Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO HIV/AIDS TERHADAP KELOMPOK WARIA DI KLINIK INFEKSI

MENULAR SEKSUAL (IMS) BESTARI KOTA MEDAN TAHUN 2014

TESIS

Oleh

WINDY MAIDESI 127032176/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE RISK FACTORS OF HIV/ AIDS ON THE SHEMALE GROUP AT SEXUALLY TRANSMITTED INFECTIONS (STIs)

AT BESTARI CLINIC IN THE CITY OF MEDAN 2014

THESIS

By

WINDY MAIDESI 127032176/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO HIV/AIDS TERHADAP KELOMPOK WARIA DI KLINIK INFEKSI

MENULAR SEKSUAL (IMS) BESTARI KOTA MEDAN TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Megister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

WINDY MAIDESI 127032176/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO HIV/AIDS TERHADAP KELOMPOK WARIA DI KLINIK INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) BESTARI KOTA MEDAN TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Windy Maidesi Nomor Induk Mahasiswa : 127032176

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

Tanggal Lulus : 26 Juni 2014

(drh. Hiswani, M.Kes) Anggota

(dr. Rahayu Lubis, M.Kes Ph.D) Ketua

Dekan


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 26 Juni 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

2. Dr. Drs. R.Kintoko Rochadi, M.K.M 3. dr. Mhd Makmur Sinaga, M.S


(6)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO HIV/AIDS TERHADAP KELOMPOK WARIA DI K LINIK INFEKSI

MENULAR SEKSUAL (IMS) BESTARI KOTA MEDAN TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam pustaka.

Medan, Juli 2014

Windy Maidesi 127032176/IKM


(7)

ABSTRAK

HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia Tahun 1987. Kasus HIV/ADS terus bertambah dan telah menyebar di 33 Provinsi serta 300 Kabupaten/Kota. Akumulasi data penderita HIV sampai dengan akhir tahun 2012 tercatat sebanyak 92.251 kasus. Kasus HIV pada waria di Klinik IMS Bestari dari 15 waria didapatkan ada 3 penderita HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi risiko HIV/AIDS terhadap kelompok waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014.

Jenis penelitian adalah studi analitik observasional dengan desain case

control. Populasi adalah seluruh waria yang datang ke klinik IMS Bestari Kota

Medan pada bulan Januari sampai Desember 2013 yang berjumlah 192 orang, sampel berjumlah 36 orang untuk kelompok kasus dan 36 orang untuk kelompok kontrol (Buku Register Klinik IMS Bestari Kota Medan 2013). Analisis data yaitu univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan variable yang memiliki hubungan dengan kejadian HIV/AIDS adalah pengetahuan (OR=3,250;95%CI 1,217-8,676), sikap (OR=3,500;95%CI 1,260-9,724), dan tindakan (OR=3,750;95%CI 1,379-10,200). Hasil analisis multivariat variabel yang dominan terhadap kejadian HIV/AIDS pada kelompok waria adalah sikap, dimana waria bersikap kurang baik berisiko terkena HIV/AIDS 3,59 kali lebih besar dibanding dengan waria yang bersikap baik terhadap kejadian HIV/AIDS.

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk memperkuat layanan

VCT(Voluntary Counseling and Testing) dalam rangka pencarian kasus HIV/AIDS

agar mengurangi risiko penularan dan perilaku yang berisiko. Klinik IMS Bestari Kota Medan diharapkan meningkatkan penyuluhan tentang HIV/AIDS kepada masyarakat melalui media elektronik, media massa serta meningkatkan kualitas KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) dan penggunaan kondom pada kelompok beresikotinggi.


(8)

ABSTRACT

Since first discoveredin 1987, the HIVAIDS cases have been increasedin 33 provinces and300 districts/cities of Indonesia. The accumulation of HIV/AIDS up to the end of 2012 were92,251cases. Three of the 15 shemales at Sexually Transmitted Infection (STI) Bestari Clinic are found to have suffered from HIV/ AIDS. The purpose of this study was to find out the factors in fluencing the risk of HIV/AIDS on shemale group at STI at Bestari Clinic in the City of Medan in 2014.

The population of this observational analytic study with case control design was192 shemales visited the STI Bestari Clinic in the City of Medan, from January to December 2013. And 36 of them were selected to be the sample in the case group and 36 to be in the control group. The data obtained were analyzed through univariately, bivariately and multivariate analysis by using multiple logistic regression tests.

The results of bivariate analysis showed that the variable of knowledge (OR=3,250;95%CI 1,217-8,676), attitude (OR=3,500;95%CI 1,260-9,724), and action (OR=3,750;95%CI 1,379-10,200) had in fluence on the incidence of HIV/AIDS in the shemale group. The result of multivariate analysis showed that the dominant variable influenced the incidence of HIV/AIDS in the shemale group was attitude, where the shemales with unfavorable attitude had 3,59 times more risky to be suffered from HIV/AIDS than those with favorable attitude

Medan City Health Service is expected to strengthen the VCT services in order to find the cases of HIV/ AIDS to reduce the risk of transmission and risky behaviors. STI Bestari Clinic in the City of Medan is expected to improve theextension on HIV/ AIDS forthe community through electronic media, mass media as well as improving the quality of IEC and the use of condom among high-risk groups.

.


(9)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014 ”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan, bantuan, dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih kepada : 1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing tesis yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

5. drh. Hiswani, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing tesis yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

6. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku Ketua Penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.

7. dr. Mhd Makmur Sinaga, M.S selaku Anggota Penguji yang telah banyak memberikan masukan dan saran guna penyempurnaan tesis ini.

8. Drg. H. Usma Polita Nst, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Medan.

9. dr. H. Indra Gunawan selaku Kepala Puskesmas Bestari Kota Medan yang telah memberikan izin penelitian di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Medan. 10. dr. Siti Hatati Surjantini, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi

Sumatera Utara yang telah memberi izin penulis untuk Pendidikan Pasca Sarjana IKM-FKM USU

11. Ayahanda Drs. M. Ilyas dan Ibunda Trimey, selaku orang tua yang telah banyak memberikan dukungan motivasi dan doa selama penulis menyelesaikan Pendidikan Program Pasca Sarjana.

12. Putriku tercinta Cindy Octavia Siregar, terima kasih atas doa dan kesabaran serta kasih sayang yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan.


(11)

13. Saudara-saudaraku dr. Verdy Vernando, dr. Anthon Vermana, Sp.An, Dicky Andrea, dan Arnold Yananta terima kasih atas pengorbanan baik moril, materil dan spiritual yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan.

14. Seluruh Dosen Epidemiologi yang sudah member ilmu dan senantiasa rela memberikan waktu untuk berdiskusi baik formal maupun non formal.

15. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan terima kasih semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Medan, Juli 2014 Penulis

Windy Maidesi 127032176/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Windy Maidesi, lahir pada tanggal 25 Desember 1973, anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. M.Ilyas dan Ibunda Trimey.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi Rantau Prapat tahun 1980, sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri No. 142423 Padang Sidempuan (Tapsel) selesai tahun 1986, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Padang Sidempuan (Tapsel) selesai tahun 1989, Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta UISU Medan selesai tahun 1992, dan Program Studi Kedokteran Umum (FK) di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara Medan selesai tahun 2002.

Penulis bekerja di Praktek Dokter dan Klinik Bersalin Mustika Hati Tangerang-Banten tahun 2003 sampai 2005, bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat (Sumatera Barat) tahun 2005 sampai 2010, dan bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011 sampai sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. LatarBelakang ... 1

1.2. PerumusanMasalah ... 10

1.3. TujuanPenelitian ... 10

1.4. Hipotesis ... 12

1.5. ManfaatPenelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. HIV/AIDS ... 13

2.1.1. DefinisiHIV/AIDS ... 13

2.1.2. Epidemi HIV/AIDS ... 15

2.1.3. EtiologidanPatofisiologi ... 18

2.1.4. Risiko HIV/AIDS ... 20

2.1.5. Tahapan-Tahapan HIV/AIDS ... 22

2.1.6. GejalaKlinis HIV/AIDS ... 23

2.1.7. Penularan HIV/AIDS ... 25

2.1.8. KelompokResikoTinggiTertular HIV/AIDS ... 28

2.1.9. Cara Pencegahan HIV/AIDS ... 29

2.1.10. Pengobatan HIV/AIDS ... 30

2.1.11. Usaha yang DilakukanApabilaTerinfeksi HIV/AIDS 32

2.2. Waria ... 33

2.2.1. PengertianWaria ... 33

2.2.2. JenisWaria ... 36

2.2.3. Ciri-ciriWaria ... 37


(14)

2.3. FaktorRisiko HIV/AIDS padaKelompokWaria ... 38

2.3.1. Umur ... 38

2.3.2. Pendidikan ... 39

2.3.3. Pekerjaan ... 39

2.4. PerilakuKesehatan ... 41

2.4.1. DefinisiPerilakuKesehatan ... 41

2.4.2. DeterminanPerilakuKesehatan ... 42

2.4.3. DeterminanPerilakuTerkaitPenelitian ... 44

2.5. LandasanTeori ... 47

2.6. KerangkaKonsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1. JenisdanDesainPenelitian ... 50

3.2. LokasidanWaktuPenelitian ... 51

3.2.1. LokasiPenelitian ... 51

3.2.2. WaktuPenelitian ... 51

3.3. PopulasidanSampelPenelitian ... 51

3.3.1. PopulasiPenelitian ... 51

3.3.2. SampelPenelitian ... 52

3.3.3. PengambilanSampel ... 53

3.4. MetodePengumpulan Data ... 53

3.5. UjiValiditasdanUjiReliabilitas ... 54

3.6. DefenisiOperasional ... 56

3.7. AspekPengukuran ... 57

3.8. MetodeAnalisa Data ... 58

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 60

4.1. DeskriptifLokasiPenelitian ... 60

4.1.1. KeadaanGeografi ... 60

4.1.2. JumlahPenduduk ... 61

4.1.3. KeadaanKlinik IMS Bestari ... 61

4.2. AnalisisUnivariat ... 62

4.2.1. DeterminanBerdasarkan Host ... 62

4.2.2. Pengetahuan ... 63

4.2.3. Sikap ... 63

4.2.4. Tindakan ... 64


(15)

