Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Sebagai Salah Satu Langkah Penyehatan Perbankan

(1)

BAB II

PENYEDIAAN MODAL BANK UMUM

A. Pengaturan Bank Umum Menurut UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Keberadaan bank dalam kehidupan masyarakat menempati peran yang cukup penting, sebab lembaga perbankan khususnya bank umum merupakan inti sari dari sistem keuangan setiap negara. Bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi perusahaan-perusahaan, lembaga pemerintah, swasta maupun perorangan menyimpan dananya dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan melalui perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan. Bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme

sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.28

Bank adalah lembaga keuangan yang tugas pokoknya mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Masyarakat menyimpan dananya di bank pada dasarnya tanpa jaminan yang bersifat kebendaan. Kesediaan masyarakat menyimpan dananya tersebut semata-mata dilandasi kepercayaan, bahwa pada waktunya uangnya akan kembali ditambah dengan sejumlah bunga sebagai imbalannya. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank mempunyai dampak domino yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap bank lainnya, sehingga perbankan secara keseluruhan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, kebutuhan untuk melaksanakan pembinaan

28

Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan (Jakarta : STIE Perbanas-Gramedia, 1988), hlm.11.


(2)

dan pengawasan terhadap perbankan mutlak diperlukan untuk menjaga

kepercayaan masyarakat.29

Keberadaan Bank-bank umum di Indonesia diatur oleh UU No. 14/1967 yang kemudian diganti oleh UU No. 7/1992, kemudian pada tahun 1998 direvisi menjadi UU No. 10/1998. Perubahan aturan hukum perbankan itu disebabkan oleh aturan lama yang sudah tidak relevan lagi menjawab persoalan perbankan di Indonesia. Perubahan itu otomatis memberikan implikasi terhadap sistem

perbankan di Indonesia.30 Bentuk hukum suatu lembaga yang berusaha di bidang

perbankan berdasarkan ketentuan terakhir, yakni Pasal 21 UU Perbankan,

hanyalah terdiri dari Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perusahaan Daerah.31

Pendirian suatu perusahaan haruslah mendapat izin dari otoritas yang terkait, begitu juga halnya dengan mendirikan usaha perbankan. Sebelum bank memulai kegiatannya Bank Indonesia mengharuskan bank memperoleh izin untuk mendirikannya. Ini dilakukan agar bank tersebut sebagai suatu badan hukum resmi yang telah sah pendiriannya. Karena banyak bank-bank gelap yang tidak jelas berdiri di masyarakat yang merugikan nasabahnya. Perizinan mendirikan bank umum dan bank perkreditan rakyat diatur dalam Pasal 16 UU Perbankan

yakni :32

1. Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia,

29

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan (Bandung: Books Terrace & Library, 2005), hlm.217-218.

30

Julius R. Latumerissa, Op.Cit., hlm. 146. 31

Gunarto Suhardi, Op.Cit., hlm. 29. 32

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab IV, Pasal 16 ayat (3).


(3)

kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

2. Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:

a. Susunan organisasi dan kepengurusan;

b. Permodalan;

c. Kepemilikan;

d. Keahlian di bidang Perbankan;

e. Kelayakan rencana kerja.

3. Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

ditetapkan oleh Bank Indonesia

Kepemilikan bank juga diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Yang pertama-tama menarik perhatian adalah mengenai siapa dan berasal dari mana

pemilik tersebut. Pasal 22 ayat 1 UU Perbankan menetapkan dua hal yakni:33

1. Bank Umum hanya dapat didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau

badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.

2. Bank Umum yang kepemilikannya terdiri dari yang disebutkan dalam huruf a

dengan pemilik berasal dari luar negeri disebut sebagai bank campuran.

Ketentuan di atas oleh UU Perbankan secara prinsip masih dipertahankan, hanya dalam ayat keduanya Bank Indonesia diberi keleluasaan untuk menetapkan

33


(4)

kriteria lebih lanjut siapa orang asing dan siapa warga negara Indonesia termasuk

beberapa besar share atau bagian saham dari mitra asing tersebut.34

Kemitraan tersebut juga berlaku dalam hal bank umum menjadi perusahaan

publik yang listing pada bursa efek Indonesia, dan kemudian menjual lagi

sahamnya di bursa efek. Seberapa besar bagian mitra asing, apakah boleh melebihi 51% sesuai peraturan perundangan, akan diselesaikan oleh Bank Indonesia. Sebenarnya, bila sepenuhnya dikuasai oleh mitra asin pun sebenarnya tidak terlalu berpengaruh karena sudah sejak lama bank asing juga diperkenankan beroperasi sepenuhnya di seluruh atau sekurang-kurangnya di berbagai kota besar di Indonesia. Hanya saja, pada tiap perubahan kepemilikan Bank Umum harus

dilaporkan kepada Bank Indonesia.35 Seperti yang dikatakan dalam Pasal 27 UU

Perbankan bahwa perubahan kepemilikan bank wajib memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 3, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24,

Pasal 25, dan Pasal 26; dan wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.36

Mengenai pemilik, harus diperhatikan juga sejarahnya (tidak termasuk orang tercela), reputasi atau riwayat (memiliki akhlak dan moral yang baik) dari para pemilik terbesar atau pemilik yang menguasai saham besar lebih-lebih yang tidak diperjual belikan di bursa efek. Hal ini berkaitan dengan prinsip “kepercayaan” yang menjadi pilar eksistensi sebuah bank. Bila pemilik inti mempunyai riwayat yang kurang baik atau pernah terkena perkara niaga atau perkara kriminal lainnya, maka Bank Indonesia wajib menolak pemilik tersebut atau bank umum yang bersangkutan dibubarkan. Di sini Bank Indonesia harus

34Ibid . 35

Ibid. 36

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab X, Pasal 60.


