Pengaruh Konsentrasi PM2,5 dan Karakteristik Pekerja Terhadap Fungsi Paru pada Pekerja di Industri Penggilingan Padi Desa Tanjung Set Kecamatan Sunggal Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara

Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan - bahan atau zat - zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.

2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara

Menurut Maters (1991) yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam manusia (atau yang dapat, dihitung dan diukur) Serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material. Selain itu pencemaran udara dapat pula dikatakan sebagai perubaban atmosfer oleh karena masuknya bahan kontaminan alami atau buatan ke dalam atmosfer tersebut.

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udara adalah juga atmosfir yang berada disekeliling bumi yang fungsinya Menurut Kumar, pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya.


(2)

sangat penting bagi kehidupan di dunia. Dalam udara terdapat oksigen (O2) untuk bernapas, CO2 untuk proses fotosintesis oleh klorofil daun dan Ozon (O3

Tabel 2.1. Komposisi normal Udara Bersih dan Kering

) untuk menahan sinar ultraviolet. Komposisi udara bersih dan kering adalah sebagai berikut :

Mama Simbol % Volume

Nitrogen N2 78,09

Oksigen O2 21,94

Argon Ar 0,93

Karbondioksida CO2 0,032

Sumber : Arya Wardhana, 2001

Pengertian lain dari pencemaran udara adalah terdapat bahan kontaminan di atmosfer karna ulah manusia (man made). Hal ini untuk membedakan dengan pencemaran udara alamiah dan pencemaran udara di tempat kerja (occupational air pollution).

Asal pencemaran udara dapat diterangkan dengan 3 (tiga) proses yaitu atrisi (attrition), penguapan (vaporization) dan pembakaran (combuslion). Dari ketiga proses tersebut di atas, pembakaran merupakan proses yang sangat dominan dalam kemampuannya dominan dalam kemampuannya menimbulkan bahan polutan. 2.1.2. Penyebab Pencemaran Udara

Pembangunan yang berkembang pesat dewasa ini, khususnya dalam bidang teknologi dan industri serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar minyak menyebabkan udara yang kita hirup menjadi tercemar oleh gas-gas buangan basil pembakaran.


(3)

Secara umum penyebab pencemaran udara ada dua macam yaitu : 1. Faktor Internal (secara alamiah), contoh :

• Debu yang beterbangan akibat tiupan angin

• Debu yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas- gas vulkaniknya • Proses pembusukan sampah organik

2. Faktor Eksternal (ulah manusia), contoh : • Hasil pembakaran bahan bakar fosil • Debu / serbuk dari kegiatan industry

• Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padalan cairan atau gas yang masuk terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya. Udara bersih yang kita hirup merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna maupun berasa. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih sulit diperoleh, terutama diperkotaan yang banyak industrinya dan padat lalu lintas. Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia.

2.1.3. Komponen Pencemaran Udara

Udara di daerah perkotaan yang mempunyai banyak kegiatan industri dan teknologi Serta lalu lintas yang padat, udaranya relatif sudah tidak bersih lagi. Udara di daerah industri kotor terkena bermacam-macam pencemar. Dari beberapa macam


(4)

komponen pencemar udara, maka yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah (Arya Wardhana , 2001) :

1. 2.

Karbon Monoksida (CO) Nitrogen Oksida (NO2 3.

) Belerang Oksida (SO2 4.

)

5.

Hidro Karbon (HC)

Komponen pencemar udara, tersebut di atas bisa mencemari udara secara sendiri-sendiri, atau dapat pula mencemari udara secara bersamasama. Jumlah komponen pencemar udara tergantung pada sumbernya. Adapun kadar komponen, pencemar udara di Amerika Serikat adalah :

Partikel (Particulate) dan lain-lain.

Tabel 2.2. Sumber Pencemar Udara di Amerika Serikat

Sumber Pencemaran

Jumlah Komponen Pencemar, Juta Ton/ Tabun

CO NO2 SO2 HC Part. Total

Transportasi 63,8 8,1 0,8 16,6 1,2 90,5

Industri 9,7 0,2 7,3 4,6 7,5 29,3

Pembuangan Sampah 7,8 0,6 0,1 1,6 1,1 11,2 Pembakaran Stationer 1,9 10,0 24,4 0,7 8,9 45,9

Lain-lain 16,9 1,7 0,6 8,5 9,6 37,3

Sumber : Arya Wardhana, 2001

Sumber pencemaran udara di Indonesia pada, saat ini masih harus diteliti. Akan tetapi kalau dilihat dari persentase komponen pencemar udara dari sumber pecemar transportasi, seperti dilihat pada tabel di atas, mungkin data tersebut dapat diolah dari data di atas karena sama-sama menggunakan bahan bakar fosil. Perkiraan


(5)

prosentase komponen pencemar udara di Indonesia dari sumber pencemar transportasi dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.3. Perkiraan Prosentasi Komponen Pencemar Udara dari Sumber Pencemar Industri di Indonesia

Komponen Pencemar Prosentase

CO 70,50%

NO2 8,89 %

SO2 0,88 %

HC 18,34 %

Partikel 1,33 %

Total 100 %

Sumber : Arya Wardhana, 2001

2.1.4. Klasifilasi Bahan Pencemar Udara

Bahan pencemar udara atau polutan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian : 1. Polutan Primer

Polutan primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung pada sumber tertentu dan dapat berupa :

a.Gas

Gas terdiri dari

- Senyawa karbon yaitu hidrokarbon, teroksigenasi dan karbon dioksida (CO dan CO2

- Senyawa sulfur, yaitu sulfur oksida ).

- Senyawa nitrogen, yaitu nitrogen oksida dan amoniak

- Senyawa halogen, yaitu fluor, klorin, hydrogen klorida, hidrokarbon terklorinasi dan bromin.


(6)

Penyebab pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan antara lain adalah gas NO2, SO2, SO3, Ozon, CO, HC dan parfikel debu. Gas NO2, SO2

b. Partikel

, CO dan HC dapat dihasilkan dari proses pembakaran oleh mesin yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari bahan fosil (Mostardi,1981).

Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama - sama dengan bahan pencemar lainnya- Partikel dalam atmosfer mempunyai karakteristik spesi , dapat berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair. Bahan partikel tersebut dapat berasal dari proses kondensasi, proses dispersi (proses menyemprot/spraying) dan proses erosi bahan tertentu.

1) Aerosol, adalah partikel yang berhambur dan melayang di dunia.

Menurut Wisnu, 2001 Partikel meliputi berbagai macam bentuk yang dapat berupa keadaan-keadaan berikut :

2)

3)

Fog (kabut), adalah aerosol yang berupa butiran-butiran air yang berada di udara.

4)

Smoke (asap), adalah aerosol yang berupa campuran antara butir padatan dan cairan yang terhambur melayang di udara.

Dust (debu), adalah aerosol yang berupa butiran padat yang terhambur dan melayang di udara karna adanya hembusan

5) Mist, mirip kabut, penyebabnya bukan butiran air. angin.


(7)

6)

7) Plume adalah asap yang keluar dari cerobong asap atau industry.

Fume, mirip asap, penyebabnya adalah aerosol yang berasal dan kondensasi uap panas.

8)

Berdasarkan ukuran, secara garis besar partikel dapat merupakan suatu:

Haze adalah setiap bentuk aerosol yang mengganggu pandangan di udara.

1) Partikel debu kasar (coarse particle), jika diameter nya > 10� 2) Partikel debu, uap dan asap, jika diameternya antara 1-10 � 3) Aerosol, jika diameternya < 1 �

2. Pulutan Sekunder

Polutan sekunder biasanya terjadi karena reaksi dua atau lebih bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh adalah disosiasi NO2

a. Konsentrasi relative dari bahan reaktan

yang menghasilkan NO dan O radikal. Proses kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

b. Derajat foto aktivasi c. Kondisi iklim

d. Topografi lokal dan adanya embun

Polutan sekunder ini mempunyai sifat fisik dan sifat kimia yang tidak stabil. Termasuk dalam polutan sekunder ini adalah ozon, Peroxyl Acetyl Nitrat (PAN) dan Formaldehid.