4.3. AnalisisBivariat ... 65

4.3.1. HubunganUmurdenganKejadian HIV/AIDS ... 65

4.3.2. HubunganPendidikandenganKejadian HIV/AIDS ... 66

4.3.3. HubunganPekerjaandenganKejadian HIV/AIDS ... 66

4.3.4. HubunganPengetahuandenganKejadian HIV/AIDS ... 67

4.3.5. HubunganSikapdenganKejadian HIV/AIDS ... 67

4.3.6. HubunganTindakandenganKejadian HIV/AIDS ... 68

4.4. AnalisisMultivariat ... 69

BAB 5. PEMBAHASAN ... 73

5.1. PengaruhantaraKarakteristikterhadapKejadian HIV/AIDSdiKlinik IMS Bestari Medan ... 73

5.1.1. Umur ... 73

5.1.2. Pendidikan ... 75

5.1.3. Pekerjaan ... 77

5.2. PengaruhantaraPerilakuterhadapKejadian HIV/AIDSdiKlinik IMS Bestari Medan ... 80

5.2.1. Pengetahuan ... 80

5.2.2. Sikap ... 85

5.2.3. Tindakan ... 89

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

6.1. Kesimpulan ... 94

6.2. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1 Rencana Waktu Penelitian ... 54

3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Pengetahuan ... 54

3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sikap ... 55

3.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Tindakan ... 56

3.4 Aspek Pengukuran Variabel Independen dan Variabel Dependen ... 57

4.1. Distribusi Frekuensi di Klinik IMS Bestari Medan Berdasarkan Karakteristik Waria (Umur, Pendidikan dan Pekerjaan) ... 62

4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Waria terhadap Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan ... 63

4.3 Distribusi Frekuensi Sikap Waria terhadap Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan ... 64

4.4 Distribusi Frekuensi Tindakan Waria terhadap Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan ... 64

4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian HIV/AIDS padaWaria di Klinik IMS Bestari Medan ... 65

4.6 Hubungan Umur dengan Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan ... 66

4.7 Hubungan Pendidikan dengan Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan ... 66

4.8 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan ... 67


(17)

4.9 Hubungan Sikap dengan Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari

Medan ... 68 4.10 Hubungan Tindakan dengan Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS

Bestari Medan ... 68 4.11 Hasil Analisis yang Memenuhi Asumsi Multivariat (Kandidat)... 69 4.12 Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda ... 70


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1.1. Deskripsi Penyebaran HIV dari 1 Orang HIV+ ... 2

1.2. Regional Overview HIV/AIDS ... 4

2.1. Jumlah HIV dan AIDS yang Dilaporkan per Tahun ... 17

2.2. Cara Penularan Virus HIV/AIDS dalamTubuh ... 21

2.3. Virus Penyebab HIV/AIDS ... 23

2.4. Sumber Risiko Pemicu Epidemi HIV di Indonesia ... 25

2.5. Persentase AIDS Dilaporkan Menurut Faktor RisikoTahun 2012 ... 28

2.6. Bagan Precede Lawrence W. Green ... 43


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Informed Consent ... 99

2. Kuesioner ... 100

3. POA ... 104

4. Master Data ... 105

5. Hasil Uji Statistik ... 106

6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 133

7. Dokumentasi Penelitian ... 139

7. Surat Izin Uji Kuesioner Klinik IMS Veteran Kota Medan... 142

8. Surat Izin Pendahuluan Dinkes Kota Medan ... 143

9. Surat Izin Penelitian Puskesmas Bestari Kota Medan ... 144

10. Surat Izin Telah Melaksanakan Penelitian Puskesmas Bestari Kota Medan 145 11. Surat Izin Telah Melaksanakan Penelitian Dinkes Kota Medan ... 146


(20)

ABSTRAK

HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia Tahun 1987. Kasus HIV/ADS terus bertambah dan telah menyebar di 33 Provinsi serta 300 Kabupaten/Kota. Akumulasi data penderita HIV sampai dengan akhir tahun 2012 tercatat sebanyak 92.251 kasus. Kasus HIV pada waria di Klinik IMS Bestari dari 15 waria didapatkan ada 3 penderita HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi risiko HIV/AIDS terhadap kelompok waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014.

Jenis penelitian adalah studi analitik observasional dengan desain case

control. Populasi adalah seluruh waria yang datang ke klinik IMS Bestari Kota

Medan pada bulan Januari sampai Desember 2013 yang berjumlah 192 orang, sampel berjumlah 36 orang untuk kelompok kasus dan 36 orang untuk kelompok kontrol (Buku Register Klinik IMS Bestari Kota Medan 2013). Analisis data yaitu univariat, analisis bivariat dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan variable yang memiliki hubungan dengan kejadian HIV/AIDS adalah pengetahuan (OR=3,250;95%CI 1,217-8,676), sikap (OR=3,500;95%CI 1,260-9,724), dan tindakan (OR=3,750;95%CI 1,379-10,200). Hasil analisis multivariat variabel yang dominan terhadap kejadian HIV/AIDS pada kelompok waria adalah sikap, dimana waria bersikap kurang baik berisiko terkena HIV/AIDS 3,59 kali lebih besar dibanding dengan waria yang bersikap baik terhadap kejadian HIV/AIDS.

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk memperkuat layanan

VCT(Voluntary Counseling and Testing) dalam rangka pencarian kasus HIV/AIDS

agar mengurangi risiko penularan dan perilaku yang berisiko. Klinik IMS Bestari Kota Medan diharapkan meningkatkan penyuluhan tentang HIV/AIDS kepada masyarakat melalui media elektronik, media massa serta meningkatkan kualitas KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) dan penggunaan kondom pada kelompok beresikotinggi.


(21)

ABSTRACT

Since first discoveredin 1987, the HIVAIDS cases have been increasedin 33 provinces and300 districts/cities of Indonesia. The accumulation of HIV/AIDS up to the end of 2012 were92,251cases. Three of the 15 shemales at Sexually Transmitted Infection (STI) Bestari Clinic are found to have suffered from HIV/ AIDS. The purpose of this study was to find out the factors in fluencing the risk of HIV/AIDS on shemale group at STI at Bestari Clinic in the City of Medan in 2014.

The population of this observational analytic study with case control design was192 shemales visited the STI Bestari Clinic in the City of Medan, from January to December 2013. And 36 of them were selected to be the sample in the case group and 36 to be in the control group. The data obtained were analyzed through univariately, bivariately and multivariate analysis by using multiple logistic regression tests.

The results of bivariate analysis showed that the variable of knowledge (OR=3,250;95%CI 1,217-8,676), attitude (OR=3,500;95%CI 1,260-9,724), and action (OR=3,750;95%CI 1,379-10,200) had in fluence on the incidence of HIV/AIDS in the shemale group. The result of multivariate analysis showed that the dominant variable influenced the incidence of HIV/AIDS in the shemale group was attitude, where the shemales with unfavorable attitude had 3,59 times more risky to be suffered from HIV/AIDS than those with favorable attitude

Medan City Health Service is expected to strengthen the VCT services in order to find the cases of HIV/ AIDS to reduce the risk of transmission and risky behaviors. STI Bestari Clinic in the City of Medan is expected to improve theextension on HIV/ AIDS forthe community through electronic media, mass media as well as improving the quality of IEC and the use of condom among high-risk groups.

.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini

berkembang secara pandemik. Obat dan vaksin untuk mengatasi masalah tersebut belum ditemukan, yang dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya di bidang kesehatan tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan demografi (DepKes RI, 2010).

HIV adalah epidemi yang sudah berkembang menjadi krisis global. Penyakit ini juga memiliki “window periode” dan fase asimptomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya Hal tersebut diatas menyebabkan pola perkembangannya seperti Fenomena Gunung Es (iceberg phenomena).

Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang telah meninggal karenanya, dan menurut data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) hingga September 2008 tercatat 32,3 juta orang terjangkit HIV/AIDS. Diperkirakan tidak kurang dari 6800 orang terinfeksi HIV setiap harinya dan lebih dari 5700 orang meninggal karena AIDS. HIV/AIDS merupakan ancaman yang sangat serius bagi pertumbuhan sosio-ekonomi, stabilitas dan keamanan di negara-negara berkembang (WHO, 2008).


(23)

Berdasarkan case report United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2011 jumlah orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir tahun 2010 terdapat 34 juta orang, dua pertiganya tinggal di Afrika kawasan Selatan Sahara, di kawasan itu kasus infeksi baru mencapai 70%, di Afrika Selatan 5,6 juta orang terinfeksi HIV, di Eropa Tengah dan Barat jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS sekitar 840 ribu, di Jerman secara Kumulasi ada 73 ribu orang, kawasan Asia Pasifik merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Afrika Selatan dimana terdapat 5 juta penderita HIV.

Gambar 1.1. Deskripsi Penyebaran HIV dari 1 Orang HIV+

Menurut WHO di laporkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 3,5 juta orang di Asia Tenggara hidup dengan HIV/AIDS. Beberapa Negara seperti Myanmar, Nepal dan Thailand menunjukkan Tren penurunan untuk infeksi baru HIV, hal ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program pencegahan HIV/AIDS


(24)

melalui program Condom use 100 persen (CUP). Tren kematian yang disebabkan oleh AIDS antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda disetiap bagian Negara. Di Eropa Timur dan Asia Tengah sejumlah orang meninggal karena AIDS meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di Asia Timur juga meningkat dari 24.000 menjadi 56.000 (WHO,

Progress Report 2011).

Situasi masalah HIV-AIDS Triwulan IV (Oktober-Desember) tahun 2012 yaitu laporan HIV dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2012 jumlah infeksi baru HIV yang dilaporkan sebanyak 6.139 orang. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (61,6%), diikuti kelompok umur ≥50 tahun (20,1%), dan kelompok umur 20-24 tahun (12,5%). Rasio HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1. Persentase faktor risiko HIV tertinggi hubungan seks berisiko pada heteroseksual (52,8%), penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (10,3%), dan LSL (lelaki seks lelaki) (7,7%). Berdasarkan laopran AIDS bahwasanya dari bulan Oktober sampai Desember 2012 jumlah AIDS yang dilaporkan sebanyak 2.145 orang. Persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (35,05%) diikuti kelompok umur 20-29 tahun (24,8%) dan kelompok umur 40-49 tahun (17,6%). Rasio AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Jumlah AIDS tertinggi dilaporkan dari Provinsi Jawa Tengah (486), Bali (429), Papua (416), DIY (176) dan Sulawesi Selatan (156). Persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah seks berisiko pada heteroseksual (78,3%) dari ibu positif HIV ke


(25)

anak (4,1%), penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (3,8%) dan (lelaki seks lelaki) (2,8%) (Kemenkes, 2013).

