Keputusan Waria Melakukan Tes HIV/AIDS Pasca Konseling Di Klinik Infeksi Menular Seksual Dan Voluntary Counselling And Testing Veteran Medan Tahun 2009

(1)

KEPUTUSAN WARIA MELAKUKAN TES HIV/AIDS PASCA KONSELING DI KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN VOLUNTARY

COUNSELLING AND TESTING VETERAN MEDAN TAHUN 2009

T E S I S

Oleh :

WAHYUDDIN 057013028/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

KEPUTUSAN WARIA MELAKUKAN TES HIV/AIDS PASCA KONSELING DI KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN VOLUNTARY

COUNSELLING AND TESTING VETERAN MEDAN

TAHUN 2009

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

WAHYUDDIN 057013028/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

Judul Tesis : KEPUTUSAN WARIA MELAKUKAN TES HIV/AIDS PASCA KONSELING DI KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING VETERAN MEDAN

Nama Mahasiswa : Wahyuddin Nomor Induk Mahasiswa : 057013028

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui

Komisi Pembimbing :

(Dr. Fikarwin Zuska) (Dra. Syarifah, M.S) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)


(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 17 Maret 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Dra. Syarifah, M.S

2. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si


(5)

PERNYATAAN

KEPUTUSAN WARIA MELAKUKAN TES HIV/AIDS PASCA KONSELING DI KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN VOLUNTARY

COUNSELLING AND TESTING VETERAN MEDAN

TAHUNN 2009

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan Maret 2010


(6)

ABSTRAK

Waria dan gay merupakan salah satu kelompok risiko tinggi untuk tertular Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Syndrome/Acquired Immunune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). Estimasi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Daerah Sumatera Utara tahun 2008, diperkirakan jumlah waria di Kota Medan ada 790 orang, dengan kliennya sebanyak 11.230 orang. Data Klinik IMS dan VCT Veteran Medan menyebutkan sejak Februari 2008 sampai dengan Juni 2009, hanya 187 orang waria yang melakukan tes HIV dari 455 kunjungan. Survey pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tahun 2009 di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan, hanya 47% waria yang melakukan VCT dari 100 jumlah kunjungan waria ke Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan waria melakukan tes HIV/AIDS. Kajian ini juga berusaha memahami latar belakang waria terkait dengan proses pengambilan keputusan melakukan tes HIV/AIDS. Informan kunci adalah waria yang telah melakukan konseling dan tes HIV/AIDS. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan teknik content analysis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor dalam diri yang memengaruhi keputusan waria dalam melakukan tes HIV/AIDS adalah tekanan sosial, karakteristik gender, pengaruh orang lain, kebudayaan, kepentingan waria sendiri dan pengalaman, dan faktor luar adalah pelayanan Klinik IMS dan VCT Veteran yang merupakan layanan yang paling sering diakses komunitas waria.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk mendirikan klinik IMS dan VCT berbasis komunitas waria yang didasarkan kepada kebutuhan, data dan bukti dari waria itu sendiri dan memberdayakan ODHA untuk menjangkau waria lainnya


(7)

ABSTRACT

The transvestite and gay as one of group with a highly risk contracted by a sexually transmitted infections (STIs) and Human Immunodeficiency Syndrome/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). National AIDS Commission Preventive for North Sumatra Region in 2008, estimated there were 790 transvestites in Medan City, with the number of clients as much as 11,230 people. The data from STI and VCT Veteran Clinics of Medan mentioned since February 2008 up to June 2009, there were only 187 transvestites who had HIV test from 455 visits. A preliminary survey was conducted by the researcher in 2009 at the STI and VCT Veteran Clinics of Medan, found that only 47% of the transvestites who had visit the VCT from 100 visiting.

The purpose of this study was to analyze the factors influencing the transvestites decision to have HIV/AIDS test. This study also tried to understand the background of the transvestites decision-making processed to have HIV/AIDS test. The key informants were transvestites who had attended counseling and got HIV/AIDS test. Type of this research was descriptive qualitative with content analysis techniques.

The result of research showed that the internal factors that influence decision as the transvestites to have the HIV/AIDS test such as social pressure, gender characteristic, influence of other people, cultures, the transvestite own interest and experience, and external factors such as clinical serviced by STI and VCT Veteran Clinics as most frequently to access by transvestites as community.

It suggested to the District of Health of Medan City to establish a STI and VCT Clinics base on the transvestites community according to the needs, the data and the evidence from the transvestites themselves, and empower people living with HIV/AIDS to reach the other transvestites.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Keputusan Waria Melakukan Tes HIV/AIDS Pasca Konseling di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini, mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Yaitu Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A(K).

Terima kasih kepada dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan juga kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Fikarwin Zuska, selaku ketua komisi pembimbing dan Dra. Syarifah, M.S, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si dan Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini

Selanjutnya terima kasih juga kepada dr. Yuli selaku Koordinator Klinik IMS dan VCT Veteran Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

Terima kasih juga kepada para dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda Drs. H. Ridwan Sulaiman dan Ibunda Hj. Nurhayati Gultom atas segala jasanya sehingga penulis selalu mendapatkan pendidikan terbaik.

Teristimewa buat istri tercinta dr. Fathul Jannah dan ananda tersayang Tanisha Rayhan yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta rasa


(10)

cinta yang dalam setia menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Maret 2010 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Wahyuddin lahir pada tanggal 23 April 1981 di kota Banda Aceh, anak sulung dari dua bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. H. Ridwan Sulaiman dan Ibunda Hj. Nurhayati Gultom.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri No. 2 Banda Aceh selesai tahun 1993, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri satu Banda Aceh selesai tahun 1996, Sekolah Menengah Umum Negeri I Banda Aceh selesai tahun 1999, melanjutkan S-1 di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara Medan selesai tahun 2006.

Mulai bekerja sebagai Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) pada Puskesmas Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam mulai 1 September 2006 sampai 28 Februari 2007. Sebagai Konselor Program Aksi Stop AIDS (ASA) dan Dokter di LSM Jaringan Kesehatan Masyarakat (JKM) Medan sejak 2007 sampai 2008. Sebagai Dokter di RS. Muhammadiyah Medan November 2008 sampai Maret 2009. Sebagai Manager Kasus Program Aksi Stop AIDS di LSM Gerakan Sehat Masyarakat (GSM) Medan sejak Maret 2009 sampai Desember 2009. Sebagai Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Aceh Tamiang mulai Januari 2010 sampai sekarang.

Tanggal 26 Agustus tahun 2006, penulis menikah dengan dr. Fathul Jannah anak pertama dari tujuh bersaudara anak dari Bapak H. Asrul Amiruddin dengan Hj. Astuti, dan penulis dikaruniai seorang puteri bernama Tanisha Rayhan. Tahun 2005 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Pengambilan Keputusan... 12

2.2. Waria ... 13

2.2.1. Pembagian Waria ... 14

2.2.2. Masalah yang dihadapi waria ... 15

2.3. VCT ... 17

2.3.1. Konseling ... 18

2.3.1.1. Konseling Pra tes ... 19

2.3.1.2. Konseling Pasca tes... 19

2.3.2. Tes HIV ... 20

2.4. HIV/AIDS ... 21

2.4.1. Pengertian HIV ... 21

2.4.2. Pengertian AIDS ... 22

2.4.3. Cara Penularan ... 23

2.4.4. Gejala AIDS ... 24

2.5. Persepsi ... 26

2.5.1. Pengertian Persepsi ... 26

2.5.2. Faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 28

2.6. Landasan Teori ... 29


(13)

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Jenis Penelitian ... 31

3.2. Lokasi dan waktu penelitian ... 32

3.3. Informan ... 32

3.4. Definisi Istilah ... 33

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 33

3.6. Metode Analisis Data ... 35

BAB 1V HASIL PENELITIAN ... 36

4.1. Informan Pangkal – 1 (Sari) ... 37

4.1.1. Deskripsi Diri ... 37

4.1.2. Sejarah Hidup ... 39

4.1.3. Pengambilan Keputusan Tes HIV... 42

4.1.4. Pelayanan Klinik VCT ... 47

4.2. Informan Pangkal – 2 (Yani) ... 51

4.2.1. Deskripsi Diri ... 51

4.2.2. Sejarah Hidup ... 52

4.2.3. Pengambilan Keputusan Tes HIV... 55

4.2.4. Pelayanan Klinik VCT ... 59

4.3. Tenaga Kesehatan Klinik ... 63

BAB V PEMBAHASAN ... 68

5.1. Faktor-Faktor yang memengaruhi Pengambilan Keputusan dari dalam diri ... 70

5.2.1. Tekanan Sosial ... 70

5.2.2. Karakteristik Gender ... 74

5.3.3. Pengaruh Orang Lain ... 80

5.3.4. Pengaruh Kebudayaan ... 81

5.3.5. Kepentingan ... 83

5.3.6. Pengalaman ... 85

5.2. Analisis Pelayanan Klinik VCT... 86

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 98

6.2. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Alur Pelayanan VCT ... 17

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi ... 27

3. Kerangka Pikir Penelitian ... 30


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman


(17)

ABSTRAK

Waria dan gay merupakan salah satu kelompok risiko tinggi untuk tertular Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Syndrome/Acquired Immunune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). Estimasi Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Daerah Sumatera Utara tahun 2008, diperkirakan jumlah waria di Kota Medan ada 790 orang, dengan kliennya sebanyak 11.230 orang. Data Klinik IMS dan VCT Veteran Medan menyebutkan sejak Februari 2008 sampai dengan Juni 2009, hanya 187 orang waria yang melakukan tes HIV dari 455 kunjungan. Survey pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tahun 2009 di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan, hanya 47% waria yang melakukan VCT dari 100 jumlah kunjungan waria ke Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

Tujuan penelitian ini ialah untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan waria melakukan tes HIV/AIDS. Kajian ini juga berusaha memahami latar belakang waria terkait dengan proses pengambilan keputusan melakukan tes HIV/AIDS. Informan kunci adalah waria yang telah melakukan konseling dan tes HIV/AIDS. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan teknik content analysis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor dalam diri yang memengaruhi keputusan waria dalam melakukan tes HIV/AIDS adalah tekanan sosial, karakteristik gender, pengaruh orang lain, kebudayaan, kepentingan waria sendiri dan pengalaman, dan faktor luar adalah pelayanan Klinik IMS dan VCT Veteran yang merupakan layanan yang paling sering diakses komunitas waria.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk mendirikan klinik IMS dan VCT berbasis komunitas waria yang didasarkan kepada kebutuhan, data dan bukti dari waria itu sendiri dan memberdayakan ODHA untuk menjangkau waria lainnya


(18)

ABSTRACT

The transvestite and gay as one of group with a highly risk contracted by a sexually transmitted infections (STIs) and Human Immunodeficiency Syndrome/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS). National AIDS Commission Preventive for North Sumatra Region in 2008, estimated there were 790 transvestites in Medan City, with the number of clients as much as 11,230 people. The data from STI and VCT Veteran Clinics of Medan mentioned since February 2008 up to June 2009, there were only 187 transvestites who had HIV test from 455 visits. A preliminary survey was conducted by the researcher in 2009 at the STI and VCT Veteran Clinics of Medan, found that only 47% of the transvestites who had visit the VCT from 100 visiting.