(5)

mempunyai sumber informasi atau dosier yang akurat dan up to date untuk menjaga sistim perbankan secara keseluruhan. Saringan berat ini perlu lebih dimanfaatkan mengingat kenyataan di Indonesia di mana para pemilik inti justru mempunyai kekuasaan nyata yang lebih besar daripada para manajer profesional

yang bekerja pada bank tersebut.37

Pada bank-bank milik Negara (Bank BUMN), pemilik adalah pemerintah sendiri sehingga hubungan pemilik dengan pengurus atau manajemen bank berlaku hukum publik meskipun untuk transaksi kepada pihak ketiga berlaku hukum perdata. Ambivalensi ini sering megakibatkan mutu manajemen Bank BUMN menjadi kurang memadai karena tetap saja terdapat unsur politis dan kedekatan oknum pemerintah dalam pengangkatan Direksi atau Komisaris. Disamping itu, juga mengakibatkan banyak kebijaksanaan perusahaan yang dipengaruhi oleh pemerintah atau oknumnya dan sering bertentangan dengan

prinsip usaha sebagai profit centre. Sering terdapat guidline yang kabur, misalnya

bank ditentukan sebagai agent of development justru membuka peluang campur

tangan mendalam bagi pihak pemerintah (bandingkan Rudhi Prasetya 1995 :

106).38

Bank Umum memerlukan kantor dalam menjalankan usahanya. Dalam pelaksanaannya dalam suatu bank terdapat berbagai jenis tingkatan yang ditunjukkan dari volume kegiatan, kelengkapan jasa yang ditawarkan, wewenang mengambil keputusan, serta jangkauan wilayah operasinya. Dalam pendirian

37

Gunarto Suhardi, Op.Cit.,hlm.37. 38


(6)

kantor bank umum, harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang terdapat pada

Pasal 18 UU Perbankan yakni :39

1. Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin

Pimpinan Bank Indonesia.

2. Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di

luar negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.

3. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan

terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.

Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Perluasan jaringan kantor bank selain memberikan peluang dalam memperluas pelayanan bank kepada nasabah juga berpotensi menimbulkan risiko yang dapat merugikan bank maupun nasabah. Dalam melakukan perluasan jaringan kantor, bank harus melakukan pengkajian terhadap risiko yang mungkin timbul dari pembukaan jaringan kantor tersebut. Untuk itu bank harus memperhatikan kondisi keuangan bank, tingkat kejenuhan jumlah kantor bank, tingkat persaingan bank yang sehat, tingkat pemerataan pembangunan ekonmi

nasional, dan pelayanan terhadap nasabah.40

Bank merupakan lembaga yang memiliki peran penting dalam

perekonomian yang berfungsi sebagai perantara (financial intermediary) antara

pihak kelebihan dana (surplus unit) dengan pihak yang memerlukan dana (deficit

unit). Dalam mengembangkan industri perbankan di Indonesia, bank diharapkan

39

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab IV, Pasal 18.

40


(7)

mampu memobilisasi dana tabungan masyarakat. Bank sebagai sarana yang berperan strategis harus mampu sebagai wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara bertanggung jawab. Pengelolaan dana masyarakat secara efektif dan efisien dapat diukur dari kinerja keuangannya. Kinerja keuangan suatu usaha bank sangat tergantung pada keberhasilan ataupun kegagalan dari kegiatan operasionalnya. Bila kegiatan operasionalnya berhasil maka fungsi dan peran bank dapat dicapai. Sebaliknya bila kegiatan operasionalnya mengalami kegagalan, maka kinerja keuangan bank akan

terganggu, bahkan dapat mengarah pada kebangkrutan.41

Kegiatan operasional bank, baik dalam usaha menghimpun dana dari masyarakat maupun mengelola dana, menanam kembali dana tersebut kepada masyarakat, sampai dana tersebut kembali lagi ke bank, senantiasa terkait dengan ketentuan hukum. Oleh karena itu, dengan semakin meningkat dan berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam

mendukung keberhasilan itupun semakin dirasakan penting.42

Bank umum dalam aktivitasnya untuk memperoleh laba didapatkan melalui kegiatan usaha. Namun tidak semua kegiatan usaha dapat dilakukan oleh bank umum. Otoritas moneter memberikan batasan kepada bank umum dalam melakoni kegiatan usahanya. Hal ini dikarenakan risiko yang akan dihadapi bank ketika melakukan kegiatan usahanya untuk mendapatkan laba. Otoritas moneter memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu yang menurut pandangan mereka kegiatan usaha itu tidak mempunyai resiko yang

41 Andreani Caroline Barus, “Pengaruh Profitabilitas dan Likuiditas Terhadap

Capital Adequacy Ratio (CAR) pada Institusi Perbankan Terbuka Di Bursa Efek Indonesia,” (Tesis, Akuntansi, Pascasarjana, USU, 2011),hlm. 17.

42

Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm.15.


(8)

besar. Oleh karena itu bank dituntut untuk seefisien mungkin dalam memilih bidang usaha yang menguntungkan dan memiliki risiko yang kecil.

UU Perbankan mengatur usaha dan kegiatan yang diperbolehkan bagi bank umum dan yang tidak diperbolehkan bank umum. Pasal 6 UU Perbankan

mengatur jenis-jenis usaha yang diperbolehkan bagi bank umum, yaitu :43

1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,

deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

2. memberikan kredit;

3. menerbitkan surat pengakuan hutang;

4. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan

dan atas perintah nasabahnya:

a. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa

berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

b. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya

tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

c. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;

d. sertifikat Bank Indonesia (SBI) ;

e. obligasi;

f. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

g. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu)

tahun;

43

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 6.


(9)

5. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;

6. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana

kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

7. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan

perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

8. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

9. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu

kontrak;

10.melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam

bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

11.dihapus;

12.melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali

amanat;

13.menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan

prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

14.melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak

bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Perbankan selain melakukan kegiatan usaha

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6, bank umum dapat pula44:

44

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 7.


(10)

1. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

2. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di

bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;

3. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat

kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

4. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai

dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 10 UU Perbankan terdapat beberapa

larangan terhadap bank umum dalam melakukan kegiatan usahanya, yakni :45

1. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

huruf b dan huruf c;

2. melakukan usaha perasuransian;

3. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 dan Pasal 7.

Bank Umum dilarang melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c. Tampaknya ketentuan ini melanggar

45

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 10.


