pemberian kompensasi dan restitusi

MセN

Naskah Akademis dan
Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Pemberian Kampensasi dan Restitusi,
serta Bantuan bagi Saksi
dan Karban

Usul  Inisiatif Masyarakat 

Naskah Akademis dan 
Rancangan Peraturan Pemerintah 
tentang 
PEMBERIAN  
KOMPENSASI DAN RESTITUSI,  
SERTA BANTUAN  
BAGI SAKSI DAN KaRBAN  

­

エセ@"e


;nme

Usullnisiatif Masyarakat -

ICJR
Institute for Criminal Jusuce Reform

KOALISI
PERLINDUNGAN
SAKSI

Naskah Akademis dan Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Pemberian Kompensasi dan Restitusi,
serta Bantuan bagi Saksi Dan Korban
Penyusun

Wahyu Wagiman
Syahrial Martanto Wiryawan
Supriyadi Widodo Eddyono

Emerson Yuntho
Kontributor

Zainal Abidin
Ronald Rofiandri
Editor

Febri Diansyah
lIian Deta Arta Sari
Tata Letak dan Sampul

Taufik Bayu Nugroho dan Ulin Daffa
Cetakan Pertama

7 Desember 2007
D'susun bersama oleh

Indonesia Corruption Watch
Institute for Criminal Justice Reform
Koallsi Perlindungan Saksi

atas dukungan

The Asia Foundation dan DANIDA

IV

L;SL;L INISIATIF MASYARAKAT

セ@

Pengantar Penerbit 

M

asyarakat pendamba keadilan pertengahan tahun 2006 menyambut
gembira dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Regulasi ini sangat
dinanti-nanti sebagai payung hukum bagi saksi dan korban yang selama ini
dirasakan kurang dilindungi dalam hukum acara di Indonesia. Bahwa konteks

kehadiran UU PSK adalah dalam kerangka untuk melengkapi pranata prosed ural
dalam proses peradilan pidana.
Mengingat, dalam pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk
mengungkap kebenaran dan memberi keadilan berkait erat dengan kekuatan
alat bukti. Sehubungan proses pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana,
maka saksi maupun korban memiliki kedudukan yang sangat signifikan dalam
pengungkapan kebenaran materii!. Pada posisi itulah, saksi atau korban melekat
potensi ancaman. Bahwa hukum acara pidana yang saat ini berlaku tidak
memberikan perlindungan yang memadai bagi saksi atau korban yang terkait
dengan suatu perkara pidana.
Pemberian bantuan dalam UU PSK merupakan bagian dari salah satu
bentuk perlindungan yang akan diberikan oleh LPSK. Untuk itulah, oleh UU
PSK konsep pemberian bantuan dibatasi sedemikian rupa. Misalnya dalam
pasal 6, yang dimaksud bantuan oleh UU PSK hanya mencakup bantuan
medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Bantuan tersebut juga hanya
diberikan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dua ketentuan
itu, tentunya telah membatasi konsep umum pemberian bantuan bagi korban
yang prinsipnya tidak diskriminatif.

'1ASKAH AKACEMIS DAN RANCANGAN PERATURN, PEIv',ERINTAH


v

Semen tara itu dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban
Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, khusus mengenai bantuan,
disebutkan bahwa para korban harus menerima bantuan material, medis,
psikologis dan sosial yang perlu lewat sarana pemerintah maupun saranasarana lainnya. Korban tanpa didiskriminasikan harus diberikan sediakan
dan diberikan informasi yang cukup terhadap pelayanan kesehatan dan sosial
dan bantuan lainnya. Selain itu pemerintah harus memberikan pelatihan
bagi aparat penegak hukumnya (seperti polisi, jaksa, hakim) untuk menjadikan
mereka peka terhadap kebutuhan para korban sekaligus untuk memastikan
pemberian bantuan yang benar dan segera.
Keterbatasan konsep mengenai korban yang berhak mendapatkan layanan
pemberian bantuan dan tidak memadainya konsep pemberian bantuan dalam
UU PSK dikhawatirkan akan menyulut kerancuan implementasi pemberian
bantuan oleh LPSK Dalam UU PSK, terdapat dua pasal yang secara khusus
memerintahkan pemerintah untuk menyusun peraturan pemerintah mengenai
ketentuan pemberian kompensasi dan restitusi dan ketentuan mengenai
kelayakan pemberian bantuan menyangkut penentuan jangka waktu, dan
besaran biaya. Selain pemberian bantuan, pemberian Kompensasi dan Restitusi