The purpose of this study was to analyze the factors influencing the transvestites decision to have HIV/AIDS test. This study also tried to understand the background of the transvestites decision-making processed to have HIV/AIDS test. The key informants were transvestites who had attended counseling and got HIV/AIDS test. Type of this research was descriptive qualitative with content analysis techniques.

The result of research showed that the internal factors that influence decision as the transvestites to have the HIV/AIDS test such as social pressure, gender characteristic, influence of other people, cultures, the transvestite own interest and experience, and external factors such as clinical serviced by STI and VCT Veteran Clinics as most frequently to access by transvestites as community.

It suggested to the District of Health of Medan City to establish a STI and VCT Clinics base on the transvestites community according to the needs, the data and the evidence from the transvestites themselves, and empower people living with HIV/AIDS to reach the other transvestites.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan masyarakat yang sangat kompleks dan menjadi beban ganda dalam pembiayaan pembangunan bidang kesehatan. Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 206 juta jiwa (Sensus penduduk, 2000), dihadapkan pada masalah kesehatan yang tidak jauh berbeda. Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare dan penyakit kulit, namun pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes melitus dan kanker, selain itu Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome).

Sejak HIV/AIDS teridentifikasi pada tahun 1982, yang dikenal sebagai Gay Related Immune Deficiency (GRID), yakni penurunan kekebalan tubuh yang dihubungkan dengan kaum gay, HIV/AIDS telah menjadi pandemi dan problem kesehatan utama di dunia hingga saat ini. WHO pada tahun 2003 mengestimasikan 37,8 juta orang terinfeksi HIV/AIDS. Pada tahun 2005 akhir, estimasi menjadi 53,6 juta, dan pada tahun 2007 estimasi menggunakan perhitungan baru dengan jumlah 33


(20)

juta orang terinfeksi, tetapi yang sudah meninggal 23 juta orang. Infeksi baru per tahun meningkat drastis dari 4 juta menuju 8 juta (UNAIDS 2008).

Pandemi HIV/AIDS di Indonesia terjadi sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987, walaupun sebenarnya sudah menjadi isu sejak 1986, dengan meninggalnya seorang pasien di sebuah rumah sakit, bahkan sejak tahun 1983, pada kelompok waria, beberapa dari mereka CD4 sangat rendah (Djoerban, 2000). Pasien angka kesakitan terhadap penyakit ini terus meningkat, karena di samping belum ditemukan obat dan vaksin pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan fase asimtomatik yang relatif panjang. Hal tersebut di atas menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena.

Indonesia tergolong negara dengan tingkat epidemi HIV/AIDS yang terkonsentrasi, yaitu prevalensi kurang dari 1% pada populasi umum tetapi lebih dari 5% pada populasi tertentu (Depkes, 2006). Kelompok berisiko tinggi tersebut adalah; 1. Pengguna napza suntik (injection drug users / IDU), 2. Pekerja seks komersil. Kelompok terakhir ini meliputi; pekerja seks perempuan, waria dan pekerja seks laki-laki. Tingkat epidemi ini menunjukkan tingkat perilaku berisiko yang cukup aktif menularkan penyakit di suatu sub populasi tertentu.

Komite Penanggulangan HIV/AIDS Nasional menyatakan status darurat terhadap bahaya penularan HIV/AIDS, artinya, bahaya HIV/AIDS dan bagaimana pencegahannya sudah sangat mendesak untuk diketahui masyarakat. Saat ini saja dilaporkan pada akhir tahun 2007 terdapat 11.141 pasien AIDS dan 6.066 orang HIV


(21)

positif. Jumlah ini diperkirakan hanya 10% dari seluruh orang yang terinfeksi HIV di Indonesia (KPA Nasional, 2008).

Berdasarkan data estimasi, kasus HIV/AIDS di Sumatera Utara lebih kurang 12.000 hingga 13.000 orang. Data terakhir Dinas Kesehatan Sumut sejak tahun 1992 hingga Juni 2008 kasus HIV/AIDS sebanyak 1316 dengan rincian 771 kasus HIV dan 545 kasus AIDS, berarti baru 10 persen kasus yang ditemui dari perkiraan. Padahal Sumut merupakan peringkat ketujuh penderita HIV/AIDS di Indonesia (Ditjen PP&PL Depkes RI, 2008).

Kota Medan memiliki jumlah penderita HIV/AIDS terbanyak di antara seluruh kabupaten/kota di Sumut, hingga Juni 2008, jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS adalah 968, dengan rincian HIV (+) sebanyak 620 orang, dan AIDS sebanyak 348 orang (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2008).

Problem yang sangat mengancam, selain melalui hubungan seksual timbulnya HIV/AIDS adalah efek penggunaan NAPZA melalui jarum suntik. Di Indonesia hal ini merupakan sebuah fenomena baru, dideteksi 3 – 4 tahun terakhir, jika fenomena ini timbul, maka akan terjadi second explossion of HIV/AIDS epidemic. Di Thiland pola HIV/AIDS dimulai dari IDU tapi di Indonesia pola HIV/AIDS dimulai dari seks, baru beberapa tahun terakhir pemakaian NAPZA melalui jarum suntik mulai menjadi pola penyebab timbulnya HIV/AIDS. Penularan secara cepat terjadi karena pemakaian jarum suntik bersama. Para penyalah guna NAPZA suntik ini dapat pula menulari pasangan seksualnya. Dikalangan pengguna NAPZA suntik infeksi HIV


(22)

berkisar antara 50 sampai 90% . Penggunaan NAPZA suntik biasanya dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak mudah memperkirakan pengguna NAPZA suntik di Indonesia.

Hubungan seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama penularan HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko tinggi komunitas waria memberikan kontribusi penularan HIV/AIDS yang signifikan. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, MSM (Man that have Sex with Man) dan waria ternyata berisiko 19 kali lebih besar tertular penyakit HIV ketimbang masyarakat umum, AMFAR mengeluarkan kesimpulan ini setelah melakukan penelitian di 129 negara. Hasil penelitian itu ternyata tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian badan AIDS PBB yang menyebutkan 44% dari warga negara yang terkena AIDS adalah kaum gay dan biseksual (UNAIDS, 2008)

Departemen Kesehatan memperkirakan jumlah waria di Indonesia pada tahun 2007 adalah 20.960 hingga 35.300 orang. Prevalensi HIV di kalangan waria berdasarkan Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP), sejak tahun 1995 yang hanya 0,3%, lalu di tahun 1996 menjadi 3,2%, dan 6% di tahun 1997. Estimasi Populasi KPAND Sumatera Utara 2008, untuk Kota Medan, diperkirakan jumlah waria 790 orang, Klien waria 11.230 orang.

Beberapa faktor menyebabkan kelompok ini mudah terserang HIV, di antaranya adalah migrasi dan mobilitas yang tinggi, mereka sering berpindah dari satu lokalisasi ke lokalisasi lain, stigma dan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan,


(23)

dan akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan (Hawari, 2001). Orang yang terjangkit virus HIV pada tahap awal, biasanya tak merasakan tanda berarti secara fisik, sehingga mereka enggan memeriksakan dirinya ke layanan kesehatan.

Waria dan gay merupakan salah satu kelompok risiko tinggi (risti) untuk tertular IMS dan HIV/AIDS. Dari pengalaman penulis dalam pendampingan waria dan gay diketahui bahwa sebagian besar waria di Kota Medan bekerja sebagai pekerja seks. Aktivitas seks mereka umumnya adalah seks anal dan oral. Seks anal atau melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus (karena anus tidak elastis), sehingga dengan adanya luka di daerah anus, jika pasangan seks terkena IMS dan HIV maka akan lebih mudah ditularkan. Tingkat penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya dengan informasi tentang penularan IMS dan HIV/AIDS (Gerakan Sehat Masyarakat, 2009).

Waria memiliki permasalahan yang kompleks, terutama dalam masalah kesehatan dan masalah kependudukan. Banyak kasus menunjukkan waria enggan untuk datang ke tempat pelayanan kesehatan umum karena berbagai alasan. Berdasarkan pengamatan penulis selama mendampingi waria, secara sadar atau tidak mereka mengungkapkan enggan memeriksakan diri ke klinik VCT, karena VCT merupakan program yang diadakan pemerintah untuk kepentingan penyedia layanan ini. Mereka beranggapan pemerintah hanya setengah hati dan tidak tulus dalam menjalankan program. Bentuk resistensi yang mereka lakukan adalah meminta bayaran ketika petugas kesehatan yang melakukan mobile clinic datang ke lokasi


(24)

mangkal mereka. Anggapan sebagian dari mereka adalah petugas kesehatan mendapatkan rupiah setiap sample darah yang diambil dari mereka. Demikian juga dalam masalah kependudukan, sebagian besar waria tidak memiliki kartu identitas, tidak jarang mereka menemui kesulitan mengurus kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu identitas lainnya.