(11)

prinsip bahwa bank dilarang berusaha di bidang lainnya. Akan tetapi, ternyata terdapat ketentuan penting bahwa bidang-bidang yang disebutkan secara limitatif oleh undang-undang ini masih sejenis dengan usaha bidang perbankan, yakni bidang keuangan. Jadi, asalkan berusaha di bidang keuangan, maka bank boleh

melakukan kegiatan penyertaan modal.46

Di samping itu, bank juga boleh melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya. Di sini, undang-undang memberikan kelonggaran terhadap prinsip bank tidak boleh berusaha di bidang nonkeuangan. Kelonggaran tersebut diberikan karena bank berada dalam kedudukan dilematis. Bila nasabah debitur tidak segera diambil alih manajemennya, maka perusahaannya akan segera tutup. Akan tetapi, untuk dapat mengambil alih kemudi perusahaan tersebut, bank hanya dapat melakukannya bila bank merupakan pemegang saham terbesar. Bank juga menghadapi persoalan apabila perusahaan berhenti, maka piutangnya harus dihapusbukukan, sedangkan jaminannya biasanya tidak mencukupi. Menghapus bukukan piutang berarti pula harus menghapuskan sebagian laba yang membawa

konsekuensi lebih parah terhadap bank bila modal tidak mencukupi.47

Undang-Undang Perbankan mengizinkan bank menyelenggarakan kegiatan penitipan. Penitipan menurut Pasal 1 ayat 14 UU Perbankan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak

46

Gunarto Suhardi, Op.Cit, hlm. 153. 47


(12)

kepemilikan atas harta tersebut.48 Pengaturannya diatur lebih lanjut dalam Pasal 9

yakni :49

1. Bank Umum yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf i, bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip, dan memenuhi kewajiban lain sesuai dengan kontrak.

2. Harta yang dititipkan wajib dibukukan dan dicatat secara tersendiri.

3. Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada bank

tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan.

Seberapa relevan perluasan kegiatan usaha perbankan tersebut tergantung

pada pendekatan relativitas keuntungan dan biaya (cost and benefit). Di sisi

keuntungan, membolehkan bank melakukan kegiatan-kegiatan usaha baru yang memiliki sinergi dengan kegiatan yang telah dilakukan dapat menciptakan efisiensi bagi perekonomian secara keseluruhan. Meskipun kegiatan baru tersebut berisiko, teori portofolio modern mengajarkan bahwa permasalahan bukan terletak pada risiko pada kegiatan usaha tertentu tetapi pada risiko keseluruhan kegiatan usaha. Dengan demikian membolehkan bank melakukan kegiatan usaha baru akan

mengurangi risiko secara keseluruhan melalui perluasan diversifikasi.50

Selain menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga intermediasi yang

menjembatani kepentingan peminjam (borrower) dan penitip dana (saver), bank

juga menjalankan pelayanan jasa-jasa bank lainnya. Tujuan dari bentuk pelayanan

48

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab I, Pasal 1 ayat (14).

49

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 9.

50

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 314.


(13)

jasa bank lainnya ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas ekonomi. Masyarakat berkedudukan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang secara aktif melakukan transaksi ekonomi

dengan sistem pembayaran melalui system banking, untuk itulah bank

memberikan berbagi kemudahan untuk transaksi berbagai bentuk produk bank

yang didukung dengan teknologi perbankan yang makin mutakhir.51

B. Permodalan Bank Umum dalam Prakteknya

Bank sebagai sebuah perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi keuangan, apabila mengalami kegagalan, maka dampak yang ditimbulkan menjadi luas dan akan mempengaruhi nasabah serta lembaga keuangan lainnya yang menempatkan dananya di bank. Selain itu, akan menciptakan dampak ikutan baik secara domestik maupun internasional. Sementara itu, mengingat pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya, maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk menjaga kepercayaaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu aturan yang perlu dibuat adalah aturan yang terkait dengan permodalan bank, dimana modal ini berfungsi sebagai penyangga terhadap

kemungkinan terjadinya kerugian.52

Modal bank merupakan motor penggerak bagi kegiatan usaha bank, sehingga besar kecilnya modal bank sangat berpengaruh terhadap kemampuan bank untuk melaksanakan kegiatan operasinya. Dengan modal sedikit maka

kapasitas usaha bank menjadi terbatas mengingat modal merupakan proxi dari

pada kemampuan bank untuk mengcover risiko risiko usaha yang dihadapi. Bank

51

Julius R. Latumerissa, Op.Cit., hlm. 227.

52 Ghozali Maski, “Implementasi Basel I Terhadap Tata Kelola Permodalan dan Risiko


(14)

dengan modal sedikit tentunya akan mengalami kesulitan untuk memiliki kegiatan usaha yang sangat bervariasi atau memiliki risiko tinggi seperti kegiatan

derivatif.53 Pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 yang

selanjutnya disebut PBI No. 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum menyatakan Modal disetor untuk mendirikan bank ditetapkan paling kurang sebesar Rp

3.000.000.000.000,00 (tiga triliun rupiah).54

Permodalan perbankan yang sehat dan kuat dibutuhkan untuk mendukung industri perbankan yang kuat, sehat dan efisien guna menciptakan kestabilan keuangan. Secara teoritis, terdapat tiga faktor utama menentukan besarnya

kebutuhan modal sebagai bank, yaitu:55

1. fungsi modal itu sendiri;

2. kebutuhan untuk menjaga kepercayaan masyarakat untuk memicu luasnya

dukungan pihak di luar bank terhadap manajemen bank; dan

3. financial leverage,56 yang diperlukan untuk mempertinggi keuntungan bagi pemegang saham bank.

PBI No. 15/12/PBI/2013 membuat pengaturan tentang komponen modal pada bank yang berkantor pusat di Indonesia dan komponen modal bagi kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri. Dalam Pasal 9 ayat (1) PBI No.

53 Ismi Affandi, “Analisis Kesehatan Bank Umum di Indonesia,” (Tesis, Akuntansi,

Pascasarjana, USU, 2011). 54

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum, Bab II, Pasal 5.

55

Ali Mahsyud, Asset Liability Management, Menyisiasati Resiko Pa sar dan Resiko Operasional Dalam Perbankan (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hlm. 283.

56

Financial Leverage adalah perbandingan modal dengan nilai aktiva, seperti halnya sebuah perusahaan (Ali Mahsyud, Asset Liability Management, Menyisiasati Resiko Pasa r dan Resiko Operasional Dalam Perbankan (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), hlm. 283.)


(15)

15/12/PBI/2013 menjelaskan modal bagi bank yang berkantor pusat di Indonesia terdiri atas:57

1. modal inti (Tier 1) yang meliputi:

a. modal inti utama (Common Equity Tier 1);

b. modal inti tambahan (Additional Tier 1); dan

2. modal pelengkap (Tier 2).

