikut serta dalam
sebuah komunitas khusus yang para anggotanya memahami bahwa jenis kelamin
sendiri itulah yang merupakan objek seksual yang paling menggairahkan
(Koeswinarno, 2005).
Transisi Waria dan gay merupakan salah satu kelompok tinggi risiko tinggi
(risti) untuk tertular IMS dan HIV/AIDS. Dari pengalaman pendamping waria dan
gay diketahui bahwa sebagian besar waria diKota Medan bekerja sebagai pekerja
seks. Aktifitas seks mereka umumnya adalah anal seks dan oral seks. Seks anal atau
melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus, jika
pasangan seks terkena IMS atau HIV maka akan lebih mudah dittularkan.tingkat
penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya dengan informasi
tetntang penularan IMS dan HIV/AIDS (Nadia, 2005).
Dari urian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita pria/waria (transeksual)
adalah suatu gangguan pada diri seseorang dimana seseorang tersebut merasa tidak
nyaman atau tidak puas dengan keadaan jenis kelaminnya, sehingga untuk mencapai
suatu kepuasan, penderita melakukan perubahan sesuai dengan yang dia inginkan
(pria-wanita) baik dalam bentuk perilaku maupun secara fisik (Nadia, 2005).
2.1.1
Jenis Waria
Kemala Atmojo (Nadia, 2005) menyebutkan jenis-jenis waria sebagai berikut:
1.
Transsexual yang aseksual, yaitu seorang transsexual yang tidak berhasrat
atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.
2.
Transsexual
homoseksual,
yaitu
seorang transsexual
yang memiliki
kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke
tahap transsexual murni.
3.
Transsexual yang heteroseksual, yaitu seorang transsexual yang pernah
menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya. Misalnya pernah menikah.
2.1.2
Ciri-ciri Waria
Waria dianggap memiliki gangguan identitas jender, tarseksual memiliki
karakteristik adalah : (Masli, 2003)
1.
Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan
harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia,
atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom.
2.
Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi
seksualnya.
3.
Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan
untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang
diinginkan.
2.1.3
Faktor-faktor Pembentuk Diri Waria
Menurut Nadia (2005), menyatakan bahwa pembentukan perilaku individu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.
Faktor biologis
Kelainan pada diri individu yang disebabkan adanya pengaruh hormone
maupun genetik.
2.
Faktor psikologis
Motivasi yang muncul dari dalam individu untuk melakukan suatu perilaku
tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu.
3.
Faktor sosiologis
Pengaruh lingkungan yang membawa dampak pada perubahan tingkah laku.
2.2 HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam
family lentivirus. Dua jenis HIV yang secara genetiknya berbeda tetapi sama dari
antigennya berhubungan yaitu HIV-1 dan HIV-2 diisolasi dari penderita AIDS. HIV1 lebih banyak dijumpai pada penderita AIDS di Amerika Serikat, Eropa dan Afrika
Tengah, manakala HIV-2 lebih banyak dijumpai di Afrika Barat, HIV-1 lebih mudah
ditransmisi berbanding HIV-2. Periode antara infeksi pertama kali dengan timbul
gejala penyakit adalah lebih lama dan penyakitnya lebih ringan pada infeksi HIV-2
(WHO, 2008).
HIV adalah virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat
berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sel darah putih sangat diperlukan untuk system
kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit,
tubuh kita lemah dan tidak berupaya melawan jangkitan penyakit dan akibatnya kita
dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa. Manusia yang
terkena virus HIV, tidak langsung menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan
waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk berubah
menjadi AIDS yang mematikan (WHO, 2008).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Acquired artinya di dapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan. Immuno berarti
sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan, sedangkan Syndrome adalah
kumpulan gejala. AIDS adalah sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan
kekebalan tubuh akibat kerusakan system imun yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Penularan virus HIV dapat terjadi melalui darah, air mani, hubungan seksual, atau
cairan vagina. Namun virus ini tidak dapat menular lewat kontak fisik biasa, seperti
berpelukan, berciuman, atau berjabat tangan dengan seseorang yang terinfeksi HIV
atau AIDS (Nursalam, 2011).
2.2.1
Etiologi HIV/AIDS
Virus HIV ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute
Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala
limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan virus HTLIII (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian
lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil
pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO
memberikan nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang
dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara
genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap kurang patogen dibandingkan dengan
HIV-1 (Duarsa, 2011).
HIV adalah retrovirus yang mampu mengkode enzim khusus, reverse
transcriptase, yang memungkinkan DNA ditranskripsikan dari RNA. Sehingga HIV
dapat menggandakan gen mereka sendiri, sebagai DNA, di dalam sel inang (hospes)
seperti limfosit helper CD4. DNA virus bergabung dengan gen limfosit dan hal ini
adalah dasar dari infeksi kronis HIV. Penggabungan gen virus HIV pada sel inang ini
merupakan rintangan
berat untuk pengembangan
antivirus terhadap HIV.
Bervariasinya gen HIV dan kegagalan manusia (sebagai hospes) untuk mengeluarkan
antibodi terhadap virus menyebabkan sulitnya pengembangan vaksinasi yang efektif
terhadap HIV (Murtiastutik, 2008).
AIDS disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yaitu sejenis
retro virus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada sel-sel yang
ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia atau sel-sel darah
putih (limfosit) virusnya akan memecah diri lalu merusak seldarah putih lainnya.
Virus AIDS menyerang sel darah putih khusus yang dinamakan T-lymthocytes,
perlawanan tubuh dari serangan infeksi. Ketika terjadi kerusakan T-cell yang
signifikan, seseorang tidak dapat melawan sebagian besar kuman yang masuk ke
dalam tubuh. Akibatnya tubuh mulai ditulari infeksi yang luar biasa dan menetap
pada seseorang dan amat sulitdiatasi meskipun dengan obat-obatan dan perawatan
medis yang terbaik. Orang yang terserang AIDS tidak memiliki sistem kekebalan
yang normal.Virus AIDS menyerang sel T di dalam darah, meyebabkan sistem
kekebalantidak efektif dalam pertahanan melawan kuman-kuman yang menyerang.
2.2.2
Penularan HIV/AIDS
Sebelumnya virus AIDS tidak mudah menular seperti virus influenza. Kita
tidak perlu mengucilkan atau menjauhi penderita AIDS, karena AIDS tidak akan
menular dengan cara-cara seperti : hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak
mengdakan hubungan seksual), bersenggolan atau berjabat tangan dengan penderita,
bersentuhan dengan pakaian dan lain-lain barang bekas penderita AIDS, makan dan
minum, gigitan nyamuk dan serangga lain, sama-sama berenang dikolam renang.
Sedangkan yang dapat menyebabkan penularan AIDS adalah : melakukan
hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV, transfusi darah yang
mengandung virus HIV, melalui alat suntik, akupuntur, tato, dan alat tindik yang
sudah dipakai orang yang mengidap virus HIV/AIDS, hubungan prenatal yaitu
pemindahan virus dari ibu hamil yang mengidap virus HIV/AIDS kepada janin yang
di kandungnya.
1.
HIV/AIDS di Tubuh Manusia
HIV/AIDS masuk kedalam tubuh manusia melalui aliran darah penderita.
HIV/AIDS sangat mudah mati di luar tubuh manusia (dengan air panas, sabun dan
bahan-bahan pencuci yang lain), karena itu HIV/AIDS tidak dapat menular melalui
udara. HIV/AIDS dalam tubuh manusia bersarang disalah satu sel darah putih, yaitu
bernama Limfosit yang berada dicairan tubuh. HIV/AIDS awalnya mel;akukan
penempelan dengan CD-4 reseptor yang ada dipermukaan Limfosit, lalu virus
memasukkan DNA virusnya kedalam inti selnya Limfosit. Virus ini juga dapat
ditemukan di dalam sel manusia maesopag dan sel glia jaringan otak.
2.
Masa Inkubasi HIV/AIDS
Masa inkubasi adalah masa dimana setelah terjadinya penularan sampai
dengan timbulnya gejala penyakit. Ketika mulai masa inkubasi, jumlah sel limfosit
berkurang sampai setengahnya. Dalam kondisi ini, kekebalan masih berfungsi dan
dapat bertahan 9-10 tahun. Tapi setelah 9-10 tahun kekebalan tubuh menjadi tidak
berfungsi lagi dan penderita menjadi penderita AIDS. Gejalanya berupa demam,
keringat dingin dimalam hari, badan lesu, nafsu makan menurun, badan kurus, mudah
terserang flu, mencret, bercak-bercak putih dan timbul penyakit paru-paru.
3.
Cara Penularan HIV/AIDS
a.
Hubungan Kelamin
Ini disebabkan karena penularan virus HIV terjadi melalui cairan sperma
dan cairan vagina. WHO memperkirakan 70% pengidap AIDS tertular
melalui hubungan kelamin.
b.
Transfusi Darah
Ketika darah yang terinfeksi HIV masuk kedarah orang yang sehat, maka
terjadilah penularan virus HIV.
c.
Alat-alat Medis
Alat-alat medis seperti jarum suntik, baik untuk pengobatan imunisasi,
menindik, tato, akupuntur, atau yang digunakan untuk pecandu obat bius
sangat rawan sebagai media penularan virus HIV.
d.