(8)

2.1.5. Sumber Bahan Pencemar Udara

Di daerah perkotaan dan industri, parameter bahan pencemar udara yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan penyakit saluran pernapasan adalah parameter gas SO2

Tabel 2.4. Sumber Bahan Pencemar yang Menghasilkan Bahan

, gas CO, gas NO dan partikel debu. Sumber bahan pencemar udara menentukan jenis baban pencemarnya, sebagai berikut :

Pencemar Udara

Sumber Bahan Pencemar Bahan Pencemar

HC CO2 CO SO2 NO NO2

Sumber stasioner + + + + + +

Proses industry + + + + +

Sampah padat

+

+ + + + + +

Pembakaran sisa pertanian + + + - + Transportasi

+

+ + + + + +

Bahan bakar minyak + + + + + +

Bahan bakar gas alam - + - - - -

Bahan bakar kayu - + - - + +

Insinerator + + + + + +

Kebakaran hutan + + + - + +

Sumber : Mukono, 1997 Ketarangan : + = Menghasilkan - =Tidak Menghasilkan

2.1.6. Faktor yang Memengaruhi Pencemaran Udara

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pencemaran udara di atmosfer, misalnya:

1.

Kelembaban udara relatif yang rendah (< 60%) di daerah tercemar SO Kelembaban

2, akan mengurangi efek korosif dari bahan kimia tersebut. Pada kelembaban


(9)

relatif lebih atau sama dengan 80% di daerah tercemar SO2, akan terjadi peningkatan efek korosif SO2

2.

tersebut.

Suhu yang menurun pada permukaan bumi, dapat menyebabkan peningkatan kelembaban udara relatif, sehingga akan meningkatkan efek korosif bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang meningkat, akan meningkatkan pula kepadatan reaksi suatu bahan kimia.

Suhu

3.

Sinar matahari dapat mempengaruhi bahan oksidan terutama O Sinar Matahari

3 di atmosfer. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kerusakan bahan alat bangunan atau bahan yang dapat terbuat dari karet. Jadi dapat dikatakan bahwa sinar matahari dapat meningkatkan rangsangan untuk merusak bahan.

2.1.7. Efek Bahan Pencemar Udara

Baik gas maupun partikel yang berada di atmosfer dapat menyebabkan kelainan pada tubuh manusia. Secara umum efek pencemaran udara terhadap individu atau masyarakat dapat berupa (Goldsmith & Friberg. 1991) :

1. Sakit, baik yang akut maupun yang kronis.

2. Penyakit yang tersembunyi yang dapat memperpendek umur, menghambat pertumbuhan dan perkembangan.

3. Mengganggu fungsi fisiologis dari : a. Paru


(10)

b.

c. Transpor oksigen oleh hemoglobin Saraf

d. Kemampuan sensorik

4. Kemunduran penampilan, misalnya pada : a.

b.

Aktivitas atlet

c.

Aktivitas motorik

5.

Aktivitas belajar

6. Penimbunan bahan berbahaya dalam tubuh Iritasi sensorik

7. Rasa tidak nyaman (bau) S

a. Efek Polutan Gas

ecara rinci, efek polutan udara yang primer (gas dan partikel) maupun yang sekunder adalah sebagai berikut :

1) Gas Sulfur Oksida (SO2) Gas SO2

a) Iritasi dan peningkatan airway resistance dapat memberikan kelainan berupa :

b) Batuk kronis c)

2) Gas Ozon (O

Peningkatan sekresi mucus 3) dan Oksida lain

a)

Gas ozon dapat memberikan kelainan berupa :

b) Peningkatan airway resistance


(11)

c) Sakit kepala, mual, tidak suka makan d)

e)

Batuk dan nyeri dada serta pernapasan menjadi pendek

3) Karbon Monoksida (CO) Sembab paru

a) Memblokir fungsi transpor HbO CO dapat memberikan kelainan berupa :

2

b) Kerusakan otot jantung dan susunan saraf pusat (SSP)

dan meningkatkan HbCO dalam darah

4) Nitrogen Dioksida (NO2 Gas NO

) 2

a) Terbentuknya MethHb (Meth Hemoglobin) dapat memberikan kelainan berupa :

b) Peningkatan inspiratory resistence c) Peningkatan Expiratory resistance d) Terjadinya sembab paru

e) Terjadinya fibrosis paru b.

1)

Efek Polutan Partikel

2) Di dalam tubuh, asbes terutama ditimbun di paru dan dapat menyebabkan kelainan berupa. (Corman, 1971:44-45; Goldsmith & Friberg, 1977: 531-551) :

Asbes

a) b)

Fibrosis paru Kanker paru


(12)

3) Kadmium (Cd)

a)

Inhalasi debu Cd dapat menyebabkan terjadinya :

b)

Kerusakan paru (emphysematous)

4)

Kerusakan ginjal Berilium (Be)

a)

Paparan lingkungan kerja oleh Be antara lain dapat menyebabkan terjadinya:

b) Chronic granulomatous disease Acute pneumonic disease

5) Arsen (Ar)

6)

Paparan menahun dengan Ar antara lain dapat menyebabkan terjadinya kanker paru dan kanker kulit.

Kromium (Cr)

a)

Cr heksavalen dapat menyebabkan kelainan antara lain :

b)

Iritasi mukosa

c)

Perforasi hidung

d)

Faringitis Kanker paru

2.2. Partikel Debu < 2,5 Mikrometer (PM2,5

2.2.1. Definisi, Karakteristik dan Sumber )

Berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999, polusi udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh


(13)

kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Polusi udara merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, terutama di negara berkembang. Perkembangan ekonomi, kepadatan penduduk, urbanisasi, penggunaan energi, dan transportasi menjadi penyebab utama terjadinya polusi udara di negara berkembang, terutama di kota-kota besar. Adapun zat yang biasa digunakan sebagai indikator terjadinya polusi udara disuatu tempat adalah SO2 Partikel debu (Particulate Matter), NO2, dan O3 (Chen and Haidong, 2008).

Partikel debu (Particulate Matter) merupakan suatu campuran dari partikel padat dan cair yang dapat ditemukan di udara. Ukuran dari partikel debu yang terdapat di udara secara langsung dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia.

Gambar 2.1. Berbagai Ukuran Partikel di Udara

Berdasarkan ukurannya, Environmental Protection Agency (EPA) mengelompokkan partikel debu menjadi 2 kategori, yaitu partikel debu < 10 mikrometer (PM10) dan partikel debu < 2,5 mikrometer (PM2,5) (EPA, 2011).


(14)

Gambar 2.2. Ukuran Partikel Debu < 2,5 Mikrometer (PM2,5

Partikel debu <

)

2,5 mikrometer (PM2,5) merupakan suatu polutan yang terdapat di udara. Partikel debu ini memiliki diameter < 2,5 mikrometer dan lebih kecil 1/30 bagian dari diameter rambut manusia. Komposisi pembentuk PM2,5 terdiri dari sulfat, nitrat, organic compounds, ammonium compounds, metal, acidic material, dan bahan kontaminan lain yang dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan manusia (EPA, 2011). Sumber utama PM2,5

2.2.2. Kondisi Partikel Debu <

adalah pembakaran, asap rokok, memasak dengan kayu bakar, dan aktivitas pertanian (EPA, 2010).

2,5 Mikrometer (PM2,5

Partikel debu <

)

2,5 mikrometer (PM2,5) merupakan salah satu polutan yang menjadi masalah di dunia. Banyak negara besar di Benua Amerika yang masih tinggi konsentrasi PM2,5. Hasil laporan dari WHO menyatakan bahwa rata-rata konsentrasi PM2,5 di Amerika Serikat pada tahun 2002 mencapai 12,5 µg/m3 dimana 90% titik pengukuran PM2,5 mencapai < 16 µg/m3. Pengukuran PM2,5 lainnya di California selama 24 jam menunjukkan hasil rata-rata konsentrasi PM2,5 telah melebihi nilai 65


(15)

µg/m3, terutama di California selatan dan timur. Di Kanada, hasil pengukuran selama 24 jam menunjukkan hasil rata-rata konsentrasi PM2,5, telah melebihi nilai 30 µg/m3, terutama di daerah Ontario dan Quebec Selatan. Konsentrasi harian tertinggi dari PM2,5 terdapat di Kota Sao Paulo (Brazil) dengan konsentrasi mencapai 27 µg/m3 (WHO, 2006).