HIV/AIDS memiliki dampak besar pada penderita dan keluarga. Pencegahan penyebaran infeksi dapat diupayakan melalui peningkatan akses perawatan dan dukungan pada penderita HIV/AIDS dan keluarganya. Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah salah satu bentuk upaya tersebut. VCT merupakan strategi efektif pencegahan dan perawatan HIV (Depkes RI, 2006). VCT terutama ditujukan bagi kelompok risti HIV/AIDS dan keluarganya. Tetapi layanan VCT ini juga dapat dilakukan masyarakat umum yang ingin mengetahui status HIV melalui tes.

Mereka yang menggunakan layanan VCT di dalam dirinya ada perasaan kuat tentang tata nilai, aktivitas seksual, diagnosis dan seringkali mereka betul-betul menurunkan perilaku berisikonya. VCT memberikan keuntungan baik bagi mereka yang positif maupun bagi mereka yang negatif. VCT dapat mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi mereka tentang faktor risiko terkena infeksi HIV, mengembangkan perubahan perilaku, secara dini mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi anti retroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat (UNAIDS, 2001).


(25)

Tim monev Sekretariat KPAN pada tahun 2007 mencatat jumlah cakupan program populasi kelompok risiko tinggi seksual yang mendapat pelayanan VCT pada WPS 69,95%, waria 50%, laki-laki suka laki-laki (LSL) 53,64%. Masalah yang kemudian timbul adalah masih sedikit waria yang mau melakukan tes HIV/AIDS, meskipun telah mendapatkan informasi baik melalui proses konseling maupun media lainnya, dalam artian masih rendahnya pemanfaatan klinik VCT yang tersedia, baik klinik VCT yang ada di rumah sakit maupun yang berdiri sendiri. Padahal VCT merupakan salah satu bagian kecil dari rumah sakit, sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit secara umum seyogyanya terlebih dahulu dimulai dari unit-unit kecil tersebut, salah satunya adalah klinik VCT.

Rendahnya pemanfaatan VCT diperkirakan karena VCT berbasis pada kebutuhan dan memerlukan persetujuan (informed consent) dari orang yang akan dites, dalam artian tes HIV harus selalu atas keputusan klien. Terkait dengan keputusan, Starr (1981) menyebutkan bahwa keputusan yang diambil seseorang yang berlaku umum unsur-unsur atau komponennya adalah:

1. Tujuan harus ditegakkan dalam pengambilan keputusan. 2. Identifikasi alternatif.

3. Faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya.

4. Dibutuhkan sarana untuk mengukur hasil yang dicapai.

Robbins (2003) menyebutkan dalam mengambil keputusan, kualitas dari pilihan terakhir mereka sebagian besar dipengaruhi oleh persepsi mereka. Keputusan


(26)

tidak selalu mengikuti proses rasional yang diracik cermat. Ketika individu memandang ke objek tertentu dan coba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu. Selanjutnya Robbins mengemukakan bahwa faktor yang memengaruhi persepsi adalah faktor pada pemersepsi, faktor dalam situasi, dan faktor pada target. Faktor pada pemersepsi, adalah sikap, motif, kepentingan, pengalaman, dan pengharapan. Variabel dalam situasi adalah waktu, keadaan lingkungan, keadaan sosial. Adapun faktor pada target meliputi hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan. Perbedaan ini menggambarkan bahwa persepsi individu tidak sama antara satu individu dengan individu lainnya.

Hubungan persepsi dengan pengambilan keputusan, merujuk penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nurjannah (2003), tentang persepsi dengan keputusan pembelian obat penurun panas anak yang diiklankan media elektronik di Jakarta, menjelaskan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi dan sikap konsumen terhadap keputusan pembelian. Kristiyanto dkk (2003) tentang faktor psikologis yang berpengaruh pada pengambilan keputusan nasabah untuk menjadi anggota BMT, menyimpulkan terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara variabel persepsi dengan pengambilan keputusan untuk menjadi anggota.

Klinik IMS dan VCT Veteran merupakan salah satu layanan kesehatan yang dapat melakukan pemeriksaan HIV di Kota Medan. Walaupun terdapat klinik IMS dan VCT di 4 rumah sakit rujukan, puskesmas, dan beberapa klinik lainnya, namun


(27)

Klinik IMS dan VCT Veteran merupakan satu–satunya klinik di bawah Dinas Kesehatan Propinsi yang khusus melayani pemeriksaan IMS dan VCT (Dinas Kesehatan Propinsi, 2008). Klinik ini juga dirasa kelompok waria memiliki lokasi strategis dan cukup nyaman untuk mengungkapkan status dibandingkan tempat pemeriksaan lainnya.

Data Klinik IMS dan VCT Veteran Medan menyebutkan dari bulan Februari 2008 sampai dengan Juni 2009, hanya 187 orang waria yang melakukan tes HIV dari 455 kunjungan. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan penulis terhadap 100 orang waria yang mengunjungi Klinik IMS dan VCT Veteran Medan, setelah diberikan pra tes konseling, hanya 47% dari mereka yang bersedia diambil sample darahnya untuk dilakukan tes HIV, padahal secara nasional sepertiga dari kelompok risiko tinggi ini merupakan HIV positif (KPAN, 2008). Atas realitas tersebut penulis menganggap penting untuk memahami lebih dalam mengenai waria, kebutuhan-kebutuhan atau dorongan yang mengarahkan dan memberi energi pada waria, tekanan-tekanan yang dialami, konflik-konflik yang terjadi, hingga bagaimana mekanisme pertahanan diri yang digunakan oleh waria tersebut. Cara yang paling tepat adalah dengan mempelajari dinamika kepribadian beserta faktor-faktor yang memengaruhi perjalanan hidupnya, dimana hal ini dapat diketahui dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan antisipasi masa depan orang tersebut terkait dengan pengambilan keputusan melakukan tes.


(28)

1.2. Perumusan Masalah

Layanan VCT merupakan bagian dari promosi dan organ dalam mengurangi laju epidemi HIV/AIDS. Insiden HIV positif di komunitas waria, yang merupakan kelompok risiko tinggi terpapar, salah satunya disebabkan rendahnya pemanfaatan layanan VCT yang mensyaratkan dilakukan tes HIV/AIDS, Penyebab sementara dirumuskan karena anggapan negatif terhadap pemerintah sebagai penyedia layanan VCT, resistensi kecil–kecilan terhadap penyedia layanan, pengalaman yang buruk dari waria lainnya, hasil tes yang berbeda dari harapan, pendidikan maupun aspek lainnya seperti orientasi seksual yang terkait dengan kemauan waria melakukan tes HIV/AIDS.

Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, dirumuskan masalah penelitian yakni bagaimana pengambilan keputusan waria melakukan tes HIV/AIDS pasca konseling HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan waria melakukan tes HIV/AIDS pasca konseling HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.


(29)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan rumah sakit yang memiliki klinik IMS dan VCT untuk mengembangkan konsep penanggulangan HIV/AIDS dalam perspektif waria.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan manajemen Klinik IMS dan VCT Veteran Medan dalam mengembangkan layanan VCT berbasis komunitas waria.

3. Sebagai bahan masukan konseling yang efektif guna menambah informasi, pengetahuan dan pemahamam tentang proses pengambilan keputusan waria melakukan VCT.

4. Sebagai penambah wawasan bagi penulis untuk melatih diri berpikir secara ilmiah pada bidang sumber daya manusia dan bekal pengetahuan dan pengalaman untuk penerapan di lingkungan kerja.

5. Sebagai bahan referensi dan perbandingan bagi penulis selanjutnya yang memfokuskan penelitian pada masalah yang sama di masa yang akan datang.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengambilan Keputusan

Keputusan adalah sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan, Morgan dan Cerullo dalam Salusu (2003). Dalam hal ini yang dimaksud dengan pertimbangan ialah menganalisis beberapa kemungkinan atau alternatif (Salusu, 2003). McGrew dan Wilson (1985) lebih melihat kaitannya dengan proses, yaitu bahwa suatu keputusan ialah keadaan akhir dari suatu proses yang lebih dinamis yang diberi label pengambilan keputusan. Ia dipandang sebagai proses karena terdiri atas satu seri aktifitas yang berkaitan dan tidak hanya dianggap sebagai tindakan bijaksana. Dari berbagai definisi keputusan tersebut dapat di simpulkan bahwa keputusan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu pertimbangan yang telah melewati sebuah proses dari beberapa alternatif.

Pengambilan keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi (Salusu, 2003). Sehubungan dengan itu, Inbar dalam Salusu (2003) menyatakan pengambilan keputusan hendaknya dipahami dalam dua pengertian, yaitu; 1. Penetapan tujuan yang merupakan terjemahan dari cita-cita, aspirasi, dan 2. Pencapaian tujuan melalui implementasinya. Sekali keputusan dibuat harus diberlakukan, dan kalau tidak,


(31)

sebenarnya ia bukan keputusan, tetapi lebih tepat dikatakan suatu hasrat atau niat, Drucker, Holy dalam Salusu (2003).

Keputusan dibuat dengan sengaja, tidak secara kebetulan, dan tidak boleh sembarangan. Masalahnya terlebih dahulu harus diketahui dan dirumuskan dengan jelas, sedangkan pemecahannya harus didasarkan pemilihan alternatif terbaik dari alternatif-alternatif yang disajikan (Syamsi, 1989). Individu berpikir dan menalar sebelum bertindak. Karena inilah suatu pemahaman bagaimana orang-orang mengambil keputusan dapat membantu menjelaskan dan meramalkan perilaku mereka (Robbins, 2003).

2.2. Waria

Salviana (2005) menjelaskan waria adalah orang yang secara jasmaniah laki-laki, namun berpenampilan dan bertingkah laku menyerupai perempuan sedangkan orientasi seksnya homoseks (menyukai sesama jenis). Secara fisik waria, baik yang berperan sebagai laki-laki maupun perempuan adalah bagian dari homoseksual. Namun demikian, ada suatu hal yang membatasi secara jelas antara kaum homoseks dan kaum waria. Misalnya saja dalam berpakaian, seorang homoseks tidak merasa perlu berpenampilan sebagaimana perempuan. Sebaliknya, seorang waria merasa bahwa dirinya adalah perempuan, sehingga harus berpenampilan sebagaimana seorang perempuan.