Ibu Hamil
Apabila ibu hamil tertular virus HIV, maka bayi dalam kandungan
berpotensi tertular virus HIV juga. Dan juga akan menularkan virus HIV
melalui air susu ibu.
e.
Cairan Tubuh
Cairan tubuh seperti cairan sperma, cairan vagina, darah, dan ASI
menjadi media penularan virus HIV/AIDS
f.
Donor Organ (Transplantasi)
Transplantasi adalah pemindahan jaringan organ tubuh, seperti ginjal, hati
dan lain-lain. Ketika organ tubuh dari orang terkena virus HIV di berikan
kepada orang yang bersangkutan, maka orang yang menerimanya pun
terkena virus HIV.
2.2.3
Risiko HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang mempunyai resiko kematian yang
tinggi. HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan jenis virus yang
menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS merupakan kumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya sistem kekebalan tubuh seseorang. Penyakit ini menyerang
sistem kekebalan tubuh sehingga penderita tidak mempunyai kekebalan terhadap
berbagai penyakit (Mariastutik, 2008).
Seseorang yang telah mengidap virus AIDS akan menjadi pembawa dan
penular AIDS selama hidupnya, walaupun tidak merasa sakit dan tampak sehat. AIDS
juga dikatakan penyakit yang berbahaya karena sampai saat ini belum ada obat atau
vaksin yang bisa mencegah virus AIDS. Selain itu orang yang terinfeksi AIDS akan
merasakan tekanan mental dan penderitaan batin karena sebagian besar orang
disekitarnya akan mengucilkan atau menjauhinya. Dan penderita itu akan bertambah
lagi akibat tingginya biaya pengobatan. Bahaya AIDS yang lain adalah menurunnya
system kekebalan tubuh, sehingga serangan penyakit yang biasanya tidak
berbahayapun akan menyebabkan sakit atau bahkan meninggal.
2.2.4
Gejala Klinis HIV/AIDS
Orang yang sudah terinfeksi HIV biasanya sulit dibedakan dengan orang yang
sehat di masyarakat. Mereka masih dapat melakukan aktifitas, badan terlihat sehat
dan masih dapat bekerja dengan baik. Untuk sampai pada fase AIDS seseorang yang
telah terinfeksi HIV akan melawati beberapa fase, yaitu:
1.
Fase pertama : pada awal terinfeksi ciri-cirinya belum dapat dilihat meskipun
yang bersangkutan melakukan test darah, karena pada fase ini system
antibody terhadap HIV belum terbentuk, tetapi yang bersangkutan sudah
dapat menular orang lain. Masa ini disebut dengan window periode biasanya
antara 1-6 bulan.
2.
Fase kedua : fase ini berlangsung lebih lama sekitar 2-10 tahun setelah
terinfeksi HIV. Pada fase ini
orang sudah HIV positif dan belum
menampakkan gejala sakit, tetapi sudah dapat menularkan orang lain.
3.
Fase ketiga : pada fase ketiga muncul gejala-gejala awal penyakit yang
disebut dengan penyakit yang terkait dengan HIV. Tahap ini belum dapat
disebut dengan gejala AIDS. Gejala-gejala yang berkaitan dengan infeksi HIV
antara lain: keringat berlebihan waktu malam hari, diare terus menerus,
pembengkakan kelenjar getah bening, flu tidak sembuh-semmbuh, nafsu
makan berkurang dan lemah, berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga
kekebalan tubuh mulai berkurang.
4.
Fase keempat : fase keempat sudah masuk pada tahap AIDS. AIDS baru dapat
terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah selT nya (dibawah 2001 mikroliter) dan timbul penyakit tertentu yang disebut
dengan infeksi oportunistik, yaitu: kanker khususnya pada kulit yang disebut
Sarcoma Kaposi, infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan
kesulitan bernafas (TBC umumnya diderita oleh pengidap AIDS), infeksi usus
yang menyebabkan diare parah selama berminggu-minggu, infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental, sakit kepala dan sariawan (BKKBN, 2009).
Menurut para ahli medis pada fase ini perlu pemeriksaan darah kembali dan
diukur persentase sel darah putih yang belum terbunuh virus HIV. Sebenarnya
seseorang yang terinfeksi HIV memasuki fase AIDS sangat tergantung pada gizi yang
dimakan, obat-obatan yang membantu proses pembentukan pertahanan tubuh. Selama
orang yang terinfeksi HIV akan meninggal karena penyakit-penyakit yang menyerang
tubuh sedangkan system kekebalan tubuh lemah sekali.
2.2.5
Dampak HIV/AIDS
Pola penularan telah menunjukkan bahwa epidemi telah masuk ke dalam
masyarakat yang selama ini merasa aman terhadap penularan HIV/AIDS. Pola
penularan yang sangat tinggi melalui hubungan seks terutama hubungan seks
heteroseksual dan penggunaan jarum suntik yang tidak streril di kelompok pengguna
Napza suntik, akan berdampak kepada penyebaran masyarakat. Penularan HIV/AIDS
melalui penggunaan jarum suntik yang bergantian pada kelompok penasunan
mempunyai tingkat kemungkinan tinggi terjadinya penularan per kejadian
(Depkes, 2006).
Penyakit AIDS belum ada obatnya. Perawatan HIV/AIDS menambah beban
biaya pelayanan kesehatan. Oleh karena tingkat penyebaranya cepat, tentu semakin
mempercepat penambahan hunian rumah sakit. Karena biaya pengobatanya mahal
dan besar tentu dapat mempengaruhi anggaran kesehatan program kesehatan ibu dan
anak (KIA), gizi anak, pemberantasan penyakit menular, penyuluhan kesehatan,
imunisasi, sanitasi lingkungan, dan sebagainya. Padahal semua program ini amat
penting dan berperanbesar untuk memajukan sumber daya manusia masa depan
(Depkes, 2006).
2.2.6
Pemeriksaan Laboratorium
Uji khas yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV/AIDS
adalah:
1.
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), Bereaksi terhadap adanya
antibodi dalam serum yang memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila
terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positifpalsu dapat
menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang
positif diulang, dan apabila keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih
spesifik dengan Western blot
2.
Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil
kemungkinannya memberi hasil positif-palsu atau negatif palsu (Martuastik,
2008).
2.2.7
Pengobatan Pasien HIV/AIDS
Sampai sekarang belum ada obat yang benar-benar dapat menyembuhkan
penderita HIV/AIDS. Obat yang ada sekarang hanya sebagai obat penambah daya
tahan tubuh atau memperpanjang umur penderita. Berikut ini obat-obat yang dikenal
didunia kedokteran yang dapat memperpanjang umur sampai 2 tahun :
1.
AZT (Azidothymidine)
Obat ini berfungsi penahan perkembangan virus, namun mengandung efek
samping yaitu kerusakan tulang sum-sum dan anemia berat.
2.
DDI (Diseoxycitidine)
Cara kerja obat ini tidak jauh berbeda dengan AZT, tapi telah diuji cobakan
tidak menimbulkan efek samping.
3.
DDC (Zalcitabine)
Seperti AZT dan DDI, obat ini juga dapat menahan perkembangan virus. Lalu
para ahli Jepang menemukan obat-obatan HIV/AIDS sebagai berikut :
a. M.HDA (Meiji Humin Deritivize Al-Bumin)
Obat ini gabungan Carbadimine Humin dan Succiny Lated Human AlBumin yang terkandung dalam darah. Obat ini kabarnya dapat
menyingkirkan sel-sel limfosit yang digerogoti oleh HIV dengan tidak
membahayakan limfosit normal.
b. Tachyplesin
Adalah cairan kimia yang diambil dari sejenis kepiting Tachyplens
tridentotus yang dinamakan T-220. Ramuan ini telah diuji cobakan pada
tikus dengan hasil yang memuaskan, namun masih mengandung efek
samping seperti AZT.
Para ahli Inggris juga menemukan ramuan yang digunakan untuk mengobati
penderita HIV/AIDS, yaitu So 221 dan GLO 223, kedua obat ini masih menimbulkan
efek samping seperti AZT, namun tidak terlalu berbahaya. Masih ada juga obat-obat
tradisional dari Cina, yaitu Milingwang yang diuji cobakan pada 158 pasien AIDS
yang hasilnya paling tidak bisa memperpanjang hidup.
2.2.8
Pencegahan Penularan HIV/AIDS
Hindarkan hubungan seksual diluar nikah, usahakan hanya berhubungan
dengan satu orang pasangan seksual, tidak berhubungan dengan orang lain,
pergunakan kondom bagi resiko tinggi apabila melakukan hubungan seksual, ibu
yang darahnya telah diperiksa dan ternyata mengandung virus HIV hendaknya jangan
hamil karena akan memindahkan virus HIV/AIDS kepada janinnya, kelompok resiko
tinggi tidak dianjurkan menjadi donor darah, penggunaan jarum suntik dan alat
lainnya (akupuntur, tato, tindik) harus dijamin ke sterilannya.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam usaha untuk
mencegah penularan HIV/AIDS yaitu misalnya: memberikan penyuluhan-penyuluhan
atau informasi kepada seluruh masyarakat tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan HIV/AIDS, yaitu melalui seminar-seminar terbuka, melalui penyebaran
brosur atau poster-poster yang berhubungan dengan HIV/AIDS, ataupun melalui
iklan di berbagai media massa baik media cetak maupun media elektronik,
penyuluhan atau informasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan kepada semua lapisan masyarakat agar dapat mengetahui bahaya
AIDS sehingga berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa
menimbulkan terjadinya virus HIV/AIDS.