Perbandingan partikel debu < 10 mikrometer (PM10) dan partikel debu < 2,5 mikrometer (PM2,5) telah dilaporkan dari banyak negara di dunia, termasuk Negara--negara di Benua Eropa. Berdasarkan data dari 115 stasiun pengukuran PM menyatakan bahwa perbandingan konsentrasi PM10 dan PM2,5 adalah 0,65 dengan interval antara 0,42-0,82. Konsentrasi PM2,5 pada daerah pedesaan di Eropa tampak beragam yaitu berkisar 11-13 µg/m3. Sedangkan, pada daerah perkotaan di Eropa konsentrasinya bisa lebih tinggi dibanding pada daerah pedesaan, yaitu berkisar 15-20 µg/m3 (WHO, 2006).

Partikel debu < 2,5 mikrometer (PM2,5) juga masih menjadi masalah di Benua Asia. Berdasarkan hasil pengukuran terakhir di kota Beijing, ternyata konsentrasi rata-rata PM2,5 mencapai > 100 µg/m3. Sementara itu, konsentrasi rata-rata PM3 bulanan di kota Beijing berkisar antara 61-139 µg/m3

2.2.3. Mekanisme Pajanan PM

(WHO, 2006).

2,5

PM

ke Tubuh Manusia

2,5 merupakan suatu polutan di udara yang memiliki diameter < 2,5 mikrometer. Jalur pajanan PM2,5 ke dalam tubuh manusia yaitu melalui udara (saluran pernapasan). Sistem pernapasan memiliki beberapa pertahanan yang berperan untuk mencegah masuknya partikel-partikel, baik berbentuk padat maupun


(16)

berbentuk cair, ke dalam paru-paru. Ketika manusia bernapas, tidak hanya oksigen yang masuk ke dalam tubuh tetapi juga terdapat debu, bakteri, virus, spora jamur, dan lain-lain. Sistem pernapasan bermula dari hidung, tenggorokan, bronkus, cabang-cabang bronkhioli hingga alveoli telah di lengkapi oleh sistem pertahanan tubuh. Bulu-bulu hidung akan mencegah masuknya partikel-partikel berukuran besar, sedangkan partikel-partikel yang lebih kecil akan dicegah masuk oleh membran mukosa yang terdapat di sepanjang sistem pernapasan (Achmadi, 2006). Namun, pada beberapa bagian sistem pernapasan terdapat bulu-bulu halus (silia) yang bergerak ke depan dan ke belakang bersama dengan mukosa sehingga menyebabkan partikel yang ditangkap oleh mukosa terlepas keluar dari sistem pernapasan menuju tenggorokan dan akhirnya tertelan (Fardiaz, 1992; Pudjiastuti, 1998 dalam Sari, 2009).

Partikel yang berukuran > 5 mikron perjalanannya akan terhenti pada bagian hidung dan tenggorokan. Meskipun ada beberapa partikel yang bisa masuk ke paru--paru tetapi tidak pernah lebih jauh dari pipa-pipa cabang (bronchi), bahkan partikel tersebut dapat segera dikeluarkan oleh gerakan silia. Sedangkan, partikel yang berukuran 0,5-5 mikron dapat masuk ke paru-paru bahkan beberapa partikel ada yang bisa mencapai alveoli. Pengeluaran partikel kecil yang terdapat pada alveoli sangat lambat dan tidak sempurna sehingga partikel dalam alveoli tersebut dapat mengendap.

Apabila terjadi ketidaksesuaian selama proses pernapasan berlangsung maka manusia akan mengalami gangguan dalam sistem pernapasannya. Gangguan pada


(17)

saluran pernapasan muncul dalam beberapa bentuk gejala yang berbeda seperti iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir yang berlebihan, dan penyempitan saluran pernapasan (NHLBI, 2010 dalam Nasidah, 2010).

Debu yang non fibrogenik adalah debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru, contohnya : debu besi, kapur, timah . Debu ini dulu dianggap tidak merusak paru yang disebut debu inert. Dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi walaupun ringan. Reaksi ini berupa produksi lendir berlebihan, bila terus berlangsung dapat tajadi hiperplasi kelenjar mucus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan terbentuknya jaringan ikat refikulin. Penyakit paru ini disebut pneumokoniosis non kolagen.

Debu fibrogenik dapat menimbulkan reaksi jaringan paru sehingga bentuk jaringan parut (fibrosis). Penyakit ini disebut pneumokoniosis kolagen. Termasuk jenis ini adalah debu silicon bebas batu bara dan asbes.

2.2.4. Reaksi Paru terhadap Partikel Debu < 2,5 µg/m

Partikel debu yang masuk kedalam saluran napas, menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk bersin, gangguan tranport mukosiler dan fagositosis oleh makrofog. Otot polos di sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila kadar debu melebihi nilai ambang batas.

3

Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfa paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofog. Partikel debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silica bebas


(18)

menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silica bebas merangsang terbentuknya makrofag baru yang memfagositosis silika bebas, tadi sehingga terjadi lagi airtolisis, keadaan ini terjadi berulang-ulang.

Penyakit paru yang dapat timbul karena debu selain tergantung pada jenis debu, lama paparan dan kepekaan individual. Pneumoconiosis biasanya timbul setelah paparan bertahun-tahun. Apabila kadar debu tinggi atau kadar silika bebas tinggi dapat terjadi silicosis akut yang bermanifestasi setelah paparan 6 bulan.

2.2.5. Penyakit Akibat Debu

Penyakit akibat debu antara lain seperti : bronchitis industri, asma kerja dan kanker paru.

a. Bronkitis Industri

Berbagai debu industri seperti debu yang berasal dari pembakaran arang batu, semen, keramik, besi, penghancuran logam dan batu, asbes, dan silica dengan ukuran 3-10µ akan ditimbun di paru. Efek yang lama dari paparan ini menyebabkan paralysis silia, lypersekresi dan hiperfrofi kelenjar mucus. Keadaan ini menyebabkan saluran napas rentan terhadap infeksi dan timbal gejala-gejala batuk menahun. Pada pekerja yang berhubungan dengan tepung keadaannya lebih kompleks. Berbagai komponen debu padi-padian (antigen padi-padian, jamur kumbang padi, tungau, eodotoksin bakteri, antigen binatang dan debu inert) berperan menimbulkan bronkitis. b. Asma Kerja


(19)

Asma kerja adalah penyakit yang ditandai oleh kepekaan saluran napas terhadap paparan zat ditempat kerja dengan manifestasi obstruksi saluran napas yang bersifat reversibel.

Penyakit ini hanya mengenai sebagian pekerja yang terpapar, dan muncul setelah masa bebas gejala yang berlangsung antara beberapa bulan sampai beberapa tahun. Berbagai debu dan zat ditempat kerja dapat menimbulkan asma kerja. Zat itu dapat berasal dari :

- Tumbuh-tumbuhan : tepung gandum, debu kayu, kopi, buah jarak

- Binatang : binatang pengerat,anjing, kucing, kutu gandum, ulat sutra, kerang - Zat kimia : isosianat, garam platina, khrom

- Enzim : tripsin, papain

- Obat-obatan : piperadin, tensiklin, penisilin sitetik

Pada individu keluhan asma timbul setelah bekerja sampai 5 (lima) tahun atau lebih.

c. Kanker Paru

Mekanisme terjadinya kanker paru akibat paparan zat belum diketahui secara tuntas. Para ahli sepakat bahwa ada 2 (dua) stadium terjadinya kanker karena bahan karsinogen. Dimulai dari induksi DNA sel target oleh bahan karsinogen sehingga menimbulkan mutasi sel, kemudian terjadi peningkatan multiplikasi sel yang merupakan manifestasi penyakit.