Gambar 1.2. Regional Overview HIV/AIDS

Penderita HIV pertama di Indonesia dilaporkan adalah seorang wisatawan Belanda yang mengunjungi Bali pada tahun 1987. Pada tahun 1987, di Indonesia hanya ada sembilan kasus HIV kemudian jumlah ini terus bertambah setiap tahun. Kasus HIV di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan. Jika pada tahun 2005 terdapat 2.639 kasus HIV, akhir tahun 2010 angkanya sudah meningkat tajam menjadi 4.158 kasus. Secara kumulatif kasus HIV sejak 1 Januari 1987 sampai dengan 30 September 2012 sebanyak 92.251 kasus pada 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Rate kumulatif kasus HIV Nasional sampai dengan September 2012 adalah 16,59 per 100.000 penduduk (berdasarkan data BPS 2011, jumlah penduduk Indonesia 238.893.400 jiwa) dengan rasio kasus HIV antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1 (Depkes RI, 2012).

Desember 2008 tercatat jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 17.207 orang dan jumlah korban yang meninggal karena AIDS sebanyak 2.369 orang,


(26)

di Jawa Barat tercatat 2975 orang terinfeksi HIV/AIDS dengan prevalensi 4,3 per 100.000 populasi dengan tambahan 230 kasus baru setiap tahunnya (Depkes RI, 2008).

Salah satu efek jangka panjang endemi HIV yang telah meluas seperti yang telah terjadi di Papua adalah dampaknya pada indikator demografi. Karena tingginya proporsi kelompok umur yang lebih muda terkena penyakit yang membahayakan ini, dapat diperkirakan nantinya akan menurunkan angka harapan hidup. Karena semakin banyak orang yang diperkirakan hidup dalam jangka waktu yang lebih pendek, kontribusi yang diharapkan dari mereka pada ekonomi nasional dan perkembangan sosial menjadi semakin kecil dan kurang dapat diandalkan. Pada tingkat makro, sumber daya yang seharusnya digunakan untuk aktivitas produktif terpaksa dialihkan pada perawatan kesehatan, waktu yang terbuang untuk merawat anggota keluarga yang sakit, dan lainnya,juga akan meningkat (KPA, 2007).

Hingga saat ini HIV masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan tahun 2011, kasus HIV tersebar diseluruh (33) Propinsi di Indonesia yaitu 368 (73,9%) dari 498 total penderita HIV/AIDS. Propinsi pertama kali ditemukannya adanya kasus HIV adalah Provinsi Bali (1987), sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat (Kemenkes, 2012).

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), menyatakan bahwa hasil kajian para ahli epidemiologi Indonesia tentang kecenderungan epidemi HIV, maka pada tahun 2010 jumlah kasus HIV menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang dan


(27)

pada tahun 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Penularan dari sub-populasi berperilaku berisiko kepada isteri atau pasangannya akan terus berlanjut Diperkirakan pada akhir tahun 2015 akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang sudah terinfeksi HIV (Komunitas AIDS Indonesia, 2011).

Walaupun HIV/AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, namun ternyata dalam penyebarannya sangat dipengaruhi oleh pola perilaku dan gaya hidup seseorang (Laksana, 2010). Upaya pencegahan HIV/AIDS terutama didasarkan pada upaya untuk melakukan perubahan perilaku seksual seseorang yang beresiko tertular dan promosi penggunaan kondom (DepKes RI, 2010).

Tiga kelompok populasi yang menduduki peringkat teratas dalam pembagian populasi yang terinfeksi HIV/AIDS adalah heteroseksual, IDU (Injecting Drug User) dan homoseksual. Homoseksual adalah laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan sesama laki-laki dan waria atau transgender, merupakan salah satu golongan yang berisiko tinggi dalam penyebaran HIV/AIDS. Waria sering kali dianggap rendah dan disisihkan dari masyarakat. Perilaku marginalisasi tersebut mengakibatkan komunitas waria dan homoseksual seringkali bersifat tertutup, sehingga sangat sulit untuk mengadakan komunikasi untuk mensosialisasikan informasi dan program-program menyangkut HIV/AIDS (Ardian, 2006).

Masalah HIV/AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan


(28)

setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Di tanah Papua epidemi HIV sudah masuk kedalam masyarakat (generalized epidemic), dengan prevalensi HIV dipopulasi dewasa sebesar 2,4%. Sedangkan dibanyak tempat lainnya dalam kategori terkonsentrasi dengan prevalensi HIV >5% pada populasi waria. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, kasus AIDS dilaporkan banyak ditemukan pada laki-laki yaitu 74,5%, sedangkan pada perempuan 25% (DepKes RI, 2008).

Kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya dimasyarakat. Pada tahun 1920 muncul komunitas homoseksual di kota besar Hindia – Belanda. Pada tahun 1969 berlangsung pertikaian antara waria dan gay dengan polisi yang dikenal dengan istilah huru hara stonewall, yang terjadi di NewYork Amerika. Kejadian tersebut menjadi langkah awal bagi waria dan gay dalam mempublikasikan keberadaan mereka (Ardian, 2006).

Pada tahun yang sama mulai muncul organisasi waria yang bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Pada tahun 2009 berdasarkan data Yayasan Srikandi Sejati (Hamid, 2011) sebuah lembaga yang mengurusi masalah waria, jumlah waria Indonesia mencapai 6.000.000 orang. Waria merupakan salah satu kelompok risiko tinggi penyebar HIV/AIDS yang keberadaannya saat ini cukup mengkhawatirkan karena aktivitas yang melekat dalam kesehari-harian mereka. Aktivitas seksual pada waria sebagai pekerja seksual dianggap beresiko tinggi karena mereka mempunyai banyak pasangan seksual pria dan kemungkinan besar pasangan mereka mempunyai banyak pasangan seksual pria lainnya, baik pria yang sudah atau


(29)

belum menikah. Kelompok ini bahkan besar kemungkinan atau risikonya lebih tinggi tertular penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS.

Seperti kita ketahui keberadaan kaum transgender seperti waria di Indonesia masih dilihat sebelah mata. Tidak sedikit dari kita yang menganggap jijik dan sinis. Padahal transgender ini amat rentan mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan. Mereka kerap menjadi korban kekerasan dan pembunuhan, baik oleh perorangan , aparat hukum, atau kelompok anti waria atas dasar kebencian dan prasangka buruk. Para waria di Indonesia banyak kita temui dipinggir jalan sebagai pengamen atau pekerja seks.

Bila kita bandingkan dengan keberadaan waria di Thailand sangatlah berbeda 360 derajat. Di Thailand sulit kita membedakan para waria dengan wanita asli.Berkat kecanggihan teknologi operasi disana, para waria akhirnya mempunyai kulit mulus, wajah cantik, badan langsing, payudara montok, dan berjari lentik. Berbeda sekali dengan para waria di Indonesia yang berbadan kekar, berkulit kasar dan sedikit seram.

Di Thailand waria justru menjadi primadona industri hiburan. Mereka tidak hanya cantik tapi juga kreatif dalam unjuk kebolehan. Pemerintah disana pun memberikan dukungan atas kreativitas para waria tersebut dengan dijadikan sebagai objek wisata dan pemilihan waria Thailand seperti layaknya kontes pemilihan putri kecantikan. Para pemenang akan menjadi model dalam pertunjukan cabaret digedung Alcazar. Pada akhir pertunjukan biasanya para penonton diberi kesempatan untuk berfoto bersama para waria ini diluar gedung. Saat ini merupakan saat mencari


(30)

tambahan uang untuk para waria. Mereka tidak perlu bersusah payah merayu seperti para waria di Indonesia, karena dengan sendirinya para penonton membayar.

Sebaliknya dengan keberadaan waria di Indonesia yang melekat stigma dan diskriminasi. Tak jarang para waria selalu berurusan dengan Satpol Pamong Praja.Hal ini berpengaruh pada rendahnya pendapatan waria di Indonesia sehingga banyak dari mereka yang mengamen dan turun kejalan mengakibatkan rentan terhadap HIV/AIDS. Perilaku marginalisasi yang diderita oleh kaum waria dan homoseksual ini memaksa mereka untuk berlaku heteroseksual dipermukaan untuk melepaskan diri dari status marginal atau tersisih. Keadaan ini berdampak buruk pada laju penyebaran HIV/AIDS di masyarakat karena mereka akan melakukan hubungan seks dengan laki-laki dan juga dengan istri sah mereka (Iis, 2008).

Kasus Kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di kabupaten Brebes tercatat 60 yang terdeteksi sejak tahun 2010 sampai April 2013., di Kota Tegal dilaporkan 211 yang terdeteksi sejak 2008 sampai Oktober 2012 yang terdiri atas 117 HIV dan 94 AIDS, dan di Kabupaten Pemalang 61 HIV dan 26 AIDS dengan 19 kematian karena waria dinilai memiliki risiko besar penularan HIV/AIDS (Kemenkes, 2012).

Paparan penderita HIV/AIDS di Sumatera Utara terus meningkat. Setidaknya hingga Juli 2012 jumlah kumulatif penderita HIV/AIDS mencapai 3.684 orang. Dari data Global Fund Dinas Kesehatan Sumatera Utara mencatat peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS berkisar 200 penderita setiap tahunnya. Dari data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Medan menyatakan bahwa Kecamatan Medan Kota menjadi wilayah kelompok gay dengan 295 orang. Diperingkat kedua ditempati


(31)

kecamatan Medan Sunggal dengan 245 gay, dan peringkat ketiga ditempati Medan Petisah dengan 208 gay. Untuk waria, Medan Baru menduduki tempat pertama dengan 161 waria, Medan Johor di posisi kedua dengan 134 waria, dan Medan Petisah di posisi ketiga dengan 93 waria. Dari survey awal yang dilakukan di Klinik IMS Bestari Medan Kota peneliti mendapatkan data di bulan Desember 2013 bahwa dari 15 waria yang mendatangi klinik IMS didapatkan hasil rata-rata setiap bulannya ada 3 penderita HIV/AIDS dari kelompok waria yang berobat di Klinik IMS Bestari Kota Medan (Dinkes, 2013).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan tahun 2014.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis ingin mengetahui “Apakah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014?”.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV.AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014.


(32)

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria berdasarkan Umur di klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan tahun 2014.

1.3.2.2. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria berdasarkan Pendidikan di klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan tahun 2014.

1.3.2.3. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria berdasarkan Pekerjaan di klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan tahun 2014.

1.3.2.4. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria berdasarkan Pengetahuan di klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan tahun 2014.

1.3.2.5. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria berdasarkan Sikap di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan tahun 2014.

1.3.2.6. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria berdasarkan Tindakan menggunakan kondom di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan tahun 2014.


(33)

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Tindakan untuk mencegah Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan serta Pemerintah Kota Medan dalam menentukan kebijakan untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

1.5.2. Sebagai bahan masukan bagi KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Medan dan LSM dalam pencarian kasus HIV/AIDS dan penanggulangan HIV/AIDS.