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan istilah
“ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV, terutama
di Uganda dan beberapa Negara Afrika lain. Prinsip “ABC” ini telah dipakai dan
dibakukan secara international, sebagai cara paling efektif mencegah HIV lewat
hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah:
“A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang
dengan pasangan (Abstinesia)
“B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau
hubungan jangka panjang tetap (Be faithful)
“C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja seks
atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom)
Untuk pencegahan penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu :
“D” : Drug, “say no to drug” atau katakan tidak pada napza atau narkoba.
“E” : Equipment “No sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian.
Dalam kasus prostitusi maka upaya yang paling dimungkinkan untuk
mencegah penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS adalah dengan
mempraktekkan seks yang aman (protective sex) yaitu dengan selalu menggunakan
kondom setiap melakukan hubungan seks dengan siapapun.
Pencegahan HIV/AIDS berdasarkan PubMed Health (2012) dapat dilakukan
melalui upaya sebagai berikut:
1.
Pencegahan dalam hubungan seksual dapat dilakukan dengan mengadakan
hubungan seksual dengan jumlah pasangan yang terbatas, memilih pasangan
seksual yang mempunyai risiko rendah terhadap infeksi HIV, dan
mempraktikkan seks yang aman yakni menggunakan kondom secara tepat dan
konsisten selama melakukan hubungan seksual.
2.
Pencegahan penularan melalui darah dapat dilakukan dengan menghindari
transfusi darah yang tidak jelas asalnya, sebaiknya dilakukan skrining setiap
donor darah yang akan menyumbangkan darahnya dengan memeriksa darah
tersebut terhadap antibodi HIV. Selain itu, hindari pemakaian jarum bersama
seperti jarum suntik, tindik, tato atau alat lain yang dapat melukai kulit.
Penggunaan alat suntik dalam sistem pelayanan kesehatan juga perlu
mendapatkan pengawasan ketat agar setiap alat suntik dan alat lainnya yang
dipergunakan selalu dalam keadaan steril. Petugas kesehatan yang merawat
penderita AIDS hendaknya mengikuti universal precaution seperti memakai
pakaian pelindung, masker, dan kacamata. Semua petugas kesehatan
diharapkan berhati-hati dan waspada untuk mencegah terjadinya kontak
langsung dengan darah penderita.
3.
Pencegahan penularan dari ibu ke anak dapat dilakukan dengan cara antara
lain sewaktu hamil dengan mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV), dan
pada saat menyusui menghindari pemberian ASI yakni dengan memberikan
susu formula.
2.3 Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses belajar mengajar mengenai pola-pola tindakan
interaksi dalam masyarakat sesuai dengan peran dan status sosial yang dijalankan
masing-masing. Dengan proses itu, individu akan mengetahui dan menjalankan hak
dan kewajibannya berdasarkan peran status masing-masing dan kebudayaan suatu
masyarakat.
Melalui proses belajar semacam ini, seseorang juga mempelajari kebiasaankebiasaan, norma-norma, perilaku, peran, dan semua aturan yang berlaku di
masyarakat. Proses mempelajari unsur-unsur budaya suatu masyarakat inilah yang
disebut dengan sosialisasi.
2.3.1
Macam-macam Sosialisasi
Proses sosialisasi berlangsung sepanjang hayat manusia. Secara garis besar
sosialisasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi
skunder.
1.
Sosialisasi Primer
Sosialisasi primer merupakan proses sosialisasi yang pertama dan utama yang
terjadi pada seseorang, yakni sejak dilahirkan, berkenalan dan sekaligus
belajar bermasyarakat sehingga dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan
masyarakat tersebut. Proses sosialisasi ini dimulai dari sosialisasi di
lingkungan keluarga.
2.
Sosialisasi Skunder
Setelah menjalani sosialisasi primer, individu dianggap cukup mempunyai
bekal untuk bergaul di lingkungan yang lebih luas. Individu kemudian
berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkungan keluarganya. Individu
tersebut bergaul dengan teman-teman sebaya atau orang-orang dewasa lain.
Dari pergaulan tersebut individu menyerap hal-hal baru yang ada di
masyarakat. Sosialisasi tahap lanjut yang memperkenalkan individu tersebut
ke wilayah baru dari dunia masyarakat disebut sosialisasi sekunder.
2.3.2
Tujuan Sosialisasi
Tujuan sosialisasi sebagai berikut.
1.
Memberikan keterampilan dan pengetahuan kepada seseorang untuk dapat
hidup bermasyarakat.
2.
Mengembangkan kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi secara
efektif dan efisien.
3.
Membuat seseorang mampu mengembalikan fungsi-fungsi melalui latihan
introspeksi yang tepat.
4.
Menanamkan nilai-nilai dan kepercayaan kepada seseorang yang mempunyai
tugas pokok dalam masyarakat.
2.4 Konseling
Secara etiomologi, konseling berasal dari bahasa Latin “Consilium” artinya
dengan atau bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami sedangkan
dalam bahasa Angglo Saxon istilah konseling berasal dari “Sellan” yang berarti
menyerahkan atau menyampaikan. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, konseling
berarti pemberian bimbingan oleh orang yang ahli kepada seseorang.
Konseling adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dengan
panduan keterampilan interpersonal, bertujuan untuk membantu seseorang mengenali
kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar atau
upaya untuk mengatasi masalah tersebut (Sulastri, 2009).
Konseling adalah proses pemberian informasi obyektif dan lengkap, dilakukan
secara sistematik dengan paduan ketrampilan komunikasi interpersonal, teknik
bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik yang bertujuan untuk membantu
seseorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan
menentukan jalan keluar/upaya untuk mengatasi masalah tersebut (McLeod, 2006).
Konseling kesehatan reproduksi adalah proses pemberian bantuan dari kepada
seorang individu atau sekelompok orang yang memiliki masalah kesehatan
reproduksi. Isi percakapan konseling disesuaikan dengan umur dan permasalahan,
perkembangan fisik dan mentalnya, misalnya masalah pacaran, perilaku seksual,
penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia, 2009).
Menurut BKKBN (2009) konseling kesehatan reproduksi merupakan suatu
bentuk komunikasi dua arah yang dilakukan antara dua pihak. Pihak pertama adalah
konselor, membantu pihak lainnya yaitu klien dalam memecahkan masalah kesehatan
reproduksi yang dihadapinya. Konseling kesehatan reproduksi berorientasi pada klien
atau yang lebih dikenal dengan client centered. Hal ini menekankan peran klien
sendiri dalam proses konseling sampai pengambilan keputusan. Teori ini berpijak
pada keyakinan dasar martabat manusia bahwa bila klien mengalami masalah maka
yang dapat menyelesaikan masalah tersebut adalah inidividu tersebut (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia, 2009).
2.4.1
Fungsi Konseling
Beberapa fungsi konseling, yaitu :
1.
Konseling dengan fungsi pencegahan merupakan upaya mencegah timbulnya
masalah kesehatan.
2.
Konseling dengan fungsi penyesuaian dalam hal ini merupakan upaya untuk
membantu klien mengalami perubahan biologis, psikologis, social, cultural,
dan lingku ngan yang berkaitan dengan kesehatan.
3.
Konseling dengan fungsi perbaikan dilaksanakan ketika terjadi penyimpangan
perilaku klien atau pelayanan kesehatan dan lingkungan yang menyebabkan
terjadi masalah kesehatan sehingga diperlukan upaya perbaikan dengan
konseling.
4.
Konseling dengan fungsi pengembangan ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan serta peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dengan upaya peningkatan peran serta masyarakat.
2.4.2
Teknik Konseling
Adapun teknik konseling, sebagai berikut :
1.
Teknik/ Pendekatan Authoritarian atau Directive dalam proses wawancara
konseling berpusat pada konselor.
2.
Teknik/ Pendekatan Non-Directive
Dalam pendekatan ini klien diberi kesempatan untuk memimpin wawancara
dan memikul sebagian besar dan tanggung jawab atas pemecahan masalahnya
sendiri.
3.
Teknik/ Pendekatan Edetic
Dalam pendekatan edetic, konselor menggunakan cara yang dianggap baik
atau tepat, disesuaikan dengan konseli dan masalahnya (Uripni, 2002).
2.4.3
Tujuan Konseling
Tujuan Konseling Kesehatan Reproduksi ialah memberikan informasi tentang
kesehatan reproduksi secara benar dan proposional. Konseling kesehatan reproduksi
juga membantu klien memperoleh identitas dirinya dalam pilihan perilaku dan
orientasi seks, meningkatkan pengetahuan seksualitas yang benar serta mengurangi
kecemasan yang dialami klien berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksnya.
Selain itu, konseling kesehatan reproduksi menghasilkan perubahan kebiasaan dan
perilaku yang bertanggung jawab dan mengajarkan keterampilan membuat keputusan
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 2009).