Zat yang bersifat karsinogen dan dapat menimbulkan kanker paru antara lain adalah asbes, uranium, arsen, nikel, khrom, pembakaran arang, radio aktif dan batu


(20)

bara. Pekerja yang berhubungan dengan zat-zat tersebut dapat menderita kanker paru setelah paparan yang lama, yaitu antara 5-2 tahun. Pekerja yang terkena adalah mereka yang bekerja di tambang, pabrik, tempat penyulingan dan industri kimia. 2.2.6. Cara Pengukuran Konsentrasi PM

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran konsentrasi PM

2,5

2,5

High Volume Air Sampler (HVAS) merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur jumlah partikel. Dalam hal ini, partisol sampler juga digunakan untuk mengukur konsentrasi PM

yaitu :

2,5. Metode pengukuran yang digunakan juga gravimetri dengan jangka waktu sampling 7 hari. Dari hasil sampling, kertas saring hasil pengukuran juga digunakan untuk menganalisis kandungan ion yang ada di atmosfer.

Gambar 2.3. Alat HVAS

Haz-Dust merupakan mikroprosesor portable berbasis partikulat monitor yang sesuai untuk menyelidiki kualitas udara ambien dan kualitas udara dalam ruang. Alat ini merupakan instrumen digital yang digunakan untuk mengukur konsentrasi PM10,


(21)

PM2,5 , PM1 dan total debu (TSP) di udara. Alat ini dapat langsung memperlihatkan hasil pengukuran tanpa melalui pengolahan lagi.

Gambar 2.4. Alat Haz-Dust

Dust Trak merupakan alat aerosol monitor yang digunakan untuk menangkap debu berdiameter 10 µm; 2,5 µm; dan 1 µm. Alat ini merupakan instrumen portable yang dapat dioperasikan dengan menggunakan baterai dan dengan teknik laser photometer mengukur dan merekam konsentrasi debu di udara. Dust trak merupakan alat yang cocok digunakan untuk mengetahui konsentrasi debu yang ada di dalam ruang.

Gambar 2.5. Alat Dust Trak 2.2.7. Cara Pencegahan dan Pengendalian


(22)

Menurut PP RI No.41 Tahun 1999, pengendalian pencemaran udara merupakan upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara. Pengendalian pencemaran udara dapat meliputi pengendalian sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber bergerak tidak spesifik yang dapat dilakukan dengan upaya pengendalian emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien. Adapun beberapa upaya penanggulangan pencemaran udara ambien yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005).

Saluran pernapasan merupakan jalur utama bagi gas atau partikel untuk masuk ke dalam tubuh manusia. Proses pernapasan melibatkan pergerakan dan pertukaran udara di beberapa tempat seperti hidung, mulut, faring, trakea, bronkus, dan Saluran pernapasan paling kecil yaitu alveoli. Ukuran alveoli berkisar antara 0,4-1,5 µm. Di dalam alveoli terdapat Pneumocytes Tipe 1, yang terdiri atas 40% dari semua sel di alveoli dan menutupi lebih dari 90% bagian permukaan alveoli. Pneumocytes Tipe 2 mewakili 60% dari semua sel tetapi hanya terdiri 5% dari bagian permukaan. Sedangkan, makrofag mencapai 90% di dalam alveoli (Hodgson, 2004 dalam Nasidah, 2010).

2.3. Sistem Saluran Pernapasan Manusia

Adapun bagian-bagian dari saluran pernapasan yang berperan dalam proses pernapasan pada manusia adalah sebagai berikut :


(23)

Saluran udara merupakan saluran yang membawa udara yang kaya akan oksigen ke paru-paru dan karbon dioksida ke luar dari paru-paru. Udara masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut yang kemudian membasahi dan menghangatkan udara tersebut. Udara terus berjalan melewati laring, turun ke trakea yang bercabang menjadi dua batang bronchi dan kemudian masuk ke dalam paru-paru. Trakea dilapisi oleh epiglottis yang berfungsi untuk menutupi trakea ketika menelan makanan sehingga tidak ada yang dapat masuk ke dalam paru-paru selain udara.

b. Paru-paru dan pembuluh darah

Di saluran udara terdapat silia berlendir yang berfungsi untuk menangkap kuman dan zat-zat asing lainnya yang masuk ke dalam saluran udara dan kemudian mengangkatnya kembali ke hidung atau mulut. Pengeluarannya dapat berupa lendir, batuk, atau bersin. Selain silia, bulu hidung dan air liur juga membantu dalam menangkap kuman dan partikel.

Paru-paru dan pembuluh darah membawa oksigen ke tubuh dan mengeluarkan karbon dioksida. Di dalam paru-paru, bronki bercabang hingga mencapai ribuan bronki kecil yang sering disebut dengan bronkiolus dan berakhir di kantong-kantong udara yang disebut dengan alveolus. Tiap alveolus dilapisi dengan pembuluh darah tipis yang sering bertautan disebut pembuluh darah kapiler. Arteri pulmonary dan cabangnya membawa darah yang kaya akan karbon dioksida ke pembuluh darah kapiler. Kemudian, di dalam alveoli terjadi perpindahan karbon dioksida dan


(24)

oksigen. Darah yang kaya akan oksigen dibawa oleh pembuluh darah vena pulmonary ke seluruh tubuh.

c. Otot-otot yang digunakan dalam pernapasan

Otot-otot yang berada di dekat paru-paru membantu melebarkan dan menyempitkan paru-paru saat bernapas. Otot-otot tersebut adalah diafragma, otot tulang iga, otot perut, serta otot di leher dan daerah sekitar selangka.

Saat bernapas terdapat dua aktivitas yang dilakukan, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Pada saat inspirasi terjadi maka otot diafragma berkontraksi dan bergerak turun ke bawah. Reaksi tersebut memperbesar area di rongga dada yang kemudian diisi dengan paru-paru yang membesar. Otot tulang iga berkontraksi untuk mengangkat kerangka iga naik-turun saat bernapas. Saat paru-paru membesar, udara masuk melalui hidung atau mulut dan bergerak menuruni trakea menuju paru-paru. Setelah melewati bronki, udara masuk ke dalam alveoli. Melalui dinding tipis yang melapisi alveoli, oksigen yang terdapat di udara masuk ke dalam pembuluh darah kapiler. Hemoglobin membantu perpindahan oksigen dari alveoli ke dalam darah. Di saat yang bersamaan, karbon dioksida bergerak dari pembuluh darah kapiler menuju alveoli. Gas tersebut ikut dalam peredaran darah dari jantung bagian kanan melalui pulmonary. Sedangkan, darah yang kaya oksigen dikirim ke jantung bagian kiri untuk kemudian dibawa ke seluruh tubuh.


(25)

Sedangkan pada saat ekspirasi, otot diafragma relaks dan bergerak ke atas menuju rongga dada sehingga rongga tersebut menyempit. Saat itu, udara.

2.4. Penurunan Fungsi Paru

2.4.1. Definisi dan Karakteristik Penurunan Fungsi Paru

Paru-paru merupakan salah satu organ di dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai tempat pertukaran gas respirasi, yaitu proses mengeluarkan gas CO2 ke luar tubuh dan mengambil O2 dari luar tubuh ke dalam tubuh untuk berlangsungnya proses metabolisme tubuh. Proses respirasi manusia dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu ventilasi, difusi, dan perfusi.

Ventilasi adalah peristiwa keluar masuknya udara ke dalam alveoli Beserta keluarnya CO2 dari alveoli ke udara luar. Frekwensi napas normal 12-15 x / menit. Pada orang dewasa setiap satu kali napas (tidal volume, Vt) udara masuk 500 cc atau 10 ml/kg BB sehingga tiap menitnya udara yang masuk ke sistem napas 6-8 liter (minute volume, MV). Udara yang sampai ke alveoli disebut Ventilasi Alveolair (VA). Ventilasi Alveolair lebih kecil dari minute volume karena sebagian udara di jalan napas tidak ikut pertukaran gas (Dead Space).

Difusi adalah perpindahan O2 dari alveoli ke dalam darah dan CO2 dari darah ke alveoli. Tahap difusi O2 akan berjalan lancar bila alveoli mengembang baik dari jarak difusi trans-membran pendek. Edema merupakan kondisi yang menyebabkan


(26)

jarak difusi O2 menjauh sehingga kadar O2 dalam darah menurun (hipoxemia). Difusi CO2 tidak pernah terganggu karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dari pada O2.

Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenisasi di dalam paru untuk dapat dialirkan ke seluruh tubuh. Tahap perfusi ikut menentukan jumlah O2

Ventilasi normal, perfusi normal  semua O

yang dapat diangkut. Masalah timbul jika terjadi ketidakseimbangan antara ventilasi alveolar (VA) dengan perfusi (Q) sehingga dapat terjadi :

2

Ventilasi normal, perfusi kurang  ventilasi berlebihan, tidak semua O diambil darah.

2

Ventilasi berkurang, perfusi normal  darah tidak mendapat cukup O sempat diambil. Unit ini dinamakan “dead space” yang terjadi pada shock dan emboli paru.

2

Silent unit  tidak ada ventilasi dan perfusi.

(desaturasi). Unit ini disebut “Shunt”. Biasanya terjadi pada atelektasis edema paru, ARDS, dan aspirasi cairan.

Orang yang mengalami kejadian penurunan fungsi paru memiliki gangguan pada ventilasinya, yaitu: Restriksi adalah gangguan perkembangan paru yang ditandai dengan berkurangnya volum paru. Paru-paru yang mengalami restriksi biasanya menjadi kaku sehingga daya tarik ke dalam lebih besar. Hal ini menyebabkan dinding dada mengecil, volum paru mengecil, dan iga pun menyempit. Keadaan ini menunjukkan adanya penyakit paru atau keadaan dari luar yang menyebabkan kapasitas vital berkurang, khususnya kapasitas total paru. Dengan berkurangnya


(27)

kapasitas vital maka proporsi FEV1 juga menurun. Hal ini menyebabkan hasil FEVI/KVP (%) jadi ikut menurun.

Gambar 2.6. Interpretasi Hasil Restriksi pada Spirometer

Obstruksi adalah gangguan saluran napas, baik struktur maupun fungsi, yang menimbulkan perlambatan arus respirasi. Penurunan aliran udara mulai dari saluran napas bagian atas sampai bronkiolus berdiameter kurang dari 2 mm ditandai dengan penurunan FEV1, FEV1/KVP, kecepatan aliran udara pada ekspirasi. Pemeriksaan FEV1 dan rasio FEV1/KVP (%) merupakan pemeriksaan yang standar, sederhana dan akurat untuk menilai obstruksi saluran napas.


(28)

Gambar 2.7. Interpretasi Hasil Obstruksi pada Spirometer

Kombinasi restriksi dan obstruksi (mixed), adalah peristiwa yang terjadi karena proses patologi yang mengurangi volume paru, kapasitas vital dan aliran, yang juga melibatkan saluran napas. Rendahnya FEV1/KVP (%) merupakan suatu indikasi obstruktif saluran napas dan kecilnya volume paru merupakan suatu indikasi restriktif saluran napas.

Gambar 2.8. Interpretasi Campuran (Restriksi & Obstruksi) pada Spirometer Dalam menentukan penilaian fungsi paru pada manusia, ada 2 parameter yang harus diperhatikan, yaitu KVP dan FEV1 (Tabel 2.2)

Tabel 2.5. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru

No Kategori Penilaian

1 Normal • KVP > 80 % nilai prediksi untuk semua umur 2 Restriktif • KVP < 80 % FEV1 > 75 %, nilai prediksi

• Restriksi Ringan : KVP > 60 % < 80 % nilai prediksi • Restriksi Sedang : KVP > 30 % < 60 %, nila prediksi • Restriksi Berat : KVP < 30 %, nilai prediksi

3 Obstruksi • KVP > 80 %, FEV1 ≤ 75 %, nila prediksi • Obstruksi Ringan : FEV1 > 60 % nilai prediksi

• Obstruksi Sedang : FEV1 > 30 % < 60 %, nilai prediksi • Obstruksi Berat : FEV1 < 30 %, nilai Prediksi


(29)

Sumber : American Thoracic Society, Medical Section of The Asian Lung Associatio. Am. Rev Respir., 2004

2.4.2. Uji Fungsi Paru

Fungsi paru yang utama adalah untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar masuk ke dalam saluran napas dan selanjutnya ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang terbentuk dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar. Proses respiriasi di bagi 3 tahap utama yaitu :

a. Proses ventilasi : proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru serta keluarnya CO2

b.

dan alveoli ke udara luar.

Proses difusi : proses perpindahan oksigen dari alveoli ke dalam darah serta keluarnya CO2

c.

dan darah ke alveoli.

Kelainan ventilasi yang biasa terjadi adalah : Restriksi dan Obstruksi.

Proses perfusi : proses distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh.

- Restriksi adalah : keterbatasan pengembangan paru yang ditandai dengan berkurangnya volume paru.

- Obstruksi adalah : perlambatan atau gangguan kecepaian aliran udara yang masuk atau keluar dari dalam paru.

Keadaan fungsi paru ini dapat dimulai atau diukur dengan pemeriksaan spirometri. Pemeriksaan spirometer adalah pemeriksaan untuk mengukur volume paru pada keadaan statis dan dinamis seseorang dengan alat spirometer.


(30)

Pemeriksaan fungsi paru dilakukan sebagai berikut : (Hadiarto Mangunegoro, 1993)

a. Vital Capacity (VC) : volume udara maksimal yang dapat dihembuskan setelah inspirasi yang maksimal.

b. Ada dua macam kapasitas vital berdasarkan cara pengukurannya, yaitu :

1. Vital Capacity (VC) : di sini penderita tidak perlu melakukan aktivitas pernapasan dengan kekuatan penuh.

2. Forced Vita/Capacity (FVC) : pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan maksimal.

Perbandingan hasil pemeriksaan antara orang normal dan kelainan berdasarkan data pengukuran dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.9. Perbandingan Hasil Pengukuran FVC dam FEV pada Paru Normal dan Gangguan

Pada orang normal tidak ada perbedaan antara VC dan FEC, sedangkan pada keadaaan adanya kelainan obstruksi, terdapat perbedaan antara VC dan FVC.


(31)

– Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1):

Besar volume udara yang dikeluarkan selama 1 detik pertama. Lama ekspirasi pada orang normal berkisar antara 4 – 5 def& Pada detik pertama, orang normal dapat mengeluarkan hawa pernapasan sebesar 80% dari VCnya. Apabila FEV / FVC kurang dari 75% berarti abnormal.

– Peak Expiratory Flow Rate (PEFR):

Merupakan 'flow" maksimal yang cIffiasilkan, p

2.4.3. Mekanisme Terjadinya Penurunan Fungsi Paru

leb sejumlah volume tertentu PEFR menggambarkan keadaan saluran pemapasan. PEFR yang menurun berarti adanya hambatan pada aliran udara di saluran pemapasan.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia bernapas untuk mendapatkan energi. Sistem pernapasan manusia memiliki beberapa pertahanan yang berperan untuk mencegah masuknya partikel-partikel, baik berbentuk padat maupun berbentuk cair, ke dalam paru-paru. Ketika manusia bernapas, tidak hanya oksigen yang masuk ke dalam tubuh tetapi juga terdapat partikel yang masuk bersama dengan oksigen tersebut.

Partikel yang berukuran > 5 mikron perjalanannya akan terhenti pada bagian hidung dan tenggorokan. Meskipun ada beberapa partikel yang bisa masuk ke paru--paru tetapi tidak pernah lebih jauh dari kantung-kantung udara (bronchi), bahkan partikel tersebut dapat segera dikeluarkan oleh gerakan cilia. Sedangkan, partikel yang berukuran 0,5-5 mikron dapat masuk ke paru-paru bahkan beberapa partikel ada


(32)

yang bisa mencapai alveoli. Pengeluaran partikel halus yang terdapat pada alveoli sangat lambat dan tidak sempurna sehingga partikel tersebut dapat mengendap di alveoli.

Hal ini menyebabkan terjadinya interaksi antara metabolik suatu partikel dengan oksigen yang terdapat di alveoli sehingga menghasilkan ROS (Reactive Oxygen Species). Setelah itu, ROS akan mengoksidasi guanin menjadi 8-xoguanin sehingga terjadi peristiwa oxidative stress dalam tubuh (Lagorio, et. al., 2006). Oxidative stress merupakan keadaan dimana jumlah radikal bebas dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralisirnya sehingga menimbulkan reaksi radang pada paru-paru yang mengakibatkan daya kembang paru menjadi terbatas (Fordiastiko, et. al., 2002). Akhirnya, penurunan fungsi paru pada tubuh manusia terjadi.