dalam UU PSK merupakan bagian dari saiah satu bentuk perlindungan yang
akan diberikan oleh LPSK.
Menyadari kondisi tersebut, maka sangat penting untuk mendorong usulan
inisiatif masyarakat mengenai: (1) Rancangan Peraturan Pemerintah ten tang
Penentuan Kelayakan, Jangka Waktu dan Besaran Biaya Pemberian Bantuan
bagi Saksi dan atau Karban dan (2) Ran:angan Peraturan Pemerintah tentang
Prosedur Pemberian Kompensasi dan Restitusi.
Kedua usul inisiatif tersebut dimaksudkan untuk menjadi bahan
pembanding sekaligus melakukan intervensi substansi dari rancangan
peraturan pemerintah versi tim pemerintah yang saat ini tengah dalam proses
penyusunan/ finalisasi.

VI

USUL INISIATIF'v1ASYARAKAT

Naskah RPP yang telah disusun ini dapat dikatakan sebagai naskah RPP
alternatif sebagai usul inisiatif masyarakat, mengingat pemerintah juga sedang
menyusun RPP untuk subtansi yang sarna. Harapannya apa yang telah
dihasilkan oleh Koalisi Perlindungan Saksi dapat menjadi referensi atau acuan

bagi tim penyusun dari pemerintah.
Keberadaan Naskah Akademik dan RPP (usul iniatif masyarakat) tidak
lepas dari kerja keras dari team penyusun yang terdiri dari Syahrial Martanto
Wiryawan, Wahyu Wagiman, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Emerson
Yuntho. Team penyusun juga didukung oleh dua orang yang khusus
memberikan masukan dalam hal subtansi dan legal draftingyaitu Zainal Abidin
(YLBHI) dan Ronald Rofiandri(PSHK).
U capan terima kasih ditujukan kepada rekan-rekan dari Koalisi LSM
Perlindungan Saksi, akademisi, praktisi hukum - yang tidak dapat disebutkan
satu per satu- yang terlibat dalam memberikan tanggapan dan masukan terhadap
Naskah Akademik dan RPP yang telah disiapkan. Penghargaan juga diberikan
kepada Febri Diansyah dan Illan Deta Arta 3ari yang membantu melakukan

editing akhir sebelum buku inj terbit. Tidak iupa apresiasi yang luar biasa
dihaturkan kepada The Asia Foundation dan DANIDA yang telah memberikan
dukungan atas proses penyusunan dan penerbitan buku ini.
Kami menyadari bahwa masih ada beberapa hal yang belum akomodir
daiam penyusunan Naskah Akademik dan RPP ini. Oleh karena itu, kami
butuh kritik dan sarannya. Semoga apa j',1l1g dihasiIkan dapat menjadi langkah
awal yang 「。ゥセH@


dalam ml
uepaqwad JnpasoJd
S!W9pe)f'V 4e)fseN
ewelJ9d ue!6es

Bab 1 

Pendahuluan 

1. Latar Be1akang
Pada tanggal 11 Agustus 2006 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban meniadi sebuah Undang-Undang (UndangUndang No 13 rahun 2006). Sebuah undang-undang yang banyak ditunggu
masyarakat pencari keadilan.
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) ini banyak
memberikan janji dan harapan kepada orang-orang yang menjadi saksi, terlebih
lagi korban untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang lebih baik
dibandingkan masa-masa sebelumnya adanya undang-undang ini.
Berdasarkan undang-undang ini, setiap orang yang menjadi saksi dan

korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya, Disamping hak-hak lain yang
berkaitan dengan kasus yang dialaminya. Khusus korban pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) yang berat, undang-undang ini memberikan "hak" yang
lebih berkaitan dengan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psiko-sosial serta
hak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Disamping mengatur mengenai perlindungan bagi saksi dan korban, dalam
rangka mendukung dan mengimplementasikan hak-hak saksi dan korban,

PROSEDUR PEMBERtAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI

3

UU PSK juga memandatkan kepada Presiden untuk segera membentuk dan
mengangkat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan anggotaanggotanya menerbitkan Perpres mengenai kedudukan, susunan, organisasi,
tugas, dan tanggung jawab sekretariat yang mengurus LPSK, Peraturan
Pemerintah ten tang pemberian kompensasi dan restitusi dan Peraturan
Pemerintah tentang kelayakan diberikannya bantuan kepada saksi dan korban,