(32)

Menurut Nadia (2005), dilihat dari cara berpakaian, waria dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sebagai transvestime dan transeksualisme. Transvestisme adalah hawa nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya. Pada transvestisme yang lebih ditonjolkan adalah kepuasan seks seseorang yang didapat dari cara berpakaian yang berlawanan dengan jenis kelamin yang melekat dalam dirinya. Jika seseorang itu berjenis kelamin laki-laki, maka ia akan mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian perempuan. Sebaliknya, jika seseorang itu berjenis kelamin perempuan, ia akan mendapatkan kepuasan seks hanya dengan memakai pakaian laki-laki. Pada waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda. Seorang transeksualis secara jenis kelamin sempurna dan jelas, tetapi secara psikis cenderung menampilkan ciri sebagai lawan jenis.

2.2.1. Pembagian Waria

Menurut Benny D.Setianto yang dikutip Salviana (2005) empat kategori kewariaan adalah; 1. Pria menyukai pria. 2. Kelompok yang secara permanen mendandani dirinya sebagai seorang perempuan. 3. Kelompok yang karena desakan ekonomi harus mencari nafkah dengan berdandan dan beraktivitas sebagai perempuan. 4. Kelompok coba-coba atau memanfaatkan keberadaan kelompok sebagai bagian dari kehidupan seksual mereka. Faktor –faktor penyebab terjadinya waria adalah; a) disebabkan oleh faktor hormon seksual dan genetik seseorang. b)


(33)

disebabkan bukan hanya oleh faktor biologis saja, melainkan dipengaruhi oleh faktor psikologi, sosiobudaya termasuk di dalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya. c) mempunyai pengalaman sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis (Salviana, 2005).

2.2.2. Masalah yang Dihadapi Waria

Berperilaku menjadi waria memiliki banyak risiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi pelacur untuk memenuhi kebutuhan materil maupun biologis. Pakar kesehatan masyarakat dan pemerhati waria, Gultom (2002) setuju dengan pendapat seorang waria yang bernama Yuli, bahwa waria merupakan kaum yang paling marginal.


(34)

Penolakan terhadap waria tidak terbatas rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas, dari pegawai negeri, karyawan swasta, atau berbagai profesi lain. Bahkan dalam mengurus KTP, persoalan waria juga mengundang penolakan dan permasalahan, maka sebagian besar akhirnya turun dijalanan untuk mencari kebebasan (Kompas, 7 April 2007).

Keadaan yang dialami waria merupakan awal dari berbagai permasalahan dalam masyarakat. Dalam perjalanan hidupnya, waria melewati konflik batin yang panjang. Permasalahan besar yang dihadapi oleh waria salah satunya adalah penyakit kelamin. Kehidupan waria banyak didominasi oleh perilaku seks yang umumnya mengandung risiko cukup tinggi. Waria memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan heteroseksual karena waria memiliki frekuensi berganti-ganti pasangan lebih tinggi dibanding yang lain. Bahkan jika dibandingkan dengan pelacuran wanita, kejangkitan penyakit kelamin di kalangan waria lebih tinggi. Kehidupan mereka yang identik dengan pelacuran tentu saja sering berganti pasangan.

Perilaku hubungan seks berisiko tinggi tersebutlah yang mengundang berbagai penularan penyakit kelamin. Waria rentan terhadap penyebaran HIV/AIDS dan berisiko tinggi dikarenakan mobilitas kaum tersebut tergolong tinggi. Waria sering berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain mobilitas yang tinggi, umumnya banyak waria yang enggan menggunakan kondom, dengan alasan mengurangi kenyamanan dalam berhubungan.


(35)

2.3. VCT

Voluntary Counseling and testing (VCT), dalam Bahasa Indonesia disebut konseling dan tes sukarela, merupakan gabungan dua kegiatan, yaitu konseling dan tes HIV secara sukarela dalam satu pelayanan terpadu. Layanan konseling sendiri terbagi dua, yaitu konseling pra tes dan konseling pasca tes yang keduanya selalu disertai konseling (Depkes, 2006).

Gambaran pelayanan VCT dapat dijelaskan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.

Konseling Tes HIV/AIDS Konseling Pra tes Pasca tes

Sumber: Depkes, 2006

Gambar 1. Alur Pelayanan VCT

Pendekatan VCT tidak dapat dilakukan massal seperti penyuluhan atau edukasi massal, melainkan harus : 1. Terfokus pada klien satu persatu. 2. Melakukan penilaian risiko personal dan menurunkan risiko. 3. Menggali kemampuan diri dan mengarahkan rencana ke depan. 4. Meneguhkan keputusan tes. 5. Menindaklanjuti dukungan atas kebutuhan (Depkes, 2006).


(36)

2.3.1. Konseling

Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “to counsel” yang secara etimologis berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat. Menurut Rogers yang dikutip Hallens (2005), counseling is a series of direct contacts with the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behavior. (Konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya). Konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan di mana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien dengan tujuan agar klien mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadapnya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal sehingga mampu mencapai kebahagian pribadi dan kemanfaatan sosial.

Wilis (2004) mengemukakan konseling adalah upaya bantuan yang diberikan seseorang pembimbing yang terlatih dan berpengalaman terhadap individu yang membutuhkannya, agar individu tersebut berkembang potensinya secara optimal, mampu mengatasi masalahnya, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang selalu berubah. Konseling HIV/AIDS merupakan proses dengan tiga tujuan umum, yaitu :


(37)

1. Menyediakan dukungan psikologik, misalnya dukungan yang berkaitan dengan kesejahteraan emosi, psikologik, sosial dan spiritual seseorang yang mengidap virus HIV atau virus lainnya.

2. Pencegahan penularan HIV dengan menyediakan informasi tentang perilaku berisiko (seperti melakukan seks berganti pasangan atau penggunaan jarum bersama) dan membantu orang dalam mengembangkan keterampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan negosiasi praktek yang lebih aman. 3. Memastikan efektifitas rujukan kesehatan, terapi dan perawatan melalui

pemecahan masalah kepatuhan berobat (Depkes, 2006).

2.3.1.1. Konseling Pra tes

Konseling pra tes yaitu konseling yang dilakukan sebelum darah seseorang yang menjalani tes itu diambil. Konseling ini sangat membantu seseorang untuk mengetahui risiko dari perilakunya selama ini, dan bagaimana nantinya bersikap setelah mengetahui hasil tes. Konseling pra tes bermanfaat untuk meyakinkan orang terhadap keputusan untuk melakukan tes atau tidak, serta mempersiapkan dirinya bila hasilnya nanti positif (Depkes, 2006).

2.3.1.2. Konseling Pasca tes

Konseling pasca tes yaitu konseling yang harus diberikan setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif. Konseling pasca tes sangat penting


(38)

untuk membantu mereka yang hasilnya HIV positif agar dapat mengetahui cara menghidnari penularan pada orang lain, serta untuk bisa mengatasinya dan menjalin hidup secara positif. Bagi mereka yang hasilnya HIV negatif, konseling pasca tes bermanfaat untuk memberitahu tentang cara-cara mencegah infeksi HIV di masa datang (Depkes, 2006).

2.3.2. Tes HIV

Tes HIV adalah suatu tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi adanya antibody HIV di dalam sample darahnya. Hal ini perlu dilakukan setidaknya agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya, terutama menyangkut risiko dari perilakunya selama ini. Tes darah yang dilakukan biasanya menggunakan tes rapid ataupun tes ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) yang memiliki sensitivitas tinggi, namun spesifikasinya rendah. Bila pada saat tes ELISA hasilnya positif, maka harus dikonfirmasi dengan tes Western Blot, yaitu jenis tes yang mempunyai spesifikasi tinggi namun sensitifitasnya rendah. Karena sifat kedua tes ini berbeda, maka biasanya harus dipadukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Selain ketiga jenis tes tadi, ada juga jenis tes lain yang mampu mendeteksi antigen (bagian dari virus), yaitu NAT (nucleic acid amplification technologies) dan PCR (polymerase chain reaction).


(39)

Tes HIV harus bersifat sukarela, artinya bahwa seseorang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan orang lain. Ini juga berarti bahwa dirinya setuju untuk dites setelah mengetahui hal-hal apa saja yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari testing, serta apa saja impilkasi dari hasil positif atau pun hasil negatif, dan rahasia. Artinya, apa pun hasil tes ini nantinya (baik positif maupun negatif) hasilnya hanya boleh diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan. Tidak boleh diwakilkan kepada siapa pun, baik orang tua, pasangan, atasan atau siapapun (Nasution; Anwar; Putra, 2000).

Pertemuan pertama dengan individu yang potensial menderita HIV, seorang tenaga kesehatan profesional harus mencoba untuk mencapai beberapa tujuan yang spesifik. Pertemuan yang dilakukan bukan hanya berupa pemeriksaan atau tes, tetapi juga termasuk diskusi dan konseling baik sebelum dan sesudah pemeriksaan. (Muma, 2007).

2.4. HIV / AIDS 2.4.1. Pengertian HIV

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. HIV merupakan


(40)

suatu retrovirus RNA yang memiliki genom yang dapat mengkode enzim transverse transcriptase yaitu enzim yang memungkinkan virus untuk mengubah informasi genetiknya yang berbeda dalam RNA menjadi bentuk DNA dan kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Human Immunodeficiency Virus menyerang limfosit T-helper yang mempunyai reseptor CD4 pada permukaannya (Depkes, 2006).

2.4.2. Pengertian AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit karena adanya infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Seseorang yang terinfeksi HIV dapat dengan mudah terserang berbagai penyakit, termasuk penyakit yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak terlalu berbahaya, tetapi bagi mereka yang telah terinfeksi HIV, penyakit tersebut justru dapat bertambah parah. Hal ini disebabkan karena rendahnya daya kekebalan tubuh dan dapat berakhir dengan kematian (Nasution, 2000).

AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai Human T-cell Lymphotric Virus Type III (HTLV-III), atau Lymphadenopathy Associated Virus (LAV). HTLV- III adalah retrovirus. Ini adalah tipe unik virus yang mengandung RNA yang mampu menghasilkan DNA dalam sel yang terinfeksi. Virus tersebut menulari sel darah yang dikenal sebagai limfosit, yang bertanggung jawab atas sistem imunitas tubuh dan yang melindungi kita terhadap infeksi. Limfosit yang terinfeksi dirusak oleh virus


(41)

HTLV-III sehingga sistem imunitas rusak. Selanjutnya, hal ini menimbulkan infeksi dan kanker tertentu yang terbentuk di dalam tubuh (Weber, 2006).

2.4.3. Cara Penularan

Virus penyebab AIDS adalah HIV yang terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara-cara tertentu tanpa melihat status, kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual (Nasution, 2000).

Tiga cara penularan HIV yang paling sering terjadi adalah : a. Hubungan seksual.

Ada beberapa cara untuk melakukan hubungan seksual, yaitu vaginal (lewat vagina), anal (menggunakan dubur), oral (menggunakan mulut) dan mano-genital (menggunakan tangan). Dari keempat cara tersebut, risiko terbesar untuk dapat tertular HIV adalah apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal. 80% sampai dengan 90% kasus HIV ditemukan pada mereka yang melakukan kegiatan seksual secara anal. Hal ini disebabkan karena lapisan kulit di sekitar dubur cukup tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan dapat terjadi kontak antar cairan tubuh.


(42)

b. Kontak langsung dengan darah/produk darah/jarum suntik

Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV merupakan risiko tertinggi penularan HIV yaitu mencapai lebih dari 90%. Namun demikian, kasus penularan HIV melalui transfusi darah ini hanya dijumpai 3 - 5% dari total kasus penularan HIV sedunia. Selain itu, pemakaian jarum suntik yang tidak steril ataupun pemakaian jarum suntik secara bersama terutama seperti yang dilakukan oleh para pecandu narkotik. Cara ini mengandung risiko 0,5 – 1% dan telah ditemukan pada 5 - 10% dari total kasus sedunia.

c. Secara vertikal.

Secara vertikal maksudnya yaitu dari ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dimana penularan bisa saja terjadi pada waktu kehamilan, melahirkan ataupun sesudah melahirkan (ketika menyusui). Risiko penularan lewat cara ini adalah 25 - 40% dan telah ditemukan pada kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia (Nasution, 2000).

2.4.4. Gejala AIDS

Seorang dewasa (>12 tahun) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dengan sekurang–kurangnya didapatkan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 1 gejala minor serta gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV (PPNI, 2004).


(43)

a. Gejala minor yang mungkin akan timbul adalah : 1. Batuk kronis selama lebih dari satu bulan. 2. Dermatitis generalisata.

3. Adanya herpes zooster multi segmental dan herpes zooster berulang. 4. Kandidiasis orofaringeal.

5. Herpes simpleks kronis progresif. 6. Limpadenopati generalisata.

7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita. 8. Retinitis virus sitomegalo.

b. Gejala mayor yang muncul setelah sistem kekebalan tubuh menurun yaitu: 1. Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam satu bulan.

2. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan. 3. Diare kronis lebih dari satu bulan.

4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis. 5. Demensial/HIV ensefalopati.

c. Gejala AIDS yang lengkap adalah gejala minor dan mayor disertai satu atau lebih penyakit oportunistik, yaitu :

1. Pneumocystis Cariini merupakan infeksi parasit pada paru–paru. 2. Sarkoma Kaposi merupakan kanker yang tersebar pada kulit/mulut. 3. Tuberkulosis.


(44)

5. Infeksi gastrointestinal (Cryptosporidiosis) 6. Diare kronis dengan penurunan berat badan.

7. Infeksi neurologik (Cryptococcal atau meningitis sub akut). 8. Demam tanpa sebab yang jelas

9. Kelainan neurologis

2.5. Persepsi 2.5.1. Pengertian

Persepsi merupakan proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang dimiliki agar memberi makna kepada lingkungan. Kesan yang diterima individu sangat tergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu (Robbins, 2003).

Menurut J.P Chaplin yang dikutip Dzakiey (2005), persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera atau menafsirkan stimulus yang telah ada di otak. Faktor yang memengaruhi persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan pengharapan (ekspektasi). Dalam lingkup yang lebih luas, persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan menginterpretasikan stimulus yang ditunjukan oleh panca indera. Dengan kata lain, persepsi merupakan kombinasi antara faktor utama dunia luar (stimulus visual ) dan diri manusia itu


(45)

sendiri (pengetahuan sebelumnya). Persepsi memberikan makna pada stimuli (sensor stimuli). Persepsi juga merupakan pengalaman tentang objek atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Robbins, 2003).

Gambaran faktor–faktor yang memengaruhi persepsi dapat dijelaskan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut ini.

Faktor pada pemersepsi - Sikap

- Motif - Kepentingan - Pengalaman - Pengharapan

Faktor dalam situasi - Waktu

- Keadaan lingkungan Persepsi

- Keadaan sosial

Faktor pada target - Hal baru - Gerakan - Bunyi - Ukuran

- Latar belakang - Kedekatan

Sumber : Robbin, 2003

Gambar 2.


(46)

2.5.2. Faktor yang Memengaruhi Persepsi

1. Sikap, adalah suatu hal yang mempelajari mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan maupun yang kurang menguntungkan, tujuan manusia, objek, gagasan, atau situasi. Istilah objek dalam sikap digunakan untuk memasukkan semua objek yang mengarah pada reaksi seseorang. Menurut Notoatmodjo (2003) dengan mengutip Cardno mendefenisikan sikap sebagai : attitude entails an existing predisposition to response to social objects which in interaction with situational and other dispositional variables, guides and direct the overt behavior of the individual. Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami individu. Beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan sikap, yakni (1) Pengalaman pribadi. (2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting. (3) Pengaruh kebudayaan. (4) Media massa. (5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama. (6) Pengaruh faktor emosional. 2. Motif, adalah suatu perangsang keinginan (want) dan daya penggerak kemauan

bekerja seseorang; setiap motif mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai (Hasibuan, 2007). Motif mengandung semua alat penggerak alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sebuah motif adalah suatu pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau mengarah kepada sasaran akhir.

3. Kepentingan, individu berbeda satu sama lain. Apa yang dicatat satu orang di dalam suatu situasi dapat berbeda dengan apa yang dipersepsikan orang lain.


(47)

4. Pengalaman. Pengalaman seseorang tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan yang telah diterima sebelumnya. Kemudian dihubungkan dengan hal yang terjadi sekarang.

5. Pengharapan. Ekspektasi bisa mengubah persepsi individu dimana individu tersebut bisa melihat apa yang mereka harapkan bisa dilihat.

2.6. Landasan Teori

Keputusan adalah sebuah kesimpulan yang dicapai sesudah dilakukan pertimbangan, yang terjadi setelah satu kemungkinan dipilih, sementara yang lain dikesampingkan.

Waria adalah orang yang secara jasmaniah laki-laki, namun berpenampilan dan bertingkah laku menyerupai perempuan sedangkan orientasi seksnya homoseks (menyukai sesama jenis).

Konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien dengan tujuan agar klien mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadapnya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki kearah perkembangan yang optimal sehingga mampu mencapai kebahagian pribadi dan kemanfaatan sosial.


(48)

Telaah tentang pengambilan keputusan waria melakukan tes HIV, mengacu kepada Robins (2003), pengambilan keputusan yang optimal bersifat rasional, namun ketika individu memandang ke obyek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh pelaku pemersepsi, dalam objek atau target yang dipersepsikan

2.7. Kerangka Pikir

Faktor Pemersepsi

- Sikap Keputusan

- Motif Persepsi Melakukan Tes - Kepentingan HIV/AIDS

- Pengalaman

- Pengharapan

Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengenai keputusan waria pasca konseling pra tes HIV/AIDS dalam melakukan tes HIV/AIDS. Pengambilan keputusan dipengaruhi persepsi. Persepsi yang dimiliki bervariasi pada setiap orang dan terkait dengan penghayatan subjektif. Oleh sebab itu, pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.

Menurut Sugiyono (2008) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan penulis memahami permasalahan individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, disusun dari kata-kata, mendapatkan informasi rinci yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah. Merupakan metode yang didalam penelitiannya tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi tetapi menggambarkan pengamatan secara langsung dan melukiskan gejala berdasarkan fakta-fakta yang ada dan bagaimana adanya. Penelitian deskriptif ditujukan untuk :

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.

2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku.


(50)

4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

3.2. Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di Klinik IMS dan VCT Veteran dengan asumsi kelompok waria merasa nyaman dan sering mendatangi klinik ini. Pelaksanaan penelitian direncanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2009.

3.3. Informan

Teknik pengambilan informan dalam penelitian ini adalah berdasarkan purposive sampling. Informan dipilih berdasarkan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, Hal ini dilakukan agar partisipasi benar representatif terhadap fenomena yang dipelajari (Sugiyono, 2006). Jumlah informan tergantung situsi dan kondisi di lapangan.

Informan dalam penelitian dimaksudkan sebagai pintu masuk pendukung fakta lapangan dan bukan sebagai data mutlak. Informasi lain didapat dari berbagai sumber (informan) lain seperti peserta FGD, koordinator pelayanan, pegawai Klinik IMS dan VCT Veteran dan sumber lain yang dianggap relevan dengan tema penelitian.


(51)

3.4. Definisi Istilah

Keputusan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu pertimbangan yang telah melewati sebuah proses dari beberapa alternatif

Pengambilan Keputusan ialah proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai dengan situasi.

Waria adalah orang yang secara jasmaniah laki-laki, namun berpenampilan dan bertingkah laku menyerupai perempuan sedangkan orientasi seksnya homoseks (menyukai sesama jenis).