2.4.4
Prinsip Dasar Konseling Kesehatan Reproduksi
Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (2009) prinsip dasar
konseling kesehatan reproduksi meliputi:
1.
Pemahaman
bahwa
mendapatkan
mendapatkan
informasi
kesehatan
reproduksi adalah kebutuhan dan hak klien.
2.
Informasi kesehatan reproduksi yang diberikan lengkap, benar, jujur, dan
bertanggung jawab.
3.
Mendampingi pengambilan keputusan berdasarkan konsekuensi atas pilihan
yang diambil.
4.
Empati dan tidak menghakimi.
2.4.5
Proses Konseling Kesehatan Reproduksi
Berikut ini adalah tahapan proses pelaksanaan konseling kesehatan reproduksi
dengan klien individu maupun kelompok (Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia, 2009):
1.
Pembukaan, perkenalan antara konselor dan klien.
2.
Rapport atau pendekatan kepada klien untuk mencairkan suasana sehingga
klien merasa nyaman dalam mengemukakan masalah.
3.
Penggalian masalah, meliputi latar belakang, situasi konflik, nilai-nilai yang
dianut, pandangan terhadap konflik, dan usaha pemecahan masalah yang
sudah maupun sedang dipertimbangkan untuk dilakukan.
4.
Mendiskusikan alternatif solusi, yang diusahakan muncul dari klien dengan
bantuan konselor, memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi
sesuai dengan kebutuhan klien.
5.
Mengajak klien memilih alternatif solusi yang terbaik.
6.
Penutup, merangkum hasil diskusi dengan klien, mengajak klien menentukan
rencana selanjutnya dan memberikan dukungan bahwa klien mampu
mengatasi masalahnya.
2.5 Pengetahuan dan Sikap
2.5.1
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengalaman manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Penglihatan atau kognitif merupakan dominan
yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang
dalam melakukan penginderaan dalam suatu rangsang tertentu. Pengetahuan kognitif
merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(overt behavior). Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seseorang terhadap suatu
rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan 6 tingkatan, yakni:
1.
Tahu (Know)
Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap
suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengalaman yang paling
rendah.
2.
Memahami (Comprehension)
Merupakan suatu kemampuan nutuk menjelaskan secara benar obyek yang
diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
meramalkan,
dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3.
Aplikasi (Application)
Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan
kondisi yang sebenarnya.
4.
Analisis (Analysis)
Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponenkomponen, dan masuk ke dalam struktur organisasi tersebut.
5.
Sintesis (Synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6.
Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek
(Notoatmodjo, 2012).
2.5.2
Sikap
Sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran, dan
predisposisi tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya
(Azwar, 2007). Menurut Notoatmodjo (2012) sikap merupakan reaksi atau respon
seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan
menurut Sunaryo (2004) sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa
respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu.
2.5.2.1 Komponen Pokok Sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2012) menjelaskan
bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.
1.
Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2.
Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3.
Kencendrungan untuk bertindak
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh(total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan
emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2012). Hal yang sejalan
dikemukakan oleh Mann (1969) dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa komponen
sikap terdiri dari:
a.
Komponen Kognitif
Komponen ini berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang
berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan datang dari apa
yang telah diliat atau apa yang telah diketahui. Berdasarkan hal tersebut maka
terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu
objek. Jika sebuah kepercayaan sudah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar
pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari suatu objek
tertentu. Dengan demikian, adanya interaksi dengan pengalaman di masa akan
datang serta prediksi mengenai pengalaman tersebut akan lebih mempunyai
arti dan keteraturan. Kepercayaan menyederhanakan dan mengatur apa yang
dilihat dan ditemui. Kepercayaan dapat terus berkembang dan pengalaman
pribadi, pengalaman orang lain dan kebutuhan emosional merupakan
determinan
utama
dalam
terbentuknya
kepercayaan.
Kadang-kadang
kepercayaan terbentuk justru dikarenakan kurang atau tidak adanya informasi
yang benar mengenai objek yang dihadapi.
b.
Komponen Afektif
Komponen ini menyangkut masalah emosional subjektif seseorang
terhadap suatu objek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan
perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi
seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. Pada
umumnya reaksi emosional yang muncul merupakan komponen afektif yang
banyak dipengaruhi kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai sesuatu
yang benar dan berlaku bagi objek termaksud.
c.
Komponen Perilaku
Komponen ini dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku
atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan
dengan objek sikap yang dihadapinya. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan
berperilaku secara konsisten selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang
membentuk sikap individu. Kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa
komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang tidak hanya dapat dilihat
secara langsung tetapi meliputi bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau
perkataan yang diucapkan seseorang.
2.5.2.2 Berbagai Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo (2012), sikap memiliki berbagai tingkatan yakni:
1.
Menerima (receiving), diartikan bahwa orang atau subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek.
2.
Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap ini,
karena dengan suatu usaha untuk menjawab suatu pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan terlepas pekerjaan itu benar atau salah
adalah bahwa orang menerima ide tersebut.
3.
Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ini.
4.
Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling
tinggi dalam tingkatan sikap.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu objek.
Mar’at (2005) menggambarkan terjadinya sikap dan reaksi tingkah laku
manusia melalui suatu rangkaian proses tertentu, seperti terlihat pada skema berikut:
Rangsangan
Stimulus
Proses
Stimulus
Reaksi
Tingkah Laku
Terbuka
Sikap
(Tertutup)
Gambar 2.1. Proses Terjadinya Sikap dan Reaksi Tingkah Laku
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa dalam diri individu
sebenarnya terdapat suatu dorongan yang didasarkan pada kebutuhan, perasaan,
perhatian dan kemampuan
untuk mengambil suatu keputusan pada suatu saat
terhadap suatu perubahan atau stimulus. Proses dalam tahapan ini sesungguhnya
masih bersifat tertutup, tetapi sudah merupakan keadaan yang disebut sikap. Bila
terus menerus diarahkan, maka pada suatu saat akan meningkatkan menjadi lebih
terbuka dan berwujud pada suatu reaksi yang berupa perilaku. Dari bahan-bahan di
atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu.
2.6 Landasan Teori
Menurut J. Guilbert seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2012), faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar adalah sebagai berikut:
1.
Faktor materi mencakup bahan pelajaran yang digunakan dalam proses
belajar. Materi untuk pengetahuan, sikap dan keterampilan substansinya akan
berbeda.
2.
Faktor lingkungan, mencakup lingkungan fisik (suhu, cuaca, ventilasi,
penerangan, kebisingan, dan kondisi tempat belajar), dan lingkungan sosial
(manusia dengan segala interaksi dan statusnya).
3.
Faktor instrumental, terdiri atas perangkat keras atau hard ware (perlengkapan
belajar dan alat peraga), dan perangkat lunak atau software kurikulum,
pengajar dan metode belajar.
4.
Faktor individu atau subjek belajar, yaitu kondisi individual subjek belajar
yang terdiri atas kondisi fisiologis (gizi dan pancaindra terutama pendengaran
dan penglihatan), dan kondisi psikologis (inteligensi, pengamatan, daya
tangkap, ingatan, motivasi, bakat, sikap, daya kreativitas, dan persepsi).
,
METODE
Input (subjek
Belajar)
Fasilitator
Alat Bantu Belajar
Mengajar / Media
Proses Belajar
Output (Hasil Belajar)
Bahan Belajar
Gambar 2.2 Proses Belajar dan Faktor yang Memengaruhinya
2.7 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori
yang telah disampaikan diatas yang menjadi
fokus kerangka konsep dalam penelitian ini adalah salah satu bagian dari faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar yaitu metode. Penelitian ini menggunakan
macam-macam metode pembelajaran pada kelompok sasaran yang berbeda yang
kemudian diukur hasil belajar atau outputnya, dimana semua faktor lain yang
mempengaruhi hasil belajar di setting homogen. Adapun kerangka konsep penelitian
ini sebagai berikut:
INPUT
Pengetahuan dan
Sikap Waria
tentang IMS
HIV/AIDS
PROSES
OUTPUT
Pengetahuan
dan Sikap
Waria tentang
IMS
HIV/AIDS
Kelompok Sosialisasi
dan Konseling
Pre Test
Intervensi
Post Test
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Waria
Waria merupakan kependekan dari wanita pria, atau yang lebih lazim dikenal
banci alias bencong. Waria adalah pria yang jiwa dan tingkah lakunya seperti wanita.
Menurut Salviana (2005), mengatakan bahwa transeksual adalah gejala merasa
memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Waria merupakan
seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna namun secara
psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis. Waria terkadang
dipandang sama dengan transvestisme dan juga hooseksualisme.
Pengertian yang lebih sederhana dikemukakan oleh Devault & Lyarber
(2005), transseksual adalah individu yang identitas gender dan anatomi seksualnya
tidak cocok. Transeksual merupakan keinginan untuk hidup dan diterima sebagai
anggota kelompok lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak
sesuai dengan jenis kelamin anatominya, dan menginginkan untuk membedah jenis
kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan mungkin dengan
jenis kelamin.Pendapat lain mengenai waria adalah kecenderungan seseorang yang
tertarik dan mencintai sesama jenis, dan individu-individu yang ikut serta dalam
sebuah komunitas khusus yang para anggotanya memahami bahwa jenis kelamin
sendiri itulah yang merupakan objek seksual yang paling menggairahkan
(Koeswinarno, 2005).