Bank diwajibkan menyediakan modal inti paling rendah (minimum) sebesar 6% (enam persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara kosolidasi

dengan perusahaan anak.58 Pernyataan ini terkandung dalam Pasal 11 ayat (2) PBI

No. 15/12/PBI/2013. Pemenuhan modal inti minimum dapat dilakukan dengan menempuh beberapa alternatif, antara lain penambahan modal disetor, pertumbuhan laba atau melakukan merger, konsolidasi atau akuisisi. Dalam

praktiknya, merger atau konsolidasi bukan menjadi pilihan utama bagi bank untuk

mencapai modal inti minimum, sebisa mungkin bank memenuhi modal inti minimumnya dengan cara penambahan modal baru atau dengan pertumbuhan

laba. Karena proses merger, konsolidasi dan akuisisi akan berdampak pada kinerja

bank dan membawa risiko yang tidak kecil, yaitu kegagalan operasi bank.59

Pasal 11 ayat (3) PBI No. 15/12/PBI/2013 Bank diwajibkan menyediakan modal inti utama paling rendah (minimum) sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara individual maupun konsolidasi dengan perusahaan

57

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 9 ayat (1).

58

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 11 ayat (2).

59 Indra Retno Aryatie dan Adityo Waskito Nugroho, “Akibat Hukum Bagi Bank Bila Kewajiban Modal Inti Minimum Tidak Terpenuhi,” Mimbar Hukum, Volume 22, No.2, Juni 2010, hlm. 296.


(16)

anak.60 Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a PBI No. 15/12/PBI/2013

disebutkan komponen dari modal inti utama yang terdiri atas:61

1. modal disetor;

2. cadangan tambahan modal (disclosed reserve).

Penjelasan dari Pasal 11 ayat (1) Huruf a angka 1 PBI No. 15/12/PBI/2013

mengemukakan yang termasuk modal disetor adalah saham biasa (common stock)

sesuai dengan perundang-undangan dan standar akuntansi keuangan mengenai

instrumen keuangan.62

Selanjutnya Penjelasan Pasal 11 ayat (1) huruf b PBI No. 15/12/PBI/2013

mengemukakan yang termasuk modal inti tambahan yang meliputi antara lain:63

1. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, tidak

memiliki jangka waktu, dan pembayaran imbal hasil tidak dapat

diakumulasikan (perpetual non cumulative subordinated debt);

2. saham preferen non kumulatif (perpetual non cummulative preference share)

baik dengan atau tanpa fitur opsi beli (call option);

3. instrumen hybrid yang tidak memiliki jangka waktu dan pembayaran imbal

hasil tidak dapat diakumulasikan (perpetual dan non cummulative); dan

4. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong

sebagai modal inti tambahan.

60

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 11 ayat (3).

61

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 11 ayat (1).

62

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Penjelasan 11 ayat (1) Huruf a angka 1.

63

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Penjelasan Pasal 11 ayat (1) huruf b.


(17)

Pasal 18 PBI No. 15/12/PBI/2013 menyatakan bahwa modal pelengkap hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari

modal inti.64 Komponen modal pelengkap diutarakan dalam Pasal 20 ayat (1) PBI

No. 15/12/PBI/2013 yakni meliputi:65

1. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;

2. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang tergolong

sebagai modal pelengkap;

3. cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dihitung dengan jumlah

paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit; dan

4. cadangan tujuan.

Pasal 20 ayat (2) PBI No. 15/12/PBI/2013 menjelaskan lebih lanjut tentang Pasal 20 ayat (1) huruf c PBI No. 15/12/PBI/2013 yaitu tentang cadangan umum. Dalam ayat (2) dikatakan bahwa selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko

Kredit.66

64

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 18.

65

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 20 ayat (1).

66

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 20 ayat (2).


(18)

Selanjutnya Pasal 10 ayat (1) PBI No. 15/12/PBI/2013 menetapkan komponen modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri

yang terdiri atas:67

1. dana usaha;

2. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);

3. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);

4. cadangan umum;

5. saldo surplus revaluasi aset tetap;

6. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari

peningkatan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual;

7. cadangan tujuan; dan

8. cadangan umum penyisihan penghapusan aset (PPA) atas aset produktif

dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c.

Terdapat juga aturan tambahan tentang alokasi dana usaha bagi kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 24 ayat (1) PBI No. 15/12/PBI/2013 mewajibkan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar

negeri wajib memenuhi CEMA minimum. CEMA adalah singkatan dari Capital

Equivalency Maintained Assets. Selanjutnya dalam ayat (2) CEMA minimum ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari total kewajiban bank pada setiap bulan dan paling sedikit sebesar Rp1000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dan

67

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 10 ayat (1).


(19)

dalam Pasal 25 ayat (1) CEMA minimum wajib dipenuhi dari dana usaha. Dana usaha yang dimiliki kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri harus memenuhi KPMM sesuai profil risiko. CEMA minimum dihitung setiap bulan dan wajib dipenuhi dan ditempatkan paling lambat tanggal 6 bulan berikutnya.

Kewajiban pemenuhan CEMA minimum bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri merupakan salah satu bentuk respon terhadap dinamika perekonomian serta perkembangan sektor keuangan global, dan merupakan upaya Bank Indonesia sebagai host supervisor untuk memperkuat permodalan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan secara umum dan sektor perbankan

secara khusus.68

Perbankan dalam menjalankan operasionalnya harus mempunyai rasio kecukupan modal yang cukup, sehingga dalam kondisi perekonomian seperti sekarang ini masih bisa bertahan dan dapat terhindar dari rekapitalisasi dan

bahkan terkena resiko pembekuan operasi.69 Para pemegang saham sebagai orang

yang menempatkan modalnya pada bank tentulah menghendaki agar uang (modal) yang ditanamnya itu akan memberikan hasil pada akhir tahun sehingga mereka

dapat menikmatinya.70

Bank adalah lembaga kepercayaan. Karena itu, manajemen bank dituntut untuk selalu menjaga kepercayaan masyarakat menggunakan semua perangkat operasionalnya untuk mampu menjaga citra di masyarakat. Salah satu perangkat

68

Republik Indonesia, Surat Edaran No. 14/37/DPNP

69 Supriyo Hartadi W. , “Rekapitulasi Dalam Kaitannya Dengan Perbankan, “

Ekonomi dan Komputer, No.1, Tahun XIII-2005, hlm. 4.