Konseling merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien dengan tujuan agar klien mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadapnya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal sehingga mampu mencapai kebahagian pribadi dan kemanfaatan sosial.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dari informan adalah Fokus Grup Diskusi (FGD), wawancara mendalam (depth interview) dan observasi pada saat wawancara dilakukan. Wawancara mendalam sebagai metode primer. Informan yang digunakan berasal dari informan yang didapat dari Lembaga Swadaya


(52)

Masyarakat (LSM) yang mendampingi waria, selanjutnya melalui informan ini dapat ditanyakan informan selanjutnya, begitu seterusnya, sehingga dari satu informan semakin lama semakin bertambah banyak, dan disesuaikan dengan kebutuhan informasi yang diinginkan.

Wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih luas dan mendalam tentang keputusan waria melakukan tes HIV/AIDS pasca konseling HIV/AIDS dalam melakukan tes HIV/AIDS. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur, sehingga pewawancara bebas memvariasikan urutan dan kata-kata dalam setiap pertanyaan, dan dapat menggali informasi lebih mendalam karena dapat mengajukan pertanyaan tambahan guna mendapatkan jawaban yang lebih spesifik dan akurat.

Pertanyaan yang digunakan hanya sebagai pintu masuk untuk membuka wacana sehingga informan bebas mengekspresikan diri, menentukan jenis dan banyaknya informasi yang akan diberikan serta menyatakan apa yang mereka pikir penting dan informasi penting yang sebelumnya tidak terpikir oleh penulis.

FGD diarahkan untuk mendapatkan informan yang dianggap layak dan memberikan second opinion terhadap data yang didapat dari wawancara mendalam.

Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat dan mencatat fenomena yang muncul, sebagai bagian dari penelitian yang berlangsung dalam konteks alamiah (Sugiyono, 2006). Nasution dalam Permanasari (2003) menyatakan bahwa observasi adalah suatu teknik untuk memperoleh informasi


(53)

tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam kenyataan. Dalam penelitian ini observasi digunakan hanya sebagai metode sekunder untuk memperoleh gambaran tentang reaksi informan saat pengambilan data dilakukan.

3.6. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah live history method, disebabkan penulis ingin menganalisis data yang didapatkan dari sejarah dan latar belakang kehidupan informan yang dibentuk dari kehidupan masa lalu dan masa kini, namun dmempunyai kaitan dengan tujuan penelitian. Seluruh hasil wawancara dengan para informan dituang dalam bentuk verbatim. Kemudian dilakukan koding pada verbatim berdasarkan tema yang muncul dari respon atau jawaban yang diberikan informan. Dengan melakukan koding, data yang diperoleh dapat memunculkan gambaran tentang topik yang diteliti dan penulis akan mendapatkan makna dari data tersebut.

Catatan selama FGD berlangsung disusun kembali dengan membuat transkrip, dalam menyusun catatan dibantu dengan mendengarkan kembali tape recorder untuk bagian yang terlewatkan. Data observasi, depth interview dan FGD yang telah dikelompokkan kemudian dianalisis berdasarkan tema yang muncul untuk kemudian diinterpretasi.


(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini melibatkan 2 (dua) orang informan pangkal, yaitu waria yang telah mengikuti proses VCT secara menyeluruh di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan. Penelitian ini juga melibatkan koordinator pelayanan Klinik IMS dan VCT Veteran, konselor, tenaga laboratorium dan dokter pemeriksa. Petugas outreach lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, beberapa peserta fokus grup diskusi (FGD) yang merupakan waria dalam komunitas informan sebagai pengontrol untuk mendapatkan secondary opinion dari informan pangkal.

Penulis memandang penting untuk menggambarkan deskripsi diri dan sejarah hidup informan. Karena dinamika kehidupan waria yang sangat kompleks sehingga dalam pengambilan keputusan, persepsi yang terbentuk oleh informan sebagai waria sangat terkait dengan kehidupan masa lalu, lingkungan masyarakat dan orang lain yang berhubungan dengan kehidupannya.

Penelitian ini juga bermaksud menggambarkan realitas sosial sebagai bagian yang tidak lepas dari individu dan maknanya. Bagaimana dan mengapa individu mengalami sesuatu adalah bagian penting dalam penelitian ini.


(55)

Tabel 1. berikut adalah gambaran umum dari kedua informan pangkal tersebut.

Informan-1 Informan-2

Nama (bukan yang sebenarnya)

Sari Yani

Usia 29 tahun 32 tahun

Pendidikan terakhir SMU SMK

Pariwisata

Suku bangsa Batak Jawa

Agama Kristen Islam

Pekerjaan Utama Pekerja Seks Pemilik Salon Kecantikan

4.1. Informan Pangkal – 1 (Sari) 4.1.1. Deskripsi Diri

Perawakan tubuh kurus dan tinggi dengan kulit sawo matang, waria yang telah melakukan operasi perubahan pada hidung yang tampak mancung, namun sedikit kurang proporsional. Beberapa bagian wajah seperti dagu, bibir dan pipi juga tampaknya dilakukan operasi sederhana. Terlihat dada yang lebih besar dari laki-laki umumnya, sehingga tampak menyerupai buah dada. Rambut hitam, panjang sebahu yang ditutupi dengan topi. Sari termasuk tipikal yang cenderung hati-hati dan takut


(56)

untuk menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Tampak raut wajah yang sedikit cemas dengan maksud kedatangan penulis, sering mengernyitkan dahi dan pandangan menerawang jauh seperti menyembunyikan sesuatu. Berkali-kali ia meminta agar identitas aslinya tidak dipublikasikan. Sari takut orang tua atau salah seorang anggota keluarganya ada yang mengetahui keberadaan dan keadaannya saat ini.

Walaupun pada awalnya Sari cenderung tertutup, tetapi lama kelamaan dia mulai terbuka, interaksi berjalan cukup lancar, kebalikannya dia sering menjawab sesuatu yang diluar lingkup pertanyaan, tampaknya Sari butuh teman untuk berbagi. Sebenarnya dia ingin keluarganya menerima dia kembali, kerinduan itu beberapa kali diungkapkan kepada penulis, hanya dia takut akan dipukul dan diusir kembali oleh bapaknya. Perasaan tertekan demikian kuat memengaruhi jalannya wawancara. Beberapa kali wawancara ditunda karena Sari lebih banyak menangis. Emosinya mudah sekali terpancing dalam menanggapi sesuatu yang ditanyakan penulis mengenai kehidupan masa lalunya. Dua hal yang bertolak belakang tentang perasaannya sering muncul di awal pertemuan, terlebih ungkapan perasaannya terhadap bapaknyanya. Lebih dari lima kali pertemuan pembicaraan dua arah lebih efektif. Sari menganggap penulis cukup sabar mendampinginya, sehingga menurutnya lebih baik terbuka saja.


(57)

4.1.2. Sejarah Hidup

Terlahir 2 November 1980, dengan nama asli pemberian orang tua seperti kebanyakan laki-laki lain pada umumnya. Sari terlahir dari keluarga yang agamis. Keluarganya merupakan keluarga besar, dia memiliki lima saudara laki-laki (enam dengan dirinya) dan satu saudara perempuan. Kalau ingin cerita dia cenderung lebih terbuka dengan saudara perempuannya. Dia memiliki masa kecil yang agak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Sari lebih suka bermain dengan perempuan dan sudah kelihatan genit, dia tidak suka bermain dengan laki-laki.

”Yang membedakan dengan teman-teman laki-laki lain, aku kalau main-main lebih suka dengan perempuan dan mainannya suka yang berbau-bau perempuan, seperti bunga-bungaan. Anehnya orang tua aku waktu itu membiarkan”

Perilaku masa kecilnya tersebut tumbuh kembang sampai dia benar-benar menjadi seorang waria. Orang tua Sari tidak sadar kalau apa yang dilakukan anaknya itu memengaruhi perkembangan dia selanjutnya. Mereka berpikir kalau anaknya bermain dengan perempuan akan lebih aman, karena kalau bermain dengan laki-laki ditakutkan akan berkelahi. Masyarakat yang melihat gaya Sari yang lentik dan suka bermain dengan perempuan, banyak yang memanggil dia dengan sebutan banci.

”Aku marah sekali waktu dikatakan banci, akukan laki-laki kenapa orang lain panggil aku banci ?”


(58)

Lama-kelamaan Sari merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sari mulai merasakan berbeda dengan orang lain, pada saat berusia 12 tahun, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, Sari sering ikut kakaknya sebagai penyanyi gereja dan penyanyi hajatan di daerah asalnya. Pada saat manggung di acara pesta pernikahan dia sudah mulai berdandan seperti perempuan. Dia sangat suka akan perannya sebagai perempuan, tetapi kalau melihat laki-laki berdandan selayaknya perempuan dia tidak suka (padahal saat itu, dia sudah berjalan megal-megol). Setelah pentas tersebut, Sari sering sembunyi-sembunyi memakai pakaian dan berdandan selayaknya perempuan. Saat itu dia belum sepenuhnya sadar akan keadaan dirinya. Lama kelamaan dia merasa lebih tertarik dengan laki-laki. Seperti apa yang diceritakannya.

”Aku kalau melihat laki-laki itu ada getaran yang lain, tapi kalau sama perempuan biasa saja. Aku merasa kalau melihat perempuan, ya itu lah aku.. tapi kalau berteman dengan lelaki ada perasaan malu. Demikian juga kalau melihat guru yang ganteng, aku tertarik, namun kalau melihat lawan jenis aku tidak tertarik sama sekali”.

Dia bercerita dengan menunjukkan kelentikannya sebagai seorang waria. Orang tua Sari pada awalnya membiarkan saja karena dianggap masih anak-anak. Seiring dengan bertambahnya usia, Sari merasakan bahwa apa yang dikatakan orang-orang bahwa dirinya banci adalah benar. Setelah mengetahui dan mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya, dia memutuskan jalan hidup yang dianggapnya terbaik. Selesai menamatkan SMA, akhirnya dia berani menunjukkan jati diri yang


(59)

sebenarnya. Dia mengambil keputusan itu karena dia tidak ingin membohongi diri sendiri, dengan cara sembunyi-sembunyi dia merasa telah menyakiti diri sendiri, walaupun dulu dia tidak pernah berpikir sedikitpun untuk menjadi seorang waria.