jangka waktu dan besaran biaya.
Semua ketentuan yang diatur dan dimandatkan dalam UU PSK ini sangat
mendesak direalisasikan, mengingat diperlukannya perangkat atau lembaga
yang dapat menjamin dilaksanakannya perlindungan dan hak-hak bagi saksi
dan korban, terutama apabila Pemerintah Indonesia menginginkan proses
hukum berjalan benar dan keadilan ditegakkan. Karena fakta-fakta sebelum
diundangkannya UU PSK, menunjukkan, banyak kasus-kasus pidana maupun
pelanggaran HAM yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan
tidak memadainya perlindungan bagi saksi dan korban maupun keluarganya
yang mengakibatkan mereka takut memberikan keterangan kepada aparat
penegak hukum.
Kini, hampir satu tahun sejak diundangkannya UU PSK, tidak terlihat
adanya persiapan yang memadai dari pemerintah untuk segera merealisasikan
undang-undang tersebut secara efektif, khususnya yang berkaitan dengan
pembentukan peraturan pemerintah mengenai pemberian kompensasi dan
restitusi dan Peraturan Pemerintah ten tang kelayakan diberikannya bantuan
kepada saksi dan korban, jangka waktu dan besaran biaya, kecuali proses
seleksi anggota LPSK yang saat ini baru dimulai.
Hal ini perlu didorong secara terus menerus mengingat pengalaman
pengadilan di Indonesia, khususnya Pengadilan HAM sampai saat ini belum

satupun hak-hak saksi dan khususnya korban pelanggaran HAM yang berat
mendapatkan bantuan, kompensasi dan restitusi yang dipenuhi secara layak
dan memadai.

4

PROSEDUR PEMBERIAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI

セ@
Peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah sejak lama mengakui
bahwa korban dan atau ahli wads korban pelanggaran HAM yang berat berhak
memperoleh kompensasi dan restitusi. Namun, hak korban dan atau ahli
warisnya tersebut tidak dapat dinikmati dengan serta merta. Ada banyak tahapan
yang harus dilalui sebelum mereka mendapatkan hak-haknya. Mekanisme
pengadilan salah satunya. Dalam hal ini pengadilan "dapat" memberikan
kompensasi dan restitusi apabila pelaku dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana sebagaimana tampak dalam praktik Pengadilan HAM di Indonesia.
Ketentuan ini tentunya sangat merugikan dan bertentangan dengan asas-asas
dan instrumen HAM internasional yang mewajibkan negara memberikan
reparasi terhadap korban pelanggaran HAM dan kesewenang-wenangan aparat.
Tidak hanya masalah mekanisme yang dihadapi korban dalam rangka
memperoleh hak kompensasi dan restitusi. Masalah keterbatasan definisi juga
seolah menambah penderitaan korban. Sampai saat ini pembuat UU masih
menganggap kompensasi sebagai kebaikan negara karena pelaku tidak mampu
melakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Dalam hal ini, korban
harus menunggu "kebaikan" negara sebelum mendapatkan haknya.
Demikian juga dengan prosedur yang harus dilalui. Tidak jelas dan tidak
lengkapnya prosedur yang harus dilalui korban dan atau ahli warisnya
merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi. Fakta bahwa tidak ada
satu-pun korban yang mendapatkan kompensasi dan restitusi salah satunya
disebabkan ketiadaan peraturan dan prosedur yang jelas bagi korban untuk
memperoleh hak-haknya.
Tidak adanya metode penghitungan kerugian juga merupakan kelemahan
lainnya berkaitan dengan hak atas kompensasi dan restitusi. Korban harus
menghitung-hitung sendiri jumlah kerugian-materiil dan immateriil-yang
dialami sebelum mereka mengajukannya ke pengadilan. Akibatnya, berbagai
macam cara ditempuh untuk mendapatkan jumlah yang riil yang dapat
mengganti seluruh kerugian yang dialami, baik fisik maupun psikis.

PROSEDUR PEMBERIAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI

5

Kelemahan dan kekurangan tersebut tentunya harus diperbaiki. Jangan
sampai hal serupa ter;adi di masa yang akan datang. Sebagai bahan
pembelajaran, diperlukan suatu kajian yang melihat kelemahan konseptual
dan prosedural hak atas kompensasi dan restitusi , baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun praktik.
Beberapa analisa menyebutkan terdapat kelemahan dalam pengaturan
ten tang hak atas kompensasi dan restitusi ini, baik menyangkut konsep
maupun prosedurl. Berdasarkan pengalaman Pengadilan HAM, menunjukkan
bahwa regulasi, termasuk aturan pelaksanaan yang seharusnya meniadi dasar
pemenuhan hak-hak korban, justru mempersulit implementasi hak-hak korban
pelanggaran HAM.
Adanya UU PSK yang juga mengatur ten tang kompensasi dan restitusi
diharapkan meniadi momentum yang baik untuk memperbaiki kelemahan
mekanisme pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi kepada korban.
Oleh karena itu, penting dilakukan kajian yang mendalam ten tang konsep
kompensasi dan restusi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
dan praktik-praktik pemenuhan hak atas kompensasi dan restitusi selama ini.

2. Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan gambaran sebagaimana diuraikan di atas, maksud penulisan
Naskah Akademik ini adalah untuk menelaah dan menguraikan secara
akademik latar belakang dan materi yang akan dibuat dalam Rancangan
Peraturan Pemerintah mengenai pemberian kompensasi dan restitusi
sebagaimana diamanatkan UU No. 13 tahun 2006.
Tujuan penulisan Naskah Akademik ini adalah untuk menetapkan
pedoman dan acuan dalam menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
mengenai pemberian kompensasi dan restitusi sebagaimana diamanatkan UU
No. 13 tahun 2006.
1

6

Lihat Laporan Pemantauan "Pengadilan Yang Melupakan Korban", Kelompok Kerja
Pemantau Pengadilan HAM, ELSAM, KontraS dan PBHI, 24 Agustus 2004.

PROSEDUR PEMBERIAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI

3. Dasar Hukum
Dasar hukum yang melandasi perlunya disusun Rancangan Peraturan
Pemerintah mengenai pemberian kompensasi dan restitusi adalah :
1)

Undang-Undang Nomor Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

Nomor 64);
2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ten tang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ten tang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun  1999  Nomor  147,  Tambahan  Lembaran  Negara  Nomor 

3879)  jo Undang­Undang Nomor 4 tahun 2004  tentang Kekuasaan Kehakim an (Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun  2004  Nomor  8); 
3)   Undang­Undang  Nomor  2  Tahun  1986  tentang  Peradilan  Umum 
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun  1986 Nomor 20, Tambahan 
Lembaran  Negara  Nomor  3327); 

4)   Undang­Undang Nomor 5 tahun  2004  tentang Perubahan Atas  UndangUndang  Nomor.  14  tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung  (Lembaran 
Negara  Republik  Indonesia Tahun  2004  Nomor  9); 
5)   Undang­Undang Nomor  16  tahun  2004  ten tang Kejaksaan  Republik Indonesia  (Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun  2004  Nomor  67) 
dan 
6)   Undang­Undang  Nomor  8  Tahun  1981  ten tang  Hukum  Acara  Pidana 
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun  1981  Nomor 76; Tambahan 
Lembaran Negara  Republik  Indonesia Nomor  3209); 

4. Ruang Lingkup
Demi kemudaan memahami Naskah Akademik ini. maka ruang lingkup 
penulisan  dibatasi  pada  latar  belakang  dan  tin;auan  materi  atas  Rancangan 
PROSEDUR  PEMBERIAN 
KOMPENSASI  DAN  RESTITUSI 



Peraturan Pemerintah tentang Prosedur Pemberian Kompensasi dan Restitusi.
Sesuai dengan ruang lingkup tersebut, disusun sistematika penulisan Naskah
Akademik sebagai berikut:
BAB I
BAB II

: Pendahuluan
Pokok-Pokok Materi dalam Peraturan Pemerintah
ten tang Pemberian Kompensasi dan Restitusi

BAB III

8

Penutup

PROSEDUR PEMBERIAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI

-"
Bab2 

Pokok­pokok Materi dalam 
Peraturan  Pemerintah 
tentang  Pemberian 
Kompensasi  dan  Restitusi 
1.  Pengertian Umum
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah
keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami
sendiri terjadinya suatu tindak pidana. Keberadaan saksi dan/atau korban ini
sangat penting mengingat seringkali aparat penegak hukum mengalami
kesulitan dalam mencari dan menemukan kejelasan ten tang tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang disebabkan tidak dapat
menghadirkan saksi dan/atau korban. Ketidakhadiran saksi dan/atau korban
memenuhi panggilan atau permintaan aparat penegak hukum ini seringkali
disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu
yang ditujukan kepada saksi dan/atau korban.
Dengan demikian, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau
korban dalam setiap tahap proses peradilan. Perlindungan ini tidak hanya
menyangkut perlindungan dari ancaman yang bersifat fisik maupun psikis,
tetapi juga dapat mencakup pemenuhan terhadap hak-hak saksi danlatau korban
secara keseluruhan, seperti hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam
proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan
'ROSEDUR PEMBERIAN