1.5.3. Sebagai bahan masukan bagi instansi dan stakeholder terkait dalam memberikan penyuluhan terutama perilaku beresiko untuk penggunaan kondom di kalangan beresiko terkena HIV/AIDS juga sebagai referensi dalam perencanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

1.5.4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.


(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HIV/AIDS

2.1.1. Definisi HIV/AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam

family lentivirus. Dua jenis HIV yang secara genetiknya berbeda tetapi sama dari antigennya berhubungan yaitu 1 dan 2 diisolasi dari penderita AIDS. HIV-1 lebih banyak dijumpai pada penderita AIDS di Amerika Serikat, Eropa dan Afrika Tengah, manakala HIV-2 lebih banyak dijumpai di Afrika Barat, HIV-1 lebih mudah ditransmisi berbanding HIV-2. Periode antara infeksi pertama kali dengan timbul gejala penyakit adalah lebih lama dan penyakitnya lebih ringan pada infeksi HIV-2 (WHO, 2008).

Menurut Green (2007), HIV merupakan singkatan dari Human

Immunnedeficiency Virus. Disebut human (manusia) karena virus ini hanya dapat

menginfeksi manusia, immunodeficiency karena efek virus ini adalah melemahkan kemampuan system kekebalan tubuh untuk melawan segala penyakit yang menyerang tubuh, termasuk golongan virus karena salah satu karakteristiknya adalah tidak mampu memproduksi diri sendiri, melainkan memanfaatkan sel-sel tubuh. Sel darah putih manusia sebagai sel yang berfungsi untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh virus, bakteri, jamur, parasit dan beberapa jenis kanker diserang oleh


(35)

HIV yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit (Nursalam, 2011).

HIV adalah virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sebagaimana kita ketahui bahwa sel darah putih sangat diperlukan untuk system kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit, tubuh kita lemah dan tidak berupaya melawan jangkitan penyakit dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa. Manusia yang terkena virus HIV, tidak langsung menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk berubah menjadi AIDS yang mematikan (WHO, 2008).

AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome.

Acquired artinya di dapat, jadi bukan merupakan penyakit keturunan. Immuno berarti

sistem kekebalan tubuh. Deficiency artinya kekurangan, sedangkan Syndrome adalah kumpulan gejala. AIDS adalah sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan system imun yang disebabkan oleh infeksi HIV. Penularan virus HIV dapat terjadi melalui darah, air mani, hubungan seksual, atau cairan vagina. Namun virus ini tidak dapat menular lewat kontak fisik biasa, seperti berpelukan, berciuman, atau berjabat tangan dengan seseorang yang terinfeksi HIV atau AIDS (Nursalam, 2011).


(36)

2.1.2. Epidemi HIV/AIDS a. Epidemi Global

Sejarah tentang HIV/AIDS dimulai ketika tahun 1979 di Amerika Serikat ditemukan seorang gay muda dengan Pneumocytis Carinii dan dua orang gay muda dengan Sarcoma Kaposi. Pada tahun 1981 ditemukan seorang gay muda dengan kerusakan system kekebalan tubuh. Pada tahun 1980 WHO mengadakan pertemuan yang pertama tentang AIDS.

Prevalensi AIDS pada tahun 1993 sebesar 900.000. Sedangkan pada akhir tahun 2000 sebanyak 2 juta orang. Pada tahun 2001 insidensi infeksi HIV baru pada anak sebanyak 800.000 dengan 580.000 kematian akibat HIV/AIDS. Dari 800.000 anak, 65.000 kasus terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Sampai akhir tahun 2002 terdapat 42 juta orang hidup dengan HIV/AIDS, dari jumlah ini 28,5 juta (68%) hidup di Afrika sub-Sahara dan 6 juta (14%) berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pada tahun 2002 terdapat 5 juta orang baru terinfeksi HIV dan 3,1 juta orang meninggal karena HIV/AIDS.

Di Amerika Utara dan Inggris, epidemic pertama terjadi pada kelompok laki-laki homoseksual, selanjutnya dan pada saat ini epidemi terjadi juga pada pengguna obat suntik dan pada populasi heteroseksual. Di Afrika ditemukan bahwa HIV disebarkan terutama melalui hubungan seksual heteroseksual, seks tanpa kondom adalah modus utama penularan HIV di Karibia. Survey menunjukkan persentase prevalensi HIV pada beberapa kelompok yaitu : 80-90% PSK, 30% kelompok laki-laki konsumennya, 30% pada kelompok mereka yang datang berobat di Klinik


(37)

penyakit menular seksual, 10% pada pendonor darah dan 10% pada kelompok wanita yang diperiksa di klinik perawatan antenatal. Di San Fransisco dan New York, AIDS saat ini merupakan penyebab utama kematian premature pada laki-laki usia muda. Sampai dengan tahun 2010 jumlah penderita HIV di seluruh dunia sebanyak 34 juta orang (UNAIDS, 2011).

Men Sex Men (MSM) Report World Bank (2011) melaporkan di seluruh dunia

diperkirakan bahwa seks antar laki-laki termasuk kelompok penyumbang kejadian infeksi HIV, situasinya bervariasi antar Negara, tahun 2008 di Equador (15,9%), Peru (13,80%), Uruguay (18,90%), Argentina (12,10%), Panama (10,60%), Elsavador (7,90%), Nicaragua (9,30%), Mexico (25,60%), Jamaica (31,80%), di Brazil tahun 2003 sampai 2008 sebesar 8,2%, pada tahun 2002 sampai 2009 di Peru (13,30%), Ukraina (10,60%), Kenya (15,20%), Thailand (23,00%), Rusia (3,4%), India (16,5%), pada tahun 2005 di Thailand tepatnya di Bangkok (28,3%). Penelitian yang lain di Indonesia (4%), Bangladest (7,5%), Srilanka (7,5%), Nepal (7,5%) (UNAIDS, 2011).

Studi laki-laki gay Afrika menunjukkan bahwa seks anal tanpa kondom adalah biasa, prevalensi HIV diantara laki-laki dibeberapa daerah di Afrika Barat yang berhubungan seks dengan laki-laki sebesar 25,3%, di Kenya 43%, di Afrika Selatan dimana seks antara laki-laki adalah legal, prevalensi HIV antara 20% dan 40% (UNAIDS, 2011).

b. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia

Di Indonesia, HIV pertama kali dilaporkan di Bali pada bulan April 1987, terjadi pada orang berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1999 di Indonesia terdapat


(38)

635 kasus HIV dan 183 kasus baru AIDS. Mulai tahun 2000-2005 terjadi peningkatan kasus HIV dan AIDS secara signifikan di Indonesia. Kasus AIDS tahun 2000 tercatat 255 orang, meningkat menjadi 316 orang pada tahun 2003. Kasus HIV meningkat cepat tahun 2005 (859 kasus), tahun 2006 (7.195 kasus), tahun 2007 (6.048 kasus), tahun 2008 (10.362 kasus), tahun 2009 (9.793 kasus), tahun 2010 (21.591 kasus), tahun 2011 (21.031 kasus). Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai dengan tahun 2011 sebanyak 76.879 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta (19.899 kasus), diikuti Jawa Timur (9.950 kasus), Papua (7.085 kasus), Jawa Barat (5.741 kasus) dan Sumatera Utara (5.027 kasus).

Gambar 2.1. Grafik Jumlah HIV dan AIDS yang Dilaporkan per Tahun Kasus AIDS sampai dengan tahun 2004 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 2.682 kasus, tahun 2005 (2.639 kasus), tahun 2006 (2.873 kasus), tahun 2007 (2.947 kasus), tahun 2008 (4.969 kasus), tahun 2009 (3.863 kasus), tahun 2010 (5.774 kasus), tahun 2011 (4.162 kasus). Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan tahun 2011 sebanyak 29.879 kasus. Jumlah kasus AIDS


(39)

tertinggi yaitu DKI Jakarta (5.177 kasus), diikuti Jawa Timur (4.598 kasus), Papua (4.449 kasus), Jawa Barat (3.939 kasus) dan Bali (2.428 kasus). Persentase kasus AIDS pada laki-laki sebanyak 70,8% dan perempuan 28,2%. Angka kematian (CFR) menurun dari 40% pada tahun 1987 menjadi 2,4% pada tahun 2011.

2.1.3. Etiologi dan Patofisiologi

AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV, virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala Limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), Gallo (National

Institute of Health, USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan

bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International

Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberikan nama resmi HIV

(Widoyono, 2005).

HIV termasuk kelompok retrovirus, virus yang mempunyai enzim (protein) yang dapat merubah RNA, materi genetiknya menjadi DNA. Kelompok retrovirus karena kelompok ini membalik urutan normal yaitu DNA diubah (replikasi) menjadi RNA. Setelah menginfeksi RNA HIV berubah menjadi DNA oleh enzim yang ada dalam virus HIV yang dapat mengubah RNA virus menjadi (reversetranscriptase) sehingga dapat disisipkan kedalam DNA sel-sel manusia. DNA itu kemudian dapat digunakan untuk membuat virus baru (virion), yang menginfeksi sel-sel baru, atau tetap tersembunyi dalam sel-sel yang hidup panjang, atau tempat penyimpanan,


(40)

seperti limfosit sel-sel CD4 (Sel-T Pembantu) yang istirahat sebagai target paling penting dalam penyerangan virus ini (Nursalam, 2011).

Sel CD4 adalah salah satu tipe dari sel darah putih yang bertanggung jawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus yang lain, bakteri, jamur, dan parasit dan juga beberapa jenis kanker. Kemampuan HIV untuk tetap tersembunyi dalam DNA dari sel-sel manusia yang hidup lama, tetap ada seumur hidup membuat infeksi menyebabkan kerusakan sel-sel CD4 dan dalam waktu panjang, jumlah sel-sel CD4 menurun menjadi masalah yang sulit untuk ditangani bahkan dengan pengobatan efektif (Liu dkk, 2005).

Apabila sudah banyak sel T4 yang hancur, terjadi gangguan imunitas seluler, daya kekebalan penderita menjadi terganggu sehingga kuman yang tadinya tidak berbahaya atau dapat dihancurkan oleh tubuh sendiri (infeksi oportunistik) akan berkembang lebih leluasa dan menimbulkan penyakit yang serius yang pada akhirnya penyakit ini dapat menyebabkan kematian. Apabila sudah masuk kedalam darah, HIV dapat merangsang pembentukan antibody dalam waktu 3-8 minggu setelah terinfeksi pada Periode sejak seseorang terinfeksi HIV sampai terbentuk antibody disebut periode jendela (window period). Periode jendela ini sangat perlu diketahui oleh karena sebelum antibody terbentuk di dalam tubuh, HIV sudah ada didalam darah penderita dan keadaan ini juga sudah dapat menularkan kepada orang lain (Yayasan Pelita Ilmu, 2012).