70


(20)

yang sangat strategis dalam menopang citra tersebut adalah permodalan yang cukup memadai. Sejak Pakto 27, 1988, otoritas moneter telah menetapkan modal

minimum bank umum yang jumlahnya disesuaikan dengan CAR (capital

adequacy ratio) yaitu rasio kecukupan modal yang telah selesai konsolidasinya di

awal 1994. Modal yang disetor haruslah berupa fresh money (dana segar) dan

bukanlah hasil rekayasa dari dana kredit baik dalam maupun luar negeri. Karena modal ini berkaitan erat dengan keinginan yang tersirat dari pemegang saham untuk mendapatkan hasil yang memadai, maka bagaimana strategi penempatan modal untuk menjaring kepercayaan masyarakat atua nasabah penyimpan,

merupakan suatu seni manajemen yang sangat bervariasi dalam pelaksanaannya.71

C. Penguatan Modal Bank Umum Melalui Pembatasan Pemberian Kredit Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang paling penting dan besar peranannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan peranannya bank bertindak sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa keuangan lain-lain. Adapun pemberian kredit itu dilakukan, baik dengan modal sendiri, dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran batu

berupa uang giral.72

Pada prinsipnya bank merupakan suatu lembaga perantara keuangan (financial intermediary), di samping kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, bank tersebut juga mempunyai kegiatan berupa penarikan dana dari

71

Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Bank dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 155.

72

O.P.Simonangkir, Kamus Perbankan, Cetakan Kedua (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hlm. 33.


(21)

masyarakat. Jadi dana yang ditarik dari masyarakat tersebut kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat. Oleh karena itu bank memperoleh keuntungan

diantara kegiatan penyaluran dana dan penarikan dana tersebut.73 Pemberian

kredit merupakan salah satu kegiatan usaha bank dalam rangka mengelola dana

yang dikuasainya agar produktif dan memberikan keuntungan.74

Kehidupan perekonomian manusia pada saat ini erat kaitannya dengan dunia perbankan. Perbankan berfungsi sebagai penopang untuk membantu kebutuhan hidup manusia dengan cara menjalankan usaha bank yaitu salah satunya dengan

memberikan kredit.75 Mengapa seseorang memerlukan kredit? Karena manusia

selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia yang beraneka ragam sesuai dengan harkatnya selalu meningkat, sedangkan kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya itu terbatas. Hal ini menyebabkan manusia memerlukan bantuan untuk memenuhi hasrat dan cita-citanya. Dalam hal manusia berusaha, maka untuk meningkatkan usahanya, manusia memerlukan bantuan dalam bentuk permodalan. Bantuan dari bank

dalam bentuk tambahan modal inilah yang sering disebut dengan kredit.76

Pasal 1 ayat (11) UU Perbankan menyebutkan Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang

73

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998 (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 9.

74

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 3.

75

Try Widiyono, Aspek Hukum Opera sional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia (Simpanan, Jasa & Kredit) (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 8.

76

Thomas Suyatno, dkk., Dasar-Dasar Perkreditan (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 13.


(22)

mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga.77

Hubungan hukum yang paling banyak terjadi antara bank dengan nasabah adalah hubungan pemberian kredit. Bank bertindak sebagai kreditur dan nasabah bertindak sebagai debitur. Pada dasarnya perjanjian pemberian kredit antara bank dengan nasabah mirip dengan ketentuan Pasal 1574 KUH Perdata dan seterusnya tentang meminjam, khususnya Pasal 1756 KUH Perdata tentang

pinjam-meminjam uang.78

Kredit dalam kegiatan perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling utama, karena pendapatan terbesar dari usaha bank berasal dari pendapatan kegiatan usaha kredit yaitu berupa bunga dan provisi. Ruang lingkup dari kredit sebagai kegiatan perbankan, tidaklah semata-mata berupa kegiatan peminjaman kepada nasabah melainkan sangatlah kompleks karena menyangkut keterkaitan unsur-unsur yang cukup banyak di antaranya meliputi : sumber-sumber dana kredit, alokasi dana, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan perkreditan, dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan kredit serta

penyelesaian kredit bermasalah.79

Perjanjian kredit yang memuat berbagai klausul terdapat kepentingan dan hak bank sebagai dasar untuk mengendalikan kredit. Sebaliknya, bagi nasabah debitur, perjanjian kredit tersebut menimbulkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi baiksebelum kredit direalisir, selama kredit digunakan ataupun setelah

77

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab I, Pasal 11 ayat (3).

78

Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah ( Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hlm.18.

79

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000), hal. 426.


(23)

kredit jatuh waktu. Demikian juga, hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur atau pemilik agunan timbul dengan ditandatanganinya pengikatan agunan. Terutama bagi kepentingan bank, pengikatan agunan bertujuan melindungi kredit yang telah diberikan karena memberikan hak untuk memperoleh hasil atas penjualan agunan. Terutama bagi kepentingan bank, pengikatan agunan bertujuan melindungi kredit yang telah diberikan karena memberikan hak untuk memperoleh hasil atas penjualan agunan manakala pengembalian kredit oleh nasabah debitur mengalami kemacetan. Berhubung dengan itu, saat dilakukan pengikatan jaminan merupakan momen yang perlu mendapat perhatian jangan

sampai pengikatan mengandung cacat yuridis.80

Perjanjian kredit telah dibuat dan disediakan oleh bank dalam bentuk baku dimana nasabah tidak berkesempatan lagi untuk meminta dicantumkan syarat-syarat yang diinginkannya, melainkan harus menerima syarat-syarat- saja syarat-syarat-syarat-syarat yang telah terdapat dalam perjanjian kredit ini yang pada prinsipnya lebih

mementingkan kepentingan bank guna pengamanan kredit.81

Pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan usaha bank dalam rangka

mengelola dana yang dikuasainya agar produktif dan memberikan keuntungan.82

Dengan pemberian kredit, maka bank akan memeperoleh sumber penghasilan

80 John Marlon M. Sihombing, “Upaya Penyelesaian Sengketa Kredit Perbankan Pada Bank Swasta Di Kota Medan (Studi Kasus Pada PT. Bank Eksekutif Internasional Tbk Cabang Medan),” (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2004).

81 Katharina Melati Siagian, “Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit (Studi Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk) ,” (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2006), hlm. 10.

82

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 3.