2.4.4. Berbagai Pajanan Penyebab Penurunan Fungsi Paru

Kerusakan pada paru-paru, terutama bagian alveoli terlihat pada percobaan pada hewan. Pajanan PM2,5 dengan dosis yang berbeda menghasilkan dampak yang berbeda pada paru-paru tikus. Semakin tinggi dosis PM2,5 yang dipaparkan pada tikus maka fungsi paru pada tikus juga semakin menurun (Wegesser, et. al., 2009). Penelitian lain juga menyatakan bahwa PM2,5 yang terhirup oleh manusia akan masuk ke dalam alveoli sehingga menimbulkan reaksi radang yang mengakibatkan daya kembang paru menjadi terbatas (Fordiastiko, et. al., 2002).

Penelitian yang dilakukan di California menunjukkan bahwa anak-anak (10-18 tahun) yang terpapar oleh polusi udara ambien seperti PM2,5 , NO2, unsur karbon, dan


(33)

acid vapor yang dihasilkan dari bahan bakar belum bisa terlihat kejadian penurunan fungsi parunya. Penurunan fungsi paru baru akan terlihat apabila anak tersebut telah dewasa (Gauderman, et. al., 2004). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Tager, et. al. (1988) yang menyatakan bahwa penurunan fungsi paru terjadi pada orang yang tidak merokok ketika mereka berusia 35 tahun (Marossi, et. al., 2007). Penelitian lain yang dilakukan di negara inggris juga menemukan bahwa penurunan fungsi paru akan terlihat di setengah usia dewasa, yaitu antara 35-45 tahun (Marossy, et. al., 2007). Fungsi paru pada manusia akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Fungsi paru akan mencapai nilai optimal pada umur 20-25 tahun (Gotschi, et. al., 2008).

Penelitian lain menemukan bahwa laki-laki yang merokok 1 bungkus per hari dapat menurunkan FEV1 rata-rata sebesar 12,6 ml per tahun. Sedangkan, perempuan yang merokok 1 bungkus per hari dapat menurunkan FEV1 rata-rata sebesar 7,2 ml per tahun (Cui, et. al., 2010). Penelitian lain juga menemukan bahwa perokok pasif memiliki risiko gangguan fungsi paru yang sama besar dengan perokok aktif (Chen, et. al., 2001). Hasil tersebut berbeda dengan penemuan dari Wiliamson (2010) yang menyatakan bahwa perokok pasif memiliki risiko lebih besar untuk terkena gangguan fungsi paru yaitu sebesar 2,5% dibandingkan perokok aktif yang hanya memiliki risiko sebesar 1,4% untuk terkena gangguan fungsi paru (Williamson, 2010). Penelitian sebelumnya juga telah menemukan bahwa perempuan lebih berisiko mengalami penurunan fungsi paru akibat terpajan oleh asap rokok dibandingkan laki-laki (Pugmire, 2011).


(34)

Penelitian lain menyatakan bahwa asap rokok dapat memberikan dampak negatif jangka panjang bagi kesehatan anak. Adapun dampak negatif yang dipengaruhi oleh asap rokok adalah penurunan fungsi paru. Penurunan fungsi paru pada anak-anak dapat terlihat dengan jelas apabila anak tersebut sudah tumbuh dewasa. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa perempuan lebih berisiko mengalami penurunan fungsi paru akibat terpajan oleh asap rokok dibandingkan laki-laki (Pugmire, 2011). Selain itu, Alberg dan Samet JM (2003) menyatakan bahwa rokok juga dapat menyebabkan kanker paru. Orang yang merokok memiliki risiko terkena kanker paru-paru sebesar 20 kali dibandingkan orang yang tidak merokok (Malhotra, et. al., 2006).

Hasil penelitian pada para pekerja yang terpapar oleh asbestos menunjukkan bahwa paparan asbestos ditempat kerja menyebabkan para pekerja mengalami gangguan fungsi paru, baik yang restruktif maupun obstruktif. Pada penelitian ini juga menyebutkan bahwa parameter utama fungsi paru adalah VC (Vital Capacity) dan FEV1 (Force Expiratory Volume in the First Second) (Wilken, et. al., 2011). Penelitian lain yang dilakukan di Detroit, Michigan menyatakan bahwa polusi udara (PM10, PM2,5 , dan O3

Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa gangguan fungsi paru dapat terjadi setelah terpapar selama 5-6 tahun (Born, et. al., 2002). Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Meo, et. al (2009) yang menyatakan bahwa lama pajanan dengan partikel debu dapat mempengaruhi dosis pajanan partikel debu ) dapat memberikan dampak negatif untuk fungsi paru, terutama bagi anak-anak yang penderita penyakit asma (Lewis, et. al., 2005).


(35)

yang masuk ke dalam tubuh. Kondisi inilah yang mempengaruhi fungsi paru para pekerja (Meo, et. al., 2009).

2.4.5. Cara Pengukuran Fungsi Paru

Spirometri merupakan salah satu pengukuran fungsi paru dengan metode yang dapat mengukur pergerakan udara ke dalam dan ke luar paru-paru. Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan subjek yang ingin melakukan pemeriksaan fungsi paru, yaitu :

Subjek tidak sedang sakit atau mengkonsumsi obat-obatan tertentu Subjek harus bebas rokok minimal 2 jam

Subjek tidak boleh makan terlalu kenyang

Selain itu, untuk memperoleh hasil pemeriksaan yang baik maka subjek harus memperhatikan hal-hal, seperti :

Subjek tidak berpakaian ketat.

Subjek dalam keadaan berdiri tegak

Subjek mengeluarkan udara melalui mouth piece sekuat-kuatnya sampai semua udara keluar

Subjek menghirup udara semaksimal mungkin


(36)

Dalam pemeriksaan fungsi paru, ada beberapa parameter yang digunakan yaitu : FVC (Force Vital Capacity) atau KVP merupakan ekspirasi / pengeluaran napas dengan kekuatan penuh.

FEV1 (Force Ekspiratory Volume in 1 Second) merupakan pengeluaran napas pada detik pertama

Gambar 2.11. Alat Spirometer

2.4.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Hubungan Konsentrasi PM2,5 dengan

Penurunan Fungsi Paru

Lingkungan kerja sering mengandung bermacam-macam bahan yang berbabaya bagi kesehatan terutama pada gangguan fungsi paru baik bersifat kimia, fisik, biologis dan psikososial. Bahan – bahan tersebut antara lain bermacam-macam debu yang berpotensi menimbulkan pneumoconiosis, bahan-bahan organik seperti, kalogen hidrokarbon, keton serta bermacam-macam gas seperti asam sianida, asam sulfida dan karbon monoksida.

Faktor - faktor yang dapat mempengaruhi penurunan kapasitas fungsi paru tenaga kerja dibedakan menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor internal, terdiri dari: 1. Umur


(37)

Usia berhubungan dengan proses penuaan atau bertambahnya umur. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi kapasitas fungsi paru menurut Suyono (2001). Kebutuhan zat tenaga terus meningkat sampai akhirnya menurun setelah usia 40 tahun berkurangnya kebutuhan tenaga tersebut dikarenakan telah menurunnya kekuatan fisik. Dalam keadaan normal, usia juga mempengaruhi frekuensi pernapasan dan kapasitas paru. Frekuensi pernapasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada anak - anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali permenit. Walaupun pada orang dewasa pernapasan frekuensi pernapasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan tetapi KVP (Kapasitas Vital Paru) pada orang dewasa lebih besar dibanding anak-anak dan bayi. Dalam kondisi tertentu hal tersebut akan berubah misalnya akibat dari suatu penyaki, pernapasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya (Syaifudin, 1997).