Cara pemeriksaan yang umum dipakai ialah dengan pemeriksaan darah serologi dengan cara ELISA (Enzym Linked Imunosorbent Assay) dan cara


(41)

pemeriksaan penentu dengan tekhnik Western Blot. Pertama kali dilakukan tes ELISA, apabila hasil negative berarti tidak terinfeksi HIV walaupun hasil itu negative bila baru saja terinfeksi belum lama berselang.

Bila tes memberi hasil positif laboratorium melakukan tes kedua dengan

Western Blot (WB), bila kedua hasil terlihat positif maka penderita tersebut

seropositif atau HIV positif. Jika pemeriksaan ELISA positif dan Western Blot tidak dapat menentukan dengan pasti atau tidak sepenuhnya negative namun tidak positif juga ada dua kemungkinan penyebab tes tidak dapat menentukan dengan pasti yaitu pertama kemungkinan baru terinfeksi dan dalam masa pengembangan serologi positif (seroconverting) dan dilakukan tes ulangan tidak lama berselang akan menjadi sepenuhnya positif dalam waktu 1 bulan. Kedua kemungkinan negative tetapi hasil tes tidak pasti dengan alasan yang tidak akan pernah diketahui dan bila tes tetap tidak pasti selama 1 sampai 3 bulan berarti tidak terinfeksi, hasil positif 97% dalam waktu 3 bulan dan 100% dalam waktu 6 bulan (Liu dkk, 2005).

2.1.4. Risiko HIV/AIDS

Penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang mempunyai resiko kematian yang tinggi. HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan jenis virus yang menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS merupakan kumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya sistem kekebalan tubuh seseorang. Penyakit ini menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga penderita tidak mempunyai kekebalan terhadap berbagai penyakit (Mariastutik, 2008).


(42)

Seseorang yang telah mengidap virus AIDS akan menjadi pembawa dan penular AIDS selama hidupnya, walaupun tidak merasa sakit dan tampak sehat. AIDS juga dikatakan penyakit yang berbahaya karena sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang bisa mencegah virus AIDS. Selain itu orang yang terinfeksi AIDS akan merasakan tekanan mental dan penderitaan batin karena sebagian besar orang disekitarnya akan mengucilkan atau menjauhinya. Dan penderita itu akan bertambah lagi akibat tingginya biaya pengobatan. Bahaya AIDS yang lain adalah menurunnya system kekebalan tubuh, sehingga serangan penyakit yang biasanya tidak berbahayapun akan menyebabkan sakit atau bahkan meninggal.


(43)

2.1.5. Tahapan-tahapan HIV Menjadi AIDS

Perkembangan HIV pada tubuh penderita setelah 5-10 tahun terinfeksi HIV. Tahapan-tahapan HIV menjadi AIDS memiliki gejala-gejala sebagai berikut :

1. Tahap Awal Terinfeksi HIV, gejala mirip influenza (demam, sendi terasa nyeri, rasa lemah, lesu, batuk, nyeri tenggorokan, dan pembesaran kelenjar). Gejala ini akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari.

2. Tahap Tanpa Gejala, meskipun tanpa gejala tetapi dites darah ditemukan antibody HIV (HIV +). Masa ini berlangsung 5-7 tahun.

3. Tahap ARC (AIDS Related Complex), muncul gejala-gejala awal AIDS. ARC adalah istilah yang didapati 2 atau lebih gejala yang berlangsung. Gejala-gejalanya yaitu : demam selama 3 bulan atau lebih disertai keringat dingin di malam hari, berat badan turun drastis lebih dari 10%, badan lesu, pembesaran kelenjar secara lebih luas, diare/mencret terus menerus dalam waktu lama tanpa sebab yang jelas, batuk dan gejala sesak nafas lebih dari 1 bulan, kulit gatal bercak-bercak kebiruan, sakit tenggorokan, pendarahan yang tidak jelas penyebabnya.

4. Tahap AIDS, muncul infeksi lain yang berbahaya seperti TBC, infeksi paru-paru, infeksi jamur dirongga mulut, tumor kulit/kanker kulit (kaposis sarcoma, bercak-bercak kemerahan pada kulit) dan pembengkakan kelenjar getah bening.

5. Tahap Gangguan Otak, pada tahap ini dapat mengakibatkan kematian sel otak dan gangguan mental berupa damensia (gangguan daya ingat), penurunan kesadaran, gangguan psikotik, depresi, dan gangguan syaraf.


(44)

2.1.6. Gejala Klinis HIV/AIDS

Sejak pertama seseorang terinfeksi virus HIV, maka virus tersebut akan hidup dalam tubuhnya, tetapi orang tersebut tidak akan menunjukkan gejala penyakit namun terlihat betapa sehat, aktif, produktif seperti biasa. Karena gejala-gejala AIDS tampak setelah lebih 3 bulan.

Adapun gejala-gejala AIDS itu sendiri adalah : berat badan turun dengan drastis, demam yang berkepanjangan lebih dari 38ºc, pembesaran kelenjar dileher, diketiak dan lipatan paha yang timbul tanpa sebab, mencret atau diare yang berkepanjangan, timbulnya bercak-bercak merah kebiruan pada kulit (kanker kulit atau Kaposi Sarcoma), sesak nafas dan batuk yang berkepanjangan, sariawan yang tidak sembuh-sembuh. Semua itu adalah gejala-gejala yang dapat kita lihat pada penderita AIDS yang lama kelamaan akan berakhir dengan kematian.


(45)

Menurut MFMER (Mayo Foundation for Medical Education and Research) (2008), gejala klinis HIV/AIDS dibagi menjadi 3 fase, yaitu :

a. Fase Infeksi Akut (Acute Retroviral Syndrome)

Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) jumlah berjuta-juta virion. Begitu banyaknya virion tersebut memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip semacam flu. Diperkirakan bahwa sekitar 50 sampai 70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut (ARS) selama 3 sampai 8 minggu setelah terinfeksi virus.

b. Fase Infeksi Laten

Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) dipusat perrminativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten (tersembunyi). Pada fase ini jarang di temukan virion diplasma sehingga jumlah virion diplasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi dikelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe sehingga penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion diplasma jumlahnya sedikit. Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 sel/mm3. Meskipun telah terjadi seropositif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis (asipmtomatis) fase ini berlangsung sekitar rata-rata 8-10 tahun (dapat juga 5-10 tahun).


(46)

c. Fase Infeksi Kronis

Selama berlangsungnya fase ini di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan kedalam darah. Pada fase ini terjadi terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan didalam sirkulasi sistemik. Respon imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan limfosit T ini mengakibatkan system imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progesif yang mendorong kea rah AIDS, infeksi sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia, TBC, sepsis, diare, infeksi virus herpes, infeksi jamur kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker yaitu kanker kelenjar getah bening.

2.1.7. Penularan HIV/AIDS


(47)

Sebelumnya virus AIDS tidak mudah menular seperti virus influenza. Kita tidak perlu mengucilkan atau menjauhi penderita AIDS, karena AIDS tidak akan menular dengan cara-cara seperti : hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubungan seksual), bersenggolan atau berjabat tangan dengan penderita, bersentuhan dengan pakaian dan lain-lain barang bekas penderita AIDS, makan dan minum, gigitan nyamuk dan serangga lain, sama-sama berenang dikolam renang.

Sedangkan yang dapat menyebabkan penularan AIDS adalah : melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV, transfusi darah yang mengandung virus HIV, melalui alat suntik, akupuntur, tato, dan alat tindik yang sudah dipakai orang yang mengidap virus HIV/AIDS, hubungan prenatal yaitu pemindahan virus dari ibu hamil yang mengidap virus HIV/AIDS kepada janin yang di kandungnya.

a. HIV/AIDS di Tubuh Manusia

HIV/AIDS masuk kedalam tubuh manusia melalui aliran darah penderita. HIV/AIDS sangat mudah mati di luar tubuh manusia (dengan air panas, sabun dan bahan-bahan pencuci yang lain), karena itu HIV/AIDS tidak dapat menular melalui udara. HIV/AIDS dalam tubuh manusia bersarang disalah satu sel darah putih, yaitu bernama Limfosit yang berada dicairan tubuh. HIV/AIDS awalnya melakukan penempelan dengan CD-4 reseptor yang ada dipermukaan Limfosit, lalu virus memasukkan DNA virusnya kedalam inti selnya Limfosit. Virus ini juga dapat ditemukan di dalam sel manusia maesopag dan sel glia jaringan otak.


(48)

b. Masa Inkubasi HIV/AIDS

Masa inkubasi adalah masa dimana setelah terjadinya penularan sampai dengan timbulnya gejala penyakit. Ketika mulai masa inkubasi, jumlah sel limfosit berkurang sampai setengahnya. Dalam kondisi ini, kekebalan masih berfungsi dan dapat bertahan 9-10 tahun. Tapi setelah 9-10 tahun kekebalan tubuh menjadi tidak berfungsi lagi dan penderita menjadi penderita AIDS. Gejalanya berupa demam, keringat dingin dimalam hari, badan lesu, nafsu makan menurun, badan kurus, mudah terserang flu, mencret, bercak-bercak putih dan timbul penyakit paru-paru.

c. Cara Penularan HIV/AIDS 1. Hubungan Kelamin

Ini disebabkan karena penularan virus HIV terjadi melalui cairan sperma dan cairan vagina. WHO memperkirakan 70% pengidap AIDS tertular melalui hubungan kelamin.

2. Transfusi Darah

Ketika darah yang terinfeksi HIV masuk kedarah orang yang sehat, maka terjadilah penularan virus HIV.

3. Alat-alat Medis

Alat-alat medis seperti jarum suntik, baik untuk pengobatan imunisasi, menindik, tato, akupuntur, atau yang digunakan untuk pecandu obat bius sangat rawan sebagai media penularan virus HIV.


(49)

4. Ibu Hamil

Apabila ibu hamil tertular virus HIV, maka bayi dalam kandungan berpotensi tertular virus HIV juga. Dan juga akan menularkan virus HIV melalui air susu ibu.

5. Cairan Tubuh

Cairan tubuh seperti cairan sperma, cairan vagina, darah, dan ASI menjadi media penularan virus HIV/AIDS

6. Donor Organ (Transplantasi)

Transplantasi adalah pemindahan jaringan organ tubuh, seperti ginjal, hati dan lain-lain. Ketika organ tubuh dari orang terkena virus HIV di berikan kepada orang yang bersangkutan, maka orang yang menerimanya pun terkena virus HIV.