“Waktu dulu sebenarnya aku juga tidak menghendaki jadi penyanyi yang berdandan perempuan. Waktu itu ada hubungannya dengan agama yang kental dalam keluarga kami. Harus banyak pertimbangan waktu itu. Aku merasa dosa. Ya Tuhan Yesus..dosa, ya Tuhan alak lai (laki-laki) kenapa jadi boru (perempuan). Saat itu antara iya dan tidak, di dalam hati aku berkeinginan menjadi seorang laki-laki sejati, tapi aku kan gak kayak laki-laki istilahnya kan aku keperempuanan, apa yang harus aku lakukan ?”.

Itu merupakan problema yang luar biasa saat dia akan memutuskan menjadi seorang waria karena seluruh keluarga menentang keputusannya. Terutama bapaknya yang sangat keras mendidik anak-anaknya. Namun Sari berkeyakinan dengan membuka jati diri sebenarnya, batinnya akan lebih tenang. Keputusan itu membuat orang tua mengusirnya dari rumah dengan alasan membuat aib keluarga, Sari dianggap anak durhaka. Dia berusaha menjelaskannya kepada bapaknya, namun tidak digubris.

”Aku tak pernah meminta dilahirkan sebagai waria, tapi dengan mendandani diri seperti perempuan, aku merasa nyaman.... mendapatkan kenikmatan batin yang dalam, mohon Bapak mengerti keadaanku ini”.


(60)

Ia seolah berhasil melepas beban psikologi yang selama ini masih memberatkannya. Tidak terima dengan penjelasan Sari, bapaknya melempar Sari dengan benda yang ada disekitarnya. Sari sedih dan putus asa, dia berniat bunuh diri ketika itu, namun takut dosa. Sari berjalan tidak tentu arah, sampai akhirnya bertemu dengan seorang waria bernama Sinta di terminal pusat kota yang hendak menuju Medan. Sekilas Sari menceritakan permasalahannya kepada Sinta yang dianggapnya dapat memberikan solusi karena sesama waria. Sinta mengajaknya ke rumah kakaknya. Sari menurut saja karena sangat bingung tidak tahu harus kemana dan berbuat apa. Mereka berbicara panjang lebar, yang menurut Sari merupakan alasan dia berada di Medan saat ini.

Malam harinya dengan berpura-pura telah menyadari perbuatannya. Sari diterima kembali oleh keluarga. Bapaknya yang seorang pendeta menasehati Sari sepanjang malam itu. Namun, tekadnya sudah bulat. Beberapa hari kemudian dengan membawa pakaian dan perlengkapan dirinya Sari menuju Kota Medan dengan temannya itu.

4.1.3. Pengambilan Keputusan Tes HIV

Sari menginjakkan kaki di Kota Medan pada tahun 1999 bulan juni, ketika usianya 19 tahun. Awalnya ia menumpang di rumah Sinta yang mengenalkannya dengan dunia waria lebih jauh. Setelah memiliki cukup simpanan, ia mengontrak kamar di sekitar tempat mangkalnya. Selain di tempat mangkal, ia juga melakukan


(61)

transaksi seksual di kamar kontrakannya. Karena daerah mangkalnya merupakan hot spot salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal yang mendampingi Waria, Sari sering mendapatkan media KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) yang berkaitan dengan pencegahan HIV/AIDS, namum ia tidak mengindahkannya, bahkan kondom yang dibagikanpun tidak pernah ia gunakan.

”Aku gak gitu perduli dengan petugas lapangan yang datang bagiin kondom, soalnya mereka itu kan makcik (waria) juga yang aku tahu mereka dulunya ngeluna (menjajakan diri), aku ngerasa lebih suka ajak mereka godain berondong (pria muda)”.

Dibenaknya yang terpenting sekarang mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Sari berpikiran suatu ketika ia akan membuktikan kepada orang kampungnya di Siantar, terutama orang tuanya, bahwa dia dapat hidup tanpa mereka, dia seperti ingin melampiaskan apa yang dibuat keluarganya dulu terhadapnya.

”gini ini caranya yang aku bisa, ijazah gak bawa, mo kerja apa coba? ...aku kan harus dapat duit banyak biar bapakku tau, aku gak perlu diurusnya, pulang aku nanti biar dilihatnya aku...”

Ketika senggang Sari kadang membaca surat kabar. Dia mulai sedikit perduli ketika ada berita sebuah rumah sakit kabupaten yang merawat pasien yang diduga penderita AIDS, namun dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan karena belum tersedia pelayanan tes HIV di sana. Belum lagi beberapa waktu sebelumnya ia


(62)

mendengar ada waria di lokasi yang berbeda dengan tempat dia mangkal meninggal dunia tapi tidak diketahui jenis sakitnya, namun dari bisik-bisik sesama waria, Intan (bukan nama sebenarnya) meninggal karena AIDS yang sudah lama dideritanya. Sejak saat itu Sari mulai tergerak dan mau menerima informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS yang disampaikan petugas lapangan (PL) kepadanya, bahkan ia mulai mencarinya sendiri, baik bertanya dengan teman atau dari surat kabar dan majalah. Namun, untuk bertanya ke PL atau petugas kesehatan dia belum mau, karena Sari masih takut pada akhirnya akan diajak untuk melakukan tes (tugas setiap PL dalam menyampaikan tes selalu diakhiri dengan anjuran untuk melakukan tes IMS dan HIV/AIDS).

Saat dalam proses pencarian itu, ia berkenalan dengan seorang laki-laki bernama Iwan yang belakangan menjadi kekasihnya. Karena suatu alasan, setelah hampir delapan bulan menjalani ia mengambil keputusan mengakhiri hubungannya dengan Iwan.

”Aku nggak nyangka, dia make bang, aku sebenarnya sayang, tapi mo gimana lagi aku sudah nggak ada apa-apa lagi, kami sering bertengkar kalau dia minta duit, kadang-kadang bayar kost aku telat karena dia perlu duit. Alasanya macam-macam bang, itu lah yang akhirnya buat aku mutusin dia”

Lama Sari tidak berhubungan lagi dengan Iwan, sampai suatu hari sekitar Mei 2007, Dewi teman Sari yang belakangan diketahui menjalin hubungan dengan


(63)

laki-laki itu sebelum mengenal Sari, memberi kabar bahwa laki-laki-laki-laki tersebut telah dirawat di Rumah Sakit Adam Malik karena beberapa hari yang lalu mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor dan harus dioperasi. Hasil pemeriksaan darah diketahui bahwa yang bersangkutan adalah HIV positif. Kenyataan yang terpampang di hadapannya membuat Sari takut bahwa dia terinfeksi HIV, dan secepatnya akan meninggal.

”Aku takut kali waktu itu, banyak yang bilang kalau kena (HIV), ga lama lagi pasti metong (mati), contohnya si Intan...gitu hasilnya positif gak sampai setahun, dia sudah terbaring dan gak lama meninggal...ih ngeri lah bang...mana gak ada teman waria lain yang mau perduli, aku sempat 2 hari gak tidur mikirannya sebelum nyari PL yang tahu banyak... ”.

Dari hasil bincang-bincang dengan petugas lapangan, disarankan untuk menghilangkan keraguan dan ketakutan tersebut agar Sari melakukan VCT. Sari belum bersedia untuk melakukan tes, namun dia mau untuk melakukan konseling pra tes. Sesuai dengan waktu yang telah disepakati, yakni pertengahan September 2008, Sari dengan ditemani petugas lapangan melakukan konseling di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan. Menurut Sari ia banyak mendapatkan pemahaman tentang HIV/AIDS dan IMS dari konseling tersebut, walaupun dia belum bersedia untuk diambil darahnya. Cukup lama Sari dalam kebimbangan, sampai suatu ketika seorang temannya menawarkan Sari untuk ikut bergabung dalam organisasi waria Kota Medan.


(64)

Dari sering bertemu di forum Pelangi Hati (organisasi waria Kota Medan), Sari banyak mengenal waria lain yang positif HIV namun semangat hidup dan kondisi tubuh tidak berbeda dengan orang sehat lainnya. Hindun, salah seorang dari ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang paling tua usianya di komunitas Pelangi Hati merupakan orang yang paling dekat dengan Sari. Hindun banyak memberi Sari inspirasi bagaimana menjalani hidup sebagai ODHA.

Sejak itu Sari berusaha keras mendapatkan informasi yang berkaitan dengan tes HIV/AIDS, ia menghubungi PL yang menjangkau ke lokasi.

”Kak Hindun sebenarnya orang yang paling bisa buat aku yakin kalau cara yang paling baik mengatasi kondisi ku saat ini adalah menghadapi masalah itu, bukannya lari...aku yang gak mau tes, kata kak Hindun itu sama saja aku lari dari masalah...berarti aku takut menghadapi kenyataan....mungkin ada benarnya, tapi aku belum siap, tapi paling tidak kak Hindun sudah menambah keyakinan aku kalau suatu saat aku akan tes, tapi gak sekarang..”.

Ia semakin rajin mencari sesuatu yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Setelah dirasanya cukup dan siap dengan segala resikonya Sari mengambil keputusan untuk melakukan tes HIV. Sari menghubungi PL yang selama ini sering berkunjung ke lokasinya. Dengan ditemani PL tersebut Sari mengunjungi Klinik IMS dan VCT Veteran Medan.


(65)

4.1.4. Pelayanan Klinik VCT

Sari pertama sekali mengunjungi Klinik IMS dan VCT Veteran Medan sekitar akhir September 2008, Sari dengan ditemani Petugas Lapangan LSM lokal dengan maksud untuk melakukan salah satu proses VCT yakni konseling pra tes HIV/AIDS. Tujuan Sari adalah untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan HIV/AIDS dan bagaimana sebenarnya tes HIV dilakukan, karena ia merasa apa yang ia dapatkan dari bahan bacaan dan yang ia dengar baik dari petugas lapangan maupun teman-temannya belum dapat memuaskan. Menurutnya ada hal-hal yang kontra produktif apa yang disampaikan oleh berbagai sumber tersebut, banyak hal-hal yang ditanyakannya kepada berbagai sumber tersebut masih mengambang dan bertentangan satu dengan lainnya.