Transisi Waria dan gay merupakan salah satu kelompok tinggi risiko tinggi
(risti) untuk tertular IMS dan HIV/AIDS. Dari pengalaman pendamping waria dan
gay diketahui bahwa sebagian besar waria diKota Medan bekerja sebagai pekerja
seks. Aktifitas seks mereka umumnya adalah anal seks dan oral seks. Seks anal atau
melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus, jika
pasangan seks terkena IMS atau HIV maka akan lebih mudah dittularkan.tingkat
penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya dengan informasi
tetntang penularan IMS dan HIV/AIDS (Nadia, 2005).
Dari urian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita pria/waria (transeksual)
adalah suatu gangguan pada diri seseorang dimana seseorang tersebut merasa tidak
nyaman atau tidak puas dengan keadaan jenis kelaminnya, sehingga untuk mencapai
suatu kepuasan, penderita melakukan perubahan sesuai dengan yang dia inginkan
(pria-wanita) baik dalam bentuk perilaku maupun secara fisik (Nadia, 2005).
2.1.1
Jenis Waria
Kemala Atmojo (Nadia, 2005) menyebutkan jenis-jenis waria sebagai berikut:
1.
Transsexual yang aseksual, yaitu seorang transsexual yang tidak berhasrat
atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.
2.
Transsexual
homoseksual,
yaitu
seorang transsexual
yang memiliki
kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke
tahap transsexual murni.
3.
Transsexual yang heteroseksual, yaitu seorang transsexual yang pernah
menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya. Misalnya pernah menikah.
2.1.2
Ciri-ciri Waria
Waria dianggap memiliki gangguan identitas jender, tarseksual memiliki
karakteristik adalah : (Masli, 2003)
1.
Identitas transsexual harus sudah menetap selama minimal dua tahun, dan
harus bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti skizofrenia,
atau berkaitan dengan kelainan interseks, genetik atau kromosom.
2.
Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya, biasanya disertai perasaan risih atau tidak serasi dengan anatomi
seksualnya.
3.
Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan
untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang
diinginkan.
2.1.3
Faktor-faktor Pembentuk Diri Waria
Menurut Nadia (2005), menyatakan bahwa pembentukan perilaku individu
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.
Faktor biologis
Kelainan pada diri individu yang disebabkan adanya pengaruh hormone
maupun genetik.
2.
Faktor psikologis
Motivasi yang muncul dari dalam individu untuk melakukan suatu perilaku
tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu.
3.
Faktor sosiologis
Pengaruh lingkungan yang membawa dampak pada perubahan tingkah laku.
2.2 HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam
family lentivirus. Dua jenis HIV yang secara genetiknya berbeda tetapi sama dari
antigennya berhubungan yaitu HIV-1 dan HIV-2 diisolasi dari penderita AIDS. HIV1 lebih banyak dijumpai pada penderita AIDS di Amerika Serikat, Eropa dan Afrika
Tengah, manakala HIV-2 lebih banyak dijumpai di Afrika Barat, HIV-1 lebih mudah
ditransmisi berbanding HIV-2. Periode antara infeksi pertama kali dengan timbul
gejala penyakit adalah lebih lama dan penyakitnya lebih ringan pada infeksi HIV-2
(WHO, 2008).
HIV adalah virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat
berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sel darah putih sangat diperlukan untuk system
kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit,
tubuh kita lemah dan tidak berupaya melawan jangkitan penyakit dan akibatnya kita
dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa. Manusia yang
terkena virus HIV, tidak langsung menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan
waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk berubah
menjadi AIDS yang mematikan (WHO, 2008).
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome.
Acquired artinya di dapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan. Immuno berarti
sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan, sedangkan Syndrome adalah
kumpulan gejala. AIDS adalah sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan
kekebalan tubuh akibat kerusakan system imun yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Penularan virus HIV dapat terjadi melalui darah, air mani, hubungan seksual, atau
cairan vagina. Namun virus ini tidak dapat menular lewat kontak fisik biasa, seperti
berpelukan, berciuman, atau berjabat tangan dengan seseorang yang terinfeksi HIV
atau AIDS (Nursalam, 2011).
2.2.1
Etiologi HIV/AIDS
Virus HIV ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute
Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala
limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan virus HTLIII (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian
lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil
pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO
memberikan nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang
dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara
genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap kurang patogen dibandingkan dengan
HIV-1 (Duarsa, 2011).
HIV adalah retrovirus yang mampu mengkode enzim khusus, reverse
transcriptase, yang memungkinkan DNA ditranskripsikan dari RNA. Sehingga HIV
dapat menggandakan gen mereka sendiri, sebagai DNA, di dalam sel inang (hospes)
seperti limfosit helper CD4. DNA virus bergabung dengan gen limfosit dan hal ini
adalah dasar dari infeksi kronis HIV. Penggabungan gen virus HIV pada sel inang ini
merupakan rintangan
berat untuk pengembangan
antivirus terhadap HIV.
Bervariasinya gen HIV dan kegagalan manusia (sebagai hospes) untuk mengeluarkan
antibodi terhadap virus menyebabkan sulitnya pengembangan vaksinasi yang efektif
terhadap HIV (Murtiastutik, 2008).
AIDS disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yaitu sejenis
retro virus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada sel-sel yang
ditumpanginya) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia atau sel-sel darah
putih (limfosit) virusnya akan memecah diri lalu merusak seldarah putih lainnya.
Virus AIDS menyerang sel darah putih khusus yang dinamakan T-lymthocytes,
perlawanan tubuh dari serangan infeksi. Ketika terjadi kerusakan T-cell yang
signifikan, seseorang tidak dapat melawan sebagian besar kuman yang masuk ke
dalam tubuh. Akibatnya tubuh mulai ditulari infeksi yang luar biasa dan menetap
pada seseorang dan amat sulitdiatasi meskipun dengan obat-obatan dan perawatan
medis yang terbaik. Orang yang terserang AIDS tidak memiliki sistem kekebalan
yang normal.Virus AIDS menyerang sel T di dalam darah, meyebabkan sistem
kekebalantidak efektif dalam pertahanan melawan kuman-kuman yang menyerang.
2.2.2
Penularan HIV/AIDS
Sebelumnya virus AIDS tidak mudah menular seperti virus influenza. Kita
tidak perlu mengucilkan atau menjauhi penderita AIDS, karena AIDS tidak akan
menular dengan cara-cara seperti : hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak
mengdakan hubungan seksual), bersenggolan atau berjabat tangan dengan penderita,
bersentuhan dengan pakaian dan lain-lain barang bekas penderita AIDS, makan dan
minum, gigitan nyamuk dan serangga lain, sama-sama berenang dikolam renang.
Sedangkan yang dapat menyebabkan penularan AIDS adalah : melakukan
hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV, transfusi darah yang
mengandung virus HIV, melalui alat suntik, akupuntur, tato, dan alat tindik yang
sudah dipakai orang yang mengidap virus HIV/AIDS, hubungan prenatal yaitu
pemindahan virus dari ibu hamil yang mengidap virus HIV/AIDS kepada janin yang
di kandungnya.
1.
HIV/AIDS di Tubuh Manusia
HIV/AIDS masuk kedalam tubuh manusia melalui aliran darah penderita.
HIV/AIDS sangat mudah mati di luar tubuh manusia (dengan air panas, sabun dan
bahan-bahan pencuci yang lain), karena itu HIV/AIDS tidak dapat menular melalui
udara. HIV/AIDS dalam tubuh manusia bersarang disalah satu sel darah putih, yaitu
bernama Limfosit yang berada dicairan tubuh. HIV/AIDS awalnya mel;akukan
penempelan dengan CD-4 reseptor yang ada dipermukaan Limfosit, lalu virus
memasukkan DNA virusnya kedalam inti selnya Limfosit. Virus ini juga dapat
ditemukan di dalam sel manusia maesopag dan sel glia jaringan otak.
2.
Masa Inkubasi HIV/AIDS
Masa inkubasi adalah masa dimana setelah terjadinya penularan sampai
dengan timbulnya gejala penyakit. Ketika mulai masa inkubasi, jumlah sel limfosit
berkurang sampai setengahnya. Dalam kondisi ini, kekebalan masih berfungsi dan
dapat bertahan 9-10 tahun. Tapi setelah 9-10 tahun kekebalan tubuh menjadi tidak
berfungsi lagi dan penderita menjadi penderita AIDS. Gejalanya berupa demam,
keringat dingin dimalam hari, badan lesu, nafsu makan menurun, badan kurus, mudah
terserang flu, mencret, bercak-bercak putih dan timbul penyakit paru-paru.
3.
Cara Penularan HIV/AIDS
a.
Hubungan Kelamin
Ini disebabkan karena penularan virus HIV terjadi melalui cairan sperma
dan cairan vagina. WHO memperkirakan 70% pengidap AIDS tertular
melalui hubungan kelamin.
b.