2.1.8. Kelompok Resiko Tinggi Tertular HIV/AIDS

Gambar 2.5. Persentase AIDS yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko Tahun 2012


(50)

Mereka yang sering melakukan hubungan seksual diluar nikah, seperti wanita dan pria tuna susila dan pelanggannya, mereka yang mempunyai banyak pasangan seksual misalnya : Homo seks (melakukan hubungan dengan sesama laki-laki), Biseks (melakukan hubungan seksual dengan sesama wanita), waria dan mucikari, penerima transfusi darah, bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengidap virus HIV/AIDS, pecandu narkotika suntikan, pasangan dari pengidap AIDS.

2.1.9. Cara Pencegahan HIV/AIDS

Hindarkan hubungan seksual diluar nikah, usahakan hanya berhubungan dengan satu orang pasangan seksual, tidak berhubungan dengan orang lain, pergunakan kondom bagi resiko tinggi apabila melakukan hubungan seksual, ibu yang darahnya telah diperiksa dan ternyata mengandung virus HIV hendaknya jangan hamil karena akan memindahkan virus HIV/AIDS kepada janinnya, kelompok resiko tinggi tidak dianjurkan menjadi donor darah, penggunaan jarum suntik dan alat lainnya (akupuntur, tato, tindik) harus dijamin ke sterilannya.

Adapun usaha-usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam usaha untuk mencegah penularan HIV/AIDS yaitu misalnya: memberikan penyuluhan-penyuluhan atau informasi kepada seluruh masyarakat tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan HIV/AIDS, yaitu melalui seminar-seminar terbuka, melalui penyebaran brosur atau poster-poster yang berhubungan dengan HIV/AIDS, ataupun melalui iklan di berbagai media massa baik media cetak maupun media elektronik, penyuluhan atau informasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan kepada semua lapisan masyarakat agar dapat mengetahui bahaya


(51)

AIDS sehingga berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa menimbulkan terjadinya virus HIV/AIDS.

Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan virus HIV melalui perubahan perilaku seksual yang terkenal dengan istilah “ABC” yang telah terbukti mampu menurunkan percepatan penularan HIV, terutama di Uganda dan beberapa Negara Afrika lain. Prinsip “ABC” ini telah dipakai dan dibakukan secara international, sebagai cara paling efektif mencegah HIV lewat hubungan seksual. Prinsip “ABC” itu adalah:

“A” : Anda jauhi seks sampai anda kawin atau menjalin hubungan jangka panjang dengan pasangan (Abstinesia)

“B” : Bersikap saling setia dengan pasangan dalam hubungan perkawinan atau hubungan jangka panjang tetap (Be faithful)

“C” : Cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk penjaja seks atau orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (Condom)

Untuk pencegahan penularan non seksual berlaku prinsip “D” dan “E” yaitu : “D” : Drug, “say no to drug” atau katakan tidak pada napza atau narkoba. “E” : Equipment “No sharing” jangan memakai alat suntik secara bergantian. 2.1.10. Pengobatan HIV/AIDS

Sampai sekarang belum ada obat yang benar-benar dapat menyembuhkan penderita HIV/AIDS. Obat yang ada sekarang hanya sebagai obat penambah daya tahan tubuh atau memperpanjang umur penderita. Berikut ini obat-obat yang dikenal didunia kedokteran yang dapat memperpanjang umur sampai 2 tahun :


(52)

1. AZT (Azidothymidine)

Obat ini berfungsi penahan perkembangan virus, namun mengandung efek samping yaitu kerusakan tulang sum-sum dan anemia berat.

2. DDI (Diseoxycitidine)

Cara kerja obat ini tidak jauh berbeda dengan AZT, tapi telah diuji cobakan tidak menimbulkan efek samping.

3. DDC (Zalcitabine)

Seperti AZT dan DDI, obat ini juga dapat menahan perkembangan virus. Lalu para ahli Jepang menemukan obat-obatan HIV/AIDS sebagai berikut :

- M.HDA (Meiji Humin Deritivize Al-Bumin)

Obat ini gabungan Carbadimine Humin dan Succiny Lated Human Al-Bumin yang terkandung dalam darah. Obat ini kabarnya dapat menyingkirkan sel-sel limfosit yang digerogoti oleh HIV dengan tidak membahayakan limfosit normal.

- Tachyplesin

Adalah cairan kimia yang diambil dari sejenis kepiting Tachyplens tridentotus yang dinamakan T-220. Ramuan ini telah diuji cobakan pada tikus dengan hasil yang memuaskan, namun masih mengandung efek samping seperti AZT.

Para ahli Inggris juga menemukan ramuan yang digunakan untuk mengobati penderita HIV/AIDS, yaitu So 221 dan GLO 223, kedua obat ini masih menimbulkan efek samping seperti AZT, namun tidak terlalu berbahaya. Masih ada juga obat-obat


(53)

tradisional dari Cina, yaitu Milingwang yang diuji cobakan pada 158 pasien AIDS yang hasilnya paling tidak bisa memperpanjang hidup.

2.1.11. Usaha yang Dilakukan Apabila Terinfeksi HIV/AIDS

Usaha-usaha yang dilakukan apabila terinfeksi virus HIV/AIDS disebut juga dengan penerapan strategi pengobatan baru. Dalam pengobatan HIV/AIDS sangat penting mengetahui dinamika HIV, serta perjalanan penyakit (pathogenesis) sehingga dapat melakukan tindakan dan pengobatan tepat waktu. Beberapa harapan dan kabar baik dapat dicatat dari pertemuan-pertemuan “Van Couver” di Kanada saat ini cukup banyak obat anti HIV yang efektif untuk pengobatan kombinasi. Beberapa obat penghambat protease dan obat anti HIV sedang dalam tahap akhir untuk mendapat izin.

Selain itu muncul pula pemeriksaan “Viral Load” yang prosesnya lebih mudah dalam mendeteksi RNA dari HIV dalam darah. Semua usaha di atas seharusnya ditunjang oleh motivasi dari penderita AIDS itu sendiri. Misalnya bagi mereka yang termasuk kelompok resiko tinggi terkena HIV/AIDS selalu memeriksakan darahnya secara teratur, paling sedikit 3-6 bulan sekali, demi keselamatan pasangan seksualnya. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang diperintahkan dan berusaha untuk menjauhi segala yang dilarangNya, agar penderitaan yang dirasakannya tidak terlalu berat.

Bagi masyarakat hendaknya jangan menjauhi, mengucilkan mereka yang terinfeksi HIV/AIDS, tetapi seharusnya memberi dorongan atau semangat hidup,


(54)

misalnya : melalui nasehat-nasehat yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri, sehingga mereka yang telah mengidap virus HIV/ AIDS tidak putus asa dalam menjalani hidupnya. Dengan adanya usaha-usaha diatas, niscaya masalah HIV/AIDS dapat diatasi, paling tidak dapat dicegah sedini mungkin, apalagi jika ada partisipasi dari semua pihak (Ardian, 2006).

2.2. Waria

2.2.1. Pengertian Waria

Waria merupakan kependekan dari wanita pria, atau yang lebih lazim dikenal banci alias bencong. Waria adalah pria yang jiwa dan tingkah lakunya seperti wanita. Menurut Salviana (2005), mengatakan bahwa transeksual adalah gejala merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.

Waria adalah suatu fenomena yang semakin menjamur di Indonesia. Dilayar kaca kerap kali kita disuguhi tontonan yang berbau waria. Sebut saja sosok Dorce Gamalama, waria bernama asli Dedi Yuliardi Ashadi termasuk artis yang serba bisa dan masih banyak lagi waria lainnya yang sudah diakui eksistensinya (keberadaannya) (Nadia, 2005).

Transeksual merupakan keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota kelompok lawan jenis, biasanya disertai dengan rasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan jenis kelamin anatominya, dan menginginkan untuk membedah jenis kelamin serta menjalani terapi hormonal agar tubuhnya sepadan mungkin dengan jenis kelamin. Pendapat lain mengenai waria adalah kecenderungan seseorang yang tertarik


(55)

dan mencintai sesama jenis, dan individu-individu yang ikut serta dalam sebuah komunitas khusus yang para anggotanya memahami bahwa jenis kelamin sendiri itulah yang merupakan objek seksual yang paling menggairahkan (Koeswinarno, 2005).

Transisi Waria dan gay merupakan salah satu kelompok tinggi risiko tinggi (risti) untuk tertular IMS dan HIV/AIDS. Dari pengalaman pendamping waria dan gay diketahui bahwa sebagian besar waria diKota Medan bekerja sebagai pekerja seks. Aktifitas seks mereka umumnya adalah anal seks dan oral seks. Seks anal atau melakukan hubungan seks melalui anus mempunyai risiko perlukaan pada anus, jika pasangan seks terkena IMS atau HIV maka akan lebih mudah ditularkan dimana tingkat penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya dengan informasi tentang penularan IMS dan HIV/AIDS (Nadia, 2005).

Waria memiliki permasalahan yang kompleks terutama dalam masalah kesehatan dan kependudukan. Banyak kasus menunjukan waria enggan untuk datang ketempat layanan kesehatan umum karena berbagai alasan. Secara sadar atau tidak mereka malas memeriksakan diri keklinik VCT, karena VCT merupakan program Pemerintah untuk kepentingan penyedia layanan ini. Mereka beranggapan bahwa Pemerintah hanya setengah hati dan tidak tulus dalam menjalankan program.Bentuk resistensi yang mereka lakukan adalah dengan meminta bayaran ketika petugas kesehatan yang melakukan Mobile Clinic datang ke lokasi mereka mangkal.

Homoseksual jadi life style khususnya Lelaki Seks Lelaki (LSL) atau gay kini tidak sekedar orientasi seks semata. Sekarang perilaku homoseksual dianggap sebagai


(56)

trend atau life style karena mengikuti gaya hidup para selebritis dimana akibat

dampak dari pada transisi epidemiologi, misalnya Ricky Martin yang menikah dengan seorang dokter yang juga tampan. Bahkan kaum gay sudah semakin berani menampilakan diri secara terbuka kekhalayak ramai .

Gay, Biseksual dan Transeksual ini pun semakin lebih terorganisir tak lain karena banyaknya dukungan dari foundation di luar negeri yang memperjuangkan kesamaan hak mereka dengan demikian mereka sudah dianggap normal. Ada banyak penyebab homoseksualitas, biasanya para gay belajar dari pengalaman seksual pertama yang nmereka alami. Jika pengalaman seksual pertama yang pertama itu menyenangkan itu dengan sesama jenis, maka mereka cenderung akan menikamti hubungan tersebut dan menjadi homoseksualitas (Irma Minauli, uma/mag-11).