2. Jenis Kelamin

Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gangguan pada fungsi paru adalah ekspirasi aliran puncak (PEFR). Penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Hu (1998) menyatakan bahwa perempuan lebih besar mengalami deposisi dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan ukuran paru-paru, termasuk penampang saluran pernapasan bagian atas perempuan lebih kecil dibandingkan laki-laki. Nilai ekspirasi aliran puncak dipengaruhi oleh volum paru-paru, elastisitas paru-paru, kekuatan paru-paru, dan koordinasi otot pernapasan. Secara umum, laki-laki menghasilkan tekanan alveolar lebih tinggi dibandingkan


(38)

perempuan. Oleh karena itu, laki-laki dapat memiliki nilai ekspirasi aliran puncak yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Quanjer, et. al., 1997 dalam Bahri, 2008).

Penelitian lain yang dilakukan di Benua Eropa menyatakan bahwa wanita yang mengalami usia menstruasi lebih awal mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami penurunan fungsi paru dan penyakit asma. Hal ini berkaitan dengan faktor hormonal dan metabolik yang terjadi di dalam tubuh wanita tersebut. Wanita yang menstruasi memiliki kadar leptin dan insulin yang tinggi sehingga memberikan pengaruh terharap fungsi paru (Macsali, et. al., 2011).

3. Riwayat penyakit

Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi kapasitas fungsi paru seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit. Terdapat riwayat pekerjaan yang menghadapi debu akan mengakibatkan pneumunokiosis dan salah satu pencegahannya dapat dilakukan dengan menghindari diri dari debu dengan cara memakai masker saat bekerja (Suma'mur, 1996).

4. Status gizi

Status gizi dapat mempengaruhi kapasitas paru, orang kurus panjang biasanya kapasitas vital paksanya lebih besar dari orang besar dari orang gemuk pendek. Salah satu akibat kekurangan, zat gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibodi sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, diare dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksikasi terhadap benda asing seperti debu organik yang masuk dalam tubuh (Supariasa dkk, 2002). Status gizi diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT).


(39)

IMT = BB (kg) / TB 2 (m)

Tabel 2.6. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kategori IMT Keterangan IMT

Kurus Kekurangan BB tk berat Kekurangan BB tk rendah

< 17 17,0 – 18,5

Normal >18,5 – 25,00

Gemuk Kekurangan BB tk ringan Kekurangan BB tk berat

25,00 – 27,0 > 27,0 b. Faktor eksternal, terdiri dari :

1. Riwayat pekerjaan

Riwayat pekerjaan dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit akibat kerja. Riwayat pekerjaan yang menghadapi debu berbahaya dapat menvebabkan gangguan paru menurut Suma'mur (1996). Hubungan antara penyakit dengan pekerjaan dapat diduga dengan adanya riwayat perbaikan keluhan pada akhir minggu atau hari libur diikuti peningkatan keluhan untuk kembali bekerja, setelah bekerja di tempat baru atau setelah digunakan bahan baru di tempat kerja. Riwayat pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar dengan pekerjaan berdebu, hobi, pekerjaan pertama pekerjaan pada musim-musim tetentu, dan lain-lain (lkhsan, 2002).


(40)

3. Kebiasaan Olahraga

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi alami pernapasan dan jaringan paru. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,7 mL untuk non, perokok, 28,3 mL, untuk bekas perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2003). Rata-rata perokok ringan dalam sehari 1- 14 batang, bagi perokok sedang 15-24 batang/hari, dan perokok berat > 25 batang/hari (Yusuf dan Giriputro, 1987). Inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan pada orang dewasa. Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalann aliran darah. Merokok lebih merendahkan kapasitas fungsi paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja (Suyono, 2001)

Faal paru dan olahraga rnempunvai hubungan yang timbal balik, gangguan faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan faal paru. Seseorang yang aktif dalam latihan akan meningkatkan faal paru. Seseorang yang aktif dalam latihan akan mempunyai kapasitas aerobik yang lebih besar dan kebugaran yang lebih tinggi serta kapasitas paru yang meningkat. Kapasitas fungsi paru dapat dipengaruhi oleh kebiasaan seseorang melakukan olahraga. Olah raga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau maksimum. Kapasitas


(41)

fungsi pada seorang atletis lebih besa r daripada orang yang tidak pernah berolahraga. Kebiasaan olah raga akan meningkatkan kapasitas paru dan akan meningkat 30 – 40 % . (Guyton dan Hall, 1997)

4. Pemakaian Alat Pelindung Pernafasan (Masker)

Alat pelindung diri adalah seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan. Alat ini digunakan seseorang dalam melakukan pekerjaannya, yang dimaksud untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan kerja. (Budiono, 2003).

Alat pelindung diri haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif. (Suma’mur,1996). Jenis alat pelindung pernafasan jenis masker antara lain sebagai berikut :

a. Masker penyaring debu

Masker inui berguna untuk melindungi pernafasan dari asap pembakaran, abu hasil pembakaran dan debu.

b. Masker Berhidung

Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron. c. Masker Bertabung

Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker berhidung. Masker ini tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari garis tertentu.


(42)

5. Masa Kerja

Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu kantor, badan dan sebagainya.

Masa kerja adalah : Lamanya seorang tenaga kerja kerja bekerja dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung, mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung. (Solech,2001).

a. b.

Masa kerja baru (< 5 tahun )

c. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Suma'mur, 1996).

Masa kerja lama (≥ 5 Tahun )

6. Hubungan Paparan Debu dan Kapasitas Fungsi Paru a. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru

Debu aerosol dan gas iritan kuat menyebabkan reflek batuk atau spasme laring (penghentian bernafas). Kalau zat-zat ini menembus kedalam paru, dapat terjadi bronkitis toksit, edema paru atau pneumonitis. Para pekerja menjadi toleran terhadap paparan iritan berkadar rendah, dengan meningkatkan sekresi mukus, suatu mekanisme yang khas pada bronkitis dan juga terlibat pada perokok tembakau (World Health Organization, 1993).

Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru. Salah satu mekanisme itu adalah inertia atau kelembanan dan partikel-partikel debu yang bergerak yaitu pada waktu


(43)

udara membelok ketika melalui jalan pernafasan yang tak lurus, maka partikel debu yang bermasa cukup besar tak dapat membelok mengikuti aliran udara melainkan terus lurus dan akhirnya menumbuk selaput lender dan hinggap di sana (Suma’mur, 1996)

Mekanisme lain adalah sedimentasi yang terutama besar untuk bronchi sangat kecil dan bronchioli, sebab ditempat itu kecepatan udara pernafasan sangat kurang kira-kira 1 cm / detik sehingga gays tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel – partikel debu dan mengendapkannya (Suma’mur, 1996)

Mekanisme yang terakhir adalah gerakan brown, terutama untuk partikel yang berukuran kurang dari 1 mikron. Partikel ini oleh gerakan brown tadi ada kemungkinan membentur permukaan alveoli dari tertimbun di sana (Suma'mur, 1996).

Keadaan debu dialveoli tergantung dari tempatnya berada dalam paru dan sifat debu itu sendiri. Debu yang mengendap di bronchi dan bronchioli akar, dikembalikan ke atas dan akhirnya keluar oleh cilia-cilia yang bergetar. Kalau ada bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air maka akan larut dan langsung masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila bahan tidak mudah larut dan berukuran kecil maka partikel akan memasuki dinding alveoli, lalu ke saluran limfa atau masuk ruang peribronchial. Kemungkinan lain adalah ditelan sel phagocyt yang mungkin masuk saluran limfa dan keluar dari tempat itu ke bronchioli oleh cilia dikeluarkan ke atas (Suma'mur, 1996).


(44)

2.5. Deteksi Dini Kelainan Paru Akibat Kerja

2.5.1. Riwayat Medis Pekerjaan dan Pemeriksaan Fisik

Riwayat penelitian sangat panting dalam, memperkirakan lingkungan pekerjaan sebagai faktor yang menimbulkan paparan pada pendarita. Pertanyaan pada pekerja-pekerja spesifik, termasuk kontaminasi bahan-bahan toksik, penggunaan alat-alat proteksi pernapasan dan ventilasi ruang kerja. Serta jumlah pekerja yang potensial terpapar.

Pada pemeriksaan fisik, akan didapatkan keluhan iritasi saluran pernapasan bagian atas seperti: bersin-bersin, iritasi mata, hidung dan gambaran trakeobronchitis. Tanda-tanda sistemik dapat berupa mual, muntah, sakit kepala dan kadang-kadang demam.