(24)

yang cukup besar berupa bunga. Pendapatan tersebut diperoleh melalui spread

yang merupakan selisih antara bunga pinjaman dan simpanan.83

Kredit sesuai dengan kata aslinya credo, berarti kepercayaan. Jika bank

memberikan kredit kepada para nasabahnya, berarti bank memberikan kepercayaan kepada nasabah tersebut. Untuk mendukung kepercayaan tersebut diperlukan beberapa faktor dalam penilaian kredit, sedangkan untuk menganalisis

kepercayaan itu diperlukan beberapa prinsip dalam pemberian kredit.84

Nasabah-nasabah yang memperoleh kredit dari bank tidak seluruhnya dapat mengembalikannya dengan baik dan tepat pada waktu yang diperjanjikan. Pada kenyataannya selalu ada sebagian nasabah yang karena suatu sebab tidak dapat mengembalikan kredit kepada bank yang telah memberi pinjaman. Akibat nasabah tidak dapat membayar lunas utangnya, maka menjadikan perjalanan

kredit terhenti atau macet. Kredit macet adalah “suatu keadaan dimana seorang

nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya”.85

Kredit macet dalam dunia perbankan merupakan penyakit berbahaya yang dapat membuat lumpuhnya suatu bank. Masalah kredit macet tidak saja akan merugikan para pemilik saham bank tersebut, tetapi juga akan merugikan para

pemilik dana, yang sebagian besar adalah anggota masyarakat.86

Risiko dalam hal ini adalah berpotensi terjadinya suatu peristiwa atau events

yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi serta

83

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 12.

84

As.Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 23.

85

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta : Djambatan, 1995), hlm. 92.

86

As.Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 12.


(25)

tidak dikelola sebagaimana mestinya. Dalam Tulisannya Bismar Nasution mendefenisikan risiko sebagai potensi fluktuasi yang merugikan laba bank atau

cash flow atau modal bank sebagai dampak yang diakibatkan nasabah, internal control yang kurang memadai, kegagalan sistem atau control, dan

mismanagement.87

Karena begitu banyaknya resiko yang dihadapi dalam hal pemberian kredit yakni kegagalan, kemacetan dalam pelunasan bahkan berpengaruh terhadap kesehatan bank itu sendiri, maka lembaga perbankan perlu dibina dan diawasi secara terus-menerus agar dapat berfungsi secara efisien, sehat, wajar, mampu bersaing dan mampu melindungi dana yang dititpkan masyarakat kepadanya dengan baik serta mampu menyalurkan dana masyarakat yang dititipkan kepadanya itu ke bidang-bidang usaha yang benar-benar prodiktif sesuai dengan

sasaran pembangunan.88

Pengertian Batas Maksimum Pemberian Kredit dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia nomor 7/3/PBI/2005 Tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum yang selanjutnya disebut PBI No. 8/13/PBI/2006 adalah persentase

maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.89

Sedangkan penyediaan dana menurut Pasal 1 angka 3 PBI No. 8/13/PBI/2006 adalah penanaman dana Bank dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan, surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali, tagihan akseptasi, derivatif

87 Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan

(SSK)”,Disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral dalam

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Padanga: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), 28 Mei 2009), hlm. 19. (dalam Tesis Syuratti Astuti Manalu).

88

Katharina Melati Siagian, Op.Cit., hlm. 12.

89

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Pasal 1angka 2.


(26)

kredit (credit derivative), transaksi rekening administratif, tagihan derivatif,

Potential future credit exposure, Penyertaan modal sementara, dan Bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan yang telah disebutkan

sebelumnya.90

Tujuan pengenaan ketentuan BMPK: dalam melakukan kegiatan penyaluran dana, bank terutama menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank, maka dalam penyaluran dananya bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dananya sedemikian rupa, sehingga tidak

terkonsentrasi pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu.91 Pengertian

pelanggaran BMPK diutarakan dalam Pasal 1 angka 6 PBI No. 8/13/PBI/2006 yaitu selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat pemberian penyediaan

dana.92 Sedangkan pelampauan BMPK diutarakan dalam Pasal 1 angka 7 PBI No.

8/13/PBI/2006 yaitu selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada

angka 6.93

90

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Pasal 1angka 3.

91

Syapri Chan, Penyertaan Modal Sementara Bank Untuk Mengatasi Akibat Kegagalan Kredit (Debt Of Equity Swap),” (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2005). Hal. 30.

92

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Pasal 1angka 6.

93

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Pasal 1angka 7.


(27)

Bank dalam pemberian kredit diharuskan membuat suatu batasan. Pasal 11

ayat (1) UU Perbankan yang bunyinya “Bank Indonesia menetapkan ketentuan

mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada perusahaan-perusahaan

dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan”.94

Pasal 11 ayat 1 diatas mengatur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa kepada perusahaan yang tidak mempunyai keterkaitan dengan bank tersebut. Sehingga Pasal 11 ayat (2) UU Perbankan menetapkan batas maksimum penyediaan dana yang diberikan kepada mereka tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan

Bank Indonesia.95

Bank Indonesia melalui UU Perbankan juga menetapakan ketentuan mengenai pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan bank. Pihak-pihak yang tersebut diutarakan dalam Pasal 11 ayat (3) yakni:

1. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari

modal disetor bank;

2. anggota Dewan Komisaris;

3. anggota Direksi;

94

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 11 ayat (1).

95

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 11 ayat (2).


(28)

4. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;

5. pejabat bank lainnya; dan

6. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari

pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

UU Perbankan membedakan pengaturan batas maksimum penyediaan dana kepada pihak-pihak yang disebutkan diatas. Dalam Pasal 11 ayat (4) UU Perbankan dikatakan batas maksimum untuk pihak-pihak yang disebutkan diatas tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai

dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.96 Pihak-pihak yang

disebutkan dalam Pasal 11 ayat (3) mendapatkan porsi penyediaan dana yang lebih sedikit daripada pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1).

Penguatan modal melalui batas maksimum penyediaan kredit dapat dijelaskan melalui pepatah “sedia payung sebelum hujan”. Manusia dianalogikan sebagai bank, Payung sebagai modal bank, awan sebagai kredit, dan hujan sebagai risiko. Awan yang cerah dapat dilukiskan sebagai kredit yang aman dan tidak macet dan awan hitam digambarkan sebagai kredit yang macet. Sudah hal yang umum yang sering terjadi kalau awan hitam sebagai pertanda akan turun hujan. Ketika hujan turun payung akan melindungi manusia dari hujan dan apabila tidak ada payung maka manusia akan kehujanan. Sama halnya dengan kredit yang macet, modal bank akan digunakan sebagai penyangga risiko atas kredit yang macet sehingga bank tidak menjadi tergangu akibat adanya kredit yang macet. Sehingga kinerja bank yang terkena kredit macet masih bisa berjalan dengan

96

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 11 ayat (4).