Akibat perilaku seksual yang menyimpang tersebut merupakan risiko bisa menjadi penyebab HIV/AIDS seperti juga halnya waria karena perilaku anal seks yang diperparah tanpa menggunakan kondom. Jumlah gay di Medan sudah mencapai 1.699 orang sedang jumlah waria 664 orang (KPA Kota Medan). Komunitas gay termasuk tertutup namun ketika dipetakan jumlahnya 1.699 orang dengan profesi beraneka ragam. Banyak juga yang memiliki keluarga (anak-isteri) namun memiliki pasangan gay (KPA, 2007). Secara kasat mata LSL atau gay sukar dibedakan oleh karena penampilan mereka terlihat seperti pria normal lainnya. Hal ini sangat bertolak belakang sekali dengan penampilan waria yang nyentrik dengan dandananya. Waria berpenampilan berhias layaknya seperti wanita dengan menggunakan lipstick, bedak, rambut palsu (wig), dan high heels (tumit tinggi).


(57)

Pada bulan Februari 2012 Pertemuan Terpadu dengan Komunitas Waria DKI Jakarta. Pertemuan ini bertujuan untuk menginformasikan program kegiatan tentang Peningkatan Kesejahteraan Sosial Waria melalui usaha Kemandiriaan kepada instansi,LKS dan Komunitas Waria untuk mendapat dukungan pada kegiatan yang akan dilaksanakan. Di Yogyakarta 60 persen waria bekerja sebagai pengamen dan pekerja seks. Ikatan waria Yogyakarta bekerjasama dengan Pemerintah DIY menggelar pelatihan ketrampilan agar mereka beralih pada pekerjaan yang lebih layak.

Dari diatas dapat disimpulkan bahwa waria adalah suatu gangguan pada diri seseorang dimana seseorang tersebut merasa tidak nyaman atau tidak puas dengan keadaan jenis kelaminnya, sehingga untuk mencapai suatu kepuasan, penderita melakukan perubahan sesuai dengan yang dia inginkan (pria-wanita) baik dalam bentuk perilaku maupun secara fisik (Nadia, 2005).

2.2.2. Jenis Waria

Menurut Nadia (2005), membagi jenis-jenis waria sebagai berikut :

1. Transeksual aseksual, adalah seorang transeksual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.

2. Transeksual homoseksual, adalah seorang transeksual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ketahap transeksual murni.

3. Transeksual heterogen, adalah seseorang transeksual yang pernah menjalani kehidupan heterogen sebelumnya, misalnya pernikahan.


(58)

2.2.3. Ciri-ciri Waria

Waria dianggap memiliki gangguan identitas jender (Gender Identity

Disorder), transeksual memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis 2. Pada anak-anak, terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu :

a. Berulang kali menyatakan keinginan atau memaksakan diri untuk menjadi lawan jenis.

b. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis.

c. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau berfantasi menjadi lawan jenis terus menerus.

d. Lebih suka melakukan permainan lawan jenis.

e. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis.

3. Pada remaja dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis, berpindah kekelompok lawan jenis, ingin diperlakukan sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan jenis.

4. Rasa tidak nyaman yang terus menerus dengan jenis kelamin biologisnya atau rasa terasing dari peran jender jenis kelamin tersebut.

2.2.4. Faktor-faktor Pembentukan Diri Waria

Menurut Nadia (2005), menyatakan bahwa pembentukan perilaku individu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :


(59)

a. Faktor Biologis

Kelainan pada diri individu yang disebabkan adanya pengaruh hormon maupun genetik.

b. Faktor Psikologis

Motivasi yang muncul dari dalam individu untuk melakukan suatu perilaku tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu.

c. Faktor Sosiologis

Pengaruh lingkungan yang membawa dampak pada perubahan tingkah laku

2.3. Faktor Resiko HIV/AIDS pada Kelompok Waria 2.3.1. Umur

Waria muda sudah aktif secara seksual sejak berusia antara 18 dan 20 tahun. Bahkan, kebanyakan justru sudah mulai berhubungan seksual pada usia antara 15 dan 16 tahun. Waria muda rentan tertular HIV/AIDS karena mereka tidak memakai kondom saat melakukan seks anal atau seks oral. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pengetahuan yang kurang waria beranggapan hubungan seksual yang mereka lakukan tidak mungkin menimbulkan kehamilan seperti yang selalu di sampaikan orang tua, guru dan pihak-pihak lain dalam berbagai kegiatan jika mereka melakukannya dengan pasangan atau pacarnya. Padahal ada risiko lain yang mengintip pada seks anal dan seks oral yaitu tertular IMS (Infeksi Menular Seksual, seperti GO, sifilis, Klamidia, Virus Hepatitis B, dll) serta HIV (Mega, 2008).


(60)

Fakta diatas menunjukkan kesadaran waria muda untuk mencegah penularan HIV/AIDS sangat rendah. Kondisinya kian runyam karena pemakai jasa waria yaitu laki-laki heteroseksual, dalam kehidupan sehari-hari mereka ini bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang atau duda, juga tidak mau memakai kondom jika kencan dengan waria. Maka tidak mengherankan kalau kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada waria. Waria muda biasanya melakukan hubungan seksual pertama dengan waria yang lebih tua dari mereka. Inilah salah satu faktor yang mendorong penularan HIV karena waria yang lebih tua dari mereka sudah lebih dulu melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti (Iis, 2008).

2.3.2. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu karakteristik individu yang menjadi variabel yang paling sering dihubungkan dengan kejadian suatu penyakit, termasuk HIV/AIDS. Tingkat pendidikan seseorang diduga dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku, namun tingkat pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku sehat (Becker, Marshal, 1974). Pada studi Case-Control tahun 1991-1994 di Tanzania. Afrika, pada kelompok pria, pendidikan memiliki hubungan proteksi terhadap infeksi HIV/AIDS.

2.3.3. Pekerjaan

Jenis pekerjaan merupakan salah satu underlying determinants terhadap HIV/AIDS. Waria merupakan salah satu populasi kunci yang berisiko tinggi terjangkit penyakit HIV/AIDS. Penerimaan masyarakat dan sulitnya mendapatkan identitas menjadi beberapa faktor yang menyebabkan mereka memilih untuk turun ke


(1)

Tabel 3. (Lanjutan) Variabel Independen Kejadian HIV/AIDS

p OR

(95% Cl) Negatif Positif

n % n %

Pengetahuan

Baik 20 55,6 10 27,8

0,017 3,250

(1,217;8,676)

Kurang 16 44,4 26 72,2

Sikap

Baik 18 50,0 8 22,2

0,014 3,500

(1,260;9,724)

Kurang 18 50,0 28 77,8

Tindakan

Baik 20 55,6 9 25,0

0,008 3,750

(1,379;10,200)

Kurang 16 44,4 27 75,0

3. Pengaruh Perilaku (Pengetahuan, Sikap dan Tindakan) terhadap Kejadian HIV/AIDS

Hasil analisis uji regresi logistik juga menunjukkan bahwa variabel pengetahuan (p=0,045), sikap (p=0,024) dan tindakan (p=0,025) berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS. Variabel yang paling dominan adalah variabel sikap dengan nilai OR=3,594.

Probabilitas waria yang memiliki pengetahuan kurang, sikap kurang dan tindakan kurang kemungkinan untuk positif mengalami HIV/AIDS sebesar 80%, sedangkan waria yang memiliki pengetahuan baik, sikap baik dan tindakan baik kemungkinan untuk positif mengalami HIV/AIDS sebesar 9,8%.

Tabel 4. Hasil Uji Regresi Logistik

Variabel B Sig. Exp B(OR) 95%CI

Pengetahuan 1,096 0,045 2,991 1,207-8,711

Sikap 1,279 0,024 3,594 1,183-10,924

Tindakan 1,230 0,025 3,422 1,165-10,055

Konstanta -2,221 0,001 0,108 PEMBAHASAN

Pengaruh Antara Karakteristik terhadap Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan

1. Umur

Pada analisis multivariat bahwa umur tidak ada pengaruh bermakna antara umur terhadap kejadian HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil penelitian Eda dkk (2012) di Kota Ternate bahwa karakteristik responden yang berumur 18-40 tahun tidak berniat menggunakan kondom secara konsisten saat melakukan hubungan seks (44,9%), hal ini kemungkinan disebabkan oleh kepedulian akan kesehatan diri kurang


(2)

karena faktor kurangnya pengetahuan, lebih menuruti emosi yaitu ingin mendapatkan pasangan dan materi yang lebih tanpa memikirkan resiko terhadap perilaku yang akan mungkin dilakukan. 2. Pendidikan

Pada analisis multivariat bahwa umur tidak ada pengaruh bermakna antara pendidikan terhadap kejadian HIV/AIDS.

Berdasarkan hasil penelitian Eda dkk (2012) bahwa responden yang memiliki pendidikan rendah yang tidak berniat menggunakan kondom secara konsisten saat melakukan hubungan seks (50,0%). Hal ini terjadi karena responden tidak mau mengikuti penyuluhan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tentang resiko penularan IMS dan HIV/AIDS.

Stigma juga dialami oleh waria pada tempat-tempat pelayanan kesehatan seperti klinik, rumah sakit dan pusat kesehatan lainnya. Ketika mereka mendapatkan gunjingan, hal tersebut yang membuat para waria enggan datang ke klinik kesehatan untuk memeriksakan kesehatan mereka. Dalam komunitas ini sudah mendapatkan bantuan dari LSM yang menyediakan pelayanan mobil, dimana dokter dan perawat langsung mendatangi para waria dan melakukan perawatan secara gratis. Tapi kini bantuan tersebut tidak lagi di perpanjang dari pusat, sehingga saat ini para waria tidak melalukan pemeriksaan lagi, karena kurangnya biaya yang mereka miliki untuk melakukan perawatan.

3. Pekerjaan

Berdasarkan hasil multivariat bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan waria dengan kejadian HIV/ AIDS.

Hasil penelitian Eda dkk (2012) bahwa responden yang memilki pekerjaan sebagai PNS yang tidak berniat menggunakan kondom secara konsisten saat melakukan hubungan seks (66.7%), hal ini terjadi bukan karena pengetahuan yang kurang tapi karena merasa malu untuk membeli kondom.