Transfusi Darah
Ketika darah yang terinfeksi HIV masuk kedarah orang yang sehat, maka
terjadilah penularan virus HIV.
c.
Alat-alat Medis
Alat-alat medis seperti jarum suntik, baik untuk pengobatan imunisasi,
menindik, tato, akupuntur, atau yang digunakan untuk pecandu obat bius
sangat rawan sebagai media penularan virus HIV.
d.
Ibu Hamil
Apabila ibu hamil tertular virus HIV, maka bayi dalam kandungan
berpotensi tertular virus HIV juga. Dan juga akan menularkan virus HIV
melalui air susu ibu.
e.
Cairan Tubuh
Cairan tubuh seperti cairan sperma, cairan vagina, darah, dan ASI
menjadi media penularan virus HIV/AIDS
f.
Donor Organ (Transplantasi)
Transplantasi adalah pemindahan jaringan organ tubuh, seperti ginjal, hati
dan lain-lain. Ketika organ tubuh dari orang terkena virus HIV di berikan
kepada orang yang bersangkutan, maka orang yang menerimanya pun
terkena virus HIV.
2.2.3
Risiko HIV/AIDS
Penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang mempunyai resiko kematian yang
tinggi. HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan jenis virus yang
menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS merupakan kumpulan tanda dan gejala
penyakit akibat hilangnya sistem kekebalan tubuh seseorang. Penyakit ini menyerang
sistem kekebalan tubuh sehingga penderita tidak mempunyai kekebalan terhadap
berbagai penyakit (Mariastutik, 2008).
Seseorang yang telah mengidap virus AIDS akan menjadi pembawa dan
penular AIDS selama hidupnya, walaupun tidak merasa sakit dan tampak sehat. AIDS
juga dikatakan penyakit yang berbahaya karena sampai saat ini belum ada obat atau
vaksin yang bisa mencegah virus AIDS. Selain itu orang yang terinfeksi AIDS akan
merasakan tekanan mental dan penderitaan batin karena sebagian besar orang
disekitarnya akan mengucilkan atau menjauhinya. Dan penderita itu akan bertambah
lagi akibat tingginya biaya pengobatan. Bahaya AIDS yang lain adalah menurunnya
system kekebalan tubuh, sehingga serangan penyakit yang biasanya tidak
berbahayapun akan menyebabkan sakit atau bahkan meninggal.
2.2.4
Gejala Klinis HIV/AIDS
Orang yang sudah terinfeksi HIV biasanya sulit dibedakan dengan orang yang
sehat di masyarakat. Mereka masih dapat melakukan aktifitas, badan terlihat sehat
dan masih dapat bekerja dengan baik. Untuk sampai pada fase AIDS seseorang yang
telah terinfeksi HIV akan melawati beberapa fase, yaitu:
1.
Fase pertama : pada awal terinfeksi ciri-cirinya belum dapat dilihat meskipun
yang bersangkutan melakukan test darah, karena pada fase ini system
antibody terhadap HIV belum terbentuk, tetapi yang bersangkutan sudah
dapat menular orang lain. Masa ini disebut dengan window periode biasanya
antara 1-6 bulan.
2.
Fase kedua : fase ini berlangsung lebih lama sekitar 2-10 tahun setelah
terinfeksi HIV. Pada fase ini
orang sudah HIV positif dan belum
menampakkan gejala sakit, tetapi sudah dapat menularkan orang lain.
3.
Fase ketiga : pada fase ketiga muncul gejala-gejala awal penyakit yang
disebut dengan penyakit yang terkait dengan HIV. Tahap ini belum dapat
disebut dengan gejala AIDS. Gejala-gejala yang berkaitan dengan infeksi HIV
antara lain: keringat berlebihan waktu malam hari, diare terus menerus,
pembengkakan kelenjar getah bening, flu tidak sembuh-semmbuh, nafsu
makan berkurang dan lemah, berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga
kekebalan tubuh mulai berkurang.
4.
Fase keempat : fase keempat sudah masuk pada tahap AIDS. AIDS baru dapat
terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah selT nya (dibawah 2001 mikroliter) dan timbul penyakit tertentu yang disebut
dengan infeksi oportunistik, yaitu: kanker khususnya pada kulit yang disebut
Sarcoma Kaposi, infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan
kesulitan bernafas (TBC umumnya diderita oleh pengidap AIDS), infeksi usus
yang menyebabkan diare parah selama berminggu-minggu, infeksi otak yang
menyebabkan kekacauan mental, sakit kepala dan sariawan (BKKBN, 2009).
Menurut para ahli medis pada fase ini perlu pemeriksaan darah kembali dan
diukur persentase sel darah putih yang belum terbunuh virus HIV. Sebenarnya
seseorang yang terinfeksi HIV memasuki fase AIDS sangat tergantung pada gizi yang
dimakan, obat-obatan yang membantu proses pembentukan pertahanan tubuh. Selama
orang yang terinfeksi HIV akan meninggal karena penyakit-penyakit yang menyerang
tubuh sedangkan system kekebalan tubuh lemah sekali.
2.2.5
Dampak HIV/AIDS
Pola penularan telah menunjukkan bahwa epidemi telah masuk ke dalam
masyarakat yang selama ini merasa aman terhadap penularan HIV/AIDS. Pola
penularan yang sangat tinggi melalui hubungan seks terutama hubungan seks
heteroseksual dan penggunaan jarum suntik yang tidak streril di kelompok pengguna
Napza suntik, akan berdampak kepada penyebaran masyarakat. Penularan HIV/AIDS
melalui penggunaan jarum suntik yang bergantian pada kelompok penasunan
mempunyai tingkat kemungkinan tinggi terjadinya penularan per kejadian
(Depkes, 2006).
Penyakit AIDS belum ada obatnya. Perawatan HIV/AIDS menambah beban
biaya pelayanan kesehatan. Oleh karena tingkat penyebaranya cepat, tentu semakin
mempercepat penambahan hunian rumah sakit. Karena biaya pengobatanya mahal
dan besar tentu dapat mempengaruhi anggaran kesehatan program kesehatan ibu dan
anak (KIA), gizi anak, pemberantasan penyakit menular, penyuluhan kesehatan,
imunisasi, sanitasi lingkungan, dan sebagainya. Padahal semua program ini amat
penting dan berperanbesar untuk memajukan sumber daya manusia masa depan
(Depkes, 2006).
2.2.6
Pemeriksaan Laboratorium
Uji khas yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV/AIDS
adalah:
1.
Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), Bereaksi terhadap adanya
antibodi dalam serum yang memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila
terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positifpalsu dapat
menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang
positif diulang, dan apabila keduanya positif maka dilakukan uji yang lebih
spesifik dengan Western blot
2.
Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil
kemungkinannya memberi hasil positif-palsu atau negatif palsu (Martuastik,
2008).
2.2.7
Pengobatan Pasien HIV/AIDS
Sampai sekarang belum ada obat yang benar-benar dapat menyembuhkan
penderita HIV/AIDS. Obat yang ada sekarang hanya sebagai obat penambah daya
tahan tubuh atau memperpanjang umur penderita. Berikut ini obat-obat yang dikenal
didunia kedokteran yang dapat memperpanjang umur sampai 2 tahun :
1.
AZT (Azidothymidine)
Obat ini berfungsi penahan perkembangan virus, namun mengandung efek
samping yaitu kerusakan tulang sum-sum dan anemia berat.
2.
DDI (Diseoxycitidine)
Cara kerja obat ini tidak jauh berbeda dengan AZT, tapi telah diuji cobakan
tidak menimbulkan efek samping.
3.
DDC (Zalcitabine)
Seperti AZT dan DDI, obat ini juga dapat menahan perkembangan virus. Lalu
para ahli Jepang menemukan obat-obatan HIV/AIDS sebagai berikut :
a. M.HDA (Meiji Humin Deritivize Al-Bumin)
Obat ini gabungan Carbadimine Humin dan Succiny Lated Human AlBumin yang terkandung dalam darah. Obat ini kabarnya dapat
menyingkirkan sel-sel limfosit yang digerogoti oleh HIV dengan tidak
membahayakan limfosit normal.
b. Tachyplesin
Adalah cairan kimia yang diambil dari sejenis kepiting Tachyplens
tridentotus yang dinamakan T-220. Ramuan ini telah diuji cobakan pada
tikus dengan hasil yang memuaskan, namun masih mengandung efek
samping seperti AZT.
Para ahli Inggris juga menemukan ramuan yang digunakan untuk mengobati
penderita HIV/AIDS, yaitu So 221 dan GLO 223, kedua obat ini masih menimbulkan
efek samping seperti AZT, namun tidak terlalu berbahaya. Masih ada juga obat-obat
tradisional dari Cina, yaitu Milingwang yang diuji cobakan pada 158 pasien AIDS
yang hasilnya paling tidak bisa memperpanjang hidup.
2.2.8
Pencegahan Penularan HIV/AIDS
Hindarkan hubungan seksual diluar nikah, usahakan hanya berhubungan
dengan satu orang pasangan seksual, tidak berhubungan dengan orang lain,
pergunakan kondom bagi resiko tinggi apabila melakukan hubungan seksual, ibu
yang darahnya telah diperiksa dan ternyata mengandung virus HIV hendaknya jangan
hamil karena akan memindahkan virus HIV/AIDS kepada janinnya, kelompok resiko
tinggi tidak dianjurkan menjadi donor darah, penggunaan jarum suntik dan alat
lainnya (akupuntur, tato, tindik) harus dijamin ke sterilannya.
Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam usaha untuk
mencegah penularan HIV/AIDS yaitu misalnya: memberikan penyuluhan-penyuluhan
atau informasi kepada seluruh masyarakat tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan HIV/AIDS, yaitu melalui seminar-seminar terbuka, melalui penyebaran
brosur atau poster-poster yang berhubungan dengan HIV/AIDS, ataupun melalui
iklan di berbagai media massa baik media cetak maupun media elektronik,
penyuluhan atau informasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan
berkesinambungan kepada semua lapisan masyarakat agar dapat mengetahui bahaya
AIDS sehingga berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa
menimbulkan terjadinya virus HIV/AIDS.
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah
penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan istilah
“ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV, terutama
di Uganda dan beberapa Negara Afrika lain. Prinsip “ABC” ini telah dipakai dan
dibakukan secara international, sebagai cara paling efektif mencegah HIV lewat
hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah:
“A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang
dengan pasangan (Abstinesia)
“B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau
hubungan jangka panjang tetap (Be faithful)
“C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja seks
atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom)
Untuk pencegahan penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu :
“D” : Drug, “say no to drug” atau katakan tidak pada napza atau narkoba.
“E” : Equipment “No sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian.
Dalam kasus prostitusi maka upaya yang paling dimungkinkan untuk
mencegah penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS adalah dengan
mempraktekkan seks yang aman (protective sex) yaitu dengan selalu menggunakan
kondom setiap melakukan hubungan seks dengan siapapun.
Pencegahan HIV/AIDS berdasarkan PubMed Health (2012) dapat dilakukan
melalui upaya sebagai berikut:
1.
Pencegahan dalam hubungan seksual dapat dilakukan dengan mengadakan
hubungan seksual dengan jumlah pasangan yang terbatas, memilih pasangan
seksual yang mempunyai risiko rendah terhadap infeksi HIV, dan
mempraktikkan seks yang aman yakni menggunakan kondom secara tepat dan
konsisten selama melakukan hubungan seksual.
2.
Pencegahan penularan melalui darah dapat dilakukan dengan menghindari
transfusi darah yang tidak jelas asalnya, sebaiknya dilakukan skrining setiap
donor darah yang akan menyumbangkan darahnya dengan memeriksa darah
tersebut terhadap antibodi HIV. Selain itu, hindari pemakaian jarum bersama
seperti jarum suntik, tindik, tato atau alat lain yang dapat melukai kulit.
Penggunaan alat suntik dalam sistem pelayanan kesehatan juga perlu
mendapatkan pengawasan ketat agar setiap alat suntik dan alat lainnya yang
dipergunakan selalu dalam keadaan steril. Petugas kesehatan yang merawat
penderita AIDS hendaknya mengikuti universal precaution seperti memakai
pakaian pelindung, masker, dan kacamata. Semua petugas kesehatan
diharapkan berhati-hati dan waspada untuk mencegah terjadinya kontak
langsung dengan darah penderita.
3.
Pencegahan penularan dari ibu ke anak dapat dilakukan dengan cara antara
lain sewaktu hamil dengan mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV), dan
pada saat menyusui menghindari pemberian ASI yakni dengan memberikan
susu formula.
2.3 Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses belajar mengajar mengenai pola-pola tindakan
interaksi dalam masyarakat sesuai dengan peran dan status sosial yang dijalankan
masing-masing. Dengan proses itu, individu akan mengetahui dan menjalankan hak
dan kewajibannya berdasarkan peran status masing-masing dan kebudayaan suatu
masyarakat.
Melalui proses belajar semacam ini, seseorang juga mempelajari kebiasaankebiasaan, norma-norma, perilaku, peran, dan semua aturan yang berlaku di
masyarakat. Proses mempelajari unsur-unsur budaya suatu masyarakat inilah yang
disebut dengan sosialisasi.
2.3.1
Macam-macam Sosialisasi
Proses sosialisasi berlangsung sepanjang hayat manusia. Secara garis besar
sosialisasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi
skunder.
1.
Sosialisasi Primer
Sosialisasi primer merupakan proses sosialisasi yang pertama dan utama yang
terjadi pada seseorang, yakni sejak dilahirkan, berkenalan dan sekaligus
belajar bermasyarakat sehingga dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan
masyarakat tersebut. Proses sosialisasi ini dimulai dari sosialisasi di
lingkungan keluarga.
2.
Sosialisasi Skunder
Setelah menjalani sosialisasi primer, individu dianggap cukup mempunyai
bekal untuk bergaul di lingkungan yang lebih luas. Individu kemudian
berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkungan keluarganya. Individu
tersebut bergaul dengan teman-teman sebaya atau orang-orang dewasa lain.
Dari pergaulan tersebut individu menyerap hal-hal baru yang ada di
masyarakat. Sosialisasi tahap lanjut yang memperkenalkan individu tersebut
ke wilayah baru dari dunia masyarakat disebut sosialisasi sekunder.
2.3.2
Tujuan Sosialisasi
Tujuan sosialisasi sebagai berikut.
1.
Memberikan keterampilan dan pengetahuan kepada seseorang untuk dapat
hidup bermasyarakat.
2.
Mengembangkan kemampuan seseorang untuk dapat berkomunikasi secara
efektif dan efisien.
3.
Membuat seseorang mampu mengembalikan fungsi-fungsi melalui latihan
introspeksi yang tepat.
4.
Menanamkan nilai-nilai dan kepercayaan kepada seseorang yang mempunyai
tugas pokok dalam masyarakat.
2.4 Konseling
Secara etiomologi, konseling berasal dari bahasa Latin “Consilium” artinya
dengan atau bersama yang dirangkai dengan menerima atau memahami sedangkan
dalam bahasa Angglo Saxon istilah konseling berasal dari “Sellan” yang berarti
menyerahkan atau menyampaikan. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, konseling
berarti pemberian bimbingan oleh orang yang ahli kepada seseorang.
Konseling adalah proses pemberian informasi objektif dan lengkap, dengan
panduan keterampilan interpersonal, bertujuan untuk membantu seseorang mengenali
kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar atau
upaya untuk mengatasi masalah tersebut (Sulastri, 2009).
Konseling adalah proses pemberian informasi obyektif dan lengkap, dilakukan
secara sistematik dengan paduan ketrampilan komunikasi interpersonal, teknik
bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik yang bertujuan untuk membantu
seseorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan
menentukan jalan keluar/upaya untuk mengatasi masalah tersebut (McLeod, 2006).
Konseling kesehatan reproduksi adalah proses pemberian bantuan dari kepada
seorang individu atau sekelompok orang yang memiliki masalah kesehatan
reproduksi. Isi percakapan konseling disesuaikan dengan umur dan permasalahan,
perkembangan fisik dan mentalnya, misalnya masalah pacaran, perilaku seksual,
penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia, 2009).
Menurut BKKBN (2009) konseling kesehatan reproduksi merupakan suatu
bentuk komunikasi dua arah yang dilakukan antara dua pihak. Pihak pertama adalah
konselor, membantu pihak lainnya yaitu klien dalam memecahkan masalah kesehatan
reproduksi yang dihadapinya. Konseling kesehatan reproduksi berorientasi pada klien
atau yang lebih dikenal dengan client centered. Hal ini menekankan peran klien
sendiri dalam proses konseling sampai pengambilan keputusan. Teori ini berpijak
pada keyakinan dasar martabat manusia bahwa bila klien mengalami masalah maka
yang dapat menyelesaikan masalah tersebut adalah inidividu tersebut (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia, 2009).
2.4.1
Fungsi Konseling
Beberapa fungsi konseling, yaitu :
1.
Konseling dengan fungsi pencegahan merupakan upaya mencegah timbulnya
masalah kesehatan.
2.
Konseling dengan fungsi penyesuaian dalam hal ini merupakan upaya untuk
membantu klien mengalami perubahan biologis, psikologis, social, cultural,
dan lingku ngan yang berkaitan dengan kesehatan.
3.
Konseling dengan fungsi perbaikan dilaksanakan ketika terjadi penyimpangan
perilaku klien atau pelayanan kesehatan dan lingkungan yang menyebabkan
terjadi masalah kesehatan sehingga diperlukan upaya perbaikan dengan
konseling.
4.
Konseling dengan fungsi pengembangan ditujukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan serta peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dengan upaya peningkatan peran serta masyarakat.
2.4.2
Teknik Konseling
Adapun teknik konseling, sebagai berikut :
1.
Teknik/ Pendekatan Authoritarian atau Directive dalam proses wawancara
konseling berpusat pada konselor.
2.
Teknik/ Pendekatan Non-Directive
Dalam pendekatan ini klien diberi kesempatan untuk memimpin wawancara
dan memikul sebagian besar dan tanggung jawab atas pemecahan masalahnya
sendiri.
3.
Teknik/ Pendekatan Edetic
Dalam pendekatan edetic, konselor menggunakan cara yang dianggap baik
atau tepat, disesuaikan dengan konseli dan masalahnya (Uripni, 2002).