(29)

normal. Bisa ditebak apabila bank tidak mempunyai modal sebagai penyangga risiko maka bank tersebut akan bermasalah. Bank tidak akan mempunyai dana cadangan untuk tetap beroperasi. Kredit macet mengakibatkan likuiditas bank memburuk (likuiditas adalah pengaturan kebutuhan dana bank untuk menutupi kebutuhan operasional sehari-hari). Kelancaran bank membayar deposito yang jatuh tempo, penabung yang menarik dananya, dan kegiatan operasional lainnya sangat tergantung dari kelancaran debitur membayar bunga dan pokok pinjaman.

Apabila kredit macet, cash in (aliran dana masuk) bank akan terganggu.97 Karena

apabila tidak ada batas maksimum pemberian kredit maka bank akan memberikan kredit 100% dari modal yang tersedia padanya untuk diberikan sebagai kredit kepada orang-orang yang membutuhkan. Sehingga jumlah modal menjadi negatif dan apabila suatu saat terjadi masalah kredit macet maka bank tidak mempunyai modal penyangga untuk menutupi masalah kredit macet. Bank tidak mungkin menggunakan dana nasabah sebagai penyangga kegiatan operasionalnya, karena nasabah setiap saat dapat menarik dana yang mereka simpan di bank, dan apabila bank menunda memberikan dana masyarakat maka kepercayaan masyarakat terhadap bank yang bersangkutan akan menurun.

Memburuknya permodalan bank tidak dapat dilepaskan dari adanya praktek perbankan yang menyimpang atau melanggar ketentuan kesehatan bank. Pada

sebagian besar bank, bentuk penyimpangan atau sikap non compliance terhadap

ketentuan kehati-hatian terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah pelanggaran dalam ketentuan “Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)”, dan proses pemberian kredit yang sehat sebagaimana tertuang dalam Pedoman

97

Jopie Jusuf, Kiat Jitu Memeperoleh Kredit Bank (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003), hlm. 11.


(30)

Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB), pealnggaran atas ketentuan BI mengenai larangan pemberian kredit untuk kegiatan tertentu, dan pelanggaran berupa pemberian jaminan surat-surat berharga yang juga telah dilarang berdasarkan ketentuan BI. Kesehatan sistem perbankan sangat tergantung pada kesehatan dari bank yang berada dalam sistem perbankan tersebut. Aspek penting yang mencerminkan kesehatan bank adalah tingkat kecukupan modal (CAR). Bank yang CAR-nya rendah tidak memperoleh kepercayaan dari bank lainnya, dengan konsekuensi bank tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai sumber pembiayaan ekonomi maupun sebagai sarana dalam sistem

pembayaran nasional.98

Kredit macet dapat berakibat yang begitu besar sehingga bank harus berupaya untuk menghindari dan menemukan cara penyelesaian yang setepat-tepatnya. Oleh karenanya perlu pemahaman yang menyeluruh tentang sebab-sebab timbulnya kredit macet tersebut, sehingga dengan menemukan faktor-faktor penyebab kredit macet ini akan mempermudah bagi pihak bank untuk

menghindari serta menyelesaikan kredit macet tersebut.99

Untuk mencegah terjadinya kredit macet, bank wajib melakukan pengelolaan kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan kredit oleh bank yaitu dengan melakukan upaya-upaya preventif agar

kredit tidak menjadi bermasalah.100 Tindakan preventif dalam melindungi

kepentingannya atas risiko kredit macet yang mungkin timbul adalah biasanya bank secara dini telah melakukan analisis kredit secara menyeluruh, melakukan

98

Supriyo Hartadi W., Op.Cit., hlm. 1. 99

Katharina Melati Siagian, Op.Cit., hlm 11.

100 Novrilanimisy, “Pelaksanaan Resturkturisasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Dan Hambatannya Pada PT Bank Rakyat Indonesia,” (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2004).


(31)

pengikatan jaminan, serta melakukan tindakan hukum dalam menyelesaikan kredit macet. Bahkan tindakan pengaman lain, misalnya bank sejak menerima barang jaminan kredit dari nasabah atau dari pihak penjamin, telah mewajibkan kepada nasabah penerima kredit atau penjamin tersebut untuk mengasuransikan barang

jaminan kepada perusahaan asuransi kerugian yang dikehendaki bank.101

Untuk mencapai tujuan agar tetap bertahan memang tidak mudah, ini disebabkan oleh banyaknya kejadian masa mendatang yang sulit diprediksi, seperti yang sedang dialami saat ini yaitu adanya krisis ekonomi yang hampir

semua badan usaha tidak memprediksinya.102

101 Syuratty Astuti Rahayu Manalu, “Tinjauan Yuridis Pengawasan

Bank Indonesia Terhadap Pemberian Likuiditas Pada Bank Umum Pada PT. Bank Century,” (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2011).

102


(1)

kredit (credit derivative), transaksi rekening administratif, tagihan derivatif,

Potential future credit exposure, Penyertaan modal sementara, dan Bentuk

penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan yang telah disebutkan sebelumnya.90

Tujuan pengenaan ketentuan BMPK: dalam melakukan kegiatan penyaluran dana, bank terutama menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank, maka dalam penyaluran dananya bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan penyediaan dananya sedemikian rupa, sehingga tidak terkonsentrasi pada peminjam dan/atau kelompok peminjam tertentu.91 Pengertian pelanggaran BMPK diutarakan dalam Pasal 1 angka 6 PBI No. 8/13/PBI/2006 yaitu selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat pemberian penyediaan dana.92 Sedangkan pelampauan BMPK diutarakan dalam Pasal 1 angka 7 PBI No. 8/13/PBI/2006 yaitu selisih lebih antara persentase BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal bank pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada angka 6.93

90

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Pasal 1angka 3.

91

Syapri Chan, Penyertaan Modal Sementara Bank Untuk Mengatasi Akibat Kegagalan Kredit (Debt Of Equity Swap),” (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana, USU, 2005). Hal. 30.

92

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Pasal 1angka 6.

93

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI2005 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum, Pasal 1angka 7.


(2)

Bank dalam pemberian kredit diharuskan membuat suatu batasan. Pasal 11 ayat (1) UU Perbankan yang bunyinya “Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada perusahaan-perusahaan

dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan”.94

Pasal 11 ayat 1 diatas mengatur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa kepada perusahaan yang tidak mempunyai keterkaitan dengan bank tersebut. Sehingga Pasal 11 ayat (2) UU Perbankan menetapkan batas maksimum penyediaan dana yang diberikan kepada mereka tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.95

Bank Indonesia melalui UU Perbankan juga menetapakan ketentuan mengenai pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan keterkaitan dengan bank. Pihak-pihak yang tersebut diutarakan dalam Pasal 11 ayat (3) yakni:

1. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;

2. anggota Dewan Komisaris; 3. anggota Direksi;

94

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 11 ayat (1).