Hasil penelitian ini didapatkan hampir semua waria memiliki pekerjaan sebagai pekerja seksual, sebagian dari mereka sudah tidak lagi turun kejalan untuk menawarkan jasanya karena usianya yang sudah cukup tua. Bekerja sebagai pekerja seksual tidak hanya melulu mengenai uang, tetapi juga untuk memenuhi hasrat biologis mereka. Selain bekerja sebagai pekerja seks komersial, waria dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga melakukan pekerjaan tambahan seperti biduan, maupun tata rias wanita. Pekerjaan tambahan yang dilakukan waria bertujuan untuk menambah penghasilan waria dan merupakan strategi eksistensi waria di dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial waria yang tinggi seperti penggunaan alat-alat elektronik yang mahal dan juga membiayai pacar meraka menuntut mereka untuk bekerja lebih keras lagi.


(3)

Pengaruh antara Perilaku terhadap Kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan

1. Pengetahuan

Berdasarkan analisis multivariat diperoleh ada pengaruh pengetahuan waria terhadap kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan. Pada variabel pengetahuan dengan nilai OR 2,991 (95% CI 1,027-8,711) artinya waria yang positif mengalami HIV/AIDS 2,9 kali kemungkinannya memiliki pengetahuan kurang dibanding waria yang negatif mengalami HIV/AIDS.

Kurangnya dukungan keluarga serta adanya diskriminasi pada kelompok waria sehingga mengakibatkan rendahnya informasi dan pengetahuan waria mengenai risiko HIV/AIDS. Pada sebagian ODHA yang sudah membuka status terhadap keluarga akan bisa mendapat dukungan dan bantuan dari keluarga dan dukungan teman sebaya serta tenaga kesehataan tentang informasi seputar mengenai HIV/AIDS terutama cara menghindari agar tidak tertular.

2. Sikap

Variabel sikap hasil analisis multivariat diperoleh nilai OR 3,594 (95% CI 1,182-10,924) artinya waria yang positif mengalami HIV/AIDS 3,6 kali kemungkinannya memiliki sikap kurang baik dibanding waria yang negatif mengalami HIV/AIDS.

Sikap mendukung yang (positif) dari responden dipengaruhi oleh pengetahuan tentang informasi HIV/AIDS dan adanya kunjungan ke layanan VCT. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan/praktik. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam penelitian ini pengetahuan yang baik ditunjukkan dengan sikap yang positif pula pada konseling dan tes HIV/AIDS secara sukarela khususnya di Klinik IMS Bestari Kota Medan. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu menerima, diartikan bahwa orang mau memperhatikan obyek, merespon diartikan memberikan jawaban bila ditanya, menghargai yang diartikan dengan mengajak orang lain untuk diskusi suatu masalah dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilih dengan segala resiko. Hal ini dapat dilihat pada hasil kuisioner yang menyatakan bahwa waria yang sudah mengerti dan paham terhadap apa yang mereka kerjakan akan mempunyai risiko terkena HIV/AIDS. Sebaliknya waria yang mempunyai sikap dan kesadaran mau datang kelayanan VCT dengan kesadaran sendiri tanpa unsur paksaan atau mengharapkan sesuatu dengan pamrih akan mengurangi risiko terkena HIV/AIDS.

3. Tindakan

Berdasarkan analisis multivariat diperoleh ada pengaruh tindakan waria terhadap kejadian HIV/AIDS di Klinik IMS Bestari Medan. Pada variabel tindakan dengan nilai OR 3,422 (95% CI 1,165-10,055) artinya waria yang positif mengalami HIV/AIDS 3,4 kali berisiko kemungkinannya memiliki tindakan kurang dalam hal menggunakan kondom dibanding waria yang negatif mengalami HIV/AIDS.


(4)

Krisis identitas yang dialami waria tidak hanya berdampak psikologis, tetapi juga berpengaruh dalam perilaku sosial mereka. Akibatnya, muncul hambatan-hambatan dalam melakukan hubungan sosial sehingga umumnya waria sulit melakukan hubungan sosial secara lebih luas, mereka sulit mengintegrasikan dirinya ke dalam struktur sosial yang ada di masyarakat. Adanya marginalisasi bagaimana sebenarnya waria harus dipandang dalam konstruksi sosial yang lebih jelas dan memiliki arti dalam kehidupan sosial umumnya, adalah satu upaya yang dilakukan oleh kaum waria untuk dapat eksis dalam kehidupannya (Koeswinarno, 2005). Dalam komunitas waria, ada kalanya mereka membentuk keluarga berdasarkan ikatan persahabatan, yang acapkali justru memberikan kesejahteraan yang lebih baik daripada di keluarga mereka sendiri. Walaupun para waria masih amat menghargai ikatan batin dengan anggota-anggota keluarga mereka. Namun sering kali dihadapkan pada dilema antara menyembunyikan identitas (dengan konsekuensi selalu berpura-pura dan merasa tidak enak) dan membuka identitas (dengan konsekuensi berbagai rupa tindakan yang kadang tidak manusiawi). Di ranah keluargalah mereka berhadapan dengan kendala yang paling berat. Kendala itu begitu berat, justru karena keluarga begitu penting bagi mereka. Jalan keluar dari kendala itu masih belum jelas atau pun mudah dicapai. Sebagain dari para waria terus saja menghindari dari keterbukaan seperti itu. Sebagian lagi melarikan diri dengan

hidup dan bekerja di tempat yang jauh dari keluarga (Utomo, 2003).

Sebagian besar waria menyatakan menyukai teknik seks secara secara anal-seks dan oral seks, karena alasan ingin diperlakukan sebagai perempuan dalam berhubungan seks. Sebagian besar waria menyukai pasangan tetap seorang pria yang telah keluarga ataupun sudah memiliki pacar. Bagi waria, pria yang sudah berkeluarga ataupun sudah memiliki pacar terlihat sangat macho sehingga terkesan pasangan tetap meraka adalah laki-laki normal. Ada juga waria yang menyukai waria lainnya, dengan alasan pasangan tetap seorang waria lebih memahami diri mereka dan ketika melakukan hubungan seksual pasangan yang waria juga lebih memuaskan daripada laki-laki normal. Ada juga waria yang sudah bekeluarga dan telah mempunyai anak, meskipun mereka punya istri, mereka juga memiliki pasangan laki-laki bahkan sering berganti-ganti pasangan.

KESIMPULAN

5. Tidak terdapat pengaruh antara faktor risiko umur, pendidikan dan pekerjaan terhadap kejadian HIV/AIDS di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan.

6. Pengetahuan yang kurang memahami informasi kesehatan tentang penularan HIV/AIDS berpengaruh dalam kejadian HIV/AIDS terhadap kelompok waria di Klinik IMS Bestari Medan.

7. Tindakan penggunaan kondom yang tidak konsisten berpengaruh dalam kejadian HIV/AIDS terhadap


(5)

kelompok waria di Klinik IMS Bestari Kota Medan.

8. Sikap penilaian positif atau penolakan dalam pencegahan penularan HIV/AIDS mempunyai pengaruh paling bermakna terhadap kejadian HIV/AIDS terhadap kelompok waria di Klinik IMS Bestari Kota Medan.

SARAN

8. Dinas Kesehatan Kota Medan untuk meningkatkan dan memperkuat layanan VCT dalam rangka pencarian kasus penderita HIV/AIDS sehingga dapat mengurangi risiko penularan serta perilaku berisiko dalam beberapa kelompok rentan masyarakat.

9. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV/AIDS agar para petugas kesehatan menganjurkan tes HIV Atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan dan Konseling (TIPK) yang dilakukan kepada waria untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan.

10. Diharapkan para waria agar tetap menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual baik dengan pelanggannya dan juga dengan pasangan tetapnya.

11. Klinik IMS Bestari Kota Medan untuk meningkatkan kualitas KIE kepada masyarakat, serta penggunaan kondom pada kelompok berisiko tinggi (waria). 12. KPA (Komisi Penanggulangan

AIDS) Kota Medan, LSM, media

massa dan elektronik, diharapkan memperkuat konsolidasi dan koordinasi pada semua jajaran sektor kesehatan dan lintas program serta pada pengambil kebijakan.

13. Mobile klinik yang dilakukan petugas kelapangan khususnya terhadap kelompok waria ditingkatkan lagi dengan harapan kelompok waria sadar dan mau datang kelayanan IMS dan VCT tanpa unsur paksaan dan mengharapkan sesuatu dengan pamrih.

14. Kepada peneliti berikutnya diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya yang lebih mendalam tentang faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HIV/AIDS.

DAFTAR PUSTAKA

Ardian, P. 2006. Waria di Mata Masyarakat. Yogyakarta: Pinang Merah Publisher.

Depkes RI, 2006. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Counselling and Testing).

Depkes RI, 2008. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, Dirjen PPM & PL Depkes RI, Jakarta Dinkes Kota Medan, 2013. Data Kasus

HIV/AIDS di Kota Medan. Eda, N.; Widjanarko, B.; Widagdo, L.,

2012. Niat Penggunaan Kondom pada Komunitas Waria di Kota Ternate. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol 7/No.2/Agustus 2012. Semarang


(6)

Hamid, A. 2011. Buku Ajar Aspek Psikoseksual. Jakarta: Widya Medika.

Iis, D. 2008. Transeksualitas Fakta Yang Tertutup Misteri. Yogyakarta: Pinang Merah Publisher.

Kemenkes, RI. 2012. Pedoman

Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS

Berkesinambungan. Jakarta. Koeswinarno. Hidup Sebagai Waria.

LKiS. Yogyakarta. 2005.

Utomo, D. Memberi Suara Pada yang Bisu. Pustaka Marwa. Yogyakarta. 2003.


Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

5 90 147

Gambaran Karakteristik Infeksi Menular Seksual (IMS) Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Pada Tahun 2012

4 62 85

Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan Pemakaian Kondom Dalam Upaya Pencegahan Penularan Infeksi Menular Seksual (IMS) Di Kota Medan Tahun 2010

3 40 99

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara Tentang Infeksi Menular Seksual (IMS)

0 29 60

Keputusan Waria Melakukan Tes HIV/AIDS Pasca Konseling Di Klinik Infeksi Menular Seksual Dan Voluntary Counselling And Testing Veteran Medan Tahun 2009

0 68 124

Persepsi Kelompok Risiko Tinggi Tertular Hiv/Aids Tentang Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Dan Voluntary Counseling & Testing (VCT) Di Puskesmas Padang Bulan Medan Tahun 2008

0 21 103

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko HIV/AIDS terhadap Kelompok Waria di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS) Bestari Kota Medan Tahun 2014

5 54 177

Gaya Hidup Seksual “Ayam Kampus” dan Dampaknya Terhadap Risiko Penularan Infeksi Menular Seksual (IMS)

0 3 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Menular Seksual 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Infeksi Menular Seksual - Studi Kualitatif Pencegahan Penyakit Infeksi Menular pada Komunitas Waria di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013

0 1 26

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Kelompok Risiko HIV/AIDS di Klinik IMS dan VCT Veteran Medan

0 0 16