2.5.2. Pengobatan dan Pencegahan

Obat lain yang diberikan bersifat suportif. Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling panting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri.

Tidak ada pengobatan spesifik dan efektif pada penyakit paru yang disebabkan oleh debu industri. Penyakit biasanya memberikan gejala bila kelainan telah lanjut. Pengobatan umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala.

Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau mengurangi laju penyakit. Perlu diketahui apakah pada suatu industri


(45)

atau tempat kerja ada zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan pada paru. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang beterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja diharuskan memakai alas pelindung. Pemeriksaan faal paru dan radiology sebelum seorang menjadi pekerja dan pemeriksaan secara berkala, untuk deteksi dini kelainan yang timbul. Bila seseorang telah menderita penyakit, memindahkan ke tempat yang tidak terpapar mungkin dapat mengurangi laju penyakit.

2.6. Kerangka Teori

Faktor Eksternal -Kebiasaan merokok -Kebiasaan olahraga -Masa Kerja

-Pemakaian Alat Masker Karakteristik Debu : -Partikel Debu < 3 (PM 3) -Ukuran Partikel Debu -Jenis Debu

Faktor Internal -Umur

-Jenis Kelamin -Status Gizi -Riwayat Penyakit

Pekerja Kilang Padi

Saluran Pernapasan

Masuk ke dalam Alveoli


(46)

2.7 Kerangka Konsep

/

BAB III

Variabel Independen Konsentrasi PM3

Variabel Dependen

Fungsi Paru Pada Pekerja Kilang Padi Faktor Internal

-Umur

-Jenis Kelamin -Status Gizi -Riwayat Penyakit

Faktor Eksternal -Kebiasaan Merokok -Kebiasaan Olah Raga -Masa Kerja

-Pemakaian Alat Masker


(1)

fungsi pada seorang atletis lebih besa r daripada orang yang tidak pernah berolahraga. Kebiasaan olah raga akan meningkatkan kapasitas paru dan akan meningkat 30 – 40 % . (Guyton dan Hall, 1997)

4. Pemakaian Alat Pelindung Pernafasan (Masker)

Alat pelindung diri adalah seperangkat alat yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan. Alat ini digunakan seseorang dalam melakukan pekerjaannya, yang dimaksud untuk melindungi dirinya dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan kerja. (Budiono, 2003).

Alat pelindung diri haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif. (Suma’mur,1996). Jenis alat pelindung pernafasan jenis masker antara lain sebagai berikut :

a. Masker penyaring debu

Masker inui berguna untuk melindungi pernafasan dari asap pembakaran, abu hasil pembakaran dan debu.

b. Masker Berhidung

Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron. c. Masker Bertabung

Masker ini punya filter yang lebih baik daripada masker berhidung. Masker ini tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari garis tertentu.


(2)

5. Masa Kerja

Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu kantor, badan dan sebagainya.

Masa kerja adalah : Lamanya seorang tenaga kerja kerja bekerja dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung, mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung. (Solech,2001).

a. b.

Masa kerja baru (< 5 tahun )

c. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Suma'mur, 1996).

Masa kerja lama (≥ 5 Tahun )

6. Hubungan Paparan Debu dan Kapasitas Fungsi Paru a. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru

Debu aerosol dan gas iritan kuat menyebabkan reflek batuk atau spasme laring (penghentian bernafas). Kalau zat-zat ini menembus kedalam paru, dapat terjadi bronkitis toksit, edema paru atau pneumonitis. Para pekerja menjadi toleran terhadap paparan iritan berkadar rendah, dengan meningkatkan sekresi mukus, suatu mekanisme yang khas pada bronkitis dan juga terlibat pada perokok tembakau (World Health Organization, 1993).

Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru. Salah satu mekanisme itu adalah inertia atau kelembanan dan partikel-partikel debu yang bergerak yaitu pada waktu


(3)

udara membelok ketika melalui jalan pernafasan yang tak lurus, maka partikel debu yang bermasa cukup besar tak dapat membelok mengikuti aliran udara melainkan terus lurus dan akhirnya menumbuk selaput lender dan hinggap di sana (Suma’mur, 1996)

Mekanisme lain adalah sedimentasi yang terutama besar untuk bronchi sangat kecil dan bronchioli, sebab ditempat itu kecepatan udara pernafasan sangat kurang kira-kira 1 cm / detik sehingga gays tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel – partikel debu dan mengendapkannya (Suma’mur, 1996)

Mekanisme yang terakhir adalah gerakan brown, terutama untuk partikel yang berukuran kurang dari 1 mikron. Partikel ini oleh gerakan brown tadi ada kemungkinan membentur permukaan alveoli dari tertimbun di sana (Suma'mur, 1996).

Keadaan debu dialveoli tergantung dari tempatnya berada dalam paru dan sifat debu itu sendiri. Debu yang mengendap di bronchi dan bronchioli akar, dikembalikan ke atas dan akhirnya keluar oleh cilia-cilia yang bergetar. Kalau ada bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air maka akan larut dan langsung masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila bahan tidak mudah larut dan berukuran kecil maka partikel akan memasuki dinding alveoli, lalu ke saluran limfa atau masuk ruang peribronchial. Kemungkinan lain adalah ditelan sel phagocyt yang mungkin masuk saluran limfa dan keluar dari tempat itu ke bronchioli oleh cilia dikeluarkan ke atas (Suma'mur, 1996).


(4)

2.5. Deteksi Dini Kelainan Paru Akibat Kerja

2.5.1. Riwayat Medis Pekerjaan dan Pemeriksaan Fisik

Riwayat penelitian sangat panting dalam, memperkirakan lingkungan pekerjaan sebagai faktor yang menimbulkan paparan pada pendarita. Pertanyaan pada pekerja-pekerja spesifik, termasuk kontaminasi bahan-bahan toksik, penggunaan alat-alat proteksi pernapasan dan ventilasi ruang kerja. Serta jumlah pekerja yang potensial terpapar.

Pada pemeriksaan fisik, akan didapatkan keluhan iritasi saluran pernapasan bagian atas seperti: bersin-bersin, iritasi mata, hidung dan gambaran trakeobronchitis. Tanda-tanda sistemik dapat berupa mual, muntah, sakit kepala dan kadang-kadang demam.

2.5.2. Pengobatan dan Pencegahan

Obat lain yang diberikan bersifat suportif. Tindakan pencegahan merupakan tindakan yang paling panting pada penatalaksanaan penyakit paru akibat debu industri.

Tidak ada pengobatan spesifik dan efektif pada penyakit paru yang disebabkan oleh debu industri. Penyakit biasanya memberikan gejala bila kelainan telah lanjut. Pengobatan umumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala.

Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit atau mengurangi laju penyakit. Perlu diketahui apakah pada suatu industri


(5)

atau tempat kerja ada zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan pada paru. Kadar debu pada tempat kerja diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan, misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang beterbangan. Bila kadar debu tetap tinggi pekerja diharuskan memakai alas pelindung. Pemeriksaan faal paru dan radiology sebelum seorang menjadi pekerja dan pemeriksaan secara berkala, untuk deteksi dini kelainan yang timbul. Bila seseorang telah menderita penyakit, memindahkan ke tempat yang tidak terpapar mungkin dapat mengurangi laju penyakit.

2.6. Kerangka Teori

Faktor Eksternal -Kebiasaan merokok -Kebiasaan olahraga -Masa Kerja

-Pemakaian Alat Masker Karakteristik Debu : -Partikel Debu < 3 (PM 3) -Ukuran Partikel Debu -Jenis Debu

Faktor Internal -Umur

-Jenis Kelamin -Status Gizi -Riwayat Penyakit

Pekerja Kilang Padi

Saluran Pernapasan

Masuk ke dalam Alveoli


(6)

2.7 Kerangka Konsep

/

BAB III

Variabel Independen Konsentrasi PM3

Variabel Dependen

Fungsi Paru Pada Pekerja Kilang Padi Faktor Internal

-Umur

-Jenis Kelamin -Status Gizi -Riwayat Penyakit

Faktor Eksternal -Kebiasaan Merokok -Kebiasaan Olah Raga -Masa Kerja

-Pemakaian Alat Masker