Sari meyakini bila mendapatkan informasi dari petugas kesehatan akan lebih paham dengan apa yang diinginkannya, dibandingkan dari informasi yang dia dapat dari teman-temannya dan petugas lapangan. Sari berharap informasi yang didapat membantunya memberikan solusi dan pertimbangan apakah dia memang seharusnya melakukan tes HIV.

Kedatangan Sari tidak membuahkan hasil. Karena konselor yang akan ditemui sedang tidak berada di tempat. Menurut petugas lain yang pada saat itu berada disana, hal tersebut memang kadang-kadang terjadi, karena pada waktu tertentu yang bersangkutan sedang ada tugas di Dinas Kesehatan Propinsi. Menurut koordinator layanan klinik yang dikonfirmasi kemudian oleh penulis menyangkut hal ini.


(66)

Konselor Klinik IMS dan VCT Veteran adalah petugas Dinas Kesehatan Propinsi yang ditempatkan sementara di klinik ini karena telah mengikuti pelatihan konselor Departemen Kesehatan, sebelum ada petugas lain yang dilatih, artinya saat ini beliau memiliki dua beban kerja, yakni di Dinas Kesehatan Propinsi sebagai staf bidang P2M (Pemberantasan Penyakit Menular) dan konselor Klinik IMS dan VCT Veteran.

Petugas lapangan kemudian membuat kesepakatan baru dengan Sari, akan datang kembali pada waktu yang disepakati, namun Sari mensyaratkan PL sebelumnya harus menghubungi klinik untuk mendapatkan kepastian kehadiran konselor.

”Malam itu aku mikir lagi bang, keraguanku timbul lagi untuk tes HIV, apa memang ini jalan yang terbaik, apa rahasia ini bisa terjamin, batinku yakin betul kalau hasilnya pasti positif, kayak yang aku baca, meyes patra (hubungan seks anal) apalagi ditempong (seks anal pelaku pasif), makanya janji dengan PL aku undur-undurin, ku bilang lagi gak sempat, aku juga takut orang disana (petugas klinik) memang gak perduli dengan orang kayak kita (waria)”.

Seminggu kemudian sesuai dengan perjanjian, Sari dengan ditemani PL kembali mengunjungi klinik untuk melakukan tes. Sari harus melakukan proses VCT dari awal. Setelah dilakukan catatan medis atasnya, Sari dikonseling pra tes kembali, ia diberikan informasi HIV/AIDS yang faktual dan berdiskusi perilaku dirinya yang memungkinkan penularan terjadi. Namun ia merasa kurang nyaman karena menurutnya konselor menanyakan hal-hal yang sangat pribadi. Dia lebih banyak


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, B, 2005, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan

Ilmu Sosial, Edisi 2, Jakarta.

Departemen Kesehatan. 2006, Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela. Depkes, Jakarta.

---2006, Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV. Depkes, Jakarta.

---2007, Fakta Tentang HIV dan AIDS. 05. Dec 2007. www.depkes.go.id/.

---2007, Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 05. Dec 2007. www.depkes.go.id/.

---2008, HIV/AIDS. Ditjen PP dan Depkes, Jakarta.

Djoerban, Zubairi. 2000, Membidik AIDS : Ikhtiar Memahami HIV dan ODHA. Galang Press, Yogyakarta.

GSM, 2008. Laporan tahunan. Medan.

Haruddin, Mubasyir Hasan Basri, 2007 Studi Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Working Paper Series No.3.

Hawari. 2001, Faktor Penyebab HIV/AIDS. PT Rineka Cipta Jakarta.

Kompas, April 07. 2007, Mereka yang terpinggirkan. KPA Nasional, 2008, HIV/AIDS. Depkes, Jakarta. KPAND SU,2008 Laporan Tahunan.


(2)

Menteri Kesehatan R.I 2005, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1507/Menkes/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing Secara Sukarela (voluntary counseling and testing).

Muma. Richard D, Barbara Ann. 2007, HIV. Penerbit EGC, Jakarta. Nadia, Zunly. 2005, Waria. Penerbit Pustaka Marwa, Yogyakarta.

Nasution. Rizali H, Chairil Anwar dan Darma Putra. 2000, AIDS: Kita Bisa Kena dan Kita Bisa Cegah. Yayasan Humaniora, Medan.

Oetomo, D. 2003, Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Robbins. Stephen. P. 2003, Perilaku Organisasi. PT Indeks Kelompok Gramedia,

Jakarta.

Salusu. M.A, J. Pengambilan Keputusan Stratejik. 2003, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.

Salviana, Vina. 2005, Waria dan Tekanan Sosial. UMM Press, Jakarta. Sensus Penduduk, 2000. Statistik dan Populasi. Depkes, Jakarta.

Starr, Martin K. and David Dannenbring G. 1981, Management Science, An Introduction, MacGraw-Hill International Book Company, Auckland.

Syamsi, Ibnu. Pengambilan Keputusan. 1989. Penerbit Bina Aksara. Jakarta.

UNAIDS. 2008, Voluntary Counselling and Testing; technical update. UNAIDS Best Practice Collection. 25. Juni 2008. www.unaids.org/.

UNAIDS. 2008, The Impact of Voluntary counselling and testing. A global review of Benefits and Challenges. 18. Agust 2008. www.unaids.org/.


(3)

PEDOMAN WAWANCARA

Pedoman wawancara ini dibuat untuk mengingatkan dan sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah ditanyakan. Pedoman wawancara dibuat sebagai panduan dalam melaksanakan wawancara tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung.

- Nama, tempat dan tanggal lahir, Alamat, jumlah saudara, pekerjaan? - Bagaimana kehidupan keluarga semasa kecil, remaja dan dewasa? - Bagaimana karakteristik anggota keluarga?

- Bagaimana kehidupan sosial, ekonomi dan kehidupan beragama keluarga saudara ?

- Menjadi waria adalah pilihan, apa yang menyebabkan/latar belakang saudara mengambil keputusan menjadi waria?

- Sejauh apa lingkungan diluar keluarga memengaruhi pilihan ini? - Bagaimana penerimaan lingkungan terhadap pilihan ini?

- Bagaimana sikap saudara menyikapi perlakuan lingkungan terhadap keputusan memilih jalan hidup waria?

- Apa yang saudara ketahui tentang HIV/AIDS ?


(4)

- Mengapa saudara akhirnya mengambil keputusan melakukan Tes?

- Bagaimana pengaruh lingkungan saudara dalam memutuskan melakukan tes?

- Bagaimana pengaruh konselor bagi anda dalam mengambil keputusan tes? - Konselor seperti apa yang saudara harapkan dalam memberikan

konseling?

- Bagaimana sikap konselor selama proses konseling berlangsung?

- Orang seperti apa yang saudara anggap layak dijadikan teman bicara untuk mendapatkan dukungan jika pemeriksaan HIV saudara positif ? - Bagaimana perlakuan yang tepat menurut saudara yang dilakukan

terhadap penderita HIV/AIDS?

- Bagaimana perlakuan petugas kesehatan kepada orang yang HIV positif? - Manfaat apa yang saudara rasakan setelah menjalani VCT?


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

Pedoman wawancara ini dibuat untuk mengingatkan dan sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah ditanyakan. Pedoman wawancara dibuat sebagai panduan dalam melaksanakan wawancara tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung.

- Nama, tempat dan tanggal lahir, Alamat, jumlah saudara, pekerjaan? - Bagaimana kehidupan keluarga semasa kecil, remaja dan dewasa? - Bagaimana karakteristik anggota keluarga?

- Bagaimana kehidupan sosial, ekonomi dan kehidupan beragama keluarga saudara ?

- Menjadi waria adalah pilihan, apa yang menyebabkan/latar belakang saudara mengambil keputusan menjadi waria?

- Sejauh apa lingkungan diluar keluarga memengaruhi pilihan ini? - Bagaimana penerimaan lingkungan terhadap pilihan ini?

- Bagaimana sikap saudara menyikapi perlakuan lingkungan terhadap keputusan memilih jalan hidup waria?

- Apa yang saudara ketahui tentang HIV/AIDS ?


(6)

- Mengapa saudara akhirnya mengambil keputusan melakukan Tes?

- Bagaimana pengaruh lingkungan saudara dalam memutuskan melakukan tes?

- Bagaimana pengaruh konselor bagi anda dalam mengambil keputusan tes? - Konselor seperti apa yang saudara harapkan dalam memberikan

konseling?

- Bagaimana sikap konselor selama proses konseling berlangsung?

- Orang seperti apa yang saudara anggap layak dijadikan teman bicara untuk mendapatkan dukungan jika pemeriksaan HIV saudara positif ? - Bagaimana perlakuan yang tepat menurut saudara yang dilakukan

terhadap penderita HIV/AIDS?

- Bagaimana perlakuan petugas kesehatan kepada orang yang HIV positif? - Manfaat apa yang saudara rasakan setelah menjalani VCT?


Dokumen yang terkait

Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary Counselling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan

5 85 115

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

5 90 147

Karakteristik dan Cara Penularan Penderita HIV/AIDS yang Memanfaatkan Klinik Voluntary Counselling And Testing (VCT) Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2008

5 76 72

Keputusan Waria Melakukan Tes HIV/AIDS Pasca Konseling Di Klinik Infeksi Menular Seksual Dan Voluntary Counselling And Testing Veteran Medan Tahun 2009

0 68 124

Peran Komunikasi Antar Pribadi Dalam Voluntary Counselling And Testing : (Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan)

1 64 100

Persepsi Kelompok Risiko Tinggi Tertular Hiv/Aids Tentang Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Dan Voluntary Counseling & Testing (VCT) Di Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2008

0 21 103

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014

5 54 177

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Sifilis - Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary Counselling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan

0 0 30

Determinan Penyakit Sifilis pada Kelompok Lelaki Suka Lelaki (LSL) di Klinik Infeksi Menular Seksual-Voluntary Counselling and Testing (IMS-VCT) Veteran Kota Medan

0 0 17

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

0 0 16