95

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 11 ayat (2).


(3)

4. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; 5. pejabat bank lainnya; dan

6. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

UU Perbankan membedakan pengaturan batas maksimum penyediaan dana kepada pihak-pihak yang disebutkan diatas. Dalam Pasal 11 ayat (4) UU Perbankan dikatakan batas maksimum untuk pihak-pihak yang disebutkan diatas tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.96 Pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (3) mendapatkan porsi penyediaan dana yang lebih sedikit daripada pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1).

Penguatan modal melalui batas maksimum penyediaan kredit dapat

dijelaskan melalui pepatah “sedia payung sebelum hujan”. Manusia dianalogikan

sebagai bank, Payung sebagai modal bank, awan sebagai kredit, dan hujan sebagai risiko. Awan yang cerah dapat dilukiskan sebagai kredit yang aman dan tidak macet dan awan hitam digambarkan sebagai kredit yang macet. Sudah hal yang umum yang sering terjadi kalau awan hitam sebagai pertanda akan turun hujan. Ketika hujan turun payung akan melindungi manusia dari hujan dan apabila tidak ada payung maka manusia akan kehujanan. Sama halnya dengan kredit yang macet, modal bank akan digunakan sebagai penyangga risiko atas kredit yang macet sehingga bank tidak menjadi tergangu akibat adanya kredit yang macet. Sehingga kinerja bank yang terkena kredit macet masih bisa berjalan dengan

96

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab III, Pasal 11 ayat (4).


(4)

normal. Bisa ditebak apabila bank tidak mempunyai modal sebagai penyangga risiko maka bank tersebut akan bermasalah. Bank tidak akan mempunyai dana cadangan untuk tetap beroperasi. Kredit macet mengakibatkan likuiditas bank memburuk (likuiditas adalah pengaturan kebutuhan dana bank untuk menutupi kebutuhan operasional sehari-hari). Kelancaran bank membayar deposito yang jatuh tempo, penabung yang menarik dananya, dan kegiatan operasional lainnya sangat tergantung dari kelancaran debitur membayar bunga dan pokok pinjaman. Apabila kredit macet, cash in (aliran dana masuk) bank akan terganggu.97 Karena apabila tidak ada batas maksimum pemberian kredit maka bank akan memberikan kredit 100% dari modal yang tersedia padanya untuk diberikan sebagai kredit kepada orang-orang yang membutuhkan. Sehingga jumlah modal menjadi negatif dan apabila suatu saat terjadi masalah kredit macet maka bank tidak mempunyai modal penyangga untuk menutupi masalah kredit macet. Bank tidak mungkin menggunakan dana nasabah sebagai penyangga kegiatan operasionalnya, karena nasabah setiap saat dapat menarik dana yang mereka simpan di bank, dan apabila bank menunda memberikan dana masyarakat maka kepercayaan masyarakat terhadap bank yang bersangkutan akan menurun.

Memburuknya permodalan bank tidak dapat dilepaskan dari adanya praktek perbankan yang menyimpang atau melanggar ketentuan kesehatan bank. Pada sebagian besar bank, bentuk penyimpangan atau sikap non compliance terhadap ketentuan kehati-hatian terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya adalah

pelanggaran dalam ketentuan “Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)”, dan

proses pemberian kredit yang sehat sebagaimana tertuang dalam Pedoman

97

Jopie Jusuf, Kiat Jitu Memeperoleh Kredit Bank (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003), hlm. 11.


(5)

Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB), pealnggaran atas ketentuan BI mengenai larangan pemberian kredit untuk kegiatan tertentu, dan pelanggaran berupa pemberian jaminan surat-surat berharga yang juga telah dilarang berdasarkan ketentuan BI. Kesehatan sistem perbankan sangat tergantung pada kesehatan dari bank yang berada dalam sistem perbankan tersebut. Aspek penting yang mencerminkan kesehatan bank adalah tingkat kecukupan modal (CAR). Bank yang CAR-nya rendah tidak memperoleh kepercayaan dari bank lainnya, dengan konsekuensi bank tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai sumber pembiayaan ekonomi maupun sebagai sarana dalam sistem pembayaran nasional.98

Kredit macet dapat berakibat yang begitu besar sehingga bank harus berupaya untuk menghindari dan menemukan cara penyelesaian yang setepat-tepatnya. Oleh karenanya perlu pemahaman yang menyeluruh tentang sebab-sebab timbulnya kredit macet tersebut, sehingga dengan menemukan faktor-faktor penyebab kredit macet ini akan mempermudah bagi pihak bank untuk menghindari serta menyelesaikan kredit macet tersebut.99

Untuk mencegah terjadinya kredit macet, bank wajib melakukan pengelolaan kredit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan kredit oleh bank yaitu dengan melakukan upaya-upaya preventif agar kredit tidak menjadi bermasalah.100 Tindakan preventif dalam melindungi kepentingannya atas risiko kredit macet yang mungkin timbul adalah biasanya bank secara dini telah melakukan analisis kredit secara menyeluruh, melakukan

98

Supriyo Hartadi W., Op.Cit., hlm. 1.

99

Katharina Melati Siagian, Op.Cit., hlm 11.

100Novrilanimisy, “Pelaksanaan Resturkturisasi Kredit Macet Berdasarkan Peraturan Bank

Indonesia Dan Hambatannya Pada PT Bank Rakyat Indonesia,” (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana,


(6)

pengikatan jaminan, serta melakukan tindakan hukum dalam menyelesaikan kredit macet. Bahkan tindakan pengaman lain, misalnya bank sejak menerima barang jaminan kredit dari nasabah atau dari pihak penjamin, telah mewajibkan kepada nasabah penerima kredit atau penjamin tersebut untuk mengasuransikan barang jaminan kepada perusahaan asuransi kerugian yang dikehendaki bank.101

Untuk mencapai tujuan agar tetap bertahan memang tidak mudah, ini disebabkan oleh banyaknya kejadian masa mendatang yang sulit diprediksi, seperti yang sedang dialami saat ini yaitu adanya krisis ekonomi yang hampir semua badan usaha tidak memprediksinya.102

101 Syuratty Astuti Rahayu Manalu, “Tinjauan Yuridis Pengawasan

Bank Indonesia

Terhadap Pemberian Likuiditas Pada Bank Umum Pada PT. Bank Century,” (Tesis, Ilmu Hukum,

Pascasarjana, USU, 2011).

102