2.4.3
Tujuan Konseling
Tujuan Konseling Kesehatan Reproduksi ialah memberikan informasi tentang
kesehatan reproduksi secara benar dan proposional. Konseling kesehatan reproduksi
juga membantu klien memperoleh identitas dirinya dalam pilihan perilaku dan
orientasi seks, meningkatkan pengetahuan seksualitas yang benar serta mengurangi
kecemasan yang dialami klien berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksnya.
Selain itu, konseling kesehatan reproduksi menghasilkan perubahan kebiasaan dan
perilaku yang bertanggung jawab dan mengajarkan keterampilan membuat keputusan
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 2009).
2.4.4
Prinsip Dasar Konseling Kesehatan Reproduksi
Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (2009) prinsip dasar
konseling kesehatan reproduksi meliputi:
1.
Pemahaman
bahwa
mendapatkan
mendapatkan
informasi
kesehatan
reproduksi adalah kebutuhan dan hak klien.
2.
Informasi kesehatan reproduksi yang diberikan lengkap, benar, jujur, dan
bertanggung jawab.
3.
Mendampingi pengambilan keputusan berdasarkan konsekuensi atas pilihan
yang diambil.
4.
Empati dan tidak menghakimi.
2.4.5
Proses Konseling Kesehatan Reproduksi
Berikut ini adalah tahapan proses pelaksanaan konseling kesehatan reproduksi
dengan klien individu maupun kelompok (Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia, 2009):
1.
Pembukaan, perkenalan antara konselor dan klien.
2.
Rapport atau pendekatan kepada klien untuk mencairkan suasana sehingga
klien merasa nyaman dalam mengemukakan masalah.
3.
Penggalian masalah, meliputi latar belakang, situasi konflik, nilai-nilai yang
dianut, pandangan terhadap konflik, dan usaha pemecahan masalah yang
sudah maupun sedang dipertimbangkan untuk dilakukan.
4.
Mendiskusikan alternatif solusi, yang diusahakan muncul dari klien dengan
bantuan konselor, memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi
sesuai dengan kebutuhan klien.
5.
Mengajak klien memilih alternatif solusi yang terbaik.
6.
Penutup, merangkum hasil diskusi dengan klien, mengajak klien menentukan
rencana selanjutnya dan memberikan dukungan bahwa klien mampu
mengatasi masalahnya.
2.5 Pengetahuan dan Sikap
2.5.1
Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia yaitu penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengalaman manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Penglihatan atau kognitif merupakan dominan
yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman seseorang
dalam melakukan penginderaan dalam suatu rangsang tertentu. Pengetahuan kognitif
merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(overt behavior). Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seseorang terhadap suatu
rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan 6 tingkatan, yakni:
1.
Tahu (Know)
Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap
suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengalaman yang paling
rendah.
2.
Memahami (Comprehension)
Merupakan suatu kemampuan nutuk menjelaskan secara benar obyek yang
diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
meramalkan,
dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3.
Aplikasi (Application)
Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan
kondisi yang sebenarnya.
4.
Analisis (Analysis)
Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam komponenkomponen, dan masuk ke dalam struktur organisasi tersebut.
5.
Sintesis (Synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6.
Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek
(Notoatmodjo, 2012).
2.5.2
Sikap
Sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran, dan
predisposisi tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya
(Azwar, 2007). Menurut Notoatmodjo (2012) sikap merupakan reaksi atau respon
seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan
menurut Sunaryo (2004) sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa
respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu.
2.5.2.1 Komponen Pokok Sikap
Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2012) menjelaskan
bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.
1.
Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2.
Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3.
Kencendrungan untuk bertindak
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh(total
attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan
emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo, 2012). Hal yang sejalan
dikemukakan oleh Mann (1969) dalam Azwar (2005) menyatakan bahwa komponen
sikap terdiri dari:
a.
Komponen Kognitif
Komponen ini berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang
berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan datang dari apa
yang telah diliat atau apa yang telah diketahui. Berdasarkan hal tersebut maka
terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu
objek. Jika sebuah kepercayaan sudah terbentuk, maka ia akan menjadi dasar
pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari suatu objek
tertentu. Dengan demikian, adanya interaksi dengan pengalaman di masa akan
datang serta prediksi mengenai pengalaman tersebut akan lebih mempunyai
arti dan keteraturan. Kepercayaan menyederhanakan dan mengatur apa yang
dilihat dan ditemui. Kepercayaan dapat terus berkembang dan pengalaman
pribadi, pengalaman orang lain dan kebutuhan emosional merupakan
determinan
utama
dalam
terbentuknya
kepercayaan.
Kadang-kadang
kepercayaan terbentuk justru dikarenakan kurang atau tidak adanya informasi
yang benar mengenai objek yang dihadapi.
b.
Komponen Afektif
Komponen ini menyangkut masalah emosional subjektif seseorang
terhadap suatu objek sikap. Secara umum komponen ini disamakan dengan
perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi
seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. Pada
umumnya reaksi emosional yang muncul merupakan komponen afektif yang
banyak dipengaruhi kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai sesuatu
yang benar dan berlaku bagi objek termaksud.
c.
Komponen Perilaku
Komponen ini dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku
atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan
dengan objek sikap yang dihadapinya. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan
berperilaku secara konsisten selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang
membentuk sikap individu. Kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa
komponen konatif meliputi bentuk perilaku yang tidak hanya dapat dilihat
secara langsung tetapi meliputi bentuk perilaku yang berupa pernyataan atau
perkataan yang diucapkan seseorang.
2.5.2.2 Berbagai Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo (2012), sikap memiliki berbagai tingkatan yakni:
1.
Menerima (receiving), diartikan bahwa orang atau subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek.
2.
Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap ini,
karena dengan suatu usaha untuk menjawab suatu pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan terlepas pekerjaan itu benar atau salah
adalah bahwa orang menerima ide tersebut.
3.
Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ini.
4.
Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling
tinggi dalam tingkatan sikap.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu objek.
Mar’at (2005) menggambarkan terjadinya sikap dan reaksi tingkah laku
manusia melalui suatu rangkaian proses tertentu, seperti terlihat pada skema berikut:
Rangsangan
Stimulus
Proses
Stimulus
Reaksi
Tingkah Laku
Terbuka
Sikap
(Tertutup)
Gambar 2.1. Proses Terjadinya Sikap dan Reaksi Tingkah Laku
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa dalam diri individu
sebenarnya terdapat suatu dorongan yang didasarkan pada kebutuhan, perasaan,
perhatian dan kemampuan
untuk mengambil suatu keputusan pada suatu saat
terhadap suatu perubahan atau stimulus. Proses dalam tahapan ini sesungguhnya
masih bersifat tertutup, tetapi sudah merupakan keadaan yang disebut sikap. Bila
terus menerus diarahkan, maka pada suatu saat akan meningkatkan menjadi lebih
terbuka dan berwujud pada suatu reaksi yang berupa perilaku. Dari bahan-bahan di
atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu.
2.6 Landasan Teori
Menurut J. Guilbert seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2012), faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar adalah sebagai berikut:
1.
Faktor materi mencakup bahan pelajaran yang digunakan dalam proses
belajar. Materi untuk pengetahuan, sikap dan keterampilan substansinya akan
berbeda.
2.
Faktor lingkungan, mencakup lingkungan fisik (suhu, cuaca, ventilasi,
penerangan, kebisingan, dan kondisi tempat belajar), dan lingkungan sosial
(manusia dengan segala interaksi dan statusnya).
3.
Faktor instrumental, terdiri atas perangkat keras atau hard ware (perlengkapan
belajar dan alat peraga), dan perangkat lunak atau software kurikulum,
pengajar dan metode belajar.
4.
Faktor individu atau subjek belajar, yaitu kondisi individual subjek belajar
yang terdiri atas kondisi fisiologis (gizi dan pancaindra terutama pendengaran
dan penglihatan), dan kondisi psikologis (inteligensi, pengamatan, daya
tangkap, ingatan, motivasi, bakat, sikap, daya kreativitas, dan persepsi).
,
METODE
Input (subjek
Belajar)
Fasilitator
Alat Bantu Belajar
Mengajar / Media
Proses Belajar
Output (Hasil Belajar)
Bahan Belajar
Gambar 2.2 Proses Belajar dan Faktor yang Memengaruhinya
2.7 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori
yang telah disampaikan diatas yang menjadi
fokus kerangka konsep dalam penelitian ini adalah salah satu bagian dari faktorfaktor yang mempengaruhi proses belajar yaitu metode. Penelitian ini menggunakan
macam-macam metode pembelajaran pada kelompok sasaran yang berbeda yang
kemudian diukur hasil belajar atau outputnya, dimana semua faktor lain yang
mempengaruhi hasil belajar di setting homogen. Adapun kerangka konsep penelitian
ini sebagai berikut:
INPUT
Pengetahuan dan
Sikap Waria
tentang IMS
HIV/AIDS
PROSES
OUTPUT
Pengetahuan
dan Sikap
Waria tentang
IMS
HIV/AIDS
Kelompok Sosialisasi
dan Konseling
Pre Test
Intervensi
Post Test
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian